• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik Tempat Penjualan Ayam

Sampel daging ayam diperoleh dari tiga pasar di Kota Tangerang Selatan, yaitu Pasar Bukit, Pasar Jombang, dan Pasar Modern. Sebagian besar pedagang daging ayam yang menjadi responden berjenis kelamin laki-laki (66.7%). Seluruh responden (100%) menjual karkas utuh dan hampir semua (95.8%) responden menjual karkas potongan, namun tidak ada responden yang menjual jeroan ayam. Sebagian besar responden memperoleh karkas ayam dari pemotongan sendiri (66.7%), sedangkan beberapa responden (29.1%) memperoleh karkas dari tempat potong unggas (TPU) atau rumah potong unggas (RPU) dan 4.2% responden memperoleh karkas dari TPU/RPU dan pemotongan sendiri. Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai

responden di Kota Tangerang Selatan

Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam Pasar Modern (n=10) Pasar Bukit (n=11) Pasar Jombang (n=3) Total (n=24)

Jenis kelamin pedagang

Laki-laki 8 (80.0%) 5 (45.4%) 3 (100%) 16 (66.7%) Perempuan 2 (20.0%) 6 (54.5%) 0 8 (33.3%)

Produk yang dijual

Karkas utuh 10 (100%) 11 (100%) 3 (100%) 24 (100%) Karkas potongan 10 (100%) 10 (90.9%) 3 (100%) 23 (95.8%) Jeroan 0 0 0 0 Asal karkas Potong sendiri 3 (30.0%) 11 (100%) 2 (66.7%) 16 (66.7%) Tempat pemotongan

unggas/rumah potong unggas 6 (60.0%) 0 1 (33.3%) 7 (29.1%) Potong sendiri dan tempat

pemotongan unggas/rumah potong unggas

1 (10%) 1 (4.2%)

Pedagang perantara 0 0 0 0

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelanggaraan Pasar Sehat, definisi pasar sehat adalah

(2)

kondisi pasar yang bersih, aman, nyaman, dan sehat yang terwujud melalui kerja sama seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) terkait dalam penyediaan bahan pangan yang aman dan bergizi bagi masyarakat, sedangkan pasar tradisional adalah pasar yang berlokasi permanen, ada pengelola, sebagian besar barang yang diperjual-belikan adalah kebutuhan dasar sehari-hari dengan praktik perdagangan dan fasilitas infrastruktur yang sederhana, serta ada interaksi langsung antara penjual dan pembeli.

Persyaratan kesehatan lingkungan pasar menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelanggaraan Pasar Sehat, tempat penjualan daging, karkas unggas, ikan harus berlokasi (ditempatkan) di tempat khusus yang didasarkan pada penataan ruang dagang. Selain itu, jarak tempat penampungan dan pemotongan unggas dengan bangunan pasar utama minimal 10 m atau dibatasi tembok pembatas dengan ketinggian minimal 1.5 m. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri tersebut, tempat penjualan bahan pangan basah mempunyai kriteria sebagai berikut:

1. Mempunyai meja tempat penjualan dengan permukaan yang rata dengan

kemiringan yang cukup sehingga tidak menimbulkan genangan air dan tersedia lubang pembuangan air, setiap sisi memiliki sekat pembatas dan mudah dibersihkan, dengan tinggi minimal 60 cm dari lantai dan terbuat dari bahan tahan karat bukan dari kayu.

2. Penyajian karkas harus digantung.

3. Alas pemotong (talenan) tidak terbuat dari bahan kayu, tidak mengandung

bahan beracun, kedap air, dan mudah dibersihkan.

4. Pisau untuk memotong bahan mentah harus berbeda dan tidak berkarat.

5. Tersedia tempat penyimpanan bahan pangan, seperti: ikan dan daging

menggunakan rantai dingin (cold chain) atau bersuhu rendah (4-10 °C).

6. Tersedia tempat untuk pencucian bahan pangan dan peralatan.

7. Tersedia tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan air yang

mengalir.

8. Saluran pembuangan limbah tertutup, dengan kemiringan sesuai ketentuan

yang berlaku sehingga memudahkan aliran limbah, serta tidak melewati area penjualan.

(3)

9. Tersedia tempat sampah basah dan kering, kedap air, tertutup dan mudah diangkat.

10. Tempat penjualan bebas vektor penular penyakit dan tempat perindukannya, seperti: lalat, kecoa, tikus, dan nyamuk.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelanggaran Pasar Sehat juga memberikan pedoman tentang pencahayaan, yaitu intensitas pencahayaan setiap ruangan harus cukup untuk melakukan pekerjaan pengelolaan bahan makanan secara efektif dan kegiatan pembersihan makanan, serta pencahayaan cukup terang dan dapat melihat barang dagangan dengan jelas minimal 100 luks. Selanjutnya menurut pedoman tersebut, sanitasi juga harus diperhatikan. Ketersediaan air bersih dengan jumlah yang cukup setiap hari secara berkesinambungan, minimal 40 liter/pedagang. Kualitas air bersih yang tersedia memenuhi persyaratan. Jarak sumber air bersih dengan pembuangan limbah minimal 10 meter. Selain itu, pengelolaan sampah juga sangat penting. Setiap kios/los/lorong tersedia tempat sampah basah dan kering, yang terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah berkarat, kuat, tertutup dan mudah dibersihkan. Pasar juga harus memiliki tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dengan persyaratan antara lain harus kedap air, kuat, mudah dibersihkan dan mudah dijangkau petugas pengangkut sampah. Sementara itu TPS tidak menjadi tempat perindukan insekta penular penyakit (vektor).

Pasar memiliki posisi yang sangat penting untuk menyediakan pangan yang aman. Pasar sangat dipengaruhi oleh keberadaan produsen hulu (penyedia bahan segar), pemasok, penjual, konsumen, manajer pasar, petugas yang berhubungan dengan kesehatan, dan tokoh masyarakat. Bangunan tempat penjualan daging ayam dapat berupa los yang merupakan suatu bangunan yang panjang terbuka dan tidak berdinding. Selain itu, tempat penjualan daging ayam dapat berupa suatu bangunan kecil-kecil berbentuk kamar yang tertutup dan dapat dan dapat dikunci yang dikenal dengan sebutan kios, serta dapat berupa bangunan khusus tempat penjualan daging (Hernady 1988 yang dikutip oleh Ristanti 2009).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada pasal 61 ayat (1a), rumah potong adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan beserta peralatannya dengan

(4)

desain yang memenuhi persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain, sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan unggas bagi konsumsi masyarakat.

Kondisi Higiene Sanitasi Tempat Penjualan Daging Ayam

Secara umum tempat penjualan daging ayam berbentuk kios permanen (95.8%) dan keseluruhannya memiliki atap yang dapat melindungi dari hujan dan panas. Sebagian dari tempat penjualan daging ayam (kios) bercampur dengan komoditas lain (58.3%) dan seluruh tempat penjualan daging ayam memiliki penerangan yang cukup. Dilihat dari segi sarana atau fasilitas, pada umumnya (79.2%) setiap kios memiliki permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah karat, dan mudah dibersihkan. Seluruh kios menggunakan kayu sebagai talenan dan sebagian besar kios (58.3%) tidak menggunakan pisau yang terbuat dari bahan antikarat. Semua kios tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden tidak memiliki fasilitas pembeku (freezer), fasilitas pendingin (refrigerator/chiller), dan fasilitas cuci tangan. Sedangkan untuk fasilitas pencuci peralatan (bak air, wastafel, atau yang lain), hampir sebagian besar (45.8%) kios tidak memilikinya (Tabel 7).

Produk yang dijual pada tempat penjualan daging ayam, karkas yang dijajakan umumnya (95.8%) tidak terlindung atau dapat disentuh pembeli. Seluruh kios menjual karkas terpisah dari jeroan, namun ada juga sebagian kecil kios (16.7%) yang mencampur ayam hidup bersamaan dengan karkas. Apabila diperhatikan dari aspek kebersihan, maka hanya sebagian kecil kios (20.8%) yang bebas dari serangga, rodensia, dan hewan lain. Lebih dari sebagian kios (58.3%) yang kebersihannya tidak terjaga atau ada genangan air dan sampah yang bertebaran, serta lebih dari sebagian kios (62.5%) tidak memiliki tempat sampah basah atau kering (Tabel 7).

Higiene personal pedagang daging ayam di kios yang diambil sebagai responden sangat memprihatinkan, karena hanya sebagian kecil (25%) pedagang ayam yang memakai apron, serta tidak satupun pedagang yang memakai penutup kepala, masker, dan sarung tangan. Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden dapat dilihat pada Tabel 9.

(5)

Tabel 9 Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam (kios) yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan

Karakteristik higiene sanitasi

Persentase (%) Pasar Modern (n=10) Pasar Bukit (n=11) Pasar Jombang (n=3) Total (n=24)

Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tida

k Kondisi umum

Kios permanen 100 0 90.9 9.1 100 0 95.8 4.2

Tempat memiliki atap yang dapat melindungi dari hujan dan panas

100 0 100 0 100 0 100 0

Tempat penjualan bercampur dengan komoditas lain

0 100 100 0 100 0 58.3 41.7

Penerangan mencukupi (dapat mengetahui perubahan warna pada daging)

100 0 100 0 100 0 100 0

Sarana/fasilitas

Permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah karat, dan mudah dibersihkan

100 0 72.7 27.3 33.3 66.7 79.2 20.8

Talenan berbahan kayu 100 0 100 0 100 0 100 0

Pisau yang digunakan terbuat dari bahan yang antikarat

100 0 0 100 0 100 41.7 58.3

Jumlah pisau lebih dari satu 50.0 50.0 18.2 81.8 33.3 66.7 33.3 66.7 Mempunyai fasilitas pembeku

(freezer)

0 100 0 100 0 100 0 100

Mempunyai fasilitas pendingin (refrigerator/chiller)

0 100 0 100 0 100 0 100

Tersedia fasilitas pencuci peralatan (bak air, westafel, atau yang lain)

100 0 9.1 90.9 0 100 45.8 54.2

Tersedia fasilitas cuci tangan 0 100 0 100 0 100 0 100

Penjualan produk

Karkas tidak terlindung (dapat disentuh pembeli)

100 0 90.9 9.1 100 0 95.8 4.2

Karkas terpisah dari jeroan 100 0 100 0 100 0 100 0

Ayam hidup bersamaan dengan karkas

0 100 27.3 72.7 33.3 66.7 16.7 83.3

Kebersihan

Bebas dari serangga, rodensia, dan hewan lain

50.0 50.0 0 100 0 100 20.8 79.2

Kebersihan tempat penjualan /kios terjaga (tidak ada genangan air dan sampah yang bertebaran)

90.0 10.0 9.1 90.9 0 100 41.7 58.3

Tersedia tempat sampah basah atau kering

80 20 9.1 90.9 0 100 37.5 62.5

Higiene Personal

Memakai apron 50.0 50.0 9.1 90.9 0 100 25 75.0

Memakai penutup kepala 0 100 0 100 0 100 0 100

Memakai masker 0 100 0 100 0 100 0 100

(6)

Kontaminasi berarti keberadaan sesuatu yang berbahaya atau tidak diharapkan dalam makanan atau minuman yang akan berisiko menimbulkan penyakit atau perasaan tidak nyaman atau kerusakan makanan. Kontaminasi silang adalah perpindahan bakteri berbahaya atau pembusuk dari suatu makanan atau tempat ke makanan. Bakteri dapat dipindahkan baik dari makanan ke makanan atau tangan ke makanan. Kontaminasi silang merupakan salah satu penyebab keracunan makanan. Hal tersebut terjadi ketika mikroorganisme patogen berpindah diantara makanan, permukaan atau lingkungan. Sumber-sumber dari mikroorganisme yang dapat mengontaminasi makanan adalah makanan mentah, insekta dan rodensia, manusia, debu, kotoran, udara, sisa makanan, dan hewan peliharaan. Kontaminasi bakteri terhadap makanan dapat terjadi melalui tangan, talenan, pisau, dan alat masak lainnya, serta lingkungan. Kontaminasi makanan dapat juga disebabkan oleh kontak antara makanan dengan permukaan, pakaian, dan handuk (Meggitt 2003).

Kontaminasi bakteri terhadap makanan dapat terjadi melalui tangan, talenan, pisau, dan alat masak lainnya, serta lingkungan. Selain itu, kontaminasi makanan dapat disebabkan juga oleh kontak antara makanan dengan permukaan, pakaian, dan handuk. Kontaminasi silang sering terjadi ketika makanan mentah bersentuhan dengan makanan yang mempunyai risiko tinggi (kontaminasi langsung), cairan atau jus dari makanan mentah yang kontak dengan makanan yang mempunyai risiko tinggi atau kontaminasi tidak langsung, bakteri yang terbawa oleh tangan atau peralatan dari makanan mentah ke makanan yang mempunyai risiko tinggi atau kontaminasi tidak langsung (Meggitt 2003).

Menurut EFNRA (1992), peralatan harus mudah dibersihkan yang berarti semua permukaan yang kontak dengan makanan harus dapat dibersihkan dengan cara biasa. Selain itu, semua bahan yang kontak dengan permukaan makanan tidak boleh bersifat toksik dan termasuk warna yang tidak signifikan, bau, atau rasa dari makanan. Bahan-bahan tersebut harus terbuat dari bahan kedap air, anti-karat, stabil, sehingga tidak bereaksi dengan produk makanan serta mudah dibersihkan. Talenan yang terbuat dari bahan kayu dihindarkan karena sangat mudah menjadi sumber kontaminasi. Kayu bisa menjadi tempat hidupnya bakteri karena adanya bekas sayatan-sayatan dan pori-pori.

(7)

Pekerja dapat menularkan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit. Kenyataannya manusia merupakan sumber utama pencemaran pangan. Tangan, nafas, rambut, dan keringat dapat mencemari pangan. Kebiasaan pekerja seperti batuk dan bersin yang tidak ditutup dapat memindahkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Karyawan yang sakit tidak diperkenankan kontak dengan pangan, peralatan, dan fasilitas. Kata higiene digunakan untuk menggambarkan penerapan prinsip-prinsip kebersihan untuk perlindungan kesehatan manusia. Higiene personal mengacu kepada kebersihan tubuh perseorangan. Manusia merupakan sumber potensial mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (Marriott 1999).

Fasilitas cuci tangan merupakan parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan S. aureus. Mencuci tangan bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme. Dengan mencuci tangan, penyebaran mikroorganisme melalui tangan dapat dikurangi atau bahkan diputus, oleh karena itu metode mencuci tangan sangat penting agar cuci tangan tidak menjadi sia-sia. Waktu yang digunakan untuk mencuci tangan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang dihilangkan. Waktu lima detik pada aktifitas penggosokan sabun pada tangan mempunyai pengaruh yang kecil dalam menurunkan jumlah mikroorganisme pada tangan (Marriott 1999). Dalam Minnesota Department of

Health Fact Sheet (2010), mencuci tangan terdiri dari enam tahap, yaitu: (1)

membasahi tangan, (2) memberi sabun, (3) menggosokkan busa ke seluruh bagian tangan dan sela-sela jari, (4) menyikat minimal 20 detik, (5) membilas dengan air yang mengalir, dan (6) pengeringan.

Jumlah Staphylococcus aureus pada Daging Ayam

Dari hasil pengujian diperoleh bahwa sebagian besar sampel (66.7%) daging ayam yang diambil dari pasar-pasar di Tangerang Selatan tercemar oleh S. aureus yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Sampel daging ayam yang tidak memenuhi BMCM tersebut paling tinggi diperoleh dari Pasar Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Jombang (66.7%) dan Pasar Bukit (54.5%). Jumlah rata-rata S. aureus dari ketiga

(8)

pasar adalah 802.5 + 1194.2 cfu/gram, sedangkan berdasarkan lokasi pasar, maka jumlah rata-rata tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah Pasar Modern (1116.0 + 1461.0 cfu/gram), Pasar Bukit (618.2 + 1045.8 cfu/gram), dan Pasar Jombang (433.3 + 665.8 cfu/gram). Jumlah rataan S. aureus dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada sampel daging ayam dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase yang melebihi

batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan

Pasar Rataan + simpangan baku

(cfu/gram)

Jumlah sampel yang melebihi BMCM

Pasar Modern (n=10) 1116.0 + 1461.0 8 (80.0%)

Pasar Bukit (n=11) 618.2 + 1045.8 6 (54.5%)

Pasar Jombang (n=3) 433.3 + 665.8 2 (66.7%)

Total (n=24) 802.5 + 1194.2 16 (66.7%)

BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan

BMCM Staphylococcus aureus daging ayam segar = 100 koloni/gram

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa jumlah cemaran S. aureus dan persentase sampel daging yang melebihi BMCM tertinggi ditemukan pada sampel daging ayam dari Pasar Modern. Secara umum, hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya (60%) karkas yang dijual di Pasar Modern dipasok dari RPU, yang mana karkas dipotong pada pukul 04.00 pagi sehingga umur karkas ayam sudah sekitar 5 jam pada saat pengambilan sampel. Pada umumnya karkas yang dijual di Pasar Bukit (100%) dan Pasar Jombang (66.7%) dipotong di tempat (di kios) sehingga waktu antara pemotongan dan pengambilan sampel relatif pendek. Selain itu, tidak adanya penerapan rantai dingin dari RPU sampai ke pasar, sehingga bakteri yang mencemari karkas dapat berkembang-biak relatif lebih banyak dibandingkan dengan karkas yang berasal dari kedua pasar lain. Tingginya jumlah S. aureus pada sampel daging mengindikasikan buruknya pelaksanaan higiene personal.

Menurut Adams dan Moss (2008) S. aureus termasuk ke dalam golongan mesofilik dengan interval suhu pertumbuhan antara 7 dan 48 °C dan tumbuh

(9)

optimum pada suhu 37 °C, serta mampu bertahan pada suhu rendah. Umumya bakteri mesofilik mempunyai waktu generasi (generation time) 20 menit atau kurang pada medium yang disukai serta pada suhu optimum. Oleh karena itu, sel bakteri dapat memperbanyak diri lebih dari 16 juta selama 8 jam, serta hampir mencapi 70 juta setelah 12 jam (Forsythe dan Hayes 1998). Menurut Gill (1986) yang dikutip dalam Mead (2005), penurunan suhu di bawah suhu optimum dapat meningkatkan waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membelah diri. Bersamaan dengan itu, bakteri akan tumbuh dua kali lipat setiap peningkatan suhu sebesar 10 °C.

Menurut Herbert (1989) yang dikutip oleh Walker et al. (2000) pengaruh penurunan suhu adalah penurunan risiko kerusakan pada pangan. Metode ini bukan hanya untuk mengurangi perubahan kimiawi atau biologis, akan tetapi juga mengurangi aktivitas dari mikroorganisme. Pada ruangan yang bersuhu rendah, periode lag phase (waktu sebelum meningkatnya jumlah mikroorganisme) menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan. Dari aspek selular, pengaruh suhu terhadap pertumbuhan merupakan hal yang kompleks yang melibatkan struktur membran, pengambilan substrat, respirasi, dan aktivitas enzim.

Pengujian jumlah mikroorganisme pada bahan pangan merupakan salah satu pengujian yang umum dan rutin diterapkan dalam rangka pengawasan dan pengendalian mutu dan keamanan bahan pangan. Jumlah mikroorganisme atau jumlah total mikroorganisme selalu dimasukkan dalam suatu standar atau spesifikasi suatu produk bahan pangan. Pengujian jumlah mikroorganisme tersebut bertujuan untuk: (1) mengetahui kualitas mikrobiologik bahan baku (bahan mentah) dan produk akhir, (2) mengetahui kondisi higiene selama proses produksi, (3) menentukan apakah bahan pangan ditangani atau disimpan pada suhu yang tidak sesuai selama proses produksi, transportasi dan penyimpanan, (4) menentukan masa simpan produk, (5) menentukan apakah produk telah sesuai dengan kriteria, spesifikasi atau standar produk, (6) menentukan tingkat pencemaran lingkungan produksi (Lukman 2005).

Jumlah mikroorganisme pada contoh bahan pangan yang diperoleh dengan metode hitungan cawan merupakan gambaran populasi mikrorganisme yang terdapat pada contoh tersebut. Tidak semua mikroorganisme dapat tumbuh dalam

(10)

media agar dan kondisi inkubasi yang diterapkan, karena setiap mikroorganisme membutuhkan kondisi hidup atau pertumbuhan yang berberbeda. Jumlah mikroorganisme yang tumbuh (membentuk koloni) hanya berasal dari mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis media, ketersediaan oksigen, suhu dan lama inkubasi), karena mikroorganisme lain yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati. Selain itu, sebuah koloni yang nampak pada biakan tidak selalu berasal dari satu sel mikroorganisme saja, tetapi dapat berasal dari sekelompok mikroorganisme (mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan sering membentuk kelompok atau clump). Oleh sebab itu, jumlah mikroorganisme yang diperoleh dengan metode ini hanya merupakan jumlah prakiraan (estimasi) saja dan terdapat kemungkinan bahwa jumlah mikroorganisme yang diperoleh lebih banyak dibandingkan dengan mikroorganisme sesungguhnya. Dengan demikian, hasil pemeriksaan perlu diinterpretasi secara hati-hati. Namun metode ini merupakan metode yang sangat berguna dan dianjurkan dalam pemeriksaan rutin (Lukman 2005).

Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu)

per gram atau per ml atau per cm2 (luasan tertentu dari contoh). Ketepatan

(accurancy) metode ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: (1) media dan kondisi inkubasi (ketersediaan oksigen, suhu dan waktu inkubasi), (2) kondisi sel mikroorganisme (cedera atau injured cell), (3) adanya zat penghambat pada peralatan atau media yang dipakai, atau yang diproduksi oleh mikroorganisme lainnya, (4) kemampuan pemeriksa untuk mengenal koloni, (5) lelah (fatigue), (6) peralatan, pelarut dan media yang kurang steril, ruang kerja atau bench yang tercemar, (7) pengocokan pada saat pengenceran yang kurang sempurna, (8) adanya artifak yang sulit dibedakan dengan koloni, (9) kesalahan menghitung koloni dan penghitungan yang kurang tepat terhadap koloni yang menyebar atau yang sangat kecil (Lukman 2005).

Penanganan makanan oleh manusia sangat berkaitan dengan terjadinya peningkatan kasus keracunan makanan (Greig et al. 2007 yang dikutip oleh Ansari-Lari et al. 2010). Tangan dari pekerja yang terlibat dalam pengolahan makanan mungkin dapat menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit karena

(11)

hanya sedikit pekerja yang menerapkan higiene personal sehingga terjadinya kontaminasi silang (Ehiri dan Morris 1996 yang dikutip oleh Baş et al. 2006).

Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pekerja yang menangani makanan berkontribusi terhadap terjadinya 97% dari foodborne illness pada usaha jasa boga dan rumah (Howes et al. 1996 yang dikutip oleh Ansari-Lari

et al. 2010). Keracunan makanan terjadi akibat ingesti mikroorganisme yang

telah ada pada makanan yang terkontaminasi, yang dapat disebabkan oleh teknik pengawetan pangan yang tidak memadai atau praktik penanganan makanan yang tidak aman, atau akibat kontaminasi silang dari permukaan, peralatan, atau orang yang membawa Staphylococcus yang bersifat enterotoksigenik pada hidung atau kulitnya (Jay et al. 1999 yang dikutip oleh Baş et al. 2006).

Penelitian de Boer et al. (2009) pada perdagangan ritel di Belanda terhadap keberadaan S. aureus yang resisten terhadap metisilin (methicillin-resistant

Staphylococcus aureus/MRSA) pada daging sapi, babi, sapi muda, domba/domba

muda, ayam, kalkun, unggas air, dan unggas liar mendapatkan MRSA 264 (11.9%) dari 2217 sampel dan persentase tertinggi ditemukan pada daging ayam (16.0%). Kitai et al. (2005) mendapatkan hanya 2 galur (0.5%) MRSA dari 444 sampel daging ayam yang dijual di supermarket di Jepang. Daging segar dapat mengandung MRSA akibat pencemaran selama proses pemotongan. Walaupun bakteri tersebut memiliki tempat utama untuk koloni pada saluran hidung, S.

aureus terdapat juga dalam saluran pencernaan (Bhalla et al. 2007). Selama

proses pemotongan, karkas ayam dapat tercemar S. aureus dari saluran pencernaan, lingkungan pemotongan, atau bahkan dari pekerja yang terinfeksi (de Boer et al. 2009).

Peran Kesmavet dalam Keamanan Pangan Asal Hewan

Menurut WHO (2011), kesmavet berperan dalam usaha-usaha global untuk meningkatkan pengawasan dan respon terhadap semua penyakit infeksius yang mungkin akan mengancam kesehatan masyarakat. Program kesmavet di WHO adalah menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi seperti Food and

Agriculture Organization of the United Nations (FAO) dan World Organization for Animal Health (OIE) untuk keamanan pangan dan berbagai aspek dari

(12)

kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh perdagangan hewan dan produk yang berasal dari hewan.

Kesehatan masyarakat veteriner didefinisikan sebagai seluruh kontribusi dari fisik, mental dan sosial yang akan membawa pada pengertian dan pengaplikasian ilmu kedokteran hewan (WHO 2011); sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia.

Istilah kesehatan masyarakat veteriner sudah diperbincangkan setelah Perang Dunia Kedua oleh administrator kesehatan masyarakat pada pelayanan kesehatan masyarakat di Amerika Serikat untuk memilih bidang yang dapat dikerjakan oleh dokter hewan (Schwabe 1984 yang dikutip oleh Steele 2008). WHO (2011) menggambarkan kesehatan masyarakat veteriner sebagai bagian dari aktivitas kesehatan masyarakat yang berdedikasi untuk menerapkan kemampuan kedokteran hewan, pengetahuan dan pelayanan untuk melindungi serta meningkatkan kesehatan manusia. Kesehatan masyarakat veteriner adalah bentuk tanggung jawab dari dokter hewan yang mana aktivitas tersebut tidak hanya terbatas untuk dokter hewan. Akan tetapi kesehatan masyarakat veteriner juga berlaku untuk disiplin ilmu yang lain (psikolog, perawat, ahli sanitasi, dan lain-lain) untuk bekerja bersama dalam menangani masalah tentang issue kesehatan manusia dan hewan (WHO 2011).

Keamanan pangan adalah suatu bagian dari kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan pertanian dan sektor produksi pangan lainnya. Pada abad ini, perkembangan produksi pangan dan sistem pengawasan baru berkontribusi dalam mendukung keberhasilan sistem keamanan pangan di negara berkembang untuk mencegah foodborne disease (Schlundt 2002). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam Pasal 56, kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk:

(13)

1. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis.

2. penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, keutuhan, dan kehalalan

produk hewan.

3. Penjaminan higiene dan sanitasi

4. Pengembangan kedokteran perbandingan; dan

5. Penanganan.

Pemantauan (monitoring) penyakit menggambarkan usaha-usaha yang sedang dilaksanakan sesuai dengan penilaian kesehatan dan status penyakit dari sebuah populasi. Pengambilan sampel individu dari sebuah populasi untuk penilaian penyakit atau status kesehatan yang mungkin sedang berlangsung atau terjadi berulang. Monitoring penyakit ditujukan untuk penyakit infeksius yang spesifik, sesuatu yang spesifik yang menimbulkan penyakit atau kesehatan pada umumnya. Populasi mungkin bisa ditentukan berdasarkan negara, daerah, atau daerah yang rawan (Salman 2003).

Menurut Winarno (2004), pemantauan (monitoring) dalam keamanan pangan adalah salah satu bentuk tindakan untuk melakukan pengecekan bahwa proses pengolahan dan cara-cara penanganan pada critical control points (CCP) telah diterapkan secara baik dan semestinya. Adapun lima jenis monitoring yang utama adalah observasi visual, evaluasi indera, pengukuran secara fisik, tes kimia, dan pemeriksaan mikrobiologi. Kegiatan surveilans adalah pengumpulan data penyakit berdasarkan pengambilan sampel atau spesimen di lapangan dalam rangka mengamati penyebaran atau perluasan dan keganasan penyakit. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 40 ayat (1), untuk melaksanakan kegiatan surveilans dan penyidikan ini diperlukan pengidentifikasian hewan.

Gambar

Tabel 8  Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai  responden di Kota Tangerang Selatan
Tabel 9  Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam (kios)  yang  diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan

Referensi

Dokumen terkait

Golongan pangkat yang sudah berhak memakai baju sikepan ini adalah para putra dan sentanadalem yang sudah berpangkat Bupati Riya Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden

Skripsi berjudul: Pengaruh Kepemimpinan, Motivasi Dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus Pada Kebun Kalikempit PT.. Perkebunan Nusantara XII

Analisis menghasilkan Koefisien bernilai positif pada tahun 2011, 2012, dan 2013 dengan masing- masing perolehan 0,198, 0,481, dan 1,556 artinya terjadi hubungan

Fala (2007) menyatakan bahwa pihak yang mendukung konservatisme menyatakan bahwa penerapan akuntansi konservatif akan menghasilkan laba yang berkualitas karena prinsip ini

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan dan disarankan (1)Perencanaan penataan PKL di tempat lain di wilayah Kota Binjai terutama yang berkaitan dengan konsep

Oleh itu etika boleh ditakrifkan sebagai suatu kajian sains tentang kelakuan manusia dalam masyarakat yang juga merupakan satu set peraturan tingkah laku atau

Observasi adalah kegiatan pengamatan (pengambilan data) untuk memotret seberapa jauh efek tindakan telah mencapai sasaran. Observasi digunakan untuk mendapatkan

Oleh karena itu, perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four yang memiliki kualitas audit yang lebih tinggi diharapkan memiliki insentif yang lebih besar untuk