• Tidak ada hasil yang ditemukan

BATHIK DALAM TATANAN BERBUSANA JAWA. Ipung Sri Purwanti Hery STIE AUB Surakarta. Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BATHIK DALAM TATANAN BERBUSANA JAWA. Ipung Sri Purwanti Hery STIE AUB Surakarta. Abstract"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BATHIK DALAM TATANAN BERBUSANA JAWA Ipung Sri Purwanti Hery

STIE AUB Surakarta Abstract

“The outstanding Nation is presented in the Great of Culture”

It is what ISKS Pakoe Boewono X said from Surakarta Hadiningrat Kingdom. It’s meant that the greatest of each nation is resembled in the greatest of its culture

This wise word drives the writer to discuss “bathik” on of the cultural herritages which is now performed in the society.

Seeing the condition pf “Bathik” in Surakarta to day, the writer feeds so sorry that most of the people are able anly to wear, but not to understand it culturally. To the more extend, foreigaers are interested to learn everything about bathik, whereas Javanese, the owner of this culture, mostly disregarded.

Based on this, the writer tries to represent a short undertsnading on Bathik in Javanese Clothing Custom. To meet Keraton Surakarta festival held in June, I wuld like to ask the reader to see the growing of bathik in Surakarta. Batik Surakarta is now grown up into a business commodity with a very colourful of type.

Since the Cloting Custom of Mataram was populaired in Yogjakarta up to now, SISKS Pakoe Boewono III designed his own clothing in Surakarta styled. After this, “Bathik” Surakarta becomes more populair in its colour as well as type.

This fast growing of bathik effect the decrease of norm in bathik itself. The ruled of wearing/ clothing becomes unstated. Bathik cloth which is designed to be the princes’ family and the laymen can’t be Differ the statues of the user.

Therby SISKS Pakoe Boewono III states the rule of Bathik Clothing Custom in Surakarta Kingdom. The King Said: “There are so many types of Bathik that are prohibited i e bathik Lar, parang, cemukiran, bangun tulan lenga, and bathik cemukiran ujung lung” These type are allowed to be the “Patih” and the family of pronce and Princes Clothes, but not to the people in general. Trough this rules, Bathik Surakarta become the greatest pattern to the Javanese Clothing Custom.

Paraleled with the growing of Surakarta Kingdom Economic, the need of bathik is grown up to, hereby grows up the bathik industries. The small skill home industry that produce bathik in Surakarta survive around the river of Bengawan Solo such as, Laweyan Village, Kedung Gudel Village in Sukoharjo, Serenan Village in Klaten, Bekonang Village in Sukoharjo, Kliwonan Village in Sragen, Plupuh as well as Tirtomoyo Village in Wonogiri.

In wearing the Javanese Clothing Custom, there should be harmonized with the soul of culture, because in wearing the Javanese Clothing Custom, it’s not only psycally wearing but also consist to psycally and person allity performances of human being.

It’s just like what SISKS Pakoe Boewono X said: “Clothing is the way to perform the human psycally and psychally that’s why just do it and concern with the place, situation, position and the body itself”

This wise word of SISKS Pakoe Boewono X is becoming the based on my discussion of BATHIK IN JAVANESE CLOTHING CUSTOM “below”

Key word: bathik as Javanese Clothing Considered type and kinds; thye regembled the norm of coutecies

(2)

A. MOTIF BATHIK SEBAGAI TANDA KEPANGKATAN

etelah pembagian Karaton Surakarta Hadiningrat menjadi dua, SISKS Pakoe Boewono III membuat corak baju ter-sendiri yang berbeda dengan corak baju Mataraman yang dibawa oleh KP. Mang-kubumi. Selain itu Pakoe Boewono III juga menetapkan aturan atau tatanan pema-kaian kain bathik gagrak Surakartan, khususnya untuk para sentana dan abdi dalem yang berada dibawah reh pepatih dalem.

Dalam tatanan pemakaian kain bathik di Surakarta yang ditetapkan oleh Pakoe Boewono III tersebut, terkait dengan jenis motif bathik dengan kedudukan pema-kainya. Sehingga dalam tingkat-tingkat kepangkatan dan kedudukan di dalam Karaton mempunyai busana bathik yang berbeda-beda motif. Tatanan tersebut berlaku baik dalam paso-wanan resmi maupun dalam acara-acara biasa.

Jika ditinjau dari bentuk kain bathik yang dipergunakan dalam berbu-sana di dalam Karaton Surakarta ada dua bentuk kain bathik, yaitu:

1. Kain bathik berupa "sinjang" atau "jarit" atau "jarik"

Sinjang adalah bahasa krama dari "jarit" atau "jarik", yaitu kain bathik yang ukuran panjangnya 2,25 m hingga 2,50 m dengan lebar 1,10 m, yang terbuat dari bahan mori katun. Pada kedua pinggiran lebar kain tersebut terdapat "seret" atau "untu walang" sebagai pembatas motif kain. Apabila dipakai, salah satu "untu walang" tersebut dilipat kecil yang disebut "wiron".

2. Kain Bathik untuk "kampuh" atau "dodot"

Kampuh atau dodot ini berupa sinjang yang lebarnya 2x lebar kain "jarik". Karena merupakan sambungan dari dua "jarik" maka disebut dua "lirang", sehingga panjangnya menjadi 3,75 m hingga 4 m dengan lebar 2,2 m. Di tengah kain kampuh terdapat

"blumbangan" polos putih atau dikelir warna, berbentuk belah ketupat.

Kampuh yang berada di Karaton Surakarta mempunyai dua jenis yaitu "kampuh blenggen" dan "kampuh lugas". "Kampuh blenggen" adalah yang pinggimya memakai "gombyok" yang terbuat dari benang lusi dari kain tersebut.

Dalam tatanan berbusana di dalam Karaton Surakarta kedua "kampuh" atau "dodot" ini dikenakan dalam paso-wanan. Karena motif bathik dalam "kampuh" atau "dodot" tersebut menunjukkan tinggi rendahnya golongan.

Tatanan dalam berbusana yang menggu-nakan motif kain bathik sebagai tanda kepangkatan seperti itu sebenarnya telah ada sejak Kerajaan Mataram masa Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada saat itu motif bathik digunakan sebagai tanda golongan keprajuritan. Tatanan itu kemudian dikembangkan lagi oleh Pakoe Boewono IV di Surakarta, dan disempur-nakan oleh Pakoe Boewono X dengan menambah motif lain untuk golongan-golongan kepangkatan yang dibutuhkan kerajaan.

B. BUSANA JAWI JANGKEP

Berbusana dalam "pasowanan" di Karaton Surakarta ada tatanan yang harus diperhatikan. Tatanan tersebut berdasar pada "dhawuhdalem" atau perintah raja, yaitu berbusana di dalam Karaton harus disesuaikan dengan pangkat yang disandang pemakainya. Untuk busana yang dikenakan oleh kaum laki-laki di dalam Karaton ada dua macam, yaitu busana Jawi Jangkep dan busana kampuhan atau dodotan. Yang dimaksud dengan busana Jawi Jangkep adalah busana Jawa secara lengkap, yang terdiri dari udheng, baju krowok, sabuk, epek, kain bathik, setagen, keris dan selop atau "cenela".

UDHENG

(3)

Di dalam masyarakat umum udheng juga disebut dhestar atau blangkon. Udheng ini dikenakan sebagai penutup kepala. Bahan yang digunakan untuk mem-buat udheng adalah jenis kain bathik atau kain "celupan" dengan motif sekaran. Jenis "udheng" atau dhestar dibagi menurut motif bathik yang dipergunakan ada empat macam :

1. Udheng Byur, yaitu udheng yang pinggirnya memakai "kemada" (strip) bathik bermotif semenan, lereng atau ceplokan.

2. Udheng Tengahan, yaitu udheng yang memakai pinggiran "kemada" (strip) atau seret, di tengahnya didasari warna putih atau polos yang dibatasi garis atau "rintik" (titik-titik). Sedangkan motif bathik yang dipergunakan adalah latar putih atau latar ireng, bisa juga dengan motif ceplokan.

3. Udheng Modang, yaitu udheng yang pinggirnya memakai kemada atau seret dan belakangnya memakai "umpak". Motif bathik yang dipergunakan dalam udheng ini adalah bathik modang, pangkur, ceplokan maupun lerengan.

4. Udheng Celeng, yaitu udheng yang pinggirnya memakai kemada, di bagian belakang memakai umpak dan di tengahnya hitam polos. Motif bathik yang dipergunakan dalam udheng celeng adalah motif semenan, ceplok, lerengan.

5. Udheng Sekaran, yaitu udheng yang menggunakan motif bathik kembang atau bunga-bungaan. Jenis udheng sekaran ini ada 5 macam, yaitu:

1. Udheng Irawan, udheng sekaran yang pinggirnya memakai kemada dengan bathik umpak, sedangkan di tengahnya memakai bathikan cemukiran dengan corak latar putih. Antara umpak dengan

bathikan cemukiran dibuat sekaran hijau atau violet. 2. Udheng Kembangan, udheng

ini bermacam-macam jenisnya menurut warna yang digu-nakan. Jika warnanya hijau dengan tengah berwarna putih disebut Gadhung Melati, warna biru dengan tengah putih disebut Bangun Tulak.

3. Udheng Rintik, warna dan namanya sama dengan udheng kembangan tetapi pinggirannya memakai "jumputan" kurang lebih 2 cm, sedangkan motif bathik yang dipergunakan adalah regulon, tapak dara, cengkehan, dan kembang jeruk. 4. Udheng Jumputan, yaitu

udheng yang memakai kembangan dari jumputan. 5. Udheng Wulung, yaitu udheng

yang warnanya polos byur tanpa bathikan dan kembangan, biasanya berwarna hitam atau biru tua. Udheng yang ada di dalam masyarakat Jawa ini jika dibagi menurut bentuk pema-kaiannya juga ada 5 macam, Udheng Meretan, Udheng Jeplakan, Udheng Tampen, Udheng Kodhok Bineset dan Udheng Cakraman.

6. Bentuk Meretan, jenis udheng maretan ini ada 5 macam, yaitu :

1. Udheng Meretan Prabawan, yaitu Udheng Meretan dengan sunglon runcing letaknya di tengah satu dan wiron dibuat menurut kese-nangan pemakai. 2. Udheng Meretan Tumpangsari,

yaitu udheng meretan dengan ujung wiron atas kiri menum-pang pada ujung wiron atas kanan, lebarnya 2 cm.

3. Udheng Meretan Adu Mancung, yaitu udheng meretan yang ujung wiron atas kiri dan kanan bertemu.

(4)

4. Udheng Meretan Pletrekan, yaitu udheng meretan yang pertemuan wironnya sampai tutup samping dan tidak masuk ke sunglon.

5. Udheng Meretan Chatheman, udheng meretan yang perte-muan wironnya agak menurun ke bawah dekat dengan alis mata.

7. Bentuk Jeplakan, yaitu udheng yang menyerupai udheng meretan, tetapi kuncungnya ditarik ke belakang sampai di atas gelung, lalu ditata diberi isen-isen dari rotan dan pojoknya diurai.

8. Bentuk Tanipen, yaitu udheng yang-bagian depannya seperti meretan, dengan kuncung ditarik ke bela-kang, dilempit ujungnya di atas menumpang mondholan, kemudian ditalikan dengan sisa ujung udheng. 9. Bentuk Kodhok Bineset, seperti

bentuk meretan tapi kuncungnya ditarik sampai ke mondholan dan ujungnya jatuh di belakang.

10. Bentuk Cakraman, udheng dilipat separo terbelah miring, dilipat membujur, lebarnya separo. Cara memakainya mulai dari depan kepala melingkar kebelakang kepala. Lalu ujungnya sampai depan ditalikan, sisanya dibuka seperti jebehan kecil.

Sedangkan udheng yang dike-nakan di dalam busana pasowanan Karaton mempunyai dua bentuk yaitu Udheng Jebehan dan Udheng Cekok Mondhol. Aturan pemakaian Udheng ini disesuaikan dengan kedudukan dan pangkat dari pemakainya, sebagai berikut :

- Udheng Jebehan, udheng ini khusus dipakai untuk para putra dan sentana dalem saja, mulai yang ber-pangkat Pangeran Putra yang bergelar KGPH sampai dengan kerabat yang belum mempunyai kepangkatan atau yang masih Raden Mas (RM).

- Udheng Cekok Mondhol, udheng ini nama lengkapnya disebut "cekok mondhol mawi kuncung", diperun-tukkan para abdidalem dari yang berpangkat Bupati Riya Nginggil yang bergelar KRHT ke bawah. Tatanan penggunaan udheng ini mulai diberlakukan pada saat Surakarta dalam pemerintahan Pakoe Boewono IV pada tahun Je 1734 Jawa atau 1807 Masehi. BAJU KROWOK

Pengertian baju krowok adalah baju yang bagian belakang sebelah bawah dibuat krowokan melengkung ke atas. Krowokan tersebut dipergunakan untuk penempatan keris supaya tampak rapi, tidak terlipat. Baju krowok di Surakarta ada lima macam jenis, yaitu : Baju Atelah, Baju Beskap, Baju Sikepan, Baju Takwa dan Baju Langenharjan. BAJU ATELAH

Baju atelah adalah baju yang kancingnya dari atas ke bawah persis di tengah-tengah. Di bagian lehernya memakai kenop atau canthel. Baju atelah ini terdiri dari dua jenis warna, hitam dan putih. Warna hitam dipakai pada saat pasowanan resmi, sedangkan atelah putih dipakai pada saat-saat yang setengah resmi. Aturan tersebut menyesuaikan dengan dhawuhdalem. Baju atelah ini diperuntukkan para abdidalem yang berpangkat bupati dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (KRT) ke bawah.

BAJU BESKAP

Baju beskap adalah baju yang kancingnya berada di depan dan ber-bentuk tangkepan dari kanan ke kiri. Kancing baju tersebut tersusun miring dengan kancing paling atas di bagian dada kiri atas, dan kancing paling bawah di depan perut tengah.

Baju beskap ada beberapa warna, beskap warna hitam dipakai oleh para putra dan sentanadalem saja.

(5)

Sedangkan bagi abdidalem hanya yang berpangkat Bupati Riya Nginggil yang bergelar KRHT.

Baju beskap yang berwarna selain hitam, seperti krem, kuning gading, hijau, biru muda, abu-abu atau lainnya boleh dipakai siapa saja. Karena beskap yang warnanya bukan hitam termasuk busana Jawi Jangkep Padintenan (harian) atau tidak untuk busana resmi.

BAJU SIKEPAN

Bentuk baju sikepan seperti baju atelah tetapi kancingnya hanya merupakan fantasi. Karena pem-buatannya sengaja tidak mengukur kancing yang ditelangkupkan. Jadi baju ini kancingnya terbuka atau "mbledheh". Baju Sikepan dipakai dengan menggunakan "Rangkepan" (baju dalam) berupa baju berwarna putih dengan kerah tegak dan kancing atasnya hingga leher. Baju sikepan yang diper-gunakan di dalam Karaton warna dasarnya hanya hitam. Sedangkan untuk baju krowok sikepan yang ber-warna selain hitam tidak diperkenankan untuk pasowanan.

Golongan pangkat yang sudah berhak memakai baju sikepan ini adalah para putra dan sentanadalem yang sudah berpangkat Bupati Riya Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Mas Haryo (KRMH) ke atas sampai Pangeran Putra, atau untuk golongan abdidalem yang sudah menjadi Bupati Riya Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Haryo Tumenggung (KRHT) saja. Bagi para abdidalem yang masih berpangkat bupati ke bawah tidak diperkenankan memakainya.

Baju sikepan ini apabila dipakai dengan busana Jawi jangkep disebut "sikepan cekak". Sedangkan kalau dipakai dengan kampu atau dodotan disebut "sikepan ageng". Di dalam Karaton Surakarta baju sikepan dike-nakan jika ada dhawuh atau perintah untuk pasowanan-pasowanan, seperti:

Pada saat Pasowanan Agung Tingalan dalem Jumenengan yaitu pasowanan untuk memperingati ulang tahun kenaikan tahta Ingkang Sinuhun.

Pasowanan Garebeg dalam setahun tiga kali yaitu, garebeg Maulud, garebeg Pasa dan garebeg Besar. Garebeg Maulud jatuh pada tanggal 12 Maulud (Rabingulawal), dalam rangka memperingati kela-hiran Nabi Muhammad SAW, Karaton Surakarta mengeluarkan hajat dalem gunungan ke Masjid Agung.

Garebeg Pasa jatuh pada tanggal 1 Sawal, pada Hari Raya Idul Fitri, juga mengeluarkan hajatandalem gunungan ke Masjid Agung.

Garebeg Besar jatuh pada tanggal 10 Besar (Dzul hijah) dalam mem-peringati Hari Raya Idul Adha, pada saat hajat dalem gunungan ke Masjid Agung. Diluar dari ketentuan yang sudah ada, baju sikepan ini tidak dipakai dalam pasowanan di Karaton pada Paso-wanan yang lain digunakan adalah baju Beskap. BAJU TAKWA

Baju takwa ini hanya diper-gunakan oleh Ingkang Sinuhun saja. Sebutan takwa dimaksudkan dengan beriman kepada Tuhan. Baju ini ber-bentuk seperti beskap, hanya ujung baju depan bagian kanan lebih panjang dibanding dengan ujung yang kiri dan berbentuk lancip atau runcing. Baju takwa memakai bahan dari jenis beludru halus polos atau berkembang. Pada saat ini di luar Karaton baju takwa sering dipakai untuk busana pengantin pria.

BAJU LANGENHARJAN

Baju Langenharjan bentuknya seperti tuxedo atau jas pendek model Eropa, hanya saja di bagian belakang sebelah bawah dikerowok untuk penempatan keris. Baju ini tidak dipakai

Referensi

Dokumen terkait

%elain rumah sehat dan jamban, sarana sanitasi lain yag diperiksa di antaranya %/B, %/L dan tempat pengolahan sampah. Dari hasil pemeriksaan yang

(1) Apabila cedera yang diuraikan dalam Pasal 2 merupakan sebab langsung dari kematian Tertanggung dalam jangka waktu 365 hari sejak tanggal terjadinya

Sebelum menguraikan secara khusus mata kuliah bahasa Inggris di program studi Sekretaris, terlebih dahulu penulis akan menunjukkan sebaran kurikulum secara umum sesuai dengan

o Bagaimana reaksi anak (kakak maupun adik) saat ibu berada dekat dengan?.

Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui ketuntasan belajar siswa melaui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPSpada materi penjumlahan pecahan di kelas V SDN 18

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar matematika setelah menggunakan meteran sebagai alat peraga

Indikator Kinerja Kegiatan 001 Jumlah Penyelesaian Administrasi Perkara (yang Sederhana, dan Tepat Waktu) Ditingkat Pertama dan Banding di Lingkungan Peradilan Agama (termasuk

Hasil yang diperoleh bahwa daya dukung limbah tanaman pangan di Kota Parepare dapat menampung dan menyediakan pakan untuk kebutuhan ternak sapi potong berdasarkan hasil