• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul : Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul : Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Penulis memilih judul :“Manifestasi Asas Nasional Pasif dalam Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dalam rangka Melindungi Nelayan Tradisional Indonesia yang Berhak Mencari Ikan di Perairan Laut Australia” degan alasan-alasan sebagai mana dikemukakan di bawah ini.

Daerah perairan laut dimana nelayan-nelayan Indonesia mencari sumber daya laut seringkali memumculkan masalah mengenai pelanggaran batas wilayah negara yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai transborder fishing.

Satu permasalahan yang berkaitan dengan itu dalam skripsi ini adalah adanya tudingan illegal fishing, dilakukan nelayan Indonesia di perairan yang belakangan diklaim sebagai wilayah Australia.

Adapun permasalahan dimaksud adalah penangkapan nelayan-nelayan Indonesia yang mencari ikan di daerah perairan laut bagian Utara Australia oleh aparat berwenang atau otoritas Australia. Alasan di balik penangkapan oleh otoritas Australia tersebut adalah antara lain demi melindungi lingkungan yang menjadi tempat pemancingan dan tuduhan bahwa nelayan Indonesia melakukan illegal fishing atau

pencurian ikan1. Kelanjutan dari penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh pihak

Australia adalah ketika para nelayan tersebut menjalani proses hukum di Australia

                                                                                                                         

1 Sementara alasan lain masih ada, yaitu bahwa para nelayan Indonesia tersebut ada yang diduga membawa atau menyelundupkan imigran gelap kedalam wilayah kedaulatan negara Australia.

(2)

kapal-kapal atau peralatan para nelayan tradisional itu, yang dipakai untuk mencari nafkah, disita dan banyak yang dibakar atau ditenggelamkan. Sementara, nilai rupiah dibalik kapal-kapal tersebut sangat banyak bagi ukuran orang Indonesia kebanyakan. Padahal, dalam MoU 1974 antara Indonesia dan Australia telah menyepakati daerah-daerah perairan laut yang dapat dijadikan titik pemancingan ikan oleh nelayan Indonesia. Dalam MoU itu diakui hak perikanan tradisional harus dihormati, dimiliki nelayan-nelayan Indonesia karena hukum mendikte, unsur historis.

Berkaitan dengan apa yang telah Penulis kemukakan di atas, daerah yang boleh dijadikan titik pemancingan nelayan Indonesia di sebut “Eksklusif Fishing Zone” , disebut diartikan sebagai, the zone of waters extending twelve miles seaward off

baseline from which the territorial sea of Australia is measured.2

Daerah-daerah yang termasuk dalam zona perikanan eksklusif atau exclusive

fishing zone tersebut adalah Ashmore Reef (Pulau Pasir) (Latitude 12° 15’ South,

Longitude 123° 03’ East), Cartier Islet (Latitude 12° 32’ South, Longitude 123° 33’ East), Scott Reef (Latitude 14° 03’ South, Longitude 121° 47’ East), Seringapatam Reef (Pulau Datu) (Latitude 11° 37’ South, Longitude 122° 03’ East), Browse Islet (Latitude 14° 06’ South, Longitude 123° 32’ East)3.

                                                                                                                         

2 Appendix B: Memorandum of Understanding Between the Government of Australia and the

Government of Republic of Indonesia Regharding the operation of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australian Exklusive Fishing Zone and Continental Shelf.

3 Ibid.  

(3)

Berikut di bawah ini penulis visualisasikan daerah yang diperbolehkan oleh MoU kepada para nelayan tradisional Indonesia untuk melaksanakan hak mereka melanjutkan tradisi nenek moyang mereka yang telah berlangsung turun-temurun mencari ikan di wilayah perairan tersebut.

Gambar dari wilayah (peta) dimaksud dapat dilihat di bawah ini. Gambar 1 :

Co-ordinates of MOU Area (‘The Box’)

4

Dalam MoU tersebut, nelayan-nelayan Indonesia diperbolehkan, dan dengan demikian dapat Penulis katakan sebagai berhak, mengambil sumber daya laut di Zona Perikanan Eksklusif.

Menurut MoU tersebut, para nelayan Indonesia yang disebut sabagai nelayan-nelayan yang tergolong dalam kategori nelayan-nelayan tradisional adalah:

“the fisherman who have traditionally taken fish and

sedentary organism in Australian waters by methods which have been the tradition over decades of times.5

                                                                                                                         

4 Appendix C: Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Australia and Indonesia on Fisheries (29 April 1989).

5 Ibid. Penulis belum menemukan MoU 1974 dalam penelitian, pengumpulan data, kecuali Appendix dari MoU tersebut suatu hal yang janggal. Namun, dalam UNCLOS 1982 Pasal 51, Indonesia maupun Australia sudah meratifikasi, menyatakan secara tegas bahwa negara kepulauan berkewajiban menghormati hak nelayan tradisional untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah teritorialnya.

(4)

Banyak catatan sejarah menunjukan bahwa jauh sebelum MoU, nelayan-nelayan Indonesia sudah mempunyai kebiasaan melaut hingga memasuki daerah sekitar wilayah perairan laut Indonesia – Australia. Nelayan-nelayan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti nelayan yang berasal dari Madura, Sulawesi Selatan (Bugis Makasar), Nusa Tenggara Timur, terutama nelayan dari pulau Rote dan masih banyak lagi, sering melaut hingga sekitar Perairan Utara Australia.

Kegiatan mencari hasil laut itu, hingga saat ini masih sering dilakukan oleh para nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Sampai akhirnya, beberapa daerah menjadi titik pemancingan nelayan Indonesia6 ditetapkan secara definitive menjadi termasuk dalam yurisdiksi yang dikuasai di bawah kedaulatan negara Australia. Namun demikian, meskipun sudah ada kesepakatan tadi, yaitu kesepakatan (kontrak) antara kedua negara mengenai hak nelayan tradisional tersebut, tetapi lambat laun, hal itu menjadi masalah bagi nelayan-nelayan Indonesia untuk melaut atau melakukan aktifitas penangkapan ikan ke daerah Utara Australia karena batas negara.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Adapun ketentuan Pasal 51 secara lengkap telah dinyatakan sebagai berikut.

Existing agreements, traditional fishing rights and existing submarine cables 1. “Without prejudice to article 49, an archipelagic State shall respect existing agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them. Such rights shall not be transferred to or shared with third States or their nationals.”

Indonesia telah meratifikasi UNCLOS tanpa klasula reserfasi, sehingga Indonesia mempunyai beban yang sangat besar untuk melindungi nelayan tradisionalnya berdasarkan konvensi di atas. Seharusnya, secara timbal balik, kewajiban tersebut juga adalah hal yang harus dilakukan oleh Australia untuk menghormati hukum Internasional.

(5)

Masalah mengenai apa yang telah sementara kalangan dianggap sebagai pencurian ikan7 ini pun semakin lama mengusik pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia sehingga sekitar pada tahun 1974 kedua pemerintah tesebut bersepakat untuk mengatur hal-hal yang selama ini menjadi masalah.

Melalui instrument berupa Memorandum of Understanding between the

Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the operations of Indonesia Traditional Fishing Fishermen in area of the Australian Exklusive Fishing Zone and Continental Shell, Pemerintah Indonesia dan Australia

bersepakat mengatur mengenai daerah-daerah di sekitar Perairan Utara Australia yang boleh disinggahi untuk kegiatan mencari dan menangkap ikan oleh nelayan tradisional Indonesia dan syarat-syarat yang telah disepakati bersama, antara Indonesia dan Australia.

Sejak berlakunya MoU tersebut, secara jelas Pemerintah Australia mengakui hak perikanan tradisional yang dimiliki oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia. Namun seiring dengan perkembangan jaman khususnya perkembangan teknologi di bidang perikanan, hal itu diikuti dengan sangat pesat dan banyaknya alat bantu penangkap ikan yang dapat memperbesar tangkapan para nelayan Indonesia.

Perkembangan teknologi tersebut lambat laun menjadi permasalahan bagi pemerintah Australia, karena mereka (Pemerintah Australia) menganggap akan terjadi

over fishing di daerah perairan mereka yang dapat mengganggu ekosistem yang ada.

Menjadi permasalahan menurut pemerintah Australia adalah penyelundupan nelayan besar yang menggunakan kapal bermesin serta alat penangkap ikan modern.

                                                                                                                         

7 Belum tentu, dari prespektif MoU sebagai Pencurian, dan dalam perspektif yang demikianlah skripsi ini disusun.

(6)

Dalam kaitan dengan uraian di atas, selain MoU 1974, kedua Negara juga telah menandatangani Perjanjian Ekstradisi pada tanggal 22 April 1992. Kedua instrumen tersebut di atas, mestinya merupakan instrument-instrumen yang diharapkan dapat menjadikan pedoman dalam mengatasi masalah-masalah perbatasan wilayah laut negara dan dalam hal ini meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi meningkatnya pelanggaran hukum serta ketegangan antara dua negara yaitu ; Indonesia – Australia.

Khusus yang berkaitan dengan alasan pemilihan judul penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan Penulis ini, apakah kedua instrument hukum internasional tersebut di atas di dalamnya mengandung asas-asas hukum, spesifikasinya, terdapat manifestasi asas nasional pasif?

Pertanyaan seperti inilah yang telah menjadi alasan, yang pertama mengapa Penulis memilih judul sebagaimana telah di kemukakan di atas.

Alasan kedua, mengapa Penulis memilih judul sebagaimana dikemukakan di atas adalah bahwa selama ini, belum ada skripsi kesarjaan di Fakultas Hukum UKSW Salatiga yang secara khusus ditulis dan membicarakan atau mengkaji manifestasi asas nasional pasif dan juga asas protektif dalam instrument-instrumen internasional, khususnya, kedua instrument sebagaimana telah dikemukakan yaitu; Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia yang ditandatangani Pada 22 April 1974 dan MoU Memorandum of Understanding between the

Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the operations of Indonesia Traditional Fishing Fishermen in area of the Australian Exklusive Fishing Zone and Continental Shell.

(7)

1.2. Latar Belakang Masalah

Sebagai penyelenggara negara, Pemerintah mendapat mandat dari Undang-Undang Dasar 19458 yang tertuang pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk melindungi seluruh hak rakyatnya. Kaitannya dengan itu, hak perikanan tradisional juga merupakan hak yang telah diakui oleh pemerintah dan dalam prakteknya, rakyat, dalam hal ini para nelayan Indonesia yang sering melaut sampai ke luar wilayah NKRI memasuki wilayah laut Australia harus mendapatkan perlindungan dari Pemerintah dalam kondisi apapun.

Tugas pemberian perlindungan tersebut dengan demikian adalah suatu tugas kontraktual ( konstitusional), yaitu Pemerintah mempunyai tugas untuk selalu melindungi dan memberi bantuan hukum kepada seluruh warga negaranya. Pada Pasal 28 I Ayat (4) Ketetapan MPR RI tentang Perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Kemudian Pasal 28 I Ayat (5) disebutkan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin dan diatur dalam perundang-undangan.9

Salah satu hak yang dimaksud pada Pasal 28 I adalah hak –hak yang disebutkan pada ketentuan Pasal 28 D Ayat (1) Ketetapan Mpr-RI tentang Perubahan UUD 1945 bahwa setiap orang berhak atas pengakuan yang sama dihadapan hukum. Sebagai tambahan, dalam Pasal 28 G diatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri

                                                                                                                         

8 Mestinya, yang benar adalah ketetapan MPR – RI tentang Amandemen Keempat atas UUD 1945. 9 Ketetapan MPR – RI tentang Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar 1945.

(8)

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu merupakan hak asasi.10

Para nelayan merupakan warga negara Indonesia yang sah serta memiliki hubungan timbal balik secara langsung dengan negara. Hubungan negara serta warga negara dapat diibaratkan ikan dan air; keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat.11 Negara Indonesia sesuai dengan Konstitusi memiliki kewajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Sebaliknya sebagai warga negara juga harus dapat memenuhi kewajibannya sebagai warga negara kepada negaranya. Dengan kata lain rakyat Indonesia sesuai dengan apa yang telah diatur dalam hukum internasional kontenporer, individu-individu dalam hal-hal tertentu, juga dipandang sebagai subyek hukum internasional, dalam arti menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional.12

Hal tersebut negara pun memperoleh yurisdiksi terhadap individu yang bergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum. Kualitas ini dapat membenarkan suatu negara atau negara-negara menjalankan yurisdiksinya apabila orang itu dalam kekuasaan negara, dan proses peradilan dapat dilaksanakan

                                                                                                                          10 Ibid.

11 Azra Azyumardi, Hidayat Komaruddin, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, hlm. 93.

12 Arie Siswanto SH.MHum., Jumiarti SH., MHum., Lazarusli Budi SH. MH., Hukum Internasional Bagian 1, Salatiga : FH UKSW. 2009, hlm. 50. Sistem penulisan catatan kaki dalam skripsi ini sengaja Penulis sertakan gelar akademik untuk menunjukan bahwa rujukan yang dikutip adalah mereka yang secara akademik mumpuni, dilihat dari gelar akademik. Penulisan tanpa gelar dilakukan Penulis dalam Daftar Kepustakaan.

(9)

terhadapnya. Hal ini umumnya terjadi apabila seorang individu memasuki wilayah negara tersebut baik secara sukarela maupun akibat ektradisi.

Dalam hukum internasional dewasa ini salah satu prisnsip yurisdiksi yang dianut sebuah negara adalah prinsip nasional pasif.13 Prinsip ini membenarkan suatu negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian. Hukum internasional mengakui prinsip ini tetapi dengan beberapa pembatasan.14

Dalam kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas maka Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri bertugas memberikan perlindungan hak dan bantuan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia yang terkena proses hukum, Biro Pelayanan dan Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia.

Dalam Undang-Undang tentang Hubungan Luar Negeri, khususnya Pasal 19 huruf (b) dikatakan bahwa kewajiban perwakilan Republik Indonesia adalah memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.15

Selanjutnya Penjelasan Pasal 19 huruf (b) disebutkan bahwa perlindungan dan bantuan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal tersebut termasuk pembelaan terhadap warganegara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan, termasuk perkara di pengadilan.

                                                                                                                         

13 Starke,J.G., Pengantar Hukum Internasional. edisi kesepuluh. Jakarta. Sinar Grafika : 1989. hlm 302-303.

14 Ibid 303.

(10)

Begitu pula ketentuan Pasal 21 disebutkan bahwa dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, perwakilan Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun meraka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara.16

Kewajiban Pemerintah Indonesia melindungi warga negaranya dengan menggunakan prinsip nasional pasif17, melindungi warga negara Indonesia yang menjadi korban tindak pidana di luar Indonesia oleh warga negara lain, dengan utilasi asas nasional pasif berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, Penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.3. Rumusan Masalah

Bagaimana manifestasi asas nasional pasif dalam perjanjian ekstradisi dalam rangka melindungi nelayan tradisional Indonesia yang berhak mencari ikan di wilayah perairan laut Australia?

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui manifestasi asas nasional pasif dalam perjanjian ekstradisi dalam rangka melindungi nelayan tradisional Indonesia yang berhak mencari ikan di wilayah perairan laut Australia.

                                                                                                                          16 Ibid.

(11)

1.5. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah metode penelitian hukum. Tidak lain, metode demikian digunakan dengan maksud untuk mencari dan menemukan asas-asas dan kaedah-kaedah hukum, terutama asas nasional pasif dalam perjanjian ekstradisi, maupun MoU dan lain-lain, misalnya UNCLOS yang telah diratifikasi dengan Udang-Undang No 17 tahun 1985 diadakan dalam rangka melindungi nelayan tradisional Indonesia.

Adapun yang menjadi satuan amatan adalah Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia tanggal 22 bulan April tahun 1992 yang ditandatangani oleh Ali Alatas dan Philip Flood serta Memorandum of

Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the operations of Indonesia Traditional Fishing Fishermen in area of the Australian Exklusive Fishing Zone and Continental Shell

tahun 1974, dalam rangka melindungi seluruh warga negara Indonesia yang terkena permasalahan hukum di luar negeri.

Menjadi unit analisa adalah asas-asas dan kaedah-kaedah hukum, termasuk manifestasi asas nasional pasif dan asas protektif dalam rangka perlindungan nelayan tradisional Indonesia yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah perairan laut Australia.

Gambar

Gambar dari wilayah (peta) dimaksud dapat dilihat di bawah ini.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun situasi yang dihadapi sangat berbeda-beda dalam suatu proses pengambilan keputusan, akan tetapi secara garis besar dibagi dalam tiga tahapan, yaitu: mengenali dan

Tuhan Yesus Kristus sebagai bentuk pertangung jawaban saya terhadap talenta yang diberikanNya. Serta kepada kedua orang tua saya yang selalu menyebutkan nama saya dalam

Gangguan tidur yang dialami lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru antara lain jumlah jam tidur yang kurang dari 5 jam, sulit untuk memulai tidur,

Hasil kajiannya menyebutkan bahwa penggunaan teknik kolom dengan pembesaran di bagian kepala kolom dapat mengurangi deformasi vertikal akibat pengembangan, juga

Kemudian dalam putusan pengadilan disebutkan adanya obyek sengketa yang berupa sertipikat hak atas tanah diputus oleh majelis hakim menjadi tidak berkekuatan hukum,

Selain itu bijih emas akan mempunyai luas permukaan yang lebih besar, sehingga pada saat proses sianidasi logam emas Au akan lebih sering terjadi kontak dengan

Rangkaian misteri yang membangun cerita, cara kerja detektif yang membuat perasaan tegang dan menebak-nebak hingga pemecahan kasus yang tidak terduga yang merupakan

Dengan pembedaan antara rasio murni dengan rasio praktis (yang akan dijelaskan dibawah ini), maka Kant pada dasarnya ingin mengatakan bahwa yang mampu menembus