• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN IKATAN PUSTAKAWAN INDONESIA DALAM PENINGKATAN KUALITAS PROFESI PUSTAKAWAN INDONESIA Khosyi Alfin Maulana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN IKATAN PUSTAKAWAN INDONESIA DALAM PENINGKATAN KUALITAS PROFESI PUSTAKAWAN INDONESIA Khosyi Alfin Maulana"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN IKATAN PUSTAKAWAN INDONESIA DALAM

PENINGKATAN KUALITAS PROFESI PUSTAKAWAN

INDONESIA

Khosyi Alfin Maulana

Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok,16425

e- mail : maulana.khosyi@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai tentang peran Ikatan Pustakawan Indonesia dalam peningkatan kualitas profesi pustakawan Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana IPI dalam menjalankan perannya sebagai organisasi profesi untuk meningkatkan kualitas profesi pustakawan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peran IPI dalam meningkatkan kualitas profesi pustakawan meliputi perannya dalam penegakan kode etik, peningkatan kesejahteraan pustakawan dan pendidikan profesi pustakawan. Untuk penegakan kode etik, IPI melakukan penyusunan dan mensosialisasikan kode etik, namun untuk pengawasannya masih belum dilakukan IPI. Untuk meningkatkan kesejahteraan profesi pustakawan dilakukan IPI melalui jalur advokasi peraturan yang menguntungkan bagi pustakawan dan perpustakaan. IPI berperan pula dalam pendidikan profesi pustakawan.

Kata Kunci :

Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), organisasi profesi, kode etik, kesejahteraan pustakawan dan pendidikan profesi.

ABSTRACT

This Research discusses about the role of Indonesian Library Association (IPI) to improve the quality of Indonesian librarian. The Purpose of this research is to explain how IPI does it roles to improve the quality of Indonesian Librarians. This research uses qualitative approach with case study method. The result this research shows that the role of IPI to improve the quality of Indonesian librarian involve the enforcements code of ethics, improvement of the quality of librarian welfare and professional education. To enforce the code of ethics IPI does compose and socialize the code of ethics however it’s monitoring not yet done by IPI. To improve the quality of librarian welfare IPI does Advocacy to the rules which is to the benefit of the librarians and the Libraries. IPI also has a role in library education.

Kata Kunci :

Indonesian Library Association (IPI), professional organization, code of ethics, Librarian welfare and professional education

(2)

1. Pendahuluan

Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan Perpustakaan.(Anggaran Dasar Ikatan Pustakawan Indonesia, 2012) Apakah Pustakawan merupakan pekerjaan atau profesi? Pertanyaan tersebut pada mulanya jawabannya masih dijadikan sebuah perdebatan. Pustakawan dipandang lemah untuk dikatakan sebagai sebuah profesi karena kurangnya dukungan ilmu pengetahuan yang berbasis sebuah riset atau penelitian. Di sisi lain perpustakaan dipandang kuat untuk dikatakan sebagai profesi karena sebuah profesi berorientasi pada jasa dan perpustakaan menyediakan jasa informasi atau memberikan layanan.

Salah satu ciri dari sebuah profesi adalah adanya sebuah organisasi profesi tersebut. Ikatan Pustakawan Indonesia merupakan organisasi profesi pustakawan di Indonesia. Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.1 Orang-orang yang membetuk sebuah profesi disatukan oleh kesamaan latar belakang pendidikan dan keahlian yang tertutup bagi orang lain. (Bertens, 2004) Ikatan profesi dapat pula dikatakan sebagai pelindung dari profesi teresebut dan yang membuat profesi tesebut semakin dihargai, salah satunya adalah dengan meningkatkan profesionalitas.

1.1. Latar belakang

Dewasa ini jumlah pustakawan yang berlatar belakang bidang perpustakaan atau pustakawan yang disetarakan sudah lebih banyak dibanding pustakawan dengan latar belakang non perpustakaan. Hal ini tercantum dalam data perpustakaan nasional (Lihat Gambar 1).Dengan semakin banyaknya pustakawan yang berlatar perpustakaan atau minimal mendapat kursus perpustakaan tidak hanya mencerminkan kuantitas tapi juga kualitas pustakawan, artinya saat ini banyak pustakawan yang sudah terdidik.

1

Paul F. Camenisch, Grounding Professional Ethics in a Pluralistic Society, New York, Haven Publications, 1983, hlm. 48. 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 Perpustakaan Non Perpustakaan

(3)

-gambar 1 diadaptasi dari : http://pustakawan.pnri.go.id/grafik/bidang

Penjelasan ini ada hubungannya dengan keberadaan Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, termasuk ketentuan tentang perpustakaan dan penyelenggara perpustakaan. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan

Perpustakaan adalah institusi pengelola kolesi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka sedangkan pasal 2 menyebutkan perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran dan kemitraan. Akibat dari pasal-pasal

yang telah disebutkan adalah perpustakaan tidak bisa diselenggarakan secara tidak profesional. Profesionalisme menjadi kriteria yang harus diperhatikan, profesionalisme meliputi sistem penyelenggaranya maupun terutama tenaga penyelenggaranya. (Hadi : 41, 2007) Sejalan dengan Undang-Undang tersebut, salah satu tujuan IPI yang disebutkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) adalah untuk meningkatkan profesionalisme pustakawan. Penulis tertarik untuk mengungkap lebih jauh dan dalam mengenai capaian yang dilakukan IPI dalam meningkatkan profesionalisme pustakawan sejauh ini.

Dalam penelitian sebelumnya yang berjudul Sumbangan IPI terhadap

Dunia Perpustakaan di Indonesia 1973-1992 yang ditulis oleh Karmidi

Martoadmojo Ph.D, dinyatakan bahwa IPI telah berjuang dalam meningkatkan kesejahteraan pustakawan dan berpartisipasi dalam pendidikan profesi pustakawan melalui para anggotanya. Penulis melihat penelitian ini sebagai gerbang awal dalam penulisan jurnal ini.

1.2. Masalah penelitian

Dari latar belakang yang terlah dijabarkan, maka masalah dalam penelitia ini adalah bagaimana peran Ikatan Pustakawan Indonesia dalam meningkatkan kualitas profesi pustakawan Indonesia meliputi peran dalam penegakan Kode Etik Pustakawan, Peningkatan kualitas kesejahteraan dan pendidikan profesi? Serta hambatan dalam melakukan peran tersebut.

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan peran atau apa yang dilakukan IPI dalam meningkatkan kualitas profesi pustakawan Indonesia yang meliputi peran dalam penegakan Kode Etik Pustakawan, peningkatan kualitas kesejahteraan dan pendidikan profesi

2. Menjelaskan hambatan yang dialami oleh IPI dalam melakukan peran tersebut.

(4)

1.4. Tinjauan literatur Profesi Pustakawan

Sulistyo-Basuki (1991) menjelaskan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan khusus yang diperoleh dari teori dan bukan hanya saja dari praktik dan diuji dalam bentuk ujian dari sebuah universitas atau lembaga yang berwenang serta memberikan hak pada orang yang bersangkutan untuk berhubungan dengan nasabah (pengguna). Hal ini membuat sebuah profesi kini ditekankan pada sebuah pemberian jasa daripada produksi atau distibusi barang. Sulistyo-Basuki pun menjelaskan bahwa salah satu ciri dari sebuah profesi adalah adanya sebuah organisasi profesi. Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan

dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.(UU No 43 tahun

2007). Dari definisi tersebut dan ciri profesi yang disebutkan maka pustakawan merupakan sebuah pustakawan.

Peran Organisasi Profesi

Organisasi adalah sebuah kata yang terdengar tidak asing dewasa ini. Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Kesatuan sosial berarti terdiri dari orang Satu kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. (Robbins, 1994). Dalam konteks organisasi profesi maka keahlian dan nilai-nilai bersama lah yang menjadi sebuah batasan bersama yang mengidentifikasikan anggota organisasi profesi tersebut.

Ada begitu banyak pemahaman dan arti dari peran atau dalam bahasa Inggris disebut role. Untuk menjaga batasan pembahasan penulisan ini penulis menuliskan beberapa definisi peran dan menyimpulkannya. The function a person

performs when occupying a particular characteristics (positions) within a particular social context ( Shaw&Constanzo, 1982 : 296 ). Maksud Shaw dan

Costanzo, peran adalah fungsi yang ditampilkan atau dijalankan oleh seseorang dalam posisi tertentu dan konteks sosial tertentu. Geerken & Gove mendefinisikan

role sebagai is simply the set of cultural expectations attached to a position

(Geerken&Gove, 1983 :14) Maksudnya adalah sebuah peran hanyalah separangkat harapan budaya yang melekat pada sebuah posisi. A set of norms that

defines how people in a given social position ought to behave(Myers, 1988 : 192 )

Maksud dari Myers adalah seperangkat norma yang menjelaskan bagaimana orang-orang yang diberikan posisi sosial harus berperilaku

Peran atau role dalam Kamus Online Cambridge diartikan sebagai the

position or purpose that someone or something has in a situation, organization, society or relationship. Artinya, peran adalah tujuan seseorang atau sesuatu dalam

(5)

Dari definisi-definisi di atas, penulis mengaitkan sebuah peran dengan fungsi dan tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang yang dalam hal ini adalah organisasi profesi di dalam masyarakat. Penggunaan kata “di dalam masyarakat” sangat erat kaitannya dengan manfaat apa yang bisa diberikan oleh sebuah ikatan profesi terhadap masyarakat khususnya profesi tersebut.

Organisasi profesi bertujuan untuk memajukan profesi serta meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Peningkataan kesejahteraan anggotanya berarti organisasi profesi terlibat dalam mengamankan kepentingan ekonomis anggotanya (Sulistyo-Basuki, 2001). Hermawan dan Zen menjelaskan paling tidak terdapat tiga peran yang diemban oleh organisasi profesi. Pertama, Organisasi profesi yang akan menjamin kompetensi profesional anggota profesi. Organisasi profesi ikut bertanggungjawab dalam peningkatan mutu atau kualitas kompentensi profesinya dengan cara menentukan persyaratan-persyaratan dan norma-norma minimal yang akan menjadi standar kompetensi bagi anggota profesi.

Selanjutnya yang kedua, organisasi profesi dapat berperan mengawasi kegiatan dan tingkah laku para anggota profesi dengan cara menyusun kode etik, tata tertib bagi anggotanya, lengkap dengan sanksi-sanksi yang diperlukannya. Organisasi profesi harus dapat dan berani mengoreksi para anggotanya yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam etika profesi. Ketiga organisasi profesi dapat meningkatkan mutu dan status profesi dengan mengadakan berbagai kegiatan organisasi. Organisasi profesi harus turut mendorong dan ikut bertanggungjawab atas peningkatan mutu dan status profesi. Dengan demikian organisasi profesi memegang peranan penting dalam menjamin kompetensi, tingkah laku dan peningkatan mutu serta status profesi.

Peningkatan Kualitas Profesi Pustakawan

Kualitas dan mutu adalah dua kata yang pengertiannya sama. Menurut J. Murry Lee (Hermawan, 1979:19) untuk meningkatkan mutu atau kualitas profesi terdapat lima kesadaran profesi. Pertama, pelayanan profesi mengemban tugas untuk kepentingan masyarakat. Adanya kesadaran ini diharapkan para anggota profesi menyadari bahwa prioritas dalam menjalankan tugasnya adalah pelayanan kepada masyarakat penggunanya. Setiap profesi telah membuat pedoman perilaku anggota, yang berisi aturan tingkah laku bagi anggota profesi, baik kehidupan pribadinya (personal life) maupun dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari (antar sesama anggota profesi dan anggota profesi dengan masyarakat penggunanya) yang dituangkan dalam kode etik profesi. Kedua, tanggungjawab profesi hendaknya dibina sedini mungkin. Kesadaran akan tanggungjawab sebagai anggota profesi hendaknya dibina sedini mungkin mulai pada saat seseorang memasuki lembaga pendidikan profesi, kemudian waktutu melaksanakan tugas dan dalam berbagai pendidikan dan pelatihan keprofesian. Melalui pembinaan tersebut diharapkan pemahaman dan penghayatan terhadap kode etik profesi terus meningkat sehingga sikap dan tingkah laku profesi menjadi perilaku sehari-hari.

Ketiga, profesi menuntut kompetensi intelektual dan keterampilan profesional yang cukup tinggi. Kesadaraan ini tidak hanya untuk calon anggota profesi yang sedang dibina di perguruan tinggi/universitas atau lembaga pendidikan profesi tetapi juga bagi anggota profesi lainnya. Kemudian dilakukan

(6)

pembinaan secara terus-menerus selama mereka menjadi anggota profesi. Melalui peningkatan kesadaran ini diharapkan, setiap anggota profesi terdorong untuk selalu meningkatkan mutu atau kualitas dirinya sendiri dan organisasi profesi. Dengan adanya kesadaran ini, diharapkan adanya peningkatan kompetensi intelektual dan keterampilan, yang berarti, akan menumbuhkan rasa bertanggungjawab bagi setiap anggota profesi dalam meningkatkan harkat, martabat dan wibawa profesi. Keempat, adanya jaminan terhadap masyarakat bahwa profesi mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Setiap anggota profesi untuk dapat melaksanakan tugasnya harus mempunyai kesanggupan dan kemampuan serta jaminan kepada masyarakat bahwa mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Seseorang untuk dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai anggota profesi harus dapat memenuhi syarat-syarat dan keterampilan keprofesian. Jaminan ini biasanya dalam bentuk pengakuan pemerintah, lazimnya berbentuk sertifikat, yang dapat berfungsi sebagai lisensi untuk dapat melaksanakan tugas sebagai seorang profesional. Hal ini biasanya menjadi tanggungjawab perguruan tinggi/universitas atau lembaga pendidikan lainnya. Kelima, berorganisasi untuk kepentingan profesi. Perlu adanya kesadaran berorganisasi bagi setiap anggota profesi. Kesadaran ini harus terus dibina dan digalakkan karena organiasi profesi akan berfungsi sebagai wadah untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas serta pertumbuhan kemampuan anggota profesi. Kegiatan-kegiatan organisasi profesi, seperti olahraga, kesenian dan lain-lain yang dilakukan secara bersama-sama akan menjadi sarana yang sangat efektif dalam mempopulerkan profesi tersebut.

Dari penjabaran di atas penulis mengkhususkan peran IPI dalam meningkatkan kualitas pustakawan pada penegakan kode etik, kualitas intelektual melalui pendidikan dan kompetensinya, serta kualitas hidup atau kesejahteraan, baik kesejahteraan berupa pengakuan ataupun berupa tunjangan. Pilihan penegakan kode etik didasari bahwa tanda seorang pustakawan sudah memiliki kualitas yang baik adalah denga menjalankan kewajiban dan bertingkah sesuai dengan kode etik. Selain itu pula didasari oleh UU no.43 tahun 2007 pasal 36 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan kode etik sebagaimana dimaksud pasal 35 huruf b

berupa norma atau aturan yang harus dipatuhi oleh setiap pustakawan untuk menjaga kehormatan, martabat,citra dan profesionalitas. Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat secara spesifik sanksi pelanggaran kode etik dan mekanisme penegakan kode etik. Pasal ini dapat dimaknai bahwa penegakan kode

etik dilakukan untuk kepentingan profesionalitas artinya untuk peningkatan kualitas pustakawan juga.

Ikatan Pustakawan Indonesia

Sejarah Organisasi Perpustakaan atau organisasi di bidang pusdokinfo cukup panjang. kesadaran akan perlunya suatu organisasi pustakawan di Indonesia bermula di Batavia pada tahun 1912 yang diprakarsai oleh Dr. H.J van Lummel, guru pada HBS Koning Willem III di Batavia. Dalam pertemuan para peminat perpustakaan itu dibicarakan berbagai masalah kewirapustakaan, seperti katalogisasi, perlunya perpustakaan sentral, pelayanan refrens dan perlunya wadah pustakawan. Implikasinya adalah lahirnya Vereeniging tot Bevordering van het

(7)

(1916). Pada tahun 1952-1953 A.G.W Dunningham seorang ahli perpustakaan dari UNESCO melakukan sebuah penelitian mengenai dunia perpustakaan di Indonesia. Penelitian tersebut menggambarkan perkembangan spektakuler dunia perpustakaan Indonesia dan menyatakan keberadaan persatuan ahli perpustakaan Indonesia sangat penting dalam pengembangan perpustakaan di Indonesia. Dunningham pun mengusulkan adanya pertemuan pegawai-pegawai perpustakaan se-Indonesia untuk membicarakan kemungkinan terbentuknya sebuah organisasi pustakawan di Indonesia. Pertemuan tersebut pun terselenggara pada bulan Mei 1953 dan setelah pertemuan tersebut tepatnya 4 Juli 1953 berdirilah Asosiasi Perpustakaan Indonesia. Setelah berdirinya API, berdiri pula PAPSI (Persatuan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia) pada 27 Maret 1954, disusul oleh PAPADI (Perhimpunan Ahli Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia) yang secara resmi berdiri pada tanggal 6 April 1956, APADI (Asosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia) Apadi yang berdiri pada tanggal 15 Juli 1962 dan HPCI (Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia) yang berdiri pada tanggal 5 Desember 1969. hingga sampai timbulnya sebuah gagasan untuk membentuk sebuah wadah tunggal, gagasan ini dibicarakan pada tanggal 5-7 Juli 1973 di Bandung. Wadah tunggal ini kemudian bernama Ikatan Pustakawan Indonesia.

Dalam Kongres tersebut juga dibahas seminar tentang berbagai aspek perpustakaan, arsip, dokumentasi, informasi dan pendidikan. Dalam kongres ini pula HCI dan APADI menyampaikan bergabung dengan IPI. Selanjutnya diadakan pemilihan pengurus IPI yang diawali dengan penyampaian tata tertib pemilihan. Pada pemilihan ini terpilih Soekarman sebagai ketua, JP Rompas sebagai sekretaris dan bendahara Yoyoh Wartomo. Komisi yang dibentuk antara lain adalah Komisi Perpustakaan Nasional yang diketuai oleh Mastini Hardjoprakoso, Komisi Perpustakaan Khusus yang diketuai oleh Luwarsih Pringgoadisurjo dan pendidikan pustakawan oleh sjahrial Pamuntjak. Pada kongres ini pula disepakati bahwa IPI meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia dan terdiri dari Pengurus Pusat ( dahulu bernama Pengurus Besar ) untuk tingkat nasional, Pengurus Daerah Provinsi untuk tingkat provinsi dan Pengurus Daerah Kabupaten/Kota (dahulu bernama Pengurus Cabang) untuk tingkat Kabupaten/Kota.

2. Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk menjelaskan bagaimana IPI melakukan perannya dalam meningkatkan kualitas profesi pustakawa Indonesia yang maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Metode Studi kasus merupakan strategi penelitian dimana didalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan (Stake dalam Creswell, 2009).

2.1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi literatur dan wawancara. Studi literature dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen IPI seperti prosiding-prosiding terbitan IPI

(8)

Selain studi literatur, dilakukan pula wawancara. Wawancara dilakukan dengan beberapa orang yang pernah menjadi Pengurus Pusat IPI. Hasil wawancara akan dicatat untuk menjadi transkrip wawancara

2.2. Informan Penelitian

Pengambilan informan dilakukan snowball sampling yang di mana penulis menentukan satu informan kunci sebagai entry point lalu dari informan kunci tersebut dilakukan wawancara ke informan yang disarankan oleh informan kunci. 3. Analisis dan Interpretasi Data

Adapun data yang dikumpul dianalisis melalui tahap koding, interpretasi, penyajian data, sampai pada akhirnya penarikan kesimpulan. Dari tahap analisis yang dilakukan tersebut, didapatkan hasil sebagai berikut :

Peran sebagai penegak atau dalam penegakan Kode Etik Pustakawan Indonesia, IPI melakukan penyusunan Kode Etik Pustakawan Indonesia, mendistribusikan kode etik tersebut. Pengawasan terhadap penerapan kode etik ini sendiri IPI belum melakukannya karena IPI membentuk Dewan Kehormatan Pustakawan hanya bersifat insidental yang artinya hanya ketika ada pengaduan saja baru ada semacam pengawasan terhadap penerapan kode etik ini.

Hambatan dalam penegakan kode etik oleh IPI ada pada proses penanaman nilai-nilai pada kdoe etik tersebut. Hal ini meliputi hambatan pada sosialisasi yang masih belum berjalan maksimal karena IPI tidak bisa memastikan seluruh anggotanya menerima kode etik yang disahkan dalam Kongres IPI. Selanjutnya adalah belum adanya proses perekrutan anggota yang cukup baik, selama ini pustakawan baik yang merupakan anggota IPI maupun tidak, tidak pernah dilantik dan melakukan sumpah profesi seperti profesi-profesi lain.

Kualitas kesejahteraan pustakawan dapat dimaknai sebagai kesejahteraan dalam bentuk kesejahteraan berupa pengakuan dan tunjangan. Kesejahteraan berupa pengakuan (batiniah) hubungannya dengan citra dan pengakuan atas prestasi dari profesi tersebut. Kesejahteraan berupa tunjangan atau (lahiriah) berwujud imbalan yang diterima.

Pengakuan pustakawan sebagai sebuah jabatan fungsional dimulai sejak tahun 1988 ditandai dengan keluarnya SK Menpan no 18 tahun 1988. Dampaknya pustakawan sama seperti jabatan fungsional lain seperti guru,dosen,peneliti,hakim dan sebagainya. Artinya sederajat dengan profesi-profesi lain. Tahun 2002 diterbitkan lah SK MENPAN yang mengatur jabatan fungsional pustakawan dan angka kreditnya. Di dalam SK tersebut terdapat pula syarat pengangkatan jabatan fungsional, salah satunya adalah pendidikan. Hal ini berarti pengakuan terhadap keahlian profesi pustakawan. Selain itu implikasi SK tersebut juga kepada kenaikan tunjangan. IPI dalam memperjuangkan terbitnya peraturan-peraturan yang mendukung profesi pustakawan berperan sebagai konseptor dan selalu memberikan usulan, baik itu lewat perpustakaan nasional atau langsung menghadap ke pejabat kementerian yang terkait. Contohnya adalah IPI melalui perwakilannya menghadap ke Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Perkembangan terakhir di bulan mei tunjangan profesi pustakawan meningkat, dari rentang Rp. 240.000,- sampai dengan Rp.700.000,- menjadi Rp.350.000,- sampai dengan Rp. 1.350.000,- di lingkungan pengawai negeri.

IPI sebagai organisasi profesi dipandang sebagai profesi orang baik-baik dalam artian tidak ingin mencari masalah. Hal ini menjadi hambatan tersendiri

(9)

dalam memberikan usulan terutama mengenai kenaikan tunjangan pustakawan. IPI kurang mampu memberikan tekanan kepada pihak-pihak terkait yang menggunakan jasa pustakawan untuk menaikan kesejahteraan pustakawan. Hal ini yang menjadi hambatan bagi peningkatan kesejahteraan pustakawan.

Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam peningkatan kualitas pusakawan. Pendidikan Pustakawan dapat dilakukan dalam pendidikan formal, non formal dan informal. Pada pendidikan formal, usaha yang dilakukan IPI untuk meningkatkan kualitas pustakawan adalah dengan terlibat dalam Badan Akreditasi Nasional sebagai penilai sekolah-sekolah pendidikan pustakawan. Dengan menjadi asesor atau penilai IPI berusaha mempertahankan eksistensi institusi-institusi pendidikan perpustakaan. IPI memberikan penilaian mengenai kualitas dari institusi-institusi pendidikan tersebut. Dalam pendidikan profesi pustakawan pula IPI pernah menyelenggarakan lokakarya pengembangan pendidikan dan pelatihan perpustakaan yang menghasilkan muatan kurikulum, pola pendidikan dan pelatihannya serta kebijakan dan strategi pencapaian. Hanya saja hasil lokakarya tersebut tidak diawasi eksekusinya, selain itu IPI belum melakukan penyeragaman kompetensi pada institusi-institusi pendidikan perpustakaan. IPI melakukan penjagaan kompetensi melalui anggota-anggotanya yang menjadi pengajar-pengajar di institusi-institusi pendidikan. Dalam pendidikan non formal dan informal IPI melakukan kursus-kursus dan seminar-seminar guna meningkatkan pengetahuan pustakawan. Majalah ilmiah IPI juga diterbitkan dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi dan pengetahuan pustakawan selain sebagai media komunikasi antar pustakawan.

Pendidikan profesi merupakan cara untuk meningkatkan intelektual dan kompetensi sebuah profesi tentu dalam melaksanakannya terdapat hambatan. IPI mendapat beberapa hambatan dalam pendidikan profesi pustakawan, seperti belum aktifnya PD IPI dalam melaksanakan seminar-seminar dan kursus-kursus kepustakawanan. Media informasi Pustakawan pun tidak berjalan dengan baik dan konsisten hal ini disebabkan tidak adanya orang yang benar-benar concern terhadap pembuatan majalah tersebut.

Kesimpulan

Ikatan Pustakawan Indonesia telah melakukan beberapa hal dalam menjalankan perannya untuk meningkatkan kualitas profesi pustakawan Indonesia. Dalam Penegakan Kode Etik Pustakawan IPI melakukan penyusunan dan pemnaharuan Kode Etik setiap 3 tahun sekali dan mendistribusikannya. Peran dalam peningkatan kualitas kesejahteraan dilakukan IPI dengan usaha-usaha seperti memberikan usulan dan konseptor dari peraturan-peraturan yang menguntungkan pustakawan. Peran dalam Pendidikan Profesi dilakukan IPI dengan terlibat dalam Badan Akreditasi Nasional untuk menilai sekolah-sekolah perpustakaan, mengadakan seminar-seminar dan menerbitkan majalah.

Daftar acuan :

Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Cambridge University. 2013. Cambridge Dictionaries Online.

(10)

Creswell, John W. 2010. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

Dan Mixed. Edisi Ketiga ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hadi, A.C Sungkana. 2007. Tanggungjawab Moral dan Professional Pustakawan

dalam Pelaksanaan Undang-Undang tentang Perpustakaan. Jurnal Ikatan Pustakawan Indonesia volume 2 nomor 1 Tahun 2007. Jakarta : Ikatan

Pustakawan Indonesia.

Harahap, Basyral Hamidy. 1998. Kiprah Pustakawan: seperempat abad Ikatan

Pustakawan Indonesia 1973-1998. Jakarta : Pengurus Besar Ikatan Pustakawan

Indonesia

Hermawan S, Rachman dan Zen, Zulfikar 2006.. Etika Kepustakawanan : Suatu

Pendekatan Terhadap Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta : Sagung Seto

Ikatan Pustakawan Indonesia. 1994. Hasil Lokakarya Pengembangan Pendidikan

dan Pelatihan Perpustakaan di Indonesia. Jakarta : Pengurus Besar Ikatan

Pustakawan Indonesia

Ikatan Pustakawan Indonesia. 1998. Prosiding Rapat Kerja Pusat dan Seminar

Ilmiah tahun 1997: Jakarta, 9-11 Desember 1997. Jakarta : Ikatan Pustakawan

indonesia

Ikatan Pustakawan Indonesia. 2010. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga serta Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta : Ikatan Pustakawan

Indonesia

Kementerian Pedidikan dan Kebudayaan. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Online. 4 Juni 2013 < http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php>

Martoadmojo, Karmidi. 1992. Sumbangan IPI dalam Dunia Perpustakaan

Indonesia. Depok : Universitas Indonesia

Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan

Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Sulistyo-Basuki. 2001. Kode Etik dan Organisasi Profesi . <http://fik.uny.ac.id/cmpr/file/download/Kode_etik_dan_organisasi_profesi1.doc >

Undang – Undang Republik Indonesia.Undang – Undang Nomor 43 tahun 2007

tentangPerpustakaan.

<http://kelembagaan.pnri.go.id/Digital_Docs/homepage_folders/activities/highlig

ht/ruu_perpustakaan/pdf/UU_43_2007_PERPUSTAKAAN.pdf>

Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Gambar

gambar 1 diadaptasi dari : http://pustakawan.pnri.go.id/grafik/bidang

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dirancang untuk mendiskripsikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan tempat pengolahan sampah pada Badan Usaha Milik Desa di Desa Blulukan Kecamatan

Dengan demikian petani sudah menggunakan pupuk organik pada usahataninya sesuai dengan anjuran penyuluh baik dari segi jenis, dosis, waktu dan cara

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Hasil analisis deskriptif variabel kompetensi tergolong baik. Dengan demikian, maka guru SMA di Kota Masohi memiliki

(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Bupati

Berdasarkan Gambar I.3 dapat diketahui bahwa akar permasalahan dari target jumlah mahasiswa yang tidak tercapai adalah adanya kebutuhan mahasiswa yang tidak terpenuhi

Pengendalian adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pejabat Polri yang dibentuk dan diberi wewenang oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

Prosedur (Procedures) memiliki struktur yang sama dengan struktur program, yaitu terdiri dari nama prosedur, pengumuman-pengumuman atau deklarasi (kecuali pengumuman uses),

Peta risiko terdiri dari sumbu vertikal dan sumbu horizontal. Sumbu vertikal pada peta risiko merupakan skala ukur untuk probabilitas. Skala tersebut terbagi menjadi 2