46 5.1. Gambaran Persebaran Penduduk Miskin
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kabupaten atau kota sejumlah 35 kabupaten dan kota (BPS, 2013). Besarnya wilayah ini mempengaruh persebaran penduduk miskin yang ada di Jawa Tengah dari sudut pandang kewilayahan.
Gambar 5. Peta Persebaran Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
Berdasarkan data kemiskinan tahun 2013 tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota dapat dikategorisasikan menjadi 3 kategori (BPS:2013) :
1. Kategori pertama adalah Kabupaten/kota yang tingkat kemiskinannya di bawah angka Nasional (11,47 %) dan Provinsi Jawa Tengah (14,44%) yang ditandai dengan warna hijau pada peta (gambar 5) yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Semarang, Kabupaten Tegal, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal.
2. Kategori kedua adalah Kabupaten/kota yang tingkat kemiskinannya di bawah angka Nasional (11,47 %) dan di atas Provinsi Jawa Tengah (14,44%) yang ditandai dengan warna kuning pada peta (gambar 5) yaitu Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Magelang, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Pati, Kabupaten Kendal, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kota Surakarta.
3. Kategori kedua adalah Kabupaten/kota yang tingkat kemiskinannya di atas angka Nasional (11,47 %) dan Provinsi Jawa Tengah (14,44%) yang ditandai dengan warna kuning pada peta (gambar 5) yaitu Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Rembang, Kabupaten Brebes, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Sragen, Kabupaten Demak, Kabupaten Klaten, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora.
Gambar 6. Grafik Batang Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2013
Penduduk miskin Provinsi Jawa Tengah tersebar di 29 Kabupaten dan 6 kota. Penyebaran itu tidak merata dalam arti ada kabupaten yang persentase penduduk miskinnya tinggi dan ada yang persentase penduduknya rendah. Untuk tahun 2013, wilayah dengan persentase penduduk miskin paling tinggi adalah Kabupaten Wonosobo sebesar 22,08 persen, Sedangkan wilayah yang paling rendah persentase penduduk miskinnya adalah Kota Semarang yaitu sebesar 5,25 persen. Selengkapnya, persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah, berbasis Kabupaten dan Kota, dapat dilihat pada gambar grafik batang di atas.
5.2. Analisis Regresi Berganda 5.2.1. Uji Multikolinearitas
Ada beberapa cara untuk mendeteksi multikolinieritas dalam model regresi linier salah satunya melalui nilai VIF (Variance Inflation Factor). VIF adalah elemen-elemen diagonal utama dari invers matriks korelasi. VIF digunakan sebagai kriteria untuk mendeteksi multikolinieritas pada regresi linier berganda yang melibatkan lebih dari dua variabel bebas. Nilai VIF lebih besar dari 10 mengindikasikan adanya masalah multikolinieritas yang serius. Nilai VIF ditampilkan pada tabel 1.
Tabel 5. Nilai VIF
Coefficientsa Model Collinearity Statistics Tolerance VIF 1 sektor_pertanian .824 1.214 jumlah_penduduk .900 1.111 TPT .896 1.116
a. Dependent Variable: persentase_miskin
Dari hasil uji multikolinearitas pada tabel 1, dihasilkan nilai tolerance > 0,1 dan nilai VIF < 10. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinieritas dalam model regresi
5.2.2 Pengujian Serentak
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas (X) secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat (Y).Selain itu uji ini juga dilakukan untuk mengetahui model yang digunakan sesuai atau tidak sesuai.Nilai statistik yang digunakan yakni nilai statistic Fhitung. Jika nilai Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel atau
nilai p-value < α, maka hipotesis awal akan ditolak sehingga model dikatakan sesuai atau secara bersama-sama variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
Tabel 6. Uji Serentak
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 189.444 3 63.148 4.013 .016a
Residual 487.851 31 15.737
Total 677.295 34
a. Predictors: (Constant), TPT, jumlah_penduduk, sektor_pertanian b. Dependent Variable: persentase_miskin
Uji Hipotesis
i. Hipotesis yang digunakan yakni : H0 : 𝛽1 = 𝛽2 = 𝛽3 = 0
H1 : Minimal terdapat satu 𝛽𝑖 ≠ 0 ;𝑖 = 1,2,3.
ii. Tingkat signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α = 0.1 iii. Daerah kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak H0
iv. Statistika Uji
Statistik uji simultan yang telah dianalisis terdapat pada tabel 6 dilihat pada kolom sig sebesar 0,016.
v. Keputusan
vi. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan tolak H0 maka
diambil keputusan bahwa nilai prediksi atau model menggambarkan kondisi kemiskinan sesungguhnya.
5.2.3 Pengujian Parsial
Uji parsial dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y). Nilai statistik yang digunakan yakni nilai statistik thitung. Jika nilai mutlak thitung lebih besar dari nilai ttabel atau nilai p-value < α, maka
hipotesis awal akan ditolak sehingga variabel bebas ke-i signifikan berpengaruh terhadap varaiabel terikat. Hipotesis yang digunakan yakni :
Uji Hipotesis
i. Hipotesis yang digunakan :
H0 : 𝛽𝑖 = 0 ∶ 𝑖 = 1,2,3 ∶ artinya secara individual variabel bebas tidak
berpengaruh terhadap variabel terikat.
H: 𝛽𝑖 ≠ 0; = 1,2,3 ∶ artinya secara individual variabel bebas berpengaruh
terhadap variabel terikat. ii. Tingkat Signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α = 0.1 iii. Daerah Kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak H0 iv. Statistik Uji
Statistik uji parsial yang telah dianalisis terdapat pada tabel 7. Tabel 7. Uji Parsial
Variabel Koefisien P-value Keputusan
Intersep 9.181 0.021 Signifikan
Tingkat Pengangguran Terbuka -0.087 0.252 Tidak Signifikan Penduduk bekerja disektor pertanian 0.113 0.014 Signifikan Jumlah Penduduk 0.00000205 0.867 Tidak Signifikan
v. Kesimpulan
Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa variabel yang signifikan berpengaruh terhadap kemiskinan yaitu variabel penduduk bekerja disektor pertanian.
Nilai R2 sebesar 0,28 pada tabel 7, menunjukan bahwa variabel penduduk bekerja di sektor pertanian hanya mampu menjelaskan kasus kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 28%, dan 72% sisanya dijelaskan oleh variabel lain.
5.2.4 Uji Asumsi Residual 5.2.4.1. Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk melihat sebaran atau variansi titik-titik dari nilai residual. Model regresi yang baik juga salah satunya ialah nilai residual yang muncul dalam fungsi regresi populasi mempunyai varians yang sama atau homoskedastik. Untuk mengetahui ada atau tidaknya heteroskedastisitas dilakukan pengujian Glejser, hipotesis adalah sebagai berikut:
Uji Hipotesis
i. Hipotesis yang digunakan yakni :
H0 : Tidak terjadi masalah heteroskedastisitas
H1 : Terjadi masalah heteoskedastisitas
ii. Tingkat signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α = 0.1 iii. Daerah kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak H0
iv. Statistika Uji
Statistik uji Glejser yang telah dianalisis terdapat pada tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Glejser
Variabel P-value α Keputusan
Tingkat Pengangguran Terbuka 1,000 0.1 Gagal Tolak Penduduk bekerja disektor
pertanian 1,000
0.1
Gagal Tolak
v. Keputusan
Pada tabel 8 menunjukan bahwa nilai p-value dari ke dua variabel bebas menunjukan Gagal Tolak H0.
vi. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan semua variabel gagal menolak H0. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa pada penelitian ini
tidak adanya sifat heteroskedastisitas 5.2.4.2 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linier antara error serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Model dikatakan baik jika tidak terdapat masalah autokorelasi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi masalah autokorelasi adalah dengan uji Durbin-Watson (DW). Hipotesis yang digunakan yakni :
H0: tidak ada korelasi positif atau negatif
H1: ada korelasi positif atau negatif
Pengambilan keputusan:
d < dL : tolak H0 ; d > 4-dL : tolak H0 dan du < d < 4-du : terima H0
dL d du atau 4-du d 4-dL : tidak dapat disimpulkan.
dengan : d = nilai Durbin Watson ; dL = batas bawah ; dU = batas atas.
Hasil pengujian ditampilkan pada tabel 5 berikut :
Tabel 9. Hasil Pengujian Autokorelasi
Model Summaryb Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson 1 .529a .280 .210 3.96701 1.719
a. Predictors: (Constant), TPT, jumlah_penduduk, sektor_pertanian
Berdasarkan Tabel 9 pada output durbin watson dapat diketahui bahwa tidak ada autokorelasi positif atau negatif antara residual satu dengan lainnya. Hal tersebut diketahui melalui nilai =1,719 yang bernilai lebih besar dari du=1,726 dan lebih kecil
dari 4- du=2,274. Keputusan yang dihasilkan adalah gagal tolak H0. Artinya asumsi
residual independen terpenuhi. 5.2.4.3. Uji Normalitas
Uji normalitas ini berguna untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Suatu model regresi yang baik ialah ketika data berdistribusi normal. Pengujian normalitas kali ini menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test. Hipotesis untuk pengujian ini yaitu :
H0 : Residual berdistribusi normal
H1 : Residual tidak berdistribusi normal.
Keputusan untuk menolak hipotesis awal jika nilai p-value lebih besar daripada alpha 10%. Hasil pengujian ditampilkan pada tabel berikut :
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Unstandardized Residual .140 35 .079 .959 35 .209
a. Lilliefors Significance Correction
Berdasarkan tabel 10 dapat diketahui bahwa residual telah memenuhi asumsi kenormalan hal ini ditunjukkan melalui nilai p-value yang bernilai lebih besar dari
alpha 10%.
5.2.5 Model Regresi Linier Berganda
Model sementara yang terbentuk dari regresi berganda untuk kasus kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah yakni :
Dari model yang telah terbentuk, dapat diketahui bahwa:
- Saat penduduk bekerja di sektor pertanian naik sebesar satu persen maka persentase penduduk miskin akan naik sebesar 0,113, saat variabel yang lain dianggap konstan. Pada persamaan regresi linier ini hanya variabel penduduk bekerja disektor pertanian yang signifikan mempengaruhi kasus kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah.
Tahapan selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan hubungan ketetanggaan antar kabupaten di Provinsi Jawa Tengah menggunakan metode Queen Contiguity (persinggungan sisi – sudut).
5.3 Kriteria Ketetanggaan
Salah satu komponen yang harus diperhitungkan dalam melakukan analisis spasial adalah melihat keterkaitan antar kabupaten/kota. Hal tersebut dilihat melalui matriks pembobot spasial. Perhitungan tersebut dilakukan menggunakan bantuan peta lokasi yaitu untuk menentukan hubungan ketetanggaan antara kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kriteria ketetanggaan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan persinggungan berbatasan dengan kriteria yang digunakan yaitu queen continguity dengan matriks pembobot spasial yang telah distandarisasi. Matriks penimbang spasial juga disusun berdasarkan hubungan ketetanggaan yang telah dirinci dalam tabel 11 berikut :
Tabel 11. Hubungan Ketetanggaan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
Kabupaten/Kota Tetangga
Kab. Cilacap Kebumen, Banyumas, Brebes
Kab. Banyumas Tegal, Cilacap, Brebes, Kebumen, Purbalingga, Pemalang Kab. Purbalingga Banjarnegara, Pekalongan, Pemalang, Banyumas
Kab. Banjarnegara Wonosobo, Purbalingga, Kebumen, Batang, Banyumas Kab. Kebumen Purworejo, Wonosobo, Banjarnegara, Cilacap, Banyumas Kab. Purworejo Wonosobo, Magelang, Kebumen
Kab. Wonosobo Magelang, Purworejo, Temanggung, Banjarnegara, Kendal, Batang, Kebumen
Tabel 12. Lanjutan Hubungan Ketetanggaan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
Kabupaten/Kota Tetangga
Kab. Magelang Wonosobo, Temanggung, Semarang, Boyolali, Klaten, Kota Magelang
Kab. Boyolali Sukoharjo, Sragen, Semarang, Magelang, Kota Surakarta, Klaten, Karanganyar, Grobogan
Kab. Klaten Sukoharjo, Magelang, Boyolali
Kab. Sukoharjo Karanganyar, Boyolali, Klaten, Kota Surakarta, Wonogiri Kab. Wonogiri Sukoharjo, Karanganyar
Kab. Karanganyar Sukoharjo, Sragen, Kota Surakarta,Boyolali, Magelang Kab. Sragen Karanganyar,Boyolali,Grobogan
Kab. Grobogan Sragen, Semarang, Pati, Kudus, Blora, Demak, Boyolali Kab. Blora Rembang, Pati, Grobogan
Kab. Rembang Blora, Pati
Kab. Pati Rembang, Blora, Grobogan, Kudus, Jepara Kab. Kudus Pati, Demak, Grobogan, Jepara
Kab. Jepara Kudus, Pati ,Demak
Kab. Demak Semarang, Kudus, Kota Semarang, Jepara, Grobogan
Kab. Semarang Temanggung, Boyolali, Grobogan, Kota Salatiga, Magelang, Demak, Kendal, Kota Semarang
Kab. Temanggung Wonosobo, Magelang, Semarang, Kendal
Kab. Kendal Wonosobo, Temaggung, Semarang, Kota Semarang, Batang Kab. Batang Wonosobo, Pekalongan, Kota Pekalongan, Kendal, Cilacap Kab. Pekalongan Purbalingga, Pemalang, Batang, Banjarnegara,
Kota_Pekalongan
Kab. Pemalang Tegal, Purbalingga, Pekalongan, Banyumas Kab. Tegal Pemalang, Banyumas, Brebes, Kota_Tegal Kab. Brebes Tegal, Kota_Tegal, Cilacap, Banyumas Kota Magelang Magelang
Kota Surakarta Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali Kota Salatiga Semarang
Kota Semarang Semarang, Demak, Kendal Kota Pekalongan Pekalongan, Batang Kota Tegal Tegal, Brebes
Hubungan kriteria ketetanggan ini didapat matriks kriteria ketetanggan dengan metode Queen Contiguity (persinggungan sisi – sudut) yang dapat dilihat pada pada gambar 3.
5.4 Matriks Pembobot Spasial
Langkah selanjutnya adalah membuat matriks pembobot spasial dan matriks standarisasi pembobot spasial, namun sebelumnya terlebih dahulu melakukan inisialisasi untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 13. Inisialisasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten Inisialisasi Kabupaten Inisialisasi
Kab. Cilacap 1 Kab. Kudus 19
Kab. Banyumas 2 Kab. Jepara 20
Kab. Purbalingga 3 Kab. Demak 21
Kab. Banjarnegara 4 Kab. Semarang 22
Kab. Kebumen 5 Kab. Temanggung 23
Kab. Purworejo 6 Kab. Kendal 24
Kab. Wonosobo 7 Kab. Batang 25
Kab. Magelang 8 Kab. Pekalongan 26
Kab. Boyolali 9 Kab. Pemalang 27
Kab. Klaten 10 Kab. Tegal 28
Kab. Sukoharjo 11 Kab. Brebes 29
Kab. Wonogiri 12 Kota Magelang 30
Kab. Karanganyar 13 Kota Surakarta 31
Kab. Sragen 14 Kota Salatiga 32
Kab. Grobogan 15 Kota Semarang 33
Kab. Blora 16 Kota Pekalongan 34
Kab. Rembang 17 Kota Tegal 35
Gambar 7. Matriks Pembobot Spasial
Gambar 3 merupakan matriks pembobot spasial penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah, matriks ini bertujuan untuk memberikan nilai untuk kabupaten/kota yang bertetangga di Provinsi Jawa Tengah. Nilai 1 diberikan untuk daerah bersinggungan (bertetangga) dengan daerah lain, sedangkan untuk nilai 0 diberikan untuk daerah yang tidak bersinggungan (bertetangga). Pembobot keterkaitan antar wilayah merupakan besaran yang menunjukkan persentase tingkat keterkaitan. Asumsi yang digunakan adalah bahwa setiap wilayah tetangga memberikan kontribusi keterkaitan yang sama bagi satu wilayah. Jika total tingkat keterkaitan dengan wilayah tetangga adalah 100 persen maka pembobot keterkaitan dengan satu wilayah tetangga merupakan rata-ratanya.
Matriks pembobot spasial merupakan matriks simetris dan diagonal utama selalu bernilai nol. Susunan matriks yang distandardisasi yaitu jumlah baris sama dengan satu. Pada gambar 4 merupakan matriks yang telah mengalami standarisasi.
Gambar 8. Matrik Pembobot Terstandarisasi
5.5 Indeks Moran’s
Moran’s I merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menghitung depedensi spasial yaitu untuk menentukan autokorelasi spasial antar lokasi pengamatan. Nilai Indeks Moran’s I berkisar antara -1 < I < 1, apabila nilai indeks moran’s maka terjadi autokorelasi spasial positif, maka terjadi autokorelasi negatif. Berikut hasil perhitungan nilai Moran’s I variabel persentase penduduk miskin dengan bantuan Software Microsoft Excel.
Tabel 14. Perhitungan Nilai Moran’s I Variabel Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Y (Yi- 2 Kab. Cilacap 15.24 1.38229 1.91071 1.91441 670.52246 Kab. Banyumas 18.44 4.58229 20.9973 12.5712 663.74951 Kab. Purbalingga 20.53 6.67229 44.5194 24.1856 677.29542 Kab. Banjarnegara 18.71 4.85229 23.5447 16.4215 677.29542 Kab. Kebumen 21.32 7.46229 55.6857 30.7766 677.29542 Kab. Purworejo 15.44 1.58229 2.50363 8.24318 670.52246 Kab. Wonosobo 22.08 8.22229 67.606 10.9195 663.74951 Kab. Magelang 13.96 0.10229 0.01046 -0.024 541.83633 Kab. Boyolali 13.27 -0.5877 0.34541 0.49968 677.29542 Kab. Klaten 15.6 1.74229 3.03556 -2.5719 670.52246 Kab. Sukoharjo 9.87 -3.9877 15.9019 0.86021 677.29542 Kab. Wonogiri 14.02 0.16229 0.02634 0.21042 677.29542 Kab. Karanganyar 13.58 -0.2777 0.07713 -0.1065 677.29542 Kab. Sragen 15.93 2.07229 4.29437 -4.1737 670.52246 Kab. Grobogan 14.87 1.01229 1.02472 -1.045 663.74951 Kab. Blora 14.64 0.78229 0.61197 3.93346 670.52246 Kab. Rembang 20.97 7.11229 50.5846 -0.4816 677.29542 Kab. Pati 12.94 -0.9177 0.8422 0.17594 677.29542 Kab. Kudus 8.62 -5.2377 27.4337 3.4973 677.29542 Kab. Jepara 9.23 -4.6277 21.4157 17.399 670.52246 Kab. Demak 15.72 1.86229 3.46811 -8.4952 677.29542 Kab. Semarang 8.51 -5.3477 28.598 10.8904 677.29542 Kab. Temanggung 12.42 -1.4377 2.06702 -0.6467 677.29542 Kab. Kendal 12.68 -1.1777 1.38701 2.13604 677.29542 Kab. Batang 11.96 -1.8977 3.60132 -0.5215 677.29542 Kab. Pekalongan 13.51 -0.3477 0.12091 -0.6566 677.29542 Kab. Pemalang 19.27 5.41229 29.2928 10.3228 677.29542 Kab. Tegal 10.58 -3.2777 10.7434 -5.2109 677.29542 Kab. Brebes 20.82 6.96229 48.4734 -4.057 677.29542 Kota Magelang 9.8 -4.0577 16.465 -0.415 677.29542 Kota Surakarta 11.74 -2.1177 4.48471 3.3916 670.52246
Tabel 15. Lanjutan Perhitungan Nilai Moran’s I Variabel Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Y (Yi- 2 Kota Salatiga 6.4 -7.4577 55.6175 39.8817 677.29542 Kota Semarang 5.25 -8.6077 74.0927 13.3797 670.52246 Kota Pekalongan 8.26 -5.5977 31.3344 6.2846 677.29542 Kota Tegal 8.84 -5.0177 25.1775 -9.2441 677.29542 Dengan : N = 35 X = 13,858
Contoh perhitungan untuk kabupaten Cilacap
=(0.33×1.38229×4.58229)+(0.33×1.38229×7.46229)+ (0.33×1.38229×6.96229)= 1.91441
= 347,46 = 826
= 28893
Nilai Moran’s I Variabel Persentase Penduduk Miskin :
Secara lengkap hasil Moran’s I dikerjakan dengan menggunakan software Geoda dengan hasil sebagai berikut :
2. Nilai Moran’s I Variabel Tingkat Pengangguran Terbuka : 0,516695 3. Nilai Moran’s I Variabel Peduduk Bekerja di sektor pertanian : 0,119896 4. Nilai Moran’s I Variabel Jumlah Penduduk : 0,310955
Berdasarkan nilai Moran’s I dan pada masing-masing variabel terlihat bahwa semua nilai Moran’s I bernilai lebih besar dari yang artinya semua variabel dependen maupun independen memiliki autokorelasi positif.
5.6 Uji Lagrange Multiplier (LM)
Menentukan model spasial dilakukan dengan uji LM (Lagrange Multiplier). Lagrange Multiplier digunakan untuk mendeteksi depedensi spasial lag, atau dependensi error atau keduanya lag dan error. Nilai LM dapat diperoleh menggunakan persamaan 3.19 dan 3.20. Berikut ini hasil pengujian LM menggunakan software Geoda.
Gambar 9. Analisis Dependensi Spasial
5.6.1 Uji Moran’s I
Dari gambar 5 akan dilakukan uji Moran’s I bertujuan untuk mengidentifikasi apakah ada dependen spasial atau tidak. Untuk Uji hipotesisnya:
i. Uji Hipotesis
H0 : (Tidak ada dependensi spasial)
H1 : (Ada dependensi spasial) ii. Tingkat signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α= 0.1 iii. Daerah kritis
iv. Statistika Uji
Nilai probabilitas Moran’s I untuk kemiskinan sebesar 0,00192. v. Keputusan
Pada gambar 9 menunjukan bahwa nilai p-value menunjukan Tolak H0 vi. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan bahwa ada dependensi spasial dalam error suatu model regresi.
5.6.2 Uji Lagrange Multiplier-Lag
Uji Lagrange Multiplier Lag bertujuan untuk identifikasi adanya keterkaitan antar wilayah dengan menggunakan metode Spasial Autoregressive. Uji hipotesisnya seperti berikut:
i. Uji Hipotesis
H0 : Tidak ada dependensi spasial-lag
H1 : Ada dependensi spasial-lag ii. Tingkat signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α= 0.1 iii. Daerah kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak H0 iv. Statistika Uji
Nilai LM-lag untuk kemiskinan sebesar 0,02249 v. Keputusan
Pada gambar 9 menunjukan bahwa nilai p-value menunjukan Tolak H0 vi. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan bahwa ada dependensi spasial-lag dalam model regresi.
5.6.3 Uji Lagrange Multiplier-Lag error
Uji Lagrange Multiplier error bertujuan untuk identifikasi adanya keterkaitan antar wilayah berdasarkan errornya, dari uji LM-error berkelanjutan metode untuk
analisis spasial menggunakan Spasial Error Model (Spasial EM). Uji hipotesisnya seperti berikut:
i. Uji Hipotesis
H0 : Tidak ada dependensi spasial error
H1 : Ada dependensi spasial error ii. Tingkat signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α= 0.1 iii. Daerah kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak H0
iv. Statistika Uji
Nilai LM-lag error untuk kemiskinan sebesar 0,01379 v. Keputusan
Pada gambar 9 menunjukan bahwa nilai p-value menunjukan Tolak H0.
vi. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan bahwa ada dependensi spasial-lag error dalam model regresi.
Pengujian Lagrange Multiplier menunjukan bahwa adanya dependensi spasial-lag pada persentase penduduk miskin sehingga perlu dilanjutkan ke pembuatan model
Spatial Autoreggressive Model (SAR), dan pada uji Lagrange Multiple error
menghasilkan keputusan adanya spasial error, sehingga analisis selanjutnya menggunakan analisis Spatial Error Model (Spasial EM). Pada penelitian ini menunjukan kedua dependensi spasial-lag dan spasial-error signifikan, sehingga metode yang digunakan analisis Spasial Autoregressive (SAR) dan Spasial Error Model (Spasial EM).
5.7 Spasial Autoregressive Model (SAR)
Spatial Autoregressive Model atau Spasial Lag Model adalah model spasial
pendekatan area dengan memperhitungkan pengaruh spasial lag pada variabel dependen saja.
Gambar 10. Output Spasial Lag
Pada gambar 10 menunjukan bahwa TPT (X1), penduduk bekerja disektor pertanian (X2), berpengaruh nyata terhadap persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas variabel X1 dan X2 yang kurang dari 0,1.
5.7.1 Uji Efek Spasial a. Dependensi Spasial
Pada diagnostik cek ini untuk pengujian dependensi spasial dengan menggunakan Likelihood Rastio Test, berikut ini uji hipotesisnya:
i. Uji Hipotesis
H0 : Tidak ada korelasi spasial
H1 : Ada korelasi spasial ii. Tingkat signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α= 0.1. iii. Daerah kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak iv. Statistika Uji
v. Keputusan
Pada gambar 10 menunjukan bahwa nilai p-value menunjukan Tolak . vi. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan bahwa ada korelasi spasial antar wilayah.
b. Heterogenitas Spasial
Uji heterogenitas ini menggunakan uji Breusch-Pagan untuk melihat keragam sisaan. Berikut ini uji hipotesisnya:
i. Uji Hipotesis
H0 : Homogenitas spasial
H1 : Heterogenitas spasial ii. Tingkat signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α= 0.05 iii. Daerah kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak iv. Statistika Uji
Nilai p-value menunjukan 0,61475 v. Keputusan
Pada gambar 10 menunjukan bahwa nilai p-value menunjukan gagal tolak
vi. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan bahwa terdapat homogenitas spasial pada model spasial error.
5.7.2 Persamaan Spatial Autoregressive Model
Pada persamaan Spasial Autoregressive perbedaan dengan OLS terletak pada estimasi yang merupakan estimasi berdasarkan spasial variabel dependen dengan
Model atau persamaan SAR diatas dapat diinterpretasikan, ketika TPT meningkat sebesar 1 satuan maka dapat menambah persentase penduduk miskin sebesar 0,6383495. Pada penduduk yang bekerja disektor pertanian meningkat sebesat 1 satuan makan menambah persentase penduduk miskin sebesar 0,1474871 sedangkan pada nilai koefisien pembobot wilayah berdasarkan nilai variabel dependen sebesar 0,3282026 yang berarti bahwa semikin banyak pembobot wilayah pada satu unit pengamatan nilai semakin besar.
5.8 Spatial Error Model
Spatial Error Model adalah model spasial pendekatan wilayah dengan
memperhitungkan pengaruh spasial error dengan menggunakan nilai residual tiap wilayah
Gambar 11. Output Spasial Error Model
Pada gambar 11 menunjukan bahwa tingkat pengangguran terbuka (X1), penduduk bekerja disektor pertanian (X2) dan spasial error ( berpengaruh nyata
terhadap persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas yang kurang dari 0,1.
5.8.1 Uji Efek Spasial
a. Dependensi Spasial
Pada diagnostik cek ini untuk pengujian dependensi spasial dengan menggunakan Likelihood Rastio Test, berikut ini uji hipotesisnya:
i. Uji Hipotesis
H0 : Tidak ada korelasi spasial
H1 : Ada korelasi spasial ii. Tingkat signifikansi
Peneliti menggunakan tingkat signifikan sebesar α= 0.1 iii. Daerah kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak iv. Statistika Uji
Nilai p-value menunjukan 0,01026 v. Keputusan
Pada gambar 11 menunjukan bahwa nilai p-value menunjukan tolak vi. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan bahwa ada korelasi spasial antar wilayah.
b. Heterogenitas Spasial
Uji heterogenitas ini menggunakan uji Breusch-Pagan untuk melihat keragam sisaan. Berikut ini uji hipotesisnya:
c. Uji Hipotesis
H0 : Homogenitas spasial
H1 : Heterogenitas spasial d. Tingkat signifikansi
e. Daerah kritis
Nilai p-value < α maka keputusannya tolak f. Statistika Uji
Nilai p-value menunjukan 0,69262 g. Keputusan
Pada gambar 11 menunjukan bahwa nilai p-value menunjukan gagal tolak .
h. Kesimpulan
Dengan menggunakan tingkat kepercayaan 90%, menunjukan bahwa terdapat homogenitas spasial pada model spasial error.
5.8.2 Persamaan Spatial Error Model
Pada persamaan Spasial EM terdapat nilai parameter lamda yang menunjukan adanya dependensi nilai error tiap wilayah, sehingga dalam persamaan dimasukan unsur error tiap wilayah sebagai pembobot nilai estimasi DBD pada wilayah tertentu.
Model atau persamaan SEM diatas dapat diinterpretasikan, TPT meningkat sebesar 1 satuan maka dapat menambah persentase penduduk miskin sebesar 1,050733, dan penduduk yang bekerja disektor pertanian meningkat sebesat 1 satuan makan menambah persentase penduduk miskin sebesar 0,1414407 sedangkan pada nilai koefisien pembobot wilayah berdasarkan nilai variabel dependen sebesar 0,5115144 yang berarti bahwa semikin banyak pembobot wilayah pada satu unit pengamatan nilai semakin besar.
5.9 Model Terbaik
Sebelumnya peneliti telah menggunakan dua model untuk membentuk persamaan dalam mengestimasi persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah
pada tiap wilayah. Pada kedua model tersebut peneliti menggunakan model terbaik untuk mengestimasi persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah dengan melihat nilai sum square error terkecil. Pada tabel 19 adalah hasil perhitungan estimasi dari metode regresi spasial tersebut, Spatial Autoregressive Model (SAR) dan Spatial Error Model (SEM). Tabel 19 menunjukan bahwa nilai sum squre error terkecil pada model spasial EM, sehingga peneliti menggunakan persamaan pada
Spatial Error Model untuk persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah.
Tabel 16. Ukuran Kebaikan SAR dan SEM Model
SAR 70,90% 228,555
SEM 73,01% 225,179
Nilai koefisein determinasi (R2), model yang baik adalah model yang memilik nilai koefisen determinasi lebih besar, yang mana nilai tersebut menunjukan besar kekuatan variabel Y dijelaskan oleh variabel-variabel X. Nilai AIC (Akaike
Information Criteria) menujukan ukuran kebaikan fit dari model tersebut, semakin
kecil nilai AIC semakin baik model tersebut untuk mengestimasi. Berdasarkan tabel diatas koefisein determinasi (R2) dari model SEM lebih besar daripada model SAR, dan untuk nilai AIC dari model SEM lebih kecil daripada model SAR .