• Tidak ada hasil yang ditemukan

GINI RASIO KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GINI RASIO KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Nomor Publikasi : 3204 0810 Nomor Katalog : 4716 3204 Ukuran Buku : 18,21 cm x 25,7 cm Jumlah Halaman : 50 + vi

Naskah : Seksi Statistik Sosial Gambar kulit dan seting : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Diterbitkan : Badan Pusat Statistik

Kabupaten Bandung

(3)

Kata Sambutan

Assalamu’alaikum Warohmatullohi wabarokatuh,

Dengan memuji syukur ke hadlirat Allah SWT, buku publikasi Gini Rasio Kabupaten Bandung Tahun 2008 dapat diterbitkan. Publikasi ini hasil kerjasama antara Badan Perencanaan Permbangunan Daerah Kabupaten Bandung dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata seringkali menyebabkan bertambah lebarnya ketimpangan antar golongan masyarakat (yang kaya dan yang miskin) dan kesejangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal). Ketimpangan yang makin tinggi antar golongan dan antar wilayah ini dapat memunculkan masalah kecemburuan sosial, kerawanan disitegrasi wilayah dan disparitas ekonomi yang makin lebar dan tajam. Untuk kepentingan perencanaan pembangunan maka informasi ini menjadi penting, hali ini berkaitan dengan pola intervensi yang harus dilakukan untuk mengurangi gap kesejahteraan baik antar penduduk maupun atar wilayah.

Publikasi ini mengambarkan ketimpangan pendapatan penduduk, distribusi pendapatan penduduk dan ketimpangan pendapatan antar kecamatan dengan menggunakan alat ukur Gini rasio, Ukuran Bank Dunia dan Indeks Williamson.

Hasil publikasi ini diharapkan dapat dijadikan pedoman perencanaan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan distribusi pendapatan yang baik baik antar golongan masyarakat maupun antar kecamatan.

(4)

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Soreang, Desember 2008

Bupati Bandung,

(5)

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Dengan memuji syukur ke hadlirat Allah SWT, publikasi Gini Rasio Kabupaten Bandung Tahun 2008 dapat diselesaikan.

Indikator Gini Rasio Kabupaten Bandung ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang dapat bermanfaat dalam perencanaan pembangunan daerah, khususnya di Kabupaten Bandung.

Bahasan pada publikasi memuat gambaran tingkat ketimpangan pendapatan, distribusi pendapatan dan ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Bandung. Untuk keperluan tersebut, kajian selain menggunakan hasil survei tahun 2008 juga dilengkapi dengan data lain yang berkaitan pada tahun yang tersedia datanya. Demikian Publikasi ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Soreang, Desember 2008

KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN BANDUNG,

SOEGIRI SOETARDI, M.A NIP. 340010736

(6)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN ……….. i

KATA PENGANTAR ……….. iii

DAFTAR ISI ……….. iv

DAFTAR TABEL ……….. vi

DAFTAR GAMBAR ……….. viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………….………... 1 1.2. Permasalahan………..……....…… 3 1.3. Tujuan ……….………. 1.4. Sumber Data…… ……….. 1.5. Sistematika Penulisan……… 4 5 5 BAB II METODOLOGI 2.1. Konsep dan Definisi ……….. 7

2.2. Pengertian Ketimpangan... 8

2.3. Teknik Penghitungan Ketimpangan ... 10

2.4. Kategori Kesenjangan ... 14

BAB III PENDAPATAN PERKAPITA PENDUDUK KABUPATEN BANDUNG 3.1. Produk Domestik Regional Bruto perkapita ….. 17

3.2. Konsumsi Perkapita………. ………. 3.3. Klasifikasi Wilayah………. 28 34 BAB IV DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KETIMPANGAN ANTAR GOLONGAN PENDAPATAN 4.1. Gini Rasio... 38

(7)

BAB IV KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR WILAYAH ... 44

BAB V PENUTUP

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 PDRB Per Kapita, Ranking PDRB Per Kapita dan Ranking IPM Menurut

Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2007

23

Tabel 2 Ranking PDRB Per Kapita dan Ranking IPM Beserta Komponennya Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2007

24

Tabel 3 Laju PDRB Perkapita, Inflasi, Selisih Laju Pendapatan dengan Inflasi Tahun 2007

26

Tabel 4 Persentase Rata – Rata Pengeluaran Per Kapita Sebulan Untuk Sub Golongan Makanan dan Bukan Makanan Menurut Golongan Pengeluaran

31

TABEL 5 Konsumsi Per Kapita, Ranking Konsumsi Per Kapita Dan Laju Konsumsi Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2008

32

Tabel 6 Share Industri, Kategori Wilayah dan Ranking PDRB Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2007

36

Tabel 7 Gini Rasio Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2008

(9)

Tabel 8 Kelompok Pendapatan Terendah, Menengah Dan Teratas Menurut Ukuran Bank Dunia Berdasarkan Kecamatan Di Kabupaten Bandung Tahun 2008

43

Tabel 9 Indeks Williamson Kabupaten Bandung Tahun 2005-2008

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Koefisien Gini Menurut Kurva Lorenz 12

Peta 1 Sebaran Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2007

18

Peta 2 Kelompok Kecamatan Berdasarkan Besaran Pdrb Perkapitanya Tahun 2007

19

Peta 3 Kelompok Kecamatan Kabupaten Bandung Menurut Rangking Ipm Tahun 2007

20

Grafik 1 Komposisi Konsumsi Rumah Perkapita Kabupaten Bandung Tahun 2006 -2008

30

Peta 4 Kategori Kecamatan Di Kabupaten Bandung Berdasarkan Klasifikasi Unido Tahun

35

Peta 5 Kelompok Kecamatan Di Kabupaten Bandung Berdasarkan Indikator Gini Rasio 2008

40

Grafik 2 Distribusi Pendapatan Kabupaten Bandung Tahun 2008

41

Grafik 3. Perkembangan Indeks Wiliamson Kabupaten Bandung

(11)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi, pengukuran kinerja pembangunan daerah umumnya menggunakan laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan terjemahan dari laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), hal ini berarti bahwa keberhasilan pembangunan daerah berorientasi pada pertumbuhan PDRB yang tinggi.

Keberhasilan yang cukup memuaskan diberbagai bidang dan sektor pembangunan yang diukur dengan Laju pertumbuhan Ekonomi (LPE) menunjukan peningkatan yang terus menerus yang mengarah pada peningkatan share kelompok primer dan mengurangi peran sektor pertanian. Secara ekonomi makro pembangunan ini membuat struktur perekonomian menjadi kokoh.

Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang diklasifikasikan sebagai wilayah industrialis penuh (menurut klasifikasi UNIDO) dengan share sektor industri pengolahannya mencapai sekitar 60 persen dari total PDRB.

(12)

Dengan Laju Pertumbuhan Ekonomi rata-rata di atas 5 persen selama periode 2005 – 2007, maka secara makro ekonomi pembangunan ekonomi di Kabupaten Bandung dapat dikatakan cukup berhasil menggerakan roda perekonomian dan memiliki strukur perekonomian yang kokoh.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata seringkali menyebabkan bertambah lebarnya ketimpangan antar golongan masyarakat (yang kaya dan yang miskin) dan kesejangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal).

Ketimpangan yang makin tinggi antar golongan dan antar wilayah ini dapat memunculkan masalah kecemburuan sosial, kerawanan disitegrasi wilayah dan disparitas ekonomi yang makin lebar dan tajam.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah keberhasilan pembangunan ekonomi di Kabupten Bandung tersebut benar-benar meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya ? Apakah hasil pembangunan ekonomi tersebut merata dinikmati oleh masyarakat Kabupaten Bandung ? Apakah pembangunan telah merata di semua wilayah Kabupaten Bandung ?

Untuk melihat hal tersebut tentunya diperlukan ukuran-ukuran (indikator) yang dapat menggambarkan kondisi tersebut.

(13)

1.2. Permasalahan

Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah di provinsi Jawa Barat yang memiliki area sangat luas dengan karakteristik potensi wilayah (kecamatan), sumber daya alam, dan kegiatan ekonomi penduduk yang berbeda, serta memilki topologi wilayah yang cukup beragam. Keadaan ini menimbulkan perbedaan kecepatan pembangunan pada masing-masing kecamatan.

Secara kasat mata wilayah-wilayah yang memiliki potensi ekonomi yang ditopang oleh industri pengolahan pembangunan ekonominya lebih cepat dibanding wilayah lainnya, akan tetapi ada juga wilayah bukan wilayah industri tetapi wilayah tersebut merupakan wilayah perumahan yang penduduknya relatif mapan, ada pula daerah yang secara potensi wilayahnya tinggi karena memiliki potensi panas bumi tetapi perekonomian masyarakatnya relatif rendah.

Dengan dasar pemikiran tersebut maka perlu dilakukan kajian yang dapat melihat tingkat kesenjangan baik dilihat sisi ketimpangan pendapatan maupun ketimpangan antar wilayah.

Gini rasio merupakan salah satu indikator yang dapat melihat ketimpangan pendapatan antar golongan penduduk, untuk melihat karakteristik

(14)

ketimpangan lainnga dapat menggunakan data PDRB perkapita sebagai proxy pendapatan perkapita.

Untuk memenuhi indikator ketimpangan tersebut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung membuat publikasi dengan judul “ Gini Rasio Kabupaten Bandung”.

1.3. Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah membuat indikator yang memberikan gambaran proporsi tingkat pendapatan yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan daerah secara umum serta sebagai bahan evaluasi pembangunan daerah.

Dari kegiatan ini diharapkan dapat;

a. Memberi gambaran tentang pendapatan perkapita masyarakat

b. Memberikan gambaran tentang pengeluaran konsumsi perkapita

c. Memberi gambaran kemajuan wilayah

d. Menggambarkan ketimpangan pendapatan antar golongan penduduk

(15)

1.4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam data hasil survei Pola konsumsi dan Suseda BPS Kabupaten Bandung tahun 2008. Untuk melengkapi kajian digunakan juga beberapa sumber data lain seperti data PDRB, IPM, dan lain-lain tahun sebelumnya (tahun 2007) yang tersedia datanya sebagai gambaran awal dalam membuat kajian analisis keterbandingan.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan meliputi :

1. Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, sumber data dan sistematika penulisan

2. Bab II Konsep dan Metologi yang berisi konsep dan definisi yang digunakan dan metologi penghitungan

3. Bab III Pendapatan Perkapita Penduduk Kabupaten Bandung berisi tentang pendapatan perkapita dengan dua metode pendekatan, yaitu pengeluaran perkapita dan PDRB perkapita 4. Bab IV Distribusi Pendapatan dan

Ketimpangan antar Golongan Pendapatan Penduduk, berisi ukuran distribusi pendapatran

(16)

antar golongan pendapatan yang diukur dengan ukuran Bank Dunia dan Gini Rasio

5. Bab V Ketimpangan Pendapatan antar Wilayah, berisi pengukuran ketimpangan dengan menggunakan Indeks Williamson

(17)

BAB II.

KONSEP DAN METODOLOGI

2.1 Konsep dan Definisi

Pengeluaran rata-rata per kapita sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga sebulan untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Pengeluaran atau konsumsi rumahtangga dibedakan menjadi dua yaitu konsumsi makanan dan bukan makanan tanpa memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumahtangga saja, tidak termasuk konsumsi pengeluaran untuk keperluan usaha rumahtangga atau yang diberikan kepada pihak lain. Pengeluaran untuk konsumsi makanan ditanyakan selama seminggu yang lalu, -sedangkan pengeluaran untuk bukan makanan setahun yang lalu. Baik konsumsi makanan maupun bukan makanan selanjutnya dikonversikan ke dalam pengeluaran rata-rata sebulan.

PDRB perkapita sebagai proxy dari pendapatn perkapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dan adanya aktivitas produksi. Sedangkan PDRN perkapita merupakan gambaran pendapatan yang diterima oleh masing-masing penduduk sebagai keikut sertaannya dalam proses produksi. Data tersebut diperoleh dengan cara

(18)

membagi total nilai PDRB/PDRN dengan jumlah penduduk pertengahan tahun (karena penyebarannya dianggap lebih merata) Kedua indikator tersebut biasanya digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah. Apabila data tersebut disajikan secara berkala akan menunjukkan adanya perubahan kemakmunan.

2.2 Pengertian Ketimpangan

Kesenjangan dapat diterjemahkan sebagai gap antara yang tertinggi dan yang terendah. Dalam konteks ekonomi Aspek “keadilan dan pemerataan” selain dapat ditinjau berdasarkan hubungan interpersonal, namun dapat pula ditinjau menurut perbandingan antar daerah (Raksaka Mahi, 2000)

Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik memenuhi beberapa syarat seperti:

x Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.

x Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence). Jika penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga

(19)

memenuhi syarat ini.

x Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini juga memenuhi hal ini.

x Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi kriteria ini.

Selain itu ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat sebagai berikut :

x Dapat didekomposisi

Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain. Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok. Yakni nilai total koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (subgroup).

x Dapat diuji secara statistik

Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar

(20)

waktu. Hal ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang) kepercayaan umumnya dapat dibentuk.

Pada saat membahas kesejangan pendapatan golongan penduduk akan terkait dengan perbandingan kesenjangan antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin, ini menimbulkan konsep “garis kemiskinan “ (poverty line) yang menunjukkan batas terendah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Penduduk yang berada digaris kemiskinan (absolute poverty ) apabila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan paling pokok seperti sandang, pangan, perumahan, pendidikan kesehatan dan lainnya.

2.3 Teknik Penghitungan Ketimpangan

Ada beberpa alat ukur untuk mengukur ketimpangan, pada publikasi ini disajikan dua indikator untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan, yakni Gini Rasio dan Ukuran Bank Dunia dan satu indikator untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar wilayah, yaitu dengan Indeks Williamson.

(21)

a. Koefisien Gini (Gini Ratio)

Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, gambarlah grafik persentase kumulatif rumahtangga (dari termiskin hingga terkaya) pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.

Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna. Koefisien Gini tidak sepenuhnya memuaskan.

(22)

Kumulatif Penduduk (%)

K

u

m

u

la

ti

f

P

e

n

g

e

lu

a

ra

n

(%

)

GAMBAR 1 KOEFISIEN GINI MENURUT KURVA LORENZ

Formula yang digunakan untuk menghitung Koefisien Gini (Gini Rasio) adalah sebagai berikut:

dimana:

100

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0

(23)

GR = Koefisien Gini (Gini Ratio); fpi= frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i;

Fci = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i;

Fci-1= frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke (i-1).

b. Ukuran Bank Dunia

Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai dengan besarnya pendapatan:

Dengan dasar pengelompokan 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi.

c. Indeks Williamson

Ukuran ketimpangan pendapatan lainnya yang lebih penting lagi untuk dikaji adalah kesenjangan antar wilayah/ daerah dengan menggunakan perhitungan indeks Williamson.

Dasar perhitungannya adalah dengan menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah dengan rumus :

(24)

di mana:

Vw = indeks Williamson

Yi = pendapatan per kapita di kecamatan ke i Y = pendapatan per kapita rata-rata seluruh kecamatan

Fi = jumlah penduduk di kecamatan i n = jumlah penduduk kabupaten

Ini berarti bahwa pada dasarnya indeks Williamson merupakan koefisien persebaran (coefficient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-nilai PDRB dan penduduk daerah-daerah yang berada pada lingkup wilayah yang dikaji dan dianalisis

2.4 Kategori Kesenjangan

Indeks Gini yang diperoleh juga dihitung berdasarkan data pengeluaran. Ukuran ksenjanga Indeks Gini berada pada besaran 0 dan 1. Semakin besar angka ini berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan pengeluaran antar kelompok penduduk berdasarkan

Y

n

f

Y

Y

V

i i i W

¦



 2

)

(

(25)

golongan pengeluaran. Indeks Gini bernilai nol artinya terjadi kemerataan sempurna, sementara indeks gini bernilai satu berarti ketimpangan sempurna.

Standar penilaian ketimpangan Gini Rasio ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut (Hera Susanti dkk, Indikator-Indikator Makroekonomi,LPEM-FEUI,1995 :

o GR < 0.4 dikategorikan sebagai ketimpangan rendah

o 0.4 ”GR ” 0.5 dikategorikan sebagai ketimpangan sedang (Moderat)

o GR > 0.5 dikategorikan sebagai ketimpangan tinggi

Ketimpangan pendapatan dengan menggunakan ukuran Bank Dunia diukur dengan menghitung persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut:

x Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan sebagai memiliki ketimpangan pendapatan tinggi;

x Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan sebagai memiliki

(26)

ketimpangan pendapatan sedang/menengah;

x Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan sebagai memiliki

ketimpangan pendapatan rendah.

Ukuran kesenjanga indeks Williamson berada pada besaran 0 dan 1. Semakin besar angka ini berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan antar wilayah dalam satu wilayah pengamatan. Nilai Indeks Gini bernilai nol artinya terjadi kemerataan sempurna, sementara indeks gini bernilai satu berarti ketimpangan sempurna (DR. Tulus. T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia, 2001).

(27)

BAB III

PENDAPATAN PERKAPITA PENDUDUK KABUPATEN BANDUNG

Ketersediaan data pendapatan perkapita untuk daerah di Indonesia dapat dikatakan tidak tersedia, oleh karena itu pengukuran kesejahteraan masyarakat suatau wilayah umumnya didekati dengan dua pendekatan (proxy) pendapatan yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita dan Pengeluaran Konsumsi Perkapita. Walaupun kedua nilai tersebut tidak menggambarkan pendapatan riil penduduk akan tetapi secara empiris terbukti dapat memberikan gambaran pendapatan penduduk untuk dapat menjadi indikator kesejahteraan masyarakat suatu wilayah.

Tingkat pendapatan pendapatan suatu wilayah selain dari kemampuan ekonomi wilayah tersebut juga tergantung jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut, jadi wilayah yang mempunyai nilai PDRB tertinggi belum tentu memiliki PDRB perkapita yang tinggi pula apabila jumlah penduduk wilayah tersebut sangat tinggi.

Sebaran Penduduk tahun 2007 di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada sebaran peta berikut ini, dari peta tersebut terlihat bahwa penduduk Kecamatan Nagreg, Cangkuang, Rancabali dan Kecamatan Cilengkrang masing-masing berpenduduk hanya sekitar 1.4 – 1.9 persen dari total penduduk Kabupaten Bandung. Sedangkan Kecamatan Soreng, Majalaya, Baleendah, Ciparay dan Rancaekek masing – masing berpenduduk sekitar 4,6 – 6,1 persen dari total penduduk di Kabupaten Bandung. Hal ini memberikan indikasi bahwa 25

(28)

persen penduduk Kabupaten Bandung terpusat di 5 kecamatan tersebut. PASIRJAMBU PACET PANGALENGAN KERTASARI RANCABALI IBUN PASEH SOREANG CIWIDEY CIMAUNG ARJASARI NAGREG CIPARAY CICALENGKA CIMENYAN RANCAEKEK CILEUNYI BALEENDAH CIKANCUNG BANJARAN CILENGKRANG BOJONGSOANG KATAPANG MARGAASIH SOLOKAN JERUK DAYEUHKOLOT MAJALAYA CANGKUANG penduduk 1.4% - 1.9% 1.9% - 2.7% 2.7% - 3.6% 3.6% - 4.6% 4.6% - 6.1% 10 0 10 20 Miles N E W S

SEBARAN PENDUDUK KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007

Peta 1.

3.1 Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Kabupaten Bandung

Pada dasarnya pembangunan terdiri dari dua aspek kehidupan yaitu aspek ekonomi dan aspek sosial, salah satu indikator dari aspek ekonomi adalah PDRB perkapita sedangkan dari aspek sosial adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan ukuran

(29)

keberhasilan pembangunan manusia dalam salah satu wilayah tertentu.

Peningkatan pembangunan ekonomi diharapkan akan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja, hal ini tentunya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong peningkatan kualitas sumber Daya Manusia (SDM), demikian pula peningkatan kualitas SDM akan turut membantu meningkatan produktivitas kegiatan ekonomi yang membatu peningkatan penciptaan nilai tambah kegiatan ekonomi.

Dengan melihat keterkaitan tersebut maka dapat dilihat hubungan antara aspek ekonomi yang diukur dengan PDRB perkapita dan kualitas manusianya yang diukur dengan IPM.

PASIRJAMBU PACET PANGALENGAN KERTASARI RANCABALI IBUN PASEH SOREANG CIW IDEY CIMAUNG ARJASARI NAGREG CIPARAY CICALENGKA CIMENYAN RANCAEKEK CILEUNYI BALEENDAH CIKANCUNG BANJARAN CILENGKRANG BOJONGSOANG KATAPANG MARGAAS IH SOLOKAN JERUK DAYEUHKOLOT PDRB Perkapita Rangking 1 - 7 Rangking 7 - 15 Rangking 15 - 22 Rangking 22 - 30 10 0 10 20 Miles N E W S

KELOMPOK KECAMATAN BERDASARKAN RANGKING BESARAN PDRB PERKAPITANYA

Tahun 2007

(30)

Tabel 1 menunjukkan bahwa wilayah yang tinggi PDRB perkapitanya ternyata tidak selalu memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi pula, keadaan ini diperlihatkan dengan perbedaan rangking yang sangat mencolok antara rangking PDRB perkapita dan rangking IPM. PASIRJ AMBU PACET PANG ALENG AN KERTASARI RANCABALI IBUN PASEH SOREANG CIW IDEY CIMAUNG ARJASARI NAG REG CIPARAY CICALENGKA CIMENYAN RANCAEKEK CILEUNYI BALEENDAH CIKANCUNG BANJ ARAN CILENGKRANG BOJO NG SOANG KATAPANG MARGAAS IH SOLOKAN JERUK DAYEUHKOLOT Rangking IPM Rangking 1 - 7 Rangking 7 - 15 Rangking 15 - 22 Rangking 22 - 30 10 0 10 20 Miles N E W S

KELOMPOK KECAMATAN KABUPATEN BANDUNG MENURUT RANGKING IPM TAHUN 2007

Peta 3.

Kecamatan Dayeuhkolot, Majalaya, Pameungpeuk, Katapang dan kecamatan Rancabali merupakan lima terbesar dalam penciptaan PDRB per kapita. Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rangking lima besarnya diduduki oleh Kecamatan Cileunyi, Margahayu, Dayeuhkolot, Rancaekek dan Margaasih.

Perbedaan antara rangking PDRB perkapita dan rangking IPM dan Apabila dilihat pada pencapaian ranking PDRB per kapita dan IPM diperlihakan

(31)

Kecamatan Rancabali dimana PDRB perkapitanya menduduki rangking 5 sedangkan IPM nya hanya menduduki rangking 29, bila dilihat dari struktur ekonominya, Nilai tambah yang diciptakan di Kecamatan Rancabali lebih dari setengahnya diciptakan dari sektor industri pengolahan yang sebagian besar sumbangan dari industri di perkebunan sedangkan penduduk yang bekerja di sektor industri hanya sekitar 3,7 persen dari seluruh penduduk yang bekerja, hal ini diprediksi nilai tambah yang diciptakan dari sektor industri di Kecamatan Rancabali hanya sedikit dinikmati penduduknya sebagai balas jasa pekerja sedangkan surplus usahanya keluar melalui pengusaha atau pemegang modal, sedangkan sektor pertanian yang hanya menyumbang sekitar 22 persen tetapi penduduk yang bekerja disektor ini lebih dari 75 persen dari total penduduk yang bekerja di wilayah ini .

Berbeda dengan Kecamatan Rancabali, Kecamatan Cileunyi yang memiliki rangking PDRB perkapitanya rangking 24 ternyata memiliki rangking IPM pertama, walaupun cileunyi juga merupakan wilayah yang dikategorikan industri penuh (kontribusi industri sebesar 32,54 persen) tetapi secara struktur ekonominya, sektor perdagangan yang merupakan sektor penyumbang nilai tambah terbesar kecamatan ini dengan kontribusi mencapai 34,47 persen dan tampaknya kekuatan ekonomi dari sektor industri juga berasal dari industri kecil dan menengah sehingga hasil nilai tambah yang

(32)

diciptakan dari juga tidak banyak yang terbawa keluar wilayah ini, prediksi ini diperkuat dengan banyaknya penduduk wilayah ini yang bekerja di sektor industri (32,50 persen dari total yang bekerja) dan sektor perdagangannya juga menyerap sekitar 23 persen tenaga kerja di wilayah ini.

Beberapa wilayah lainnya yang memiliki pola seperti kedua kecamatan di atas tampaknya juga mempunyai reaseoning yang mirip dengan penjelasan di atas. Dengan melihat kenyataan di atas tentunya perlu pemikiran bersama banyak pihak sehingga wilayah yang secara ekonomi dapat meningkat pesat, hasilnya juga dapat membantu pembangunan manusia di wilayah tersebut. Hal ini memang tidak mudah karena seringkali kebutuhan perusahaan akan tenaga trampil tidak dapat dipenuhi oleh penduduk sekitarnya. Rincian lengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.

Rangking IPM yang menggambarkan tingkat pembangunan manusia di pengaruhi oleh ketiga komponennya, untuk melihat pengaruh komponen yang membuat pembangunan ekonomi kurang sejalan dengan pembangunan manusiannya dapat dilihat pada tabel 2.

Rangking Komponen IPM pada beberapa kecamatan menunjukan pola yang cukup seragam, ini menunjukkan bahwa seluruh komponen sejalan dengan IPMnya, sedangkan bagi wilayah yang rangking komponen IPMnya memiliki variasi yang tinggi

(33)

menunjukan bahwa pembangunan manusia di wilayah tersebut lebih banyak didorong oleh komponen tertentu.

TABEL 1 :

PDRB PER KAPITA RANKING PDRB PER KAPITA DAN RANKING IPM MENURUT KECAMATAN DI KABUPATEN BANDUNG

TAHUN 2007 No Kecamatan PDRB Perkapita (Rp.000) Rangking PDRB Perkapita Rangking IPM [1] [2] [3] [4] [5] 1 Ciwidey 6.768 22 22 2 Rancabali 14.309 5 29 3 Pasirjambu 9.351 13 24 4 Cimaung 4.714 29 23 5 Pangalengan 10.567 10 19 6 Kertasari 8.479 18 30 7 Pacet 6.006 26 28 8 Ibun 11.833 8 14 9 Paseh 7.665 20 26 10 Cikancung 10.164 12 27 11 Cicalengka 8.406 19 16 12 Nagreg 9.105 15 21 13 Rancaekek 7.142 21 4 14 Majalaya 24.185 2 9 15 Solokanjeruk 11.821 9 25 16 Ciparay 5.037 28 11 17 Baleendah 6.260 25 7 18 Arjasari 9.135 14 18 19 Banjaran 8.774 16 13 20 Cangkuang 6.535 23 20 21 Pameungpeuk 19.060 3 10 22 Katapang 17.429 4 8 23 Soreang 8.700 17 12 24 Margaasih 10.512 11 5 25 Margahayu 12.505 6 2 26 Dayeuhkolot 39.619 1 3 27 Bojongsoang 12.206 7 6 28 Cileunyi 6.371 24 1 29 Cilengkrang 5.811 27 15 30 Cimenyan 3.995 30 17

(34)

TABEL 2 :

RANKING PDRB PER KAPITA DAN RANKING IPM BESERTA KOMPONENNYA MENURUT KECAMATAN

DI KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007

Rangking No Kecamatan

Rangking PDRB

Perkapita IPM Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan Indeks PPP [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] 1 Ciwidey 22 22 19 22 21 2 Rancabali 5 29 24 28 29 3 Pasirjambu 13 24 6 26 30 4 Cimaung 29 23 9 19 26 5 Pangalengan 10 19 11 20 22 6 Kertasari 18 30 27 30 25 7 Pacet 26 28 28 16 28 8 Ibun 8 14 3 17 23 9 Paseh 20 26 25 29 24 10 Cikancung 12 27 30 24 5 11 Cicalengka 19 16 26 8 11 12 Nagreg 15 21 16 15 27 13 Rancaekek 21 4 2 7 7 14 Majalaya 2 9 4 12 18 15 Solokanjeruk 9 25 29 25 15 16 Ciparay 28 11 17 11 13 17 Baleendah 25 7 12 9 8 18 Arjasari 14 18 20 14 20 19 Banjaran 16 13 7 23 10 20 Cangkuang 23 20 10 27 16 21 Pameungpeuk 3 10 15 10 17 22 Katapang 4 8 21 5 6 23 Soreang 17 12 13 18 12 24 Margaasih 11 5 5 6 9 25 Margahayu 6 2 18 1 1 26 Dayeuhkolot 1 3 14 2 2 27 Bojongsoang 7 6 22 3 3 28 Cileunyi 24 1 1 4 4 29 Cilengkrang 27 15 7 21 14 30 Cimenyan 30 17 23 13 19

(35)

Tabel 2 memperlihatkan bahwa IPM masing – masing kecamatan secara umum tidak jauh rangkingnya dari rangking komponen PPP-nya, hal ini menggambarkan bahwa pembangunan manusia wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan daya beli masyarakatnya. Pola yang cukup jauh diperlihatkan oleh Kecamatan Ibun dan Majalaya dimana rangking PPP-nya jauh di bawah rangking IPM-nya, keadaan ini memberikan gambaran bahwa wilayah tersebut pembangunan manusiannya lebih banyak didukung kemajuan komponen kesehatan dan pendidikan. Sedangkan untuk Kecamatan Solokanjeruk dan Cikancung dimana rangking PPP-nya jauh di atas rangking IPM-nya, keadaan ini memberikan gambaran bahwa tingginya tingkat daya beli wilayah tersebut tidak mendukung kemajuan komponen lainnya (Kesehatan dan Pendidikan).

Kemampuan daya beli (PPP) yang tinggi bila tidak diikuti pembangunan komponen lainnya umumnya terjadi karena faktor budaya wilayah tersebut dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan di wilayah tersebut. Sehingga memungkinkan penduduk wilayah tersebut yang memiliki kemampuan secara ekonomi menyekolahkan anaknya di tempat lain dan menjadi penduduk wilayah lain.

(36)

TABEL 3

LAJU PDRB PERKAPITA, INFLASI, SELISIH LAJU PENDAPATAN DENGAN INFLASI TAHUN 2007

No Kecamatan Laju PDRB

Perkapita Inflasi selisih

[1] [2] [3] [4] [5] 1 Ciwidey 10,10 8,10 2,00 2 Rancabali 8,69 6,68 2,01 3 Pasirjambu 10,06 7,14 2,92 4 Cimaung 9,40 6,00 3,40 5 Pangalengan 10,11 7,43 2,68 6 Kertasari 8,35 6,35 2,00 7 Pacet 9,77 6,80 2,97 8 Ibun 10,13 7,18 2,95 9 Paseh 9,61 6,93 2,68 10 Cikancung 10,01 6,98 3,03 11 Cicalengka 10,41 7,47 2,94 12 Nagreg 9,75 7,00 2,75 13 Rancaekek 10,15 7,15 3,00 14 Majalaya 9,66 6,83 2,83 15 Solokanjeruk 9,79 6,84 2,95 16 Ciparay 10,18 7,19 2,99 17 Baleendah 9,84 7,02 2,82 18 Arjasari 9,74 6,72 3,02 19 Banjaran 9,86 7,40 2,46 20 Cangkuang 9,08 6,36 2,72 21 Pameungpeuk 9,20 6,50 2,70 22 Katapang 8,57 5,97 2,60 23 Soreang 10,40 7,16 3,24 24 Margaasih 10,04 7,00 3,04 25 Margahayu 9,52 6,96 2,56 26 Dayeuhkolot 9,55 6,69 2,86 27 Bojongsoang 9,41 6,68 2,73 28 Cileunyi 10,63 7,22 3,41 29 Cilengkrang 9,12 7,14 1,98 30 Cimenyan 9,98 7,39 2,59 KAB BANDUNG 9.70 6,89 2,81

(37)

Untuk dapat memprediksi peningkatan kesejahteraan masyarakat dari PDRB perkapita maka dapat dibandingkan antara Laju PDRB perkapita dengan inflasi yang terjadi di wilayah tesebut, hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa bila laju pendapatan masyarakat lebih tinggi dari inflasi maka secara riil terjadi peningkatan pendapatan untuk dikonsumsi, sedangkan bila terjadi sebaliknya maka secara riil pendapatan masyarakat tidak meningkat karena kenaikan nilai konsumsi yang harus dibayar akan lebih tinggi.

Karena keterbatasan data tentang inflasi di Kabupaten Bandung maka untuk pendekatannya dipakai angka inflasi PDRB dengan memanfaatkan angka PDRB atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan konstan yang secara matematik tidak akan jauh berbeda dengan inflasi Indeks Harga Konsumen.

Tabel 3 memperlihatkan bahwa secara umum laju pendapatan perkapita penduduk masing-masing kecamatan berada di atas laju inflasinya, hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pendapatan riil masayarakat Kabupaten Bandung meningkat atau dapat juga diartikan bahwa tingkat kemakmuran masayarkat Kabupaten Bandung meningkat.

Bila kita cermati dari tabel 3 maka kinerja pemerintah daerah Kabupaten Bandung secara keseluruhan sudah bisa dikatakan bagus, hal ini bisa kita lihat dari laju PDRB per kapita yang tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung yang seluruhnya

(38)

melebihi inflasi, hal tersebut menggambarkan daya beli masyarakat di kabupaten Bandung terus meningkat. Bahkan yang terjadi dibeberapa kecamatan laju pendapatan perkapita melebihi laju pendapatan perkapita Kabupaten Bandung diantaranya kecamatan Ciwidey, Pasirjambu, Pangalengan, Ibun, Cikancung, Cicalengka, Rancaekek, Ciparay, Soreang, Margaasih, Cileunyi dari kesemua kecamatan tersebut memiliki laju pendapatan perkapita di atas10 persen. Untuk melihat secara lengkap perbandingan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

3.2 Konsumsi Perkapita Kabupaten Bandung

Seperti telah dijelaskan di terdahulu, bahwa konsumsi perkapita juga dapat digunakan sebagi proxy pendapat perkapita sehingga informasi mengenai Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk

(39)

memenuhi kebutuhan barang bukan makanan atau ditabung. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.

Bila melihat komposisi pola konsumsi masyarakat Kabupaten Bandung Tahun 2006 – 2008 terlihat bahwa pengeluaran konsumsi untuk makanan tahun 2006 ke tahun 2007 bergeser dari 57,24 persen menjadi 47,21 persen dan konsumsi non makanan bergeser dari 42,76 persen menjadi 52,79 persen, secara teoritis komposisi pola konsumsi dapat dikatakan bahwa masyarakat Kabupaten Bandung mengalami peningkatan kesejahteraan. Akan tetapi bila melihat pergeseran yang terjadi dari tahun 2007 ke tahun 2008 terlihat bahwa konsumsi makanan kembali mendominasi struktur konsumsi penduduk Kabupaten Bandung, hal ini dapat dimengerti karena pada tahun 2008 terjadi lonjakan inflasi dan kenaikan harga BBM telah ”mengerem” pemenuhan kebutuhan konsumsi non makanan, sehingga fokus konsumsi kembali kepada pemenuhan konsumsi makanan. Hal ini sangat jelas terlihat dari komposisi jenis komoditas yang dikonsumsi dimana konsumsi beras kembali melonjak seperti kondisi sebelum tahun 2007.

(40)

Tabel.4 memperlihatkan bahwa komoditas beras dari pengeluaran untuk konsumsi merupakan komoditas yang mengalami penurunan cukup tinggi yaitu dari 15,79 persen pada tahun 2006 menjadi 12,60 persen pada tahun 2007 dan meningkat kembali pada tahun 2008 Menjadi 14.95 persen, sedangkan untuk pengeluaran konsumsi bukan makanan pada tahun 2007 dimana konsumsi tertinggi diperlihatkan oleh komoditas perumahan dan sandang (pakaian dan alas kaki) maka pada tahun 2008 komoditas tersebut mengalami penurunan yang cukup tinggi. Untuk melihat lebih jauh komposisi komposisi komoditas yang mengalami

(41)

perubahan dapat dilihat pada tabel berikut : TABEL 4

PERSENTASE RATA – RATA PENGELUARAN PER KAPITA SEBULAN UNTUK SUB GOLONGAN MAKANAN DAN BUKAN

MAKANAN MENURUT GOLONGAN PENGELUARAN

Jenis Komoditi 2006 2007 2008 (1) (3) (4) A. MAKANAN 1. Padi-padian 15,79 12,60 14,95 2. Umbi-umbian 0,84 0,51 1,03 3. I k a n 3,79 3,32 3,47 4. Daging 3,23 2,29 3,71

5. Telur dan Susu 3,28 2,72 3,99

6. Sayur-sayuran 2,88 1,67 2,75

7. Kacang-kacangan 2,58 1,92 2,33

8. Buah-buahan 2,05 1,54 2,06

9. Minyak dan Lemak 2,72 2,45 3,21

10. Bahan Minuman 2,70 2,01 2,19

11. Bumbu-bumbuan 1,69 1,32 1,88

12. Konsumsi lainnya 1,40 2,00 2,50

13. Makanan jadi 6,00 5,96 10,86

14. Minuman beralkohol 0,01 0,01 *)

15. Tembakau dan Sirih 8,29 6,90 8,22

Jumlah Makanan 57,24 47,21 63,15

B. BUKAN MAKANAN

1. Perumahan, Bahan bakar 25,37 22,85 18,16

2. Aneka barang dan jasa 4,22 9,64 11,15

3. Biaya pendidikan 3,54 3,68 *)

4. Biaya kesehatan 1,57 2,95 *)

5. Pakaian, Alas kaki 4,08 10,01 3,93

6. Barang-barang tahan lama 1,52 1,49 1,81

7. Pajak dan Asuransi 0,97 1,03 0,82

8. Kep. Pesta dan Upacara 1,48 1,14 0,99

Jumlah bukan makanan 42,76 52,79 36,85

Jumlah (A + B) 100,00 100,00 100,00 *) Tergabung dengan komponen lainnya

(42)

TABEL 5:

KONSUMSI PER KAPITA, RANKING KONSUMSI PER KAPITA DAN LAJU KONSUMSI MENURUT KECAMATAN DI KABUPATEN

BANDUNG TAHUN 2008

No Kecamatan Konsumsi Per Kapita (Rp.) Rangking Konsumsi Perkapita [1] [2] [2] [4] 1 Ciwidey 203.430 29 2 Rancabali 186.070 31 3 Pasirjambu 273.061 21 4 Cimaung 254.801 26 5 Pangalengan 481.975 2 6 Kertasari 199.646 30 7 Pacet 226.875 27 8 Ibun 262.118 24 9 Paseh 332.846 12 10 Cikancung 210.398 28 11 Cicalengka 285.244 20 12 Nagreg 330.055 13 13 Rancaekek 392.365 6 14 Majalaya 308.571 16 15 Solokanjeruk 347.608 10 16 Ciparay 338.100 11 17 Baleendah 382.286 7 18 Arjasari 269.760 22 19 Banjaran 261.102 25 20 Cangkuang 295.188 18 21 Pameungpeuk 351.671 9 22 Katapang 287.127 19 23 Soreang 306.620 17 24 Kutawaringin 268.743 23 25 Margaasih 439.024 3 26 Margahayu 531.984 1 27 Dayeuhkolot 393.783 5 28 Bojongsoang 376.163 8 29 Cileunyi 403.660 4 30 Cilengkrang 311.571 15 31 Cimenyan 315.908 14

(43)

Pengeluaran konsumsi per kapita per kecamatan merupakan salah satu indikator alternatif yang dapat dijadikan untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraan penduduk antar kecamatan di Kabupaten Bandung, hal tersebut bisa diasumsikan semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu daerah maka akan tinggi pula pengeluaran konsumsi per kapitanya.

Dari tabel 5 konsumsi perkapita tertinggi terdapat di kecamatan Margahayu dengan rata – rata konsumsi perkapita sebesar Rp.531,984 perbulan, disusul kemudian oleh kecamatan pangalengan, kecamatan Margaasih, dan kecamatan Cileunyi yang masing – masing mempunyai rata – rata pengeluaran untuk konsumsi diatas 400 000 rupiah per bulan. Secara umum wilayah ini juga memiliki angka IPM yang tinggi tampaknya wilayah ini adalah wilayah-wilayah yang merupakan wilayah peumahan sehingga kemampuan secara ekonomi dan kualitasnya pembangunan manusiannya berjalan cepat tentu saja akan memberi konsekuansi terhadap peningkatan pengeluaran yang tidak lagi terfokus pada pemenuhan konsumsi semata.

Sedangkan konsumsi perkapita terendah terdapat di kecamatan Kertasari dengan rata – rata konsumsi sebesar Rp. 199,646, terkecil kedua adalah kecamatan Ciwidey sebesar Rp. 203,430 dan diikuti oleh kecamatan Cikancung yang mempunyai rata – rata pengeluaran per kapita sebesar Rp. 210.398. Seperti

(44)

kelompok pengeluaran tertinggi pada kelompok ini juga rata-rata memiliki nilai IPM yang relatif lebih rendah artinya pembangunan manusia wilayah ini masih tertinggal oleh wilayah lainnya.

3.3 Klasifikasi Wilayah

Bila ditinjau secara umum Kabupaten Bandung merupakan yang termasuk wilayah industri penuh (menggunakan batasan UNIDO). Hal ini terlihat dari peranan Industri Kabupaten Bandung terhadap PDRB nya yang sebesar 60.49 persen. Hal tersebut tersebar hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung yang merupakan kawasan industri penuh, kecuali kecamatan ciwidey dan cimaung yang merupakan kawasan menuju proses industri, kecamatan cilengkrang dan Pangalengan yang termasuk kawasan semi industri, sedangkan kecamatan cimenyan merupakan satu-satunya kecamatan yang masuk sebagai klasifikasi wilayah bukan kawasan industri (tradisional).

Bila kita cermati dari tabel 6 di atas Kecamatan Dayeuhkolot, Majalaya, Katapang dan Margahayu mempunyai karakteristik daerah yang sama, yang merupakan empat terbesar penyumbang PDRB Kabupaten Bandung, bila dilihat dari karakteristik wilayahnya keempat daerah tersebut merupakan wilayah Industrialisasi penuh dengan peranan industri masing – masing diatas 50 persen. Sedangkan Kecamatan

(45)

Pangalengan yang bukan wilayah industri penuh tetapi mampu memberikan sumbangan yang tinggi terhadap PDRB Kabupaten Bandung, hal ini ditunjukan dari rangking PDRB nya yang masuk dalam kelas 5 besar penyumbang PDRB kabupaten Bandung dengan nilai PDRB sebesar Rp. 1,474,916.04 juta atau sekitar 4.43 persen dari Total PDRB Kabupaten Bandung. Kecamatan Cimenyan yang merupakan satu-satunya wilayah yang diklasifikasikan sebagai daerah bukan industri berada pada posisi ke dua puluh delapan penyumbang PDRB Kabupaten Bandung dengan nilai PDRB sebesar Rp. 375410.55 juta atau 1.13 persen dari total PDRB Kabupaten Bandung. PASIRJAMBU PACET PANGALENGAN KERTASARI RANCABALI IBUN PASEH SOREANG CIWIDEY CIMAUNG ARJASARI NAGREG CIPARAY CICALENGKA CIMENYAN RANCAEKEK CILEUNYI BALEENDAH CIKANCUNG BANJARAN CILENGKRANG BOJONGSOANG KATAPANG MARGAASIH SOLOKAN JERUK DAYEUHKOLOT UNIDO

Bukan Wilayah Industri Menuju Proses Industri Semi Industri Industri Penuh 10 0 10 20 Miles N E W S

KATEGORI KECAMATAN DI KABUPATEN BANDUNG BERDASARKAN KLASIFIKASI UNIDO

TAHUN 2007

(46)

TABEL 6:

SHARE INDUSTRI, KATEGORI WILAYAH DAN RANKING PDRB MENURUT KECAMATAN DI KABUPATEN BANDUNG

TAHUN 2007 N o Kecamatan Share Industri Kategori Rangking PDRB [1] [2] [3] [4] [5]

1 Ciwidey 18,32 menuju proses industri 25

2 Rancabali 56,98 industri penuh 22

3 Pasirjambu 33,57 industri penuh 20

4 Cimaung 18,57 menuju proses industri 29

5 Pangalengan 20,11 Semi indutri 5

6 Kertasari 44,52 industri penuh 24

7 Pacet 36,92 industri penuh 23

8 Ibun 39,63 industri penuh 16

9 Paseh 58,86 industri penuh 15

10 Cikancung 65,73 industri penuh 19

11 Cicalengka 52,81 industri penuh 14

12 Nagreg 43,12 industri penuh 26

13 Rancaekek 56,95 industri penuh 10

14 Majalaya 85,3 industri penuh 2

15 Solokanjeruk 74,85 industri penuh 13

16 Ciparay 32,76 industri penuh 21

17 Baleendah 44,56 industri penuh 9

18 Arjasari 66,72 industri penuh 18

19 Banjaran 48,65 industri penuh 12

20 Cangkuang 31,88 industri penuh 27

21 Pameungpeuk 78,93 industri penuh 8

22 Katapang 82,41 industri penuh 3

23 Soreang 52,51 industri penuh 6

24 Margaasih 53,24 industri penuh 7

25 Margahayu 52,96 industri penuh 4

26 Dayeuhkolot 89,92 industri penuh 1

27 Bojongsoang 64,17 industri penuh 11

28 Cileunyi 32,54 industri penuh 17

29 Cilengkrang 24,15 Semi indutri 30

30 Cimenyan 2,95 Bukan Industri 28

(47)

BAB IV

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KETIMPANGAN ANTAR GOLONGAN PENDAPATAN

Disamping peningkatan pendapatan, aspek pemerataan pendapatan merupakan hal yang penting untuk dipantau, karena pemerataan hasil pembangunan merupakan salah satu strategi dan tujuan pembangunan nasional Indonesia. Ketimpangan dalam menikmati hasil pembangunan di antara kelompok-kelompok penduduk dikhawatirkan akan menimbulkan masalah-masalah sosial. Penghitungan distribusi pendapatan menggunakan data pengeluaran sebagai proxy pendapatan. Walaupun hal ini tidak dapat mencerminkan keadaan yang sebenarnya, namun paling tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk melihat arah dari perkembangan yang terjadi.

Ada dua indikator utama yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan. Indikator pertama adalah indikator yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Indikator ini mengukur tingkat pemerataan pendapatan dengan memperhatikan persentase pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah. Selain kriteria yang ditetapkan oleh Bank Dunia ada indikator yang juga sering digunakan, yaitu Indeks Gini.

(48)

4.1 Gini Rasio

Gini rasio merupakan salah satu indikator yang memberikan gambaran tingkat ketimpangan pendapatan suatu wilayah. Gini rasio Kabupaten Bandung tahun 2008 sebesar 2,423, ini berarti bahwa Kabupaten Bandung termasuk wilayah yang memiliki ketimpangan pendapatan yang rendah.

Secara umum gini rasio yang tersebar di Kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung termasuk kategori sebagai ketimpangan rendah, hal ini digambarkan oleh rata - rata kecamatan yang memiliki gini rasio < 0.4.

Kecamatan yang ketimpangannya relatif rendah umumnya kecamatan yang penduduknya sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan yang bekerja di sektor industrinya relatif kecil atau wilayah yang sebaran penduduk di sektor industri dan sektor lainnya (diluar pertanian dan jasa ) relatif merata. Hal ini memberikan gambaran bahwa pendapatan dari sektor industri dan sektor lainya (diluar pertanian dan jasa) relatif sama sehingga distribusi pendapatan juga relatif tersebar merata, demikian juga untuk wilayah yang penduduknya banyak tersebar di pertanian dan jasa, sektor jasa untuk kecamatan-kecamatan tersebut tampaknya meruapakan jasa peseorangan yang melayani rumah tangga sehingga pendapatannya relatif seimbang dengan yang bekerja di sektor pertanian.

(49)

TABEL 7

GINI RASIO KECAMATAN-KECAMATAN DI KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

NO KECAMATAN GINI RASIO

[1] [2] [3] 1 Ciwidey 0,1515 2 Rancabali 0,1900 3 Pasirjambu 0,1347 4 Cimaung 0,1888 5 Pangalengan 0,2492 6 Kertasari 0,1997 7 Pacet 0,1607 8 Ibun 0,2645 9 Paseh 0,2553 10 Cikancung 0,1335 11 Cicalengka 0,2039 12 Nagreg 0,2306 13 Rancaekek 0,2009 14 Majalaya 0,2106 15 Solokanjeruk 0,2884 16 Ciparay 0,2834 17 Baleendah 0,1910 18 Arjasari 0,2714 19 Banjaran 0,2373 20 Cangkuang 0,1724 21 Pameungpeuk 0,2321 22 Katapang 0,1475 23 Soreang 0,2540 24 Kutawaringin 0,2345 25 Margaasih 0,2290 26 Margahayu 0,2777 27 Dayeuhkolot 0,1715 28 Bojongsoang 0,2021 29 Cileunyi 0,2315 30 Cilengkrang 0,1879 31 Cimenyan 0,2768 Kab. Bandung 0,2423

(50)

PASIRJAMBU PACET PANGALENGAN KERTASARI RANCABALI IBUN PASEH SOREANG CIWIDEY CIMAUNG ARJASARI NAGREG CIPARAY CICALENGKA CIMENYAN RANCAEKEK CILEUNYI BALEENDAH CIKANCUNG BANJARAN CILENGKRANG BOJONGSOANG KATAPANG MARGAASIH SOLOKAN JERUK DAYEUHKOLOT Kab bandung.shp Gini Rasio Di Bawah 0.2 Gini Rasio 0.2 ke Atas

10 0 10 20 Miles

N

E W

S

Kelompok Kecamatan di Kabupaten Bandung Berdasarkan Indikator Gini Rasio

Tahun 2008

Peta 5.

Kecamatan yang tingkat ketimpangannya relatif tinggi tampaknya berada pada wilayah perumahan dan wilayah yang proporsi penduduknya antara pertanian ditambah jasa seimbang dengan kumulatif sektor lainnya (industri, perdagangan dan lainnya).

4.2 Ukuran Bank Dunia

Tingkat Kesenjangan distribusi pendapat juga dapat diukur dengan metoda Bank Dunia, Pola pengukuran distribusi pendapatan Bank Dunia membagi jumlah populasi penduduk kedalam tiga kelompok, yaitu

(51)

40 persen berpendapatn rendah, 40 persen berpendapatn menengah dan 20 persen berpendapatan tertinggi. Kelompok yang 20 persen umumnya dikatakan kelompok terkaya, sedangkan kelompok yang 40 persen terendah umumnya digolongkan kepada kelompok termiskin dan kelompok lainnya dimasukan sebagai kelompok masyarakat kelas menengah (Dr, Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia).

Dengan menggunakan kriteria Bank Dunia maka Kabupaten Bandung termasuk dalam wilayah yang memiliki ketimpangan distribusi pendapat rendah, hal ini terlihat dari pendapatan yang dikuasai oleh 40 persen penduduk berpendapatan terendah menguasai 22,84 persen dari total pendapat populasi penduduk Kabupaten Bandung (diatas 17 persen). Sedangkan kelompok kaya menguasai 36,17 persen pendapatan di Kabupaten Bandung.

(52)

Melihat pola distribusi pendapatan di masing-masing kecamatan di Kabupaten Bandung ternyata tiap kecamatan memiliki ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah pula, hal ini tergambar dari penguasaan pendapatan oleh penduduk 40 berpendapatan rendah yang berada di atas 17 persen. Masing-masing pola penguasaan pendapatan tiap kelompok di kecamatan dapat dilihat secara rinci pada tabel 8.

Ada hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh dari distribusi kecamatan ini dimana secara umum distribusi pendapatan paling besar dikuasai oleh 40 persen masyarakat kelas menengah, akan tetapi untuk beberapa kecamatan seperti Kecamatan Ibun, Kecamatan Ciparay, Kecamatan Banjaran, Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan Soreang, Kecamatan Margaasih, Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Cimeunyan pendapatan lebih banyak dikuasai oleh 20 kelompok berpendapatan teratas. Dari beberapa delapan kecamatan tersebut ada 6 kecamatan dimana kelompok 20 persen yang berpengasilan di atas 39 persen, ini berarti kurang dari 61 persen pendapatan di wilayah tersebut dibagi untuk 80 persen penduduk kelompok lainnya.

Pola distribusi pendapatan selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

(53)

TABEL 8

KELOMPOK PENDAPATAN TERENDAH, MENENGAH DAN TERATAS MENURUT UKURAN BANK DUNIA BERDASARKAN KECAMATAN

DI KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

Kecamatan 40% TERENDAH 40% MENENGAH 20% TERATAS [1] [2] [3] [4] Ciwidey 27,79 42,92 29,29 Rancabali 25,64 44,43 29,92 Pasirjambu 31,52 40,94 27,54 Cimaung 28,79 40,71 30,50 Pangalengan 23,83 42,14 34,03 Kertasari 27,25 41,14 31,61 Pacet 25,93 42,97 31,10 Ibun 21,40 38,45 40,15 Paseh 21,19 42,33 36,48 Cikancung 31,14 40,27 28,58 Cicalengka 28,51 35,86 35,63 Nagreg 22,81 39,98 37,21 Rancaekek 24,56 45,65 29,79 Majalaya 27,36 38,84 33,80 Solokanjeruk 24,46 38,78 36,76 Ciparay 22,80 36,63 40,56 Baleendah 28,57 38,43 33,00 Arjasari 23,16 43,08 33,76 Banjaran 23,75 36,53 39,72 Cangkuang 27,28 38,59 34,13 Pameungpeuk 26,79 34,62 38,59 Katapang 31,36 40,62 28,02 Soreang 25,85 35,07 39,09 Kutawaringin 26,65 36,72 36,63 Margaasih 24,93 35,70 39,36 Margahayu 20,43 42,59 36,98 Dayeuhkolot 29,49 37,14 33,38 Bojongsoang 26,73 40,50 32,77 Cileunyi 27,29 36,15 36,55 Cilengkrang 25,74 43,14 31,12 Cimenyan 27,29 32,70 40,01 Kab. Bandung 22,84 40,99 36,17

(54)

BAB V

KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR WILAYAH

Tidak kalah pentingnya dalam kajian ketimpangan distribusi pendapatan, adalah indikator ketimpangan antar wilayah yang diukur dengan Indeks Williamson.

Tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat diukur dengan berbagai macam pendekatan, diantaranya adalah dengan menggunakan Indeks Williamson. Dasar perhitungan indeks ini menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah.

Pada dasarnya Indeks Williamson merupakan koefisien persebaran [coefficient of variation] dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-nilai PDRB dan penduduk di daerah-daerah yang berada pada ruang lingkup wilayah yang di kaji dan dianalisis, dalam hal ini adalah wilayah kecamatan-kecamatan di Kab Bandung. Rumus Indeks Wiliamson ini akan menghasilkan angka indeks sama dengan nol, yang menandakan tidak terjadi kesenjangan ekonomi antar kecamatan, sedangkan angka indeks yang lebih besar dari nol menunjukan adanya kesenjangan antar kecamatan. Semakin besar indeksnya berarti semakin besar pula tingkat kesenjangan ekonomi antar kecamatan.

Untuk melihat lebih jauh tingkat kesenjangan ekonomi antar kecamatan di kabupaten bandung maka

(55)

dapat dilihat dari hasil perhitungan Indeks Williamson berikut :

TABEL 9

INDEKS WILLIAMSON KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005-2008

Tahun Indeks Williamson

(1) (2)

2005 0,6926

2006 0,6887

2007 0,6873

2008 0,6938

Dari tabel diatas, terlihat bahwa nilai indeks Wiliamson lebih besar dari nol, hal ini menandakan bahwa terdapat kesenjangan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Bandung. Sepanjang tahun 2005-2008, angka indeks Williamson mengalami penurunan yaitu sebesar 0,6926 pada tahun 2005 berubah perlahan menjadi 0,6873 pada tahun 2007, hal ini memberikan indikasi bahwa gap kesenjangan antar kecamatan di Kabupaten Bandung cenderung makin mengecil artinya dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 mengarah ke arah makin merata. Tetapi memasuki tahun 2008 nilai indeks wiliamson meningkat dibanding tahun sebelumnya yaitu sebesar 0.6938, kondisi ini memperlihatkan bahwa

(56)

sepanjang tahun 2008 terdapat peningkatan ketimpangan pendapatan antar kecamatan di Kabupaten Bandung, Tabel 9 memperlihatkan nilai indeks williamson pada tahun 2008 hampir sama dengan kondisi tahun 2005.

Kemiripan ketimpangan antar wilayah tahun 2005 dan tahun 2008 tampaknya sama-sama terimbas dengan adanya kenaikan BBM yang terjadi pada tahun 2005 dan tahun 2008, sehingga kinerja pembangunan ekonomi pada tahun tersebut mengalami gangguan.

.

Secara teoritis disparitas pendapatan daerah akan berkurang dengan meningkatnya perekonomian regional, dengan melihat kondisi tahun 2008 tampaknya ada penurunan kinerja ekonomi di Kabupaten Bandung pada tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya yaitu

(57)

dari 5,92 pada tahun 2007 menjadi 5,32 pada tahun 2008 (angka sementara). Ada beberapa faktor yang menyebabkan kinerja pembangunan ekonomi yang menyebabkan perubahan perubahan kesenjangan antar kecamatan di Kabupaten Bandung, diantaranya disebabkan oleh faktor internal seperti konsentarsi kegiatan ekonomi yang tinggi di kecamatan tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah. Hal tersebut mengindikasikan banyaknya penyerapan tenaga kerja sehingga output dari kecamatan tersebut pun menjadi semakin tinggi.

Sedangkan faktor eksternal dapat disebabkan karena pengaruh kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi pada awal tahun 2008, yang mempengaruhi biaya produksi khususnya disektor industri. Dengan kenaikan BBM ini ada perusahaan yang masih bisa tetap eksis melaju dengan produk-produknya tetapi ada juga yang mengalami pasang surut krisis ekonomi sehingga memaksa mereka melakukan efisiensi antara lain dengan mengurangi jumlah tenaga kerja.

Faktor lain yang mempengaruhi biaya produksi terhadap industri adalah krisis global yang terjadi pada tahun 2008, meskipun dampak tidak dirasakan langsung oleh Kabupaten Bandung, hal ini sedikit banyak juga mempengaruhi biaya produksi terutama Kecamatan yang industrinya maju maka tingkat ketergantungan terhadap bahan baku impor sangat tinggi, dibandingkan Kecamatan

(58)

yang industrinya belum maju, kondisi tersebut diakibatkan semakin tingginya kurs rupiah terhadap US $.

(59)

BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan

1. Distribusi pendapatan di Kabupaten Bandung pada tahun 2008 memiliki ketimpangan rendah, baik di ukur dengan Gini Rasio maupun ukuran Bank Dunia.

2. Gini Rasio Kabupaten Bandung tahun 2008 sebesar 0, 2423

3. Distribusi Pendapatan 40 persen penduduk berpendapatan rendah di Kabupaten Bandung tahun 2008 menguasai 22,84 persen dari total pendapatan penduduk di Kabupaten Bandung.

4. Semua Kecamatan di Kabupaten Bandung pada tahun 2008 memiliki nilai Gini Rasio di bawah 0,4 artinya ketimpangan distribusinya rendah

5. Penduduk 40 persen berpendapatan terendah di semua kecamatan di Kabupaten Bandung Tahun 2008 menguasai lebih dari 17 persen pendapatan artinya memiliki ketimpangan yang rendah

6. Ketimpangan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Bandung selama periode tahun 2005 – 2008 memiliki nilai Indeks williamson di atas 0,6 artinya memiliki ketimpangan yang cukup tinggi

7. Pergerakan nilai Indeks Williamson dari tahun 2005 – 2007 cenderung menurun artinya gap kesenjangan antar kecamatan menunjukkan perbaikan dan makin mengecil,

(60)

sedangkan pada tahun 2008 gap ketimpangan kembali meningkat mirip kondisi tahun 2005.

Gambar

Gambar  1  Koefisien Gini Menurut Kurva Lorenz   12 Peta 1  Sebaran Penduduk Kabupaten Bandung
GAMBAR 1 KOEFISIEN GINI MENURUT KURVA LORENZ
Tabel 1 menunjukkan bahwa wilayah yang tinggi  PDRB  perkapitanya  ternyata tidak selalu memiliki Indeks  Pembangunan  Manusia  (IPM)  yang  tinggi  pula,  keadaan  ini diperlihatkan dengan perbedaan rangking yang sangat  mencolok  antara  rangking  PDRB

Referensi

Dokumen terkait

Bangsa Aztek berasal dari kelompok sukuToltek (Indian Toltek) yang datang dari sebelah utara kemudian mendiami dataran tinggi Mexico, dengan ibukota

Memberikan motivasi kepada siswa dalam melakukan kegiatan model pembelajaran langsung dengan kelompok spontanitas terpimpin √ Memperhatikan atau mendengar penjelasan guru

Masuknya air laut kedalam estuari sangat mempengaruhi keadaan komponen bathimetri, arus, temperatur, salinitas, dan kadar sedimen melayang estuari Sungai Belawan sejauh 18 km

Watak penyayang digambarkan dengan metode secara tidak langsung melalui perilaku Ibu yang memanjakan tokoh Samosir, dan reaksinya terhadap tokoh Samosir dengan

Hasil pengamatan persentase preferensi Teknologi Tepat Guna (TTG) larvitrap dengan media air limbah Rumah Tangga (RT) berdasarkan warnanya menunjukkan bahwa

Kapasitas reduksi dengan adanya bangunan sabo telah terisi 56% dari rencana dan sebagian besar fungsi reduksi sedimen masih cukup memadai dalam mengendalikan aliran lahar

Bahan yang dapat dipecahkan untuk sistem aerobik berasal dari glikogen, lemak (asam lemak) ataupun protein (asam amino) yang di dalamnya mengandung energi potensial yang terikat

(2) Fungsi penanda kohesi gramatikal dalam wacana tulis Rubrik “Ronce Ngalam”, Malang Post. Penanda kohesi merupakan piranti yang digunakan sebagai sarana penghubung