• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja. 1. Definisi Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja. 1. Definisi Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

23 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja

1. Definisi Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja

Mahasiswa tingkat akhir yang akan segera memasuki dunia kerja terkadang memiliki pemikiran terkait dengan persaingan kerja. Banyaknya pengangguran, sedikitnya lapangan kerja, upah yang tidak layak, hingga banyaknya cerita mengenai pekerjaan yang tidak sesuai bidang merupakan kekhawatiran yang dialami mahasiswa tingkat akhir dan dapat mengarah pada gangguan psikologis berupa kecemasan. Freud (dalam Feist dan Feist, 2011: 38) mendefinisikan bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Perasaan tidak menyenangkan ini biasanya samar-samar dan sulit dipastikan, tetapi selalu terasa. Menurut Taylor (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 152) kecemasan adalah pengalaman manusia yang bersifat universal, suatu respons emosional yang tidak menyenangkan, penuh kekhawatiran, suatu rasa takut yang tidak terekspresikan dan tidak terarah karena suatu sumber ancaman atau pikiran sesuatu yang akan datang tidak jelas dan tidak teridentifikasikan. Sejalan dengan pendapat ahli lainnya, Atkinson,dkk (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 49) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan.

(2)

24

Menurut Alwisol (2010: 22) kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Pendapat lain menyatakan bahwa kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, dkk, 2003: 163).

Sementara itu Kelly (dalam Olson dan Hergenhahn, 2013: 737) mendefinisikan kecemasan sebagai pengakuan bahwa kejadian-kejadian yang dihadapi seseorang terletak di luar jangkauan pemenuhan sistem konstruknya. Tidak jauh beda dari pendapat ahli lain, Barlow (dalam Oltmanns dan Emery, 2015: 192) menyatakan bahwa kecemasan merujuk pada suatu suasana perasaan atau sindrom yang melibatkan reaksi emosional yeng lebih umum dan menyebar melebihi ketakutan sederhana artinya tidak proporsional dengan ancaman dari lingkungannya.

Berdasarkan definisi kecemasan yang telah dikemukakan oleh ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecemasan merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan akan datang sesuatu yang buruk atau bahaya yang akan terjadi sehingga menimbulkan kondisi yang tidak nyaman serta mengharuskannya tetap waspada terhadap ancaman yang mungkin terjadi meskipun bahaya tersebut tidak diketahui dengan jelas.

Kecemasan yang dimaksud dalam penelitian ini terkait dengan situasi menghadapi persaingan kerja pada mahasiswa tingkat akhir. Mahasiswa tingkat akhir yang berencana untuk mulai terjun dalam dunia kerja, harus

(3)

25

mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan kerja yang tiap tahunnya semakin ketat. Ketatnya persaingan untuk memperoleh pekerjaan saat ini menimbulkan tekanan bagi mahasiswa tingkat akhir, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecemasan.

Menurut Hendropuspito (dalam Waluyo, 2013: 77) persaingan atau kompetisi ialah suatu proses sosial, dimana beberapa orang atau kelompok berusaha mencapai tujuan yang sama dengan cara yang lebih cepat dan mutu yang lebih tinggi. Menurut teori seleksi dari D.C Ammon (dalam Waluyo, 2013: 77), berdasarkan pada teori Darwin dan Spencer, sejak dahulu makhluk hidup didorong oleh alamnya sendiri untuk melewati proses seleksi menuju ke keadaan yang makin sempurna. Melalui perjuangan hidup, makhluk hidup yang lemah akan tersingkir dari kehidupan dan yang kuat terus bertahan melewati proses seleksi baru. Prinsip the survival of the fittest (yang bertahan adalah yang bermutu paling baik) kemudian dikembangan sebagai landasan dari semua bentuk persaingan. Pendapat serupa dari Robbins dan Judge (dalam Wibowo, 2013: 227) menyatakan kompetisi terjadi ketika seseorang berusaha memuaskan kepentingannya sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya pada pihak lain.

Definisi lain tentang persaingan adalah usaha memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perseorangan (perusahaan, Negara) pada bidang perdagangan, produksi, persenjataan, dan sebagainya (KBBI, 2008: 1202). Menurut Waluyo (2013: 78) kompetisi merupakan situasi dimana ada satu tujuan yang hendak diraih oleh banyak individu,

(4)

26

sehingga memotivasi individu tersebut untuk melebihi orang lain dengan cara meningkatkan unjuk kerja.

Sementara itu, Bouldin (dalam Indrawijaya, 2014: 115) menyatakan bahwa kompetisi dalam arti luas selalu hadir pada saat terdapat suatu keadaan dimana terdapat dua perilaku dari beberapa unit yang tidak serasi.

Definisi kerja adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian (KBBI, 2008: 682).

Berdasarkan uraian diatas, maka kecemasan menghadapi dunia kerja adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan hal buruk, bahaya, atau ketidaknyamanan terhadap situasi, dimana individu tersebut harus memperlihatkan keunggulan terhadap kemampuan atau ketrampilan yang dimiliki, agar menang dari individu lain untuk mencapai tujuannya yaitu mendapatkan pekerjaan. Kecemasan menghadapi persaingan kerja memaksa individu untuk selalu waspada terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi ketika memasuki dunia persaingan kerja.

2. Gejala Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja

Nevid, dkk (2005:164) menjabarkan gejala kecemasan yang telah dibedakan kedalam tiga ciri sebagai berikut:

a. Ciri fisik meliputi kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh bergetar atau gemetar, sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar dahi, kekencangan pada pori-pori kulit perut atau dada, banyak berkeringat, telapak tangan yang berkeringat, pening atau pingsan, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara,

(5)

27

sulit bernapas, bernapas pendek, jantung yang berdetak keras atau berdetak kencang, suara yang bergetar, jari-jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin, pusing, merasa lemas atau mati rasa, sulit menelan, kerongkongan terasa tersekat, leher atau punggung terasa kaku, sensasi seperti tercekik atau tertahan, tangan yang dingin dan lembab, terdapat gangguan sakit perut atau mual, panas dingin, sering buang air kecil, wajah terasa memerah, diare dan merasa sensitif atau mudah marah.

b. Ciri Behavioral dari kecemasan meliputi perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependen, serta perilaku terguncang.

c. Ciri Kognitif dari kecemasan meliputi khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada penjelasan yang jelas, terpaku pada sensasi kebutuhan, sangat waspada terhadap sensasi kebutuhan, merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapatkan perhatian, ketakutan akan kehilangan kontrol, ketakutaan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan, berpikir bahwa semua tidak lagi bisa dikendalikan, berpikir bahwa semuanya terasa membingungkan tanpa bisa diatasi, khawatir pada hal sepele, berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara berulang, berpikir bahwa harus bisa

(6)

28

kabur dari keramaian, kalau tidak pasti akan pingsan, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu, berpikir akan segera mati, meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis, khawatir akan ditinggal sendirian, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran.

Sejalan dengan gejala kecemasan yang dikemukan Nevid, dkk., menurut Shives (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 153) secara umum gejala kecemasan adalah sebagai berikut:

a. Sistem Fisiologis

Tanda dan gejala kecemasan yang dapat dilihat pada sistem fisiologis antara lain: meningkatnya nadi, tekanan darah, respirasi, diaphoresis, tangan berkeringat, nyeri kepala, vertigo, pandangan mata kabur, insomnia, atau gangguan tidur, hiperventilasi, penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan sering berkemih. b. Sistem Psikologis

Tanda dan gejala yang muncul pada pasien yang mengalami kecemasan bila dilihat dari segi psikologis antara lain: menarik diri, depresi, irritable (mudah tersinggung), menjadi mudah menangis, apatis, marah, merasa ketakutan.

c. Respon kognitif

Tanda dan gejala yang muncul antara lain: menurunnya perhatian akibat terlalu memikirkan masalah yang sedang dialami,

(7)

29

ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, menurunnya produktivitas akibat rasa tidak berdaya, pelupa, dan selalu berorientasi pada kejadian yang telah lalu, kemudian dibandingkan masa yang akan datang.

Menyambung dari tokoh sebelumnya, Hawari (2011: 66-67) Menyatakan gejala klinis kecemasan yang sering dikeluhkan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut:

a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung;

b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut; c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang; d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan;

e. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinnitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.

Sementara itu, Blackburn dan Davidson (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 56) membuat analisis gangguan fungsional terhadap reaksi munculnya kecemasan pada individu.

Tabel 2

Analisis Gangguan Fungsional Kecemasan Simptom- simptom

psikologis

Keterangan

(8)

30 Lanjutan…

Simptom- simptom psikologis

Keterangan

Pikiran khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong, membesar-besarkan ancaman, memandang diri tidak berdaya atau sensitive

Motivasi menghindari situasi, ketergantungan tinggi, ingin melarikan diri

Perilaku gelisah, gugup, waspada berlebihan

Gerakan Biologis gerakan otomatis meningkat, berkeringat, gemetar, pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering

Ciri-ciri persaingan menurut Robbins dan Judge (dalam Wibowo,2013: 227) adalah bersifat tegas dan tidak kooperatif. Pendapat lain mengenai ciri-ciri persaingan diungkapkan Indrawijaya (2014: 101-102) bahwa persaingan dapat dilihat dari dua unsur, yaitu kurang baik meliputi rasa bingung, putus asa, mengundurkan diri atau justru agresif, menyakiti yang lain, dan lain sebagainya, sedangkan unsur baik meliputi meningkatkan motivasi dan prestasi. Terlalu banyak kompetisi dapat merugikan karena menyerap banyak tenaga dan pikiran dan menurunkan tingkat usaha bersama mengarah pada sifat individual, sedangkan kompetisi yang sedikit juga dapat mematikan kreativitas.

Sementara itu Hendropuspito (dalam Waluyo 2013: 78) merinci ciri khas dari persaingan sebagai berikut:

a. Tujuan yang sama yang hendak dicapai.

b. Penilaian yang berbeda didasarkan pada cara dan derajat mutu persaingan.

(9)

31

c. Kecepatan dan keindahan dalam pencapaian tujuan serta kesesuaiannya dengan “aturan permainan” menentukan mutu persaingan.

d. Tidak adanya kekerasan dan ancaman untuk menghancurkan pihak lain. Hal ini memungkinkan persaingan berjalan dengan damai. Berdasarkan beberapa gejala kecemasan yang telah dipaparkan diatas , maka dapat disimpulkan bahwa gejala kecemasan merupakan reaksi yang ditampakkan oleh individu ketika merasa adanya situasi yang kurang menyenangkan. gejala kecemasan dapat dilihat secara fisik (fisiologis), psikis (psikologis) yang meliputi kognitif dan behavior.

Gejala kecemasan menghadapi persaingan kerja dapat dilihat dari fisiologis, psikologis, dan kognitif. Penelitian yang akan dilakukan menggunakan tiga gejala, untuk gejala fisiologis menggunakan indikator pusing, jantung berdetak lebih kencang, mengalami gangguan tidur, penurunan nafsu makan, dan lain sebagainya. Sementara itu, gejala psikologis menggunakan indikator mudah tersinggung, emosi labil, merasa takut, menghindari masalah, dependen, gelisah, serta waspada berlebihan. Sedangkan gejala kognitif menggunakan indikator khawatir berlebihan, susah berkonsentrasi, pikiraan kosong, membesar-besarkan kemungkinan yang akan terjadi, dan memandang diri tidak mampu mengatasi masalah. Gejala kecemasan akan dihubungkan dengan indikator persaingan kerja yaitu tindakan tidak kooperatif penyelia, sikap individual antar pelamar kerja, tujuan yang sama (memperoleh pekerjaan), penilaian yang dilakukan

(10)

32

perusahaan, kreativitas pelamar kerja, serta adanya aturan perusahaan dalam mencari karyawan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja

Oltmanns dan Emery (2013: 205-215) menyatakan penyebab kecemasan meliputi ketakutan adaptif dan maladatif, faktor sosial (peristiwa kehidupan yang stressful, Kemalangan masa kanak-kanak, hubungan kelekatan dan kecemasan perpisahan), faktor psikologis (proses belajar, peristiwa kognitif, persepsi terhadap kontrol, misinterpretasi katastropik, perhatian terhadap ancaman dan bias pemrosesan informasi, supresi pikiran: gangguan obsesif-compulsif), faktor biologis (faktor genetic, neurobiology)

Menurut McFarland dan Wasli (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 155) mengatakan bahwa faktor yang berkontribusi pada terjadinya kecemasan meliputi ancaman pada:

a. Konsep diri

b. Personal security system c. Kepercayaan, lingkungan,

d. Fungsi peran, hubungan interpersonal, dan e. Status kesehatan.

Menurut Depkes RI (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 153), faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain sebagai berikut:

a. Perkembangan kepribadian, kepribadian individu dibentuk sejak kecil dan bergantung pada pendidikan orang tua di rumah,

(11)

33

pendidikan di sekolah, dan pengaruh sosialnya, serta pengalaman dalam kehidupannya. Seseorang menjadi pencemas akibat proses imitasi dan identifikasi dirinya terhadap kedua orang tuanya daripada pengaruh keturunan.

b. Tingkat maturasi akan mempengaruhi kecemasan. Pada bayi, tingkat kecemasan lebih disebabkan perpisahan dan lingkungan yang tidak dikenal. Kecemasan pada remaja lebih banyak disebabkan oleh perkembangan seksual. Pada orang dewasa, kecemasan lebih banyak ditimbulkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan ancaman konsep diri, sedangkan pada lansia kecemasan berhubungan dengan kehilangan fungsi.

c. Tingkat pengetahuan, individu dengan tingkat pengetahuannya lebih tinggi akan mempunyai koping (penyelesaian masalah) yang lebih adaptif terhadap kecemasan daripada individu yang tingkat pengetahuannya lebih rendah.

d. Karakteristik stimulus, meliputi intensitas stressor, lama stressor, dan jumlah stressor.

e. Karakteristik individu, meliputi makna stressor bagi individu, sumber yang dapat dimanfaatkan dan respons koping, dan status kesehatan individu.

Menurut Blackburn dan Davidson (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 51), dapat disimpulkan bahwa aspek yang mempengaruhi kecemasan dapat berupa pengetahuan yang dimiliki subyek tentang situasi yang sedang dirasakan,

(12)

34

apakah sebenarnya mengancam atau tidak mengancam, serta pengetahuan tentang kemampuan dirinya untuk mengendalikan dirinya (termasuk kedalam emosi maupun fokus ke permasalahannya) dalam mengahadapi situasi tersebut.

Kelly (dalam Olson dan Hergenhahn, 2013: 737) menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh ketidakpastian yang muncul ketika sistem konstruk seseorang tidak mengizinkan penafsiran akurat pengalaman hidup.

Nevid, dkk (2003: 196) menyatakan membagi faktor kecemasan sebagai berikut:

a. Faktor Biologis, meliputi predisposisi genetis, iregularitas dalam fungsi neurotransmitter, dan abnormalitas dalam jalur otak yang memberi sinyal bahaya atau yeng menghambat tingkah laku repetitive.

b. Faktor sosial lingkungan, meliputi pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam atau dramatis, mengamati respons takut pada orang lain, dan kurangnya dukungan sosial.

c. Faktor behavioral, meliputi pemasangan stimuli avertif dan stimuli yang sebelumnya netral (classical conditioning), kelegaan dari kecemasan karena melakukan ritual kompulsif atau menghindari stimuli fobik (operant conditioning), dan kurangnya kesempatan untuk pemunahan (extinction) karena penghindaran terhadap objek atau situasi yang ditakuti.

(13)

35

d. Faktor kognitif dan emosional, meliputi konflik psikologis yang tidak terselesaikan (Freudian atau teori psikodinamika), faktor kognitif seperti prediksi berlebihan terhadap ketakutan, keyakinan-keyakinan yang self defeating atau irasional, sensitivitas berlebih terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah atribusi dari sinyal-sinyal tubuh, dan self efficacy yang rendah.

Robbins dan Judge (dalam Wibowo, 2013: 227) menyatakan bahwa faktor terjadinya persaingan umumnya karena ada taruhan dengan pengertian bahwa hanya satu orang yang dapat menang. Menurut Indrawijaya (2014: 116) salah satu alasan timbulnya persaingan antar kelompok ialah adanya norma kelompok dan bagaimana suatu kelompok memandang kelompok lainnya. Kaitannya dengan persaingan kerja yaitu dalam mencari kerja individu akan mempertimbangkan pengaruh norma kelompok dalam hal ini norma perusahaan atau organisasi, dan persepsi individu dalam memandang perusahaan yang akan menjadi tempat kerjanya.

Sementara itu Waluyo (2013:78) menyatakan faktor yang mempengaruhi kompetisi atau persaingan kerja adalah sebagai berikut:

a. Jenis kelamin

Dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa sikap kooperatif lebih tinggi pada wanita dan sikap kompetitif (bersaing) lebih tinggi pada pria (Ahlgren dalam Waluyo, 2013: 79). Menurut Dowling (dalam Waluyo, 2013: 79) menyatakan bahwa bila wanita sukses bersaing dengan pria, mungkin akan kehilangan

(14)

36

kefemininan, popularitas, takut tidak layak untuk menjadi teman kencan atau pasangan hidup bagi pria, dan takut dikucilkan. b. Jenis pekerjaan

Gibson (dalam Waluyo, 2013: 79) mengatakan bahwa kompetisi akan terjadi pada pekerjaan-pekerjaan dimana terdapat insentif, bonus, dan hadiah.

c. Tingkat Pendidikan

Menurut Liebert dan Neale (dalam Waluyo, 2013: 79) berpendapat bahwa tingkat pendidikan dipengaruhi pemilihan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan tingkat tantangan yang tinggi semakin kuat.

d. Promosi karier

Berdasarkan penyelidikan di Negara-negara barat, ternyata gaji hanya menduduki urutan ketiga sebagai faktor yang merangsang orang untuk bekerja. Sedangkan faktor yang paling utama di dalam memotivasi orang bekerja adalah rasa aman dan kesempatan untuk naik pangkat (promosi) dalam pekerjaannya (Anoraga dalam Waluyo, 2013: 79).

e. Umur

Menurut Gellerman (dalam Waluyo, 2013: 80) para pekerja muda pada umumnya mempunyai tingkat harapan dan ambisi yang tinggi.

(15)

37 f. Sosial ekonomi

Arnold (dalam Waluyo, 2013: 80) berpendapat bahwa adanya bonus yang diberikan pihak perusahaan bagi mereka yang dianggap berprestasi merupakan tendensi alami untuk berkompetisi.

g. Masa kerja

Para pekerja usia menengah dengan pengalaman kerja yang cukup sangat mementingkan status. Ghiselli dan Brown (dalam Waluyo, 2013: 80) menyatakan bahwa prestasi kerja meningkat sejalan dengan bertabahnya pengalaman dalam menyelesaikan tugas.

Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan oleh beberapa tokoh diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecemasan dapat disebabkan oleh kondisi biologis, lingkungan sosial, behavioral, serta kognitif dan emosional. Setiap kondisi tersebut terdapat berbagai penjabaran sumber sumber kecemasan. Sementara itu, faktor yang mempengaruhi munculnya kecemasan dalam menghadapi persaingan kerja dapat dikaitkan dengan adanya motivasi untuk memperoleh kerja, norma atau aturan yang berlaku dalam proses persaingan kerja, persepsi individu terhadap persaingan kerja, perbedaan gender (jenis kelamin), jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, masa kerja, usia, dan promosi kerja.

Faktor munculnya kecemasan yang ingin digali lebih dalam kaitannya dengan menghadapi persaingan kerja dalam penelitian ini adalah faktor kognitif. Faktor kognitif yang berperan salah satunya adalah konsep diri. Konsep diri

(16)

38

merupakan evaluasi diri terhadap bidang tertentu, sedangkan harga diri adalah evaluasi diri secara menyeluruh, artinnya konsep diri merupakan bagian dari harga diri. Penghargaan diri merujuk pada evaluasi diri yang bersifat global, konsep diri merujuk pada evaluasi dalam bidang tertentu. Keeratan antara konsep diri dengan harga diri menjadi pedoman peneliti untuk menggunakan harga diri sebagai faktor yang memperngaruhi kecemasan menghadapi persaingan kerja.

4. Jenis Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja

Freud (dalam Olson dan Hergenhahn,2013: 59-60) membedakan tiga jenis kecemasan, yaitu:

a. Kecemasan realitas, disebabkan oleh sumber-sumber bahaya yang rill dan objektif di lingkungan dan jenis kecemasan yang paling mudah diredakan lantaran dengan bertindak sesuatu, maka persoalan memang akan bisa selesai secara objektif.

b. Kecemasan neurotik, adalah rasa takut bahwa impuls-impuls id akan mengatasi kemampuan ego menangani, dan menyebabkan manusia melakukan sesuatu yang akan membuatnya dihukum.

c. Kecemasan moral, adalah rasa takut bahwa seseorang akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai superego sehingga membuatnya mengalami rasa bersalah.

Feist dan Feist (38: 2011) Menyatakan bahwa ketergantungan ego pada id menyebabkan munculnya kecemasan neurosis, sedangkan ketergantungan

(17)

39

ego pada superego memunculkan kecemasan moral, sedangkan ketergantungannya pada duia luar mengakibatkan kecemasan realaistik.

a. Kecemasan neurosis (neurotic anxiety) adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak diketahui. Semasa kanak-kanak, perasaan marah sering kali diikuti oleh rasa takut akan hukuman dan rasa takut ini digeneralisasikan ke dalam kecemasan neurosis tidak sadar.

b. Kecemasan moral (moral anxiety), berakar dari konflik antara ego dan superego. Kecemasan moral juga bisa muncul karena kegagalan bersikap konsisten dengan apa yang mereka yakini benar secara moral.

c. Kecemasan realistis (realistic anxiety) terkait erat dengan rasa takut. Kecemasan jenis ini didefinisikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri.

Sementara itu Freud (dalam Alwisol, 2010: 22) menyatakan tiga jenis kecemasan, yaitu sebagai berikut:

a. Kecemasan realistik adalah takut kepada bahaya yang nyata ada di dunia luar. Kecemasan realistik ini menjadi asal-muasal timbulnya kecemasan neurotik dan kecemasan moral.

b. Kecemasan Neurotik adalah ketakutan terhadap hukuman yang bakal diterima dari orang tua atau figur penguasa lainnya kalau seseorang memuaskan insting dengan caranya sendiri, yang diyakininya bakal

(18)

40

menuai hukuman. Hukuman dan figur pemberi hukuman dalam kecemasan neurotik bersifat khayalan.

c. Kecemasan moral timbul ketika orang melanggar standar nilai orang tua, prinsip kecemasan moral yakni tingkat kontrol ego. Kecemasan moral tetap rasional dalam memikirkan masalahnya berkat energi superego.

Berdasarkan jenis kecemasan yang dikemukakan para tokoh, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kecemasan dapat dibagi dalam tiga jenis yaitu kecemasan neurosis, kecemasan moral, dan kecemasan realistis. Kecemasan menghadapi persaingan kerja tergolong pada jenis kecemasan realistis, sebab situasi yang mencakup bahaya berupa persaingan kerja bersifat objektif dan nyata atau realistis.

5. Tipe Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja

Menurut Spilberger (dalam Safaria dan Saputra, 2012: 53), kecemasan ada dua bentuk yaitu:

a. Trait anxiety, yaitu kecenderungan pada diri seseorang untuk merasa terancam oleh sejumlah kondisi yang sebenarnya tidak bahaya. Kecemasan dalam kategori ini lebih disebabkan karena kepribadian individu tersebut memang mempunyai potensi cemas dibandingkan dengan individu lain.

b. State anxiety, yaitu keadaan dan kondisi emosional sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan khawatir yang dirasakan dengan sabar serta bersifat subjektif dan

(19)

41

meningginya aktivitas sistem syaraf otonom, sebagai suatu keadaan yang berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan khusus.

Menurut Shives (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 157-158) tipe kecemasan terbagi menjadi:

a. Signal Anxiety, merupakan respon kecemasan yang berfungsi untuk mengantisipasi suatu kejadian.

b. Anxiety Trait, merupakan komponen personalitas yang dapat dilihat dalam jangka waktu lama dan memerlukan observasi fisiologis, emosi dan tingkah laku.

c. Anxiety State, terjadi sebagai hasil dari keadaan ketegangan jiwa, yaitu seseorang akan kehilangan kontrol dan emosinya.

d. Free-Floating Anxiety, merupakan kecemasan yang sering terjadi dan berhubungan dengan rasa takut.

Berdasarkan Tipe Kecemasan yang dikemukanan oleh para tokoh, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Tipe kecemasan secara garis besar terbagi dalam dua tipe yaitu Trait Anxiety dan State Anxiety. Kecemasan menghadapi persaingan kerja tergolong pada tipe signal anxiety, sebab respon kecemasan ini berfungsi untuk mengantisipasi suatu kejadian, dalam masalah ini adalah mengantisipasi persaingan kerja. Dalam kasus yang lebih serius, kemungkinan kecemasan menghadapi persaingan kerja dapat menjadi trait anxiety, sebab sumber kecemasan tidak berbahaya, hanya saja individu memiliki potensi lebih untuk mengalami kecemasan.

(20)

42

B. Harga Diri 1. Definisi Harga Diri

Menurut Guindon (2009: 12) Harga diri adalah sikap, evaluasi komponen diri, penilaian afektif dari konsep diri yang terdiri dari perasaan layak dan penerimaan yang berkembang dan dipelihara sebagai konsekuesi kesadaran dari kompensasi dan timbal balik dari dunia luar. Pendapat lain dari Taylor, Peplau, dan Sears (2012: 119) menyatakan bahwa self esteem (penghargaan diri) merupakan hasil evaluasi tentang diri kita sendiri, kita tidak hanya menilai seperti apa diri kita tetapi juga menilai kualitas-kualitas diri kita. Santrock (2012: 361) menyatakan hal yang serupa, bahwa penghargaan diri merujuk pada evaluasi global mengenai diri, penghargaan diri disebut juga martabat diri atau citra diri. Penghargaan diri yang tinggi merujuk pada persepsi yang akurat, dapat dibenarkan, menyangkut martabat seseorang sebagai seorang pribadi, keberhasilan dan capaiannya, meskipun demikian, penghargaan diri juga merujuk pada kesombongan, merasa benar, superioritas terhadap orang lain yang tidak ada dasarnya (Krueger, Vohs dan Baumeister dalam Santrock, 2012: 362).

Menurut Deaux, Dane, dan Wrightsman (dalam Sarwono dan Meinarno, 2012: 57) penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri ini disebut harga diri . Myers (2012: 64) berpendapat bahwa harga diri adalah evaluasi diri seseorang secara keseluruhan. Pendapat Branden (dalam Rahman, 2013: 66), harga diri merupakan kecenderungan seseorang untuk merasa mampu di dalam mengatasi suatu masalah dan merasa berharga.

(21)

43

Dengan kata lain, harga diri merupakan integrasi dari kepercayaan pada diri sendiri dan penghargaan pada diri sendiri.

Sementara itu, Wells dan Marwell (dalam Rahman, 2013: 65) mendefinisikan harga diri dalam empat tipe pengertian. Pertama, harga diri dipandang sebagai sikap, harga diri merujuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognisi, emosi, dan perilaku, baik positif maupun negatif. Kedua, harga diri dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dengan real self. Self esteem individu tinggi apabila real self mendekati ideal self mereka. Ketiga, harga diri dianggap sebagai respons psikologis seseorang terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap. Keempat, harga diri dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang. Berbeda dari Wells dan Marwell, Mruk (dalam Rahman, 2013: 65) mendefinisikan harga diri dalam tiga kategori, yakni harga diri sebagai suatu kompetensi, harga diri dihubung-hubungkan dengan kesuksesan, kemampuan, dan kompetensi. harga diri dipandang sebagai peraaan berharga, dan kategori terakhir bahwa harga diri dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga.

Berdasarkan definisi harga diri yang telah dikemukakan para ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri adalah penilaian terhadap diri sendiri secara menyeluruh, yang mencakup kompetensi, kepercayaan diri dan penghargaan diri, serta adanya pengakuan atau penghargaan dari orang lain.

(22)

44 2. Ciri-Ciri Harga Diri

Orang yang memiliki tingkat penghargaan diri yang tinggi biasanya memiliki pemahaman yang jelas tentang kualitas personalnya. Mereka menganggap diri mereka baik, punya tujuan yang tepat, menggunakan umpan balik dengan cara yang memperkaya wawasan, dan menikmati pengalaman-pengalaman positif, serta bisa mengatasi situasi sulit. Sedangkan, orang yang memandang rendah dirinya sendiri kurang memiliki konsep diri yang jelas, merasa rendah diri, sering memilih tujuan kurang ralistis atau bahkan tidak memiliki tujuan yang pasti, cenderung pesimis dalam menghadapi masa depan, mengingat masa lalu secara negative, berkubang dalam perasaan negative,punya reaksi emosional dan behavioral yang lebih buruk dalam merespons tanggapan negative dari orang lain, kurang mampu memunculkan feedback positif terhadap dirinya sendiri, lebih memperhatikan dampak sosial mereka terhadap orang lain, dan lebih mudah kena depresi atau berpikir terlalu mendalam saat mereka menghadapi stress atau kekalahan (Taylor, Peplau,dan Sears, 2012: 120). Menurut Myers (2012: 65) orang yang menghargai dirinya secara umum, mereka yang memiliki harga diri tinggi cenderung menghargai penampilan, kemampuan dan dominan mereka yang lain. Alwisol (2010: 106) menyatakan bahwa harga diri dapat dilihat dari menghargai diri sendiri meliputi kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian dan kebebasan, orang membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri, bahwa dirinya berharga, mampu menguasai tugas dan tantangan hidup. Selian itu harga diri dapat

(23)

45

dilihat dari adanya penghargaan dari orang lain, meliputi kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan apresiasi.

Sementara itu, Branden (dalam Rahman, 2013: 66) menyatakan bahwa ada dua aspek harga diri, yakni:

a. Rasa Keberhasilan pribadi, meliputi:

(1) keyakinan terhadap fungsi otak, dan kemampuannya dalam berpikir, menilai, memilih, dan mengambil suatu keputusan (2) Keyakinan terhadap kemampuannya dalam memahami

fakta-fakta nyata.

(3) Secara kognitif percaya pada diri sendiri – cognitive self trust (4) Secara kognitif mandiri – cognitive self reliance

b. Rasa nilai pribadi, meliputi:

(1) Menjamin nilai-nilai yang diyakininya.

(2) Mempunyai sikap positif terhadap haknya untuk hidup dan bahagia

(3) Merasa nyaman di dalam menyatakan pikiran, keinginan dan kebutuhan

(4) Perasaan bahwa kegembiraan merupakan hak alamiah yang dimiliki sejak lahir.

Santrock (2007: 184) merangkum indikator harga diri dalam tabel berikut ini:

(24)

46 Tabel 3

Indikator Perilaku dari Harga Diri

Indikator Positif Indikator Negatif Memberikan pengarahan atau

perintah kepada orang lain

Merendahkan orang lain dengan cara mengejek, memanggil nama secara langsung atau bergosip Menggunakan kualitas suara yang

disesuaikan dengan situasinya

Menggunakan bahasa tubuh secara berlebihan atau di luar konteks Mengekspresikan pendapat Melakukan sentuhan yang tidak

pada tempatnya atau menghindari kontak fisik

Duduk bersama dengan orang lain selama melakukan aktivitas sosial

Membiarkan kesalahan terjadi Bekerja secara koperatif dalam

kelompok

Menyombongkan prestasi, ketrampilan dan penampilan

Menatap orang lain ketika sedang berbicara atau diajak bicara

Secara verbal merendahkan dirinya sendiri atau menjatuhkan harga dirinya sendiri

Mempertahankan kontak mata selama melakukan percakapan

Berbicara dengan nada yang keras, kasar, atau dogmatis.

Memulai percakapan yang ramah dengan orang lain

Menjaga jarak yang sesuai antara diri sendiri dengan orang lain

Lancar dan tidak ragu-ragu dalam berbicara

Guindon (2009:20) mengklasifikasikan karakteristik harga diri dalam tabel berikut ini:

Tabel 4

Top 15 Karakteristik Harga diri

Harga diri tinggi Harga diri rendah Percaya diri Kurang percaya diri

Ramah Pemarah/ Bermusuhan

Bahagia Tidak Bahagia

Positif/ Optimis Sikap Negatif/ Pesimis

Termotivasi Tidak termotivasi

Mencapai Tidak tercapai

Kompetitif Tidak berani ambil resiko Menerima/ toleransi Murung

(25)

47 Lanjutan…

Harga diri tinggi Harga diri rendah Merasa aman/ penyesuaian diri baik Merasa tidak aman

Nyaman dengan diri sendiri Citra diri yang buruk

Asertif Komunikator yang buruk

Peduli Sosial yang rendah

Mandiri Bergantung /Pengikut

Tanggung jawab Bertindak konyol

Berdasarkan ciri-ciri harga diri yang telah dikemukanan oleh ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri harga diri meliputi percaya diri, ramah, bahagia, optimis, termotivasi, kompetitif, toleransi, penyesuaian diri baik, asertif, peduli, mandiri dan bertanggung jawab. Sementara itu indikator yang digunakan adalah mengarahkan atau memerintah orang lain, menggunakan kualitas suara yang disesuaikan dengan situasi, mengekspresikan pendapat, duduk dengan orang lain dalam aktivitas sosial, bekerja secara koperatif dalam kelompok, memandang lawan bicara ketika mengajak atau diajak bicara, menjaga kontak mata selama perbincangan berlangsung, memulai kontak yang ramah dengan orang lain, menjaga jarak yang sesuai antara diri sendiri dengan orang lain, berbicara dengan lancar, hanya mengalami sedikit keraguan, punya tujuan yang tepat, menggunakan umpan balik dengan cara yang memperkaya wawasan, dan menikmati pengalaman-pengalaman positif, serta bisa mengatasi situasi sulit.

(26)

48

C. Hubungan Harga Diri dengan Kecemasan Menghadapi Persaingan Kerja Pada Mahasiswa Tingkat Akhir di Universitas Kota Semarang

Mahasiswa tingkat akhir berada pada tahap perkembangan dewasa awal, dimana pada tahap ini terdapat tugas perkembangan berupa kemandirian dan memperoleh pekerjaan. Setiap lulusan perguruan tinggi berharap dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, memperoleh banyak pengalaman, serta mendapat upah sesuai harapannya. Namun pada kenyataannya memperoleh pekerjaan saat ini terbilang susah, hal ini ditunjukkan dengan data dari Badan Pusat Statistik, yang menyatakan bahwa jumlah pencari kerja pada tahun 2015 berjumlah 1.410.428 jiwa, sedangkan tenaga kerja yang dibutuhkan hanya 833.555 jiwa. Selain itu, pada bulan Februari 2016 pengangguran terbuka dari lulusan Universitas sebesar 695.304 jiwa.

Data dari Badan Pusat Statistik tersebut dapat menunjukkan bahwa masih banyak tenaga kerja Indonesia yang belum terserap dalam dunia kerja. Sementara setiap tahun jumlah tenaga produktif semakin meningkat dari lulusan sekolah menengah atas, ataupun dari perguruan tinggi. Kondisi demikian cukup mengkhawatirkan bagi mahasiswa tingkat akhir yang akan segera ikut bergabung dalam persaingan mencari kerja.

Kecemasan menghadapi persaingan kerja merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasakan hal buruk, bahaya, atau ketidaknyamanan terhadap situasi dimana individu harus memperlihatkan keunggulan,

(27)

49

kemampuan, atau ketrampilan demi mendapatkan pekerjaan. Ketika kecemasan menghadapi persaingan kerja muncul, mahasiswa tingkat akhir cenderung menilai dirinya kurang siap untuk mengikuti persaingan kerja, dan merasa dirinya kurang berkompeten dalam hal ilmu maupun pengalaman.

Menurut McFarland dan Wasli (dalam Solehati dan Kosasih, 2015: 155) mengatakan bahwa faktor yang berkontribusi pada terjadinya kecemasan meliputi ancaman pada konsep diri, personal security system, kepercayaan, lingkungan, fungsi peran, hubungan interpersonal, dan status kesehatan.

Faktor munculnya kecemasan yang ingin digali lebih dalam kaitannya dengan menghadapi persaingan kerja dalam penelitian ini adalah harga diri. Banyak ahli telah mengemukakan faktor kecemasan dimana salah satunya terdapat konsep diri. Konsep diri merupakan bagian dari harga diri. Menurut Santrock (2012:361) penghargaan diri merujuk pada evaluasi global mengenai diri, penghargaan diri disebut juga martabat diri (self-worth) atau citra diri (self image). Singkatnya, penghargaan diri merujuk pada evaluasi diri yang bersifat global, konsep diri merujuk pada evaluasi dalam bidang tertentu. Keeratan antara konsep diri dengan harga diri menjadi pedoman peneliti untuk menggunakan harga diri sebagai faktor yang memperngaruhi kecemasan menghadapi persaingan kerja. Taylor, Peplau, dan Sears (2012: 119) menyatakan bahwa self esteem (penghargaan diri) merupakan hasil evaluasi tentang diri kita sendiri, kita tidak hanya menilai seperti apa diri kita tetapi juga menilai kualitas-kualitas diri kita.

(28)

50

Greenberg dkk melakukan eksperimen yang hasilnya menunjukkan bahwa partisipan eksperimen yang mendapat penilaian positif terhadap aspek-aspek kepribadiannya, harga dirinya positif, lebih sedikit mengalami arousal fisik dan kecemasan ketika menonton video tentang kematian yang sengaja diputar oleh eksperimenter. Harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian, dan penolakan sosial. (Sarwono dan Meinarno, 2012: 57).

Menurut Rosenberg dan Owens (dalam Guindon, 2009:18) harga diri yang rendah lebih sensitif terhadap pengalaman yang mengancam, yang dapat menimbulkan kerusakan pada harga diri mereka. Mereka mempermasalahkan kritikan dan kegagalan reaksi emosional yang parah. Sebagai tambahan, mereka seperti memperbesar–besarkan pengalaman negatif, atau melihat perkataan yang sebenarnya tidak kritis dimaknai secara kritis. Harga diri rendah lebih dekat dengan pengalaman kecemasan sosial, menunjukkan kesadaran diri yang tinggi ketika di depan umum. Orang dengan harga diri yang rendah memiliki kepercayaan interpersonal yang rendah. Mereka merasa canggung, malu, menyolok dan tidak cukup mampu untuk mengekspresikan dirinya ketika berinteraksi dengan orang lain.

Mahasiswa tingkat akhir memiliki kecenderungan mengalami kecemasan dalam menghadapi persaingan kerja. Munculnya kecemasan menghadapi persaingan kerja dapat dipengaruhi dari berbagai faktor, salah satunya adalah harga diri. Semakin tinggi harga diri seseorang, maka kecemasan menghadapi dunia kerja semakin rendah, sebaliknya jika harga diri seseorang rendah,

(29)

51

maka kecemasan menghadapi persaingan kerja semakin tinggi. Menurut Wood, Heimpel dan Michela (dalam Taylor, Peplau, dan Sears, 2012: 120) orang yang memiliki tingkat penghargaan diri yang tinggi biasanya memiliki pemahaman yang jelas tentang kualitas personalnya. Mereka menanggapi diri mereka baik, punya tujuan yang tepat, menggunakan umpan balik dengan cara positif, serta dapat mengatasi situasi sulit. Orang yang memandang dirinya rendah kurang memiliki konsep diri yang jelas, merasa rendah diri, sering memiliki tujuan kurang realistis atau bahkan tidak memiliki tujuan yang pasti, cenderung pesimis dalam menghadapi masa depan, mengingat masa lalu secara negatif, berkubang dalam perasaan negatif, lebih memperhatikan dampak sosial mereka terhadap orang lain, dan lebih mudah kena depresi saat menghadapi stress atau kekalahan.

Taylor, Peplau, dan Sears (2012: 121) menyatakan bahwa setelah orang dewasa muda mendapat pemahaman diri yang lebih kokoh, dia punya dasar untuk merencanakan kerja atau karier dan untuk menjalin hubungan yang lebih intim. Berdasarkan teori tersebut dapat diartikan bahwa ketika mahasiswa tingkat akhir memasuki tahap perkembangan dewasa awal, maka seharusnya sudah memiliki pemahaman diri yang lebih kokoh sehingga memiliki dasar untuk merencanakan kerja atau kariernya, dengan begitu kecemasan menghadapi persaingan kerja akan semakin rendah.

(30)

52 D. Hipotesis

Hipotesis yang dibuat oleh peneliti berdasarkan landasan teori adalah ada hubungan negatif antara harga diri dengan kecemasan menghadapi persaingan kerja pada mahasiswa tingkat akhir di Universitas Kota Semarang. Semakin tinggi harga diri, maka kecemasan menghadapi persaingan kerja semakin rendah, begitu pula sebaliknya, semakin rendah harga diri maka kecemasan menghadapi persaingan kerja pada mahasiswa tingkat akhir akan semakin tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

Pada persiapan penelitian dilakukan survei awal ke wilayah studi. Survei awal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi reaktor biogas dan pengomposan. Selanjutnya dilakukan

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dengan melihat temuan laboratoris meliputi pemeriksaan nilai hematokrit dan jumlah trombosit diharapkan diagnosis Sindrom Syok Dengue dapat segera ditegakkan dan dapat segera

Bahan yang digunakan sebagai perlakuan dalam percobaan pada ternak ini terdiri atas ransum yang telah diuji pada percobaan in vitro.. Ternak yang digunakan adalah sapi Bali

Pengetahuan siswa Sekolah Dasar tentang konsumsi jajanan yang sehat pada SDN Baddoka Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar sudah baik dimana dari 119 orang sebagian

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor predisposisi umur dan sikap diketahui memiliki kecenderungan kontribusi yang tinggi terhadap perilaku higiene

Dengan adanya permasalahan yang telah dicantumkan tersebut, maka diperlukan solusi Untuk membantu meringankan tugas pekerja dalam membuat laporan rekapitulasi pengiriman

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada pengaruh antara kualitas pelayanan, store atmosphere , lokasi secara bersama-sama terhadap keputusan pembelian sepeda