Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 75
Abstrak: Untuk menerapkan model
pembelajaran ataupun pendekatan pembelajaran dalam pembelajaran IPA terpadu bukanlah segala-galanya, karena masih banyak faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan suatu pembelajaran, salah satu diantaranya adalah Model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pendekatan JAS yaitu pembelajaran berdasarkan masalah atau “Problem Based Intruction (PBI)”. Selanjutnya beberapa hal yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini antara lain: (1) Hakekat Belajar IPA; (2) Jelajah Alam Sekitar (JAS) sebagai Pendekatan Pembelajaran; (3) Model Pembelajaran PBI; (4) Konstruktivisme; (5) Pembelajaran Penemuan; (6) Kemampuan kognitif siswa; (7) Kemampuan Psikomotor Siswa.
Kata-kata kunci: Model Pembelajaran
Problem Based Intruction (PBI), Pendekatan Jelajah Alam Sekitar (Jas), Konsep Zat Aditif.
PENDAHULUAN
Dalam pembelajaran IPA
terpadu untuk menerapkan model pembelajaran ataupun pendekatan
pembelajaran bukanlah
segala-galanya. Masih banyak faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan
suatu pembelajaran. Dangan
demikian, pendekatan dalam suatu pelajaran penting, karena dua hal yaitu
(a) penentuan isi dan program, materi pembelajaran, strategi pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dan teknik/ bentuk penilaian harus dijiwai oleh pendekatan yang dipilih, dan (b) salah satu acuan untuk menentukan keseluruhan tahapan pengelolaan pembelajaran adalah pendekatan yang dipilih (Mulyani, 2009 : 3).
Pendekatan pembelajaran yang
inovatif, menarik, mendorong,
keaktifan, kerja sama, dan
memaksimalkan keterlibatan siswa adalah dengan menerapkan jelajah alam sekitar (JAS). Hal ini disebabkan karena pembelajaran kimia sangat erat dengan hubungan sebab akibat, sehingga diharapkan siswa dapat memahami faktor- faktor atau gejala alam secara rasional, maka perlu
dilakukan pengamatan langsung
mengenai gejala-gejala tersebut. Dalam ilmu kimia terdapat kumpulan
proses dan nilai yang dapat
diapliksikan serta dikembangkan dalam kehidupan nyata (Saptono, 2003 : 87).
JAS merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pemanfaatan lingkungan alam sekitar kehidupan siswa, baik lingkungan fisik, sosial, maupun budaya sebagai objek belajar kimia yang fenomenanya dipelajari dengan kerja ilmiah seperti,
mengamati, mengumpulkan data,
membandingkan, memprediksi,
membuat pertanyaan, merancang
APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INTRUCTION (PBI) DENGAN PENDEKATAN JELAJAH ALAM SEKITAR (JAS) KONSEP ZAT ADITIF PADA MAKANAN SISWA KELAS VIII MTs NEGERI BATU MERAH Oleh Napsin Palisoa*
Santi Wali**
* Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura ** Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 76
kegiatan, membuat hipotesis,
merumumuskan simpulan
berdasarkan data dan membuat
laporan secara komprehensif (Marianti dan Kartijo, 2005 : 32).
Pendekatan JAS juga
menekankan pada kegiatan yang pembelajarannya dikaitkan dengan lingkungan alam sekitar kehidupan
siswa, sehingga selain dapat
membuka wawasan berfikir yang
beragam, siswa juga dapat
mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dengan masalah-masalah kehidupan nyata (Ridlo, 2005: 64).
Pendekatan JAS sebagai
pendekatan pembelajaran yang
dianggap mampu menciptakan siswa yang produktif dan inovatif adalah dengan alasan-alasan berikut:
a) sejauh ini pelaksanaan
pembelajaran, ceramah masih menjadi pilihan utama guru dalam mengajar, proses sain belum biasa
dikembangkan dalam proses
pembelajaran. Pembelajaran masih menekankan pada hasil belajar
dan bukan kegiatan untuk
menguasai proses. Suatu
pendekatan pembelajaran yang
tidak mengharuskan siswa
menghafal fakta-fakta, tetapi dapat
mendorong siswa
mengkonstruksikan fakta-fakta pengetahuan yang dia peroleh berdasarkan konsep atau prinsip kimia melalui proses eksplorasi dan investigasi.
b) pendekatan pembelajaran JAS mengutamakan siswa belajar dari
mengalami dan menemukan
sendiri dengan memanfaatkan lingkungan fisik, sosial dan budaya yang ada disekitarnya. c) Tuntutan kurikulum bahwa hasil belajar peserta didik berupa perpaduan
antara aspek kognitif, afektif dan
psikomotor menuntut suatu
pembelajaran yang menekankan keaktifan peserta didik secara fisik, mental, intelektual dan emosional. Pendekatan JAS terdiri atas beberapa komponen yang seyogyanya dilaksanakan secara terpadu. Adapun
komponen-komponen JAS adalah
Eksplorasi, konstruktivisme, dan
proses sains.
Dengan melakukan eksplorasi
terhadap lingkungannya, seseorang akan berinteraksi dengan fakta yang
ada di lingkungan sehingga
menemukan pengalaman dan sesuatu yang menimbulkan pertanyaan atau masalah. Dengan adanya masalah manusia akan melakukan kegiatan berpikir untuk mencari pemecahan
masalah. Dalam memecahkan
masalah tidak berdasar pada
perasaan tetapi lebih ke penalaran
ilmiah (Suriasumantri, 2000).
Lingkungan yang dimaksud disini tidak hanya lingkungan fisik saja, tetapi juga meliputi lingkungan sosial, budaya dan teknologi.
Seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui alat inderanya, melihat, mendengar, menyentuh, mencium dan merasakannya.
Menurut Lorsbach & Tobin (dalam Suparno 1997), selama proses berinteraksi dengan lingkungan,
seseorang akan memperoleh
pengetahuan. Oleh karena dalam pembentukan pengetahuan, menurut Piaget (1970) terdapat dua aspek berpikir yaitu aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek operatif lebih penting karena menyangkut operasi intelektual atau sistem transformasi. Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 77
Proses sains atau proses kegiatan ilmiah dimulai ketika
seseorang mengamati sesuatu.
Sesuatu diamati karena menarik perhatian, mungkin memunculkan
pertanyaan atau permasalahan.
Permasalahan ini perlu dipecahkan melalui suatu proses yang disebut metode ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Menurut Huxley (1964), metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerjanya pikiran.Sedangkan berpikir adalah suatu kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan metode ilmiah bersifat rassional dan teruji sehingga merupakan pengetahuan yang dapat
diandalkan. Metode ilmiah
menggabungkan cara berpikir deduktif
dan induktif dalam membangun
pengetahuan siswa.
Selain pendekatan yang
digunakan oleh guru sebagai pendidik, model juga merupakan komponen penting dalam pencapaian tujuan suatu proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pendekatan JAS yaitu pembelajaran berdasarkan
masalah atau Problem Based
Intruction (PBI). Pembelajaran
berdasarkan masalah merupakan
pembelajaran dengan melihat masalah pada kehidupan nyata (masalah Otentik) yang dihadapi siswa dan lingkungannya. Model pembelajaran
berdasarkan masalah dapat
menumbuhkan aktivitas belajar siswa, baik secara kelompok maupun individu (Muslimin, 2000).
Konsep zat aditif makanan adalah salah satu konsep mata pelajaran IPA Terpadu yang diajarkan pada siswa SMP kelas VIII semester genap. Dengan kompetensi yaitu
memahami kegunaan bahan kimia dalam kehidupan. Pendekatan JAS dianggap cocok pada konsep zat aditif makanan, karena dengan pendekatan
JAS siswa akan mengetahui
bagaimana penggunaan zat aditif
dalam kehidupan, mengerti
bagaimana dampak dari penggunaan zat aditif dan mencari solusi bagaimana menyelesaikan masalah yang ditimbulkan akibat pemakaian zat
aditif makanan melalui model
pembelajaran berdasarkan masalah (PBI). Keterlibatan siswa dalam menjangkau kondisi lingkungan secara
langsung akan membantu siswa
mencapai kecakapan kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Hakekat Belajar IPA
Ilmu kimia merupakan salah satu materi pada mata pelajaran IPA dan merupakan ilmu yang sangat penting diantara ilmu-Ilmu yang lain. Hal ini
disebabkan karena ilmu kimia
memberikan suatu pengaruh yang
sangat penting untuk
mengembangkan ilmu-ilmu terapan lain seperti pertanian, kesehatan dan juga tekhnologi. Karena ada istilah
Chemistry is centre of science yang
artinya kimia merupakan pusat dari ilmu pengetahuan alam.
Mata pelajaran kimia di SMP bertujuan
agar peserta didik memiliki
kemampuan yaitu:
1. Membentuk sikap positif kepada
kimia dengan menyadari
keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan yang Maha Esa.
2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerja sama dengan orang lain.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 78
3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui
percobaan atau eksperimen,
dimana peserta didik melakukan
pengujian hipotesis dengan
merancang percobaan melalui
pemasangan instrumen,
pengambilan, pengelolaan dan
penafsiran data, serta
menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis.
4. Meningkatkan kesadaran tentang
terapan kimia yang dapat
bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat dan
lingkungan serta menyadari
pentingnya mengelola dan
melestarikan lingkungan demi kesejahteraan masyarakat.
5. Memahami konsep, prinsip,
hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.
Belajar kimia pada hakekatnya
mencakup pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan nilai yang dirumuskan dalam kompetensi kimia yang dimiliki siswa. Mata pelajaran kimia perlu diajarkan untuk tujuan yang lebuh khusus yaitu membekali peserta didik dengan pengetahuan,
pemahaman dan sejumlah
kemampuan yang di persyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan
yang lebih tinggi serta
menegembangkan ilmu poengetahuan dan teknologi (Mulyasa, 2007:133-134).
Jelajah Alam Sekitar (JAS) sebagai Pendekatan Pembelajaran
Jelajah alam sekitar merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
menekankan pada pemanfaatan
lingkungan alam sekitar kehidupan
siswa, baik lingkungan fisik, sosial, maupun budaya sebagai objek belajar kimia yang fenomenanya dipelajari melalui kerja ilmiah (Marianti dan Kartijo, 2005). Pendekatan JAS dalam
penerapannya mencakup hal-hal
inovatif, yaitu konstruktivisme, penerapan proses sains, proses
inquiry, proses eksplorasi alam sekitar,
dan penerapan alternative
assessment.
Pendekatan JAS merupakan pendekatan kodrat manusia dalam upaya mengenali alam lingkungannya (Ridlo, 2005). Pembelajaran melalui pendekatan JAS memungkinkan siswa mengembangkan potensinya sebagai manusia yang memiliki akal budi. Pendekatan JAS menekankan pada kegiatan belajar yang dikaitkan dengan lingkungan alam sekitar kehidupan siswa dan dunia nyata, sehingga selain dapat membuka wawasan berpikir yang beragam,
siswa juga dapat mempelajari
berbagai konsep dan cara
mengaitkannya dengan
masalah-masalah kehidupan nyata.
Berdasarkan hal tersebut, maka hasil belajar siswa akan lebih bermakna bagi kehidupannya, sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan integritas dirinya.
Pembelajaran dengan
pendekatan JAS, mengajak siswa untuk mengenal objek, gejala dan
permasalahannya, menelaah dan
menemukan simpulan atau konsep tentang sesuatu yang dipelajarinya (Ridlo, 2005). Konseptual dan pemahaman diperoleh siswa tidak secara langsung dari guru atau buku, akan tetapi melalui kegiatan ilmiah, seperti mengamati, mengumpulkan data, membandingkan, memprediksi,
membuat pertanyaan, merancang
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 79
merumuskan simpulan berdasarkan data dan membuat laporan secara komprehensif. Secara langsung siswa
melakukan eksplorasi terhadap
fenomena alam yang terjadi.
Fenomena tersebut dapat ditemui dilingkungan sekeliling siswa atau fenomena alam sehingga akan sangat membantu siswa untuk mengamati sekaligus memahami gejala atau konsep yang terjadi.
Model Pembelajaran PBI
Lingkungan belajar PBI adalah berpusat pada siswa dan mendorong inkuiri terbuka dan berpikir bebas. Seluruh proses belajar mengajar yang berorientasi PBI adalah membantu siswa untuk menjadi mandiri. Siswa yang mandiri (otonom) yang percaya pada keterampilan intelektual mereka sendiri, memerlukan keterlibatan aktif dalam lingkungan yang berorientasi pada inkuiri. Peran utama guru pada
PBI adalah membimbing dan
memfasilitasi sehingga siswa dapat belajar berpikir dan memecahkan masalah oleh mereka sendiri (Ibrahim dan Muslimin, 2002).
Ibrahim dan Muslimin (2000) menyebutkan bahwa PBI dilandasi oleh 3 hal, yakni (1) teori pembelajaran konstruktivisme, (2)
kelas demokratis, dan (3)
pembelajaran penemuan. Konstruktivisme
Jean Piaget dan Vygotsky
merupakan tokoh dalam
pengembangan konsep
konstruktivisme, dan di atas konsep inilah PBI diletakkan. Menurut Piaget dalam Ibrahim dan Muslimin (2000), anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu itu memotivasi mereka
untuk secara aktif membangun
tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati. Pengetahuan yang telah diperoleh secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi
pengetahuan mereka sendiri.
Sementara itu, Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru
dan memperkaya perkembangan
intelektual siswa.
Menurut Depdiknas (2002), di dalam konstruktivisme ditekankan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam proses pembelajaran,
siswa membangun sendiri
pengetahuan mereka melalui
keterlibatan aktif dalam proses belajar-mengajar. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dan penyedia kondisi supaya proses belajar bisa berlangsung.
Pembelajaran Penemuan
Pembelajaran penemuan
adalah suatu model pembelajaran
yang menekankan pentingnya
membantu siswa memahami stuktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Oleh karena itu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran,
dan suatu keyakinan bahwa
pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi (Ibrahim dan Muslimin, 2000).
Dalam pembelajaran dengan penemuan, guru harus mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 80
melakukan percobaan yang
memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Pembelajaran penemuan memacu rasa ingin tahu siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan
pekerjaannya hingga mereka
menemukan jawabannya. Siswa juga belajar memecahkan masalah secara mandiri dan ketrampilan berpikir kritis
karena mereka harus selalu
menganalisis dan menangani
informasi. Menurut Arends (1997), PBI terdiri dari 5 tahap utama yang dimulai
dengan guru memperkenalkan siswa pada suatu masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahap utama ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1, Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI)
Sumber : Nur. Muslimin, 2008 PEMBAHASAN
Kemampuan kognitif siswa
Data hasil kognitif, dianalisis melalui nilai tes formatif di akhir pembelajaran dan lembar kerja siswa (LKS) pada data kualifikasi tingkat
penguasaan LKS tiap kelompok
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2, Kualifikasi Tingkat
Pengusaan LKS Pada Tiap Kelompok
Nilai
Hasil Lembar Kerja Siswa (LKS) Kualifikasi Kelompok Nilai (%) 90-100 II 91,42 sangat baik 80-89 III I VI V 80,94 85,71 80,71 85,71 Baik 65-79 IV 70 Cukup <65 - - kurang/gagal
Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa pada LKS terdapat satu kelompok dengan kualifikasi sangat baik, yaitu kelompok II, empat kelompok dengan kualifikasi baik yaitu kelompok III, I, V, dan VI, satu kelompok dengan kualifikasi cukup yaitu kelompok IV dan tidak terdapat kelompok dengan kualifikasi kurang atau gagal.
Tahap Tingkah laku guru
1. Orientasi siswa kepada masalah
1. Mengkomunikasikan tujuan pelajaran secara jelas.
2. Menyajikan situasi masalah autentik yang berasal dari permasalahan sains, teknologi, lingkungan atau masyarakat dengan prosedur jelas
1. Mengorga nisasi siswa untuk belajar 1. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar.
2. Bersama siswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas penyelidikan dan jadwal waktu. 1. Membantu penyelidik an mandiri, ataupun kelompok
1. Mendorong pertukaran ide pemecahan masalah secara bebas dan penerimaan sepenuhnya ide-ide itu.
2. Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai atau melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
3. Membantu siswa menemukan bahan dan mengingatkan akan tugas-tugas yang harus diselesaikan mereka
1. Menyajik an hasil karya.
1. Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, portofolio, model, dll. 2. Membantu siswa untuk berbagi
tugas dengan temannya dalam menyajikan hasil karya.
1. Mengana lisis dan mengeva luasi proses pemecah -an masalah
1. Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 81
Kemampuan Afektif Siswa
Data kemampuan afektif siswa
yang dinilai selama proses
pembelajaran dilihat pada Tabel 3. Tabel 3, Data Sikap Siswa Pada Pertemuan 1 dan Pertemuan 2
Pada Tabel 3, terlihat penilaian sikap yang dinilai melalui lembar penilaian sikap selama dua kali pertemuan. Pada pertemuan pertama terdapat 10 siswa dengan kualifikasi sangat baik, 20 siswa dengan kualifikasi baik, 4 siswa dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau
gagal. Pada pertemuan kedua,
terdapat 11 siswa dengan kualifikasi sangat baik, 21 siswa dengan
kualifikasi baik, 2 siswa dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal.
Data kualifikasi siswa pada aspek afektif diperoleh melalui nilai rata-rata persentasi untuk setiap pertemuan terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4, Kualifikasi Nilai Rata-rata Siswa Pada Aspek Afektif Selama Dua Kali Pertemuan
Nilai Frekuensi Frekuensi
(%) Relatif Kualifikasi 81 – 100 61 – 80 41 – 60 20 – 40 7 26 1 - 20,59 76,47 2,94 - sangat baik baik cukup kurang/gagal Jumlah 34 100
Tabel 4, menunjukkan nilai rata-rata nilai siswa aspek afektif pada
pertemuan pertama dan kedua.
Berdasarkan nilai rata-rata terlihat seluruh siswa mampu memenuhi kriteria penilaian aspek afektif dengan kualifikasi berbeda-beda yaitu sebagai berikut : sebanyak 7 siswa (20,59 %) dengan kualifikasi sangat baik, 26 siswa (76,47%) dengan kualifikasi baik, 1 siswa (2,94%) dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal.
Kemampuan Psikomotor Siswa Data kemampuan aspek psikomotor siswa yang dinilai selama proses pembelajaran terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5, Data Kemampuan
Psikomotor Pada Pertemuan 1 dan Pertemuan 2
Tabel 5, menunjukkan penilaian aspek psikomotor yang dinilai selama dua kali pertemuan. Pada pertemuan pertama terdapat 11 siswa (32,36%) mampu menguasai semua aspek yang dinilai dengan kualifikasi sangat baik, 20 siswa (58,82%) dengan kualifikasi baik, 3 siswa dengan kualifikasi cukup (8,82%) dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal. Pada pertemuan kedua terdapat 19 siswa (55,88%) dengan kualifikasi sangat baik, 13 siswa (38,23%) dengan kualifikasi baik, 2 siswa (5,89%) dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal.
Nilai Prt I Prt II Kualifikasi Frek Frek 80-100 61-80 41-60 20-40 10 20 4 - 11 21 2 - sangat baik baik cukup kurang/gagal Jlh 34 34 Nilai
Pertemuan 1 Pertemuan ke-2
Kualifikasi Frek (%) Frek (%) 80-100 61-80 41-60 20-40 11 20 3 - 32 59 9 - 19 13 2 - 56 38 6 - sangat baik baik cukup gagal Jlh 34 100 34 100
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 82
Hasil belajar siswa pada aspek
psikomotor dapat digambarkan
dengan kualifikasi rata-rata persentase untuk tiap pertemuan ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6, Kualifikasi nilai rata-rata tingkat penguasaan siswa pada aspek
psikomotor selama dua kali
pertemuan
Nilai Frekuensi Frekuensi
(%) Relatif Kualifikasi 81 – 100 61 – 80 41 – 60 20 – 40 16 16 2 - 47,06 47,06 5,88 - sangat baik baik cukup kurang/gagal Jumlah 34 100
Tabel 4.6 menggambarkan nilai rata-rata siswa pada aspek psikomotor
selama dua kali pertemuan.
Berdasarkan nilai rata-rata, terlihat sebanyak 16 siswa (47,06%) dengan kualifikasi sangat baik, 16 siswa (47,06%) dengan kualifikasi baik, 2 siswa (5,88%) dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal.
Deskripsi Tingkat Penguasaan
Siswa Hasil Tes Formatif
Tes Formatif adalah tes yang diberikan kepada siswa setelah proses pembelajaran pada suatu materi selama dua kali pertemuan. Data kualifikasi tingkat penguasaan siswa pada tes formatif ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Kualifiksi tingkat penguasan siswa hasil tes formatif
Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil tes formatif dengan kualifikasi sangat baik
berjumlah 12 siswa (35,25%),
kualifikasi baik berjumlah 16 siswa (47,05%), kualifikasi cukup berjumlah 4 siswa (11,77%) dan kualifikasi kurang/gagal berjumlah 2 siswa (5.89%).
Nilai akhir (NA) siswa
Nilai akhir yang merupakan hasil belajar siswa dapat diketahui setelah dilakukan analisa terhadap persentase tingkat penguasaan siswa pada tes akhir (post-test) (X1) dan persentase tingkat penguasaan nilai proses (X2). Perbedaan tingkat penguasaan siswa pada nilai akhir terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8, Kualifikasi tingkat
penguasaan nilai akhir (NA) siswa
Tabel 8 terlihat bahwa sebanyak 3 siswa (8,82%) dengan kualifikasi sangat baik, 22 siswa (64,70%) dengan kualifikasi baik, 7 siswa (20,59%) dengan kualifikasi cukup, 2 siswa (5,89%) dengan kualifkasi kurang atau gagal. Dengan deminkian dapat disimpulkan bahwa terdapat 32 siswa (94,11%) mampu mencapai KKM, sedangkan 2 siswa (5,89%) belum mencapai KKM.
Hasil Belajar Siswa Selama Proses Pembelajaran
Selama proses pembelajaran siswa dinilai melalui 3 aspek yaitu (1) aspek kognitif, (2) aspek afektif atau
Nilai Frekuensi Frekuensi
Relatif (%) Kualifikasi 90 – 100 80 – 89 65 – 79 < 65 12 16 4 2 35,25 47,05 11,77 5,89 sangat baik baik cukup gagal Jumlah 34 100
Nilai Frekuensi Frekuensi
relatif (%) Kualifikasis 90 – 100 80 – 89 65 – 80 <65 3 22 7 2 8,82 64,70 20,59 5,89 sangat baik baik cukup kurang/gagal Jumlah 34 100
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 83
sikap dan (3) aspek psikomotor. Aspek kognitif yang dinilai dalam penelitian ini yakni dari hasil lembaran kerja
siswa (LKS) selama proses
pembelajaran. Hasil penilaian
menunjukkan bahwa pada pertemuan kedua terdapat satu kelompok dengan kualifikasi sangat baik yakni kelompok II, dengan kualifikasi baik terdapat 4 kelompok yakni kelompok III, I, V dan VI dan 1 kelompok dengan kualifikasi cukup yakni kelompok IV dan tidak terdapat kelompok dengan kualifikasi kurang atau gagal.
Tabel 2 menggambarkan hasil penilaian pada LKS menunjukkan siswa mampu menyesuaikan diri pada pembelajaran dengan menggunakan pendekatan jelajah alam sekitar (JAS) dengan model pembelajaran PBI. Dengan demikian, siswa lebih mudah mengerti informasi yang diberikan
dalam LKS pada masing-masing
kelompok. Hal ini dibuktikan pada hasil LKS.
Sejalan dengan itu, Salvin
(1995) dalam Wenno (2008)
menyatakan bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan konsep-konsep itu dengan teman-temannya. Siswa juga akan bekerja sama dalam belajar dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri. Dalam kelompok dengan kemampuan yang heterogen, siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang membantu satu sama lain serta melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakang (Wenno, 2008; 57-58).
Aspek afektif dalam penelitian ini yang dinilai adalah sikap siswa dalam keseriusan, kesopanan dan ketertiban selama pembelajaran yang terkait dengan materi zat aditif
makanan. Aspek afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Data padaTabel 3 memuat skor perolehan dan persentase siswa dalam aspek afektif. Pada RPP I terlihat bahwa sebagian besar siswa sudah mampu memenuhi kriteria-kriteria dalam penilaian pada aspek afektif dimaksud. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar siswa menjaga proses
pembelajaran. Siswa juga sopan dalam mengajukan pertanyaan atau menjawab pertanyaan baik dari guru
maupun antar sesama teman,
walaupun ada beberapa siswa yang kurang sopan dalam penggunaan bahasa. Kerja sama yang baik juga terlihat pada saat siswa melakukan diskusi terkait dengan penemuan-penemuan saat melakukan jelajah
alam sekitar maupun dalam
menyelesaikan LKS. Beberapa pakar menyatakan bahwa sikap siswa dapat
diramalkan perubahannya bila
seseorang (siswa) telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi (Sudijono, 1995:54).
Hasil belajar psikomotor ini merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan dan perilaku). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila siswa telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu
sesuai dengan makna yang
terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya (Sudijono,1995 : 54). Nilai keterampilan yang dimiliki siswa sangat mendukung lancarnya proses pembelajaran sehingga penilaian keberhasilan belajar siswa harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 84
kognitif tetapi afektif dan psikomotor juga.
Hasil Belajar Siswa Pada Tes Formatif (post-test)
Keberhasilan siswa dalam
mencapai ketuntasan belajar ini disebabkan kerena kegiatan mengajar yang berlangsung dengan semestinya, membuat siswa dapat memahami dan mengerti dengan baik apa yang diajarkan. Seperti yang dikemukakan oleh Ratumanan (2004:10), bahwa belajar merupakan suatu kegiatan
mental yang menghasilkan
kemampuan baru yang bersifat
permanen pada diri siswa. Belajar akan lebih berhasil jika keseluruhan potensi siswa dilibatkan secara optimal. Tujuan dilakukannya tes formatif pada akhir pembelajaran yaitu untuk mengetahui kemampuan kognitif siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran PBI dengan pendekatan jelajah alam sekitar (JAS). Dari hasil tes formatif menunjukkan bahwa terdapat 32 siswa (94,11%) mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM), sedangkan siswa yang belum atau gagal menguasai indikator pembelajaran sebanyak 2 siswa (5,89%). Hal ini disebabkan karena siswa tersebut tidak serius dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), dan dalam melaksanakan diskusi tidak memperhatikan materi yang disampaikan dan tidak serius mengerjakan LKS dalam kelompoknya masing-masing.
Berdasarkan hasil ini, dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa mampu menguasai indikator-indikator pembelajaran, dimana penilaian keberhasilan belajar siswa harus dilihat secara komprehensif, tidak hanya kognitif, tetapi afektif dan
psikomotor juga. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan kognitif siswa harus seimbang dengan kemampuan afektif dan psikomotor siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh akan lebih baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini
maka dapat disimpulkan bahwa
sebanyak 32 siswa (94,11%) telah mampu mecapai kriteria ketuntasan minimum (KKM), dan 2 siswa (5,89%) belum mencapai KKM.
SUMBER RUJUKAN
Arends, 1997. Classroom Instruction
and Management, Mc Grow Hill Compagnies Inc, New York.
Arikunto S., 2006., Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta, Jakarta.
Budimansyah, 2002. Model
Pembelajaran dan Penilaian,
Rosdakarya, Bandung.
Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis
Kompetensi, Depdiknas, Jakarta.
Ibrahim, Muslimin, 2000. Pengajaran
Berdasarkan Masalah, Unesa,
Surabaya.
Kunandar, 2007. Guru Profesional
Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru,
PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Mariyanti, A., dan Kartijo, 2006.
Bunga Rampai Pendekatan Pembelajaran JAS, Jurusan
Biologi, FMIPA Unnes,
Semarang.
Mulyasa, 2007., Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, Rosdakarya,
Bandung.
Mulyani, M., 2009. Evaluasi
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12 85 Berdasarkan Pembelajaran
Kontekstual dan Penilaian Berbasis Kelas, Rajawali Press,
Jakarta.
Nasution, S.,1983. Sosiologi
Pendidikan, Penerbit Jemarres,
Bandung.
Nur, M., 2005. Pembelajaran
Kooperatif, Pusat Sains dan
Matematika, Unnesa, Surabaya. Permana. D., 2004. Inti Sari Kimia
SMA, CV Pustaka Setia, Bandung.
Purba, M., 2007. IPA Kimia Kelas VIII, Erlangga, Jakarta.
Ratumanan, T.G., 2004, Belajar dan
Pembelajaran, Universitas Press,
Surabaya.
Ridlo, S., 2005., Pendekatan Jelajah
Alam Sekitar (JAS),
dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Biologi
dengan Pendekatan Jelajah
Alam Sekitar, FMIPA Unnes, Semarang.
Sardiman, A.M., 2006. Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar, PT
Radja Grafindo Persada, Jakarta. Slavin, R.E., 1995, Cooperative Learning Theory and Practice,
Sixth Edition, Allyn Boston dan Balon.
Slameto, 2003, Belajar dan Faktor
yang Mempengaruhi, PT Rineka
Cipta, Jakarta.
Sudijono, A., 1995. Pengantar
Evaluasi Pendidikan. Rajawali
Press,Jakarta
Sudjana, N., 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar
Baru, Bandung.
Sukaesih S., Sigit S., Dewi M., dan Siti A., 2005, Kualitas Pembelajaran
Siswa Kelas VII SMP Negeri 27 Semarang Konsep Pengelolaan Lingkungan dengan Penerapan
Pendekatan Jelajah Alam Sekitar Model Konseptual Change yang diintegrasikan dengan Alternative Assesment, Unnes Semarang.
Suryabrata, S., 1988. Psikologi Kepribadian, Rajawali Press, Jakarta.
Suryabrata, S., 2006, Metodologi
Penelitian, PT Raja Grafindo
Persada.Jakarta
Suryasubroto, B., 2002. Proses Belajar Mengajar Di Sekolah,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta Wenno, I.H., 2008., Strategi Belajar
Mengajar Sains Berbasis Kontekstual, Penerbit Inti Media,