• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Lingkungan dalam Industri dan Manufaktur

N/A
N/A
Rias Aurelia

Academic year: 2024

Membagikan "Faktor Lingkungan dalam Industri dan Manufaktur"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Faktor lingkungan merujuk pada berbagai elemen eksternal yang mempengaruhi kehidupan manusia, organisme, dan sistem alami di sekitar kita.

Faktor lingkungan sering kali diidentifikasi dengan kondisi alam sekitar, seperti kualitas udara, suhu, cahaya, serta keberadaan sumber daya alam. Namun, faktor lingkungan juga mencakup elemen-elemen sosial, budaya, ekonomi, dan teknologis yang mempengaruhi cara manusia berinteraksi dengan alam dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Faktor lingkungan adalah elemen-elemen yang memengaruhi proses produksi, kinerja industri, serta kesehatan dan keselamatan pekerja. Dalam industri dan manufaktur, faktor-faktor lingkungan tidak hanya berhubungan dengan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan operasional terhadap lingkungan alam, tetapi juga mencakup bagaimana kondisi lingkungan tersebut dapat mempengaruhi efisiensi dan kualitas produksi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai faktor lingkungan yang terlibat dalam suatu industri sangat penting dalam upaya pencapaian keberlanjutan dan peningkatan kualitas proses produksi.

Salah satu aspek yang mempengaruhi efektivitas dan kesejahteraan dalam lingkungan kerja adalah faktor lingkungan. Faktor-faktor lingkungan tersebut mencakup berbagai elemen fisik dan psikososial yang memengaruhi kenyamanan dan kinerja individu di tempat kerja. Dalam konteks ini, faktor lingkungan tidak hanya mengacu pada kondisi fisik, seperti kebisingan, cahaya, dan ventilasi, tetapi juga pada kondisi sosial dan budaya yang mempengaruhi interaksi di tempat kerja.

Ketika faktor lingkungan di tempat kerja dikelola dengan baik, dapat meningkatkan kenyamanan, mengurangi stres fisik dan mental, serta meningkatkan hasil kerja.

Sebaliknya, jika faktor lingkungan yang buruk dapat menyebabkan ketidak nyamanan, kelelahan, gangguan kesehatan, bahkan kecelakaan kerja.

Pengambilan data environmental factor dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan alat ukur seperti Sound Level Meter untuk mengukur tingkat kebisingan, Lux Meter untuk mengukur pencahayaan, serta Thermometer dan Hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban. Pengukuran ini dilakukan di berbagai titik dalam area kerja untuk mendapatkan data yang representatif . Pengambila data environmental factor bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kesehatan dan produktivitas pekerja.

Lingkungan yang tidak nyaman dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan

(2)

seperti kelelahan, stres, dan gangguan muskuloskeletal. Misalnya, suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat mengganggu konsentrasi dan kinerja pekerja, sedangkan pencahayaan yang tidak memadai dapat menyebabkan ketegangan mata dan kelelahan. Kebisingan yang tinggi juga dapat mengganggu komunikasi dan meningkatkan risiko kesalahan kerja.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada praktikum ergonomi industri modul Ergonomi Lingkungan (Environmental Factor) adalah ditunjukkan sebagai berikut :

1. Bagaimana cara menganalisis keterkaitan lingkungan kerja dengan performansı seseorang?

2. Bagaimana cara Menganalisis pengaruh lingkungan kerja terhadap kinerja operator?

3. Bagaimana cara mengetahui tingkat intensitas bunyi (kebisingan) untuk suatu pekerjaan?

4. Bagaimana cara mengetahui besarnya intensitas cahaya dengan output yang diperoleh untuk suatu pekerjaan?

5. Bagaimana cara mengetahui tingkat getaran untuk suatu pekerjaan?

6. Bagaimana cara menentukan tingkat kebisingan, pencahayaan, dan ventilasi yang optimal?

1.3 Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum ergonomika industri modul Ergonomi Lingkungan (Environmental Factor) adalah sebagai berikut :

1. Mahasiswa dapat menganalisis keterkaitan lingkungan kerja dengan performansi seseorang.

2. Mahasiswa dapat menganalisis pengaruh lingkungan kerja terhadap kinerja operator.

3. Mahasiswa dapat mengetahui tingkat intensitas bunyi (kebisingan) untuk suatu pekerjaan

4. Mahasiswa dapat mengetahui besarnya intensitas cahaya dengan output yang diperoleh untuk suatu pekerjaan.

5. Mahasiswa dapat mengetahui tingkat getaran untuk suatu pekerjaan

6. Mahasiswa dapat menentukan tingkat kebisingan, pencahayaan, dan getaran yang optimal.

1.4 Manfaat Praktikum

Adapun manfaat praktikum ergonomika industri modul Ergonomi Lingkungan (Environmental Factor) adalah sebagai berikut :

1. Mahasiswa dapat menganalisis kondisi lingkungan kerja yang ada dan mengevaluasi dampaknya terhadap kinerja pekerja.

(3)

2. Mahasiswa belajar memahami pentingnya ergonomi dalam merancang tempat kerja yang Efisien, Nyaman, Aman, Sehat dan Efektif.

3. Mahasiswa dilatih untuk merancang sistem kerja yang efisien dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan.

1.5 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada praktikum ergonomi industri modul Ergonomi Lingkungan (Environmental Factor) adalah sebagai berikut :

1.

(4)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Ergonomi

Ergonomi merupakan suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dengan objek yang digunakan. Hal yang paling penting dalam ergonomi adalah peralatan yang digunakan bekerja dan kondisi lingkungan kerja.

Jika produk, peralatan, stasiun kerja, dan metode kerja dirancang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia, maka hasil yang diberikan akan lebih baik.

Sebaliknya, jika produk, peralatan, stasiun kerja, dan metode kerja tidak dirancang dengan baik, maka akan memberikan hasil yang buruk. Dalam ergonomi dikenal istilah fitting the task to the person yang artinya pekerjaan harus dirancang sesuai dengan kapasitas pekerja. Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan di Amerika Serikat, terdapat indikasi bahwa ergonomi terkait dengan lima dari sepuluh penyakit dan kecelakaan kerja. Berikut merupakan penyakit dan kecelakaan kerja yang sering terjadi di Amerika Serikat, yaitu (Lusi et al., 2015) :

1. Penyakit paru-paru 2. Cedera muskoloskeletal 3. Kanker

4. Amputasi, patah tulang, buta, trauma, dan lecet 5. Kardiovaskular

6. Penyakit reproduksi 7. Gangguan saraf

8. Gangguan pendengaran 9. Dermatologic

10. Gangguan jiwa

Tujuan utama dari ergonomi adalah untuk merancang objek, peralatan, dan mesin agar dapat digunakan secara efektif oleh manusia. Salah satu istilah yang sering diasosiasikan dengan hal ini adalah HIX. Istilah tersebut diciptakan oleh Pulat dan Alexander untuk melambangkan pekerjaan manusia dari awal hingga akhir. “HI” melambangkan human intergrated dan “X” merupakan suatu variabel untuk desain, manufacturing, test, dan sebagainya. Human Intergrated System (HID) merupakan suatu sistem yang dirancang dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia sehingga dapat meningkatkan efektivitas pada saat bekerja.

Ergonomi sering disalahartikan, dianggap mahal dan hanya dikaitkan dengan aspek kenyamanan kerja. Padahal, dengan ergonomi, sistem kerja di berbagai bidang di perusahaan (misalnya logistik, produksi, maintenance, pekerjaan kantor, dsb) dirancang sedemikian rupa dengan memperhatikan variasi pekerja dalam hal kemampuan dan keterbatasan (fisik, psikis, dan sosio-teknis). Menyadari

(5)

pentingnya ergonomi bagi semua orang dimanapun berada maupun bekerja, serta adanya persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan di era globalisasi ini maka mau tidak mau upaya untuk meningkatkan produktivitas sekaligus kesehatan dan keselamatan pekerja harus menjadi prioritas dan komitmen semua pihak baik pemerintah maupun swasta dari tingkat pimpinan sampai ke seluruh karyawan dalam manajemen perusahaan. Dengan tingkat kesehatan dan keselamatan kerja yang baik jelas mangkir kerja karena sakit akan menurun, biaya pengobatan dan perawatan akan menurun, kerugian akibat kecelakaan akan berkurang, tenaga kerja akan mampu bekerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, keuntungan akan meningkat dan pada akhirnya kesejahteraan karyawan maupun pemberi kerja akan meningkat. Beberapa jenis peningkatan yang dapat dicapai melalui implementasi ergonomi antara lain (Lusi et al., 2015) :

1. Peningkatan produktivitas Jika tingkat produktivitas sedang menurun maka akan dilakukannya peningkatan efisiensi dari pekerja. Jika terjadinya peningkatan cidera maka dilakukannya pengurangan potensi kecelakaan sehingga biaya untuk menaggulangi cidera akan menurun. Jika pekerja tidak produktif ataupun sering absen maka dibentuk lah lingkungan kerja yang nyaman untuk pekerja.

2. Tanggung jawab sosial Tanggung jawab sosial merupakan kesadaran perusahaan untuk tanggung jawab terhadap hukum dan terhadap keadaan sosial.

Pemikiran mengenai ergonomi pertama kalinya digagas pada tahun 1800 oleh Frederick Taylor dalam scientific management. Taylor menekankan bahwa semua aktivitas dan pekerjaan manusia, meskipun sederhana, memiliki urgensi yang sama untuk dianalisis dan diperbaiki untuk memaksimalkan kinerja manusia. Pada tahun 1857 Istilah ergonomi pertama kalı dikemukakan oleh Jastrzebowski dalam tulisannya Ergonomics: The Science of Work. Namun tulisan ini kurang begitu dikenal, sementara konsep-konsep ilmu ini ternyata terus berkembang. Pada tahun 1920 1930an, pemikiran mengenai produktivitas semakin berkembang dengan mulai banyaknya kritik pada kelemahan padangan Taylor. Faktor sosial dan lingkungan mulai dikemukakan memiliki pengaruh pada produktivitas. Pada era ini mulai dilakukan penelitian pengaruh pencahayaan, waktu istirahat, durasi jam kerja, dan kelelahan pada produktivitas manusia. Berkembang pula penelitian mengenai perilaku dan hubungan antar manusia di tempat kerja. Eksperimen perlakuan lingkungan sosial mulai memperkaya ilmu human engineering pada saat itu. Istilah ergonomi diangkat kembali oleh Murrell pada tahun 1949 di Inggris. Murrell menitikberatkan pada desain alat dan tempat kerja yang disesuaikan dengan anatomi, fisiologi, ilmu kesehatan, desain, arsitektur, dan teknik pencahayaan. Pada awalnya di Eropa ergonomi lebih dianggap sebagai bagian dari ilmu biologi. Sementara di Amerika Serikat, disiplin ilmu yang serupa

(6)

disebut dengan human factors, dan dianggap sebagai bagian dari ilmu fisiologi yang diintegrasikan dengan psikologi, teknik, dan human engineering.

Fokus ergonomi pada awalnya memiliki titik berat pada ergonomi fisik yang berkaitan dengan persoalan mengangkat beban, gerakan berulang, lingkungan kerja seperti pencahayaan dan kebisingan, juga berfokus pada ergonomi kognitif yang membahas mengenai persepsi, pemusatan perhatian dan pengambilan keputusan.

Pendekatan ergonomi hadir untuk membantu manusia dapat meningkatkan kinerjanya secara optimal dengan aplikasi ilmu ini pada desain peralatan, stasiun kerja, produk, dan metode kerja. Desain ini dilakukan dengan pertimbangan penuh pada keterbatasan dan kapabilitas Manusia. Banyak permasalahan seputar keselamatan dan kesehatan kerja, persoalan motivasi kerja yang rendah, tingginya human error, turn over karyawan, kualitas produk yang kurang baik, tidak tercapainya target produksi dan lain-lain merupakan persoalan yang dapat timbul jika prinsip dasar ergonomi tidak diterapkan dalam perancangan sistem produksi (Safitri et all., 2023).

Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Karena keduanya, baik underload maupun overload akan menyebabkan stress. Untuk mencapai tujuan ergonomi seperti yang telah dikemukan, maka perlu keserasian antara pekerja dan pekerjaannya, sehingga manusia pekerja dapat bekerja sesuai dengan kemampuan, kebolehan dan keterbatasannya. Secara umum kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia ditentukan oleh berbagai faktor yaitu: umur, jenis kelamin, ras, antropometri, status kesehatan, gizi, kesegaran jasmani, pendidikan, keterampilan, budaya, tingkah laku, kebiasaan, dan kemampuan beradaptasi (Bakri et al., 2004).

2.2 Environmental Factor

Environmental Factor (Faktor lingkungan) seluruh faktor eksternal, baik fisik, biologis, maupun sosial yang berperan dalam memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Fakto lingkungan tidak hanya terbatas pada alam, tetapi juga berisi elemen-elemen buatan manusia. Hal ini mencakup budaya, infrastruktur, kebijakan sosial, dan lain-lain. Fungsi environmental Factor adalah menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup, mulai dari

(7)

air, makanan, udara, dan material alam. Environmenal Factor juga berfungsi sebagai habitat atau tempat tinggal bagi berbagai makhluk hidup.

Faktor lingkungan merupakan semua benda dan kondisi termasuk di dalamnya manusia dan aktifitasnya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan hidup dan jasad renik lainnya. Faktor lingkungan terbagi atas tiga kelompok dasar. Yang pertama lingkungan fisik yaitu segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang terbentuk dari benda mati, misalnya yakni udara, air, rumah, dan batu. Yang kedua lingkungan biologis yaitu segala unsur yang berada pada sekitar manusia yang menyerupai organisme hidup selain ada pada diri manusia itu sendiri, misalnya hewan dan tumbuhan. Yang ketiga lingkungan sosial yakni manusia-manusia yang lain yang berada di dalam lingkungan masyarakat.

Setiap pekerja memiliki tugas untuk melaksanakan kegiatan operasional.

Mereka beraktivitas di lingkungan kerja yang kemungkinan berpengaruh pada produktivitas kerjanya. Lingkungan kerja yang kondusif mendukung produktivitas karyawan dalam bekerja, sebaliknya lingkungan kerja yang kurang nyaman dan kurang kondusif dapat mengganggu konsentrasi kerja karyawan. Lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif terlahir dari kesadaran karyawan dan pimpinan sehingga kedua pihak ini perlu menciptakan lingkungan kerja tersebut. Lingkungan yang sehat merupakan lingkungan yang dapat memberikan tempat untuk berlindung dan dapat menimbulkan kehidupan yang sempurna baik dari segi fisik, psikologis, maupun sosial (Panjaitan, 2017).

2.3 Kebisingan

Kebisingan adalah suara yang tidak diinginkan, berasal dari alat dan/atau peralatan kerja, dan pada tingkatan tertentu dapat menyebabkan kerusakan pendengaran. Kebisingan di area kerja terbukti secara signifikan mempengaruhi kinerja pekerja yang cenderung menurun akibat terganggu oleh intensitas kebisingan yang berada di atas normal Dalam suatu perusahaan industri penggunaan mesin dan alat kerja mendukung proses produksi dan berpotensi menimbulkan kebisingan yang disebabkan oleh suara mesin. Tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas dapat mendorong timbulnya gangguan pendengaran dan resiko kerusakan pada telinga baik bersifat sementara maupun permanen setelah terpapar dalam periode waktu tertentu tanpa penggunaan alat proteksi yang memadai

Tingkat kebisingan kerja yang tinggi masih menjadi masalah di semua wilayah di dunia. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, lebih dari 30 juta pekerja terkena kebisingan berbahaya. Di Jerman, 4–5 juta orang (12−15% dari angkatan kerja) terpapar pada tingkat kebisingan yang didefinisikan sebagai berbahaya oleh WHO.

(8)

Tingkat paparan kebisingan kerja yang tinggi menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Sebuah survei nasional Inggris menemukan bahwa paparan kebisingan di lingkungan kerja bertanggung jawab atas kesulitan pendengaran yang parah pada sekitar 153.000 pria dan 26.000 wanita, berusia 35 sampai 64 tahun dengan tinitus persisten yang jauh lebih banyak (266.000 pria, 84.000 wanita). Di AS, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL) menyumbang sekitar 11% dari semua penyakit akibat kerja, selain mempengaruhi pendengaran, kebisingan juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular yakni infark miokard, stroke, dan hipertensi (Indriyanti et al., 2019).

Kebisingan berpotensi mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan pekerja yang bekerja di dalam lingkungan tersebut. Gangguan yang tidak dicegah maupun diatasi bisa menimbulkan kecelakaan, baik pada pekerja maupun orang yang ada di sekitarnya. Upaya pengendalian kebisingan meliputi identifikasi masalah kebisingan di ruang linkup kerja dan menentukan tingkat kebisingan yang diterima oleh pekerja. Gangguan pendengaran tidak hanya dipemgaruhi oleh intensitas kebisingan tetapi bisa juga dipengaruhi oleh faktor pekerja seperti usia, masa kerja, dan penggunaan alat pelindung telinga ((Rahmawati, 2015).

Pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Tujuan dari pengendalian kebisingan sendiri adalah untuk mencegah agar pekerja tidak terpapar oleh bahaya kerja tersebut. Terdapat beberapa metode pengendalian bahaya kebisingan, menurut hirarki pengendalian bahaya ada enam yaitu eliminasi, substitusi, isolasi, engineering, administratif dan alat pelindung diri.

Eliminasi yaitu dengan cara menghilangkan bahan atau proses kerja yang berbahaya, substitusi dengan cara mengganti bahan atau proses dengan yang lebih aman, isolasi dengan cara memisahkan pekerja dengan sumber bahaya, engineering dengan cara membuat atau merekayasa mesin yang membahayakan pekerja seperti pemberian pelindung pada mesin, administratif dengan cara job rotation dan yang terakhir ialah pamberian alat pelindung diri untuk pekerja (Setyaningrum & Widjasena, 2014).

Untuk mengukur kebisingan di lingkungan kerja dapat dilakukan dengan menggunakan alat Sound Level Meter. Metode pengukuran akibat kebisingan di lokasi kerja, yaitu (Nasution, 2019):

1. Pengukuran dengan titik sampling Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat dilakukan untuk mengevalusai kebisingan yang disebabkan oleh suatu peralatan sederhana, misalnya kompresor/generator. Jarak pengukuran dari sumber harus dicantumkan, misal 3 meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu juga harus diperhatikan arah mikrofon alat pengukur yang digunakan.

(9)

2. Pengukuran dengan peta kontur Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar tentang kondisi kebisingan dalam cakupan area.

Pengukuran ini dilakukan dengan membuat gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan pengukuran yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan kebisingan, warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas di bawah 85 dBA, warna oranye untuk tingkat kebisingan yang tinggi di atas 90 dBA, warna kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara 85–90 dBA.

Nilai Ambang Batas Kebisingan (NAB) menurut Kepmenaker No. per-51/

MEN/ 1999, ACGIH, 2008 dan SNI 16-7063-2004 adalah 85dB untuk pekerja yang sedang bekerja selama 8 jam perhari dan 5 hari kerja atau 40 jam perminggu, hal ini merupakan ketentuan standar pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi, dan efek pada pendengaran dalam pekerjaan sehari-hari. Nilai ambang batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan rata-rata yang masih diterima tenaga kerja tanpa menghilangkan daya dengar yang tetap untuk waktu terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam perminggu. Adapun persamaan untuk menentukan waktu maksimum bekerja adalah sebagai berikut :

L = {[2 log (8.T-1)]}.3}+85

Keterangan:

T = Waktu (jam) L = Pajanan kebisingan

Terdapat beberapa tingkat kebisingan yang dibagi dalam beberapa zona yaitu (Rusmayanti et al., 2021) :

a. Zona A diperuntukkan bagi tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau sosial. Tingkat kebisingan yang dianjurkan berkisar 35-45 dB.

b. Zona B diperuntukkan bagi perumahan, tempat pendidikan, rekreasi.

Tingkat kebisingan yang dianjurkan berkisar 45-55 dB.

c. Zona C diperuntukkan bagi perkantoran perdagangan, pasar. Tingkat kebisingan yang dianjurkan berkisar 50-60 dB.

d. Zona D diperuntukkan bagi lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal. Tingkat kebisingan yang dianjurkan berkisar 60-70 dB.

(10)

2.4 Pencahayaan

Pencahayaan merupakan salah satu faktor penting dalam perancangan ruang untuk menunjang kenyamanan pengguna. Ruang dengan sistem pencahayaan yang baik dapat mendukung aktivitas yang dilakukan di dalamnya. Sistem pencahayaan yang baik harus dapat memenuhi tiga kriteria utama, yaitu kualitas, kuantitas, dan aturan pencahayaan. Kutangnya dukungan pencahayaan dalam suatu ruang akan mengakibatkan aktivitas dalam ruangan tersebut menjadi terganggu misalnya ketika pencahayaan terlalu berlebihan akan berakibat menggangu pengelihatan.

Dengan demikian intensitas cahaya perlu diatur untuk menghasilkan kesesuaian kebutuhan pengelihatan di dalam ruang berdasarkan jenis aktivitas-aktivitasnya.

pencahayaan yang baik akan membuat pekerja menjadi nyaman, sehingga produktivitas yang dihasilkan meningkat. Adapun persamaan untuk menentukan waktu maksimum bekerja adalah sebagai berikut (Yusvita, 2021):

𝐸𝑥𝐴

N =

𝑖 𝑥 𝐶𝑈 𝑥 𝐿𝐿𝐹 Keterangan :

N = Jumlah armatur (titik lampu) E = Intensitas penerangan (Lux) A = Luas ruangan (meter) i = Tingkat pencahayaan (lumen) 𝐶𝑈 = Faktor Utilisasi (%)

LLF = Faktor rugi cahaya (%)

Faktor kehilangan cahaya adalah perbandingan pada tingkat pencahayaan setelah jangka waktu tertentu dari instalasi pencahayaan digunakan dengan tingkat pencahayaan pada saat waktu instalasi baru digunakan. Biasanya koefisien depresiasi ditentukan berdasarkan estimasi. Faktor kehilangan cahaya dibedakan menjadi dua, yaitu (Yusvita, 2021) :

1. non recoverable factor

a. Luminaire Ambient Temperature (LAT), atau temperatur di dekat luminer. Temperatur diatas 250o celcius pada lampu jenis fluorescent, akan kehilangan cahaya 1% tiap peningkatan temperatur sebesar 10o celcius. Apabila lampu beroperasi pada lingkungan yang normal sesuai desain pabrik sehingga LAT= 1. Adapun lingkungan normal merupakan kondisi yang sesuai arahan pabrik pada pembuat lampu.

(11)

b. Voltage Variatiton (VV), atau variasi pada tegangan listrik.

Memaparkan jika transformasi 1% di tegangan listrik akan mempengaruhi hingga 3% lumen pada lampu pijar, jika lampu difungsikan pada volta yang sesuai akan menghasilkan VV= 1.

c. Luminaire Surface Depreciatian (LSD), atau depresiasi pada permukaan luminer. Penurunan kualitas pada permukaan luminer, seperti penutup yang berganti warna, reflektor yang tergores, serta hal lainnya yang akan mempengaruhi kuantitas ataupun mutu terhadap penerangan dalam ruangan.

d. Ballast Factor (BF), atau faktor balas. Dimana balas yang digunakan pada luminer terkadang berbeda dengan apa yang tercantum pada data teknis, hal ini mengakibatkan sering terjadinya kesalahan atau kekeliruan dalam perhitungan.

2. recoverable factor.

a. Luminaire Dirt Depreciation (LLD), merupakan depresiasi cahaya yang diakibatkan karena terjadinya penimbunan kotoran di luminer. Hal ini karena pengaruh luminer, kondisi lingkungan, serta waktu pada pembersihan luminer secara berkala.

b. Room Surface Dirt Depreciation (RSDD), adalah depresiasi cahaya yang mana terjadi akibat dari penumpukan kotoran pada permukaan ruang. Pencahayaan yang sering memanfaatkan pemantulan akan lebih rentan menyebabkan terjadinya penumpukan kotoran, yaitu debu dan lainnya.

c. Lamp Lumen Depreciation (LDD), merupakan suatu faktor yang tergantung terhadap jenis lampu serta waktu penggantiannya.

d. Lamp Burnout (LBO), adalah perkiraan jumlah lampu yang telah mati sebelum jadwal penggantian yang sebelumnya telah direncanakan. Jika lampu melakukan pergantian secara seluruhnya, maka LBO = 1, tetapi apabila pergantian lampu hanya terjadi pada lampu yang mati, maka LBO = 0,95.

2.5. Ventilasi

Ventilasi merupakan aspek krusial dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan nyaman. Dengan adanya sistim ventilasi yang baik maka pekerja dapat melaksanakan pekerjaannya secara produktif dan efisien. Ventilasi pada bangunan sangat diperlukan untuk mengolah udara secara serempak dengan mengendalikan temperatur, kelembaban, kebersihan, dan distribusinya untuk memperoleh kenyamanan penghuni dalam ruang yang dikondisikan. Dalam konteks industri, sistem ventilasi yang baik tidak hanya berfungsi untuk mengatur suhu, tetapi juga untuk mengurangi konsentrasi kontaminan di udara, meningkatkan kenyamanan termal, dan mendukung produktivitas pekerja.

Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan manusia, sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan over crowded maka

(12)

akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan. Ventilasi yang baik bila terjadi pertukaran udara tempat kerja 2 – 3 kali per menit per orang. Ventilasi menurut jenisnya dapat dibagi menjadi ventilasi buatan atau mekanis (AC, exhaus fan, kipas, blower dll)) dan ventilasi alamiah ( jendela, jalusi, kisi dll). Ventilasi alamiah dapat juga dibagi menjadi ventilasi permanen ( lubang angin, jalusi) dan tidak tetap (sementara) seperti pintu ruangan yang bila terbuka dapat berfungsi untuk ventilasi. jenis ventilasi di tempat kerja, yaitu

1. Genera Ventilasi atau Dilusi Ventilasi atau Ventilai Pengenceran Udara, dan banyak istilah yang digunkan di masyarakat industry.

Pada buku ini penulis mengunakan istilah, yaitu “Sistim Ventilasi Pengenceran Udara “ Sistim Ventilasi Pengencran Udara, adalah pengenceran terhadap udara yang terkontaminasi di dalam bangunan atau ruangan, dengan meniup udara bersih (tidak tercemar), tujuannya untuk mengendalikan bahaya di tempat kerja.

2. Lokal Exhaust Ventilasi atau Ventilasi Pengeluaran Setempat, dalam buku ini penulis menggukan istilah “Sitim Ventilasi Lokal”Sistim Ventilasi Lokal, adalah proses pengisapan dan pengeluaran udara terkontominasi secara serentak dari sumber pencemaran sebelum udara berkontominasi berada pada ketinggian zona pernapasan tenaga kerja, dan menyebar keseluruh ruang kerja, umummnya ventilasi jenis ini di tempatkan sangat dekat dengan sumber emisi .

3. Eshausted Enclosure atau Ventilasi sistem tertutup, dimana kontaminan yang beracun yang dipancarkan dari suatu sumber dengan kecepatan yang tinggi harus dikendalikan dengan isolasi sempurna, atau menutup proses (kususnya pada pekerjaan blasting). Pekerjaan balasting adalah suatu proses yang tertutup, misalnya disebabkan oleh emisi debu silica bebas yang sangat besar.

4. Confort ventilation atau Ventilasi kenyamanan. Pertukaran udara didalam industri merupakan bagian dari ‘Air Conditiong/AC, sering digunakan bersama –sama degan alat pemanas atau alat

pendingin dan alat pengatur kelembaban udara.

5. Sistim Ventilasi Area Terbatas atau Confined Spaces adalah penerapan ventilasi di area terbatas pada pekerjaan tertentu yang fugsinya untuk menimalisasi polutan akibat pekerjaan yang dilksanakan didalam suatu ruangan atau area terbatas . Misalnya pekerjaan pengelasan (Welding in Confined Spaces).

(13)

DAFTAR PUTAKA

HABakri, S., Sudiajeng Ergonomi untuk Keselamatan, L., & Kerja dan Produktivitas Ed, K.

(n.d.). Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT) Tarwaka (Vol. 323).

(14)

Indriyanti, L. H., Kurnia Wangi, P., & Simanjuntak, K. (n.d.). Hubungan Paparan Kebisingan terhadap Peningkatan Tekanan Darah pada Pekerja.

https://doi.org/https://doi.org/10.24853/jkk.15.1.36-45

Indriyanti, L. H., Wangi, P. K., & Simanjuntak, K. (2019). Hubungan paparan kebisingan terhadap peningkatan tekanan darah pada pekerja. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 15(1), 36–45. https://doi.org/https://doi.org/10.24853/jkk.15.1.36-45 Lusi, E., Hilma, S., Zadry, R., & Yuliandra, B. (n.d.). PENGANTAR ERGONOMI INDUSTRI.

Nasution, M. (2019). Ambang batas kebisingan lingkungan kerja agar tetap sehat dan semangat dalam bekerja. Buletin Utama Teknik, 15(1), 87–90.

Panjaitan, M. (n.d.). Pengaruh Lingkungan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan (Vol. 3, Issue 2). http://ejournal.lmiimedan.net/index.php/jm/article/view/7/7 Rahmawati, E. D. A. (2015). Dampak Intensitas Kebisingan terhadap Gangguan

Pendengaran (Auditory Effect) pada Pekerja di Pabrik I PT Petrokimia Gresik.

http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/68768

Rusmayanti, R., Nurhasanah, N., & Zulfian, Z. (n.d.). Analisis Tingkat Kebisingan pada Area Pasar Lama Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Prisma Fisika, 9(3), 253–

257. https://doi.org/https://doi.org/10.26418/pf.v9i3.51180

Setyaningrum, I., & Widjasena, B. (2014). Analisa Pengendalian Kebisingan Pada Penggerindaan Di Area Fabrikasi Perusahaan Pertambangan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(4), 267–275.

https://doi.org/https://doi.org/10.14710/jkm.v2i4.6411

Yusvita, G. (2021). Analisis Pencahayaan Ruangan Pada Ruang Kelas Di Universitas Singaperbangsa Karawang Menggunakan Dialux Evo 9.1. Jurnal Serambi Engineering, 6(3). https://doi.org/: https://doi.org/10.32672/jse.v6i3.3250

Referensi

Dokumen terkait

3.4 Memahami pengertian dinamika interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi. Buku Siswa Kurikulum 2013

Hasil uji hipotesis dengan menggunakan regresi berganda menunjukkan bahwa variabel aspek politik dan hukum, aspek ekonomi, aspek teknologi, dan aspek sosial budaya

(Kompetensi Dasar Memahami Pengertian Dinamika Interaksi Manusia Dengan Lingkungan Alam, Sosial, Budaya, dan Ekonomi) Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu

4.3 Mengobservasi dan menyajikan bentuk- bentuk dinamika interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi di lingkungan masyarakat sekitar..

kelas IV, seperti Peta dan Komponennya, Kenampakan Alam dan Keragaman Sosial Budaya, Pemanfaatan Sumber Daya Alam dalam Kegiatan Ekonomi, Keanekaragaman Suku Bangsa dan

Menganalisis hasil observasi bentuk-bentuk dinamika interaksi manusia hubungannya dengan lingkungan alam, sosial, budaya dan ekonomi di lingkungan masyarakat

Perubahan bentang alam dan bentuk lahan, eksploitasi sumber daya alam, proses dan hasilnya mempengaruhi lingkungan sosial ekonomi, budaya, penerapan teknologinya

3.1 Memahami perubahan keruangan dan interaksi antarruang di Indonesia dan negara-negara ASEAN yang diakibatkan faktor alam dan manusia (teknologi, ekonomi, pemanfaatan