• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

6 A. Tinjauan Pustaka

1. Konjungtivitis alergi a. Definisi

Menurut Japanese Ocular Allergology Society, konjungtivitis alergi adalah peradangan pada konjungtiva yang diperantarai reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang disertai dengan gejala subyektif dan objektif (Takamura et al., 2011). Konjungtivitis alergi tidak hanya menyerang bagian konjungtiva saja, tetapi juga memengaruhi struktur mata lain seperti kelopak mata, kornea dan tear film. Gejala dan tanda konjungtivitis yang muncul dipengaruhi beberapa hal yaitu genetik, lingkungan, mikrobiota pada mata dan mekanisme pengaturan imun (Robles-Contreras et al., 2011). b. Anatomi, Histologi dan Sitologi Konjungtiva

Konjungtiva meluas dan melapisi orbita bagian luar yang terdiri dari tiga bagian, yaitu konjungtiva palpebra yang paling dalam di kelopak mata atas dan terdiri dari epitel kolumner pendek berlapis dengan sedikit sel Goblet dan lamina proprianya berupa jaringan elastis dan kolagen, konjungtiva bulbi yang melapisi orbita luar dan forniks konjungtiva yang merupakan lipatan peralihan konjungtiva palpebra ke konjungtiva bulbar. Tarsus

(2)

berfungsi sebagai kerangka kelopak mata yang merupakan jaringan ikat kolagen padat berbentuk keping tipis dan padat serta biasanya tarsus kelopak mata atas lebih besar daripada tarsus kelopak mata bawah. Kelenjar Meibom terletak di tarsus dan sekresinya mengandung lemak, kemudian bermuara pada margo palpebra. Limbus adalah batas antara kornea dan sklera (Ilyas et al., 2002; Eroschenko, 2011).

Epitel limbus lebih kecil, tersusun lebih padat, rasio nukleus dan sitoplasmanya lebih besar daripada sel epitel kornea dan konjungtiva di dekatnya. Sel Goblet tersusun lebih padat dan banyak di daerah konjungtiva palpebra sebelah nasal, sedangkan daerah konjungtiva palpebra sebelah temporal, konjungtiva bulbar dekat forniks dan dekat limbus lebih sedikit jumlahnya (Singh et al., 2005).

Dalam sistem lakrimal ada dua bagian, yaitu bagian sekresi berupa glandula lakrimalis yang memproduksi air mata dan bagian ekskresi yang memberi jalan air mata ke dalam cavum nasi. Glandula lakrimalis terletak di daerah superolateral cavum orbita. Glandula lakrimalis bersifat serosa seperti glandula salivaris dan berkarakteristik tubuloalveolar asiner yang setiap acinernya dikelilingi oleh sel mioepitel. Duktus ekskretoris intralobular dilapisi epitel kolumner atau kuboid selapis dan terletak di antara tubuloalveolar aciner, sedangkan duktus ekskretorius interlobular

(3)

dilapisi dua lapis epitel berupa epitel pseudo berlapis atau kolumner pendek. Selain itu, terdapat pula glandula Krause yang sangat kecil di sepanjang forniks. Punctum lakrimalis, canaliculi lakrimalis, saccus lakrimalis dan ductus lakrimalis termasuk dalam bagian ekskresi (Ilyas et al., 2002; Eroschenko, 2011).

Arteri oftalmika adalah salah satu cabang dari arteri karotis interna, yang mana arteri tersebut berjalan melewati otot-otot penggerak bola mata dan saraf, kemudian pada medial end di kelopak mata atas arteri tersebut akan bercabang menjadi arteri supratroklear dan arteri nasalis dorsalis. Salah satu cabang besar dari arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang mana akan berjalan bersama nervus lakrimalis di batas atas muskulus rektus lateralis, kemudian akan melewati glandula lakrimalis dan cabang terminalnya menuju kelopak mata dan konjungtiva. Arteri lakrimalis ini akan bercabang lagi, yang salah satunya adalah arteri palpebralis lateralis yang akan berjalan secara medial menuju kelopak mata atas dan bawah, lalu beranastomosis dengan arteri palpebralis medialis. Arteri palpebralis medialis ini sendiri berjalan di belakang saccus lakrimalis dan menembus septum orbita di atas dan bawah dari ligamentum palpebralis medialis. Arteri palpebralis medialis ada 2 jalur, yang satu akan menuju kelopak mata atas dan satunya menuju kelopak mata bawah, kemudian masing-masing bercabang lagi membentuk arkus arterialis marginal dan perifer.

(4)

Arkus ini berjalan di antara muskulus orbikularis kuli dan lempeng tarsal. Cabang-cabang dari arkus ini akan memperdarahi kelopak mata dan konjungtiva. Arteri lain yang berperan di glandula lakrimalis adalah arteri infraorbitalis yang memiliki orbital branches, yang mana cabang tersebut akan mensuplai darah menuju muskulus rektus inferior, muskulus oblik inferior dan saccus lakrimalis. Pada konjungtiva, arteri lain yang berperan adalah arteri siliaris anterior yang berasal dari muscular branches milik arteri oftalmika (Snell dan Lemp, 1998).

Pada lamina propria konjungtiva normal, tepat di bawah epithelial junction, ditemukan sel mast sebanyak 6000/mm3 dan sel-sel inflamatori lain. Di lapisan epitel konjungtiva terdapat sel mononuklear, termasuk sel Langerhans yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen atau Antigen-Presenting Cell (APC) sebanyak 85 ± 16 sel/mm2 yang dikenali oleh CD1+, bukan oleh CD6+ seperti sel Langerhans di kulit serta terdapat limfosit CD3+ sebanyak 189 ± 27 sel/mm2 dengan rasio CD4+ dan CD8+ sebesar 0,75. Di lapisan epitel ini normalnya tidak ditemukan sel mast, eosinofil, atau basofil, kecuali apabila orang tersebut mengalami konjungtivitis alergi terutama subtipe vernal. Sel epitel konjungtiva, walaupun normalnya tidak ada sel inflamasi, mengekspresikan “Regulated-upon-Activation Normal T-cell Expressed and Secreted” atau yang disingkat RANTES yang

(5)

berfungsi sebagai molekul adhesi untuk mengikat eosinosil dari sirkulasi darah tepi ke daerah konjungtiva (Bielory dan Friedlaender, 2008).

c. Fisiologi Konjungtiva dan Sistem Lakrimal

Secara umum, fungsi konjungtiva ada empat, yaitu melindungi jaringan lunak pada organ mata dan kelopak mata, melapisi cairan pada tear film dan mukosa, menjadi salah satu jaringan yang berperan dalam sistem imun dan membantu pergerakan bebas memutar bola mata (Harvey et al., 2013). Konjungtiva juga berperan dalam sekresi air dan elektrolit, yang mana epitel konjungtiva akan mensekresikan Cl- dan mengabsorpsi Na+ dengan rasio 1,5 dan 1. Akibat Na+ mengikat air, maka air akan masuk ke dalam tear film. Sekresi dan absorpsi ini terjadi di dalam setiap sel epitel konjungtiva, yang mana setiap sel epitel konjungtiva tersebut memiliki protein transpor sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh permukaan konjungtiva berperan dalam sekresi cairan. Akibat lain dari laju sekresi Cl- yang lebih tinggi daripada absorpsi Na+ tadi adalah air bergerak menuju air mata yang ada di basolateral, dengan arah apikal dengan bantuan protein aquaporin, sedangkan Na+ bergerak secara paraselular untuk memproduksi NaCl isotonik yang nanti akan menjadi air mata (Dartt, 2011).

Sekresi air mata oleh adneksa mata dan epitel permukaan mata harus diatur sedemikian rupa. Pada lapisan mukosa dan cairan,

(6)

sekresi diatur oleh refleks neural. Apabila ada rangsang termal, mekanik, maupun kimia, maka ujung saraf yang berada di kornea dan konjungtiva akan mengaktifkan saraf eferen parasimpatik dan simpatik, yang mana akan merangsang sistem lakrimal dan sel Goblet untuk memproduksi mukosa dan cairan. Pada lapisan lipid, lipid yang tersimpan di glandula Meibom akan dilepas ketika mengedipkan mata. Ketika kelopak mata tertarik, maka lapisan lipid akan menyebar di bawah lapisan mukosa dan cairan (Dartt, 2011).

Sekresi air mata dipengaruhi oleh drainase dan penguapan. Drainase air mata diatur oleh refleks neural dari permukaan mata sehingga sinus kavernosus akan berdilatasi atau berkonstriksi sesuai dengan rangsang yang datang. Penguapan dipengaruhi oleh kedipan mata, suhu, kelembaban dan kecepatan angin (Dartt, 2011).

d. Patofisiologi

Tahap yang terjadi pada konjungtivitis alergi ada 2, yaitu tahap pertama berupa reaksi fase sensitisasi dan tahap kedua berupa reaksi fase efektor. Fase sensitisasi dimulai dari aktivasi dan polarisasi respon imun terhadap antigen yang ada di lingkungan, kemudian puncaknya membentuk respon imun yang dominan Th2 dan produksi IgE. Fase efektor dimulai ketika paparan kedua oleh antigen sehingga memicu mekanisme efektor seperti degranulasi

(7)

granulosit dan pelepasan histamin (Abelson et al., 2003 dalam Robles-Contreras et al., 2011).

Pada fase sensitisasi, sel Langerhans yang ada di mukosa sekitar mata menangkap antigen dan memprosesnya melalui MHC-II dan merangsang sel T CD4+ untuk menginduksi sekresi IL-4, IL-13 dan ekspresi CD154. Setelah itu, sel B mengalami rekombinasi genetik dan menghasilkan IgE. Akibatnya, pada air mata manusia bisa ditemukan IgE (Allansmith et al., 1976 dalam Robles-Contreras et al., 2011) dan pada folikel limfoid konjungtiva bisa ditemukan sel B CD23+ CD21+ CD40+ (Asrar et al., 2001 dalam Robles-Contreras et al., 2011).

Pada fase efektor, terbagi lagi menjadi 2 fase, yaitu fase awal (early phase) berupa degranulasi sel yang terinduksi alergen dan fase akhir (late phase) berupa infiltrasi sel yang berperan dalam inflamasi (Robles-Contreras et al., 2011).

Fase awal dimulai saat paparan kedua oleh antigen, yang mana antigen tersebut dikenali oleh IgE dan sebelumnya IgE telah menempel pada reseptor IgE seperti FᴄɛRI, FᴄɛRII, atau CD23. Penempelan ini menimbulkan pelepasan mediator histamin, protease dan faktor kemotaktik; aktivasi faktor transkripsi dan ekspresi gen pengkode sitokin; dan produksi prostaglandin dan leukotrien melalui jalur fosfolipase A2. Hal ini terjadi di konjungtiva dan dibuktikan dengan ditemukannya sel mast sampai

(8)

6000 sel/mm3 di konjungtiva (Bielory, 2000 dalam Robles-Contreras et al., 2011) dan densitas sel mast meningkat pada pasien konjungtivitis (Anderson et al., 1997; Morgan et al., 1991 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Sel mast mensekresi 4, 6, IL-13 dan TNF-α sehingga meningkatkan respon inflamasi lokal yang dominan Th2 dan densitas FᴄɛRI pada keratokonjungtivitis kronik (Cook et al., 1998; Anderson et al., 2001; Matsuda et al., 2009 dalam Robles-Contreras et al., 2011).

Fase akhir dimulai sekitar 4-24 jam setelah fase awal dan melibatkan basofil, neutrofil, limfosit T dan yang paling utama adalah eosinofil (Choi dan Bielory, 2008 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Sel-sel tersebut bermigrasi ke fokus inflamasi dengan bantuan sel T. Fase akhir inilah yang dapat menyebabkan komplikasi sekunder di kornea karena infiltrasi eosinofil yang sangat banyak. Eosinofil bermigrasi ke permukaan mata karena berikatan dengan eotaxin-CC-chemokine Receptor (CCR) 3 atau RANTES-CCR1 (Heath et al., 1997 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Ekspresi CCR3 dan degranulasi FᴄɛRI yang merusak jaringan dilakukan oleh basofil yang terinduksi oleh IL-33 dan kemudian mengekspresikan IL-4 dan IL-13 serta degranulasi yang termediasi oleh IgE mengalami kenaikan drastis (Matsuba-Kitamura et al., 2010 dalam Robles-Contreras et al, 2011).

(9)

e. Klasifikasi Konjungtivitis Alergi 1) Allergic Conjunctivitis (AC)

Kelompok ini mencakup Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC). AC sendiri proporsinya sebesar 95% dari total kasus alergi mata (Bonini, 2009). Sifat dari AC biasanya akut dan jarang terdiagnosis (Robles-Contreras et al, 2011). Gejala dan tanda pada SAC dan PAC pun sama, yakni gatal, mata merah yang disebabkan oleh injeksi konjungtiva ringan sampai sedang, pembengkakan konjungtiva (kemosis), namun jarang terjadi komplikasi ke kornea (La Rosa et al., 2013). Selain itu, konjungtiva palpebra tampak merah muda pucat dengan aspek keputihan, terkadang papila agak hipertrofi di konjungtiva tarsal (Sanchez et al., 2011).

2) Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC)

SAC terjadi pada musim tertentu, misalnya pada musim semi atau gugur bila di negara 4 musim atau musim ketika suatu tumbuhan sedang mekar. SAC lebih sering ditemukan pada usia 20-40 tahun dengan alergen utama berupa polen atau serbuk sari (Sanchez et al., 2011). Pada SAC, dapat ditemui gejala rhinitis berupa kongesti nasal pada 65-70% kasus (Wormald et al., 2004 dalam Sanchez et al., 2011; Takamura et al., 2011)

(10)

3) Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)

PAC terjadi tidak mengenal musim dan dapat terjadi kapanpun dalam tahun tersebut (year round). Semua umur dapat mengalami PAC dengan alergen utama berupa dust mite, jamur, jaringan epitel hewan yang lepas ke udara dan/atau alergen yang didapat dari tempat bekerja (Sanchez et al., 2011).

4) Vernal Keratoconjunctivitis (VKC)

VKC umumnya terjadi di daerah yang beriklim hangat atau tropis pada bulan hangat, namun bisa juga dijumpai di daerah utara seperti Amerika Serikat dan Kanada (Jun et al., 2008 dalam La Rosa et al., 2013). VKC lebih sering menyerang laki-laki dengan kelompok usia terbanyak pada usia 11-13 tahun dan jarang terjadi pada usia dewasa. Sifat dari VKC adalah kronik dengan karakteristik self-limiting dan tidak ada penurunan visus (Sanchez et al., 2011).

Gejala dan tanda VKC antara lain gatal hebat, mata berair, discharge mukus, fotofobia yang parah sehingga menyebabkan anak lebih suka dalam keadaan gelap dan sensasi benda asing di kelopak karena permukaan konjungtiva yang tidak rata. Bila terasa nyeri berarti keluhan sudah mencapai kornea dan kemungkinan terjadi erosi epitel, ulkus,

(11)

maupun plak. Dapat pula ditemukan Horner-Trantas dots yang berwarna putih (Robles-Contreras et al., 2011).

VKC memiliki varian bentuk tarsal, limbal (Ono dan Abelson, 2005) dan ada juga yang memasukkan bentuk campuran tarsal dan limbal (Robles-Contreras et al., 2011). Ciri khas yang membedakan varian tarsal dan limbal adalah adanya papila raksasa (giant papillae) di konjungtiva tarsal pada varian tarsal, sedangkan infiltrat gelatinosa kuning keabuan di limbus terdapat pada varian limbal (Bonini, 2009). 5) Atopic Keratoconjunctivitis (AKC)

AKC biasanya bersifat kronik dan lebih sering menyerang anak-anak, namun apabila AKC terjadi pada laki-laki di usia 20-50 tahun, AKC menjadi masalah serius yang akan sering terjadi (Bonini, 2004 dalam Sanchez et al., 2011). Pada tahun 1953, hubungan AKC dengan dermatitis atopi ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Hogan (Ventocilla, 2014). Semakin ke zaman modern, makin sering ditemukan keterkaitan antara riwayat alergi, asma, urtikaria dan/atau hay fever, dengan onset riwayat tersebut pada masa kanak-kanak (Ono dan Abelson, 2005). Seperempat dari total pasien dengan riwayat dermatitis atopi diperkirakan mengalami AKC (Ventocilla, 2014).

(12)

AKC terjadi secara bilateral, dengan kulit kelopak mata bertekstur seperti amplas (fine sandpaper-like texture), injeksi konjungtiva, kemosis dan adanya conjunctiva scarring. Tanda khas dari AKC adalah edema kulit palpebra pada daerah infraorbital yang disebut Dennie-Morgan fold, hilangnya bulu mata sisi lateral yang disebut Hertoghe sign karena menggosok-gosok mata (Rich dan Hanifin, 1985 dalam Robles-Contreras et al., 2011; Sanchez et al., 2011).

2. 5-5-5 Exacerbation Grading Scale for Allergic Conjunctivitis a. Definisi

Pada jurnal Allergology International telah dipublikasikan suatu sistem penilaian baru terhadap derajat konjungtivitis alergi yang bernama 5-5-5 Exacerbation Grading Scale for Allergic Conjunctivitis. Sistem derajat ini telah dievaluasi oleh Shoji et al. (2009) dengan subyek 103 pasien dengan rincian berupa 40 pasien dengan VKC, 20 pasien AKC dan 43 pasien dengan AC sejak Januari 2004 sampai Desember 2007, dengan hasil setiap derajatnya ada perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik (P < 0,001, dengan uji Kruskal-Wallis).

b. Kriteria Penilaian Derajat

Kriteria penilaian derajat sistem ini didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien konjungtivitis alergi. Sistem ini memberi skor dengan 3 kategori gejala, yakni

(13)

gejala dengan poin 1, gejala dengan poin 10 dan gejala dengan poin 100, yang mana setiap kategori poin tersebut masing-masing ada 5 tanda klinis, kemudian setiap ada tanda yang ditemukan diberi nilai sesuai kategori 1, 10, atau 100 dan untuk yang tidak ditemukan diberi nilai 0. Tanda klinis beserta penggolongan kategorinya disebutkan di tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Penilaian Skala pada 5-5-5 Exacerbation Grading Scale Derajat tanda klinis 100 poin 10 poin 1 poin

Tanda klinis Papila raksasa aktif Infiltrat gelatinosa pada limbus Keratopati epitel eksfoliatif Plak kornea (shield ulcer) Proliferasi papiler pada konjungtiva palpebra inferior Blefaritis Proliferasi papiler dengan tampilan seperti beludru Horner-Trantas spots Edema konjungtiva bulbar Keratopati pungtat superfisial Adanya papila pada konjungtiva palpebra superior Lesi folikuler pada konjungtiva palpebra inferior Hiperemia pada konjungtiva palpebra Hiperemia pada konjungtiva bulbar Efusi lakrimal atau epifora

Skor 100 poin x jumlah

tanda yang ditemukan 10 poin x jumlah tanda yang ditemukan 1 poin x jumlah tanda yang ditemukan Rentang nilai 0 – 500 poin 0 – 50 poin 0 – 5 poin

(Shoji et al.,2009)

Derajat ringan, sedang dan berat pada AC, AKC dan VKC ditentukan dengan penilaian yang berbeda-beda sesuai dengan tabel 2.2 di bawah ini.

(14)

Tabel 2.2. Kriteria Klasifikasi Keparahan Konjungtivitis Alergi AC AKC VKC Berat Sedang Ringan ˃ 3 tanda pada kategori 10 poin, tetapi tidak ada tanda kategori 100 poin

˂ 2 tanda pada kategori 10 poin, tetapi tidak ada tanda kategori 100 poin

Tidak ada tanda kategori 10 maupun 100 Minimal 1 tanda pada kategori 100 poin ˃ 3 tanda pada kategori 10 poin, tetapi tidak ada tanda kategori 100 poin

˂ 2 tanda kategori 10 poin, tetapi tidak ada tanda kategori 100 poin

˃ 2 tanda pada kategori 100 poin

Hanya ada 1 tanda kategori 100 poin

Tidak ada tanda kategori 100 poin

(Shoji et al., 2009)

3. Eosinofil

a. Definisi dan Karakteristik Biologis

Eosinofil adalah leukosit multifungsional pleiotropik yang berperan dalam berbagai reaksi inflamasi, yang mana akan berpindah dari sirkulasi darah menuju fokus reaksi inflamasi. Eosinofil memiliki nukleus bilobus dengan kromatin yang sangat padat dengan 2 tipe granula utama, yaitu granula spesifik dan granula primer dan 2 tipe granula lain, yaitu granula kristaloid dan vesikel sekretori. Mayoritas protein granula eosinofil disimpan di granula kristaloid karena ukurannya yang besar (diameter 0,5-0,8 µm). Granula ini tersusun dari 4 protein utama antara lain Major Basic Protein (MBP), Eosinophil Peroxidase (EPO), Eosinophil Cationic Protein (ECP) dan Eosinophil-Derived Neurotoxin (EDN) (Hogan et al., 2008; Stone et al., 2010).

(15)

Eosinofil mengekspresikan sitokin proinflamasi (IL-2, IL-4, IL-5, IL-10, IL-12, IL13, IL-15, IL-18, Transforming Growth Factor (TGF)-α/β, interferon (INF)-α, Tumor Necrosis Factor (TNF)-α), kemokin (CCL5/RANTES dan CCL11/eotaxin), mediator lipid (Platelet-Activating Factor (PAF) dan leukotrien (LT) C4), reseptor IgG (FᴄγRII/CD32), reseptor IgA

(FᴄαRI/CD89), reseptor komplemen (CR1/CD35, CR3 dan CD88) dan reseptor prostaglandin (reseptor PGD2 tipe 2). Sekresi protein granula, kemokin, sitokin dan substansi lainnya oleh eosinofil tersebut merangsang lebih banyak eosinofil datang dan mengaktifkannya di fokus inflamasi. Selain itu, diketahui pula eosinofil mengekspresikan beberapa inhibitor reseptor, namun tidak disebutkan secara rinci (Hogan et al., 2008; Stone et al., 2010).

b. Eosinofil di Tubuh dalam Mengatasi Penyakit Secara Umum Jumlah eosinofil di dalam tubuh dipengaruhi variasi diurnal, yang mana level terendah saat pagi hari dan level tertinggi saat malam hari. Kadar eosinofil normal dalam darah tepi adalah di bawah < 500/mm3 dengan waktu paruh di dalam sirkulasi darah

8-18 jam. Bila tidak ada stimulasi, eosinofil dapat berada dalam jaringan selama beberapa hari (Young et al., 2007). Eosinofil sendiri memiliki fungsi dalam proses peningkatan sistem adhesi, pengaturan migrasi seluler, aktivasi dan pengaturan permeabilitas

(16)

vaskuler, sekresi mukus dan konstriksi otot polos karena efek proinflamasi yang dimilikinya. Migrasi eosinofil ke darah tepi dan jaringan yang terinfeksi ini disebabkan oleh interaksi spesifik protein integrin permukaan dengan reseptor adhesi (VCAM-1, MAdCAM-1, ICAM-1, ICAM-2, ICAM-3 dan fibrinogen), aktivitas IL-4, IL-13 dan eotaxin (CCL11 dan CCL26) (Hogan et al., 2008; Stone et al., 2010).

Peningkatan eosinofil di darah tepi dan jaringan mungkin menandakan adanya alergi, reaksi obat, infeksi cacing, sindrom hipereosinofilik, Omenn’s syndrome, sindrom hiper-IgE, infeksi akut bakteri atau virus, bahkan insufisiensi adrenal apabila peningkatan eosinofil ini ditemukan pada pasien demam. Penurunan eosinofil terjadi pada kondisi stres karena pelepasan glukokortikoid meningkat seperti keadaan luka bakar dan pasca operasi. Konsumsi obat golongan steroid juga menurunkan jumlah eosinofil. (Umar et al., 2011; Stone et al,. 2010)

Pada pasien atopi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi kadar eosinofilnya lebih tinggi di sekresi nasal dan sputum daripada di darah tepi. Pada penelitian dengan model murine oleh Blanchard dan Rothenberg (2009), eosinofil berperan dalam airway remodelling, hiperreaktivitas jalan nafas dan produksi mukus (Stone et al., 2010).

(17)

Pada infeksi cacing, eosinofil akan cenderung mensekresikan sitokin-sitokin yang berkaitan dengan Th2, terutama IL-5, untuk merangsang eosinofil yang berada di sumsum tulang bermigrasi ke darah tepi dan jaringan yang terinfeksi. Pada studi in vitro, eosinofil ini dapat menghancurkan parasit cacing dengan protein sitotoksik dan Reactive Oxygen Species (ROS) yang dihasilkannya (Hogan et al., 2008).

c. Eosinofil dalam Konjungtivitis Alergi

Eosinofil berperan di respon fase akhir pada suatu reaksi alergi, termasuk konjungtivitis alergi (Ono dan Abelson, 2005) sehingga infiltrasi selektif oleh eosinofil merupakan salah satu ciri dari semua subtipe konjungtivitis alergi (Bonini et al, 2011). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa eosinofil tidak akan ditemukan pada lapisan epitel konjungtiva, tetapi akan muncul di lamina propria konjungtiva. Ketika eosinofil teraktivasi, MBP, ECP, EPO dan EDN akan tersekresi sehingga keempat protein ini akan meningkat kadarnya di air mata (Montan dan Van Hage-Hamsten, 1996; Bonini et al., 2009). Protein eosinofil yang pernah diteliti keberadaannya dalam air mata adalah ECP, dilakukan oleh Montan dan Van Hage-Hamsten (1996) dan didapatkan hasil bahwa ECP pada pasien AKC dan VKC lebih tinggi daripada pasien SAC sehingga disimpulkan bahwa eosinofil berperan dalam kejadian AKC, VKC dan SAC. Pada sampel air

(18)

mata juga ditemukan eotaxin, molekul adhesi dan IL-5 (Sanchez et al., 2011).

Selain air mata, parameter yang pernah dipakai untuk memeriksa keberadaan aktivitas eosinofil dalam kejadian konjungtivitis alergi antara lain biopsi konjungtiva dengan pewarnaan Hematoxylin-eosin, darah perifer dan conjunctival scraping dengan pewarnaan Hansel dan Wright-Giemsa, yang mana semua parameter tersebut didapatkan eosinofil maupun protein eosinofil dengan jumlah yang signifikan (Bonini et al., 1997; Bielory dan Friedlaender, 2008; Kari et al., 2010).

Pada SAC, infiltrasi eosinofil ditemukan pada 25% dari total pasien dan keberadaan IgE di air mata ditemukan pada 96% dari total pasien. Pada PAC, kadar MBP di air mata ditemukan meningkat. Dengan metode conjunctival scraping, eosinofil ditemukan pada 25-84% dari total pasien PAC dan 43% dari total pasien SAC (Bielory dan Friedlaender, 2008).

Pada limbus yang merupakan batas antara kornea dan sklera, apabila terjadi infiltrasi dan degranulasi eosinofil di situ, maka akan mengganggu kestabilan struktur epitel kornea sehingga membentuk plak kornea atau shield ulcer yang isinya adalah debris sel epitel dan eosinofil, terutama pada pasien VKC. Selain itu, fungsi barrier kornea tidak akan semaksimal sebelumnya sehingga konjungtivitis alergi dapat terjadi eksaserbasi dengan lebih mudah.

(19)

Kerusakan ini terutama disebabkan oleh protein eosinofil yang sifatnya sitotoksik seperti MBP, EPO dan EDN (Bonini et al., 2009).

Papilla raksasa pada VKC sendiri terbentuk karena adanya infiltrasi eosinofil di bawah epitel konjungtiva yang sudah terkikis, kemudian membentuk jaringan proliferatif fibrosa. Kumpulan eosinofil akan menyebabkan degenerasi epitel konjungtiva sehingga akan memicu pembentukan Horner-Trantas dots pada daerah limbus (Bonini et al., 2009; Takamura et al., 2011)

(20)

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

= diteliti

= tidak diteliti (#) = faktor perancu (penurunan) (##) = faktor perancu (peningkatan) * = eksaserbasi

*

Inflamasi dan kerusakan jaringan Alergen Reaksi alergi

Eosinofil dari lamina propria konjungtiva Eosinofil dari darah tepi

Eosinofil di epitel konjungtiva (##) Infeksi cacing, sindrom

hiper-IgE, sindrom hipereosinofilik, asma Prostaglandin, leukotrien Kemokin (CCL5/RANTES, CCL11/eotaxin) Protein granula (MBP, EPO, ECP, EDN) Sitokin proinflamasi (2, 4, IL-5, IL-10, IL-12, IL13, 15,

IL-18, TGF-α/β, INF-α, TNF-α)

Derajat konjungtivitis alergi Prostaglandin, Leukotrien Kemokin (RANTES, eotaxin) Sitokin (IL-1, IL-3, IL-4. IL-6) Vasoamin, protease Molekul adhesi (ICAM, VCAM) (#) Stres (luka bakar, pasca operasi), kualitas preparat jelek

(21)

C. Hipotesis

Ada pola keteraturan jumlah eosinofil mukosa konjungtiva dan derajat konjungtivitis alergi berdasarkan 5-5-5 Exacerbation Grading Scale.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menunjukan seberapa besar dampak rasio keuangan pada besaran profitabilitas perbankan di Indonesia, sehingga pada penelitian ini diambil kasus untuk bank go public

Selain itu, membantu manajer dalam menggunakan data sehingga fokus dari manajer hanya pada analisa dari informasi yang telah disediakan oleh DSS dan mengaitkan antara

H ad i th yang bermula pada zaman Rasulullah saw merupakan detik penting dalam sejarah penulisan yang membawa kepada perkembangan pada hari ini. Seterusnya menggambarkan

Ibu menyusui dapat dipasang implan setelah melahirkan sebelum pulang – tidak ada dampak terhadap ASI atau bayi yang disusui. • Seringkali menyebabkan perubahan dalam

Bentuk penerjemahan tamyi&gt;z dalam kalimat ini adalah berupa frasa nominal yang terlihat pada kata “ ن س” sinnun diterjemahkan dengan “umurnya” dan berperan

keadaan darurat, pemberontakan, huru-hara atau kerusuhan di wilayah Pihak yang disebut belakangan, kepada penanam modal tersebut harus diberikan perlakuan berkenaan dengan

Sept – Nov Draft of REDD+ National Strategy 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1999-2005 December 2009 COP 15 Copenhagen December 2008 COP14 Poznan December 2007

terminal bus adalah tempat penumpang turun dan mengakhiri perjalanannya dengan bus, tempat bus penumpang dapat berganti lintasan rute ( transfer ); tempat penumpang