• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agnirahasya: Memahami Potensi Api di dalam Diri 1 Oleh IB. Putu Suamba Website: javanesesaivism.com

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Agnirahasya: Memahami Potensi Api di dalam Diri 1 Oleh IB. Putu Suamba Website: javanesesaivism.com"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

Agnirahasya: Memahami Potensi Api di dalam Diri1 Oleh

IB. Putu Suamba Website: javanesesaivism.com

I

1.Pendahuluan

Paper ini mencoba membahas paper utama berjudul “Api Dharmaning Koripan: Memberdayakan Energi Semesta” karya I Nyoman Suarka, seorang akademisi yang menekuni dan meneliti Sastra Jawa Kuno. Dengan pembahasan ini diharapkan ide atau konsep yang disajikan dalam paper utama tersebut semakin kuat, bulat, dan mantap sebagai sebuah tema kesenian yang unggul. Setidaknya paper tersebut bisa dijadikan acuan yang bisa menjelaskan tema pokok PKB XXXX tahun 2018 yang akan datang. Tema diharapkan bisa dijabarkan ke dalam kegiatan berkesenian seperti pawai alegoris, pertunjukkan, perlombaan, pameran, sarasehan, dan lain-lain.

I Nyoman Suarka mencoba memaparkan pemikirannya mengenai tema PKB tahun 2018 yang akan datang dengan mengamati visi dan misi PKB. Dari ini sini dicoba diuraikan kualitas kesenian yang diharapkan bisa terwujud sebagai sarana memperkuat kehidupan kebudayaan atau peradaban Bali ke depan. Untuk memperkuat gagasannya, penulis mengamati sejumlah sumber naskah yang membicarakan api (agni) mulai dari Rg-Weda hingga naskah-naskah Nusantara, seperti Kakawin Ramayana, Kakawin Arjunawiwaha, Brahmapurana, Brahmānda-purana, Adiparwa, Tegesing Sarwa Bebantenan hingga lontar Prakempa. Lontar Prakempa membicarakan nada dikaitkan dengan dewa dan posisinya di dalam sistem pangider-ideran. Penulis menyadari benar bahwa PKB semestinya dilaksanakan berdasarkan tradisi naskah agar konteksnya tidak lepas dari tradisi keberaksaraan yang tidak dimiliki oleh setiap suku bangsa. Tradisi naskah Bali kaya dengan konsep-konsep yang bisa diangkat untuk memperkuat PKB. Itulah sebabnya perumusan tema-tema PKB sejak awal diselenggarakannya (tahun 1978) pada umumnya bernuansa sastra-religius, karena masyarakat intelektual tanah ini masih mempercayai kandungan-kandungan

1

Makalah pembahas atas makalah utama “Api Dharmaning Koripan: Memberdayakan Energi Semesta” oleh I Nyoman Suarka disajikan dalam Diskusi Tematik membahas tema Pesta

Kesenian Bali XXXX tahun 2018, yaitu Api Dharmaning Koripan pada Sabtu, 1 Juli 2017 di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Denpasar, Bali.

(2)

2

filosofis, agama, dan estetik sebagai modal berkesenian ada tercecer di sana sini di dalam tradisi naskah. Memang acuan-acuan mengenai agni di dalam Weda dan kesusastraan Weda baik berbahasa Sanskerta maupun Jawa Kuno dan Bali jumlahnya cukup banyak baik tersurat maupun tersirat di dalam kesusastraan berjenis Kakawin, Tutur, Parwa, Kalpha-sastra, dan lain-lain. Di sini membahas api secara detail dari aspek agama menghadapi keterbatasan waktu.

Yang dipentingkan sekarang adalah memikirkan secara konseptual dan mendalam bahwa api (agni) dalam berbagai aspek dan fungsinya sangat relevan dijadikan tema pokok karena menilik eksistensi, jenis, fungsi, dan signifikansinya di dalam kehidupan agama dan kehidupan sehari-hari termasuk kesenian. Api sejak purba kala sudah berperan di dalam kehidupan manusia, namun pandangan manusia terhadap api terus berkembang memperkaya peradaban umat manusia termasuk di dalam kebudayaan Bali. Secara kontekstual manusia Bali menghadapi masalah-masalah berkaitan dengan api, panas, pemanasan global, penyakit, sistem kalendar yang melibatkan tata surya (panas) dan bulan (sejuk), panas dalam konteks rohani, dan sejenisnya. Kata-kata/ungkapan-ungkapan seperti bhya para, karang panes, kedurmenggalaan, kecuntakaan, dan sejenisnya berkonotasi ketidakseimbangan api di dalam kehidupan manusia. Seperti halnya dengan bhuta-bhuta lainnya, misalnya air (apah), jika proporsinya di bhuwana agung maupun bhuwana alit tidak seimbang, ia dapat menyebabkan masalah atau bencana. Demikianlah api hendaknya dapat dimanfaatkan sebesar-besar untuk kebaikan manusia. Api mempunyai peran yang besar di dalam kehidupan wahya dan adhyatmika seperti diisyaratkan di dalam tradisi naskah di Bali. Sementara kebanyakan berkutat pada api secara wahya, api secara adhyamika kurang mendapat perhatian; padahal kekuatan api adhyatmika luar biasa dasyatnya. Keduanya sama-sama penting dalam proses pendakian rohani. Dari api wahya boleh dipandang sebagai langkah awal memahami api adhyatmika yang bersifat mistik; atau dari api wahya pemahaman bergerak ke api adhyatmika. Tradisi pengobatan Usada dengan jelas menempatkan api (dalam konteks nyem, panes, numelada) sebagai kekuatan yang bisa menyembuhkan seseorang dari suatu penyakit.

Konsepsi-konsepsi dimaksud memang abstrak atau bahkan sangat abstrak, namun menjadi sangat nyata (real) di tangan mereka yang mampu memahaminya. Bagi orang awam konsep tersebut abstrak, namun bagi seorang seniman yang sudah memahami konsep itu, dia nyata (real) dan bisa diwujudkan di dalam gerak atau

(3)

benda-3

benda tiga dimensi. Demikian pula halnya bagi seorang yang sungguh-sungguh mempercayai, ber-bhakti secara total kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang bersangkutan meyakini-Nya bahwa beliau itu nyata. Ungkapan Mpu Tantular di dalam teks Kakawin Arjuna Wiwaha ketika mengungkapkan bahwa kegaiban Bhatara Siwa akan nyata pada orang yang benar-benar memutar kesadaran melalui yoga (sang angembeki yoga kiteng sakala). Secara filsafati perdebatan mengenai ada (being) dan tidak ada (non being) terus berlangsung hingga saat ini. Demikianlah persoalan apakah „ada‟ di dalam tataran ide, pikiran, konsep, prinsip dan sebagainya adalah nyata (real) atau tidak nyata (unreal) menjadi relevan diperhatikan manakala ada keinginan untuk men-set-up sebuah konsep atau tema pokok dalam suatu hajatan kesenian. Namun, perlu diperhatikan di sini, ketika konsep tersebut belum bulat, lugas, koheren atau bahkan kabur, ini akan bisa berakibat fatal pada seluruh hajatan tersebut. Pemegang kebijakan semestinya mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap keberhasilan ini tidak hanya diukur bahwa dana telah dieksekusi dan dipertanggung jawabkan dengan transparan namun bagaimana kehidupan peradaban ini ke depan kalau tidak dibina melalui program-program pemerintah yang berakar pada keberpihakan kepada kebudayaan Bali; salah satunya PKB. Seniman akan berkreativitas dalam koridor kebebasan yang mungkin lepas dari tema. Kemeriahan PKB bukan semata-mata kemegahan festival namun sebuah aktivitas berkesenian sebagai penjabaran konsep yang diyakini bernilai tinggi dan luhur. Sementara tema harus lebih awal ditentukan karena ada kepentingan kebudayaan dan peradaban yang ingin diwujudkan. Pemerintah sebagai wujud dari aspirasi masyarakat Bali bertugas membuat hajatan tersebut memuliakan kebudayaan melalui pesta kesenian yang berkualitas---seperti juga disinggung oleh pemakalah utama.

Penulis sudah menyinggung eksistensi api dan fungsi-fungsinya di dalam kehidupan keagamaan dan sehari-hari; dan juga pentingnya meningkatkan kualitas. Pada bagian lain penulis juga mencoba memusatkan perhatian pada tema PKB yang akan datang (2018) dengan mengambil contoh-contoh api atau Dewa Brahma pada nada-nada gamelan yang dikaitkan dengan arah dik dan widik di dalam penggunaan nada-nada tersebut seperti disinggung di dalam lontar Prakempa. Namun, hingga paper itu berakhir, pemikiran konseptual penulis mengenai api dan kesenian (PKB) belum kelihatan jelas. Hal ini juga belum terformulasikan di dalam kesimpulan. Oleh karena

(4)

4

itu, poin ini memerlukan pembahasan lagi; dan mungkin pembahasan ini bisa memperkayanya.

Memang diskusi semacam ini merupakan upaya yang baik untuk membahas tema PKB tahun 2018 yang akan datang sehingga hasil yang bisa dipetik nanti benar-benar bisa dijadikan tema sentral Pesta Kesenian Bali (PKB). Tema sentral atau sub-sub tema sentral diperlukan agar seluruh aktivitas PKB mempunyai “roh” yang jelas sekaligus sebagai arahan kemana mau dibawa PKB tersebut. Sosialisasi dan penjelasan tema sentral kepada masyarakat seni dirasakan perlu jauh hari; di sana ada ruang dan waktu melakukan imajinasi, diskusi konsep, dan menerjemahkan ke dalam karya seni. Jika “roh”-nya belum jelas, seluruh aktivitas berkesenian di dalam PKB hanyalah sebuah ritual, hanya menjalankan rutinitas, mengeksekusi anggaran, dan kering dari kreativitas yang hanya menonjolkan hal-hal superfisial; sementara banyak biaya, waktu dan tenaga dikeluarkan untuk hajatan tersebut. Jika itu terjadi PKB tidak beda dengan festival-festival lain yang menonjolkan pementasan, eksibisi, dan bisnis. Evaluasi PKB sebaiknya mengacu kepada tema sentral tersebut.

Pembahasan paper ini melihat tema tersebut (yaitu agni) dari aspek agama dan filsafat Hindu sehingga mungkin bisa melengkapi atau memperkaya pembahasan pada paper utama.

2.Tema PKB XXXX 2018 : “Api Dharmaning Koripan”

Tema PKB XXXX tahun 2018 yang akan datang, yaitu “Api Dharmaning Kauripan” dirasakan perlu dibahas agar pemahaman antara penggagas/atau tim panitia dan seniman/pelaku seni sama, walaupun ada tafsir dan pengembangan, pastilah berkisar di sekitar tema pokok tersebut. Boleh dikatakan penggagas tema adalah seorang ideolog yang mampu memverbalkan konsep abstrak secara lugas, utuh, dan mudah dipahami oleh kalangan seniman atau panitia. Walaupun ungkapannya mungkin pendek atau sederhana, makna yang dimiliki bisa saja dalam, halus, dan komprehensif; penjelasannya bisa panjang lebar. Tafsir terhadapnya juga bisa beragam.

Apa yang dimaksud dengan Api dharmaning kauripan? Apakah „dharma‟ di sini dimaknai sebagai swadharma, kewajiban, aktivitas, gerak, seperti dalam ungkapan „swadharmaning raksasa arohara ikang rat‟, „swadharmaning wiku angloka pala sraya yajna‟, dan sebagainya? Apakah kata „dharma‟ dimaknai tenaga, kekuatan,

(5)

5

energi, vitalitas, dan seterusnya? Apakah „dharma‟ dimaknai sebagai hukum, aturan, norma, dan sebagainya; atau dimaknai sebagai agama? Memang makna kata „dharma‟ banyak dan bahkan sulit mencari padanannya dalam bahasa-bahasa lain selain Sanskerta. Bagaimana api (agni) tersebut dipahami kemudian diterjemahkan ke dalam aktivitas/eksibisi/produk kesenian? Jika dharma dimaknai sebagai kewajiban, agni menjadi sangat praktis-pragmatik, sementara agni dalam tataran yang abstrak, ide, konsep dan seterusnya menjadi semakin jauh. Apa yang ada di balik agni? Konsep ini secara serta merta ditarik ke bawah hingga dekat dengan manusia, sementara konsepsi agni di dalam tataran matafisika belum disentuh. Yang pertama berkutat pada tataran pragmatik, sementara yang kedua pada konsep; persoalan real dan unreal bisa mengemuka di sini. Bagaimana dengan kata „urip‟? Apakah urip dimaknai sebagai hidup, tenaga hidup, gerak, nafas, dan seterusnya? Bagaimana hubungan agni dengan urip? Hal-hal ini memerlukan perenungan.

Selama ini dirasakan tema-tema PKB masih sangat abstrak atau sulit dijangkau oleh masyarakat seniman kecuali ada pemahaman atau penjelasan yang lebih lugas sehingga seniman bisa lebih mudah melakukan imajinasi dan kreativitas menjabarkan tema tersebut. Atau, dari sini timbul keinginan sementara pihak agar rumusan tema itu berkesan ringan, santai, mudah dicerna, elegan, dan gaul untuk menghindari rumusan yang berkesan tinggi, sastrais, abstrak, dan bahkan keramat.

3. Memposisikan Agni

Ketika agni (api) dijadikan tema sentral sebuah hajatan berkesenian apalagi setingkat Pesta Keseian Bali (PKB), pemahaman terhadap agni menjadi sangat penting. Diakui pandangan tergantung pada sudut pandang memahami objek kajian. Tema diharapkan bisa memberikan arahan, inspirasi, pemikiran, dan kekuatan dalam semua aktivitas berkaitan dengan hajatan tersebut. Sejumlah pertanyaan menarik bisa diketengahkan dalam konteks ini: Apa itu agni? Bagaimana manusia memandang agni? Sejauh mana agni berperan di dalam kehidupan lahir-bathin? Bagaimana manusia (seniman) bisa memaknai api, dan menjadikan agni sebagai sumber ide, inspirasi atau kekuatan di dalam berkesenian? Bagaimana mitologi atau cerita melibatkan api tidak hanya dipahami secara naratif dan deskriptif namun teologis dan filosofis. Dengan demikian berfikir secara reflektif dan diskursif menjadi penting ketika kita ingin seni itu tidak hanya berupa ekspresi meriah ke luar (ngebek) namun sublim ke dalam diri

(6)

6

(ngingkes). Jika aspek ini yang diinginkan, kesenian akan berperan di dalam transformasi diri atau pendakian diri. Kesenian akan bisa memuliakan manusia dan kemanusiaan dan menjauhkan manusia dari sifat-sifat keraksasaan (asuri samapada). Unsur utama manusia yaitu “sang diri” dimuliakan, dimurnikan, dan dihaluskan sehingga bisa kembali kepada jati dirinya yang sebenarnya.

Jika ini yang hendak digali, pertama-tama yang penting disepakati adalah memposisikan agni di dalam tataran ide, prinsip, konsep yang biasanya berada di dalam domain metafisika (tattwa). Itulah yang disebut “ada” (being) dan “mengada” (becoming) dalam tataran metafisika; ia halus, tidak nampak oleh mata namun dirasakan ada, meresapi segalanya, ada dimana saja, kekuatan halus yang menggerakkan, menjadikan, dana tujuan akhir segalanya. Dengan kata lain agni dipandang sebagai sebuah ide atau gagasan pada domain metafisika yang bersumber pada susastra Hindu baik berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, Sunda, Bali dan bahasa-bahasa lain. Tugas ini adalah tugas kaum intelektual, peneliti, atau pemikir seni baik berada di dalam maupun luar kampus/sekolah. Mereka menggali sumber-sumber pemikiran estetika seni (sebagai bagian dari filsafat kesenian) untuk dijadikan atau disumbangkan kepada palaku seni untuk menggarap garapan keseniannya. Artinya, agni (api) tidak dipahami sebagai unsur elemental (bhuta) semata --- bagian dari Panca Maha Bhuta --- pembentuk alam semesta, namun sebagai tattwa yang lebih halus yang meresapi api itu sendiri. Di sini antara api sebagai bhuta dan api sebagai sebuah ide atau prinsip harus dibedakan. Atau boleh juga dikatakan bahwa harus dibedakan antara api dan kekuatan panasnya yang mampu menghangatkan atau membakar benda. Sekalipun antara api dan kekuatan api tesebut kadang-kadang dianggap satu dan sama, untuk tujuan analisis filosofis perlu dibedakan. Api tanpa panas bukanlah api, atau belumlah sempurnya sesuatu dikatakan api. Demikian pula kekuatan panas tidak akan bisa eksis tanpa ada api/teja. Yang jelas di dalam entitas api bukanlah suatu yang sederhana. Jika perhatian dan kajian kita hanya pada tataran bhuta, pembicaraan ini akan terjebak pada atau hingga pemahaman agni sebagai bhuta yang tidak berkesadaran (acetana). Padahal jika api dipahami sebagai kecerdasan atau sinar, dia menjadi hakikat dari pikiran. Hal ini akan tidak produktif dan sulit bagi seniman atau penggarap seni untuk mengembangkan wawasan, estetika dan filosofi di dalam aktivitas kesenian jika dipahai dari sudut pandang elemental (bhuta) yang berevolusi dari Prakrti/Pradhana.

(7)

7 II

4. Sekilas Agni di dalam Kesusastraan Weda

Acuan-acuan tertua tentang mitos, ritual, dan simbul-simbul berkaitan dengan agni (api) ditemukan di dalam kitab suci Weda di India dan Awesta dan teks-teks Pahlewi pada zaman Iran kuno. Weda khususnya Rg-Weda dipandang sebagai dokumen tertulis tertua (kira-kira 1500-2500 tahun sebelum masehi) yang dimiliki oleh umat manusia. Terdapat banyak persamaan dalam banyak konsep dan keyakinan antara kitab suci Weda bagi pemeluk Hindu sekarang dan Awesta bagi pemeluk agama Zoroaster1. Tradisi menghormati api dan penggunaan api di dalam kedua tradisi ini masih berlaku sampai sekarang walaupun intensitasnya berkurang dibandingkan dengan pada era Weda kuno. Terlepas dari perkembangan atau reformasi kehidupan keagamaan terjadi di India, ritual-ritual di dalam tradisi Weda kuno hingga sekarang tidak lepas dari penggunaan api dalam berbagai bentuknya. Dewa Agni menempati rangking ke-2 setelah Dewa Indra yang disembah atau disebut oleh mantra-mantra Weda.

Mitologi-mitologi dan acuan-acuan ritual yang terkoleksi di dalam kitab suci Rg-Weda dan Atharwa-Weda dari sekitar tahun 1400 hingga 1000 tahun sebelum masehi memuat sekitar 200 lagu-lagu pujian (himne) yang ditujukan kepada dewa Agni, dewa api. Bahkan mantra pembuka kitab suci Rg-Weda menyebut agni sebagai “Purohito”, --- seperti juga dikutip oleh pamakalah utama---seorang dewa yang merupakan pendeta dalam ritual domestik di dalam setiap rumah tangga; begitu juga sebagai pendeta untuk semua dewa2. Dewa Agni juga menyambungkan manusia dengan dewa-dewa lain yang ingin dipuja. Persembahan disampaikan terlebih dahulu kepada dewa Agni dan dewa ini dimohonkan untuk menyampaikan kepada dewa lain. Peranan ini sangat unik dan satu-satunya di dalam khasanah dewa. Hal ini bisa dimengerti karena salah satu peranan dewa Agni adalah sebagai Purohito3 di dalam upacara/ritual. Upacara/ritual tidak akan selesai jika absen dari kehadiran dan peranan seorang Purohito yang menyimbulkan api atau panas. Disamping peran tersebut ada lagi peran lain, antara lain (1) yang pertama dari penciptaan-penciptaan sang Pencipta, (2) dipersembahkan pertama di dalam setiap karma kanda, (3) memberikan direksi naik ke atas kepada yang dipuja, (4) memberikan bentuknya sendiri bagi apa saja yang menyentuhnya, dan (5) membawa yajna devata ke yajnashala dan juga menerima persembahan atas nama penyembah4.

(8)

8

Di dalam Weda-Samhita lain, seperti Yajur-Weda, di sana nampak ritual yang rinci dijadwalkan berdasarkan atas identitas api dan pelaku kurban suci rumah tangga (grahasta). Begitu juga kitab-kitab Brahmana pada masa-masa berikutnya, yaitu naskah yang mengeksplorasi alam dan fungsi keyakinan terhadap api, yang tetap merupakan fokus bagi orang yang berumah tangga dan mengembangkan program-program ritual. Buku ke-10 dari Satapatha Brahmana, yaitu Agni Rahasya, misteri altar api, merupakan sebuah teks mistik yang memulai spekulasi-spekulasi filsafat di dalam Upanisad.5 Di dalam tradisi di Bali, keberadaan Agni Rahasya yang bersifat mistik juga ada disebutkan (akan dibahas di bawah ini).

Pada gilirannya, sekitar tahun 700 sebelum masehi, kitab-kitab upanisad melahirkan sebuah pandangan dunia baru. Masing-masing dari dua terdahulu mengandung ajaran yang sama mengenai samsara (perpindahan roh). Setelah meninggal dunia, seseorang tidak dilepas dari kelahiran, dia kembali dari bulan dan lewat melalui lima api suci... Dalam periode yang sama kitab pegangan dikenal dengan Sutras dibuat yang mengatur upacara kurban yang dikenal dengan Srauta (berdasarkan kitab-kitab Weda) dan Grihya (kurban-kurban suci domestik) yang masih ada hingga waktu sekarang. Juga pada era yang sama muncul berbagai teknik pertapaan yang tumbuh secara menonjol, termasuk teknik menghasilkan panas di dalam diri (tapa) melalui pertapaan. Kesepadanan antara kosmos dan tubuh manusia dieksplorasi yang merupakan cara lain dari cara-cara berupa ekspresi menggunakan api dan panas. Karena dewa Agni itu sendiri merupakan dewa tiga serangkai, demikianlah harus ada tiga api di dalam setiap rumah tangga, dan tetap eksis hingga saat ini di India; mereka adalah (1) Ahita agni, penjaga terjadwal agni di dalam rumah sebagai Ahavaniya (api persembahan), dan (2) Garhapatya agni (api persiapan), dan (3) Daksina agni (api proteksi terletak di selatan)6. Tiga api serangkai dimaksud adalah matahari, halilintar, dan api kurban suci7. Masing-masing agni dinyalakan di dalam Agni kunda. Garhapatya kunda, Dakshina agni kunda, dan Ahavaniya agni kunda dibangun secara khusus dalam yajna mandapa untuk menyulut Shrautagni. Garhapatya Kunda berbentuk lingkaran, Dakshinagni kunda berbetuk setengah lingkaran, dan Ahavaniya kunda berbentuk segi empat. Ukurannya kira-kira sama. Ahavaniya agni sangat penting karena semua havi dravya seperti samidha, ajya, susu, susu asem, dsb. dipersembahkan kepada dewata melalui agni ini. Tidak banyak ritual dilakukan di Dakshina agni, tetapi semua ritual bagi leluhur dilakukan di api ini8. Agnihotra, persembahan berisi susu panas yang dihaturkan pagi dan malam, merupakan kurban suci dasar yang bersifat

(9)

9

rumah tangga (domestik). Ketiga api yang mulai jarang ini masih ada seperti halnya dengan di dalam praktek keagamaan pada masa Weda kuno... Yajamana membawa mangkuk berbentuk tera-cotta berisi api dalam identifikasinya dengan Agni dan dengan dewa Weda lain, Prajapati, sebagai pencipta dunia. Ritual yang khidmat mencakup empat puluh hari paundarika, mengunakan tujuh belas pendeta dengan persembahan-persembahan binatang dan jus soma dalam bentuk/jenis kurban suci api disebut Agnicayana yang memadukan waktu dan ruang di dalam konstruksi kosmis Agni. Lima lapisan terdisi atas ribuan batu bata berbentuk garuda besar dengan atman, roh, terletak di tenagh-tengahnya menunjukkan bahwa orang yang melakukan kurban suci dan api adalah satu. Ciri menonjol dari kebertahanannya praktek tradisi kuno adalah melahirkan agni melalui gesekan dari arani (tongkat-tongkat gosok terbuat dari kayu berjenis laki-laki dan perempuan). Ini mempunyai kapasitas untuk menyerap ketiga api ke dalam dirinya sendiri untuk memindahkannya jika ahita agni dan patni (istri) harus pergi jauh dari rumah..9.

Konfirmasi mengenai suatu kepercayaan dalam hal identitas penghuni rumah tangga dan api ditemukan baik di dalam ritual-ritual Weda dimana orang yang melaksanakan kurban suci atau istrinya “dibakar” dengan tiga jenis api ini, yang secara literal diserap oleh mereka di dalam Antyesti, sebuah kurban suci terakhir dalam siklus hidup manusia; dan di dalam penggunaan lain, di dalam upacara sumpah untuk menjadi seorang sannyasin, sebuah tahap kehidupan pertapa. Sannyasa menuntut interiorisasi api, deposisi ritual mengenai api-api di dalam diri, dan oleh karena itu merupakan sebuah akhir bagi kurban-kurban suci eksternal yang sebelumnya telah menata hidup. Sejak nafas sannyasin merupakan lima api kosmis, Agnihotra-nya menjadi persembahan prana yang konstan. Kurban-kurban Weda besar seperti Agnicayana,

Aswamedha (kurban suci kerajaan), atau Raja Suya (penobatan raja) telah tidak

menjadi ciri menonjol Hinduisme sekarang. Sejak masa-masa abad pertengahan akhir, dewa Agni sendiri telah dikurangi perannya menjadi dewa minor sejak lahirnya kitab-kitab epos dan purana. Namun peranan api di dalam Hinduisme tidak pernah hilang. Ritus kelahiran (samskara) merupakan rangkaian upacara dari terbentuknya embrio dan kelahiran hingga kremasi/perabuan. Yang terakhir tetap didefinisikan dengan persembahan akhir tubuh kepada Agni, pengkonsumsi jenazah pada perabuan jenazah.

Samskara bergantung pada api yang dinyalakan secara ritual oleh pendeta-pendeta

domestik atau penghuni rumah tangga itu sendiri dengan melafalkan apakah mantra-mantra Weda atau sloka-sloka berbahasa Sanskerta. Sebagai pelengkap bagi penghuni

(10)

10

pemujaan di rumah tangga yang biasanya fokus pada imij atau arca atau simbol-simbol dewa atau dewi yang disukai yang ditempatkan dekat dengan api, orang-orang Hindu bisa juga pergi ke kuil-kuil untuk dewapuja, puja umum. Di dalam kuil (mandira) tersimpan bentuk-bentuk/arca Dewi, Wisnu, Siwa, atau dewa lain, pendeta menyelenggarakan—atas nama pengunjung puja yang terjadwal, yang mencakup arati, mengibas-ngibaskan api di depan arca/simbol dewa10. Masih banyak lagi penggunaan api dan hal-hal terkait di dalam tradisi Weda kuno. Di sini tidak ada cukup kesempatan membahas itu semua.

5. Agni Rahasya

Di dalam kitab Satapatha Brahmana terdapat sebuah bab yaitu Mandala IX

(Agni Rahasya) yang mengandung unsur-unsur mistik api. Bagian ini menarik diperhatikan dalam konteks ini karena api (agni) dimaknai tidak sebagai bhuta semata namun spiritual dan mistik. Di awal Rg-Weda sudah jelas disebutkan bahwa agni merupakan purohita, penyelenggara ritual (yajna) dan juga dewa yang meneruskan persembahan kepada dewa-dewa yang dimaksud. Dalam konteks pernaskahan Nusantara, pemahamannya juga ada bersifat mistik, seperti dapat dijumpai di dalam sejumlah naskah, seperti Brahmawangsa Tattwa/Homayajna, Homa Adhyatmika yang sebenarnya termuat di dalam beberapa naskah lontar, seperti Catur Dasaksara, Kalepasan dan Amrta Kundalini; Homa Agni Janana, Tutur Adhyatmika (dikenal juga dengan sebutan Jnana Siddhanta)11, dan lain-lain. Pemahaman atas keberadaan api tidak hanya bisa bersifat elemental (bhuta) namun spiritual yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri. Lalu, bagimana naskah-naskah ini memandang api (agni)? Teks Homa Adhyatmika menguraikan upacara homa yang dilakukan di dalam diri, jadi bersifat internal. Di dalam menjelaskan api diperkenalkan sejumlah istilah penting seperti homa, homa traya, agni kunda, bahnimaya, agni rahasya, antarkarana, triguna, samidha, dan sebagainya. Di sini debedakan antara Homa Adhyamika, Homa Jnana, dan Homa Traya. Yang pertama berhubungan dengan pelaksanaan homa bagi personal, yang kedua berhubungan dengan proses penciptaan secara spiritual, dan yang ketiga adalah upacara homa yang dilaksanakan bagi kesucian dan kerahayuan jagat12. Pada semua jenis homa tersebut peranan pendeta dan api sangat besar. Tidak ada homa yang bebas dari api.

(11)

11

Homa Adhyatmika dilaksanakan untuk tidak hanya menyucikan diri namun meningkatkan kualitas diri ke tingkat yang lebih tinggi. Di dalam teks Homa Adhyatmika disebutkan bahwa “ikang sarira pinaka pahoman” (badan ini sebagai pahoman atau kunda). Atau badan ini juga disebut Sarira Kunda atau Agni Kunda, yaitu tempat melakukan pembakaran dengan menggunakan agni rahasya. Hal yang senada dapat dijumpai di dalam teks Tutur Adhyatmika (Jnana Siddhanta) yang menyebutkan, “ikang sarira ya kunda ngaranya, ling Bhatara Rudra. Ikang try antarahkarana ya tika kaharan kawya. Ikang Sang Hyang Saptongkara sira bahnimaya. Ikang sarwa wisaya kabeh ya ta hotyakna ri Sang Hyang Saptongakara Bahnimaya” [Tubuh ini dinamakan kunda atau tungku api pemujaan, demikian sabda Bhatara Rudra. Tri antah karana atau tiga sifat disebut kayu bakar. Sapta Ongkara yang suci adalah api rahasya. Seluruh keinginan hendaklah dikorbankan ke dalam Sapta Ongkara yang menyala sebagai Api Rahasya]13. Konsep ini mirip dengan kuruksetra dimana badan merupakan medan pertempuran antara kebaikan dan kejahatan. Di sini tersurat Tri Antahkarana dipandang sebagai kayu bakar (samidha, windhana) atau kayu rahasya. Di dalam teks Homa Adhyatmika seperti dikutip IBG. Agastia (2013), menyebutkan mengenai Tri Antahkarana: “idep Sang Hyang Agni Rahasya murub, aturana ta sira windhana, windhana ngaranya kayu. Ndi ta kayu rahasya haneng sarira? Ikang tri antah karana, tiga awaknya, haneng ati ning rat kabeh. Ndya ta wyaktinya tiga? Satwa, rajah, tamah, ika wehen gesenga de Sang Hyang Agin Rahasya” [Pikiran bahwa api rahasya menyala-nyala, haturkan kayu bakar. Apa yang disebut kayu rahasia di dalam diri? Tiada lain adalah tri antah karana, tiga wujudnya di dalam hati semua makhluk. Bagaimana sesungguhnya yang tiga tersebut? Satwa, rajah, tamah, itulah mohonkan supaya dibakar oleh Api Rahasya tersebut]14. Satwa, Rajah, dan Tamah adalah Tri Guna yang meresapi dari Tattwa yang paling halus (yaitu citta hingga yang paling kasar (yatitu pertiwi). Jadi dalam teks di atas tri antah karana dipahami sebagai tri guna, bukan suskma sarira, sthula sarira, dan atma. Di dalam teks Wrehaspati Tattwa, tri antah karana dipahami sebagai buddhi, manah, ahangkara. Jika diteruskan dengan memahami Siwa Tattwa bahwa Panca Karma Indriya dan Panca Buddhindriya (menjadi Dasendriya) termasuk Panca tan Matra merupakan tattwa-tattwa yang membelenggu sang diri (atma). Pemenuhannya menyebabkan wisaya, sementara pengendaliannya menyebabkan atma mulai terbebas dari ikatannya. Yang disebut wisaya di atas adalah akibat-akibat beroperasinya indriya sehingga menimbulkan kegelapan (awidya) sang diri.

(12)

12

Teks ini memberikan jalan pendakian sang diri dengan cara membakar kayu rahasya melalui agni rahasya (bahnimaya). Hal ini sejalan dengan mantra 1:12 dalam Rg-Weda bahwa agni sebagai penghancur kegelapan pikiran para penyembahnya dan menyucikan pikiran15. Agar proses pembakaran bisa terjadi diperlukan kayu-kayu api yaitu unsur-unsur yang mengotori/membuat kegelapan sang diri, dan tungku (pahoman). Pembakaran di sini tentu saja dimaknai dari sudut rohani bukan fisik. Oleh karena itu proses ini dipandang sebagai yoga, yaitu satu proses rohani menyucikan sang diri agar bisa kembali ke hakikatnya semula dan bisa menyatu dengan sumber asalnya, yaitu Agni Rahasya itu sendiri. Sang Hyang Agni Rahasya juga disebut Sang Hyang Para Brahma. Artinya di sini melihat api sebagai kekuatan supra natural di balik api sebagai bhuta. Ketika pembakaran terjadi, unsur-unsur pembelenggu seperti Dasendriya terbakar habis; hal ini tergantung kemampuan rohani pelaku pembakaran. Artinya ada sesuatu yang hilang, terbakar atau hangus, sementara pada saat yang sama ada yang dicapai yaitu kesucian sang diri (atma). Bagi yang masih berkutat dengan kesenangan indriawi, merasa ingin selalu memenuhi keinginan indriya. Namun bagi mereka yang sudah mulai menyadari hal ini, secara bersangsur-angsur mulai mengendalikannya. Memenuhi indriya bukan sebagai pemenuhan nafsu namun sebagai kekuatan hidup. Ada proses transformasi diri di dalam memenuhi indriya-indriya.

Siapakan yang dimaksud Agni Rahasya atau Bahnimaya tersebut? Menurut teks ini Agni Rahasya adalah Sang Hyang Saptongkara yang menurut teks Jnana Siddhanta: “pawaknira Sang Hyang Saptongkara sangksepannya: Sang Hyang Saptongkara sira pinaka mula mahyanta. Apan sira Sang Hyang Saptatma, Sapta Dewa, Sapta Pada, tekeng warna mwang sthanan nira, Sang Hyang Saptongkara pasamudhayanira kabeh” [Tubuh dari Sang Hyang Saptongkara singkatnya sebagai berikut: Sang Hyang Saptongkara adalah awal tengah dan akhir. Karena Sang Hyang Saptongkara adalah penyatuan dari semua Sapta Atma, Sapta Dewa, Sapta Pada termasuk Warna dan tempatnya]. Teks ini lebih lanjut menjelaskan Sapta Atma, Sapta Dewa, Sapta Pada, Sapta Sthana, dan Sapta Warna.

Di dalam teks Homa Adhyatmika memberikan keterangan bagaimana caranya menyalakan api rashasya tersebut. Tarik nafas dari lubang hidung kanan dan kiri, lalu teruskan ke dalam tempat api rahasya, satukan antara nafas (bayu), dan api (agni); itu namanya menyatukan Pradhana-Purusa (pradhana-purusa yoga). Olah nafas ini melibatkan sistem nadi dan bayu di dalam diri. Terdapat sepuluh nadi utama (Dasa

(13)

13

Nadi) dan sepuluh nafas (Dasa Bayu). Ida, Pingala, dan Susumna merupakan tiga nadi besar yang berperan di dalam olah nafas (Pranayama). Melatih Pranayama merupakan cara yang terbaik membakar kayu rahasya. Di sini ada hubungan antara api (agni) dan nafas (prana).

Teks Homa Adhyatmika selanjutnya memberikan keterangan sarana melakukan puja adhyatmika sebagai berikut: “Pujanta ring puja-adhyatmika, ndya ta? Ikang dhupa kna ujarta rahayu, manginaki karengo dening len, haywa angucapaken wuwus angangsul, yeka dhupanta adhyatmika. Ikang pinaka swamba mesi tirtha, sirah ta, apan ing patengah-tengahan ing alis ta, ana ONG-kara sumungsang ring lalata padma, amijilaken amreta saking tungtung ing nada nira, temedun maring hredaya pundarikanta. Ikang pinaka candananta citta nirmala. Ikang pinaka wijanta suci ning awakta, ikang pinaka dipanta ikang netra amanis yaning mulat ing wwang len. Ikang pinaka sekar tunjung ta, kucup ing tanganta sapuluh. Nahan ta sadhananta amuja ring adhyatmika puja” [Yang dijadikan dupa adalah kata-katamu yang rahayu, baik didengar oleh orang lain, jangan mengucapkan kata-kata kasar, itu dhupa adhyatmika; swamba-mu yang berisi tirtha atau air suci adalah kepalamu, karena di tengah-tengah alismu ada ONG-kara terbalik yang mengeluarkan amreta dari ujung nada-nya, turun menuju hatimu. Kayu cendanamu adakah fikiran suci, sebagai bija adalah kesucian badanmu, sebagai dipa adalah matamu yang manis kalau melihat orang lain. Adapun sebagai bunga tunjungmu adalah cakupan sepuluh jari tanganmu. Itulah sarananya ketika melakukan adhyatmika puja]16. Teks ini juga menyinggung Asta dusta dan Asta corah yang harus dibakar dengan Agni Rahasya.

III

6. Agnirahasya dalam Kesenian

Bagaimana menerapkan konsep Agni Rahasya di dalam aktivitas kesenian? Kalau hanya menampilkan bentuk atau adegan api atau api-apian di dalam sebuah pertujukan rasanya tidak sulit apalagi bagi seorang koreografer berpengalaman. Namun suatu pertunjukan atau bentuk kesenian yang dilandasai oleh konsep Agni Rahasya memerlukan perenungan dan ketajaman pikiran. Dengan perenungan dan imajinasi konsep ini bisa dikembangkan secara lebih luas dan variatif.

(14)

14

Kesenian dalam perspektif Hindu merupakan jalan menuju penyatuan. Oleh karena itu berkesenian dasarnya adalah kebenaran (satyam), kesucian (siwam), dan keindahan (sundaram) disamping keikhlasan. Hanya ketika keadaan ini terpenuhi seni tidak hanya bisa menghibur namun juga menyucikan diri dan lingkungan. Itulah mungkin sebabnya ritual (yajna) dilaksanakan selalu ada terlibat unsur seni, seperti seni suara, seni sastra, seni tari, seni gambar/lukis, dan lain-lain. Ritual menjadi akumulasi dari berbagai cabang kesenian yang bisa menimbulkan rasa seni, indah, dan bahagia. Pada kuil-kuil di India Selatan biasanya sebuah mandapa/tempat di dalam bangunan tempat penari menari. Pada pura-pura di Bali halaman/natar pura bisa digunakan untuk pementasan tari, terutama yang tergolong Tari Wali. Berkesenian merupakan ekspresi religiusitas. Dengan berkesenian memuja Tuhan, melayani orang lain dan menghibur masyarakat, sekaligus menghaluskan “sang diri”. Di zaman lalu, para seniman dengan samangat “ngayah” melakukan aktivitas kesenian sebagai bentuk pengabdian dan pemujaan. Oleh karena itu dasarnya kesucian dan penyerahan diri kepada kesenian itu sendiri. Berkesenian dijadikan jalan menuju tahapan rohani yang lebih tinggi bahkan tertinggi. “Agama” bagi seniman adalah aktivitas seni itu sendiri.

Ketika rasa yang dijadikan unsur utama di dalam aktivitas seni, rasa itu juga menjaid tujuan, yaitu menunggalnya rasa individu dengan rasa universal. Teori rasa yang digagas oleh para pemikir, filosof seperti Abhinawagupta di India menghendaki adanya penyatuan rasa. Ada delapan jenis rasa (seperti Sringara/Rati (cinta), Hasya (humor), Karuna (rasa kasih), Rudra (horor), Wira (heroik), Bhayanaka (takut), Bibhatsa (kekaguman), dan Adbhuta (mengerikan)17 yang terlibat di dalam kesenian. Oleh karena di sana ada proses penyucian, konsentrasi dan penyatuan berkesenian juga bisa dipandang sebagai bentuk yoga. Menggali Agni Rahasya pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk yoga mulai dari penyucian diri hingga penyatuan dengan Sang Hyang Agni Rahasya. Di dalam proses berkesenian dimulai dengan penyucian diri dimana ajaran Yama dan Niyama menjadi sangat penting. Pembakaran ego (ahangkara), indriya dan pikiran (manas) dilakukan dalam bingkai yoga-seni. Hal-hal itu menurut keterangan di atas dipandang sebagai kayu rahasya. Pembakarannya ada di dalam badan sehinga badan disebut sebagai Agni Kunda. Ketika proses berkesenian berlangsung terjadilah pembakaran unsur-unsur tersebut sehingga dicapai rasa bahagia. Sang Hyang Agni Rahasya pada hakikatnya adalah Rasa ketika penyatuan tersebut terjadi.

(15)

15

Olah nafas (pranayama) menjadi sangat penting. Berkesenian apalagi drama, drama tari, dan bentuk-bentuk pementasan seni lainnya, keberhasilannya ditentukan oleh kekuatan nafas pemainnya. Olah nafas berhubungan dengan prana, yaitu kekuatan vital yang menggerakkan seluruh tubuh. Tanpa prana tubuh dikatakan mati. Gerak badan dan olah nafas boleh dijadikan latihan pembakaran hal-hal negatif yang membelenggu sang diri. Tidak hanya antah karana dan triguna dibakar habis di dalam pakundan, kesenian yang dilaksanakan pun dipersembahkan ke dalam Agni Rahasya. Ketika pembakaran telah terjadi yang tersisa adalah abu-abu pembakaran (bhasma) dalam bentuk karya seni. Dengan kata lain, apapun bentuk kesenian itu, pada dasarnya merupakan hasil pembakaran melalui oleh nafas, pikiran, dan diri sehingga kesenian yang dihasikan berkesucian. Kekuatan kesucian sebagai akibat hasil pembakaran bisa memberikan efek bahagia dan sejahtera.

Bagaimana seminan memahani hal ini dan menjabarkan di dalam aktivitas berkesnaian? Hal ini menarik untuk direnungkan khususnya para seniman dan penyelenggara hajatan ini agar tema pokok bisa dijadikan pedoman di dalam PKB mendatang. Konsep Agni Rahasya bisa dijadikan inspirasi atau petunjuk di dalam berkarya.

7. Penutup

Tema yang jelas landasan filsafatnya menjadi penting agar hajatan seni seperti PKB mempunyai landasan dan arahan yang jelas. “Api dharmaning koripan”, tema PKB tahun 2018 perlu diperjelas landasan sastra, filsafat dan kemungkinan bisa dijabarkan di dalam PKB. Api (agni) disebutkan di dalam kesusastraan Weda baik yang ada di India maupun Indonesia bisa dijadikan inspirasi berkesenian di dalam PKB nanti. Ada sejumlah fungsi api; salah satunya membasmi kegelapan, kekotoran, ketidakmurnian.

Pemaknaan api secara elemental memberikan ruang lingkup yang sempit bagi seniman di dalam mengekplorasi rasa seninya dan menerjemahkan menjadi bentuk/ungkapan kesenian. Oleh karena itu dipandang perlu memahami api dari sudut pandang spiritual dan mistik sehingga memaknaannya menuju ke dalam diri. Hal ini berguna di dalam rangka meningkatkan kualitas seni, seniman, dan juga masyarakat bahwa kesenian yang maju dan berkembang juga bisa menyebabkan mekarnya sang diri para seniman dan penikmat / penonton seni.

(16)

16

Agni Rahasya seperti termuat di dalam Satapatha Brahmana dan teks-teks Nusantara, seperti Homa Adhyatmika memberikan pemaknaan api sebagai Agni Rahasya yang perlu dipahami dan digali di dalam diri melalui proses yoga. Sang Hyang Agni Rahasya adalah Sang Hyang Saptongkara yang merupakan asal, tengah, dan akhir dari segala keberadaan. Berkesenian apapun bentuk dan jenisnya dipandang sebagai jalan atau metoda untuk memuja Tuhan, melayani masyarakat dan menghiburnya berdasarkan kesucian lahir-batin. Di sini nampak signifikasni hakikat Bhatara Siwa sebagai Satyam, Siwam, Sundaram. Dengan menggali potensi api di dalam diri proses pemurnian sang diri agar bebas dari belenggu indriawi secara bersangusr-sangsur bisa dilakukan. Semuanya itu dipandang dari perspektif yoga. Inti dari yoga dan kesenian adalah sama yaitu penyatuan: penyatuan pesan antara aktor dengan penonton, pengarang dengan pembaca, pemahat dengan penikmat, dan antara jiwa sang seniman dengan Jiwa Universal. Penyatuan ini dalam sejumlah literatur Siwaistisk dikenal dengan istilah Samarasya.

Denpasar, 29/6/2017 Catatan dan Referensi

1

David M. Knipe, “Fire” dalam Encyclopedia of Religion, 2nd ed. (New York: MacMillan Reference USA), hal. 3116

2

Ibid.

3

Di sini dimaknai dewa berperan sebagai pendeta yang menyelenggarakan ritual (yajna), bukan pendeta manusia seperti umumnya dipahami kata „purohito‟ yang bermakna „pendeta istana‟.

4

Sannyasi Gyanshruti dan Sannyasi Srividyananda, Yajna: A Comprehensive Survey (Bihar: Yoga Publication Trust, 2006), hal. 89-90.

5

David M. Knipe, op.cit.

6

Ibid.

7

Benjamin Walker, “Agni” dalam Encyclopedic Survey of Hinduism: Hindu World, Vol. 1. (Delhi: Munshiram Manoharlal, 1983), hal. 12.

8

Sannyasi Gyanshruti dan Sannyasi Srividyananda, op.cit., hal. 151.

9

David M. Knipe, op.cit., hal.3116-3117.

10

Ibid., hal. 3117

11

Lihat IBG. Agastia, Homa Adhyatmika (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2013), hal. 6-11.

12 Ibid., , hal. 22. 13 Ibid., hal. 9. 14 Ibid., hal. 12 15

R.L. Kashyap, Agni in Rig Veda (Bangalore: Sri Aurobindo Kapali Sastry Institute of Vedic Culture, 2005), hal. 32.

16

Lihat IBG. Agastia, op.cit., hal. 13-14.

17

Penjelasan lebih lanjut mengenai rasa dan bhawa, lihat IB. Putu Suamba, “Rasa dalam Natya Sastra” dalam Mudra, Vol. 17, No. 2, September 2005, hal. 220-233.

Referensi

Dokumen terkait

(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemberlakuan SNI Ampul Gelas dan Vial Gelas untuk Obat Suntik secara Wajib kepada Pelaku

Secara statistik dapat diketahui bahwa pemberian berbagai tingkat Mikoriza Arbuskula (0g, 5g, 10g, 15g) pada tanah ultisol memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)

Distribusi dan fluktuasi SPL di Samudera Hindia tepatnya di WPP RI 573, secara tidak langsung dipengaruhi kecepatan angin sebesar 0,5% komponen gesekan angin

Pengujian 1 yaitu pengujian pengaruh ukuran panjang pesan terhadap proses embedding dan extracting dilakukan dengan menggunakan file gambar yang memiliki dimensi

 Peserta mampu menyusun spesifikasi teknis pengadaan barang/jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan paket pengadaan barang/jasa untuk berbagai jenis pengadaan barang/jasa.. 

Adapun penelitian yang menyatakan hasil berbeda adalah penelitian dari Prabansari (2005) dan Yeniatie (2010) yang menyebutkan semakin besar profitabilitas maka

6.5.9 Pada Pada akhir waktu akhir waktu penyerapan yang penyerapan yang ditentukan, letakkan lembar ditentukan, letakkan lembar kertas penyerap kertas penyerap

Pakaian Dinas adalah pakaian yang digunakan oleh personil dalam melaksanakan tugas kedinasan di lingkungan Kementerian Kehutanan, Satuan Kerja Perangkat Daerah Bidang Kehutanan,