• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIREKTORIUM UNTUK PELAYANAN DAN HIDUP PARA IMAM (DIRETTORIO PER IL MINISTERO E LA VITA DEI PRESBITERI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIREKTORIUM UNTUK PELAYANAN DAN HIDUP PARA IMAM (DIRETTORIO PER IL MINISTERO E LA VITA DEI PRESBITERI)"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

DI

REKTORI

UM

UNTUK

PELAYANAN

DAN

HI

DUP

PARA

I

MAM

EDISI BARU Dikeluarkan oleh

Kongregasi untuk Para Imam Roma,11 Februari 2013

(2)

Seri Dokumen Gerejawi No. 48

DIREKTORIUM

UNTUK PELAYANAN DAN HIDUP

PARA IMAM

(DIRETTORIO PER IL MINISTERO E LA VITA DEI PRESBITERI)

EDISI BARU Dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Para Imam

Roma, 11 Februari 2013

Diterjemahkan oleh: R.P. Andreas Suparman, SCJ

Editor:

Bernadeta Harini Tri Prasasti

DEPARTEMEN DOKUMENTASI DAN PENERANGAN KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA

JAKARTA, Juli 2020

Seri Dokumen Gerejawi No. 48

DIREKTORIUM

UNTUK PELAYANAN DAN HIDUP

PARA IMAM

(DIRETTORIO PER IL MINISTERO E LA VITA DEI PRESBITERI)

EDISI BARU Dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Para Imam

Roma, 11 Februari 2013

Diterjemahkan oleh: R.P. Andreas Suparman, SCJ

Editor:

Bernadeta Harini Tri Prasasti

DEPARTEMEN DOKUMENTASI DAN PENERANGAN KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA

(3)

Seri Dokumen Gerejawi No. 48 DIREKTORIUM

UNTUK PELAYANAN DAN HIDUP PARA IMAM

(DIRETTORIO PER IL MINISTERO E LA VITA DEI PRESBITERI)

EDISI BARU

Dikeluarkan oleh Kongregasi Para Imam Roma, 11 Februari 2013

Diterjemahkan oleh : R.P. Andreas Suparman, SCJ (dari bahasa Italia) Editor : Bernadeta Harini Tri Prasasti

Diterbitkan oleh : Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI Alamat : Jalan Cikini II No 10, JAKARTA 10330

Telp.: (021) 3901003

E-mail: dokpen@kawali.org; kwidokpen@gmail.com Kebijakan tentang penerbitan terjemahan Seri Dokumen Gerejawi:

1. Departemen Dokpen KWI bertanggung jawab atas penentuan penerbitan dokumen dengan berpedoman pada kriteria seleksi yang menyangkut:

a.Urgensi; b. Aktualitas; c. Relevansi; d. Kelengkapan; e. Harapan atau permintaan kalangan tertentu; f. Pertimbangan pendanaan

2. Meskipun ada tata bahasa baku dalam bahasa Indonesia, namun setiap orang mempunyai gaya bahasa sendiri, maka Departemen Dokpen KWI berusaha menghindari intervensi dalam penerjemahan. Oleh karena itu, setiap isi terjemahan Seri Dokumen Gerejawi menjadi tanggung-jawab penerjemah yang bersangkutan.

3. Bila timbul keraguan dalam penafsiran teks suatu dokumen, hendaknya dibandingkan dengan teks asli / resmi.

Cetakan Pertama : Juli 2020

(4)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... 3

Prakata ... 9

Pengantar ... 16

BAB I JATI DIRI IMAM ... 23

Imamat sebagai karunia ... 23

Akar-akar Sakramental ... 25

1.1. Dimensi Triniter ... 26

Dalam persekutuan dengan Bapa, Putra, dan Roh Kudus .... 26

Dalam dinamika triniter keselamatan ... 27

Hubungan mesra dengan Tritunggal ... 28

1.2. Dimensi Kristologis... 29

Jati diri khas ... 29

Pengudusan dan misi ... 31

1.3. Dimensi Pneumatologis... 33

Ciri sakramental ... 33

Persekutuan pribadi dengan Roh Kudus ... 33

Seruan kepada Roh Kudus ... 34

Kekuatan untuk membimbing jemaat ... 35

1.4. Dimensi Gerejawi ... 35

“Dalam” dan “di hadapan” Gereja ... 35

Keikutsertaan dalam sifat Kristus sebagai mempelai ... 36

Universalitas imamat ... 37

Sifat misioner imamat bagi Evangelisasi Baru ... 38

Kebapaan rohani ... 51

Kepemimpinan sebagai “amoris officium” ... 52

Godaan demokratisme dan egalitarianisme ... 54 Perbedaan antara imamat umum dan imamat pelayanan 56

(5)

Persekutuan dengan Tritunggal dan dengan Kristus ... 57

Persekutuan dengan Gereja ... 58

Persekutuan Hierarkis ... 58

Persekutuan dalam perayaan Ekaristi ... 59

Persekutuan dalam kegiatan pelayanan ... 60

Persekutuan dalam Presbiterium ... 61

Inkardinasi, ikatan yuridis autentik dengan nilai rohani ... 63

Presbiterium, tempat pengudusan ... 64

Persaudaraan imamat ... 65

Hidup bersama ... 66

Persekutuan dengan umat beriman awam ... 70

Persekutuan dengan anggota-anggota Tarekat Hidup Bakti ... 74

Pastoral panggilan ... 74

Tanggung jawab politik dan sosial ... 76

BAB II SPIRITUALITAS IMAMAT ... 79

2.1. Konteks historis saat ini ... 79

Mampu menafsirkan tanda-tanda zaman ... 79

Perlunya pertobatan untuk Evangelisasi ... 81

Tantangan sekte-sekte dan aliran-aliran kepercayaan baru ... 83

Sisi terang dan gelap kegiatan pelayanan ... 84

2.2. Bersama Kristus dalam doa ... 86

Keutamaan hidup rohani ... 86

Sarana-sarana untuk hidup rohani ... 87

Meneladan Kristus yang berdoa ... 90

Meneladan Gereja yang berdoa ... 92

Doa sebagai persekutuan ... 93

2.3. Cinta kasih pastoral ... 93

(6)

Mengatasi fungsionalisme ... 94

2.4. Ketaatan ... 95

Dasar ketaatan ... 95

Ketaatan hierarkis ... 97

Kepemimpinan yang dijalankan dengan cinta kasih ... 99

Menghormati norma-norma liturgi ... 100

Kesatuan dalam perencanaan pastoral ... 101

Pentingnya dan sifat wajib pakaian gerejawi ... 101

2.5. Pewartaan Sabda ... 103

Kesetiaan pada Sabda ... 103

Kata dan hidup ... 107

Sabda dan katekese ... 109

2.6. Sakramen Ekaristi ... 111

Misteri Ekaristi ... 111

Merayakan Ekaristi dengan baik ... 113

Adorasi Ekaristi ... 116

Intensi-intensi Misa ... 118

2.7. Sakramen Tobat ... 121

Pelayan Rekonsiliasi ... 121

Dedikasi dalam pelayanan pendamaian ... 122

Perlunya mengaku dosa ... 125

Bimbingan rohani untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain ... 126

2.8. Liturgi Ibadat Harian ... 127

2.9. Pembimbing Jemaat ... 130

Imam bagi jemaat ... 130

Sepikir-seperasaan dengan Gereja ... 132

2.10. Selibat imamat ... 133

Kehendak teguh Gereja ... 133

Motivasi teologis-spiritual selibat ... 133

Teladan Yesus ... 136

Kesulitan-kesulitan dan keberatan-keberatan ... 137

(7)

2.12. Devosi kepada Santa Maria ... 146

Meneladan keutamaan-keutamaan Bunda Maria ... 146

Ekaristi dan Maria ... 147

BAB III BINA LANJUT ... 149

3.1. Prisip-prinsip ... 149

Perlunya bina lanjut, sekarang/saat ini ... 149

Sarana pengudusan ... 151

Harus diselenggarakan oleh Gereja ... 152

Harus berkelanjutan ... 152 Harus lengkap ... 153 Pembinaan manusiawi ... 154 Pembinaan spiritual ... 156 Pembinaan intelektual ... 158 Pembinaan pastoral ... 160

Harus terpadu dan lengkap ... 161

Pembinaan harus personal ... 162

3.2. Organisasi dan sarana-sarana ... 163

Pertemuan-pertemuan para Imam ... 163

Tahun Pastoral ... 164

Waktu istirahat ... 166

Wisma Klerus ... 168

Retret dan Rekoleksi ... 168

Perlunya Perencanaan ... 170

3.3. Para penanggung jawab ... 171

Imam sendiri ... 171

Bantuan para konfrater ... 172

Uskup ... 173

Pembinaan para Pembina ... 174

(8)

Kerja sama dengan pusat-pusat akademis dan

spiritualitas ... 177

3.4. Kebutuhan-kebutuhan berdasarkan umur dan situasi-situasi khusus ... 177

Tahun-tahun pertama imamat ... 177

Sesudah sejumlah tahun pelayanan ... 178

Usia lanjut ... 180

Para imam dalam situasi-situasi khusus ... 180

Rasa kesepian imam ... 182

(9)

KONGREGASI UNTUK PARA IMAM

DIREKTORIUM

UNTUK PELAYANAN DAN HIDUP PARA IMAM

EDISI BARU

PRAKATA

Fenomena “sekularisasi”, yakni kecenderungan untuk menghayati hidup ke arah horizontal, dengan mengesampingkan atau menetralisasi dimensi transenden, dalam beberapa puluh tahun mempengaruhi semua orang beriman tanpa terkecuali, kendati mereka menerima dengan senang hati ceramah keagamaan. Fenomena itu sedemikian besar sehingga melibatkan mereka yang memiliki tugas, karena mandat Ilahi, membimbing Gereja untuk mengambil posisi yang menentukan. Salah satu akibat nyata adalah menjauhnya dari praktik keagamaan, dengan menolak

depositum fidei (warisan iman) sebagaimana diajarkan secara autentik oleh Magisterium Katolik, maupun menolak otoritas dan peran para pelayan kudus, yang dipanggil oleh Kristus kepada diri-Nya (Mrk. 3:13-19) untuk bekerja sama dalam rencana keselamatan-Nya dan menuntun umat manusia kepada ketaatan iman (bdk. Sir. 48:10; Ibr. 4:1-11; KGK 144 dst.). Penjauhan itu, yang kadang-kadang disadari, di saat lain disebabkan oleh bentuk-bentuk kebiasaan yang secara diam-diam dipaksakan oleh budaya dominan untuk menghilangkan kekristenan dari masyarakat sipil.

Oleh karena itu, sejak awal pelayanan kepausannya, Benediktus XVI memberikan komitmen khusus, kadang dengan meninjau kembali doktrin Katolik sebagai sistematisasi utuh

(10)

KONGREGASI UNTUK PARA IMAM

DIREKTORIUM

UNTUK PELAYANAN DAN HIDUP PARA IMAM

EDISI BARU

PRAKATA

Fenomena “sekularisasi”, yakni kecenderungan untuk menghayati hidup ke arah horizontal, dengan mengesampingkan atau menetralisasi dimensi transenden, dalam beberapa puluh tahun mempengaruhi semua orang beriman tanpa terkecuali, kendati mereka menerima dengan senang hati ceramah keagamaan. Fenomena itu sedemikian besar sehingga melibatkan mereka yang memiliki tugas, karena mandat Ilahi, membimbing Gereja untuk mengambil posisi yang menentukan. Salah satu akibat nyata adalah menjauhnya dari praktik keagamaan, dengan menolak

depositum fidei (warisan iman) sebagaimana diajarkan secara autentik oleh Magisterium Katolik, maupun menolak otoritas dan peran para pelayan kudus, yang dipanggil oleh Kristus kepada diri-Nya (Mrk. 3:13-19) untuk bekerja sama dalam rencana keselamatan-Nya dan menuntun umat manusia kepada ketaatan iman (bdk. Sir. 48:10; Ibr. 4:1-11; KGK 144 dst.). Penjauhan itu, yang kadang-kadang disadari, di saat lain disebabkan oleh bentuk-bentuk kebiasaan yang secara diam-diam dipaksakan oleh budaya dominan untuk menghilangkan kekristenan dari masyarakat sipil.

Oleh karena itu, sejak awal pelayanan kepausannya, Benediktus XVI memberikan komitmen khusus, kadang dengan meninjau kembali doktrin Katolik sebagai sistematisasi utuh

(11)

(organik) kebijaksanaan yang secara autentik diwahyukan oleh Allah dan yang dalam Kristus memperoleh kepenuhannya, doktrin yang nilai sejatinya berada di dalam jangkauan kecerdasan semua manusia (bdk. KGK 27 dst.).

Jika benar bahwa Gereja ada, hidup dan diabadikan dalam waktu melalui misi evangelisasi (bdk. Konsili Vatikan II, dekret Ad gentes), tampak jelas bahwa bagi Gereja akibat paling buruk yang disebabkan oleh sekularisasi yang merajalela adalah krisis pelayanan imamat. Hal itu tampak, di satu pihak dalam menurunnya panggilan yang cukup besar, dan di lain pihak dalam rasa kehilangan yang nyata dan sungguh atas makna adikodrati perutusan imamat; bentuk-bentuk ketidak-autentikan, yang tidak jarang, dalam kemerosotan-kemerosotan paling ekstrem, telah memperlihatkan situasi-situasi penderitaan yang berat. Untuk itu, refleksi tentang masa depan imamat bertepatan dengan masa depan evangelisasi, dan karena itu refleksi tentang Gereja itu sendiri.

Pada tahun 1992, Beato Yohanes Paulus II, dengan Seruan pasca-sinode Pastores dabo vobis, telah membawa terang melimpah untuk menyinari apa yang sedang kita katakan, dan selanjutnya telah mendesak untuk mempertimbangkan secara serius masalah itu melalui sejumlah pernyataaan dan inisiatif.

Selanjutnya, tanpa ragu perlu disebut secara khusus Tahun Imam 2009-2010, yang dirayakan dengan penuh makna, sehubungan dengan perayaan 150 tahun wafatnya Santo Yohanes Maria Vianney, santo pelindung para pastor paroki dan para imam pemelihara jiwa-jiwa.

Inilah alasan-alasan mendasar yang, setelah serangkaian konsultasi panjang, mendorong kami untuk menyusun edisi pertama Direktorium untuk Pelayanan dan Hidup para Imam pada tahun 1994. Direktorium ini adalah sarana yang sesuai untuk menjelaskan dan menjadi pedoman dalam komitmen pembaruan rohani pelayan-pelayan suci, rasul-rasul yang semakin kehilangan

orientasi, yang tenggelam dalam dunia yang sulit dan terus-menerus berubah.

Pengalaman bermanfaat dari Tahun Imam (yang gemanya masih terdengar), dorongan “evangelisasi baru”, petunjuk-petunjuk lebih lanjut dan sangat berharga dari Magisterium Benediktus XVI dan, sayangnya, luka-luka menyedihkan yang telah merobek Gereja karena tingkah laku beberapa pelayannya, telah mendesak kami untuk memikirkan kembali sebuah edisi baru Direktorium, yang bisa lebih sesuai dengan zaman sekarang. Direktorium ini mempertahankan secara substansial garis besar dokumen aslinya, tentunya juga ajaran kekal teologi dan spiritualitas imamat katolik. Dari Pengantar singkatnya sudah tampak jelas tujuannya: “Tampaknya menguntungkan mengingat kembali unsur-unsur ajaran mendasar yang ada pada inti jati diri, hidup rohani bina lanjut para imam, sehingga dapat membantu untuk memperdalam makna menjadi imam dan mengembangkan relasi eksklusifnya dengan Yesus Kristus, Kepala dan Gembala: ini tentu saja akan bermanfaat bagi seluruh keberadaan dan kegiatan imam. [...]

Direktorium ini adalah sebuah dokumen untuk pembinaan dan pengudusan para imam di dunia yang tersekularisasi dan tak peduli dalam begitu banyak bentuknya.”

Pantaslah mempertimbangkan kembali beberapa tema tradisional yang secara bertahap telah menghilang atau kadang-kadang ditolak secara terbuka, karena visi fungsional imam sebagai “profesi kekudusan”, atau oleh pemahaman “politis” yang memberinya martabat dan nilai hanya jika ia aktif dalam masyarakat. Semua itu sering telah melukai dimensi paling khas, yang bisa disebut dimensi “sakramental” imam, yakni dimensi pelayan, yang, sementara melimpahkan kekayaan-kekayaan rahmat ilahi, dia sendiri adalah milik Kristus, dan sementara juga tetap dalam keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan yang terluka oleh dosa, dia adalah kehadiran misterius di dunia.

(12)

orientasi, yang tenggelam dalam dunia yang sulit dan terus-menerus berubah.

Pengalaman bermanfaat dari Tahun Imam (yang gemanya masih terdengar), dorongan “evangelisasi baru”, petunjuk-petunjuk lebih lanjut dan sangat berharga dari Magisterium Benediktus XVI dan, sayangnya, luka-luka menyedihkan yang telah merobek Gereja karena tingkah laku beberapa pelayannya, telah mendesak kami untuk memikirkan kembali sebuah edisi baru Direktorium, yang bisa lebih sesuai dengan zaman sekarang. Direktorium ini mempertahankan secara substansial garis besar dokumen aslinya, tentunya juga ajaran kekal teologi dan spiritualitas imamat katolik. Dari Pengantar singkatnya sudah tampak jelas tujuannya: “Tampaknya menguntungkan mengingat kembali unsur-unsur ajaran mendasar yang ada pada inti jati diri, hidup rohani bina lanjut para imam, sehingga dapat membantu untuk memperdalam makna menjadi imam dan mengembangkan relasi eksklusifnya dengan Yesus Kristus, Kepala dan Gembala: ini tentu saja akan bermanfaat bagi seluruh keberadaan dan kegiatan imam. [...]

Direktorium ini adalah sebuah dokumen untuk pembinaan dan pengudusan para imam di dunia yang tersekularisasi dan tak peduli dalam begitu banyak bentuknya.”

Pantaslah mempertimbangkan kembali beberapa tema tradisional yang secara bertahap telah menghilang atau kadang-kadang ditolak secara terbuka, karena visi fungsional imam sebagai “profesi kekudusan”, atau oleh pemahaman “politis” yang memberinya martabat dan nilai hanya jika ia aktif dalam masyarakat. Semua itu sering telah melukai dimensi paling khas, yang bisa disebut dimensi “sakramental” imam, yakni dimensi pelayan, yang, sementara melimpahkan kekayaan-kekayaan rahmat ilahi, dia sendiri adalah milik Kristus, dan sementara juga tetap dalam keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan yang terluka oleh dosa, dia adalah kehadiran misterius di dunia.

(13)

Pertama-tama adalah relasi imam dengan Allah Tritunggal. Pewahyuan Allah sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus berkaitan dengan pernyataan Allah sebagai Kasih yang menciptakan dan menyelamatkan. Sekarang, jika penebusan adalah sejenis penciptaan dan suatu perpanjangannya (sesungguhnya, ini disebut “baru”), maka imam, pelayan penebusan, dan dalam terang keberadaannya menjadi sumber hidup baru, dengan demikian menjadi sarana penciptaan baru. Ini sudah mencukupi untuk merefleksikan keagungan pelayan tertahbis, tak tergantung dari kemampuan dan talenta-talenta, dari keterbatasan dan dari kemalangannya. Inilah yang menggerakkan Santo Fransiskus Assisi menulis Testamennya: “Aku bertekad untuk takut, mencintai dan menghormati mereka itu dan semua yang lain sebagai tuan-tuanku. Dan aku tidak ingin memperhitungkan dosa mereka, karena di dalam mereka aku melihat Anak Allah dan mereka adalah tuan-tuanku. Dan aku melakukan itu karena di dunia ini aku tidak bisa melihat Anak Allah yang mahatinggi dengan mataku sendiri kecuali dalam Tubuh dan Darah-Nya yang mahakudus yang mereka terima dan yang hanya mereka sendiri melayani bagi yang lain.” Itulah Tubuh dan Darah yang melahirkan umat manusia.

Pokok penting lainnya yang pada umumnya kurang digarisbawahi, namun darinya berasal semua implikasi praktis, adalah dimensi ontologis doa, yang di dalamnya Ibadat Harian menempati peran khusus. Sering ditekankan dalam tingkat liturgis bahwa ini merupakan semacam perpanjangan kurban Ekaristi (Mzm. 50: “Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku”), dan dalam tingkat yuridis bagaimana ini menjadi kewajiban tak terelakkan. Namun, dalam visi teologis

imamat tertahbis sebagai partisipasi ontologis pada

”kepemimpinan” Kristus, doa pelayan suci, terlepas dari keadaan moralnya, memiliki semua efek doa Kristus, dengan martabat yang sama dan kemanjuran yang sama. Selain itu, dengan otoritas yang telah diterima para pastor dari Putra Allah untuk “mendatangkan”

Surga terhadap persoalan-persoalan yang telah diputuskan di dunia demi pengudusan umat beriman (Mat. 18:18), doa sepenuhnya sesuai dengan perintah Tuhan untuk berdoa selalu, pada setiap saat, tanpa lelah (bdk. Luk 18:1; 21:36). Ini adalah poin yang perlu ditekankan. “Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya” (Yoh 9:31). Sekarang, siapakah yang lebih daripada Kristus sebagai pribadi menghormati Bapa dan secara sempurna memenuhi kehendak-Nya? Karena itu, jika imam bertindak in persona Christi dalam setiap kegiatan partisipasinya pada penebusan –dengan perbedaan-perbedaan yang semestinya: dalam pengajaran, dalam pengudusan, dalam membimbing umat beriman kepada keselamatan– tak ada apa pun dari kodratnya sebagai pendosa dapat mengaburkan kekuatan doanya. Tentu saja, hal ini dengan jelas tidak harus membuat kita mengurangi pentingnya perilaku moral yang sehat dari pelayan (sama seperti dari setiap orang yang dibaptis), yang ukurannya haruslah kekudusan Allah (Im. 20:8; 1Ptr. 1:15-16); sebaliknya, malah membantu untuk menegaskan bagaimana keselamatan datang dari Allah dan bagaimana Dia membutuhkan imam-imam untuk mengabadikannya dari waktu ke waktu, dan bahwa tidak perlu praktik-praktik askese yang sulit atau bentuk-bentuk khusus ungkapan spiritual, sehingga semua orang bisa menikmati hasil-hasil yang bermanfaat dari pengurbanan Kristus, juga melalui doa-doa para gembala, yang dipilih bagi mereka.

Sekali lagi ditegaskan pentingnya pembinaan imam yang harus integral, tanpa mengistimewakan satu aspek dan merugikan yang lain. Bagaimanapun, hakikat pembinaan Kristiani tidak boleh dipahami sebagai semacam ‘pelatihan’ yang menyentuh kemampuan rohani manusiawi (akal budi dan kehendak) yang di dalamnya bisa disebut perwujudan lahiriahnya. Pembinaan adalah transformasi dari diri pribadi yang sama, dan setiap perubahan ontologis, tidak bisa tidak, hanya Allah sendiri yang dapat

(14)

Surga terhadap persoalan-persoalan yang telah diputuskan di dunia demi pengudusan umat beriman (Mat. 18:18), doa sepenuhnya sesuai dengan perintah Tuhan untuk berdoa selalu, pada setiap saat, tanpa lelah (bdk. Luk 18:1; 21:36). Ini adalah poin yang perlu ditekankan. “Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya” (Yoh 9:31). Sekarang, siapakah yang lebih daripada Kristus sebagai pribadi menghormati Bapa dan secara sempurna memenuhi kehendak-Nya? Karena itu, jika imam bertindak in persona Christi dalam setiap kegiatan partisipasinya pada penebusan –dengan perbedaan-perbedaan yang semestinya: dalam pengajaran, dalam pengudusan, dalam membimbing umat beriman kepada keselamatan– tak ada apa pun dari kodratnya sebagai pendosa dapat mengaburkan kekuatan doanya. Tentu saja, hal ini dengan jelas tidak harus membuat kita mengurangi pentingnya perilaku moral yang sehat dari pelayan (sama seperti dari setiap orang yang dibaptis), yang ukurannya haruslah kekudusan Allah (Im. 20:8; 1Ptr. 1:15-16); sebaliknya, malah membantu untuk menegaskan bagaimana keselamatan datang dari Allah dan bagaimana Dia membutuhkan imam-imam untuk mengabadikannya dari waktu ke waktu, dan bahwa tidak perlu praktik-praktik askese yang sulit atau bentuk-bentuk khusus ungkapan spiritual, sehingga semua orang bisa menikmati hasil-hasil yang bermanfaat dari pengurbanan Kristus, juga melalui doa-doa para gembala, yang dipilih bagi mereka.

Sekali lagi ditegaskan pentingnya pembinaan imam yang harus integral, tanpa mengistimewakan satu aspek dan merugikan yang lain. Bagaimanapun, hakikat pembinaan Kristiani tidak boleh dipahami sebagai semacam ‘pelatihan’ yang menyentuh kemampuan rohani manusiawi (akal budi dan kehendak) yang di dalamnya bisa disebut perwujudan lahiriahnya. Pembinaan adalah transformasi dari diri pribadi yang sama, dan setiap perubahan ontologis, tidak bisa tidak, hanya Allah sendiri yang dapat

(15)

melakukannya, melalui Roh Kudus yang tugas-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam Credo, adalah “memberi hidup.” Pembinaan (Lat.

formatio) berasal dari kata “formare” yang berarti memberi bentuk kepada sesuatu, atau dalam hal ini pada Seseorang: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya” (Rom. 8:28-29). Oleh karena imam, seperti telah kita sebut di atas, adalah “co-creator”, maka pembinaannya menuntut suatu penyerahan luar biasa kepada karya Roh Kudus, dengan menghindari, meskipun untuk peningkatan talenta-talenta pribadi, jatuh dalam bahaya aktivisme, atau keyakinan bahwa keefektifan karya pastoralnya tergantung pada kecakapan-kecakapan pribadi. Setelah dipertimbangkan dengan baik, pokok itu tentu saja bisa memberi kepercayaan kepada mereka yang, di dunia yang secara luas tersekularisasi dan tuli akan tuntutan-tuntutan iman, bisa dengan sangat mudah jatuh ke dalam keputus-asaan, dan dari situ ke dalam sikap setengah-hati dalam pastoral dan asal-asalan, dan pada akhirnya mempertanyakan perutusan itu yang pada awalnya diterima dengan penuh antusias.

Pengetahuan yang baik tentang ilmu-ilmu manusia (khususnya filsafat dan bioetika) untuk menghadapi dengan berani tantangan-tantangan laisisme; penilaian dan penggunaan sarana-sarana komunikasi massa dalam meningkatkan efektivitas pewartaan Sabda; spiritualitas Ekaristi sebagai kekhususan spiritualitas imamat (Ekaristi adalah sakramen Kristus yang menjadi anugerah cinta yang total dan tanpa syarat kepada Bapa dan saudara-saudari-Nya, dan demikian juga seharusnya orang yang menjadi bagian dalam Kristus-anugerah), dan yang dari padanya tergantung makna selibat (yang ditentang oleh pendapat-pendapat tertentu karena disalahmengerti); hubungan dengan

hierarki Gereja dan persaudaraan imamat; cinta kepada Maria, Bunda para imam, yang perannya dalam tata keselamatan sangat besar, bukan sebagai unsur hiasan atau opsional, namun esensial. Hal-hal itu dan tema-tema lain berikutnya akan disampaikan dalam Direktorium ini, dalam suatu paradigma yang jelas dan lengkap, yang berguna untuk memurnikan ide-ide yang samar-samar atau melenceng tentang identitas dan fungsi pelayan Allah dalam Gereja dan di dunia. Karena itu, Direktorium ini lebih-lebih bisa membantu setiap imam untuk merasa bangga sebagai anggota istimewa rencana kasih Allah yang mengagumkan, yakni keselamatan umat manusia.

Mauro Card. Piacenza

Prefek

+ Celso Morga Iruzubieta

Uskup Agung tituler Alba marittima Sekretaris

(16)

hierarki Gereja dan persaudaraan imamat; cinta kepada Maria, Bunda para imam, yang perannya dalam tata keselamatan sangat besar, bukan sebagai unsur hiasan atau opsional, namun esensial. Hal-hal itu dan tema-tema lain berikutnya akan disampaikan dalam Direktorium ini, dalam suatu paradigma yang jelas dan lengkap, yang berguna untuk memurnikan ide-ide yang samar-samar atau melenceng tentang identitas dan fungsi pelayan Allah dalam Gereja dan di dunia. Karena itu, Direktorium ini lebih-lebih bisa membantu setiap imam untuk merasa bangga sebagai anggota istimewa rencana kasih Allah yang mengagumkan, yakni keselamatan umat manusia.

Mauro Card. Piacenza

Prefek

+ Celso Morga Iruzubieta

Uskup Agung tituler Alba marittima Sekretaris

(17)

PENGANTAR

Benediktus XVI, dalam pidatonya kepada peserta Konferensi yang diadakan oleh Kongregasi untuk Klerus, pada 12 Maret 2010, mengingatkan kembali bahwa “tema jati diri imam [...] sangat penting bagi pelaksanaan imamat pelayanan di masa sekarang dan masa depan.” Kata-kata ini menandai satu dari persoalan-persoalan utama hidup Gereja yaitu pemahaman tentang pelayanan tertahbis.

Beberapa tahun lalu, dengan menarik inspirasi dari pengalaman kaya Gereja berkaitan dengan pelayanan dan hidup para imam, yang diringkas dalam berbagai dokumen Magisterium1,

dan secara khusus dalam pokok-pokok Seruan apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis2, Dikasteri ini telah menerbitkan Direktorium tentang Pelayanan dan Hidup para Imam3. Penerbitan

dokumen ini saat itu menjawab kebutuhan dasar: “tugas pastoral evangelisasi baru yang mendesak memerlukan keterlibatan segenap Umat Allah, dan meminta semangat baru, metode-metode baru, serta pengungkapan baru untuk mewartakan Injil dan

1 Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatik tentang Gereja Lumen gentium:

AAS 57 (1965), 28; Dekret tentang Pendidikan para Imam Optatam totius:

AAS 58 (1966), 22; Dekret tentang tugas pastoral para Uskup Christus Dominus: AAS 58 (1966), 16; Dekret tentang tugas pelayanan dan hidup para imam Presbyterorum Ordinis: AAS 58 (1966), 991-1024; Paulus VI, Ensiklik Sacerdotalis caelibatus (24 Juni 1967): AAS 59 (1967), 657-697; Kongregasi Suci untuk Klerus, Surat Edaran Inter ea (4 November 1969): AAS 62 (1970), 123-134; Sinode para Uskup, Dokumen tentang imamat pelayanan Ultimis temporibus (30 November 1971): AAS 63 (1971), 898-922; Kitab Hukum Kanonik (25 Januari 1983), kan. 273-289; 232-264; 1008-1054; Kongregasi Suci untuk Pendidikan Katolik, Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis (19 Maret 1985), 101; Yohanes Paulus II, Surat

kepada para Imam dalam rangka Kamis Putih ; Katekese tentang para imam, dalam Audiensi umum 31 Maret sampai 22 September 1993.

2 Yohanes Paulus II, Anjuran apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis (25 Maret 1992): AAS 84 (1992), 657-804.

3 Kongregasi untuk Klerus, Direktorium untuk Pelayanan dan Hidup para Imam (31 Maret 1994), LEV, Kota Vatikan 1994.

memberi kesaksian tentangnya. Tugas itu membutuhkan imam-imam, yang secara mendalam dan sepenuhnya menghayati misteri Kristus, dan mampu mewujudkan corak baru hidup pastoral.”4

Pada tahun 1994, Direktorium tersebut di atas merupakan jawaban atas kebutuhan itu dan juga atas permintaan-permintaan yang disampaikan oleh banyak Uskup, baik selama Sinode tahun 1990, maupun dalam kesempatan konsultasi umum Episkopat yang diadakan oleh Dikasteri ini.

Sesudah tahun 1994, Magisterium dari Beato Yohanes Paulus II kaya dengan materi tentang imamat; suatu tema yang oleh Paus Benediktus XVI, pada gilirannya, telah diperdalam dengan berbagai pengajarannya. Tahun Imam 2009-2010 merupakan saat istimewa untuk merenungkan pelayanan imamat dan memajukan pembaruan rohani autentik para imam.

Akhirnya, dengan beralihnya kewenangan terhadap Seminari-seminari dari Kongregasi untuk Pendidikan Katolik kepada Dikasteri ini, Paus Benediktus XVI ingin menunjukkan dengan sangat jelas hubungan tak terpisahkan antara jati diri imamat dan pembinaan mereka yang dipanggil kepada pelayanan suci.

Karena itu, tampaknya perlu menyiapkan versi baru Direktorium, yang menghimpun Magisterium kaya yang lebih baru.5 Tentu saja, versi baru ini menghormati secara umum garis

4 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis, 18. 5 Bdk. misalnya, Yohanes Paulus II, Surat apostolik dalam bentuk motu

prorioMisericordia Dei(7 April 2002): AAS 94 (2002), 452-459; Ensiklik

Ecclesia de Eucharistia (17 April 2003): AAS 95 (2003), 433-475; Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores gregis (16 Oktober 2003): AAS 96 (2004), 825-924; Surat untuk Para Imam (1995-2002; 2004-2005); Benediktus XVI, Anjuran Apostolik pasca-sinode Sacramentum caritatis (22 Februari 2007): AAS 99 (2007), 105-180; Pesan kepada para peserta Kursus angkatan ke-20 untuk Forum internum internal, yang diadakan oleh Paenitentiaria Apostolica (12 Maret 2009): Insegnamenti V/1 (2009), 374-377; Pidato kepada para peserta sidang pleno Kongregasi untuk Klerus. (16 Maret 2009): Insegnamenti V/1 (2009), 391-394; Surat pemakluman Tahun Imam dalam rangka Peringatan 150 tahun “Dies natalis” Yohanes Maria Vianney (16

(18)

memberi kesaksian tentangnya. Tugas itu membutuhkan imam-imam, yang secara mendalam dan sepenuhnya menghayati misteri Kristus, dan mampu mewujudkan corak baru hidup pastoral.”4

Pada tahun 1994, Direktorium tersebut di atas merupakan jawaban atas kebutuhan itu dan juga atas permintaan-permintaan yang disampaikan oleh banyak Uskup, baik selama Sinode tahun 1990, maupun dalam kesempatan konsultasi umum Episkopat yang diadakan oleh Dikasteri ini.

Sesudah tahun 1994, Magisterium dari Beato Yohanes Paulus II kaya dengan materi tentang imamat; suatu tema yang oleh Paus Benediktus XVI, pada gilirannya, telah diperdalam dengan berbagai pengajarannya. Tahun Imam 2009-2010 merupakan saat istimewa untuk merenungkan pelayanan imamat dan memajukan pembaruan rohani autentik para imam.

Akhirnya, dengan beralihnya kewenangan terhadap Seminari-seminari dari Kongregasi untuk Pendidikan Katolik kepada Dikasteri ini, Paus Benediktus XVI ingin menunjukkan dengan sangat jelas hubungan tak terpisahkan antara jati diri imamat dan pembinaan mereka yang dipanggil kepada pelayanan suci.

Karena itu, tampaknya perlu menyiapkan versi baru Direktorium, yang menghimpun Magisterium kaya yang lebih baru.5 Tentu saja, versi baru ini menghormati secara umum garis

4 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis, 18. 5 Bdk. misalnya, Yohanes Paulus II, Surat apostolik dalam bentuk motu

prorioMisericordia Dei(7 April 2002): AAS 94 (2002), 452-459; Ensiklik

Ecclesia de Eucharistia (17 April 2003): AAS 95 (2003), 433-475; Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores gregis (16 Oktober 2003): AAS 96 (2004), 825-924; Surat untuk Para Imam (1995-2002; 2004-2005); Benediktus XVI, Anjuran Apostolik pasca-sinode Sacramentum caritatis (22 Februari 2007): AAS 99 (2007), 105-180; Pesan kepada para peserta Kursus angkatan ke-20 untuk Forum internum internal, yang diadakan oleh Paenitentiaria Apostolica (12 Maret 2009): Insegnamenti V/1 (2009), 374-377; Pidato kepada para peserta sidang pleno Kongregasi untuk Klerus. (16 Maret 2009): Insegnamenti V/1 (2009), 391-394; Surat pemakluman Tahun Imam dalam rangka Peringatan 150 tahun “Dies natalis” Yohanes Maria Vianney (16

(19)

besar dokumen asli, yang telah diterima dengan amat baik dalam Gereja, terutama oleh para imam sendiri. Dalam menyusun berbagai isi, telah dipertimbangkan usulan-usulan dari seluruh Keuskupan dunia, baik yang dikonsultasikan secara intensif, maupun yang muncul dalam seluruh kerja Kongregasi Pleno yang diadakan di Kota Vatikan, Oktober 1993, dan akhirnya, refleksi-refleksi dari banyak teolog, pakar hukum Gereja dan para ahli di bidang itu yang datang dari berbagai bagian dunia dan terlibat dalam situasi-situasi pastoral saat ini.

Dalam pembaruan Direktorium, telah diusahakan untuk meletakkan tekanan pada aspek-aspek paling relevan dari pengajaran magisterium tentang pelayanan suci yang dikembangkan dari tahun 1994 sampai zaman kita sekarang ini, dengan referensi-referensi pada dokumen-dokumen penting Beato Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI. Juga telah dipertahankan petunjuk-petunjuk praktis yang berguna untuk melakukan inisiatif, namun tanpa masuk ke dalam detail-detail yang hanya praktik-praktik lokal yang sah dan kondisi-kondisi nyata dari tiap-tiap Keuskupan dan Konferensi para Uskup akan dapat memberi saran tentang kebijaksanaan dan semangat para pastor.

Dalam iklim budaya saat ini, tepatlah mengingat kembali bahwa identitas imam, sebagai manusia milik Allah, tidaklah ketinggalan zaman dan tidak akan pernah. Tampaknya menguntungkan mengingat kembali unsur-unsur doktrinal mendasar yang ada pada inti jati diri, hidup rohani, dan bina lanjut para imam agar membantu memperdalam makna menjadi imam dan meningkatkan relasi eksklusifnya dengan Yesus Kristus, Kepala

Juni 2009): AAS 101 (2009), 569-579; Pidato kepada para peserta Kursus yang diadakan oleh Paenitentiaria Apostolica (11 Maret 2010): Insegnamenti VI/1 (2010), 318-321; Pidato kepada para peserta Konferensi Teologi yang diadakan oleh Kongregasi untuk Klerus (12 Maret 2010): AAS 102 (2010), 240; Vigilia dalam rangka Penutupan Tahun Imam (10 Juni 2010): AAS 102 (2010), 397-406; Surat kepada para seminaris (18 Oktober 2010): AAS 102 (2010), 793-798.

dan Gembala: ini tentu saja akan bermanfaat bagi seluruh keberadaan dan kegiatan imam.

Lebih lanjut, sebagaimana telah dikatakan dalam Pengantar pada edisi pertama Direktorium, demikian jugaversi baru tidak bermaksud menawarkan paparan lengkap tentang imamat tahbisan, tidak juga terbatas pada sekadar pengulangan murni dan sederhana tentang apa yang telah dinyatakan secara autentik oleh Magisterium Gereja; namun terlebih lagi, ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok tata doktrinal, tata tertib dan pastoral, yang dihadapkan kepada para imam oleh tantangan-tantangan evangelisasi baru, mengingat bahwa Paus Benediktus

XVI menghendaki membentuk Dewan Kepausan khusus.6

Demikianlah sebagai contoh, penekanan khusus telah diletakkan pada dimensi Kristologis identitas imam, demikian juga pada persekutuan, persahabatan dan persaudaraan imamat, yang dipandang sebagai hal-hal vital karena dampaknya terhadap kehidupan imam. Hal yang sama bisa dikatakan terhadap hidup rohani imam, sejauh itu didasarkan pada Sabda dan Sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi. Akhirnya, ditawarkan beberapa nasihat untuk bina lanjut yang sesuai, yang dipahami sebagai bantuan untuk memperdalam makna menjadi imam dan dengan demikian menghidupi panggilannya dengan sukacita dan tanggung jawab.

Direktorium ini adalah suatu dokumen untuk pembinaan dan pengudusan para imam di dunia yang tersekularisasi dan tak peduli dalam begitu banyak hal. Teks ini terutama ditujukan, melalui para Uskup, kepada semua imam Gereja Latin, kendati juga banyak isinya bisa bermanfaat bagi para imam dari ritus-ritus lain. Petunjuk-petunjuk yang termuat di dalamnya berkenaan secara khusus dengan para imam diosesan, walaupun banyak dari

6 Bdk. Benediktus XVI, Surat Apostolik dalam bentuk motu proprio Ubicumque et

semper, yang dengannya dibentuklah Dewan Kepausan untuk Memajukan Evangelisasi Baru (21 September 2010): AAS 102 (2010), 788-792.

(20)

dan Gembala: ini tentu saja akan bermanfaat bagi seluruh keberadaan dan kegiatan imam.

Lebih lanjut, sebagaimana telah dikatakan dalam Pengantar pada edisi pertama Direktorium, demikian jugaversi baru tidak bermaksud menawarkan paparan lengkap tentang imamat tahbisan, tidak juga terbatas pada sekadar pengulangan murni dan sederhana tentang apa yang telah dinyatakan secara autentik oleh Magisterium Gereja; namun terlebih lagi, ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok tata doktrinal, tata tertib dan pastoral, yang dihadapkan kepada para imam oleh tantangan-tantangan evangelisasi baru, mengingat bahwa Paus Benediktus

XVI menghendaki membentuk Dewan Kepausan khusus.6

Demikianlah sebagai contoh, penekanan khusus telah diletakkan pada dimensi Kristologis identitas imam, demikian juga pada persekutuan, persahabatan dan persaudaraan imamat, yang dipandang sebagai hal-hal vital karena dampaknya terhadap kehidupan imam. Hal yang sama bisa dikatakan terhadap hidup rohani imam, sejauh itu didasarkan pada Sabda dan Sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi. Akhirnya, ditawarkan beberapa nasihat untuk bina lanjut yang sesuai, yang dipahami sebagai bantuan untuk memperdalam makna menjadi imam dan dengan demikian menghidupi panggilannya dengan sukacita dan tanggung jawab.

Direktorium ini adalah suatu dokumen untuk pembinaan dan pengudusan para imam di dunia yang tersekularisasi dan tak peduli dalam begitu banyak hal. Teks ini terutama ditujukan, melalui para Uskup, kepada semua imam Gereja Latin, kendati juga banyak isinya bisa bermanfaat bagi para imam dari ritus-ritus lain. Petunjuk-petunjuk yang termuat di dalamnya berkenaan secara khusus dengan para imam diosesan, walaupun banyak dari

6 Bdk. Benediktus XVI, Surat Apostolik dalam bentuk motu proprio Ubicumque et

semper, yang dengannya dibentuklah Dewan Kepausan untuk Memajukan Evangelisasi Baru (21 September 2010): AAS 102 (2010), 788-792.

(21)

petunjuk itu, dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya, juga perlu diperhatikan oleh para imam anggota Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan.

Namun, sebagaimana telah disebutkan di awal, edisi baru Direktorium ini menyajikan suatu bantuan bagi para pembina Seminari dan para calon pelayan tertahbis. Seminari merupakan saat dan tempat bagi pertumbuhan dan pendewasaan pengetahuan akan misteri Kristus, dan dengannya, kesadaran bahwa sementara autentisitas kasih kita kepada Allah diukur secara lahiriah dengan kasih yang kita miliki bagi sesama dan saudara kita (bdk. 1Yoh 4:20-21), secara batiniah, kasih bagi Gereja adalah sejati hanya jika kasih itu merupakan buah dari ikatan mendalam dan eksklusif dengan Kristus. Karena itu, merefleksikan tentang imamat adalah sama seperti merenungkan tentang Dia yang bagi-Nya seseorang disiapkan untuk meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti-Nya (bdk. Mrk. 10:17-30). Dengan cara seperti ini karya pembinaan dikenali dalam hakikatnya dengan pengetahuan akan Putra Allah, yang melalui misi kenabian, imamat dan rajawi menuntun tiap-tiap orang kepada Bapa melalui Roh: “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef. 4:11-13).

Karena itu, diharapkan bahwa edisi baru Direktorium untuk Pelayanan dan Hidup para Imam ini bagi setiap orang yang dipanggil untuk mengambil bagian dalam imamat Kristus, Kepala dan Gembala, bisa menjadi sumber bantuan untuk memperdalam jati diri panggilannya sendiri dan berkembang dalam hidup batinnya; sumber dorongan dalam pelayanan dan dalam melaksanakan bina lanjutnya, yang menjadi tanggung jawab utama

setiap orang; sebagai pokok acuan bagi kerasulan yang kaya dan autentik demi kebaikan Gereja dan seluruh dunia.

Semoga Maria bisa menggemakan kembali di dalam hati kita, hari demi hari, dan secara khusus ketika kita mempersiapkan diri untuk merayakan Kurban di altar, kata-katanya pada perjamuan nikah di Kana di Galilea: “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” (Yoh. 2:5). Kita mempercayakan diri kita kepada Maria, Ibu para imam, dengan doa dari Paus Benediktus XVI:

“Ya Maria, Bunda Gereja,

kami para imam, ingin menjadi para gembala yang bukan menggembalakan diri kami sendiri,

namun memberikan diri kepada Allah bagi saudara-saudari kami,

dengan menemukan di dalamnya suka cita kami.

Tidak hanya dengan kata-kata, namun dengan hidup, kami ingin dengan rendah hati mengulangi dari hari ke hari, kesiap-sediaan kami, “inilah aku.”

Dengan bimbinganmu, kami ingin menjadi Rasul-rasul Kerahiman Ilahi,

yang senang merayakan Kurban Kudus di Altar setiap hari dan melayani mereka yang meminta sakramen Rekonsiliasi. O Penolong dan Pengantara rahmat,

engkau yang telah dipersatukan dalam satu-satunya kepengantaraan universal Kristus,

mohonkanlah kepada Allah bagi kami, hati yang sungguh baru,

yang mengasihi Allah dengan segenap kekuatan

dan melayani umat manusia seperti yang engkau lakukan. Ulangilah kata-katamu yang penuh daya kepada Tuhan: “mereka kehabisan anggur”, sehingga Bapa dan Putra

(22)

setiap orang; sebagai pokok acuan bagi kerasulan yang kaya dan autentik demi kebaikan Gereja dan seluruh dunia.

Semoga Maria bisa menggemakan kembali di dalam hati kita, hari demi hari, dan secara khusus ketika kita mempersiapkan diri untuk merayakan Kurban di altar, kata-katanya pada perjamuan nikah di Kana di Galilea: “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” (Yoh. 2:5). Kita mempercayakan diri kita kepada Maria, Ibu para imam, dengan doa dari Paus Benediktus XVI:

“Ya Maria, Bunda Gereja,

kami para imam, ingin menjadi para gembala yang bukan menggembalakan diri kami sendiri,

namun memberikan diri kepada Allah bagi saudara-saudari kami,

dengan menemukan di dalamnya suka cita kami.

Tidak hanya dengan kata-kata, namun dengan hidup, kami ingin dengan rendah hati mengulangi dari hari ke hari, kesiap-sediaan kami, “inilah aku.”

Dengan bimbinganmu, kami ingin menjadi Rasul-rasul Kerahiman Ilahi,

yang senang merayakan Kurban Kudus di Altar setiap hari dan melayani mereka yang meminta sakramen Rekonsiliasi. O Penolong dan Pengantara rahmat,

engkau yang telah dipersatukan dalam satu-satunya kepengantaraan universal Kristus,

mohonkanlah kepada Allah bagi kami, hati yang sungguh baru,

yang mengasihi Allah dengan segenap kekuatan

dan melayani umat manusia seperti yang engkau lakukan. Ulangilah kata-katamu yang penuh daya kepada Tuhan: “mereka kehabisan anggur”, sehingga Bapa dan Putra

(23)

mencurahkan ke atas kami Roh Kudus, seperti dalam pencurahan baru.”7

7 Benediktus XVI, Doa pembaktian dan persembahan para imam kepada Hati

Mariayang Tak Bernoda (12 Mei 2010): Insegnamenti VI/1 (2010), 690-691.

I. JATI DIRI IMAM

Dalam Seruan apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis,

Beato Yohanes Paulus II menggambarkan tentang identitas imam: “Dalam Gereja dan demi Gereja, imam secara sakramental menghadirkan Yesus Kristus, Sang Kepala dan Gembala, dengan berwibawa mewartakan Sabda-Nya, mengulangi tindakan-Nya mengampuni dosa dan korban-Nya yang mendatangkan keselamatan, khususnya dalam Sakramen Baptis, Tobat dan Ekaristi, dengan memperlihatkan perhatian-Nya yang penuh kasih hingga penyerahan diri sepenuhnya demi kawanan, yang telah mereka himpun, dan mereka bimbing menuju Bapa melalui Kristus dan dalam Roh.”8

Imamat sebagai karunia

1. Seluruh Gereja telah mengambil bagian dalam pengurapan imamat Kristus dalam Roh Kudus. Sesungguhnya dalam Gereja, “semua orang beriman menjadi Imamat kudus dan rajawi, mempersembahkan korban-korban rohani kepada Allah melalui Yesus Kristus, dan mewartakan kekuatan Dia, yang memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang mengagumkan (bdk. 1Ptr. 2:5,9).”9 Dalam Kristus, semua Tubuh mistik-Nya

disatukan kepada Bapa melalui Roh Kudus demi keselamatan semua manusia.

Namun Gereja tidak bisa mengerjakan sendiri misi itu: segenap kegiatannya secara intrinsik memerlukan persekutuan dengan Kristus, Kepala Tubuh-Nya. Gereja, disatukan secara tak terpisahkan dengan Tuhannya, dari Dia sendiri ia menerima dengan tiada hentinya pencurahan rahmat dan kebenaran, bimbingan dan dukungan (bdk. Kol. 2:19), agar bisa menjadi bagi

8 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis, 15. 9 Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekret Presbyterorum Ordinis, 2.

(24)

I. JATI DIRI IMAM

Dalam Seruan apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis,

Beato Yohanes Paulus II menggambarkan tentang identitas imam: “Dalam Gereja dan demi Gereja, imam secara sakramental menghadirkan Yesus Kristus, Sang Kepala dan Gembala, dengan berwibawa mewartakan Sabda-Nya, mengulangi tindakan-Nya mengampuni dosa dan korban-Nya yang mendatangkan keselamatan, khususnya dalam Sakramen Baptis, Tobat dan Ekaristi, dengan memperlihatkan perhatian-Nya yang penuh kasih hingga penyerahan diri sepenuhnya demi kawanan, yang telah mereka himpun, dan mereka bimbing menuju Bapa melalui Kristus dan dalam Roh.”8

Imamat sebagai karunia

1. Seluruh Gereja telah mengambil bagian dalam pengurapan imamat Kristus dalam Roh Kudus. Sesungguhnya dalam Gereja, “semua orang beriman menjadi Imamat kudus dan rajawi, mempersembahkan korban-korban rohani kepada Allah melalui Yesus Kristus, dan mewartakan kekuatan Dia, yang memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang mengagumkan (bdk. 1Ptr. 2:5,9).”9 Dalam Kristus, semua Tubuh mistik-Nya

disatukan kepada Bapa melalui Roh Kudus demi keselamatan semua manusia.

Namun Gereja tidak bisa mengerjakan sendiri misi itu: segenap kegiatannya secara intrinsik memerlukan persekutuan dengan Kristus, Kepala Tubuh-Nya. Gereja, disatukan secara tak terpisahkan dengan Tuhannya, dari Dia sendiri ia menerima dengan tiada hentinya pencurahan rahmat dan kebenaran, bimbingan dan dukungan (bdk. Kol. 2:19), agar bisa menjadi bagi

8 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis, 15. 9 Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekret Presbyterorum Ordinis, 2.

(25)

semua dan setiap orang “tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh Umat manusia.”10

Imamat pelayanan menemukan alasan keberadaannya dalam terang kesatuan vital dan operatif Gereja dengan Kristus. Sebagai akibatnya, melalui pelayanan itu, Tuhan melanjutkan untuk melaksanakan di tengah umat-Nya pekerjaan yang hanya milik-Nya sebagai Kepala Tubuh-Nya. Karena itu, imamat pelayanan membuat tindakan yang pantas bagi Kristus Kepala menjadi nyata dan memberi kesaksian bahwa Kristus tidak menjauh dari Gereja, namun terus menghidupkannya dengan imamat-Nya yang kekal. Untuk itu, Gereja memandang imamat pelayanan sebagai karunia

yang diberikan kepadanya dalam pelayanan beberapa orang berimannya.

Karunia itu, yang diadakan oleh Kristus untuk melanjutkan misi penyelamatan-Nya, pada awalnya dianugerahkan kepada para Rasul dan berlanjut dalam Gereja melalui para Uskup sebagai penerus mereka yang, pada gilirannya, meneruskannya ke tingkat yang lebih rendah kepada para imam, sebagai rekan kerja para Uskup. Itulah mengapa identitas para imam dalam Gereja lahir dari penyesuaiannya pada misi Gereja, yang bagi para imam, pada gilirannya, diwujudkan dalam persekutuan dengan Uskupnya.11

“Karena itu, panggilan imamat merupakan panggilan yang sangat tinggi, yang tetap sebagai Misteri besar, juga bagi kita yang telah menerimanya sebagai karunia. Keterbatasan-keterbatasan dan kelemahan-kelemahan kita harus menuntun kita untuk menghayati dan menjaga dengan iman yang mendalam karunia berharga itu. Dengan imamat itu Kristus telah menyerupakan kita dengan diri-Nya, dengan mengikutsertakan kita dalam misi penyelamatan-Nya.”12

10 Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen gentium, 1. 11 Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekret Presbyterorum Ordinis, 2.

12 Benediktus XVI, Pidato kepada peserta Konferensi Teologi yang diadakan

Kongregasi untuk Klerus (12 Maret 2010): l.c., 242.

Akar-akar sakramental

2. Melalui tahbisan sakramental yang diberikan dengan penumpangan tangan serta doa penahbisan yang diucapkan oleh Uskup, ditetapkan dalam jabatan imam “ikatan ontologis (keberadaan) khusus, yang menyatukan imam dengan Kristus Sang Imam Agung dan Gembala Baik.”13

Dengan demikian, jati diri imam berasal dari partisipasi khas dalam Imamat Kristus. Di situ orang yang ditahbiskan, dalam Gereja dan untuk Gereja, menjadi gambaran yang nyata, hidup dan jelas dari Kristus sang Imam, “secara sakramental menghadirkan Yesus Kristus, Sang Kepala dan Gembala.”14 Melalui penahbisan,

imam “dikaruniai ‘kuasa rohani’, yaitu keikutsertaan dalam kewibawaan Yesus Kristus, membimbing Gereja melalui Roh-Nya.”15

Identifikasi sakramental dengan Imam Agung dan Kekal itu secara istimewa memasukkan imam ke dalam misteri Tritunggal dan, melalui misteri Kristus, ke dalam persekutuan pelayanan Gereja untuk melayani Umat Allah16, bukan seperti petugas

urusan-urusan keagamaan, melainkan seperti Kristus “yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28). Karena itu, hal ini tidak mengejutkan bahwa “prinsip batin, daya kekuatan yang menjiwai dan menuntun hidup rohani imam dalam keserupaannya dengan Kristus Sang Kepala dan Gembala, ialah cinta kasih pastoral, sebagai partisipasi dalam cinta kasih pastoral Yesus Kristus sendiri, suatu karunia yang dalam kemurahan semata-mata dianugerahkan oleh Roh Kudus, sekaligus suatu tugas

13 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis, 11. 14 Ibid., 15.

15 Ibid., 21; Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekret Presbyterorum Ordinis, 2; 12. 16 Bdk. ibid., 12.

(26)

Akar-akar sakramental

2. Melalui tahbisan sakramental yang diberikan dengan penumpangan tangan serta doa penahbisan yang diucapkan oleh Uskup, ditetapkan dalam jabatan imam “ikatan ontologis (keberadaan) khusus, yang menyatukan imam dengan Kristus Sang Imam Agung dan Gembala Baik.”13

Dengan demikian, jati diri imam berasal dari partisipasi khas dalam Imamat Kristus. Di situ orang yang ditahbiskan, dalam Gereja dan untuk Gereja, menjadi gambaran yang nyata, hidup dan jelas dari Kristus sang Imam, “secara sakramental menghadirkan Yesus Kristus, Sang Kepala dan Gembala.”14 Melalui penahbisan,

imam “dikaruniai ‘kuasa rohani’, yaitu keikutsertaan dalam kewibawaan Yesus Kristus, membimbing Gereja melalui Roh-Nya.”15

Identifikasi sakramental dengan Imam Agung dan Kekal itu secara istimewa memasukkan imam ke dalam misteri Tritunggal dan, melalui misteri Kristus, ke dalam persekutuan pelayanan Gereja untuk melayani Umat Allah16, bukan seperti petugas

urusan-urusan keagamaan, melainkan seperti Kristus “yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28). Karena itu, hal ini tidak mengejutkan bahwa “prinsip batin, daya kekuatan yang menjiwai dan menuntun hidup rohani imam dalam keserupaannya dengan Kristus Sang Kepala dan Gembala, ialah cinta kasih pastoral, sebagai partisipasi dalam cinta kasih pastoral Yesus Kristus sendiri, suatu karunia yang dalam kemurahan semata-mata dianugerahkan oleh Roh Kudus, sekaligus suatu tugas

13 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis, 11. 14 Ibid., 15.

15 Ibid., 21; Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekret Presbyterorum Ordinis, 2; 12. 16 Bdk. ibid., 12.

(27)

dan panggilan, yang mengundang tanggapan yang bebas disertai kesanggupan penuh dari pihak imam.”17

Pada saat yang sama, janganlah dilupakan bahwa setiap imam adalah unik sebagai pribadi, dan memiliki cara beradanya sendiri. Setiap orang adalah unik dan tak tergantikan. Allah tidak membatalkan kepribadian imam, sebaliknya, Ia menghendakinya dalam keseluruhannya, dengan ingin menggunakannya – sesungguhnya rahmat dibangun di atas kodrat– sehingga imam bisa menyampaikan kebenaran-kebenaran yang paling mendalam dan berharga melalui ciri-cirinya, yang dihargai Allah dan juga orang-orang lain harus menghargainya.

1.1. Dimensi Triniter

Dalam persekutuan dengan Bapa, Putra dan Roh

3. Setiap orang Kristiani, melalui baptisan, masuk dalam persekutuan dengan Allah, Esa dan Tritunggal yang

mengomunikasikan hidup ilahi-Nya kepadanya untuk

menjadikannya anak angkat-Nya dalam Putra Tunggal-Nya; karena itu, dia dipanggil untuk mengenal Allah sebagai Bapa, dan, melalui keadaannya sebagai anak Allah untuk mengalami pemeliharaan Bapa yang tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya. Bila hal ini benar bagi setiap orang Kristiani, maka juga benar bahwa, berkat rahmat tahbisan yang diterima dengan sakramen Tahbisan Suci, imam ditempatkan dalam relasi istimewa dan khusus dengan Bapa, dengan Putra dan dengan Roh Kudus. Sesungguhnya, “jati diri kita memiliki sumber utamanya dari cinta kasih Bapa. Dengan Putra, yang oleh Bapa diutus sebagai Imam Agung dan Gembala Baik, kita secara sakramental dipersatukan dalam imamat ministerial melalui

17 Ibid., 23.

tindakan Roh Kudus. Hidup maupun pelayanan imam merupakan kelanjutan hidup dan tindakan Kristus sendiri. Itulah jati diri kita, martabat kita yang sesungguhnya, sumber sukacita kita, jaminan hidup kita.”18

Oleh karena itu, jati diri, pelayanan dan keberadaan imam secara hakiki berhubungan dengan Tritunggal Mahakudus, bagi pelayanan imamat kepada Gereja dan kepada semua manusia.

Dalam dinamika triniter keselamatan

4. Imam, “sebagai keberlangsungan yang nampak serta lambang Sakramental Kristus dalam posisi-Nya di hadapan Gereja dan dunia, sebagai sumber keselamatan yang lestari dan tetap segar”19,

menemukan dirinya masuk dalam dinamika triniter dengan suatu tanggung jawab khusus. Jati dirinya bersumber pada ministerium verbi et sacramentorum (pelayanan Sabda dan Sakramen-sakramen), yang berada dalam hubungan hakiki dengan misteri cinta kasih penyelamatan Bapa (Bdk. Yoh. 17:6-9,24; 1Kor. 1:1; 2Kor. 1:1), dengan keberadaan imamat Kristus, yang secara pribadi memilih dan memanggil para pelayan-Nya supaya bersama dengan-Nya (bdk. Mrk. 3:15), dan dengan karunia Roh (bdk. Yoh. 20:21), yang menyampaikan kepada imam kuasa yang diperlukan untuk menyalurkan hidup kepada banyak putra-putri Allah, yang dipanggil ke dalam satu Umat-Nya dan berjalan menuju kepada Kerajaan Bapa.

18 Ibid., 18; Pesan Para Bapa Sinode kepada Umat Allah (28 Oktober 1990), III: “L’Osservatore Romano”, 29-30 Oktober 1990.

(28)

tindakan Roh Kudus. Hidup maupun pelayanan imam merupakan kelanjutan hidup dan tindakan Kristus sendiri. Itulah jati diri kita, martabat kita yang sesungguhnya, sumber sukacita kita, jaminan hidup kita.”18

Oleh karena itu, jati diri, pelayanan dan keberadaan imam secara hakiki berhubungan dengan Tritunggal Mahakudus, bagi pelayanan imamat kepada Gereja dan kepada semua manusia.

Dalam dinamika triniter keselamatan

4. Imam, “sebagai keberlangsungan yang nampak serta lambang Sakramental Kristus dalam posisi-Nya di hadapan Gereja dan dunia, sebagai sumber keselamatan yang lestari dan tetap segar”19,

menemukan dirinya masuk dalam dinamika triniter dengan suatu tanggung jawab khusus. Jati dirinya bersumber pada ministerium verbi et sacramentorum (pelayanan Sabda dan Sakramen-sakramen), yang berada dalam hubungan hakiki dengan misteri cinta kasih penyelamatan Bapa (Bdk. Yoh. 17:6-9,24; 1Kor. 1:1; 2Kor. 1:1), dengan keberadaan imamat Kristus, yang secara pribadi memilih dan memanggil para pelayan-Nya supaya bersama dengan-Nya (bdk. Mrk. 3:15), dan dengan karunia Roh (bdk. Yoh. 20:21), yang menyampaikan kepada imam kuasa yang diperlukan untuk menyalurkan hidup kepada banyak putra-putri Allah, yang dipanggil ke dalam satu Umat-Nya dan berjalan menuju kepada Kerajaan Bapa.

18 Ibid., 18; Pesan Para Bapa Sinode kepada Umat Allah (28 Oktober 1990), III: “L’Osservatore Romano”, 29-30 Oktober 1990.

(29)

Hubungan mesra dengan Tritunggal

5. Dari situlah dipahami ciri identitas imamat yang secara hakiki bersifat relasional (bdk. Yoh. 17:11,21).20

Rahmat dan ciri tak terhapuskan yang dikaruniakan dengan pengurapan sakramental Roh Kudus21, menempatkan imam dalam

relasi personal dengan Tritunggal, karena itulah sumber keberadaan dan tindakan imamat.

Sejak awal, Dekret konsili Presbyterorum Ordinis,

menekankan relasi mendasar antara imam dan Tritunggal Mahakudus, dengan menyebutkan dengan jelas tiga Pribadi Ilahi: “Karena fungsi para imam tergabungkan pada Tingkat para Uskup, fungsi itu ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya. Oleh karena itu, imamat para imam biasa memang mengandaikan Sakramen-sakramen inisiasi Kristiani, tetapi secara khas diterimakan melalui Sakramen, yang melambangkan, bahwa para imam, berkat pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala. [...] Maka tujuan yang mau dicapai oleh para imam melalui pelayanan maupun hidup mereka yakni kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus.”22

Oleh karena itu, imam hendaklah menghayati hubungan itu secara mesra dan pribadi, dalam dialog sembah-sujud dan cinta dengan Tiga Pribadi ilahi, seraya menyadari bahwa ia telah menerima karunia itu untuk melayani semua orang.

20 Bdk. ibid., 12.

21 Bdk. Konsili Ekumenis Tridentin, Sessi XXIII, De sacramento Ordinis: DS, 1763-1778; Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis, 11-18; Audiensi Umum (31 Maret 1993): Insegnamenti XVI/1, 784-797. 22 Konsili Ekumenis Vatikan II, Dekret Presbyterorum Ordinis, 2.

1.2 Dimensi Kristologis

Jati diri khas

6. Dimensi kristologis, seperti dimensi triniter, langsung bersumber pada sakramen yang secara ontologis menyerupakan imam dengan Kristus sang Imam, Guru, Pengudus dan Gembala Umat-Nya.23 Lebih lanjut, para imam mengambil bagian dalam

satu-satunya imamat Kristus sebagai rekan kerja para Uskup: penetapan ini secara khusus bersifat sakramental dan karena itu tidak bisa ditafsirkan melulu dalam istilah-istilah “organisatoris.”

Bagi umat beriman, yang tetap mempunyai imamat umum atau pembaptisan, dipilih dan ikut serta dalam imamat pelayanan, dianugerahi keikutsertaan yang tak terhapuskan dalam imamat Kristus yang sama dan satu dalam dimensi publik kepengantaraan dan kewenangan mengenai pengudusan, pengajaran dan bimbingan bagi seluruh Umat Allah. Maka, jika, di satu pihak, imamat umum umat beriman dan imamat pelayanan atau hierarkis seharusnya saling terarahkan, sebab masing-masing dengan caranya sendiri ikut serta dalam imamat tunggal Kristus, di pihak lain keduanya berlainan secara hakiki dan tidak hanya dalam tingkat.24

Dalam arti itu, jati diri imam adalah baru dibandingkan dengan jati diri semua orang Kristiani yang, melalui Baptis ikut serta secara keseluruhan dalam satu-satunya imamat Kristus, dan dipanggil untuk memberi kesaksian tentang Kristus di seluruh dunia.25 Namun, kekhususan imamat pelayanan didefinisikan

23 Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen gentium, 18-31; Dekret Presbyterorum Ordinis, 2; KHK., kan. 1008.

24 Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen gentium, 10; Dekret Presbyterorum Ordinis, 2.

25 Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II., Dekret Apostolicam actuositatem: AAS 58 (1966), 3; Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Christifideles laici (30 Desember 1988), 14: AAS 81 (1989), 409-413.

(30)

1.2 Dimensi Kristologis

Jati diri khas

6. Dimensi kristologis, seperti dimensi triniter, langsung bersumber pada sakramen yang secara ontologis menyerupakan imam dengan Kristus sang Imam, Guru, Pengudus dan Gembala Umat-Nya.23 Lebih lanjut, para imam mengambil bagian dalam

satu-satunya imamat Kristus sebagai rekan kerja para Uskup: penetapan ini secara khusus bersifat sakramental dan karena itu tidak bisa ditafsirkan melulu dalam istilah-istilah “organisatoris.”

Bagi umat beriman, yang tetap mempunyai imamat umum atau pembaptisan, dipilih dan ikut serta dalam imamat pelayanan, dianugerahi keikutsertaan yang tak terhapuskan dalam imamat Kristus yang sama dan satu dalam dimensi publik kepengantaraan dan kewenangan mengenai pengudusan, pengajaran dan bimbingan bagi seluruh Umat Allah. Maka, jika, di satu pihak, imamat umum umat beriman dan imamat pelayanan atau hierarkis seharusnya saling terarahkan, sebab masing-masing dengan caranya sendiri ikut serta dalam imamat tunggal Kristus, di pihak lain keduanya berlainan secara hakiki dan tidak hanya dalam tingkat.24

Dalam arti itu, jati diri imam adalah baru dibandingkan dengan jati diri semua orang Kristiani yang, melalui Baptis ikut serta secara keseluruhan dalam satu-satunya imamat Kristus, dan dipanggil untuk memberi kesaksian tentang Kristus di seluruh dunia.25 Namun, kekhususan imamat pelayanan didefinisikan

23 Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen gentium, 18-31; Dekret Presbyterorum Ordinis, 2; KHK., kan. 1008.

24 Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen gentium, 10; Dekret Presbyterorum Ordinis, 2.

25 Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II., Dekret Apostolicam actuositatem: AAS 58 (1966), 3; Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Christifideles laici (30 Desember 1988), 14: AAS 81 (1989), 409-413.

(31)

bertolak bukan dari anggapan “keunggulan”-nya terhadap imamat umum, melainkan dari pelayanan, yang merupakan panggilan untuk dilaksanakan demi semua umat beriman, agar mereka bisa tetap setia pada kepengantaraan dan pada kekuasaan Kristus, yang ditampakkan oleh pelaksanaan imamat pelayanan.

Dalam jati diri kristologisnya yang khusus itu, imam harus menyadari bahwa hidupnya adalah suatu misteri yang sepenuhnya dimasukkan ke dalam misteri Kristus dan Gereja secara baru dan bahwa itu melibatkannya sepenuhnya dalam pelayanan pastoral dan memberi makna bagi hidupnya.26 Kesadaran akan jati dirinya

ini sangat penting dalam konteks budaya yang tersekularisasi di zaman ini, di mana “imam tampak ‘asing’ menurut pandangan umum. Hal ini justru karena aspek-aspek paling fundamental pelayanannya, seperti menjadi orang dari hal-hal suci, ditarik dari dunia untuk menjadi pengantara dunia dan diangkat dalam misi ini oleh Allah dan bukan oleh manusia (bdk. Ibr. 5:1).”27

7. Kesadaran semacam ini –yang berlandaskan ikatan ontologis dengan Kristus– menjauhkan dari pemahaman-pemahaman “fungsionalistis” yang memandang imam hanya seperti pekerja sosial atau pelaksana ritus-ritus suci “dengan risiko mengkhianati Imamat Kristus sendiri”28 dan mereduksi hidup imam sekadar

sebagai pemenuhan kewajiban-kewajiban. Semua orang memiliki suatu kerinduan religius alami, yang membedakannya dari setiap makhluk hidup lainnya dan yang membuat mereka menjadi para pencari Allah. Karena itu, orang-orang mencari imam sebagai manusia milik Allah, yang dalam diri imam itu mereka dapat menemukan Sabda-Nya, Belas kasih-Nya dan Roti dari surga yang “memberi Hidup kepada dunia” (Yoh. 6:33): “Allah adalah

26 Bdk. Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Pastores dabo vobis, 13-14; Audiensi umum (31 Maret 1993).

27 Benediktus XVI, Pidato kepada peserta Konferensi Teologi yang diadakan oleh

Kongregasi untuk Klerus (12 Maret 2010). 28 Ibid.

satunya kekayaan yang, pada akhirnya, semua orang harapkan ditemukan pada seorang imam.”29

Dengan menyadari jati dirinya, imam, berhadapan dengan eksploitasi, penderitaan atau tekanan, mentalitas sekuler dan relativistik yang menimbulkan keraguan pada kebenaran-kebenaran fundamental iman kita, atau begitu banyak situasi lain budaya post-modern, akan melihat kesempatan-kesempatan untuk melaksanakan pelayanan khususnya sebagai gembala yang dipanggil untuk mewartakan Injil ke dunia. Imam “dipilih dari antara manusia, ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah” (Ibr. 5:1). Di hadapan jiwa-jiwa, ia mewartakan misteri Kristus, yang hanya dalam terang itulah misteri manusia dipahami sepenuhnya.30

Pengudusan dan misi

8. Kristus menghubungkan para Rasul ke dalam misi-Nya sendiri. “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 20:21). Dalam Tahbisan kudus sendiri dimensi misioner hadir secara ontologis. Imam dipilih, dikuduskan dan diutus untuk secara efektif melaksanakan misi kekal Kristus itu pada zaman kita.31 Ia menjadi wakil dan utusan-Nya yang autentik.

Ini bukan semata-mata fungsi perwakilan ekstrinsik, melainkan menjadi sarana nyata untuk penyampaian rahmat Penebusan: “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku” (Luk. 10:16).

29 Benediktus XVI, Pidato kepada peserta sidang pleno Kongregasi untuk

Klerus(16 Maret 2009).

30 Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Gaudium et spes, 22: AAS 58 (1966), 1042.

31 Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Deklarasi Dominus Iesus tentang satu-satunya dan universalitas penyelamatan Yesus Kristus dan Gereja (6 Agustus 2000), 13-15: AAS 92 (2000), 754-756.

Referensi

Dokumen terkait

terhadap kinerja guru. 3) Terdapat pengaruh positif budaya organisasi dan motivasi terhadap kinerja guru. 4) Terdapat pengaruh positif budaya organisasi terhadap

Berdasarkan teori dan data yang ada di atas, penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana Pengaruh Penerapan Logoterapi Terhadap Kebermaknaan Hidup Pada Lansia di

memperoleh ijazah al-alamiyah ( setingkat Doktor). Setelah lulus dan mendapatkan gelar Doktor as-Syaikh Ahmad ad-Daur melamar pekerjaan di sebuah lembaga pendidikan

Kebutuhan system pencahayaan alami (matahari) dan buatan pada suatu ruangan harus di pertimbangkan karena berkaitan erat dengan kegiatan yang di

Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda eksperimental dengan melakukan pembuatan benda uji di laboratorium dari berbagai komponen bangunan (bata beton

Calon penerima KUR adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang produktif, anggota keluarga dari karyawan/karyawati yang berpenghasilan tetap, TKI yang purna dari bekerja di

Nilai pada petandingan kumite dapat didefinisikan sebagai suatu hasil yang diperoleh jika atlet yang bertanding mampu memasukkan pukulan atau tendangan sasaran pada tubuh lawan

Kesalahan konseptual yang dilakukan oleh siswa meliputi (1) kesalahan konsep yaitu kesalahan mengubah bentuk bilangan bulat menjadi pecahan dan kesalahan