BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Teori Pemberdayaan
Menurut teori Ilmu Jiwa, bahwa manusia memiliki berbagai daya, yakni daya atau kekuatan berfikir, bersikap, dan bertindak. Daya-daya itulah yang harus ditumbuhkembangkan pada manusia dan kelompok manusia dan kelompok manusia agar tingkat berdayanya optimal untuk mengubah diri dan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnyaadalah sama dengan pembangunan masyarakat yang berkembang antara lain:
1. Pendekatan pada masyarakat secara menyeluruh. Pendekatan ini menurut partisipasi yang luas, masyarakat sebagai konsep sentral, serta
memerlukan pendekatan holistik. 2. Pendekatan berdasarkan kemandirian. 3. Pendekatan pemecahan masalah tertentu. 4. Pendekatan demonstratif.
5. Pendekatan eksperimental. 6. Pendekatan konflik kekuasaan.
Pembangunan selama ini telah melahirkan sejumlah “pelayanan kepada masyarakat”: sementara itu pembangunan yang berorientasi pemberdayaan masyarakat akan melahirkan “masyarakat kedalam layanana”. Memberdayakan masyarakat bukan sekedar “memobilisasi masyarakat untuk ambil bagian”; melainkan untuk “mengejar jaringan kemitraan”. Focus pemberdayaan masyarakat berorientasi pada keluarga. Pemberdayaan ini berisikan: (1) membangun kapasitas internal keluarga (pengetahuan, keterampilan, sikap, dan sebagainya; (2) mengubah kepercayaan dan prilaku yang menghambat kemajuan (perkawinan usia dini, pelanggaran disiplin, dan kriminalitas); dan (3) memperkuat nilai-nilai tradisional yang kondusif untuk pembangunan (gotong royong, rasa hormat), dan penyaringan nilai-nilai baru. Strategi
pemberdayaan masyarakat dan keluarga serta membangun kemitraan perlu didasarkan pada hal-hal berikut:
a) Analisis yang jelas tentang situasi masyarakat (yang sangat heterogen) yang akan diberdayakan.
b) Pemilihan kelompok sasaran yang seksama; dengan mereka akan dikembangkan kemitraan untuk menjamin tidak memilih mereka yang telah diberdayakan.
c) Mekanisme dibentuk untuk menjamin keterlibatan anggota masyarakat yang tersisih (kelompok marjinal), misalnya kuota keanggotaan wanita dalam lembaga pembangunan setempat.
d) Unit-unit organisasi lokal yang ada disesuaikan untuk mewadahi agar ikut dalam proses penciptaan struktur-struktur baru.
Kegiatan pembangunan yang bersifat multidimensional yang mengakibatkan adanya interdepndensi antar aktor kunci menuntut adanya kemitraan yang kuat dan harus didasari rasa saling percaya dan saling menguatkan. Pola kemitraan hanya bisa diraih dengan berdayanya elemen dara individu, keluarga, dan masyarakat. Proses pemberdayaan masyarakat (
community empowerment) merupakan upaya membantu masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya sendiri sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dengan memberikan kewenangan (power), aksesibilitas terhadap sumberdaya dan lingkungan yang akomodatif (Zimmerman, 1996. Ress, 1991). Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan dalam pembangunan secara partisipatif kiranya sangat sesuai dan dapat dipakai untuk mengantisipasi timbulnya perubahan-perubahan dalam masyarakat beserta lingkungan strategisnya. Sebagai konsep dasar pembangunan partisipatif adalah melakukan upaya pembangunan atas dasar pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat mampu untuk berkembang dan mengatasi permasalahannya sendiri secara mandiri, berkesimambungan dan berkelanjutan (Sumaryo Gitosaputro, kordyana K. Rangga: 2015: 27-29).
Keberdayaan ekonomi masyarakat merupakan perwujudan peningkatan harkat dan martabat lapisan masyarakat untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Langkah ini menjadi bagian dalam meningkatkan kemampuan dan peningkatan kemandirian ekonomi masyarakat. Pemberdayaan ekonomi masyarakat membutuhkan partisipasi aktif dan kreatif. Menurut Samuel Paul (1987-24), partisipasi aktif dan kreatif dinyatakan sebagai “participation referes to an active process where by beneficiaries influence the direction and axecution of development projects rather than merely receive a shere of project benefits” (partisipasi mengacu pada sebuah
proses aktif yang dengannya kelompok sasaran bisa mempengaruhi arah dan pelaksanaan proyek pembangunanketimbang hanya semata-mata menerima pembagian keuntungan proyek).dalam kaitannya dengan difinisi tersebut (Cohen dan Uphoff, 1990: 215-23) menyatakan bahwa definisi yang dinyatakan oleh Samuel Paul di atas memandang keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk memulai sadar terhadap situasi dan masalah yang dihadapinya. Selain itu, juga berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai dalam mengatasi masalahnya. Di sisi lain partisipasi pun membantu masyarakat miskin dalam melihat realita sosial ekonomi dan proses desentralisasi yang dilakukan dengan memperkuat “delivery system”
(sistm distribusi) di tingkat bawah. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam prsatuan dunia ekonomi dan politik dinilai sangat strategis dan menentukan. Dengan dasar pandangan demikian, maka keberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi. Dalam konteks dan alur pikir ini Friendmann (dalam Soetrisno, 1991) dinyatakan sebagai berikut: the powrment approach, which is fundamental to alternative development, places the emphasis on outonomy in decision making of territorially organized communities, local self-reliance (but not autarchy), direct (participatory) democtracy and experiental social learning”. Pendekatan
keberdayaan berperan penting terhadap pembangunan alternatif, sebab hal tersebut menempatkan masyarakat untuk memperoleh pengalaman dan penekanan pada otonomi dan pembutan keputusan masyarakat secara
territorial, kemandirian lokal (tapi bukan autarki), demokrasi langsung (partisipatori) dan pembelajaran sosial. pada bagian selanjutnya, Friedmann sebagaiman dikutip oleh Soetrisno (1995), juga mengingatkan bahwa sangatlah tidak realities apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar madani, diabaykan dalam penilaian keberdayaan. Oleh karena itu, menurut Fredmann, keberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja namun juga secara politis, ini yang menjadikan masyarakat menjadi posisi tawar menawar yang kompetitif, baik secara nasional maupun internasional. Pradigma keberdayaan tersebut terpacu untuk mengubah kondisi yang serba sentralistik kesituasi yang lebih otonom. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan kesempatan pada kelompok yang miskin untuk merancanakan dan kemudian melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri, mereka pun diberikan kesempatan untuk mengelola dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak luar. Konsep dasar pemberdayaan tersebut, oleh Friedmann disebut sebagai alternatif development (pembangunan alternatif) yang menghendaki “inclucive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergeranational equality” (demokrasi inklusif,
pertumbuhan ekonomi yang memadai, kesetaraan jender dan persamaan antar generasi). Sementara itu, Schumacher (dalam Soetrisno, 1995) menyatakan bahwa strategi yang paling tepat untuk memberantas kemiskinan adalah “member kail ketimbang ikan” yang mendorong mereka lebih mandiri. Schhumacher member tempat yang istimewa bagi kelompok NGO ( non-government organistion) dalam proses pembangunan. Schumacher memberikan alasan sebagai berikut: penekanan powerment yang lebih memfokuskan pada pembentukan kelompok mandiri tidak akan banyak mempunyai arti tanpa ada dukungan politik, sebagai mana yang dinyatakan oleh Freire. Artinya, konsep powerment apapun yang akan dipilih, membutuhkan “dosis politik” untuk menjadi obat yang ampuh dari penyakit kemiskinan (Soetrisno, 1995).
Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang bukan sebagai system klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan.
Tabel 2.1 Tiga Model Pengembangan Masyarakat
PRAMETER PENGEMBANAGN MASYARAKAT LOKAL PERENCANAAN SOSIAL AKSI SOSIAL
Orientasi tujuan Kemndirian, kemajuan masyarakat, kemampuan masyarakat (tujuan proses) Pemecahan masalah sosial yang ada di masyarakat (tujuan tugas/hasil)
Perubahan struktur, lembaga dan sumber (Tujuan proses dan tugas)
Asumsi mengenai struktur masyarakat dan kondisi masalah Kesinambungan, kurang kemampuan, dalam relasi dan pemecahan masalah
Masalah sosial nyata: kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja
Ketidak adilan, kesengsaraan, ketidak mertaan, ketidak setaraan Asumsi mengenai kepentingan masyarakat Kepentingan umum atau pemberdayaan-pemberdayaan yang dapat diselaraskan Kepentingan yang dapat diselaraskan atau konflik kepentingan
Konflik kepentingan yang tidak dapat diselaraskan:ketiadaan sumber
konsepsi mengenai kepentingan umum
Rationalist-unitary Idealist-unitary Realist-individualist
System klien atau system perubahan Masyarakat secara keseluruhan Seluruh atau sekelompok msyarakat, termasuk masyarakat fungsional
Sebagian atau sekeliompok anggota masyarakat tertentu
Strategi perubahan Pelibatan masyarakat dalam pemecahan masalah
Penentuan masalah dan keputusan melalui tindakan rasional para ahli
katalisasi dan pengorganisasian masyarakat untuk mengubah strukturkekuasaan
Teknik perubahan Konsensus dan diskusi kelompok, partisipasi, brain storming, role playing, bimbingan dan penyuluhan Advokasi andragogy, perumusan kebijakan, perencanaan program
Konflik atau unjuk rasa, konfrontasi atau tindakan langsung, mobilisasi massa, analisis kekuasaan, mediasi, agitasi, negoisasi, pembelaan.
Sumber: Suharto (1997:43)
Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada “tujuan proses”
(process goal) dari pada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi dan keterlibatan anggita masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat lokal yang bernuansa bottom-up
ini.
2.3Teori Kearifan Lokal
Barangkali dalam kekayaan khazanah budaya bangsa yang majemuk ini, di berbagai daerah ditemukan berbahai modal sosial dan kearifan lokal yang menggambarkan kemampuan masyarakat untuk mempertahankan kondisi kehidupan melalui berbagai bentuk yang berbeda, tetapi pada dasarnya mempunyai nuansa upaya mewujudkan kesejahteraan. Seringkali berbagai bentuk upaya kesejahteraan yang muncul dalam realitas kehidupan masyarakat tersebut dilandasi oleh filosofi dan merupakan bagian dari perwujudan visi kesejahteraan yang dimiliki setiap masyarakat. Seperti misalnya dalam budaya Jawa yang dikenal visi masyarakat yang tata tentrem kerta raharja, sementara cara untuk mewujudkan visi tersebut dilakukan melalui upaya yang disebut
memayu hayuning bawana. Hanya melalui usaha memayu hayuning bawana
inilah dalam pandangan masyarakat Jawa dapat memberikan arti atau makna hidup manusia. konsep ini ternyata dalam batas batas tertentu dihayati oleh warga masyarakat pada tingkat akar rumput sekalipun. Koentjaraninggrat (1994: 439) menyatakan, bahwa orang desa dengan tingkat pendidikan formal yang paling rendah pun sedikit banyak berbicara mengenai soal ini, baik ditafsirkan secara harfiah untuk memelihara lingkungan fisiknya maupun yang lebih dalam lagi, lingkungan spritualnya. Dalam masyarakat lain, tentu juga ditemukan konstruksi kesejahteraan dan cara mewujudkannya berdasarkan latar belakang sosialkulturalnya. Sudah tentu sangat disayangkan apabila potensi kesejahteraan yang ada dalam kearifan lokal tersebut tidak diidentifikasi, diakomodasi dan dikembangkan.
Endraswara (2013:15) mengidentifikasi, bahwa konsepmemayu hayuning bawana dapat meiliki makna baik sebagai falasafah hidup, maupun sebagi laku (pekerti). Apabila memayu hayuning bawana ditempatkan sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat ideal atau masyarakat sejahtera yang dalam konsep lokal disebut masyarakat yang tatatentrem kerta raharja, maka mamayu hayuning bawana dapat dimaknai sebagai laku. Walaupun demikian, oleh karena agar suatu laku dapat memenuhi tujuan dibutuhkan tindakan yang nyata, maka diperlukan penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya apalagi yang berada pada tataran nilai dasar menjadi nilai instrumental dan praksis. Untuk maksud itu sudah tentu perlu dipahami falasafah yang terkandung dalam konsep memayu hayuning bawana tersebut. Oleh sebab itu, berdasarkan kearifan lokal yang dikandungnya, setiap masyarakat bukan saja memiliki konstruksi masyarakat ideal yang diidamkan yang pada dasarnya adalah gambaran masyarakat sejahtera, melainkan juga cara untuk mewujudkan masyarakat ideal tersebut. Bahkan dengan menggunakan kearifan lokal pula masyarakat memiliki cara yang halus dan bersifat simbolik untuk mengemukakan aspirasi bahkan kritiknya terhadap kondisi yang tidak diharapkan yang apabila tidak diantisipasi dapat menghambat, bahkan justru semakin menjauhklan dari masyarakat ideal yang didambakan ( Soetomo, 63-65: 2014).
2.4Teori Industri Kreatif
Industri kreatif dapat diartikan sebagai sekumpulan aktifitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Industri kratif juga dikenal dengan nama lain Industri Budaya (terutama di Eropa) atau juga Ekonomi Kreatif. Atau pula Industri Kreatif itu adalah industri berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan juga bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan dan daya cipta individu. industri kreatif
dipandang semakin penting dalm mendukung kesejahteraan dalam prekonomian, berbagai pihak berpendapat bahwa keatifitas manusia adalah sumbernya ekonomi utama dan bahwa “industri abad kedua puluh satu akan tergantung pada produksi pengetahuan kreatifitas dan inovasi”
Konsep industri kreatif menurut UK DCMS Task Force (1998) di definisikan sebagai: “ Creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill end talent end which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation intellectual property and content” atau kalau diterjemahkan sebagai berikut: “Industri yang berasal dari pemanfaatan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut”. Sehingga Industri Kreatif dapat didefinisikan sebagai berikut: “Industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Sama seperti di Desa Kondangsari Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon yang memanfaatkan limbah drum untuk dijadikan sebuah Gamelan Saron atau yang terkenal dengan sebutan Kening, dengan keterampilan dan daya cipta yang unik dan menarik sehingga Gamelan Saron tersebut bisa diminkan oleh siapa saja yang bisa memaikan nada DO-RE-MI sama halnya nada piano (Suyaman, 2015:43-44).
Industri Kreatif jika dibina dan didampingi dengan teknologi, akan menjadi lebih unggul. Bahkan kondisi yang sama juga ditemukan di industri terkait dengan software seperti animasi. Hal itu cukup kuat karena banyaknya pesanan dari Negara maju. Dengan demikian industri kreatif siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015.
Industri kreatif bisa menjadi andalan sebagi salah satu pilar ekonomi dimasa yang akan datang. Industri kreatif bisa berkembang, karean memiliki nilai dan kreativitas tinggi. Dalam dunia fesyien misalnya, kalaupun bahan sama tetapi desain bisa berubah 10 kali lipat nilainya. Bisa tidak terukur nilainya. Industri kreatif ini bisa terserap tiap tahun dengan penyerapan tenga kerja sangat tinggi. Sama saja dengan Gamelan Saron yang ada di Desa Kondangsari walaupun bahan sama tetapi desainya bisa berubh maka nilainya lebih tinggi daripada sekarang (Sudayat, 2015:40).
2.5Teori Gamelan Kening
Saron atau yang biasanya disebut juga ricik ,adalah salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga balungan. Dalam satu set gamelan biasanya mempunyai 4 saron, dan semuanya memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi daripada demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti palu.
Cara menabuhnya ada yang biasa sesuai nada, nada yang imbal, atau menabuh bergantian antara saron 1 dan saron 2. Cepat lambatnya dan keras lemahnya penabuhan tergantung pada komando dari kendang dan jenis gendhingnya. Pada gendhing Gangsaran yang menggambarkan kondisi peperangan misalnya, ricik ditabuh dengan keras dan cepat. Pada gendhing Gati yang bernuansa militer, ricik ditabuh lambat namun keras. Ketika mengiringi lagu ditabuh pelan.
Dalam memainkan saron, tangan kanan memukul wilahan / lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri “. memencet wilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata dasar: pathet = pencet).1
2.6 Teori Model Proses Kewirausahaan
Corol Noore (Suryana, 2001:34) menyatakan bahwa proses kewirausahaan diawali dengan adanya proses kewirausahaan diawali dengan adanya proses inovasi yang dipengaruhioleh berbagai faktor, baik yang berasal dari pribadi maupun dari luar pribadi seperti pendidikan, organisasi, sosiologi, kebudayaan dan lingkungan. Secara internal, keinovasian dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari individu seperti locus of control, toleransi, nilai-nilai, pendidikan, dan pengalaman. Sedangkan faktor yang berasal dari lingkungan yang mempengaruhi diantaranya adalah model peran, aktisivasi, dan peluang. Oleh karena itu, inovasi, berkembang menjadi kewirausahaan melalui proses yang dipengruhi lingkungan, organisasi, dan lingkungan.
1
Adapun faktor-faktor pemicu kewirausahaan dan model proses kewirausahaan menurut Corol Noore, digambarkan dalam bagan berikut ini:
2.7Teori Tingkat Ekonomi
Tingkat ekonomi menurut M.T. Ritonga dkk (200:36), istilah ekonomi itu berasal dari kata oikonomi dari bahasa Yunani, kata tersebut merupakan turunan dari dua kata, yakni oikos dan nomos. Oikos berarti rumah tangga, sedangkan nomos berarti mengatur. Jadi arti asli oikonomia dalah mengatur rumahtangga. Kemudian arti kata tersebut berkembang menjadi arti baru, sejalan dengan arti perkembangan ekonomi menjadi suatu ilmu. Kini sebagai ilmu, ekonomi berarti ilmu pengetahuan yang tersusun menurut cara yang runtut dalam rangka mengatur rumah tangga. Rumah tangga disebut bukanlah dalam arti sempit, melainkan menunjuk pada kelompok sosial ini dapat berwujud Perusahaan, Kota, bahkan Negara. Berarti dalam pengertiannya yang luas, rumah tangga menunjuk pada kesatuan kelompok manusia yang hidup menurut norma dan tata aturan tertentu.
Menurut pandangan Islam kegiatan ekonomi merupakan tuntutan kehidupan, sebab Islam telah menjamin tiap orang secara pribadi untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia selalu Ingin memenuhi kebutuhan hidupnya baik moral maupun material, baik itu kebutuhan penting maupun yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya mengalami kecenderungan kearah yang sama, bagai mana mendapatkan pekerjaan dan menyelesaikannya.
Gambar 2.1
Model Proses Kewirausahaan Pribadi: - - Pencapaian - - Toleransi - -Pengalaman - - Pendidikan - - Nilai-nilai pribadi - -pengambilan risiko Pribadi: - -Pengambil risiko - -Ketidak puasan - -Pendidikan - -Usia - -Komit men Sosiologi: - -Jaringan kelompok - -Orang tua - -Keluarga - -Model peran Pribadi: - -Wirausahawan - -Pemimpin - -Manejer - -Komitmen - -Visi Organisasi: - Kelompok - Strategi - Struktur - Budaya
Sumber: William D. Bygrave dalam Suryana, 2001:35
Bagan diatas menjelaskan bahwa kewirausahaan berkembang diawali dengan inovasi. Inovasi ini dipicu oleh faktor pribadi, lingkungan, dan sosiologi. Faktor pribadi yang memicu kewirausahaan adalah pencapaian locus of control,
toleransi, pengambilan risiko, nilai-nilai pribadi, pendidikan, pengalaman, ketidakpuasan, usia, dan komitmen. Sedangkan faktor pemicu dari lingkungan adalah peluang, model peranan, aktivitas, kompetisi, sumber daya, kebijakan pemerintah, dan pesaing, pemasok dan investor. Sedangkan faktor pemicu dari lingkungan sosial meliputi jaringan kelompok, orang tua, asal keluarga, dan model peranan.
Adapun pertumbuhan kewirausahaan akan sangat tergantung pada kemampuan pribadi, organisasi, dan lingkungan. Faktor yang berasal dari pribadi meliputi komitmen, visi, kepemimpinan, dan kemmpuan manajerial. Faktor organisasi meliputi kelompok, strategi, struktur, budaya, dan produk. Sedangkan faktor lingkungan meliputi pesaing, pelanggan, pemasok, dan investor atau lembaga-lembaga yang akan membantu pendanaan.
Lingkungan: - - Peluang - - Model peranan - - Aktivitas Lingkungan: - - Kompetisi - - Sumber daya - Inkubator - - Kebijakan - Pemerintah Lingkungan: - - Pesaing - - Pelanggan - - Pemasok - - Investor - - Bankir