• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hadis Ahad dalam Perspektif Imam Asy-Syafi i

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hadis Ahad dalam Perspektif Imam Asy-Syafi i"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Asy-Syafi’i adalah seorang imam mazhab yang sangat besar perhatiannya terhadap hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Oleh karena ia sangat gigih membela kebenaran dan otoritas hadis Nabi sehingga ia berhasil menyusun konsep tentang ilmu usul as-sunnah. Karena kegigihannya membela hadis Nabi terutama tentang keberadaan dan otoritas hadis ahad sebagai sumber ajaran Islam ia memperoleh gelar Nasir as-Sunnah. Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi lebih jauh tentang bagaimana asy-Syafi’i membela mati-matian atas diterimanya hadis ahad yang sahih.

A. Pendahuluan

Asy-Syafi’i (150-204 H/767-819 M) adalah seorang ulama besar yang hidup pada zaman Daulat Bani Abbasiyah di bawah kekuasaan khalifah Abu Ja’far al-Mansur, al-Hadi, Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun. Kekuasaan Daulat Bani Abbasiyah pada saat itu sangat luas, mulai dari perbatasan negeri Cina di timur sampai di negeri Andalusia (Spanyol) di barat. Pada waktu itu keadaan politik, keamanaan negara, dan kehidupan ekonomi dapat dikatakan makmur.

Pada zaman ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu keagamaan mengalami kemajuan luar biasa. Zaman pada saat asy-Safi’i hidup merupakan zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu keagamaan sampai pada periode ulama mujtahidin, penerjemahan, dan pembukuan.

Dewasa ini timbul berbagai golongan di masyarakat, antara lain golongan inkar as-Sunnah, yakni golongan yang tidak mau menerima hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an. Salah satu penyebabnya antara lain adanya pemalsuan hadis. Golongan lain adalah golongan Ahlu al-Hadis dan Ahlu al-Ra’yi. Di samping itu, juga

* Penulis adalah dosen tetap di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga

(2)

berkembang mazhab empat, yaitu mazhab Abu Hanifah, Malik bin Anas, asy-Syafi’i, dan mazhab Ahmad bin Hanbal.

Asy-Syafi’i termasuk seorang mujtahid mutlak yang moderat, dalam pengertian bahwa ia tidak kaku dalam berpedoman terhadap hadis Nabi. Ia membolehkan pen-ta’wil-an hadis Nabi tetapi tidak juga membebaskan ar-ra’yu tanpa batas dalam mengartikan hadis sebagai sumber istinbat hukum.

Asy-Syafi’i terkenal sebagai ulama yang gigih membela hadis. Dia berhasil menegakkan otoritas hadis dan menjelaskan kedudukan dan fungsi hadis. Hadis baginya harus merupakan perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad. Hadis Nabi berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang bersifat mengikat dan harus ditaati sebagaimana al-Qur’an, meskipun hadis itu termasuk hadis ahad; artinya, hadis yang diriwayatkan dengan jalur sanad yang tidak mencapai derajat mutawatir. Segala perkataan sahabat, fatwa tabi’in dan pendapat atau amal ahli Madinah bukanlah hadis Nabi walaupun dapat dijadikan sumber hukum sekunder.

Atas pembelaannya terhadap hadis Nabi; terutama dalam menegakkan otoritas ahad, maka ia memperoleh gelar sebagai Nasir as-Sunnah1. Dan sekaligus ia dapat mematahkan gerakan inkar as-Sunnah.

Sehubungan dengan itu, oleh para ulama ia dianggap sebagai seorang ulama ahli hukum Islam pertama yang berhasil merumuskan secara sistematis konsep ilmu hadis atau konsep tentang Ushul al-Sunnah.2 Di

samping itu, ia juga dianggap sebagai ulama hukum Islam pertama yang berhasil meletakkan dasar konsep ilmu Ushul Fiqh; yakni suatu ilmu yang berisi teori hukum yang sistematis dan spesifik yang berbeda dengan ilmu Ushul Fiqh imam-imam mazhab pada masanya. Dengan keberhasilannya ini, ia memperoleh gelar dari para ulama sebagai Wadi’ ‘ilm al-Usul 3.

1 Abd al-Halim al-Jundi, Imam asy-Syafi’i, Nasir as-Sunnah wa Wadi’ al-Ushul, (ttp.: Dar al-Qalam , 1968), p. 300.

2 Muhammad Abu Zahwa, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Beirut: Dar

al-Kitab al-Arabi, 1984), p. 11.

(3)

B. Hadis pada Zaman Asy-Syafi’i, Kedudukan dan Fungsinya Sebagaimana diketahui bahwa asy-Syafi’i hidup pada zaman pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad kedua sampai dengan awal abad ketiga hijrah. Pada masa ini, banyak para ulama yang menghimpun hadis secara tertulis, antara lain oleh Ibnu Juraij (w. 150 H) di Makkah, Malik bin Anas (w. 179 H) di Madinah, Hammad bin Salamah (w. 176 H) di Basrah, Sufyan as-Sauri (w. 161 H) di Kufah, al-Auza’i (w. 156 H) di Syam, Ma’mar al-Azdi (w. 153 H) di Yaman, Ibn al-Mubarak (w. 181 H) di Khurasan, Husain al-Wasiti (w. 188 H) di al-Wasit, Jabir ad-Dabbi (w. 188 H) di Rai, dan al-Lais bin Sa’ad (w. 175 H) di Mesir4. Semua hadis yang dihimpun oleh para

ulama hadis tersebut di atas tidak ada yang sampai pada kita, kecuali kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik bin Anas. Dalam kitab hadis ini dan juga dalam kitab-kitab hadis lain yang ditulis oleh para ulama saat ini, masih bercampur baur antara hadis dan yang bukan hadis. Hal ini terlihat jelas dalam kitab al-Muwatta’ Malik bin Anas. Di samping memuat hadis-hadis yang berasal dari Nabi, kitab al-Muwatta’ juga memuat aqwal as-sahabah, fatwa tabi’in, amal ahli Madinah, dan pendapat atau fatwa Imam Malik bin Anas sendiri5.

Setelah kitab al Muwatta’, lahir kitab-kitab hadis yang memuat hadis-hadis Nabi saja dengan sistem penulisan musnad. Ulama hadis yang menulis kitab hadis dengan sistem musnad, antara lain Musaddad bin Musarhad, Ubaidillah bin Musa al-Abbasi, Hasan al-Basri, dan sebagainya6. Penulisan hadis dengan sistem musnad itu, kemudian diikuti

oleh Ahmad bin Hanbal dan Imam asy-Syafi’i. Tujuan penulisan hadis dengan sistem musnad adalah untuk memisahkan hadis-hadis Nabi dengan yang bukan hadis Nabi, yakni qaul sahabat dan fatwa tabi’in. Hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab hadis musnad itu belum dipisahkan antara hadis sahih dan hadis da’if, dan semua hadis yang termuat di dalamnya mengenai hadis hukum.

4 Muhammad Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabl at-Tadwin, (Mesir:

Maktabah al-Wahbah, 1963), p. 81.

5 Ibid., p. 82.

6 Rif’at Fauzi Abd al-Mutalib, Tausiq as-Sunnah fi Qarn as-Sani fi al-Hijriyyi,

(4)

Semasa asy-Syafi’i hidup, telah lahir ulama-ulama siqah

(terpercaya), yang mempunyai keahlian dalam bidang ta’dil dan tarjih

(ahli dalam menilai apakah seorang periwayat hadis adil atau tidak adil), di antaranya Imam al-Auza’i, Waqi’ bin al-Jarrah, Abd ar-Rahman bin al-Mahdi, Abdullah bin al-Mubarak, Yahya bin Ma’ni, Ali al-Madini, Sufyan as-Sauri, Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain7.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa asy-Syafi’i adalah termasuk seorang ulama mazhab yang ahli dalam bidang

ta’dil dan tarjih. Ia terkenal menulis kitab hadis dengan judul Musnad asy-Syafi’i dan Mukhtalif al-Hadis.

Imam asy-Syafi’i sebagai ulama mujtahid yang ahli dalam bidang ilmu hadis, berpendapat bahwa al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Al-Qur’an menduduki sumber ajaran Islam utama karena berisi wahyu Allah yang mutlak kebenarannya. Kemudian berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dapat diketahui bahwa as-sunnah

menduduki tempat kedua sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an. Setiap orang mukmin wajib mentaati al-Qur’an dan hadis Nabi. Tidak sah iman seorang mukmin yang hanya mengimani dan mentaati al-Qur’an dan tidak mau mengimani dan mentaati hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Dalam hal ini asy-Syafi’i berpendapat:

7 Ibid., p. 87.

(5)

æÖÚ Çááå ÑÓæáå ãä Ïíäå, æÝÑÖå

æßÊÇÈå ÇáãæÖÚ ÇáÐí ÃÈÇä Ìá ËäÇÄå

,Çäå ÌÚá ÚáãÇ áÏíäå ÈãÇ ÇÝÊÑÖ ãä

ØÇÚÊå æÍÑã

ãä ãÚÕíÊå æÇÈÇä ãä ÝÖíáÊå

ÈãÇ ÞÑä ãä ÇáÅíãÇä ÈÑÓæáå ãÚ ÇáÅíãÇä

Èå

8

Untuk memperkuat pemikirannya tersebut di atas, asy-Syafi’i juga menyertakan ayat-ayat al-Qur’an yang berisi perintah untuk mentaati Rasul dan hadis-hadisnya. Ayat-ayat al-Qur’an itu antara lain:

ÝÃãäæÇ ÈÇááå æÑÓáå æáÇ ÊÞæáæÇ

ËáÇËÉ, ÇäÊåæÇ ÎíÑÇ áßã ÇäãÇ Çááå Çáå

æÇÍÏ, ÓÈÍÇäå Çä íßæä æáÏ

....

9

Ayat al-Qur’an lain yang memerintahkan setiap mukmin untuk mentaati hadis Rasulullah antara lain: Q.S. al-Baqarah: 151; Q.S. Ali Imran: 146; Q.S. al-Jumu’ah: 2; Q.S. al-Baqarah: 231 dan firman Allah sebagai berikut:

ÑÈäÇ æÇÈÚË Ýíåã ÑÓæáÇ ãäåã íÊáæÇ

Úáíåã ÇíÇÊß æíÚáãåã ÇáßÊÇÈ æÇáÍßãÉ

æíÒßíåã, Çäß ÇäÊ ÇáÚÒíÒ ÇáÍßíã

.10

Mengenai fungsi hadis terhadap al-Qur’an diterangkan oleh asy-Syafi’i sebagai berikut:

8 Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, Ahmad Muhammad Syakir, (Ed)., (Mesir:

Mustafa al-babi al-Halabi, 1938), p. 11.

9 Q.S. aniNisa’ (4): 171. 10 Q.S. an-Nisa’ (4): 113.

(6)

æÓää ÑÓæá Çááå ãÚ ßÊÇÈ Çááå æÌåÇä:

ÇÍÏåÇ äÕ ßÊÇÈ ÝÇÊÈÚå ÑÓæá

Çááå ßãÇ

ÇäÒá, æÇáÇÎÑ ÌãáÉ Èíä ÑÓæá Çááå Ýíå Úä

Çááå ãÚäì ãÇ ÇÑÇÏÇáÌãáÉ, æÇæÖÍ ßíÝ

ÝÑÖåÇ ÚÇãÇ Çæ ÎÇÕÇ æßíÝ ÇÑÇÏ Çááå

Çä íÃÊì

Èå ÇáÚÈÇÏ æßáÇåãÇ ÇÊÈÚ Ýíå

ßÊÇÈ Çááå, æÇáæÌå ÇáËÇáË ãÇ ãä ÑÓæá

Çááå

ÝíãÇ áíÓ Ýíå äÕ ßÊÇÈ

.11

Dari apa yang dikemukakan asy-Syafi’i di atas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut.

1. Muhammad Rasulullah yang mempunyai sifat wajib tabligh, ia mempunyai kewajiban menyampaikan sesuatu ajaran yang harus persis seperti apa yang ditetapkan dalam al-Qur’an. Misalnya, tentang cara dan urutan melakukan wudu. Ayat ini karena sudah jelas (muhkam) tidak memerlukan penjelasan Nabi, yaitu ayat al-Qur’an:

æÇÐÇ ÞãÊã Çáì ÇáÕáæÉ ÝÇÛÓáæÇ

æÌæåßã æÇíÏíßã Çáì ÇáãÑÇÝÞ

æÇãÓÍæÇ

ÈÑÁæÓßã æÇÑÌáßã Çáì ÇáßÚÈíä

12

2. Ada sejumlah ayat al-Qur’an yang isinya bersifat global. Terhadap ayat-ayat ini, hadis Nabi berfungsi menjelaskan. Misalnya firman Allah:

æÇÞíãæÇ ÇáÕáæÉ ...

13

Ayat di atas tidak menjelaskan bagaimana cara melaksanakan salat. Kemudian Nabi dengan hadisnya menjelaskan bagaimana cara melakukan salat. Dalam hal ini Nabi bersabda:

11 Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, p. 91-2. 12 Q.S. al-Ma’idah (5): 6.

(7)

... ÕáæÇ ßãÇ ÑÇíÊãæäí ÇÕáì ...

14

Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang mujmal

itu dapat mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Adakalanya hadis-hadis Nabi itu berfungsi memerinci ayat al-Qur’an yang mujmal; membatasi ayat yang mutlak atau men-takhsis-kan ayat yang bersifat umum.

3. Hadis Nabi berfungsi sebagai lembaga hukum sendiri. Misalnya, mengenai hadis yang menerangkan tentang tidak adanya hak waris-mewaris antara ahli waris yang berbeda agama atau yang terlibat dalam pembunuhan. Tentunya Imam asy-Syafi’i menerima hadis yang tidak berdasarkan ketentuan al-Qur’an dan berfungsi sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri manakala memenuhi syarat hadis sahih.

Pendapat asy-Syafi’i seperti yang telah dicontohkan pada

footnote No. 8, 9, dan 10 terdahulu tentang kewajiban setiap mukmin untuk mentaati al-Qur’an dan hadis Rasulullah dapat ditarik pemahaman sebagai berikut.

1. Bahwa konsekuensi iman kepada Allah mengharuskan iman kepada Rasulullah. Dan konsekuensi iman kepada Rasulullah mengharuskan iman kepada ajaran-ajaran Rasulullah baik yang dinyatakan dengan perkataan, perbuatan, atau penetapannya.

2. Bahwa tugas Rasulullah menurut Qur’an, yaitu mengajarkan al-Qur’an dan al-hikmah, beliau menafsirkan kata al-hikmah dengan al-hadis.

3. Telah mewajibkan orang mukmin untuk mentaati Rasulullah. Ini berarti, bahwa seorang mukmin harus mentaati seluruh ajarannya baik yang berupa perkataan, perbuatan atau taqrir-nya.

4. Bahwa salah satu tugas Rasulullah adalah menjadi seorang hakim yang adil. Kalau demikian semua keputusan atau fatwa-fatwanya harus ditaati.

5. Salah satu tugas Nabi adalah menyampaikan ajaran al-Qur’an dan menjelaskannya. Oleh karena itu, semua perkataan, perbuatan, dan penetapannya yang berkaitan dengan penjelasan ajaran al-Qur’an

14 Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Sahih al-Bukhari, (Mesir:

(8)

harus ditaati, juga termasuk yang harus ditaati adalah segala sesuatu yang dijelaskan atau diajarkan Nabi yang berdasarkan hadis Nabi yang berdiri sendiri tanpa ada nas dari al-Qur’an15.

C. Kedudukan Hadis Ahad

Sebagaimana diketahui, bahwa setelah terjadinya fitnah, yakni setelah terjadinya perselisihan antara Mu’awiyah dengan Ali bin Abi Talib yang tertumpu pada tuntutan Mu’awiyah terhadap Ali bin Abi Talib agar para sahabat yang terlibat pada peristiwa terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan segera diadili tidak mendapat tanggapan serius dari Ali bin Abi Talib, maka akhirnya terjadilah perang Siffin antara keduanya. Perang Siffin yang tidak menyelesaikan masalah pokok dan tidak memuaskan sementara pengikut Ali bin Abi Talib, maka timbul berbagai kelompok politik keagamaan. Akibat dari timbulnya kelompok-kelompok ini, terjadilah pemalsuan hadis oleh sementara kelompok itu dalam rangka untuk pembenaran pendirian dan ideologinya. Meskipun pemalsuan hadis relatif masih sedikit, karena masih banyak sahabat yang wara’ dan taqwa yang masih hidup, namun hal ini mengancam kemurnian hadis. Oleh karena itu, pada saat itu sudah mulai dilakukan usaha-usaha untuk mengantisipasi tersebarnya hadis palsu. Usaha-usaha yang dilakukan para ulama antara lain menggiatkan periwayatan hadis dengan sistem isnad; melakukan penelitian terhadap rawi hadis dan matan hadis sehingga diketahui kebenarannya. Pada saat ini, sudah dibuat aturan-aturan umum tentang mana hadis-hadis Nabi yang dapat diterima sebagai hujjah dan mana hadis-hadis Nabi yang tertolak sebagai hujjah16.

Pada zaman asy-Syafi’i, sudah dikenal klasifikasi hadis Nabi berdasarkan jumlah rawi yang meriwayatkannya, yaitu yang dikenal dengan sebutan hadis mutawatir oleh asy-Syafi’i disebut dengan ilm al-ihatah atau ilm al-ammah, dan hadis ahad disebut ilm al-khassah17.

15 Muhammada Abu Zahrah, Asy-Syafi’i, Hayatuhu wa Ashruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1948), p. 221-4

16 Rif’at Fauzi, Al-Madkhal ial Tausiq as-Sunnah, (Mesir: Mu’assasah

al-Khanji, 1978), p. 48-51.

(9)

Kedua istilah yang digunakan asy-Syafi’i itu, menurut Ibn as-Salah dalam Muqaddimah-nya tidak populer di kalangan para ulama hadis, sehingga nyaris tidak pernah disebut.18

Yang dimaksud ilm al-ihatah atau ilm al-ammah menurut asy-Syafi’i adalah:

ãÇ ßÇä äÕ Ìßã Çááå Çæ ÓäÉ áÑÓæá Çááå

äÞáåÇ ÇáÚÇãÉ, ÝåÐÇä ÇáÓÈíáÇä

ÇááÐÇä

íÔåÏ ÈåãÇ ÝíãÇ ÇÍá Çäå ÌáÇá, æÝíãÇ ÌÑã

Çäå

ÌÑÇã, æåÐÇ ÇáÐí áÇíÓÚ ÇÍÏÇ ÚäÏäÇ

Ìåáå æáÇ ÇáÔß Ýíå.

19

Definisi hadis mutawatir oleh asy-Syafi’i sebagaimana tersebut di atas memenuhi syarat-syarat bagi hadis mutawatir yang ditetapkan oleh para ulama hadis.

1. Periwayatan semua rawi dalam hadis mutawatir harus berdasarkan pancaindera, bukan berdasarkan akal manusia.

2. Jumlah rawi yang meriwayatkan hadis itu dilakukan oleh banyak orang (umum); tempat tinggalnya berbeda-beda, sehingga mustahil mereka sepakat berbuat bohong dalam periwayatan.

3. Adanya keseimbangan banyaknya jumlah rawi sejak dari generasi sahabat sampai generasi tabi’in dan sanad-nya harus bersambung sampai kepada Rasulullah20.

As-Srakhasi berpendapat bahwa hadis mutawatir itu dapat dijadikan hujjah dan dapat diamalkan meskipun di antara para ulama berbeda pendapat mengenai faedahnya. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hadis mutawatir itu memberi faedah ilm al-daruri; artinya pengetahuan yang pasti kebenarannya. Ulama asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa hadis mutawatir itu berfaedah sebagai ilm al-yaqin, artinya, pengetahuan yang meyakinkan tidak meragukan. Dalam hal ini asy-Syafi’i menyebut dengan istilah ihatah bi al-haq fi az-zahir awa al-batin,

18 Rif’at Fauzi, Tausiq as-Sunnah …, p. 78. 19 Ibid., p. 78-9

20 Fatchur Rahman, Ichtisar Mustalahul Hadis, (Bandung: Ma’arif, 1978), p.

(10)

pengetahuan yang benar, baik lahir maupun batin. Ulama golongan ketiga berpendapat bahwa hadis mutawatir hanya memberi faedah ilmu

tuma’ninah al-qalb, yakni pengetahuan yang memberikan ketenangan hati walaupun kemungkinan periwayatan itu masih bisa salah21.

Adapun yang dimaksud dengan ilm al-khassah menurut asy-Syafi’i adalah:

æÓäÉ ãä ÎÈÑ ÇáÎÇÕÉ íÚÑÝåÇ ÇáÚáãÇÁ

æáã íßáÝåÇ ÛíÑåã, æåí

ãæÌæÏÉ Ýíåã Çæ Ýí

ÈÚÖåã íÕÏÞ ÇáÎÇÕ ÇáãÎÈÑ Úä ÑÓæá

Çááå

ÈåÇ. æåÐÇ ÇááÇÒã áÃåá ÇáÚáã Çä íÕíÑæÇ

Çáíå, æåæ ÇáÍÞ Ýí

ÇáÙÇåÑßãÇ äÞÊá

ÈÔÇåÏíä, æÐáß ÍÞ Ýí ÇáÙÇåÑ æÞÏ íßæä Ýí

ÇáÔÇåÏíä ÇáÛáØ.

22

Para ulama hadis sepakat bahwa hadis ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah dan dapat diamalkan dalam semua masalah keagamaan kecuali soal akidah dengan syarat-syarat rawi dalam sanad itu adil, dabit, bersambung sanad-nya, dan tidak ada syaz dan cacatnya. Hadis ahad itu berfaedah zan (mungkin besar); tidak memberikan faedah yaqin.

Golongan yang mengingkari as-Sunnah berpendapat bahwa berhubung hadis ahad itu hanya memberi faedah zan, maka hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat diamalkan, karena yang zan

itu tidak dapat mendatangkan kebenaran sedikit pun. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

æÇä ÇáÙä áÇ íÛäí ãä ÇáÍÞ ÔíÆÇ.

23

Asy-Syafi’i sebagai ulama yang gigih membela ke-hujjah-an hadis ahad, memberi alasan-alasan yang mapan sebagai berikut.

21 Rif’at Fauzi, Tausiq as-Sunnah …, p. 79 dan Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, p.

480.

22 Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, p. 479. 23 Q.S. an-Najm (70): 28.

(11)

1. Hadis yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah dari Abdullah bin Mas’ud:

äÖÑ Çááå ÚÈÏÇ ÓãÚ ãÞÇáÊí ãÍÝÙåÇ

ææÚÇåÇ æÇÏÇåÇ ÝÑÈ ÍÇãá ÝÞå ÛíÑ

ÝÞíå, æÑÈ ÍÇãá ÝÞå Çáì ãä åæ ÇÝÞå

ãäå.

Menurut asy-Syafi’i dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mendengarkan hadis Rasulullah tidak disyaratakan harus bersama-sama orang lain. Demikian pula, dalam meriwayatkan hadis kepada orang lain bisa sendiri tanpa harus ditemani orang lain, selama terjamin hafalannya.24

2. Hadis riwayat Ibnu Umar tentang perubahan kiblat dari bait al-Maqdis ke arah bait al-Haram di Makkah. Hadis itu disampaikan oleh seorang sahabat saja yang datang ke masjid Quba’ yang pada waktu itu penduduk Quba’ akan menunaikan salat Subuh yang kebanyakan dari sahabat Ansar. Mereka lalu menunaikan salat Subuh ke arah kiblat bait al-Haram di Makkah. Mereka mempercayai riwayat hadis itu kendati hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja25.

3. Hadis riwayat Anas bin Malik. Dia menceritakan bahwa ketika ia memberikan minuman keras (khamr) kepada sahabat Abu Talhah, Ubaidillah bin Jarrah, dan Ubai bin Ka’b, datanglah seorang sahabat memberi kabar bahwa Rasulullah telah melarang minuman

khamr. Para sahabat menerima penetapan Nabi itu, yakni penetapan bahwa minuman khamr diharamkan berdasarkan khabar atau riwayat dari seorang sahabat saja.26

4. Suatu ketika Nabi mengutus 12 orang sahabat, termasuk seorang sahabat bernama Dihyah bin Khalifah al-Kalbi, kepada 12 orang raja yang masih kafir untuk diseru masuk Islam. Nabi berpandangan bahwa untuk berdakwah dirasa cukup seorang

24 Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, p. 401-2. 25 Ibid., p. 206-7.

(12)

sahabat sebagai duta Rasulullah untuk seorang raja. Jadi dipandang cukup memadai ajaran Rasulullah itu disampaikan oleh seorang duta saja kepada seorang raja, tidak perlu banyak duta.27

5. Ahli hadis Madinah, seperti sahabat Jubair bin Mut’im, Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf, Kharijah bin Zaid bin Sabit, Abdullah bin Abi Qatadah, Sulaiman bin Yasar, dan lan-lain, mereka dapat menerima periwayatan hadis dari seorang sahabat saja, atau dari seorang tabi’in yang meriwayatkan dari seorang sahabat. Hadis-hadis riwayat mereka itu dapat diterima sebagai hujjah jika memenuhi syarat.28

6. Alasan asy-Syafi’i yang lain, adalah tentang keabsahan Umar menjadi khalifah atas tunjukan Abu Bakar, dan keabsahan Usman bin Affan menjadi khalifah atas tunjukan sahabat Abdurrahman bin Auf, setelah dia sendiri terpilih dalam musyawarah dan diberi wewenang untuk memilih beberapa sahabat untuk dicalonkan menjadi khalifah dan terakhir terpilih Usman bin Affan sebagai khalifah.29

7. Menurut asy-Syafi’i, bahwa para ulama hadis semuanya menerima hadis ahad sebagai hujjah dan dijadikan dasar hukum dalam fatwa-fatwa mereka. Ulama hadis di Makkah misalnya antara lain Imam at-Tawus, Mujahid, dan lain-lain. Wahab bin Munabbih di Yaman, Ibnu Sirin dan lain-lain di Kufah, dan ulama berbagai daerah berpendirian seperti di atas terhadap hadis ahad30.

Mustafa as-Siba’i menyebutkan bahwa jumhur ulama sepakat untuk menerima hadis ahad sebagai hujjah walaupun berfaedah zan. Menurut Imam ar-Razi, bahwa para sahabat sepakat menerima hadis ahad sebagai hujjah, demikian pula Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anas juga menerima hadis ahad sebagai hujjah31.

27 Ibid., p. 418.

28 Ibid., p. 455-6. 29 Ibid., p. 419-20. 30 Ibid., p. 456-7

31 Mustafa as-Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo:

(13)

Asy-Syafi’i dapat menerima hadis ahad sebagai hujjah dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Hal ini dinyatakan asy-Syafi’i sebagai berikut:

æáÇ ÊÞæã ÇáÍÌÉ ÈÎÈÑ ÇáÎÇÕÉ ÍÊì ÊÌãÚ

ÇãæÑÇ Çä íßæä ãä

ÍÏË Èå ËÞÉ Ýí Ïíäå

ãÚÑæÝÇ ÈÇáÕÏÞ Ýí ÍÏíËå, ÚÇÞáÇ áãÇ íÍÏË

Èå, ÚÇáãÇ ÈãÇ íÍíá ãÚÇäì ÇáÍÏíË ãä ÇááÝÙ,

æÇä íßæä

ããä íÄÏí ÇáÍÏíË ÈÍÑæÝå ßãÇ ÓãÚ

áÇ íÍÏË Èå Úáì ÇáãÚäìáÃäå ÇÐÇ ÍÏË Èå Úáì

ÇáãÚäì æåæ ÛíÑ Úáã ÈãÇ íÍíá ãÚäÇå

áã íÏÑ

áÚáå íÍíá ÇáÍáÇá Çáì ÇáÍÑÇã, æÇÐÇ ÇÏÇåÇ

ÈÍÑæÝå áã íÈÞ

æÌå íÎÇÝ Ýíå ÇÍÇáÊå ÇáÍÏíË,

ÍÇÝÙÇ Çä ÍÏË Èå ããä ÍÝÙå,ÍÇÝÙÇ áßÊÇÈå

Çä ÍÏË ãä ßÊÇÈå, ÇÐÇ ÇÔÑß Çåá ÇáÍÝÙ

Ýí ÇáÍÏíË

æÇÝÞ ÍÏíËåã ÈÑíÇ ãä Çä íßæä

ãÏáÓÇ íÍÏË Úãä áÞí ãÇ áã íÓãÚ

ãäå æ íÍÏË Úä

ÇáäÈí ãÇ íÍÏË ÇáËÞÇÊ ÎáÇÝå Úä ÇáäÈí

æíßæä

åßÐÇ ãä ÝæÞå ããä ÍÏËå íäÊåí ÈÇáÍÏíË

ãæÕæáÇ Çáì ÇáäÈí

Ãæ Çáì ãä ÇäÊåì Çáíå

Ïæäå. áÇä ßá æÇÍÏ ãäåã ãËÈÊ áãä ÍÏËå

æãËÈÊ Úáì ãä ÍÏË Úäå ÝáÇ íÓÊÛäí Ýí ßá

æÇÍÏ ãäåã

æÕÝÊ.

32

Pendapat asy-Syafi’i di atas merupakan bagian dari Usul al-Hadis yang tercantum dalam kitab ar-Risalah, yang ditulis pada abad

(14)

kedua Hijriyah. Pada abad ketiga, Ali bin Abdullah al-Madini berhasil menulis kitab Usul as-Sunnah, kemudian diikuti oleh Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. Dia menulis Usul al-Hadis dalam muqaddimah kitab sahihnya. Pada abad keempat Hijriyah, Muhammad al-Hasan Abdurrahman ar-Ramaharmuzi telah menulis kitab Usul al-Hadis yang lebih sempurna dengan judul al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al-Wa’yi.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadis menurut asy-Syafi’i jika dipandang dari segi jumlah rawi dalam sanad, dapat dibagi menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad, sedangkan hadis ahad sendiri dapat dibagi menjadi hadis ahad yang sahih dan hadis ahad yang da’if.

Syarat-syarat yang dikemukkan asy-Syafi’i untuk hadis sahih seperti tersebut di atas pada dasarnya telah memenuhi syarat-syarat hadis sahih sebagaimana dikemukakan oleh para ulama hadis. Sebagai contoh misalnya definisi hadis sahih oleh Ibnu as-Salah:

ÇáÍÏíË ÇáÕÍíÍ åæ ÇáãÓäÏ ÇáÐì íÊÕá

ÇÓäÇÏå ÈäÞá ÇáÚÏá

ÇáÖÇÈØ Úä ÇáÚÏá

ÇáÖÇÈØ Çáì ãäÊåÇå æáÇ íßæä ÔÇÐÇ æáÇ

ãÚááÇ.

33

Dari definisi hadis sahih tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa syarat-syarat hadis sahih menurut Ibnu as-Salah adalah:

1. Sanad-nya bersambung.

Dalam hal ini asy-Syafi’i menyatakan dengan perkataan:

... æíßæä åßÐÇ ãä ÝæÞå ããä ÍÏËå ÍÊì íäÊåí

ÈÇáÍÏíË ãæÕæáÇ Çáì ÇáäÈí ...

34

2. Rawi-nya bersifat adil.

Tentang syarat ini asy-Syafi’i mengatakan:

33 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis,Ulumuhu wa Mustalahuh, (ttp.:

Dar al-Fikr, t.t), p. 304.

(15)

... Çä íßæä ãä ÍÏË Èå ËÞÉ Ýì Ïíäå, ãÚÑæÝÇ

ÈÇáÕÏÞ ÝìÏíËå..

35

Istilah siqatan fi al-din sama dengan istilah istiqamatan fi al-din dan istilah itu dapat diartikan sebagai sifat orang yang adil36. Sementara

itu, Muhammad Ajjaj al-Khatib mengartikan rawi yang adil adalah

rawi yang lurus agamanya; baik budi pekertinya dan selamat dari perbuatan fasik dan juga selamat dari hal-hal yang merusakkan

muru’ah.37

3. Rawi bersifat dabit atau sempurna ingatannya.

Tentang syarat ketiga ini asy-Syafi’i mengemukakan dengan ungkapan:

ÚÇÞáÇ áãÇ íÍÏË Èå, ÚÇáãÇ ÈãÇ íÍíá

ãÚÇäì ÇáÍÏíË ãä ÇááÝÙ,æÇä íßæä ããä íÄÏí

ÇáÍÏíË ÈÍÑæÝå ßãÇ ÓãÚ áÇ íÍÏË Èå Úáì

ÇáãÚäìáÃäå ÇÐÇ ÍÏË Èå Úáì ÇáãÚäì æåæ

ÛíÑ Úáã ÈãÇ íÍíá ãÚäÇå áã íÏÑ áÚáå íÍíá

ÇáÍáÇá Çáì ÇáÍÑÇã, æÇÐÇ ÇÏÇåÇ

ÈÍÑæÝå áã íÈÞ æÌå íÎÇÝ Ýíå ÇÍÇáÊå

ÇáÍÏíË, ÍÇÝÙÇ Çä ÍÏË Èå ããä ÍÝÙå,

ÍÇÝÙÇ áßÊÇÈå Çä ÍÏË ãä ßÊÇÈå, ÇÐÇ

ÇÔÑß Çåá ÇáÍÝÙ Ýí ÇáÍÏíË æÇÝÞ ÍÏíËåã

38 35 Ibid., p. 370.

36 Rif’at Fauzi, Tausiq as-Sunnah …, p. 128.

37 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis…, p. 305. 38 Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, p. 370-1.

(16)

Apa yang dikemukakan asy-Syafi’i tentang al-dabit kemudian dielaborasi lebih jauh oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan mengemukakan ungkapan:

ÇáÖÈØ åæ ÊíÞÙ ÇáÑÇæì Ííä ÊÍãáå æÝåãå

áãÇ ÓãÚå æÍÝÙå

áÐáß Úä æÞÊ ÇáÊÍãá

Çáì æÞÊ ÇáÃÏÇÁ Çì íßæä ÍÇÝÙÇ ÚÇáãÇ

ÈãÇ íÑæíå Çä ÍÏË ãä ÍÝÙå, ÝÇåãÇ Çä

ÍÏË Úáì ÇáãÚäì

æÍÇÝÙÇ áßÊÇÈå ãä ÏÎæá

ÇáÊÍÑíÝ Çæ ÇáÊÈÏíá Çæ ÇáäÞÕ Úáíå

Çä

ÍÏË ãä ßÊÇÈå.

39

4. Hadis itu tidak ber-illat; tidak ada catatnya. Contoh hadis yang ada cacatnya, seperti seorang rawi meriwayatkan secara mursal terhadap hadis yang muttasil; atau meriwayatkan hadis secara muttasil terhadap hadis yang munqati’, dan atau memberikan tadlis (sisipan) pada matan

hadis.40

Kaitannya dengan syarat keempat, asy-Syafi’i menyatakan:

... ÈÑíÇ ãä Çä íßæä ãÏáÓÇ íÍÏË Úãä áÞí ãÇ

áã íÓãÚ

ãäå æ íÍÏË Úä ÇáäÈí ãÇ íÍÏË

ÇáËÞÇÊ ÎáÇÝå Úä ÇáäÈí...

41

5. Tidak ada syaz atau tidak ada kejanggalan.

Muhamamad Ajjaj al-Khatib mengartikan syaz yaitu riwayat hadis yang berbeda dengan riwayat hadis dari rawi yang lebih siqah.42

Apa yang dikemukakan di atas tentang riwayat yang syaz, juga senada dengan apa yang dikemukakan oleh asy-Syafi’i, yaitu:

39 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis…, p. 305. 40 Ibid.

41 Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, p. 371.

(17)

Çä íÑæí ÇáËÞÉ ÍÏíËÇ íÎÇáÝ Ýíå ÇáäÇÓ Çæ

ãÇ ÑæÇå ÇáËÞÉ ãÎÇáÝÇ

áãÇ ÑæÇå ÑÇæ

æÇÍÏ æåæ ÇæËÞ ãäå æÇÖÈØ.

43

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa syarat-syarat untuk hadis ahad yang sahih menurut asy-Syafi’i pada dasarnya tidak berbeda dengan syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama hadis pada umumnya. Hadis sahih adalah hadis yang maqbul, yang ma’mul bih dan dapat dijadikan hujjah.

Kebalikan dari hadis sahih adalah hadis da’if; yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih. Suatu hadis dapat dikatakan

da’if karena sanad-nya tidak bersambung atau karena rawi dalam sanad itu berkepribadian cacat, misalnya sering berbuat salah dalam meriwayatkan atau tertuduh dusta. Selain itu dapat huga karena matan

hadisnya bertentangan dengan isi al-Qur’an, hadis mutawatir atau bertentangan dengan matan hadis ahad yang lebih kuat dan lebih benar tentunya. Hadis da’if tidak dapat dijadikan hujjah karena mardud dan tidak ma’mul bih.

D. Penutup

Dari semua uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Bahwa asy-Syafi’i adalah seorang ulama ahli hukum Islam yang hidup pada zaman keemasan Islam yang berhasil mengukir karirnya sampai ke puncak prestasi dengan memperoleh predikat sebagai mujtahid mutlak yang moderat.

2. Bahwa asy-Syafi’i adalah termasuk salah seorang ulama Islam yang memperoleh predikat sebagai imam mazhab dan yang berhasil membuat teori atau kaidah istinbat hukum. Oleh karena itu, ia dipandang orang pertama sebagai perintis dan peletak dasar ilmu

Usul al-Fiqh dan atas jasanya itu ia memperoleh gelar wadi’ al-usul.

3. Bahwa asy-Syafi’i adalah seorang imam mazhab yang sangat besar perhatiannya terhadap hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam yang

(18)

kedua setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, ia sangat gigih membela kebenaran dan otoritas hadis Nabi sehingga ia berhasil menyusun konsep tentang ilmu usul as-sunnah. Karena kegigihannya membela hadis Nabi terutama tentang keberadaan dan otoritas hadis ahad sebagai sumber ajaran Islam ia memperoleh gelar Nasir as-Sunnah.

(19)

Daftar Pustaka

Bukhari, Muhammad bin Isma’il al-, Sahih al-Bukhari, Mesir: asy-Syafi’i, t.t.

Jundi, Abd al-Halim al-, al-Imam asy-Syafi’i, Nasir as-Sunnah wa Wadi’ al-Ushul, ttp.: Dar al-Qalam , 1968.

Khatib, Muhammad Ajjaj al-, As-Sunnah Qabl at-Tadwin, Mesir: Maktabah al-Wahbah, 1963.

---, Usul al-Hadis, Ulumuhu wa Mustalahuh, ttp.: Dar al-Fikr, t.t. Mutalib, Rif’at Fauzi Abd al-, Al-Madkhal ial Tausiq as-Sunnah, Mesir:

Mu’assasah al-Khanji, 1978.

---, Tausiq as-Sunnah fi Qarn as-Sani fi al-Hijriyyi, Mesir: Maktabah al-Khanji, 1981.

Rahman, Fatchur, Ichtisar Mustalahul Hadis, Bandung: Ma’arif, 1978. Siba’i, Mustafa as-, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami, Kairo:

t.tp, 1949.

Syafi’i, Ar-Risalah, Asy-, Ahmad Muhammad Syakir, (Ed)., Mesir: Mustafa al-babi al-Halabi, 1938.

Zahrah, Muhammad Abu, Asy-Syafi’i, Hayatuhu wa Ashruhu, Ara’uhu wa

---, al-Hadis wa al-Muhaddisun, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1984.

Referensi

Dokumen terkait

Bag Filter 547/548BF05 dilengkapi dengan Electrical Trace Heating, yaitu sebuah peralatan yang berfungsi untuk memanaskan permukaan Dust Collection Chamber pada Bag

Batuan gunung api dan plutonik yang bersifat kalk-alkali potasik hingga ultrapotasik di bagian barat Sulawesi diinterpretasikan terbentuk akibat pelelehan pada

Dalam percobaan ini digunakan biji buah pala karena minyak pala yang dihasilkan dari penyulingan, mengandung trimiristin yang tidak banyak tercampur dengan ester lain yang

Pertanyaan penelitian yang muncul adalah “Bagaimana penerapan fengshui pada tata letak massa bangunan di kawasan Kelenteng Sam Poo Kong?” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Ir. Budi Eka Prasetya Ir. Adrianus Rulianto Utomo, MP.. Laporan Praktek Kerja Industri Pengolahan Pangan di Perusahaan Pembekuan Ikan PT. Inti Luhur Fuja Abadi,

antara grup yang mendapat ondansetron 8 mg dan plasebo, didapatkan bahwa pada grup ondansetron mengalami penurunan tekanan darah sistol dan tekanan arteri rata-rata lebih

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan Interleukin-10 dengan derajat keparahan klinis pada DBD di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah

Dari latar belakang itulah sehingga penelitian ini dilakukan dengan judul “ pengaruh shift kerja terhada stres kerja pada karyawan di lingkungan PT. Semen