• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERISTIWA KETERLIBATAN MILITER ID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PERISTIWA KETERLIBATAN MILITER ID"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS

ANALISIS PERISTIWA KETERLIBATAN MILITER

DALAM POLITIK INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi nilai tugas mandiri pada Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Firdaus Syam, M.A.

OLEH :

ZAINAL MUTTAQIN NPM. 16011865030

PROGRAM ILMU POLITIK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA

(2)

PERISTIWA PENTING KEMILITERAN REPUBLIK INDONESIA

1. Peristiwa 27 Juni 1946 “Penculikan Perdana Menteri”

Pada tanggal 27 Juni 1946 telah terjadi penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, menteri kemakmuran Darmawan Mangunkusumo dan beberapa orang lainnya dalam kabinet Sjahrir. Penculikan itu dilaterbelakangi oleh ketidakpuasan kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka kepada kabinet yang telah dibentuk, karena menganggap perjanjian linggarjati tidak lebih hanya akan menyisakan penderitaan rakyat.

Kegagalan pemerintahan Sjahrir, menyebabkan beberapa kolega Tan Malaka dari kalangan militer untuk bertindak. Dianataranya adalah Mayjend R.P. Sudarsono, Kolonel Sutarto dan A.K. Yusuf adalah inisiator dalam penculikan Perdana menteri dan beberapa menteri pada peristiwa tersebut. Penculikan ini disebut-sebut sebagai percobaan kudeta pertama dalam sejarah Republik Indonesia, namun kudeta bukanlah terhadap Presiden Sukarno, tetapi pada perdana menteri.

Analisis dalam kejadian penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada tanggal 27 Juni 1946 ;

Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan, dimana dalam kelompok ini Tan Malaka bersama beberapa orang yang tergabung di dalamnya seperti Subardjo, Sukarni, dll menggagas minimum program yang isinya ialah menasionalisasi asset kolonial Belanda yang berada di Indonesia untuk dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia, namun ditolak oleh Sukarno dan Hatta, sehingga membuahkan kekecewaan dari kelompok Tan Malaka, namun kelompok ini tak henti-hentinya menyerukan minimum program yang digagasnya, sehingga propagandanya berhasil mengumpulkan ribuan orang masuk dalam barisannya.

(3)

mengumpulkan ribuan massa dalam Persatuan Perjuangan, sehingga tuduhan dilimpahkan kepadanya.1

Terlepas dari pengakuannya tersebut, Mayjend R.P. Sudarsono mengantarkan Sutan Sjahrir yang ditemui oleh ajudan presiden dengan meminta kesepakatan agar Sjahrir dicopot dari jabatannya, mengganti seluruh kabinet oleh tokoh Persatuan perjuangan dan pemerintah menjalankan gagasan minimum program, namun permintaannya ditolak dan Sudarsono bersama beberapa pengikutnya ditangkap.

Jika kita baca peristiwa tersebut, akan menemui beberapa kesimpulan, diantaranya ialah bahwa Sudarsono bertindak tanpa sepengetahuan Tan Malaka, Penculikan ini dijadikan sebagai senjata untuk melumpuhkan oposisi (Persatuan perjuangan) dibawah kendali Tan Malaka agar tidak mengganggu jalannya pemerintahan.

2. Peristiwa 17 Oktober 1952 “Pengerahan Pasukan Militer Ke Istana Presiden” Pada tanggal 17 Oktober tahun 1952 telah terjadi pengerahan massa militer ke depan istana yang dimotori oleh Mayjend TB. Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution. Latar belakang terjadinya peristiwa ini adalah karena sebagian besar anggota DPRS berasal dari negara-negara boneka.

Nasution dalam tuntutannya pada pengerahan massa tersebut meminta aga DPRS dibubarkan dan sesegera mungkin melaksanakan pemilihan umum sebagai wujud represantasi rakyat sesungguhnya, serta Nasution menginginkan rasionalisasi tentara. Namun gerakan ini dibaca oleh Kolonel Bambang Supeno untuk menyingkirkan Tentara-tentara PETA (bentukan Jepang), sehingga ia langsung menyurati DPRS dan Presiden Sukarno. A.H. Nasution menganggap cara Supeno meyurati DPRS dan Presiden merupakan tindakan indisipliner yang mengabaikan hirarkis, akhirnya Supeno diskors dari dinas militer.

Tuntutan gerakan 17 Oktober 1952 yang menginginkan Pemerintah yang bersih dengan tuntutan pemilihan umum, pembubaran DPRS dan rasionalisasi tentara ditolak mentah-mentah oleh Presiden Sukarno dalam pidatonya yang mengatakan “saya peringatkan, ketika saya mengangkat almarhum pak dirman, saya pesan tentara tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh politik. Saya minta, bahkan saya perintahkan kepada panglima tinggi supaya pernyataan ini jangan diumumkan”. Akibat pidatonya tersebut, sebagian prajurit yang mengepung istana berbalik menjadi penentang gerakan Nasution, dan kubu TNI pun menjadi terbelah dua,

(4)

antara pro gerakan 17 Oktober dibawah kendali A.H. Nasution dan kontra gerakan 17 Oktober dibawah komando Bambang Supeno. Pada konflik dalam tubuh TNI makin meruncing antara kubu Nasution dan kubu Supeno.

Analisis dalan peristiwa 17 Oktober 1952 ;

TNI sebagai benteng pertahanan negara merupakan sebuah pandangan ideal kaum militer, sehingga TNI menurut A.H. Nasution bukan hanya perkara bagaimana mempertahankan wilayah teritorial negara kesatuan, namun pertahanan di bidang politik juga sebagian dari konsep pertahanan negara, kemudian pemahaman demikian dikenal sebagai “Dwi Fungsi ABRI”, dari pemikirannya itulah dia mampu menggerakkan massa militer ke depan istana kepresidenan lengkap dengan meriam dan tank.

Tujuan Nasution dalam mengerahkan pasukan ke hadapan istana hanyalah untuk menyampaikan aspirasinya agar dilakukan pemilihan umum dan Pembubaran DPRS yang banyak diisi oleh kroni-kroni kolonial, ia sebut ini sebagai permohonan anak kepada bapaknya. Namun bagi Sukarno sebagai Presiden, tidaklah ada seorang anak yang memohon kepada bapaknya dengan mengancam menggunakan meriam, tank dan peluru tajam, baginya ini merupakan upaya kudeta yang direncanakan Nasution.

Gerakan 17 Oktober juga menimbulkan gejolak dalam tubuh Angkatan Darat, dimana bahwahan Nasution yakni Kolonel Supeno merasa Nasution ingin menyingkirkan tentara yang berasal dari PETA, sehingga ia bereaksi dengan menyurati DPRS dan Presiden, akibatnya Supeno Diberhentikan dari kedinasan Militer, kemudian tak selang berapa lama Nasution dicopot jabatannya dari KSAD oleh Presiden. Dengan dicopotnya Nasution menimbulkan gejolak dalam tubuh militer semakin meruncing. Akhirnya Nasution kembali menjabat sebagai KSAD pada tahun 1955 setelah kekeruhan dalam Angkatan Darat semakin manjadi. Setelah ia kembali menjabat, akhirnya gejolak dapat diredam dan perpecahan dapat ditangani, kemudian pemilihan umum dapat terwujud atas representasi rakyat.

Disini kita dapat membaca, bahwa memang Nasution memiliki peranan penting dalam tubuh Angkatan Darat, kecerdikannya dalam memainkan peran dilihat sangat menonjol, dapat dikatakan ia merupakan pemain strategi konflik yang ulung, sehingga keinginannya menyelenggarakan pemilihan umum dapat terlaksana.

(5)

27 Juni 1955 merupakan peristiwa bersejarah bagi TNI, kala itu Bambang Utojo dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sebagai upaya untuk mengisi kekosongan kepemimpinan Angkatan Darat. Kolonel Bambang Utojo yang semula adalah panglima teritorium II/Sriwijaya, ditentang oleh pimpinan angkatan darat, pada akhirnya pelantikan Bambang Utojo sebagai KSAD tidak dihadiri satupun perwira Angkatan Darat.

Pemboikotan pelantikan KSAD ini merupakan buntut panjang dari peristiwa 17 Oktober 1952, juga merupakan jalan buntu atas perundingan Angkatan Darat dengan pemerintah pada tanggal 1 Mei 1955 yang dikenal sebagai “Rapat Collegial”. Pelantikan Bambang Utojo ini akhirnya menyebabkan kabinet Ali Wongso terjungkal, kemudian digantikan dengan kabinet Burhanudin Harahap, akhirnya penyelesaian masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat diselesaikan oleh Burhanudin Harahap dengan kembali diangkatnya A.H. Nasution sebagai KSAD yang sebelumnya pernah diberhentikan pada jabatan yang sama kerana gerakan 17 Oktober 1952 yang dipimpinnya. Dengan kembalinya A.H. Nasution menjadi KSAD, kondisi Angkatan Darat jauh lebih membaik dan konflik meruncingpun dapat diselesaikan dalam tubuh Angkatan Darat.

Analisis Peristiwa 27 Juni 1955 terkait Masalah Penggantian Pimpinan Angkatan Darat ;

Dari tiadanya titik temu antara pemerintah dan Angkatan Darat dalam Rapat Collegial menyebabkan ketidak kondusifan Militer Indonesia pada tahun-tahun tersebut, bahkan menjadi bahan olok-olokan pemerintah Belanda bahwa Indonesia merupakan negara yang belum siap untuk merdeka. Hal ini menyebabkan beberapa posisi penting dalam Angkatan Darat silih berganti tidak menemukan sosok yang cocok, akibatnya dalam tubuh militer sering mengalami kekosongan kepemimpinan. Puncaknya pada pengangkatan Panglima teritorium II/Sriwijaya Kolonel Bambang Utojo diboikot oleh perwira-perwira tinggi Angkatan Darat, yang menyebabkan pula kabinet Ali Wongso tumbang. Jika kita lihat sangat jelas Bambang Utojo tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam Angkatan Darat, terlebih dia ditolak oleh seluruh perwira Angkatan Darat.

(6)

dalam tubuh Angkatan Darat mereda. Yang menjadi penting disini, Nasution merupakan perwira Angkatan Darat paling berpengaruh saat itu setelah Ahmad Yani. Nasution berhasil menjadi pemecah kebuntuan, bahkan momentum ini dipercaya sebagai konsolidasi militer dalam pemerintahan Indonesia sebagai awal dari pembangunan kekuatan militer yang solid.

4. Peristiwa 14 – 15 Agustus 1958 “Sidang Dewan Nasional”

Sidang Dewan Nasional diselenggarakan pada tanggal 14-15 Agustus 1958, dimana A.H. Nasution mengusulkan agar militer memiliki posisi di Dewan Nasional, DPR maupun kabinet. Ia berargumentasi ketika berhadapan dengan agresi Belanda II, tentara telah membentuk pemerintahan militer, Gagasan tersebut menimbulkan reaksi baik dari kalangan internal militer maupun partai politik. Beberapa anggota militer menginginkan agar setiap anggota TNI yang aktif berpolitik agar menanggalkan ke TNI-annya, seangkan sejumlah partai politik yang berada di parlemen mengkhawatirkan kudeta militer apabila usulan Nasution diterima.

Nasution mengganggap TNI tidak hanya bisa menjadi penonton pingir arena politik, akan tetapi ia menganggap TNI akan turut terlibat dalam kebijakan politik nasional, terutama di bidang politik, ekonomi, keuangan dan internasional, sehingga TNI harus duduk di segala posisi, baik itu kabinet, dewan nasional, birokrasi, korps diplomatik, dewan perancang nasional dan parlemen.

Perminataan Nasution ini sendiri dilatari oleh adanya Undang-Undang keadaan bahaya (SOB), dimana Ir. Djuanda sebagai perdana menteri diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk membangun format politik dengan militer dijadikan landasan utama. Hal ini menguatkan peranan politik Sukarno dan TNI AD. Dikarenakan sama-sama memiliki basis kekuatan yang seimbang, sehingga pada sidang Dewan Nasional, Nasution menginginkan unsur militer masuk kedalam segala lini inti politik nasional yang telah dikemukakan diatas.

Analisis tentang keinginan Nasution memasukan TNI ke Dewan Nasional

(7)

Dalam keadaan bahaya pada agresi militer Belanda II, Nasution menjalankan perintah Presiden dengan menyelenggarakan pemerintahan militer. Ketiadaan sipil yang sanggup memerintah, mengharuskan kekuatan politik digalang oleh TNI. Pada masa-masa bahaya tersebut TNI berhasil mempertahankan Republik Indonesia tetap menjadi negara yang merdeka. Oleh karena itu Nasution tidak menginginkan jasa TNI hilang ketika tampuk kepemimpinan nasional kembali kedalam keadaan normal.

Keinginan Nasution jelas menghadapi pertentangan, terutama pada parlemen, dimana sebagian partai politik disana mengkhawatirkan adanya kudeta yang dilakukan militer. Nasution sendiri berargumen bahwa militer tidak lagi harus berada di barisan terluar dalam kancah politik, karena untuk mempertahankan negara memerlukan kekuatan militer yang berada dalam pengambil kebijakan strategis. Dengan desakan ini, unsur militer dan kepolisian negara masuk kedalam jajaran Dewan Nasional, diketahui selaku Ketua Dewan Nasional ialah Presiden Sukarno dengan ex officio terdiri dari KSAD (Jandral A.H. Nasution), KSAU (Komdor Surjadarma), KSAL (Laksamana Madya Subijakto), dan Kelapa Kepolisian Negara (Sukanto), serta didampingi oleh wakil-wakil perdana menteri dan Ketua Mahkamah Agung.

Mulai dari keinginan memasuki lini penting politik nasional, sampai disetujuinya unsur militer yang berada dalam Dewan Nasional, ini menandakan kekuatan militer pada masa itu sangat berpengaruh signifikan. Ini dibuktikan dengan eksistensi militer pada masa-masa selanjutnya keberadaan militer pada posisi strategis pemerintahan, akhirnya militer tidak lagi hanya menjadi alat negara untuk mengkonsolidasikan kekuatan nasional dari angkatan perangnya, akan tetapi menjadi kekuatan politik baru yang disegani sampai kepada masa orde baru mendatang.

Dibangunnya kekuatan militer didalam pemerintahan juga disebut oleh Nasution sebagai politik jalan tengah atau juga disebut The Army Political Character yang memandang bahwa ABRI bukan hanya alat sipil, tetapi juga bukan sebuah rezim yang mendominasi kekuasaan, namun salah satu dari sekian banyak kekuatan dalam masyarakat. Pada masa selanjutnya konsep Nasution ini dikaitkan dengan cikal bakal Dwi Fungsi ABRI.

(8)

Pada tahun 1966 banyak peristiwa yang terjadi, mulai dari SUPERSEMAR yang menjadi awal langkah Suharto naik panggung yang pada akhirnya menggantikan Sukarno sebagai presiden. Masalah Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal SUPERSEMAR ini menuai kontroversi dari beberapa versi yang ada. Sebagian kalangan percaya bahwa supersemar merupakan tekanan yang dibuat Suharto kepada Sukarno akibat meletusnya G30S/PKI atau Gestok pada 30 September 1965 dini hari (6 bulan sebelum SUPERSEMAR). Dengan diterbitkannya SUPERSEMAR supremasi Suharto dalam keamanan negara menjadi dominan melebihi kuasa Presiden atas angkatan bersenjata.

SUPERSEMAR juga dijadikan senjata untuk membubarkan PKI, sehati setelah terbitnya surat tersebut, Suharto melalui pasukan militer atas nama Presiden memerintahkan untuk segera membredel Partai Komunis Indonesia (PKI), akhirnya kantor CC PKI dan seluruh Cabang PKI dihancurkan, serta orang-orang yang dianggap memiliki keterlibatan dengan PKI ditangkap (kabar yang beredar terjadi pembunuhan massal kepada orang yang dianggap PKI pada tahun tersebut). MPRS mendukung perintah Suharto dengan mengeluarkan ketetapannya Nomor XXV/1966 tentang Pelarangan Marxisme-Leninisme/Komunisme.

Selain melakukan pembredelan, militer juga menyokong bantuan pada gerakan mahasiswa (disebut Keluarga Aksi Mahasiswa Indonesia / disingkat KAMI) yang menuntut Sukarno untuk menanggalkan jabatannya sebagai Presiden. Akhinya pada tanggal 22 Juni 1966 melalui sidang umum ke-IV Sukarno menyampaikan pidato Nawaksara sebagai pertanggungjawabannya sebagai presiden, bersamaan dengan berakhirnya jabatan tersebut dan mengangkat Suharto menjadi Pejabat Presiden. Ini merupakan awal dari perjalanan pemerintahan orde baru.

Analisis pada peristiswa tahun 1966;

(9)

gerakan mahasiswa (KAMI) menyerukan agar dilakukan pembubaran PKI, kemudian militer mulai masuk dalam jajaran legislatif, A.H. Nasution bertindak sebagai ketua MPRS saat itu, melalui Suharto yang memiliki mandat atas SUPERSEMAR mengeluarkan ketetapan pembubaran PKI, dikelaurkannya TAP MPRS XXV/1966 membuat terjadi tindakan-tindakan represi militer dan sipil. Dimana atas kuasa Suharto sebagai Menteri Pertahanan memerintahkan untuk menghancurkan markas-markas PKI dan menangkap orang-orang yang terlibat PKI.

Kejadian demi kejadian itu, kekuasaan Sukarno atas pemerintahan menjadi rapuh. Partai penyokong kabinet dalam pemerintahan habis dibredel oleh Suharto, mengakibatkan kekacauan yang tidak terkendalikan, ditambah aksi-aksi mahasiswa disokong penuh oleh militer, yang pada akhirnya Sukarno diberhentikan oleh MPRS dan mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden. Keluarnya SUPERSEMAR setelah kita runut permasalahan-permasalahan di depannya merupakan sebuah upaya kudeta tersistematis yang dilakukan oleh Suharto.

6. Peristiwa 22 – 24 September 1998 “Seminar Peran ABRI Abad XXI Oleh SESKOAD”

Pada tanggal 22 – 24 September 1998 Seskoad TNI Bandung mengadakan seminar yang bertajuk “Peran ABRI Abad XXI. Tujuan dari seminar ini ialah untuk dilakukannya redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran TNI dalam kehidupan bangsa. Sebelumnya Menhankam/Pangab Wiranto mengeluarkan buku yang berjudul “ABRI abad XXI : redefinisi, reposisi dan reaktualisasi dalam kehidupan bangsa”, dimana buku tersebut merupakan kajian gabungan pemikiran elit sipil dan militer selama periode 1997-1998, dimana ABRI sering mengundang elit sipil ke Sesko ABRI untuk melakukan pengkajian mengenai peran ABRI di masa yang akan datang.

(10)

menerapkan perannya di masa depan secara tepat sesuai perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat.

Dilakukannya seminar yang dilakukan SESKOAD tersebut, secara terang doktrin dwi fungsi ABRI mengalami pergeseran yang cukup signifikan, secara terbukan dalam seminar tersebut TNI mengakui bahwa selama ini dalam pemerintahan Orde Baru, mengalami distorsi yang cukup serius. Untuk itu TNI harus berbenah, dikarenakan tantangan TNI kedapan begitu besar, kompleks dan multidimensional, untuk itu penyesuaian harus dilakukan, kemudian TNI harus mendengar dan merespon aspirasi rakyat.

Analisis Seminar ABRI Tanggal 22 – 24 September 1998;

Pasca aksi demonstrasi atas tuntutan untuk reformasi pada Mei 1998, terjadi banyak gejolak sosial, mulai dari kebingungan atas aktivis yang tidak kembali setelah dilakukannya penculikan oleh militer, kerusuhan yang terjadi di Poso, dan masalah lainnya yang mengancam integrasi bangsa. Oleh karena itu TNI melakukan sebuah seminar yang bertajuk “ABRI di abad XXI”, dimana dalam seminar itu, diungkapkan telah terjadi pergeseran peran ABRI, yang diakui memiliki kekurangan dan distorsi yang cukup serius akibat imbas perpolitikan Orde Baru. Maka dari itu TNI berkomitmen melakukan redefinisi, reposisi dan reaktualisasi.

Dengan konsepsi ABRI yang terbarukan, TNI berharap dapat jauh lebih dekat dan tanggap dalam merespon aspirasi masyarakat, karena selama pemerintahan Orde Baru, TNI digunakan sebagai alat untuk memuluskan keinginan dan tujuan pemerintah, tidak berdasarkan aspirasi dari bawah, sehingga pembangunan komunikasi antara pemerintah tidak dengan feddback, tetapi intruksional. Hal ini mengakibatkan adanya sekat yang cukup tebal antara pemerintah dan masyarakat, kemudian masyarakat hanya dapat mematuhi keinginan pemerintahan tanpa bisa mengkritisi.

(11)

DAFTAR BACAAN

Buku :

Dekker, Nyoman. 1989. Sejarah Revolusi Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Malaka, Tan. 2000. Dari Penjara Ke Penjara. Jakarta : Teplok Press

MILISIA. 1953. Edisi I. “Paralel dan Perbedaan 3 Djuli 1946 dengan 17 Oktober 1952

Syam, Firdaus. 2004. Wiranto : Reformasi, Politik Militer dan Panggilan Konstitusi. Jakarta : PT. Dyatama Milenia.

Situs Internet :

https://www.merdeka.com/peristiwa/17-oktober-saat-tni-kerahkan-meriam-tank-minta-dpr-dibubarkan-17-oktober-1952-4.html

http://young-empresario.blogspot.co.id/2011/03/27-juni-1955masalah-penggantian.html

http://chamad86.blogspot.co.id/2010/08/normal-0-false-false-false.html

http://nasional.kompas.com/read/2016/03/12/06310001/12.Maret.1966.Soeharto.Bubarkan.P KI

Sumber Lainnya :

Referensi

Dokumen terkait

Laporan tersebut juga bisa menjadi sarana bagi penyelia guna menentukan apakah semua langkah yang diperlukan untuk menghasilkan temuan audit dikembangkan dengan

Rata-rata produksi, harga jual, dan nilai produksi yang diperoleh usaha pengolahan pupuk bokashi kelompok tani Bambong Makmu dalam jangka waktu satu bulan

 Menyedari pelbagai peranan wanita dalam keluarga, masyarakat, ekonomi dan politik negara, kerajaan mengakui bahawa strategi- strategi yang khusus perlu dibentuk bagi

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah penerapan metode bermain peran dalam pembelajaran IPS kelas V SD dapat meningkatkan motivasi belajar

Mengat ur propert ies bean at au m engat ur variabel ke dalam scope yang berbeda m em bukt ikan bahwa fungsi dapat di refact or disuat u t em pat dan t idak baik dengan dom

Panitia Pengadaan Pekerjaan Jasa Konsultansi adalah satu Panitia yang terdiri dari pegawai-pegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa

1) Menentukan jumlah pungutan pajak dan retribusi daerah serta pengutan lainnya yang dilakukan kepada masyarakat. 2) Merupakan sarana mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang

Fathul Qodir, selaku Dosen Pembimbing Muda yang dengan penuh ketulusan dan kesabaran memberikan bimbingan dan pengarahan serta dorongan kepada penulis.. Rif’an Tsaqif, MT,