• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Penegakan Hukum Dalam Sektor K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Relevansi Penegakan Hukum Dalam Sektor K"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

I. Pendahuluan

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan

tumbuhan lainnya. Hutan berfungsi sebagai penampung karbondioksida, pembentuk

ekosistem dan habitat dari hewan serta tumbuhan, cadangan air tawar, dan salah satu biosfer

Bumi yang paling penting. Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di dunia, yang luas

wilayahnya menempati urutan ketiga setelah Brazil di Benua Amerika Selatan, dan Republik

Kongo di Benua Afrika. Dengan demikian, seharusnya Indonesia masih memiliki potensi

sumber daya hutan yang besar. Sampai saat ini hutan belum dianggap sebagai bagian dari

aset negara, sehingga tidak pernah tercatat dalam APBN. Inilah yang membuat pemerintah

selalu abai merawat dan menjaga kondisi hutan, kebakaran hutan yang selalu terulang sejak

tiga dekade belakangan ini adalah bentuk nyata pengabaian ini. Kebakaran hutan dan lahan

adalah penyebab utama deforestasi yang signifikan setiap tahun di Indonesia.

Laju Pembukaan Hutan di Pulau-pulau Utama Indonesia selama 2001-2012.

(2)

Luas wilayah hutan Indonesia setiap tahunnya selalu mengalami penurunan.

Kerusakan hutan bisa disebabkan oleh faktor alamiah seperti bencana El Nino pada tahun

1997-1998 yang disebut sebagai bencana kebakaran hutan dan lahan terburuk di Indonesia,

maupun juga oleh faktor manusia seperti aktivitas penebangan pohon secara ilegal,

pembakaran hutan untuk pembukaan lahan kelapa sawit, dan perkebunan pangan lainnya.

Tidak adanya kepedulian pemerintah dalam mengelola hutan yang pro-rakyat menimbulkan

kesenjangan sosial ekonomi pada masyarakat sekitar hutan.

II. Pola Perencanaan Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Joseph Stiglitz, 1998, yang menulis “Towards a New Paradigm for Development:

Strategies, Policies, and Processes” memformulasikan konsep paradigma baru

pembangunan. Menurut Stiglitz, pembangunan merupakan suatu transformasi masyarakat

yang menyangkut perubahan hubungan-hubungan tradisional, cara berpikir yang tradisional,

dan cara-cara tradisional menuju kepada cara-cara yang modern. Pembangunan ekonomi

adalah suatu proses perencanaan yang berkelanjutan dan dilakukan oleh pemerintah untuk

menyejahterakan kehidupan masyarakat serta meningkatkan pendapatan perkapita

pendudukanya dalam jangka panjang. Perencanaan pembangunan di Indonesia sejak 1970-an

berfokus di bidang ekonomi, tetapi agak menyampingkan sektor politik, sosial, budaya,

lingkungan hidup, kehutanan, serta hukum dan hak-hak asasi manusia. Pembangunan

ekonomi dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, sistem pemerintahan di Indonesia sejak

tahun 1966-1998 disebut sebagai sistem pemerintahan Orde Baru.

Selama 32 tahun, perencanaan pembangunan ekonomi dikendalikan oleh pemerintah,

dimana peran pemerintah lebih diutamakan daripada peran masyarakat baik secara individu

maupun kelompok. Pada masa Orde Baru, pembangunan ekonomi di Indonesia maju pesat,

(3)

Pemerintahan Orde Baru menempatkan sektor kehutanan sebagai andalan perolehan devisa

negara kedua setelah sektor migas. Sektor kehutanan menyerap bangak tenaga kerja, mampu

mendorong terbentuknya sentra-sentra ekonomi, dan membuka keterisolasian daerah-daerah

terpencil. Namun, bersamaan dengan itu pula timbul dampak negatif pengelolaan hutan yang

ekspansif dan terlalu berpihak pada pemodal asing, kelompok birokrat, kepentingan

golongan, maupun para pemburu rente. Maka akhirnya yang tersisa adalah persoalan

kerusakan hutan yang sangat menghawatirkan.

III. Paradigma Pembangunan Sektor Kehutanan

Pembangunan sektor kehutanan sudah dimulai sejak era kolonial Belanda. Namun,

periode pembangunan sektor kehutanan yang paling menonjolkan peran pemerintah adalah

masa Orde Baru. Perpindahan kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama yang cenderung

pro-rakyat, tidak diikuti oleh paradigma pemerintahan Orde Baru dengan mengusung model

pembangunan ekonomi yang terselubung kapitalisme. Proses pembangunan yang

mengatasnamakan amanat Pasal 33 UUD 1945, menjadi alat legitimasi pemerintah untuk

melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam terutama sektor pertambangan dan sektor

kehutanan sebagai bentuk easy money.

Pembangunan merupakan bentuk lain dari eksploitasi yang dilakukan negara industri

maju terhadap negara berkembang, ironinya terjadi bentuk baru kolonialisme dalam

pemenuhan kebutuhan industri negara dengan mengeskploitasi sumber daya alam yang

dimiliki negara berkembang di Dunia Ketiga. Pola-pola pembangunan yang memprioritaskan

eksploitasi sumber daya alam telah banyak diterapkan oleh negara-negara berkembang di

Dunia Ketiga yang hanya menitikberatkan pada aspek ekonomi semata, sektor kehutanan

merupakan bagian dari sumber daya alam tidak luput dari praktek eksploitasi. Pola

(4)

Pertumbuhan pembangunan konvensional yang menitikberatkan pada aspek ekonomi

semata menimbulkan dampak bagi manusia dan juga lingkungan. Pembangunan

konvensional yang menyampingkan aspek sosial dan lingkungan telah menciptakan

kerusakan di sektor kehutanan menyebabkan terjadinya kemiskinan. Masyarakat sekitar hutan

yang bergantung secara ekonomi untuk pemenuhan hidup menjadi terganggu, masyarakat

sekitar hutan juga tidak pernah dilibatkan dalam perumusan tata kelola pembangunan hutan.

Terjadinya gesekan konflik vertikal maupun horisontal sebagai akibat terjadinya

pembangunan konvensional yang dilakukan negara dalam sektor kehutanan. Konflik sosial

seringkali berakar dari produk hukum masa pemerintahan Orde Baru.

Hutan harus menjadi bagian dari aset negara dan tercatat di APBN, sehingga

kerusakan hutan menjadi tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan perusahaan.

Pembangunan sektor kehutanan sejak puluhan tahun sebelumnya lebih mengutamakan

pemilik modal terutama pemodal asing sehingga hutan mengalami deforestasi. Pengelolaan

hutan yang tidak didasarkan atas kepentingan rakyat, menyebabkan hutan sebagai sumber

daya ekonomi masyarakat sekitar hutan terganggu. Saat ini pembangunan sektor kehutanan

merupakan bentuk eksploitasi yang dilegalkan atas nama negara. Perlu adanya pembangunan

sektor kehutanan yang produktif dan tidak eksploitatif.

IV. Kebakaran Hutan Indonesia Dalam Aspek Regional

Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu

lingkungan dan ekonomi. Berdasarkan hasil pantauan citra satelit NASA, peristiwa kebakaran

yang terjadi tahun 2015 menimbulkan lintasan panjang berbentuk selimut asap tebal yang

membujur menutupi wilayah udara di sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Musibah ini secara serius membahayakan kesehatan manusia di kedua wilayah tersebut,

(5)

negara-negara tersebut turut menyumbangkan tenaga dan dana penanggulangan kebakaran hutan dan

asap, selain itu mereka juga menyampaikan kritikan pedas bagi Indonesia dan

mempertanyakan musibah ini terus terulang dari tahun ke tahun. Kebakaran ini juga

membahayakan keamanan perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang

sangat besar di seluruh kawasan ASEAN. Sebagai ilustrasi persebaran titik panas kebakaran

hutan di Kalimantan tahun 2015 sebagai berikut :

Persebaran titik panas kebakaran hutan di Kalimantan tahun 2015.

Sumber: http://earthobservatory.nasa.gov/NaturalHazards/view.php?id=10065

Menurut media Jerman, Deutsche Welle, kebakaran hutan dan lahan yang melanda

Indonesia tahun 2015 merupakan kasus terparah yang mengakibatkan hamparan kabut asap

yang luas menyelimuti kawasan ASEAN terutama Singapura, Malaysia, dan Brunei

Darussalam. Negara-negara tersebut bahkan sempat menutup bandara, pelabuhan,

sekolah-sekolah, dan kantor-kantor pelayanan publik. Sedangkan bagi Indonesia dampak kerugiannya

diperkirakan setara dengan US$ 16 milyar.

Besarnya dampak negatif yang ditimbulkan kebakaran hutan dan lahan telah menjadi

(6)

Beberapa negara yang juga concern terhadap permasalahan lingkungan hidup seperti

Australia, Amerika Serikat, Kanada, Rusia, dan Jepang telah ikut berpartisipasi membantu

Indonesia dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan berupa bantuan finansial, peralatan

dan teknologi maupun peningkatan sumber daya manusia. Berbagai bantuan luar negeri untuk

memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berasal dari :

1. Pasukan BOMBA dari Malaysia untuk wilayah Riau, Jambi, Sumsel, dan Kalbar.

2. Bantuan pesawat AT-130 dari Australia dan pesawat Hercules C-130 dari Amerika

Serikat untuk wilayah Lampung.

3. Bantuan masker, obat-obatan, dan bahan kimia pemadam dari negara-negara ASEAN,

Korea Selatan, Jepang, Tiongkok, dan Rusia.

V. Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia

Hutan Indonesia sebenarnya masuk dalam kategori hutan hujan basah yang

sebenarnya kecil kemungkinan terjadi kebakaran dengan sendirinya atau yang disebabkan

karena faktor alam. Faktanya, kawasan yang terbakar adalah kawasan yang telah dibersihkan

melalui proses land clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan kawasan

perkebunan. Artinya, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia secara nyata dipicu oleh api

yang memang secara sengaja dimunculkan.

Kebakaran hutan dan lahan yang pada abad ke-20 selalu terjadi secara alami, tetapi

kenyataan manusia berperan penting dalam memulai kebakaran sejak tiga dekade belakangan

ini. Dengan tujuan perburuan dan selanjutnya untuk membuka petak-petak pertanian di dalam

hutan, manusia membakar hutan dan lahan sehingga menjadi ciri khas hutan-hutan di

kepulauan nusantara selama berabad-abad lalu. Namun kebakaran yang terjadi pada masa itu

(7)

Berbagai proses degradasi hutan dan deforestasi mengubah kawasan hutan yang luas

di Indonesia dari suatu ekosistem yang tahan kebakaran menjadi ekosistem yang rentan

terhadap kebakaran. Sebagian besar wilayah Indonesia adalah hutan, dan baru tiga dekade

belakangan ini mengalami deforestasi yang sangat tinggi. Hal ini terlihat jelas dari kenyataan

bahwa penebangan hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun sebelumnya adalah

sumber dari terjadinya penyusutan hutan Indonesia secara besar-besaran. Sebagai ilustrasi

deforestasi di Kalimantan 1950-2010 dan proyeksi tahun 2020 sebagai berikut :

Deforestasi di Kalimantan 1950-2010 dan Proyeksi tahun 2020.

Sumber: http://kitadanbumi.blogspot.co.id/2010/11/kondisi-hutan-dunia-dan-indonesia-saat.html

Kebakaran hutan dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari

masalah kehutanan dan perkebunan di Indonesia. Menurut World Resource Institute, sejak

tahun 1990 sampai sekarang Indonesia telah kehilangan luas wilayah hutan aslinya sebesar

28%. Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

menyebabkan mayoritas luas wilayah hutan kepulauan nusantara dikuasai kelompok birokrat,

penambang, dan pengembang lahan. Menurut data Badan Planologi Departemen Kehutanan,

(8)

periode 1997-2000 meningkat drastis menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Hal ini semakin

mengukuhkan Indonesia sebagai negara dengan predikat kerusakan hutan terbesar di dunia.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyebutkan bahwa kebakaran hutan

disebabkan oleh kebakaran yang dilakukan secara sengaja dan rambatan api di lahan gambut

dengan total luas hutan dan lahan yang terbakar dalam kurun waktu 2008-2014 mencapai

27,6 juta hektar. Data WALHI menunjukkan bahwa di wilayah Sumatera dan Kalimantan

pemicu pembakaran hutan dan lahan untuk kelapa sawit adalah tindakan sengaja oleh oknum

perusahaan perkebunan. Motif utama proses land clearing dengan cara pembakaran hutan

dan lahan karena mekanisme pembakaran hutan akan lebih efektif daripada dengan

menggunakan cara-cara konvensional dengan penebangan dan bahan kimia. Selain itu,

dengan melakukan pembakaran dapat menaikkan kadar keasaman tanah (PH) hingga sebesar

5-6 yang cocok untuk perkebunan kelapa sawit.

Kerusakan hutan bisa disebabkan oleh faktor alamiah seperti bencana El Nino pada

tahun 1997-1998 disebut sebagai salah satu bencana kebakaran hutan dan lahan terburuk di

Indonesia, karena nilainya setara dengan 40% dari seluruh emisi yang ditimbulkan dari

pembakaran bahan bakar fosil di Indonesia selama setahun. Selama tahun 1997-1998

diperkirakan 25 juta hektar hutan hangus terbakar di seluruh dunia. Menurut versi

media-media asing perkiraan luas area terdampak kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama

tahun 1997-1998 adalah sebesar 11,7 juta hektar, sedangkan menurut data Bappenas luas area

terdampak adalah sebesar 4,5 juta hektar.

VI. Lemahnya Penegakan Hukum Sebagai Kendala Perencanaan Ekonomi

Pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia masih diwarnai banyak kelemahan

terutama kurangnya koordinasi pusat dan daerah. Diana Conyers & Peter Hills, 1984, yang

(9)

berjudul “Planners & Planning Agencies” mengidentifikasi adanya tiga pihak yang terkait

dengan erat dalam perencanaan yaitu politisi, perencana (planner), dan administrator yang

masing-masing memiliki karakter dan argumentasi dalam mengelola tugas dan fungsinya.

Dalam proses perencanaan dan implementasinya, seringkali ketiga pelaku tersebut bersilang

pendapat atau bahkan kurang komunikasi. Ketiganya memiliki persepsi yang berbeda

menyangkut suatu proses maupun hasil perencanaan.

Planner memerlukan mandat politis dari politisi untuk melakukan perencanaan.

Berbagai praktek yang berkembang selama masa desentralisasi adalah banyaknya campur

tangan para politisi dalam mengarahkan perencanaan pembangunan. Tidak jarang

proyek-proyek yang disetujui adalah yang hanya selaras dengan kepentingan pribadi, kelompok

tertentu, maupun kantong-kantong konstituennya. Dengan adanya penerapan sistem

desentralisasi, maka semakin terbuka peluang bagi oknum pejabat daerah melakukan

praktek-praktek melemahkan penegakan hukum terutama di sektor kehutanan.

Kasus lemahnya penegakan hukum sektor kehutanan yang terbaru yaitu melibatkan

Ketua Majelis Kakim Pengadilan Negeri Palembang yang menolak gugatan Perdata

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)

senilai Rp 7,8 triliun. Pihak BMH berkilah bahwa gugatan KLHK ini tidak memenuhi syarat

formil dan materiil karena gugatan berlandaskan asumsi adanya kebakaran lahan di kawasan

konsensi tersebut, seta tidak bisa menunjukkan pelaku. Padahal, berdasarkan Pasal 88 UU

No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemilik izin

harus bertanggung jawab mutlak (strict liability) atas kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan. Untuk mengetahui lokasi pembakaransebenarnya tidak terlalu

sulit karena penyebab api umumnya selalu berasal dari area perkebunan yang memiliki Hak

Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) dengan modus pembersihan lahan yang

(10)

Kasus lainnya terkait lemahnya penegakan hukum sektor kehutanan adalah Pergub

Kalteng No.15 Tahun 2010 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi

Masyarakat di Kalimantan Tengah. Untuk membakar hutan seluas maksimal satu hektar per

orang hanya perlu izin dari Ketua RT setempat, sedangkan membuka lahan dengan cara

membakar hutan seluas satu sampai dua hektar, cukup izin setingkat Lurah atau Kepala Desa.

Ina Lidiawati, 2003, yang menulis “Penilaian Ekonomi Kerusakan Hutan dan Lahan

Akibat Kebakaran” mengidentifikasi bahwa dampak langsung kerugian ekonomi yaitu

hilangnya hasil hutan seperti kayu dan non-kayu, rusaknya lahan perkebunan akibat tertutup

asap, hangusnya keanekaragaman hayati, korban luka dan jiwa akibat sambaran api.

Bagi Indonesia, kebakaran hutan dan lahan yang melanda tahun 2015 merupakan

kasus terparah, dampak kerugian bencana diperkirakan setara dengan US$ 16 milyar. Jika

dibandingkan dengan cadangan devisa Indonesia pada akhir tahun 2015 sebesar US$ 105,9

milyar, artinya Indonesia kehilangan potensi ekonomi dari sektor perkebunan, kehutanan,

kesehatan, transportasi, pariwisata sebagai dampak kerugian langsung yang bisa dihitung.

Belum lagi biaya langsung yang dikeluarkan untuk penanggulangan dan pemadaman.

Berbagai kerugian-kerugian tersebut berkorelasi langsung terhadap perlambatan pertumbuhan

ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2015.

VII. Saran dan Kebijakan

Perencanaan pembangunan regional di Indonesia belum efektif, efisien, dan ekonomis

dalam mengarahkan sumber daya dan sumber dananya. Diperlukan reorientasi perencanaan

regional yang berkonsep negara kehutanan yang berkepulauan. Pembangunan sektor

(11)

Peluang bisa diwujudkan bila pemerintah pusat maupun daerah mampu menggalang

segenap kekuatan untuk mengelolanya secara optimal. Namun bisa menjadi ancaman bila

yang terjadi adalah perebutan kekuasaan dan tumbuhnya semangat kedaerahan semata. Pola

perencanaan ekonomi yang berbasis semangat Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi

solusinya, karena memiliki relevansi dalam konteks sebagai negara kehutanan yang terdiri

dari banyak pulau yang beragam ekosistem hutannya, beraneka flora dan faunanya, dan

bervariasi tingkat perkembangan ekonominya.

Perlu adanya pembangunan sektor kehutanan produktif dan tidak eksploitatif, untuk

mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang baik di masa mendatang, maka harus ada kerjasama

yang bersifat sinergis antara pemerintah pusat dengan daerah yang mengacu pada

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yakni menerapkan sistem

yang berimbang dan interaktif antara aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan.

Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan pola pembangunan yang tidak hanya

menitikberatkan pada aspek ekonomi saja.

Hutan dalam hal ini memerlukan pembangunan yang tidak hanya dari sisi hutan itu

sendiri, namun juga perlu memperhatikan masyarakat di sekitar hutan. Perlu adanya

keterlibatan dalam tata kelola hutan antara masyarakat dengan pemerintah. Kerusakan

lingkungan akibat dari pembangunan konvensional memerlukan rehabilitasi. Hal ini karena

lingkungan adalah penopang kehidupan masyarakat. Hutan yang merupakan bagian dari

(12)

Daftar Pustaka

Popi Tuhulele, Kebakaran Hutan di Indonesia dan Proses Penegakan Hukumnya Sebagai

Komitmen dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim. diakses pada tanggal 1 Juni 2016 dari

http://www.aifis-digilib.org/

Abdul Bukhori, Pembangunan Hutan Pasca Reformasi. diakses pada tanggal 1 Juni 2016 dari

http://www.kompasiana.com/

Aziz, Iwan J. Dkk, 2010, Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim.

Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Sabrina Asril, Gugat Perusahaan soal Kebakaran Hutan, Pemerintah Kalah di Pengadilan.

diakses pada tanggal 3 Juni 2016 dari http://nasional.kompas.com/

Anonim, Lebih 20 Perusahaan Pembakar Hutan Kena Sanksi. diakses pada tanggal 3 Juni

2016 dari http://www.dw.com/id/

Ina Lidiawati, Penilaian Ekonomi Kerusakan Hutan dan Lahan akibat kebakaran. diakses

Referensi

Dokumen terkait

Tatalaksana lanjutan pada pasien neonatus perempuan dengan malforasi anorektal tanpa fistel sama dengan pasien neonatus laki-laki; apabila ada keadaan penyulit yang

Algoritma kompresi huffman akan menghasilkan kompresi yang baik ketika data yang akan dikompres terdiri dari karakter- karakter dengan panjang kode lebih pendek

E-CRM adalah strategi bisnis yang menggunakan teknologi informasi yang memberikan perusahaan suatu pandangan pelanggannya secara luas, dapat diandalkan dan terintegrasi

Hasil penelitian tentang persepsi mahasiswa semester VII PGSD FKIP UMS terhadap pelaksanaan PPL tahun 2013/2014 melalui 60 angket yang terdiri dari tiga kategori yaitu, 20

sedangkan pada kelas kontrol adalah pembelajaran konvensional. Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, dan

Audit laporan keuangan dirancang untuk memperoleh keyakinan memadai ( reasonable assurance ) perihal apakah laporan keuangan bebas dari.. salah saji material.

1. Citizen Journalism Net Tv: CJ Net dengan moto “Everybody Can Be Journalist”, merupakan media jurnalisme warga untuk mencari, menonton dan berbagi informasi

Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan