GAMBARAN STRESS PADA INDIVIDU TERHADAP
ADAT PERNIKAHAN (
RAMBU TUKA’
) TORAJA
OLEH:
KEVIANA APSARI MOGA 802013061
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
GAMBARAN STRESS PADA INDIVIDU TERHADAP
ADAT PERNIKAHAN (
RAMBU TUKA’
) TORAJA
Keviana Apsari Moga Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
i Abstrak
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dianggap sebagai prosesi yang sakral dan sebagian orang mempersiapkannya sebaik mungkin. Dalam pernikahan masyarakat Toraja, calon pengantin akan menerima pemberian dari seluruh rumpun keluarga maupun kerabat mereka dalam bentuk hewan maupun materi yang menjadi simbol dari setiap acara yang dilakukan di Toraja baik itu diberikan kepada pihak laki-laki maupun perempuan namun pada akhirnya pemberian tersebut bagi sebagian masyarakat Toraja mengartikannya sebagai “indan” atau utang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode pengambilan data yaitu wawancara dan observasi. Penelitian ini melibatkan lima orang partisipan dengan rentang usia 25-55 tahun saat wawancara dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan merasa cemas, menurunnya konsentrasi, pikiran berulang yang dirasakan dari awal pernikahan hingga saat ini. Hasil penelitian tiga partisipan sering memikirkan indan yang berdampak pada aspek fisiologis, aspek psikologis, dan sosial serta merasa perubahan terhadap ukuran, bentuk serta potensi tubuh saat ini yang membuat individu sering merasa pusing, kelelahan turunnya berat badan, menurunnya daya konsentrasi, pikiran kacau, serta pikiran yang berulang tentang indan. Mereka merasa khawatir pada saat akan membayar indan namun tidak memiliki uang, hal ini membuat ketiga partisipan mengalami kecemasan, dan malongko’ atau malu, Namun hal tersebut tidak berdampak pada dua partisipan karena mereka tidak memikirkan
indan secara terus menerus.
ii Abstract
Marriage is an important thing for human life. It is considered as a sacred ceremony
that some people prepare it very well. In the marriage of Torajanese, the bride or
groom-to-be will receive gifts from all families as well as relatives in the form of
animals or materials which become the symbol of each event done in Toraja. Those are
given not only to the family of the bride-to-be but also the groom-to-be, but at the end,
the gifts are meant as “indan” or a debt by some of Torajanese. The method used in this
research is qualitative; and the methods used for collecting the data are interview and
observation. Five people are participated in the interview with age between 22-25 years
old. The interview results show that the participants feel anxious, have decreasing
concentration, and also have repeated thoughts started from the beginning of the
marriage until now. The interview results of the three participants who had been
thinking about “indan” show that it has impacts on the aspects of physiology,
psychology, and social and they also feel the changes of size, shape, and potential of the
body which make them easily get headache, exhausted, as well as decrease their weight
and concentration, have confused mind, and also have repeated thought about “indan”.
They feel anxious when they have to pay “indan” and they have no money. Those made
the three participants experienced anxiety and “malongko” or embarrassed. But those
do not impact for the two other participants because they do not think about “indan”
continuously.
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terkenal dengan keanekaragaman dan keunikannya. Terdiri dari berbagai suku bangsa, yang mendiami belasan ribu pulau, yang memiliki ciri khas dan keunikan budaya tersendiri. Budaya atau kebudayaan merupakan keseluruhan hasil kreativitas manusia yang meliputi gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia melalui belajar, oleh karena itu hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Suatu corak kebudayaan terdiri dari kombinasi, unsur-unsur kultur, yaitu nilai-nilai, norma-norma, tujuan-tujuan dan harapan-harapan yang khusus diperuntukkan bagi suatu kelompok. Pada dasarnya tata kehidupan dalam masyarakat tertentu merupakan pencerminan yang konkrit dari nilai budaya yang diterapkan dalam dinamika kehidupan (Koentjaraningrat, 1991).
Toraja merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri yang tidak akan dijumpai di daerah manapun. Masyarakat Toraja sejak dulu dikenal sebagai masyarakat religius dan memiliki integritas yang tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya. Masyarakat Toraja telah memiliki aturan tata hidup yang mengatur sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepercayaan. Salah satu yang menjadi ciri khas di Toraja adalah upacara pernikahan atau biasa dikenal dengan istilah “Rambu Tuka”.
yang dilakukan seumur hidup, dan sebagian orang mempersiapkannya sebaik mungkin. Mereka dalam hal ini calon pengantin berharap prosesi pernikahan mereka selenggarakan nantinya dapat menimbulkan kenangan yang tak terlupakan.
Dalam pernikahan masyarakat Toraja, calon pengantin yang melaksanakan pernikahan, akan menerima pemberian dari seluruh rumpun keluarga maupun kerabat mereka dalam bentuk materi maupun hewan yang menjadi simbol dari setiap rangkaian upacara yang dilakukan di Toraja, baik itu diterima oleh pihak perempuan maupun laki-laki. Namun pada akhirnya sumbangan tersebut akan menjadi “indan” atau utang bagi yang melaksanakan pernikahan. Jadi semakin banyak pemberian yang diterima, maka semakin banyak pula indan yang harus dibayar. Indan tersebut akan dibayarkan apabila keluarga yang membawa pemberian tersebut ada yang menikah juga. Namun tidak menutup kemungkinan indan tersebut dapat dibayarkan pada saat ada keluarga dari yang membawa pemberian tersebut meninggal. Kemudian yang membuat sebuah pernikahan menjadi berat, jusru karena hampir semua penduduk di negeri kita masih terikat erat dengan adat dan budaya setempat, yang menjadi “beban” bagi calon pengantin dan keluarganya.
3
Fenomena yang ditemukan peneliti dalam percakapan yang pernah dilakukan pada saat masih di Toraja, ada beberapa ciri yang menunjukkan gejala stress pada calon pengantin yang akan menikah. Salah satu yang diungkapkan keluarga dari calon pengantin mengatakan “bahwa N sangat cemas, ia tidak berhenti menangis,
merasa takut, dan tidak mampu mengatasi masalah, karena sangat banyak sumbangan babi yang berdatangan kerumahnya, dan ia mengatakan bahwa ia bingung bagaimana harus membayar kembali semuanya itu”. Dari hal tersebut menunjukkan bahwa N
mengalami stress karena beban yang harus ia tanggung. Dalam masyarakat Toraja
indan akan diwariskan kepada keturunan berikutnya jika indan tersebut belum
dibayarkan seluruhnya oleh yang menerima pemberian, dan tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan penerimanya menjadi semakin terbebani secara ekonomi, karena dikemudian hari bisa menimbulkan indan sampai “tujuh turunan”. Karena tuntutan untuk membayar indan itu juga menjadi salah satu faktor seseorang mengalami stress.
Fenomena selanjutnya yang juga peneliti temukan dari percakapan peneliti dengan informan “bahwa L mengalami stress karena semakin banyaknya sumbangan
babi yang berdatangan ke rumahnya. L juga mengalami kecemasan, gelisah, merasa takut, dan tidak mampu mengatasi masalah tersebut karena hal tersebut tidak dapat ia tolak. Pada saat keluarga maupun kerabat yang datang memberi, orang tua L yang menerima sumbangan tersebut, karena kecemasan yang dialami L sehingga ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan pemberian tersebut”. Di dalam pernikahan
Ritual dan prosesi adat itu juga yang kemudian membedakan adat pernikahan satu daerah dengan daerah lainnya, apalagi kita tahu bahwa Indonesia memiliki ratusan suku/etnis yang memiliki keragaman dalam adat pernikahan. Keterikatan masyarakat terhadap adat daerahnya, terkadang membuat sebuah acara pernikahan yang mestinya dapat dilaksanakan secara sederhana, kemudian berubah menjadi high
cost dan bagi sebagian masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi akan jadi
beban yang begitu berat.
Membahas tentang pernikahan suku Toraja, ada hal yang juga kontras dengan kebudayaan lain di Indonesia ini, terutama pakaian adat. Warna pakaian adat untuk pernikahan di Toraja adalah warna-warna cerah seperti putih, kuning, merah. Di dalam pernikahan masyarakat Toraja, sangat dilarang untuk menggunakan pakaian berwarna “hitam”, karena warna hitam di toraja adalah simbol ”kekelaman atau
kedukaan” dan hanya dipakai dalam upacara Kematian atau biasa dikenal dengan
istilah Rambu Solo’. Hal ini justru sangat berbeda dari beberapa daerah di Indonesia, seperti Jogja, Madura, Sunda, Aceh, dan masih banyak lainnya daerah yang menggunakan warna hitam dalam pernikahan.
5
2011), judul penelitian Problem Psikologis Dan Strategi Coping Pelaku Upacara Kematian Rambu Solo’ Di Toraja (Studi Fenomenologi Pada Tana‟ Bulaan). Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika psikologis subjek dengan cara memahami faktor motivasional individu dari tana‟ bulaan miskin dalam
melaksanakan upacara rambu solo’, beban keuangan sebagai kejadian menekan yang mereka hadapi, strategi pengatasan masalah dan dampak psikologis pada tana‟ bulaan miskin.
Rumusan Masalah
Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang, peneliti ingin meneliti tentang sejauh apakah stress pada individu yang telah melaksanakan pernikahan dengan adat rambu tuka’ Toraja?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah, untuk mengetahui tentang sejauh apakah gambaran stress pada individu yang telah melaksanakan pernikahan dengan adat rambu tuka’ Toraja.
Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
menjadi bahan referensi atau sumbangan pemikiran bagi peneliti yang akan datang. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wacana atau pengetahuan baru.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini memberikan informasi kepada berbagai pihak masyarakat Toraja untuk menambah pengetahuan mengenai kebudayaan yang ada dan bagaimana dapat membentuk sikap yang tepat terhadap upacara rambu tuka’. Dan untuk pemerintah sebagai dasar bagi pelestarian budaya yang relevan sesuai era reformasi yang sedang berjalan.
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Teori
Stress
Stress adalah respon individu terhadap keadaan dan kejadian tertentu, yang dapat
mengancam dan mengganggu kemampuan penguasaan dirinya Menurut (Santrock, 2003). Kejadian menekan merupakan peristiwa yang dipersepsikan individu sebagai stresor yang mengancam dan membahayakan, membuat perasaan tidak nyaman dan tertekan (Rahmawati, 2006). Kejadian menekan sebagai stressor adalah suatu bagian yang alamiah dalam hidup setiap orang sehingga stress diartikan secara berbeda pula pada setiap orang. Oleh karena itu, pengalaman traumatis dan menekan memiliki dampak pada kesejahteraan psikologis menekankan kepada peran penegah dari reaksi coping yang diberikan (Pastò, McCreary, & Thompson, 2000).
7
secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 1997). Keadaan tersebut merupakan respon tubuh yang sifatnya tidak spesifik terhadap setiap tuntutan beban yang dikenakannya. Mendukung pendapat tersebut, (Crider, Goethal, Kavanough, dan Solomon, 1983) menyatakan bahwa stres merupakan suatu pola tertentu yang diperoleh dari reaksi psikologis dan fisiologis yang mengganggu dan timbul dari stimulus-stimulus tertentu di lingkungan individu sehingga mengancam kebutuhan-kebutuhan utamanya dan memaksa individu untuk melakukan coping sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Stress sebagai suatu reaksi individu terhadap tuntutan lingkungan dapat bersumber dari berbagai aspek. Salah satu di antaranya dikemukakan oleh Hardiman (dalam Rahmawati, 2006), sumber stres yaitu :
a. Fisiologis seperti infeksi, penganiayaan fisik, dan kelelahan fisik.
b. Psikologis seperti kegagalan, rasa tidak puas, frustrasi, merasa bersalah dan konflik. c. Sosial seperti perubahan sosial, nilai-nilai budaya, kesenjangan keluarga dan persaingan dalam pekerjaan.
Gejala Stress
(Taylor, 1991) menyatakan bahwa stres dapat menghasilkan berbagai gejala. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa gejala-gejala tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Gejala stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:
b. Gejala kognitif, terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
c. Gejala emosi, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, dan marah.
d. Gejala tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight yaitu menghindari situasi yang menekan.
Pengertian Strategi Coping
Perilaku coping merupakan suatu tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah (Chaplin, 2004). Tingkah laku coping merupakan suatu proses dinamis dari suatu pola tingkah laku maupun pikiran-pikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan dan menegangkan.
9
yang negatif, mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan self image yang positif, serta untuk meneruskan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.
Coyne, dkk (1981) menyatakan bahwa coping merupakan usaha-usaha baik kognitif maupun perilaku yang bertujuan untuk mengelola tuntutan lingkungan dan internal, serta mengelola konflik-konflik yang mempengaruhi dan melampaui kapasitas individu.
Berdasarkan sejumlah pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi coping merupakan aktivitas-aktivitas spesifik yang dilakukan oleh individu dalam bentuk kognitif dan perilaku, baik disadari maupun tidak oleh individu tersebut, yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh masalah internal maupun eksternal dan menyesuaikan dengan kenyataan kenyataan negatif, mempertahankan keseimbangan emosi dan self image positif, serta meneruskan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.
Bentuk-Bentuk Strategi Coping
(Aldwin & Revenson, 1987) mengklasifikasikan strategi coping yang digunakan menjadi dua yaitu:
a. Problem Focused Coping (PFC)
sebelumnya. Pada strategi coping berbentuk PFC dalam mengatasi masalahnya, individu akan berpikir logis dan berusaha memecahkan permasalahan dengan positif.
b. Emotion Focused Coping (EFC)
Emotion focused coping merupakan strategi untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber stres), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Emotion focused coping memungkinkan individu melihat sisi kebaikan (hikmah) dari suatu kejadian, mengharap simpati dan pengertian orang lain, atau mencoba melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang telah menekan emosinya, namun hanya bersifat sementara (Folkman & Lazarus, 1985).
Aspek-Aspek Strategi Coping
(Carver dkk, 1989) menyatakan bahwa aspek-aspek strategi coping yang berorientasi pada masalah (problem focus coping) antara lain:
a) Perilaku aktif (active coping), merupakan proses pengambilan langkah-langkah aktif untuk mencoba memindahkan, menghindari tekanan dan memperbaiki dampaknya. b) Perencanaan (planning), adalah memikirkan bagaimana mengatasi tekanan, memikirkan tindakan yang diambil dan menentukan cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah.
11
d) Pengekangan diri (restraint coping), merupakan suatu respon yang bersifat menahan diri yang bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi tekanan.
e) Mencari dukungan sosial (seeking social support for instrumental reasons), adalah upaya untuk mencari dukungan sosial, seperti mencari nasihat, informasi, dan bimbingan.
f) Mencari dukungan sosial secara emosional (seeking social support for emotional reasons), merupakan upaya untuk mencari dukungan sosial ,seperti mendapat dukungan moral, simpati atau pengertian.
Menurut (Carver dkk, 1989) aspek yang termasuk dalam strategi pengatasan masalah yang berorientasi pada emosi (emotion focused coping) adalah sebagai berikut: a) Berpikir positif dan pertumbuhan (positive reinterpretation and growth), adalah penanggulangan masalah yang ditujukan untuk mengatasi tekanan emosi daripada dengan tekanan itu sendiri.
b) Penerimaan (acceptance), merupakan sebuah respon SMM secara fungsional, dengan dugaan bahwa individu yang menerima kenyataan yang penuh tekanan dipandang sebagai individu yang berupaya untuk menghadapi situasi yang terjadi.
c) Kembali pada agama (turning to religion), merupakan upaya yang dilakukan individu untuk kembali pada agama, ketika berada pada tekanan.
f) Penyimpangan perilaku (behavioral disengagement), yaitu kecenderungan untuk menurunkan upaya dalam mengatasi tekanan, bahkan menyerah atau menghentikan upaya untuk mencapai tujuan.
g) Penyimpangan mental (mental disengagement ), yang terjadi melalui suatu variasi aktivitas yang luas yang memungkinkan terhalangnya individu untuk berfikir tentang dimensi perilaku dan tujuan. Menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan permasalahan, seperti melamun, tidur atau menenggelamkan diri dengan menonton TV. h) Penyimpangan dalam penggunaan alkohol (alcoholdrug disengagement), merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan tekanan melalui pemakaian obat-obatan atau minum minuman keras.
Rambu Tuka’
Pengertian Rambu Tuka’
Rambu Tuka’ merupakan upacara adat yang lebih menekankan pada ucapan syukur. Di upacara ini, tidak akan ditemukan kesedihan atau pun ratapan tangis. Hanya anda kegembiraan dan sukacita. Upacara ini biasanya diadakan di acara-acara seperti pernikahan, syukur atas hasil panen atau biasa disebut “pengucapan syukur”, atau peresmian rumah tongkonan atau yang biasa dikenal dengan istilah “mangrara banua”. Di acara ini, semua rumpun keluarga akan berkumpul dan sekaligus menjadi ajang mempererat hubungan antar keluarga.
13
dengan rambu solo’yang diadakan di siang hari dan bertempat di sebelah barat tongkonan.
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung
menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur.berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (stara sosial masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut „alang„. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (banga) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari (disebut pa'bare' allo), yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara. Rumah tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial masyarakat Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan antara lain,
Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Tongkonan menurut (Oktoviandy, 2011) adalah simbol yang berbentuk rumah
(rumah adat orang Toraja) yang dibangun secara gotong royong atau melalui kerjasama serumpun keluarga suturut dengan falsafah hidup yang bernuansa kolektif (rapu
tallang). Jika diparalelkan dengan makna kata verba “tongkon” artinya “hadir”. Jadi
kata tongkonan mengandung pengertian makna “kehadiran” atau “kebersamaan” sama seperti yang terkandung dalam pemahaman bahwa rumah sebagai istana (tempat tinggal untuk berteduh), sebagai tempat berkumpul bersama dan bersatu bagi sebuah komunitas rumpun keluarga (rapu tallang) sampai generasi tak terhingga.
Keluarga
15
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
METODE PENELITIAN
karakteristik yang telah ditentukan. Adapun kerakteristik partisipan yaitu sudah menikah, rentang usia 25 tahun sampai 55 tahun, baik itu laki-laki maupun perempuan dan yang sudah melakukan pernikahan adat rambu tuka’ Toraja dan tidak mampu secara ekonomi. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan observasi. Dilakukan wawancara mendalam terhadap semua partisipan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman dalam (Emzir, 2010) yang terdiri dari Reduksi data, Display data, dan Kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini ialah keturunan Toraja asli yang tinggal di Kabupaten Toraja Utara. Semua partisipan sudah menikah dengan adat Rambu Tuka’ Toraja. P1 adalah seorang ibu rumah tangga, berumur 45 tahun dan memiliki dua orang anak. P2 juga seorang ibu rumah tangga berumur 28 tahun dan memiliki seorang anak. P3 adalah laki-laki berumur 54 tahun, seorang PNS dan memiliki tiga orang anak. P4 adalah seorang guru berusia 51 tahun dan memiliki tiga orang anak. Sedangkan P5 adalah seorang ibu rumah tangga berumur 40 tahun dan memiliki tiga orang anak.
Merasa Cemas Setelah Menikah
17 dalam bentuk materi “uang” kepada yang melaksanakan rambu tuka’ ialah untuk mempererat hubungan keluarga serta menjalin silahturahmi antar keluarga. Tradisi membawa babi bagi yang melaksanakan rambu tuka’ itu sendiri sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Toraja yang dilakukan secara turun temurun. Jadi yang akan melaksanakan rambu tuka’, para keluarga akan berdatangan membawa babi dan biasanya juga dalam bentuk uang. Hal itu merupakan bentuk ungkapan turut bersukacita dari keluarga yang memberi. Namun hal tersebut tidak berhenti sampai disitu, yang melaksanakan rambu tuka’ tadi akan mengembalikan kepada keluarga yang memberi babi tersebut jika keluarga yang membawa babi itu juga melangsungkan acara rambu
tuka’ dan akan dikembalikan sama seperti ukuran babi yang diberikan atau biasanya juga lebih daripada ukuran babi yang diberikan. Hal inilah yang sering diartikan oleh sebagian masyarakat Toraja sebagai “indan” atau “utang”.
Menurunnya Daya Konsentrasi
Dalam kesibukan setiap hari partisipan sering kali memikirkan indan yang masih banyak dan belum dikembalikan, dan hal tersebut menganggu dan menurunkan konsentrasi bagi P1, P2, dan P5. Walaupun P3 dan P4 sering juga memikirkan soal
indan, namun mereka tetap dapat berkonsentrasi saat bekerja. Pada saat ada indan yang
kelelahan serta menurunnya berat badan. Sedangkan bagi P3 dan P4 meskipun biasanya mereka memikirkan soal indan, namun hal tersebut tidak terlalu memengaruhi aspek fisiologisnya seperti yang dialami oleh P1, P22, dan P5. Di usia yang tidak lagi muda P1 dan P5 memiliki keinginan untuk bekerja namun mereka merasa sudah tidak memiliki waktu untuk itu, karena banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, belum lagi nagi P5 harus mengurus dua anak kembarnya yang baru berusia 1 tahun, begitupun dengan P2 memiliki keinginan untuk bekerja tetapi ia menunggu sampai anaknya bisa ditinggal bekerja. Demi menambah penghasilan semua partisipan beternak babi atupun ayam, dan itu juga menjadi tabungan bagi mereka jika sewaktu-waktu ada keperluan mendadak.
Perubahan Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat Toraja
19
yang lebih memilih hotel sebagai tempat resepsi karena tidak ingin repot untuk mengurus perlengkapan-perlengkapan acara dan juga ingin lebih praktis, walaupun menikah di hotel juga meggunakan adat Toraja, tetapi suasananya juga berbeda karena menikah di tongkonan, lebih memperlihatkan tradisi dan suasana dari adat Toraja, lebih menghargai tradisi yang sudah diturunkan oleh para nenek moyang dan juga lebih mempererat hubungan antar keluarga, apalagi yang jauh-jauh datang untuk bergotong royong membantu mempersiapkan segala keperluan untuk keberlangsungan acara
rambu tuka’. Pernikahan dalam budaya Toraja mengenakan pakaian berwarna cerah seperti warna kuning keemasan, merah dan putih karena melambangkan sukacita dan kegembiraan. Sedangkan baju berwarna gelap seperti warna hitam sangat dilarang digunakan dalam acara rambu tuka’ karena warna hitam dalam budaya Toraja melambangkan kedukaan.
Selama acara rambu tuka’, mulai dari mempersiapkan segala macam keperluan acara, banyak keluarga yang mulai berdatangan membawa “babi” sebagai bentuk turut
sudah tidak mampu lagi atau sudah meninggal, anaknya yang akan melanjutkan untuk mengembalikan indan tersebut, dan akan seperti itu seterusnya, bisa saja cucu hingga cicitnya yang akan mengembalikan indan tersebut. Hingga dapat dikatakan bahwa indan tersebut bisa sampai tujuh turunan, karena jika tidak di kembalikan, akan menimbulkan
malongko’ atau malu bagi pengantin yang sudah menerimanya.
Strategi Coping
Semua partisipan memiliki planning yang sama untuk mengambil tindakan dan menentukan penanganan terbaik untuk mengembalikan indan dengan cara beternak sbabi maupun ayam sebagai tabungan jika suatu saat nanti tiba-tiba ada indan yang harus dikembalikan. Mereka sudah mempersiapkan sejak dini untuk mengatasi hal-hal yang akan datang nantinya. Saat akan membayar indan juga ada keluarga, tetangga, maupun teman yang akan ikut dengan mereka dan biasanya memberi uang demi tanda ikut juga merasakan apa yang dirasakan oleh yang akan membayar utang tersebut. Dan tentunya hal itu juga akan menjadi indan lagi baginya dan menjadi pergumulan tersendiri lagi bagi individu tersebut. Pada saat akan mengembalikan indan, dan mereka tidak memiliki uang, mereka akan berusaha mencari dukungan sosial dari keluarga, sahabat, suami, istri untuk mencari solusi bersama dan menentukan langkah apa yang harus diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Kadang mereka mencari pinjaman uang untuk dapat mengembalikan indan, karena merasa “malongko” (merasa tidak enak) jika tidak mengembalikan indan tersebut.
21
semua kepada Tuhan, mereka meyakini bahwa akan dibukakan jalan yang terbaik untuk pergumulan yang sedang dihadapi. Dan setelah menyerahkan semuanya kepada Tuhan mereka mengekspresikannya dengan bersemangat lagi dalam menjalankan aktifitas dengan perasaan lega. Disaat merasa stress partisipan biasanya mencari kesibukan seperti berkumpul bersama teman untuk bercerita, menonton tv, bermain bersama anak untuk melupakan sejenak masalah yang sedang dialami.
Pembahasan
Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran stress individu terhadap adat rambu tuka’ Toraja yang menimbulkan banyak “indan” setelah selesaianya acara tersebut. Selain itu juga menggambarkan aktivitas keseharian mereka, serta untuk memahami pandangan mereka tentang budaya toraja yang tidak pernah lepas dari indan dan reaksi mereka menghadapinya. Untuk memahami proses tersebut, penting untuk mengetahui terlebih dahulu tentang gambaran stress, dalam hal ini merujuk pada individu yang telah melaksanakan rambu tuka’. Menurut (Crider dkk, 1983) stress merupakan suatu pola tertentu yang diperoleh dari reaksi psikologis dan fisiologis yang mengganggu dan timbul dari stimulus-stimulus tertentu di lingkungan individu sehingga mengancam kebutuhan-kebutuhan utamanya dan memaksa individu untuk melakukan coping sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini tergambarkan pada individu yang telah melaksanakan rambu tuka’.
Membawa babi dalam acara rambu tuka’ dalam budaya Toraja sudah menjadi tradisi secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat Toraja. Bagi mereka membawa babi bagi yang melaksanakan acara rambu tuka’ ialah bentuk sukacita yang turut mereka rasakan, dan juga merupakan faktor kebersamaan, kekeluargaan, dan bentuk support dari keluarga yang turut merasakan kebahagiaan. Dengan adanya rambu tuka’ ini, biasanya keluarga yang ada di berbagai wilayah akan datang untuk berkumpul bersama dan turut berbahagia atas berlangsungnya acara rambu tuka’ tersebut, hal ini tentunya mempererat tali silahturahmi antar keluarga. Namun tradisi membawa babi tersebut merupakan beban tersendiri bagi yang melaksanakan rambu tuka’ karena semakin banyak babi yang dibawakan maka semakin banyak juga indan yang harus dibayar nantinya. Indan tersebut akan diturunkan kepada anak dan cucu pada saat mereka sudah tidak mampu lagi untuk membayarnya, dan akan seperti itu seterusnya.
Mempertahankan Kewajiban Mengembalikan Indan Dalam Budaya Toraja
Mempertahankan suatu kebudayaan bukanlah perkara mudah dilakukan terutama pada jaman modern saat ini. Meskipun sulit namun bagi masyarakat Toraja, mereka tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan, meskipun bagi sebagian orang Toraja, banyak yang menghindar dan tidak ingin melaksanakan pernikahan di Toraja, kerena adanya tradisi membawa babi yang kemudian menjadi “indan” bagi yang melaksanakan
23
moyang kita, dan karena budaya kita jugalah yang membuat para wisatawan datang ke
Toraja, jadi itu harus dipertahankan”.
Pada dasarnya tata kehidupan dalam masyarakat tertentu merupakan cerminan yang konkrit dari nilai budaya yang diterapkan dalam dinamika kehidupan. (Koentjaraningrat, 1991) menjelaskan bahwa budaya atau kebudayaan merupakan keseluruhan hasil kreativitas manusia yang meliputi gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia melalui belajar, oleh karena itu hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Suatu corak kebudayaan terdiri dari kombinasi, unsur-unsur kultur, yaitu nilai-nilai, norma-norma, tujuan-tujuan dan harapan-harapan yang khusus diperuntukkan bagi suatu kelompok.
Indan Menjadi Faktor Utama Penyebab Stress
Indan menjadi beban tersendiri bagi pasangan yang telah melaksanakan rambu
tuka’, terutama pada saat akan membayar indan, namun tidak memiliki uang. Hardiman (dalam Rahmawati, 2006) mengemukakan bahwa stress sebagai suatu reaksi individu terhadap tuntutan lingkungan dapat bersumber dari berbagai aspek yaitu, aspek fisiologis, aspek psikologis, dan sosial seperti yang nampak pada P1. Individu merasa perubahan terhadap ukuran, bentuk serta potensi tubuh yang dirasakan saat ini, yang membuat individu sering merasa pusing, kelelahan, dan turunnya berat badan. “Ya berpengaruh.. seperti jika saya memiliki utang, dimana lagi dapatkan uang jika
tiba-tiba datang, jadi bisa juga ketika saya tidak bisa mengendalikan pikiran saya, itu lagi
anak yang harus dipenuhi, dan biaya hidup yang lumayan mahal, juga membuatnya frustasi.
Selain itu gejala stress dapat terlihat pada menurunnya daya konsentrasi, pikiran menjadi kacau, serta pikiran yang berulang tentang indan. Memikirkan indan sudah menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan, seperti yang tampak pada P2 dan P5. “Iya pastilah u.. terpikir terus, kadang tiba-tiba muncul baru tidak ada uang, mau
bagaimana, pasti stress, pusing memikirkannya”, “Ya dipikirkan tapi, akan seperti itu
terus kita sebagai orang Toraja, tapi jangan terlalu dipikirkan secara mendalam.”
Perasaan khawatir yang dirasakan pada saat akan mengembalikan indan namun tidak memiliki uang, hal ini membuat individu mengalami kecemasan, perasaan malu, dan juga marah. Individu merasa malu pada saat tidak dapat membayar indan, dan biasanya melampiaskan kemarahannya kepada anak, suami, ataupun keluarga yang lain, namun hanya sebentar saja dan ia kembali sadar untuk tidak melampiaskannya kepada keluarga, anak, ataupun suaminya. Hal tersebut nampak pada semua partisipan, seperti yang diungkapkan oleh P1. “Iya pasti, kalau ada utang yang muncul terus tidak ada uang ditangan, pasti saya katakan bagaimana ini ada lagi utang yang harus dibayar,
apa yang mau dipakai bayar.. pasti ada kekhawatiran, secara kita sebagai manusia.”
Perbedaan Menikah Di Hotel dan Di Tongkonan
25
norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial, dengan penggunaan adat atau aturan tertentu yang saling berkaitan. Seperti halnya
rambu tuka’ yang dilaksanakan di tongkonan. (Oktoviandy, 2011) mengungkapkan bahwa tongkonan merupakan simbol yang berbentuk rumah (rumah adat orang Toraja) yang dibangun secara gotong royong atau melalui kerjasama serumpun keluarga seturut dengan falsafah hidup yang bernuansa kolektif (rapu tallang). Jadi kata tongkonan mengandung pengertian makna “kehadiran” atau “kebersamaan sama seperti yang
terkandung dalam pemahaman bahwa rumah sebgai istana (tempat tinggal untuk berteduh), sebagai tempat berkumpul bersama dan bersatu bagi sebuah komunitas rumpun keluarga sampai generasi tak terhingga. Seiring berjalannya waktu banyak masyarakat Toraja lebih memilih hotel sebagai tempat melaksanakan rambu tuka’, dengan alasan lebih praktis dan tidak repot lagi mempersiapkan segala keperluan acara. Individu hanya perlu membayar dan semuanya sudah disiapkan oleh pihak hotel. Namun ada juga masyarakat yang sangat menghargai tradisi yang diturunkan oleh para leluhur dan lebih memilih menikah di tongkonan. Suasana adat, kekeluargaan, kebersamaan sangat terjalin erat disini karena keluarga datang membantu dan bergotong royong untuk mempersiapkan segala keperluan acara. Menikah di hotel maupun di tongkonan sebenarnya sama-sama membutuhkan biaya yang tidak sedikit, hanya saja bagi sebagian orang tidak ingin repot dalam mempersiapkan segala keperluan acara.
Beternak Babi Sebagai Planning Untuk Mengembalikan Indan Dalam Budaya
Setelah berkeluarga, mereka akan mulai melakukan strategi coping sebagai
planning untuk membayar indan. Mereka beternak babi sebagai tabungan jika suatu saat
ada indan yang harus dibayar dan mereka tidak memiliki uang. Mereka mempersiapkan
sejak dini untuk mengatasi hal-hal yang akan datang nantinya. Beternak babi dalam budaya Toraja, sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat, babi yang dipelihara oleh masyarakat Toraja dapat dijumpai dimana saja, sampai ada yang membuat kandang di pinggir jalan. Membayar indan yang tidak pernah habis memaksa mereka untuk melakukan penanganan sejak dini seperti yang dikatakan oleh P1. “Ya seperti ini,
pelihara babi untuk persiapan, menjaga-jaga kalau tiba-tiba ada utang yang harus
dibayar, tiba-tiba mungkin saya tidak memiliki uang, ya babi kita lagi yang bisa kita
bawa kalau misalnya kalau belum diperlukan, kemudian ada orang yang datang lihat
babi, terus dijual kemudian uangnya disimpan.”
(Chaplin, 2004) mengungkapkan bahwa perilaku coping merupakan suatu tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah. Tingkah laku coping merupakan suatu proses dinamis dari suatu pola tingkah laku maupun pikiran-pikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan dan menegangkan.
KESIMPULAN
27
mereka dan merasa perubahan terhadap ukuran, bentuk serta potensi tubuh yang dirasakan saat ini, yang membuat individu sering merasa pusing, kelelahan, dan turunnya berat badan, menurunnya daya konsentrasi, pikiran menjadi kacau, serta pikiran yang berulang tentang utang. Mereka merasa khawatir pada saat akan mengembalikan indan namun tidak memiliki uang, hal ini membuat ketiga partisipan mengalami kecemasan, dan perasaan malu, dan juga marah. Namun kedua partisipan hal tersebut tidak berdampak pada mereka karena tidak memikirkan utang secara terus menerus.
Kelima partisipan memandang bahwa menikah di hotel lebih praktis dan tidak repot, kerena segala keperluan sudah disiapkan. Sedangkan bagi mereka menikah di
tongkonan dirasa lebih ribet karena harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk
keperluan acara. Namun bagi mereka lebih memilih tongkonan karena suasana adat Toraja lebih terasa dengan duduk bersama di lumbung dan dapat menikmati pemandangan alam. Menikah di tongkonan juga lebih menjalin kebersamaan dan kekeluargaan, karena keluarga yang jauh akan datang bersama yang akan melaksanakan
rambu tuka’ untuk bergotong royong membantu mempersiapkan segala keperluan acara, selain itu menikah di tongkonan juga lebih menghargai tradisi yang diturunkan oleh para leluhur. Bagi kelima partisipan juga melakukan coping untuk persiapan mengembalikan
indan nantinya, dengan cara memelihara babi sebagai tabungan jika suatu saat ada
Indan dalam rambu tuka’ dapat mempererat tali silahturahmi antar keluarga, yang datang dari berbagai wilayah karena adanya faktor kekeluargaan dan kebersamaan yang turut dirasakan. Keluarga yang datang membawa babi untuk diberikan kepada yang melaksanakan rambu tuka’ sebagai tanda sukacita yang turut dirasakan, kemudian pemberian tersebut menjadi indan bagi yang melaksanakan rambu tuka’ dan menjadi beban ekonomi bagi yang telah melaksanakan rambu tuka’, sehingga wajib dikembalikan secara turun temurun. Indan dalam budaya Toraja harus dipertahankan kerana menurut kelima partisipan karena budaya yang membuat banyak wisatawan datang berkunjung melihat keunikan yang ada di Toraja, selain itu juga untuk menghargai tradisi yang sudah diturunkan oleh para leluhur.
Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari penelitian ini yaitu :
1. Bagi partisipan, diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan pemahaman agar tidak memikirkan indan secara terus menerus karena dapat berdampak pada aspek fisiologis, psikologis, dan sosial.
2. Bagi keluarga, diharapkan yang memberikan sumbangan dapat melihat juga situasi keluarga yang akan menikah agar nantinya tidak terlalu menjadi beban bagi yang melaksanakan rambu tuka’.
29
Daftar Pustaka theoritically based approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56, 267-283.
Chaplin, J. P. (2004). Kamus lengkap psikologi. (Terjemahan Kartini dan Kartono). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Chaplin, J. P. (1997). Kamus lengkap psikologi. (Kartono dan Kartini, Terj.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Coyne, J., Aldwin, C., & Lazarus, R. (1981). Depression and coping in stressfull episodes.Journal of Abnormal Psychology, 50, 234-254.
Crider, A. B., Goethal, G. R., Kavanough, R. D., & Solomon, P. R. (1983). Psychology. Illinois: Sott, Foresman & Company.
Emzir. (2010). Metodologi penelitian kualitatif analisis data. Jakarta: Raja Grafindo Fatah, Rosdiana. (2014). Pergeseran nilai adat perkawinan masyarakat tidore. Other
Thesis, Universitas Negeri Gorontalo
Folkman, S. (1984). Personal control and stress and coping processes: a theoritical analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 46, 839-858.
Hadjam, Noor Rachman. (2011). Perubahan nilai dan kesehatan mental. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Horton, Paul B., dan Chester L. Hurt. (1987). Sosiologi jilid 1 edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Koenjtaraningrat. (1991). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: PT Refika Cipta
Marwing, Arman. (2011). Problem psikologis dan stratrgi coipng pelaku upacara
kematian rambu solo’ di toraja (studi fenomenologi pada tana’ bulaan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Mezzina, R. (2001). Globalisation and the challenge for mental health service.
Birmingham. (tidak diterbitkan)
Pastò, L., McCreary, D., Thompson, M., (2000). Deployment stressors, coping, and
psychological well-being among peacekeepers. Toronto: Defence Research and
31
Santrock, J. W. (2003). Psychology (7th ed.). Boston: McGraw-Hill.
Taylor, S.E. (1991). Health psychology 2nd edition. University of California, Los Angeles: MGraw-Hill, Inc.
Rahmawati, D. (2006). Kejadian menekan dan strategi pengatasan masalah pada
penderita kanker payudara. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM