• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan, Pola Makan, dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pengetahuan, Pola Makan, dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gizi Lebih

Gizi lebih merupakan keadaan gizi seseorang yang pemenuhan kebutuhannya melampaui batas lebih dari cukup (kelebihan) dalam waktu cukup lama dan dapat terlihat dari kelebihan berat badan yang terdiri dari timbunan lemak, besar tulang, dan otot atau daging. Gizi lebih dapat juga diartikan sebagai peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan fisik dan skeletal sebagai akibat akumulasi lemak yang berlebihan dalam tubuh. Gizi lebih menunjukkan suatu keadaan dimana terdapat berat badan berlebih.Seseorang dikatakan bergizi lebih atau overweight bila jumlah lemak 10-20% diatas nilai normal (Almatsier, 2009).

Gizi lebih terjadi karena asupan energi yang masuk lebih besar dibanding yang keluar sehingga terjadi kelebihan energi dalam bentuk jaringan lemak. Kesenjangan antara masukan dan pengeluaran energi dalam pola konsumsi sebagian besar diduga disebabkan karena modifikasi gaya hidup. Perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi dan pola hidup kurang gerak. Perubahan gaya hidup ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola makan yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, lemak dan kolesterol, terutama makanan siap saji (fast food) yang berdampak meningkatkan obesitas (Hidayati, 2006).

(2)

Dampak masalah gizi lebih tampak dengan semakin meningkatnya penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, diabetes mellitus (DM), hipertensi, dan penyakit hati (Supriasa, 2002).

Gizi lebih atau kegemukan ditandai dengan ketidakseimbangan antara energi masuk dan energi keluar dan merupakan kumpulan dari simpanan energi ditubuh yang diubah menjadi lemak (Pritasari, 2006). Jumlah lemak dalam tubuh akan bertambah seiring dengan bertambahnya usia, karena melambatnya metabolisme dan berkurangnya akitivitas fisik.

Kegemukan adalah kelebihan lemak tubuh. Kegemukan terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi (Gibney, 2009). Menurut Mitchel (2003), berat badan seseorang mencerminkan keseimbangan jangka panjang antara energi intake dan energi output. Energi intake dipengaruhi oleh banyak faktor. Pilihan makanan dapat memberikan dampak secara keseluruhan pada energi intake.

(3)

Kegemukan yang terjadi akan mengakibatkan timbunan lemak di beberapa bagian tubuh, seperti; perut, lengan, dan paha. Gizi lebih atau kegemukan bisa kita tentukan dengan menggunakan IMT (Indeks Massa Tubuh), gizi lebih diangka 25-27 dan lebih dari 25-27 dikatakan obesitas.

2.2 Masalah Gizi Lebih

Dalam 10 tahun terakhir ini, angka prevalensi atau kejadian obesitas diseluruh dunia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Saat ini, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan lebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015, diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta di antaranya mengalami obesitas. Kejadian obesitas di negara – negara maju seperti di negara – negara Eropa, Amerika, dan Australia telah mencapai tingkatan epidemi. Kejadian ini tidak hanya terjadi di negara – negara maju saja, obesitas di beberapa negara berkembang bahkan telah menjadi masalah kesehatan yang lebih serius. Sebagai contoh, 70% dan penduduk dewasa Polynesia di Samoa masuk kategori obesitas (WHO, 1998).

(4)

usia paruh baya. Penelitian tersebut melibatkan 227 ribu pria dan wanita Norwegia yang diukur tinggi dan berat badannya antara tahun 1963-1975 saat mereka berusia antara 14-19 tahun. Dengan mengikuti perkembangan mereka sampai tahun 2004, saat mereka rata-rata berusia 52 tahun, 9650 orang diantaranya meninggal. Hasil penelitian Nita dalam Pratama (2009) diketahui bahwa mereka yang mengalami obesitas atau overweight (kelebihan berat badan) saat remaja diketahui 3-4 kali lebih berisiko mengalami penyakit jantung yang berujung pada kematian. Resiko kanker kolon serta penyakit pernapasan seperti asma dan emfisema juga meningkat 2-3 kali.

Prevalensi overweight dan obesitas juga meningkat sangat tajam di kawasan Asia – Pasifik. Sebagai contoh, 20,5% dari penduduk Korea Selatan tergolong overweight dan 1,5% tergolong obesitas. Di Thailand, 16% penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami obesitas. Didaerah perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12,% pada laki-laki dan 14,4% pada perempuan, sedang di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masing – masing adalah 5,3% dan 9,8% (Vichuda, 2011).

(5)

Status gizi pada kelompok dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi. Angka obesitas pada perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Secara nasional dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah: 12,6%kurus, dan 21,7% gabungan kategori berat badan lebih dan obese, yang bisa juga disebut obesitas (Novitasary, 2013).

Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%). Sedangkan kecenderungan prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18 tahun) di masing-masing provinsi tahun 2007, 2010 dan 2013. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%).

Gizi lebih saat ini menjadi tren baru yang mengakibatkan banyak penyakit degeneratif yang menyertainya. Gizi lebih dapat disebabkan oleh banyak faktor. Di Indonesia saat ini angka gizi lebih terus meningkat disertai meningkatnya penyakit degeneratif. Perubahan gaya hidup terjadi di semua lapisan masyarakat di Indonesia. Perubahan aktivitas dan pola makan menjadi faktor yang mengakibatkan gizi lebih.

(6)

kurang dan berhubungan dengan penyakit infeksi dan negara maju cenderung dengan masalah gizi lebih.

2.3 Penentuan Status Gizi

Menurut Depkes (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan. Dalam menentukan status gizi untuk ukuran baku antropometri sering digunakan World Health Organization – National Centre for Health Statistic (NHCS). Klasifikasi status gizi berdasarkan buku WHO-NHCS terbagi empat: (1) gizi lebih termasuk kegemukan dan obesitas (2)gizi baik (3)gizi kurang, dan (4)gizi buruk. Status gizi adalah posisi atau peringkat yang didefinisikan secara sosial yang diberikan kepada kelompok oleh orang lain.

Status gizi juga merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Dibedakan atas status gizi buruk, status gizi kurang, status gizi baik, dan status gizi lebih (Almatsier, 2009).

Penilaian status gizi diartikan sebagai intrepretasi data tentang asupan dan penggunaan zat gizi perorangan untuk menentukan status kesehatannya (Arisman, 2012). Dalam penelitian ini digunakan penilaian dengan menggunakan cara Antropometri, yaitu penilaian status gizi dengan mengukur tinggi dan berat badan. Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise dan berat menggunakan bathroom scale.

(7)

digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein. Ketidakseimbangan bisa dilihat pada pola pertumbuhan fisik, proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan air dalam tubuh.

Batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasar nilai Body Mass Index (BMI) atau istilah bahasa Indonesianya Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT adalah alat sederhana untuk melakukan pemantauan gizi orang dewasa diatas 18 tahun khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk WHO Antropometri 2005 batas ambang berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang normal untuk laki-laki 20,1-25 dan untuk perempuan 18,7-23,8.

Untuk mengukur IMT dapat digunakan rumus:

IMT=

Klasifikasi nilai ambang batas Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia adalah:

Tabel 2.1 Kategori Nilai Ambang Batas Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia

Kategori IMT

Kurus < 17,0

Normal > 18,5 – 25,0 Gemuk > 25,0 – 27,0

Obesitas > 27,0

Sumber : Departemen Kehatan RI Tahun 2014

2.4 Penyebab Gizi Lebih

(8)

kurang, perubahan gaya hidup, serta pola makan yang salah diantaranya pola makan tinggi lemak dan rendah serat (Makaryani, 2013).

Obesitas merupakan penyakit yang disebabkan oleh multifaktorial, antara lain disebabkan oleh faktor genetik, faktor-faktor individu (usia dan jenis kelamin, pekerjaan), sedentary life style (peningkatan asupan makanan tinggi lemak dan tinggi karbohidrat, pengurangan aktivitas fisik dikarnakan pekerjaan), konsumsi alkohol dan rokok, pengetahuan dan sikap mengenai hidup sehat. Dari semua faktor risiko, sedentary life style merupakan faktor yang paling berpotensi terjadinya obesitas (Istiqamah, 2013). Menurut Purwati (2007) beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki berat badan lebih antara lain; faktor genetik, pola makan, pengetahuan, dan aktivitas fisik

1. Pola Makan

Kebiasaan yang kurang baik yang sering dilakukan seperti; mengonsumsi makanan cepat saji, makan berlebihan, makan tidak teratur, menghindari makan pagi,dan kebiasaan ngemil. Menurut Sismoyo dalam Pratama (2009) Makan saat ingin makan tidak saat merasa lapar akan menyebabkan kegemukan. Pola makan jika tidak dikonsumsi secara rasional mudah menyebabkan kelebihan masukan kalori yang akan menimbulkan berat badan berlebih.

(9)

dan akhirnya mengakibatkan kegemukan. Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai resiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak (Meini, 2012).

Hasil penelitian Suryaputra menunjukkan bahwa seluruh remaja pada kelompok obesitas memiliki tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein dan lemak yang lebih tinggi daripada kelompok non obesitas. Bahkan pada tingkat konsumsi lemak, hampir semua responden kelompok obesitas memiliki tingkat konsumsi lebih. Kelebihan energi setiap hari secara rutin pada remaja dapat menimbulkan timbunan lemak (adiposit) tubuh menjadi bertambah. Tingginya konsumsi protein hewani pada remaja dengan obesitas berkorelasi dengan rendahnya zat gizi hewan pada umumnya yang mengandung lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi. Bila kondisi ini terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka risiko untuk terjadinya obesitas makin meningkat.

2. Pengetahuan

Tingkat pengetahuan seseorang akan memengaruhi status gizinya. Pengetahuan hasil dari tahu dan bagaimana seseorang akan mengaplikasikan ilmunya. Pengetahuan akan berhubungan erat dengan sikap dan tindakan. Pengetahuan yang baik dapat menghasilkan tindakan yang baik. Pengetahuan gizi seseorang akan memengaruhi status gizinya (Allo, 2013).

(10)

Suharjo dalam penelitian Wulandari (2009) pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat penting di dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan dengan baik, sehingga dapat mencapai keadaan gizi seimbang. Pengetahuan gizi akan mempengaruhi kebiasaan makan atau perilaku makan suatu masyarakat (Emilia, 2009). Apabila penerimaan perilaku baru didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut dapat berlangsung lama. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak disadari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Seperti halnya juga pada remaja apabila mempunyai pengetahuan yang baik tentang gizi diharapkan mempunyai status gizi yang baik pula (Notoatmodjo, 2007). Menurut Suhardjo dalam Wulandari (2009), pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahmiwati (2007), remaja yang memiliki pengetahuan gizi baik hanya 6%, pengetahuan gizi sedang 43% dan yang mempunyai pengetahuan gizi kurang 50%.

Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan, agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan (Emilia, 2009).

(11)

lebih mampu memilih makanan sesuai kebutuhannya. Tingkat pengetahuan gizi seorang remaja akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang menentukan mudah tidaknya seseorang memahami manfaat kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru (Dewi, 2013).

Pengetahuan gizi yang kurang pada sebagian besar remaja kelompok obesitas memungkinkan mereka kurang dapat memilih menu makanan yang bergizi. Sebagian besar kejadian masalah gizi lebih atau kurang dapat dihindari apabila remaja mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup tentang memelihara gizi dan mengatur makan.

3. Aktivitas Fisik

(12)

dalam jangka panjang dengan tambahan aktivitas fisik 200-300 menit/minggu.

Dalam hasil penelitian Mahardikawati (2008) aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Kelebihan energi karena rendahnya aktivitas fisik dapat meningkatkan resiko kegemukan dan obesitas. Aktivitas fisik terbagi tiga macam yaitu; aktivitas fisik ringan (berjalan kaki, menyapu lantai, mencuci baju, mencuci kendaraan, berdandan, duduk, dan nonton TV), aktivitas sedang (berjalan cepat, berlari kecil, dan bermain tenis meja), aktivitas berat (bermain sepak bola, berenang, dan senam) dilakukan sedikitnya 60 menit setiap hari untuk mencegah berat badan berlebih (Nurmalina, 2011).

Asupan energi bagi obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang non obesitas. Yang menarik adalah bahwa yang obesitas 2-3 kali lebih sering mengkonsumsi fast food. Seseorang yang asupan energinya tinggi (≥ 2200 kkal/hari) dan mempunyai waktu menonton TV ≥ 3 jam/hari mempunyai risiko menderita obesitas 12,3 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang asupan energi < 2200 kkal/hari dan waktu menonton TV < 3 jam/hari. Studi ini menunjukkan adanya interaksi antara gaya hidup sedentarian (perilaku hidup kurang gerak) dan diet tinggi kalori.

(13)

makanan lebih banyak masuk, maka akan menyebabkan penimbunan lemak yang akan mengakibatkan obesitas terjadi (Novitasary, 2013).

Aktivitas yang dilakukan oleh tubuh membutuhkan energi yang dikeluarkan, begitupun sebaliknya apabila aktivitas fisik berkurang maka lebih banyak energi yang tersimpan didalam tubuh (WHO, 2011). Hasil penelitian Sartika (2011) anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga. Makanan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi timbulnya obesitas baik secara bersama maupun masing-masing.

Faktor lainnya seperti tingkat ekonomi, akan memengaruhi daya beli. Seseorang juga mengonsumsi makanan terlihat dari kebudayaannya. Kerusakan pada hipotalamus akan membuat seseorang mengalami kegemukan jika terjadi di bagian HVM (hipotalamus ventromerdial) mengalami kerusakan dan orang akan menjadi kurus atau kehilangan nafsu makan bila kerusakan terjadi pada HL (hipotalamus lateral). Metabolisme basal yang terjadi dalam tubuh akan meningkat seiring bnertambahnya usia. Secara alamiah penurunan metabolisme akan terjadi ketika usia semakin menurun. Efek penggunaan obat dapat menjadi salah satu penyebab kegemukan. Beberapa obat akan merengsang rasa lapar dalam tubuh. Makan mengonsumsi obat akan membuat nafsu makan meningkat. Jenis obatnya seperti OAD (Obat Oral Antidiabetes), penggunaan dalam jangka lama akan menyebabkan kegemukan.

2.5 Kerangka Konsep

(14)

Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan landasan teori diatas maka kerangka konsep yang dapat dibuat:

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Hubungan Pengetahuan, Pola Makan, dan Aktivitas Fisik.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa gizi lebih menjadi variabel dependen, sedangkan pengetahuan, pola makan, dan aktivitas fisik menjadi variabel independen. Pengetahuan, pola makan, dan aktivitas fisik dapat memengaruhi terjadinya gizi lebih.

Kejadian Gizi Lebih Pengetahuan

Pola Makan Jenis Makanan Jumlah Makan Frekuensi Makan

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Hubungan Pengetahuan, Pola Makan, dan Aktivitas Fisik.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola makan serta aktivitas fisik dengan kejadian penyakit diabetes mellitus tipe 2 di RSUD Dr.. Jenis penelitian

Nelly Katharina Manurung : Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan Ibu, Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Di Smu Rk Tri

Hubungan Antara Pola Makan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Berat Badan Lebih pada Remaja.. Obesitas dan

Agar mendapatkan gambaran yang lebih tepat maka diperlukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana faktor umum seperti faktor pola makan dan aktivitas fisik dapat

Hubungan Antara Pengetahuan dan Konsumsi Fast Food Dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Sudirman I Makassar.. Program Studi Ilmu

Penelitian mengenai hubungan antara pola aktivitas fisik dan pola makan dengan status gizi pada remaja putri diharapkan memberikan tambahan informasi yang berguna

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara pola makan dan aktifitas fisik dengan obesitas pada

GAMBARAN POLA MAKAN DAN AKTIVITAS FISIK MAHASISWA KESEHATAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SELAMA PANDEMI COVID-19 Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Sarjana Gizi