BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Bencana
2.1.1. Definisi Bencana
Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana diartikan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologi (BNPB, 2007).
Menurut Webster’s Dictionary dalam Nurjannah, dkk (2012) bencana dimaknai sebagai “a sudden acalitous event proucing raet material damage, loss, and
distress” . Sedangkan menurut BNPB (2007) bencana merupalakan bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam,
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang
yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan
terror.
2.2.2. Jenis Bencana
Berdasarkan Undang-undang No.24 Tahun 2007, bencana diklasifikasi atas 3 jenis sebagai berikut :
1. Bencana Alam yaitu bencana yang bersumber dari fenomena alam seperti gempa
bumi, letusan gunung berapi, meteor, pemanasan global, banjir, topan, dan tsunami
2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.
Menurut BNPB (2009), jenis-jenis bencana dapat digolongkan antara lain :
1. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi
yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, aktifitas gunung api atau runtuhan batuan.
2. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktifitas vulkanik yang dikenal
3. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan (“tsu”
berarti lautan, “nami” berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena ada pergeseran di dasar laut
akibat gempa bumi.
4. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat
terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
5. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau
daratan karena volume air yang meningkat.
6. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang
besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.
7. Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi & lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan adalah kekeringan
yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain-lain) yang sedang dibudidayakan.
8. Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti
pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban dan kerugian harta.
9. Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan dimana hutan dan lahan dilanda
api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan
seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengggangu aktifitas dan
kesehatan masyarakat sekitar.
10. Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba,
mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam sehingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).
11. Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena
efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat
menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.
12. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut
yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam
daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.
13. Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang terjadi di
darat, laut dan udara.
14. Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu
pada macam industrinya, misalnya bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan,
proses kerja, kondisi tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya.
15. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.
16. Konflik sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu gerakan massal
yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh
kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA).
17. Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan sehingga
mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik internasional
18. Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh melalui
subversi, penghambatan, pengacauan dan penghancuran. Dalam perang, istilah
terhadap beberapa struktur penting, seperti infrasruktur, struktur ekonomi, dan
lain-lain ( BNPB, 2009).
Menurut United Nation for Development Program (UNDP)
mengelompokkan bencana atas 3 (tiga) jenis yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
1. Bencana alam (natural disaster) antara lain berupa gempa bumi, letusan gunung
api, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian
antariksa (benda-benda angkasa).
2. Bencana non alam antara lain kebakaran hutan yang disebabkan oleh manusia,
kecelakaan transportasi, kegagalan kontruksi (teknologi), dampak industri,
ledakan nuklir, pencemaran lingkungan, dan kegiatan keantariksaan.
3. Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering terjadi termasuk bencana akibat peperangan.
2.2.Kesiapsiagaan Bencana
Menurut BNPB (2007) mekanisme upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, meliputi kegiatan:
a) Pra Bencana (Pencegahan, Mitigasi dan Kesiapsiagaan)
Pencegahan bencana adalah tindakan-tindakan untuk menghambat
informasi (Depkes, 2006). Selain itu, pencegahan bencana dapat pula diartikan
sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak
yang terancam bencana.
Mitigasi adalah kegiatan-kegiatan yang lebih menitikberatkan pada upaya untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan bencana. Kegiatannya meliputi struktural
(pembangunan dan pengadaan fisik) dan non struktural (menyusun standar pelayanan, menyusun perencanaan, menyusun peraturan relokasi, jalur evakuasi, retro fitting)
(Depkes, 2006). Mitigasi juga dapat diartikan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (BNPB, 2007).
b) Saat Bencana (Tanggap Darurat)
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan,
yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana (Depkes, 2006) c) Pasca Bencana (Rehabilitasi dan Rekonstruksi)
Rehabilitasi adalah kegiatan untuk memulihkan dan memfungsikan kembali
sumberdaya kesehatan guna mengurangi penderitaan korban (Depkes, 2006). Rehabilitasi juga diartikan sebagai upaya perbaikan dan pemulihan pada semua aspek
pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana (BNPB, 2007).
Rekonstruksi adalah kegiatan untuk membangun kembali berbagai kerusakan akibat bencana secara lebih baik dari keadaan sebelumnya dengan telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana di masa yang akan datang
(Depkes,2006). Rekonstruksi juga dapat diartikan sebagai upaya pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik
pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan pereknomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pasca bencana (BNPB, 2007).
Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) memaparkan faktor-faktor kritis parameter kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana yaitu:
1. Pengetahuan dan Sikap terhadap resiko bencana (Knowledge and Attitude)
merupakan pengetahuan dasar dan sikap petugas mengenai bencana seperti jenis
dan faktor bencana, bencana banjir, serta prosedur, lokasi dan jalur evakuasi bencana.
2. Kebijakan dan Panduan (Policy Statement) yang berkaitan dengan kesiapsiagaan
3. Rencana Tanggap Darurat (Emergency Planning) adalah rencana/ tindakan yang
diperlukan untuk menangani keadaan darurat dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana seperti pembuatan peta, penampungan sementara, nomor
hotline informasi, posko, gladi pelatihan/ simulasi, analisis resiko, perencanaan
kontijensi.
4. Sistem Peringatan Bencana (Warning System) merupakan serangkaian sistem
untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana meupun tanda-tanda alam lainnya. Dalam hal ini berkaitan dengan sistem
informasi, penyampaian informasi, pengembangan sistem peringatan dini, pelatihan dan simulasi
2.3.Kesiapsiagaan Bencana Bidang Kesehatan
2.3.1.Permasalahan Kesehatan Saat Bencana
Pedoman teknis penaggulangan krisis kesehatan akibat bencana yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan tahun 2011, menyatakan masalah kesehatan pada
korban bencana dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai akibat langsung dan tidak langsung. Akibat langsung merupakan dampak primer yang
dialami korban di daerah bencana pada saat bencana terjadi kasus-kasus, antara lain: a. Trauma
Trauma terjadi akibat terkena langsung benda-benda keras / tajam atau tumpul.
Contoh trauma, antara lain: luka robek, luka tusuk, luka sayat, dan fraktur. Pada umumnya kasus trauma perlu penanganan balk ringan maupun berat (lanjut).
tsunami, tanah longsor, banjir, angin puyuh, kerusuhan, kecelakaan transportasi,
kecelakaan industri, tindakan teror born, dan lain-lain. b. Gangguan pernapasan
Gangguan pernapasan terjadi akibat trauma pada jalan napas, misalnya masuknya partikel debu, cairan dan gas beracun pada saluran pernapasan. Kasus-kasus gangguan pernapasan banyak terjadi pada korban bencana semacam tsunami,
gunung meletus, kebakaran, kecelakaan industri, dan lain-lain. c. Luka bakar
Luka bakar terjadi akibat terkena langsung benda panas/api/ bahan kimia. Kasus-kasus luka bakar banyak terjadi pada korban bencana semacam kebakaran, gunung meletus, kecelakaan industri, kerusuhan, tindakan teror born, dan lain-lain.
d. Keluhan psikologis dan gangguan psikiatrik (stres pascatrauma)
Stres pascatrauma adalah keluhan yang berhubungan dengan pengalaman selama bencana terjadi. Kasus ini sering ditemui hampir di setiap kejadian bencana.
e. Korban meninggal
Disaster Victim Identification (DVI) semakin dirasakan perlu untuk
mengidentifikasi korban meninggal pasca bencana baik untuk kepentingan kesehatan maupun untuk kepentingan penyelidikan. Untuk kecepatan dan ketepatan pertolongan maka setiap korban bencana perlu diklasifikasikan sebagai
Akibat tidak langsung merupakan dampak sekunder yang dialami korban
bencana pada saat terjadinya pengungsian. Masalah kesehatan yang sering terjadi antara lain:
a. Kuantitas dan kualitas air bersih yang tidak memadai.
b. Kurangnya sarana pembuangan kotoran, kebersihan lingkungan yang buruk (sampah dan limbah cair) sehingga kepadatan vektor (lalat) menjadi tinggi,
sanitasi makanan di dapur umum yang tidak higienis, dan kepenuhsesakan (overcrowded). Penyakit menular yang sering timbul di pengungsian akibat faktor
risiko di atas antara lain, diare, tipoid, ISPA/pneumonia, campak, malaria, DBD, dan penyakit kulit.
c. Kasus penyakit sebagai akibat kurangnya sumber air bersih dan kesehatan
lingkungan yang buruk. Kasus-kasus yang sering terjadi antara lain, diare, ISPA, malaria, campak, penyakit kulit, tetanus, TBC, cacar, hepatitis, cacingan, tifoid, dan lain-lain.
d. Kasus gizi kurang sebagai akibat kurangnya konsumsi makanan. Kasus-kasus yang sering terjadi antara lain, KEP, anemia dan xeroftalmia.
e. Masalah kesehatan reproduksi yang sering terjadi seperti gangguan selama kehamilan dan persalinan, terjadinya kehamilan yang tidak diharapkan, menyebarnya infeksi menular seksual (IMS), kekerasan terhadap perempuan dan
f. Berbagai bentuk keluhan psikologis dan gangguan psikiatrik yang berhubungan
dengan pengalaman yang dialami selama bencana terjadi seperti stres pascatrauma, depresi, ansietas, dan lain-lain.
2.3.2. Sistem Kordinasi dan Pengorganisasin Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan
Menurut Depkes RI (2002) pengorganisasian penanggulangan bencana di bidang kesehatan dapat dilihat pada gambar berikut ini,
Terlihat bahwa sistem kordinasi dan penggorganisasian penanggulangan bencana di bidang kesehatan selaras dengan sistem kordinasi dalam bidang kesehatan lazimnya. Dimana sistem tersebut melibatkan dinas kesehatan sebagai kordinator
institusi di bawahnya seperi Puskesmas dan Rumah Sakit. Selain itu juga tidak terlepas dari peran masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat
dalam bidang kesehatan. Sistem kordinasi ini terstandarisasi secara nasional
mengikuti pola kordinasi pembangunan di bidang kesehatan.
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 145 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan, bahwa pengorganisasian dalam bidang kesehatan terdiri atas berbagai tingkat, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Sedangkan tingkat Kabupaten Kota terdiri atas :
1. Penanggung jawab kesehatan di tingkat ini adalah Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Bila diperlukan dapat meminta bantuan Provinsi yang
melaksanakan tugas di bawah koordinasi Satuan Pelaksanaan Penanggulangan Bencana (SATLAK PB) yang dikordinir oleh Bupati/walikota.
2. Pelaksanaan tugas penanggulangan bencana di lingkungan Dinas Kesehatan
dikordinir oleh unit yang ditunjuk Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui Surat Keputusan.
2.3.3. Pelaksanaan Kegiatan Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan
Kepmenkes RI Nomor 145 Tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan juga mengatur kegiatan-kegiatan secara hirarki. Pada
tingkatan Kabupaten/Kota kegiatan yang dilakukan antara lain
1. Pra Bencana
Pada saat pra bencana yang dilakukan antara lain :
a) Membuat rencana kegiatan upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan
d) Menyelenggarakan pelatihan
e) Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat
f) Menginventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin
terjadi
g) Melakukan kordinasi lintas sektor
h) Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penanggulangan
bencana
2. Saat Bencana
Pada saat bencana yang dilakukan antara lain : a) Berkordinasi dengan anggota Satlak PB / BPBD
b) Mengaktifkan Pusdalops Penanggulangan bencana bidang kesehatan di
kabupaten/kota
c) Berkordinasi dengan Rumah Sakit Kabupaten/Kota
d) Menyiapkan dan mengirim tenaga kesehatan, perbekalan dan obat-obatan e) Menghubungi Puskesmas di sekitar lokasi untuk mengirimkan tenaga
kesehatan
f) Melakukan penilaian kesehatan cepat terpadu g) Penanggulangan gizi darurat
h) Pemberian imunisasi campak pada anak di bawah usia 15 tahun i) Melakukan Sureveilans
3. Pasca Bencana
Pada saat pasca bencana yang dilakukan antara lain
a) Mendukung upaya pelayanan kesehatan dasar terutama pencegahan KLB,
pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi b) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan
c) Melakukan analisis dan evaluasi dampak terhadap kesehatan d) Menentukan strategi intervensi berdasarakan penilaian status gizi
e) Menyediakan pelayanan kesehatan dan sanitasi dasar di penampungan
sementara
f) Melakukan kordinasi lintas sektor
g) Melakukan pemulihan pada korban
2.4.Kebijakan
Kebijakan merupakan terjemahan dari “policy” dalam bahasa inggris. Kata tersebut mempunyai akar kata bijak yang dapat disamakan dengan pengertian
wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam bahasa Inggris. Dengan pengertian ini sifat bijaksana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever) atau cerdas (smart). Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan
sebagai sifat seseorang yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang dihadapi secara cepat. Orang yang bijaksana mungkin tidak
Nakamura dan Smallwood dalam Wahab (1991) kebijakan merupakan
keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu, berupa serangkaian instruksi dan pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan
cara mencapai tujuan. Menurut Hoogerwerf dalam Winarno, 2007 pada hakekatnya pengertian kebijakan merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu
masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah.
Menurut James E. Anderson dalam Winarno (2007), memberikan
rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan
kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideology dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara.
2.4.1.Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai
kepentingan.
Daniel A. Mazamanian dan Paul A. Sabatier dalam Agustino (2006) menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa: “Pelaksanaan
masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin
dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.”
Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2006) mengemukakan implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam sebuah keputusan.
Selain itu, implementasi kebijakan dapat juga dikatakan sebagai suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan, dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Sedangkan menurut Ndraha dalam Tachjan
(2006) berpendapat bahwa konsep implementasi kebijakan lebih luas dibandingkan dengan konsep pelaksanaan. Dalam konsep implementasi kebijakan terkandung pengaturan dan pengelolaan lebih lanjut kebijakan (manajemen kebijakan) termasuk
di dalamnya adalah standard an tujuannya, sedangkan yang dimaksud dengan pelaksanaan kebijakan adalah pelaksanaan operasional.
Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yakni; pendekatan top down dan bottom up. Pendekatan top down dapat disebut sebagai
pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun dikemudian hari diantara pengikut pendekatan ini terdapat
mereka bertitik tolak pada asumsi-asumsi yang sama dengan mengembangkan
kerangka analisis tentang studi implementasi. Implementasi melibatkan usaha dari
policy makers untuk mempengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut “street level
bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran
(target group). Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor (Agustino, 2006).
Dari beberapa defenisi di atas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu:
1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan
2. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan
3. Adanya hasil kegiatan
Dapat pula disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau
sesaran kebijakan itu sendiri. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr., dimana mereka berpendapat bahwa implementasi sebagai
suatu proses dan suatu hasil. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir, yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan
action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program
tersebut tercapai.
Menurut Hogwood dan Gun dalam Tachjan (2006) berpendapat bahwa untuk
dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu, sebagai berikut:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak
menimbulkan gangguan/kendala yang serius.
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber daya yang
memadai.
c. Perpaduan sumber daya yang diperlukan benar-benar tersedia.
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang andal.
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
g. Pemahaman mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. h. Tugas-tugas terinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
Menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino 2006 ada enam variable
yang mempengaruhi kinerja kebijakan, yaitu:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realisits dengan sosi-kultur yang mengada pada level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan
kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memangmerealisasikan kebijakan public hingga titik yang dapat
dikatakan berhasil.
2. Sumberdaya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat terbantung dari
kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tetapi di luar sumberdaya manusia, sumberdaya-sumberdaya lain yang
perlu diperhitungkan juga adalah sumber daya financial dan sumberdaya waktu. Ketiga sumber daya ini akan saling mendukung dalam implementasi sebuah
kebijakan.
3. Karaktaristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal
implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan
agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
4. Sikap/Kecenderungan Para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan public. Hal
ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang
mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan diimplementasikan adalah kebijakan “dari atas” yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang
warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat
kecil untuk terjadi.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi
kebijakan dalam perspektif yang ditawarkan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial,
kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan
kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. Sementra itu, dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III dalam
Agustino ( 2006), terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu : (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.
1. Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu
kebijakan menurut Edward III adalah komunikasi. Komunikasi sangat menentukan keberhasilan suatu pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Keberhasilan implementasi kebijakan masyarakat agar implementator mengetahui apa
yang harus dilakukan, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan mensyaratkan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group)
sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran,
maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
Komunikasi amatlah penting peranannya karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksananya. Hal ini menyangkut
2. Sumber daya
Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan salah satu hal yang sangat
penting dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan
efektif. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementator dan sumberdaya financial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk
implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumerdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
Sumberdaya meliputi empat komponen yaitu: staf yang cukup, informasi yang
dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab, serta fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.
3. Disposisi
Variabel ketiga yang juga mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi
sebuah kebijakan adalah disposisi. Disposisi adalah watak dan karaktaristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementator memiliki posisi yang baik, maka dia akan menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementator memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat
Sikap dan komitmen dari para pelaksana terhadap program khususnya dari
para pelaksana yang menjadi implementor dari program, dalam hal ini adalah aparatur Negara.
4. Struktur Birokrasi
Variable keempat yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk
melaksanakan suatu kebijakan yang tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk
melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan yang telah diputuskan secara politik
dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik, karena ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber-sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan.
Struktur birokrasi merupakan standar prosedur operasional yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program.
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan penting dari keseluruhan proses kebijakan. Keputusan kebijakan yang merupakan sebuah harapan ideal diwujudkan dalam kenyataan melalui implementasi. Terdapat kesenjangan yang
Menurut Ripley dalam Imronah memperkenalkan pendekatan “kepatuhan”
dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kebijakan. Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian
pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi.
Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang
diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan
implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.
Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor
eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang
juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor nonorganisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan
(1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2)
kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat
sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor
non-organisasional, atau pendekatan faktual.
Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah
dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara
pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari
sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.
2.4.2. Evaluasi Implementasi Kebijakan
Menurut Dunn (2004) evakuasi bersifat menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif, diantaranya
1. Fokus Nilai
Evaluasi difokuskan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk
2. Interdependensi Faktor Nilai
Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta” maupun ”nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi
(atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan
konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau
Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat
retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-permis nilai , bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).
4. Dualitas Nilai
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda,
karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstriksik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi
Menurut William N. Dunn (2004), bahwa dalam menghasilkan informasi
mengenai kinerja kebijakan digunakan tipe kriteria yang berbeda-beda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Di bawah ini adalah beberapa kriteria evaluasi:
1. Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu kebijakan mencapai hasil yang
diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas ini berkaitan dengan rasionalitas teknik, selalu diukur dari unit produk atau
layanan atau moneternya.
2. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha. Ukuran-ukuran yang digunakan dalam kriteria efisiensi adalah jangka waktu pelaksanaan kebijakan, sumber daya
manusia yang diberdayakan untuk melaksanakan kebijakan,
3. Kecukupan (adequacy), berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria ini menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4. Kesamaan atau perataan (equity), berhubungan erat dengan rasionalitas legal
dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara
5. Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
6. Ketepatan (appropriateness), berhubungan dengan rasionalitas substantif.
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan kebijakan dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.
Menurut Wibawa , dkk (1994:29), ada dua jenis kegiatan evaluasi, yaitu:
1. Evaluasi implementasi yang berusaha melihat proses
pelaksanaan/implementasi, yang terkait adalah pelaksana dan bagaimana pelaksanaannya.
2. Evaluasi dampak kebijakan memberi perhatian lebih besar pada output dan
dampak kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya.
Kaitannya dengan dampak, evaluasi implementasi mengamati dampak jangka
pendek atau dampak sementara, sedangkan evaluasi dampak mengamati dampak tetap atau dampak jangka panjang. Dalam penelitian ini jenis evaluasi yang akan dilakukan adalah evaluasi implementasi untuk mengamati dampak jangka pendek
kebijakan.
2.5. Analisis Kebijakan
Menurut Buse (2005) analisis kebijakan umumnya terdiri atas dua jenis
deksriptif. Analysis yang satu ini lebih melihat ke belakang dan merenungkan
kembali mengapa dan bagaimana kebijakan menemukan bentuknya sehingga agenda dan muatannya bisa mencapai tujuan-tujuan tertentu (evaluasi sumatif).
Analysis for policy (analisis untuk kebijakan) cenderung prospektif
(diharapkan terjadi di masa mendatang). Analisis tipe ini memberikan informasi rinci tentang formulasi kebijakan (evaluasi formatif) atau mengantisipasi bagaimana
kebijakan akan berjalan bila diterapkan (misalnya, bagaimana para
pelaku lain akan memberikan respons terhadap perubahan-perubahan). Sesuai dengan
ulasan di atas, jelas bahwa analysis for policy akan dilakukan atau disponsori oleh partai-partai yang memang tertarik untuk menilai prospek-prospeknya dan mengelola perubahan kebijakan politik yang ada dengan mematuhi tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Namun analisis ini kadang-kadang mengakibatkan terbengkalainya keputusan tertentu karena citra politik yang buruk.
2.6. Kerangka Pikir
Kerangka piker ini dikembangkan dari kerangka teori yang sudah terbentuk. Kerangka teori yang digunakan adalah perpaduan antara model implementasi kebijakan George Edward III yang menganalisis implementasi berdasarkan 4 aspek
yaitu ( sumber daya, disposisi, komunikasi dan struktur birokrasi) dalam hal ini peneliti hanya meneliti Sumberdaya,sarana, dana,komunikasi, yang merupakan
dan kemampuan implementator untuk memutuskan kondisi di lapangan sesuai dengan
kebijakan yang ada.
Berdasarkan kerangka teori di atas, maka peneliti mengembangkan kerangka
pikir seperti pada gambar 2.2 di bawah ini
Gambar 2.2. Kerangka Pikir Badan Penanggulangan
Bencana Daerah
Rumah Sakit Dinas Kesehatan
Dukungan dalam rangka Implementasi kebijakan :
1. Sumber daya manusia
2. Sarana dan Prasarana
3. Keuangan
4. Komunikasi
Implementasi Kebijakan
1. Kepatuhan Stakeholder 2. Faktualitas