• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kesukuan dengan Kemenangan Caleg di Kabupaten Langkat pada Pemilu Legislatif 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Kesukuan dengan Kemenangan Caleg di Kabupaten Langkat pada Pemilu Legislatif 2014"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Setiap pemilihan apapun yang akan berlangsung, selalu ada cara menilai

sang petarung yang siap naik panggung. Salah satu isu yang sering menjadi hangat

adalah isu kesukuan. Dalam setiap pemilihan, isu kesukuan tersebut tiba-tiba

menguat dan sangat kental dalam diri sebagian calon pemilih (voters). Rasa yang

muncul dari pandangan pertama atau dari kesamaan tempat asal dan dimana

dibesarkan. Baik disadari penuh atau hanya setengah-setengah. Kesukuan adalah

salah satu bagian kecil dari primordialisme disamping isu kepercayaan, adat

istiadat, tradisi dan sebagainya.

Kaitannya dengan pemilihan, sudut pandang kesukuan lebih ditentukan

seberapa besar intensitas kebersamaan di antara mereka atau dikaitkan dengan

jarak yang lebih dekat. Apabila sejumlah calon yang akan bertarung, terdapat

beberapa orang yang memiliki suku yang sama. otomatis pemilih yang berlatar

berlakang suku yang sama akan mencari sesuatu atau kesamaan yang lebih dekat

lagi. Siapa sosok calon yang benar-benar terasa dekat, baik hubungan darahnya,

tempat tinggalnya, dan sebagainya. Mencocokkan diri dari hal general kepada hal

yang lebih spesifik, dan minus dalam mencocokkan dalam hal kompetensi,

(2)

Istilah etnik atau yang diterjemahkan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal

dari perkataan Yunani Eovikos yang ertinya heathen, yaitu penyembah berhala

atau sebutan bagi orang yang tidak ber-Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri

dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos (’ethnos’) yang diterjemahkan

sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk

pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, menurut the Shorter

Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang

terkandung dalam istilah ethnic, (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non

Kristian atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih

menyembah berhala. Dalam pengertian berkiutnya, istilah ethnic dikenal luas

setelah dipakai secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga

yang didirikan di Landon pada 1843, Seterusnya tahun 1848 di Paris ditubuhkan

pula institusi serupa yaitu Societe Ethnologique de Paris. Di New York institusi

serupa juga sudah ada sejak 1842 yang dipanggil American Ethnological Society.1

Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang

dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam

masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas

mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas.

Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan

belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada

suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik

1

(3)

Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Akhir-akhir ini

istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku

dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan istilah etnik dirasa

lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang,

sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam hal ini

keduanya akan digunakan secara bergantian tergantung konteksnya. Dalam

Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam

sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu

karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu

kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik

yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.

Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan

darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah

tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok

etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi

suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota

kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik

tersebut. Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi

keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi

nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota

kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan

(4)

orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan

seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah.

Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau

sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah

dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya.

Merujuk kepada Barker bahawa etnisitas, ras dan kebangsaan merupakan

“titik simpul” identitas yang paling menetap dimasyarakat barat moden.

Seterusnya bahwa Etnisitas merupakan suatu konsep budaya yang berintikan

penganutan norma, nilai, keyakinan, symbol, dan praktik budaya bersama.

Etnisitas merupakan suatu konsep relasional yang terkait dengan kategori-kategori

identifikasi diri dan askripsi social. Apa yang kita pikir sebagai identitas kita

tergantung pada apa yang kita pikir bukan identitas kita. Etnisitas lebih tepat

dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas yang disusun dan dipertahankan

dalam kondisi-kondisi sosiohistoris tertentu.2

Semenjak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada

demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik

yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi

mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidakpercayaan rakyat pada penguasa

mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak

mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam

format demokrasi yang bergerak pada hubungan negara dan warga negara secara

2

(5)

langsung. Fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik di

Indonesia yang pertama kali digelar sejak kemerdekaan Indonesia.

Pemilihan umum ialah salah satu syarat dalam era demokrasi, dimana

pemilihan umum merupakan ajang partai politik bertarung serta memberi

kesempatan atau peluang untuk menduduki Eksekutif dan Legislatif. Bagi suatu

negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi maupun yang membangun

proses demokrasi, partai politik menjadi sarana demokrasi yang bisa berperan

sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pembentukan partai politik

berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi, yakni pemerintahan yang dipimpin

oleh mayoritas melalui pemilihan umum. Untuk menciptakan pemerintahan yang

mayoritas, diperlukan partai-partai yang dapat digunakan sebagai kendaraan

politik untuk ikut dalam pemilihan umum. Bagi J Kristiadi, pemilu demokratis

adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika

sehingga sirkulasi elit atau pergantian kekuasaan dapat dilakukan secara damai

dan beradab.

Pemilihan umum untuk memilih calon anggota legislatif di Kab. Langkat

yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 dapat dikatakan berjalan tanpa

mengalami hambatan yang terlalu berarti. Semua proses dari awal dibukanya tiap

Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari lima dapil yang ada hingga pencatatan hasil

akhir pilihan masyarakat terhadap calon anggota legislatif tidak didapati

penyelewangan seperti yang terjadi di beberapa daerah lain. Adapun yang tidak

(6)

mempunyai latar belakang suku yang berbeda dengan suku asli yang ada di daerah

tersebut.

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa yang lebih banyak memenangkan

perebutan kursi legislative di Kab. Langkat ialah caleg yang bersuku batak karo,

kemudian menyusul suku jawa, suku batak mandailing, dan terakhir suku melayu

yang notabene adalah penduduk asli di Kab. Langkat. Seharusnya yang terjadi

adalah suku melayu yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut menang

dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah yang sudah mereka tinggali lama

dan daerah tersebut juga merupakan daerah asli mereka. Namun yang terjadi

adalah yang sebaliknya, dimana suku asli ternyata tidak mampu bersaing dengan

suku-suku pendatang lain yang menempatkan calegnya di ajang pemilihan umum

untuk memilih calon anggota legislative di Kab. Langkat.

Berdasarkan hasil SP2000 penduduk Kab. Langkat mayoritas bersuku

bangsa jawa (56,87 %), diikuti dengan suku melayu (14,93%), Karo (10,22%),

Tapanuli atau Toba (4,5%), Madina (2,54%), dan lainnya (10,94%).3

3

BPS Kab. Langkat, 2010

Dengan

besarnya jumlah penduduk pendatang dengan latarbelakang kesukuan yang ada di

Kab. Langkat, maka rasa saling memiliki dan kesamaan yang terdapat di dalam

daerah tersebut pun semakin terasa. Oleh karena itu apakah indikasi kesamaan

suku yang melekat di dalam diri caleg dengan suku yang melekat di dalam

masyarakat pendatang yang akhirnya membuat caleg tersebut dapat menang di

(7)

jumlahnya semakin sedikit yang menyebabkan caleg yang datang dari penduduk

asli menjadi kalah dalam perebutan kursi kekuasaan yang ada di daerah tersebut.

Hubungan antara kesukuan dengan kemenangan suatu caleg di suatu

daerah membuat ketertarikan bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut bagaimana

hubungan antara dua variable ini sehingga seorang caleg yang mempunyai

kesamaan suku dengan pemilihnya dapat memang di dalam pemilihan umum

untuk memilih anggota legislative di suatu daerah.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang

diajukan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan antara kesukuan

dengan kemenangan caleg di kabupaten Langkat di Pemilu 2014 ?”

I.3. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui bagaimana hubungan antara kesukuan dengan kemenangan

calon legislatid di kabupaten Langkat di pemilu 2014.

2. Menelaah prekspektif analisis yang mendasari seseorang atau kelompok

(8)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat

yang secara garis besar, yakni :

1. Secara teoritis maupun metodologis studi ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan terhadap perkembangan dan pendalama studi hubungan antara

kesukuan dengan kemenangan caleg, khususnya di Indonesia.

2. Secara pribadi penelitian mampu mengasah kemampuan peneliti dalam

melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan

pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.

3. Secara akademis penelitian dapat menjadi bahan acuan ataupun referensi

dalam konteks ilmu politik

4. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih

diprioritaskan kepada perilaku politik masyarakat secara umum

I.5. Kerangka Teori

I.5.I Teori Etnisitas

I.5.1.1. Emile Durkheim

Bagi Durkheim, teori mengenai etnisitas dapat dilihat sebagai sebuah teori

yang secara eksplisit dapat dinyatakan dan dianalisis, tetapi disisi lain bagi

sebagian besar teori Durkheim tersebut lebih memfokuskan pada pembahasannya

mengenai masyarakat4

4

(9)

konflik sosial akibat kesenjangan kelas, melainkan sebagai sebuah pola integrasi

sosial di dalam proses pengembangan masyarakatnya.

Dalam pembahasannya mengenai etnik, terlihat sangat jelas ketika

Durkheim membahas sifat solidaritas kelompok dalam dua jenis tatanan sosial,

dimana ia memandang masyarakat sebagai sebuah komponen yang berbeda yang

mempunyai hubungan satu sama lain. Menurut Durkheim, masyarakat tradisional

dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal struktur internal dan fungsi

eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai jenis solidaritas kelompok, baik

itu solidaritas mekanik5 dan solidaritas organik.6

satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. diakses dari

Dalam solidaritas mekanik,

didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama (collective

consciousness/conscience) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan,

kebudayaan, dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat

yang sama tersebut. Misalnya dalam masyarakat jamaah keagamaan. Ada suatu

indikator yang saling berkaitan di dalam ruang lingkup dan kerasnya

hukum-hukum yang bersifat menekan, yang didasarkan pada suatu tingkat homogenitas

yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen tersebut. Sehingga homogenitas tersebut

hanya berkembang bila tingkat pembagian kerja rendah.

5

Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi satu dan padu, karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti tersebut terjadi karena mereka terlihat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2008), hal. 90-91.

6

(10)

Karena itu individualitas (masyarakat tradisional) tidak berkembang,

individualitas itu terus-menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar untuk

tercapainya konformitas. Sedangkan dalam solidaritas organik dibangun dari

adanya spesialisasi dalam pembagian kerja yang saling berhubungan dan saling

tergantung sedemikian rupa sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas

menyeluruh yang fungsionalitas. Tingkat differensiasi dan spesialisasi yang

menimbulkan saling ketergantungan secara relatif dari pada nilai dan norma yang

berlaku.7 Tingkat individu pun relatif tinggi. Apa yang dianggap baik oleh salah

satu orang, belum tentu menjadi baik pula oleh yang lain. Misalnya dalam suatu

perusahaan dagang. Dimana di dalamnya anggota termotivasi oleh faktor imbalan

ekonomi, ada ketergantungan antara orang yang bekerja di mesin, mengawasi

mesin, memperbaiki mesin, mandor, dsb. Sehingga dalam pandangan Durkheim,

masyarakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang maupun

kebutuhan mereka akan jasa. Spesialisasi tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat

individu saja tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi. Yang pada akhirnya

dengan semakin banyaknya profesi yang terjadi di dalm masyarakat,

menyebabkan etnisitas di dalam masyarakat berangsur-angsur menghilang

(melebur).8

Dalam pembahasan mengenai 2 jenis tatanan solidaritas, terutama dalam

pembahasan mengenai solidaritas organik disini Durkheim mencoba untuk

7

Diakses dari

8

(11)

memandang sebuah etnik, sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan munculnya

modernisasi obligasi komunitas etnis secara bertahap menurun dan mereka

berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan mempunyai budaya yang

heterogen.9 Hal tersebut dimaksudkan bahwa keragaman budaya dibangun diatas

tujuan umum dan nilai-nilai universal masyarakat secara keseluruhan (ada suatu

kesadaran kolektif) yang berarti bahwa loyalitas etnis yang pertama berubah

menjadi pengabdian kepada bangsa (patriotisme) dan kemudian mengarah kepada

pengabdian yang sepenuhnya ditujukan kepada sesuatu yang sifatnya

kemanusiaan (patriotisme dunia). 10

Simmel merupakan salah satu pemikir sosiologi yang menyumbangkan

gagasannya mengenai etnisitas. Tidak seperti dua Tokoh lainnya, yaitu Marx dan

Durkheim yang membahas sosiologi secara makro, Simmel membahas etnisitas

dengan tingkatan yang lebih mikro, di mana Simmel mencoba menjelaskan

etnisitas dan hubungan kelompok etnik secara lebih eksplisit mencoba “The Web

of Group Affiliations” dan “On Social Differentiation” yang membahas mengenai

sifat dasar manusia dan perbedaan kelompok budaya. Teori Simmel mengenai

hubungan antar etnik lebih fokus pada tiga bahasan, yaitu: I.5.1.2 Georg Simmel

11

- Etnisitas sebagai sebuah bentuk “sociation”, (proses sosial)

9

Dalam masyarakat yang heterogen menjadi corak masyarakat setempat, misalnya Indonesia, yang memiliki hubungan yang cenderung mantap karena telah berlangsung selama beberapa generasi sehingga mereka telah saling mengenal secara mendalam. Parsudi Suparlan, Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa (Jakarta: YPKIK, 2005), hal. 5.

10

Maurice Duverger, Sosiologi Politik. 1985 Jakarta: CV. Rajawali hal.45.

11

(12)

- Sifat dasar dari interaksi sosial (etnik), (tipe sosial)

- Menurunnya etnisitas karena perbedaan sosial, (pengembangan pola)

Simmel menjelaskan bahwa sociation merupakan suatu bentuk di mana

individu tumbuh bersama hingga membentuk kesatuan dan kepentingan

individu-individu di dalamnya dapat terealisasi. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana

sosiasi merupakan proses di mana suatu masyarakat atau kelompok etnis terjadi,

yang meliputi interaksi timbal balik.12 Dan yang menjadi cirri khas dari Simmel

adalah menganalisis interaksi dengan melihat bentuk dan isi dari suatu interaksi.

Di mana isi diartikan sebagai sesuatu yang konkret dari kualitas individu baik

secara psikologis maupun biologis yang memicu terjadinya tindakan sosial.13

Sedangkan bentuk adalah pola umum dari suatu interaksi yang terjadi dalam

masyarakat atau kelompok etnik.14

12

Achmad Habib. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta. Hlm 27

13

ibid

14

ibid

Simmel sendiri tidak menjelaskan isi interaksi

secara jelas karena menurutnya akan sulit untuk melihat isi dari interaksi. Bentuk

dari interaksilah yang dapat dilihat dalam suatu masyarakat.

Kemudian mengenai sifat dasar dari interaksi sosial, pada bahasan ini

Simmel lebih menjelaskan pada peran dari tiap-tiap individu yang melakukan

interaksi dalam suatu kelompok atau kelompok dengan kelompok lainnya.

Mungkin dalam bahasan ini Simmel sedikit lebih melihat isi interaksi yang

(13)

Bahasan mengenai menurunnya etnisitas karena perbedaan sosial dapat

dikatakan sebagai pengembangan pola. Artinya ada perubahan pola interaksi

seiring dengan perkembangan zaman. Jika pada zaman primitive,

kelompok-kelompok yang terbentuk memiliki solidaritas mekanik. Di mana biasanya mereka

memiliki ikatan atau kohesivitas yang lebih kuat dari kelompok organic. Terutama

bagi kelompok etnis, mereka memiliki kesadaran terhadap pemahaman

simbol-simbol yang sama sehingga ikatan mereka semakin kuat. Namun seiring

perkembangan zaman yang pada akhirnya akan menimbulkan banyaknya interaksi

antar individu dan antar kelompok, pola interaksi mulai berubah dan berkembang

menjadi lebih universal atau modern. Kelompok-kelompok terbentuk berdasarkan

ikatan organik yang menekankan pada saling ketergantungan antar individu

karena adanya pembagian keahlian atau spesialisasi. Sehingga pada akhirnya,

Simmel melihat bahwa pada masyarakat modern telah terjadi perubahan pola

interaksi disertai menurunnya aroma etnisitas karena masyarakat lebih

menanamkan nilai universal agar bisa berkembang dan bertahan hidup pada

zaman modern.

Simmel juga membahas mengenai orang asing atau “stranger” yang

dijelaskan sebagai individu atau kelompok individu yang berada di sekitar

kelompok dan berinteraksi dengan kelompok tersebut. Namun mereka tidak

diidentifikasi sebagai bagian dari kelompok, batasan yang membedakan mereka

bukan anggota kelompok adalah perbedaan nilai dan norma yang mereka anut. Di

(14)

kelompok etnis yang menguasai wilayah tersebut, sehingga dapat dengan mudah

orang asing ini teridentifikasi bahwa ia bukan anggota kelompok etnis. Simmel

juga menjelaskan bahwa suatu kelompok etnis biasanya memiliki daerah

kekuasaan atau wilayah di mana nilai dan norma mereka berlaku, Simmel

menyebutnya dengan “spatial boundaries”.15

Kemudian Simmel juga membahas mengenai konflik. Berbeda dengan

pandangan para pemikir lainnya yang melihat konflik sebagai suatu ancaman yang

dapat merusak kelompok, Simmel cenderung melihat konflik sebagai suatu media

untuk membangun atau mempertahankan interaksi (kelompok). Dalam

penjelasannya secara umum mengenai fungsi konflik dalam sistem sosial, Simmel

menjabarkan:

Wilayah tersebut bukan sesuatu

batasan yang formal, namun kekuatan nilai dan norma yang ada dapat dengan kuat

memaksa atau mempengaruhi individu yang ada di dalamnya dalam melakukan

tindakan sosial.

16

- Semakin rendah derajat kekerasan suatu konflik, maka semakin besar

kemungkinan konflik tersebut mengarahkan pada integrasi sistem sosial.

- Semakin besar derajat kekerasan suatu konflik dan lama konflik tersebut,

maka semakin mungkin terjadi koalisi antara kelompok yang belum

pernah terkait pada sistem sosial sebelumnya.

- Semakin lama terjadinya konflik, maka semakin lama juga koalisi yang

terjadi antar kelompok yang terkait.

15

Ibid hal 23

16

(15)

Motif partisipasi politik elit politik masyarakat dalam pemilu legislatif

adalah motif rasional bernilai dan keikutsertaan mereka dengan berpartisipasi

politik atas dasar pertimbangan rasional. Sebagian elit politik perempuan telah

menilai secara objektif pilihannya dan sebagian lainnya mengandung motif yang

afektual emosional yaitu akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang

dipilih merupakan suatu bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam

lingkungan politiknya.

I.5.1.3. Max Webber

Secara eksplisit, Weber terlibat dengan hubungan etnis. Kita dapat

melihatnya dari teori-teorinya yang masih mengingat kerangka kerja ekpslanatori

dalam berurusan dengan sosiologi hubungan antar etnis. Weber menyediakan

beberapa model yang terintegrasi dan koheren untuk penjelasan hubungan antar

etnik. Satu diantaranya mengidentifikasi empat prinsip utama:

1. Etnisitas sebagai bentuk dari status kelompok. Weber

mendefinisikan kelompok etnis sebagai kelompok yang menyuguhkan

kepercayaan subyektif di dalam keturunan mereka karena adanya tipe fisik yang

mirip. Hal yang krusial dari prinsip ini adalah etnisitas ada hanya ada di dasar dari

kepercayaan kelompok tertentu. Lalu etnisitas berakar di dalam satu kepercayaan

yang mahakuasa. Selain itu, etnisitas ternyata diperkuat dan ditegaskan di ranah

kultural atau kesamaan fisik atau pada dasar dari pembagian ingatan bersama.

2. Etnisitas sebagai mekanisme dari terpaan monopolistik sosial.

(16)

monopolostik mereka secara teratur dipakai untuk mencegah orang-orang yang

bukan anggota kelompok dari memperoleh keuntungan simbolik atau material dari

kelompok merekas.

3. Keragaman bentuk etnik dari organisasi sosial. Meskipun sebagian

besar mereka beroperasi sebagai status kelompok, kelompok etnis dapat

menggunakan bentuk kelas, kasta dan tanah. Weber sangat tertarik dengan adanya

fenomena kasta etnis, dimana status kelompok Nampak bertransformasi menjadi

sistem kasta. Tidak seperti status kelompok, perbedaan kasta jauh lebih kaku dan

mendekati kelompok sosial.

4. Etnisitas dan mobilisasi politik. Weber mendefinisikan etnisitas

dalam istilah dinamika aktivitas politik. Menurutnya, eksistensi dari komunitas

politik merupakan prasyarat bagi perilaku kelompok etnis. Kesadaran kelompok

terutama dibentuk oleh pengalaman politik secara umum, bukan dengan common

descent.

Kesimpulannya Baik Emile Durkheim, Max Weber dan Simmel

berpandangan tentang teori etnisitas dimana ketiga teori tersebut menekankan

kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri

atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu

dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa

perubahan pula terhadap bagian yang lain, dengan kata lain masyarakat senantiasa

berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara

(17)

sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada diperlukan oleh sistem

sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat

dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan.

Kemudian akan merepresentasi secara kolektif simbol agama, mitos, dan

legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai

kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.

Kehidupan masyarakat yang didefinisikan sebagai sejumlah individu yang

dihubungkan dengan interaksi. Interaksi ini dapat menjadi mengkristal sebagai

bidang permanen. Hubungan ini berbentuk sosial dimana ini sangat penting

karena mereka menunjukkan bahwa masyarakat bukan merupakan substansi,

Etnistitas dalam kaitannya dengan kemenangan calon legislatif di pemilu

2014 yang lalu dimana jenis etnisistas dalam kehidupan tradisional sebagai

wewenang yang keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis

wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan

patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan

didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara

tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan

patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan

seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan

orang-orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam

patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan-ikatan tradisional memegang

(18)

tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada

hubungan-hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang

kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini

adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu

gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat

gaib maupun religious.

Teori etnisitas menurut kajian Baik Emile Durkheim, Max Weber dan

Simmel ini kemudian akan menjadi salah satu dasar analisis dalam mengkaji

bagaimana etnisitas itu sangat berperan dalam pemenangan calon legislatif

dilangkat dalam pemilu legislatif tahun 2014.

I.5.2. Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek yang sangat penting yang

menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilihan umum. Perilaku pemilih

dapat didefinisikan sebagai salah satu studi yang memusatkan diri pada bidang

yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan

umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu.17

Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan

pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori

tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab

17

(19)

Colombia dan Mazhab Michigan.18

Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh

norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis

seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap

mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku

memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik

merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan. Mazhab Colombia menekankan pada faktor

sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di

pemilu.Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang

bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas.

19

18

http://www./2home.sol.no/-hmelberg/papers/950520. 29 /05/2014

Pengaruh isu yang ditawarkan bersifat situasional (tidak

permanent/berubah-ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi,

politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis.

Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat

dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah

kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan

oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah

kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan

integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma

dan aturan dan sebagainya.

(20)

Terdapat beberapa daerah/wilayah yang merupakan kumpulan komunitas

masyarakat yang terbentuk atas dasar sistim kekerabatan dan paguyuban

berdasarkan keturunan (gemeinschaft by blood), dan yang menjadi pemuka

masyarakat tersebut berasal dari keluarga / kerabat asli keturunan dari orang yang

dipandang terkemuka dari segi sosial ekonomi atau terkemuka karena

ketokohannya, sehingga warga masyarakat seringkali menyandarkan diri dan

sikapnya terhadap pemuka/tokoh masyarakat tersebut. Sikap ini mencerminkan

adanya dominasi ketokohan yang berperan untuk menentukan sikap dan perilaku

serta orientasi warga bergantung pada pemuka masyarakat tersebut. Paternalisme

sikap dan perilaku warga masyarakat secara turun temurun dari generasi ke

generasi berikutnya tidak pernah berubah, meskipun terdapat berbagai perubahan

dalam kondisi sosial ekonomi, namun hal tersebut tidak menjadi faktor yang

mempengaruhi adanya perubahan sosial budaya masyarakat setempat.

Kecenderungan untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam

berbagai kehidupan sosial ekonomi, sosial politik maupun sosial budaya, terbatas

pada adanya sistem ide atau gagasan dari pemuka masyarakat untuk memodifikasi

sistem sosial dan sistem budaya yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat

disesuaikan dengan kondisi dan dinamika masyarakat. Faktor ini menjadi kendala

bagi kandidat atau calon legislatif untuk menerobos masuk ke dalam komunitas

masyarakat tersebut dalam rangka sosialisasi atau sekedar silaturahmi. Jika calon

legislatif berhasil masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut, hanya sebatas

(21)

tetapi tidak akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kandidat/calon legislatif

yang bersangkutan.

Komunitas masyarakat yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional,

pragmatis, tidak mudah untuk dipengaruhi, terkadang memiliki sikap ambivalen,

berorientasi ke materi. Sikap dan pandangan untuk memilih atau tidak memilih

dalam proses politik lebih besar, sehingga tingkat kesadaran dan partisipasi

politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan individu yang bersangkutan, tidak

mudah untuk dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme tertentu. Kondisi

sosial masyarakat pada strata demikian diperlukan adanya kandidat / calon yang

memiliki kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis ( memiliki

kemampuan untuk mudah beradaptasi dengan kelompok masyarakat dan mampu

mempengaruhi sikap dan orientasi komunitas masyarakat tersebut), atau

popularitas dan reputasi tinggi pada kelompok masyarakat tersebut. Jika hal

tersebut mampu dilakukan oleh seorang kandidat, maka sangat terbuka perolehan

suara pemilih didapat dari komunitas masyarakat tersebut.

Keterpilihan seorang kandidat idealnya harus memenuhi standar yang

diinginkan pemilih, artinya pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas

seberapa besar kontribusi dan partisipasi kandidat terhadap pemilih atau kelompok

pemilih. Seberapa besar syarat-syarat kandidat terpenuhi secara umum seperti ;

kapabilitas intelektual, kapabilitas kepemimpinan, kapabilitas etika dan moral.

Kejelasan tentang visi dan misi serta program yang disampaikan kandidat, apakah

(22)

seorang kandidat sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat

banyak atau tidak. Jika hal tersebut di atas tidak dipenuhi oleh seorang kandidat,

maka pemilih pada suatu saat akan beralih sikap dan orientasinya ke kandidat lain.

Isu strategis adalah pokok permasalahan yang harus diperhatikan dan

dijawab oleh seorang kandidat. Dinamika masyarakat dewasa ini cenderung lebih

rasional dalam menyikapi dan menentukan pilihan, meskipun tidak dipungkiri

masih terdapat pemilih yang emosional dan tradisional. Figuritas dan popularitas

kandidat di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk dijadikan modal

dalam mensosialisasikan diri.

Banyak hal yang dapat mempengaruhi pemilih dalam General election,

diantaranya Keadaan politik, sosial, ekonomi dan pendidikan, hal ini sangat

menentukan prilaku pemilih dalam memberikan suara mereka dalam pemilihan

umum. Untuk itulah ada beberapa identifikasi model prilaku pemilih (Voting

Behaviour) dalam menentukan pilihaan dalam pemilihan umum yang sering

dipakai oleh para sarjana dalam analisanya, seperti yang diungkapakan Achmad

Azis dalam kuliah Hukum Tata Negara, yaitu20

20

Achmad Azis. disampaikan dalam kuliah Hukum Tata Negara pada Mei 2009. Fakultas hukum.Universitas Trunojoyo

1. Sosiologycal Model

2. Psicologycal model

3. Ideologycal model

(23)

Pertama, Pendekatan Sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal

yang berkaitan dengan instrument kemasyarakatan seseorang seperti, (i) status

sosioekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), (ii)

etnik, bahkan (iii) wilayah tempat tinggal (misalnya kota, desa, pesisir, ataupun

pedalaman).

Beberapa hal ini menurut sarjana yang mengusungnya, Lipset (1960),

Lazarsfeld (1968) hanya untuk menyebut beberapa nama, mempunyai kaitan kuat

dengan perilaku pemilih. Penelitian mengenai perilaku ini dicetuskan oleh

sarjana-sarjana ilmu politik dari University of Columbia (Columbia’s School)

yang mengkaji perilaku pemilih pada waktu pemilihan Presiden Amerika Serikat

(AS) tahun 1940. Mereka mendapati pola yang mempunyai kaitan erat dengan

aspek-aspek tadi.

Pendekatan Kedua disebut dengan pendekatan psikologis, identifikasi

kepartaian (party identification) adalah wujud dari sosialisasi politik tersebut,

yang bisa dibina orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya.

Sosialisasi ini berkenaan dengan nilai dan norma yang diturunkan orang tua,

organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya sebagai bentuk penurunan dan

penanaman kepada generasi baru. Oleh karena itu, pilihan seorang anak atau

pemilih pemula yang telah melalui tahap sosialisasi politik ini tidak jarang

memilih partai yang sama dengan pilihan orang tuanya. Bahkan, kecenderungan

menguatnya keyakinan terhadap suatu partai akibat sosialisasi ini merupakan

(24)

identifikasi kepartaian lebih banyak disebabkan pengimitasian sikap dan perilaku

anak ke atas sikap dan perilaku orang tuanya.

Ketiga, model prilaku pemilih berdasarkan kecenderungan ideology,

model prilaku pemilih yang dipengaruhi oleh latar belakang ideology yang sama

biasanya memepertimbangkan pilihannya pada wakil rakyat atau partai politik

karena adanya keyakinan dan atau agama yang sama. Banyak partai politik yang

mengusung latar belakang ideology, seperti Partai Kebangkitan Bangsa yang lahir

setelah masa reformasi. Di Amerika serikat misalnya, penganut agama Kristen

Protestan di AS cenderung memilih Partai Republik dibandingkan dengan mereka

yang memeluk agama Katolik.

Keempat, pendekatan pilihan rasional yang dipopulerkan oleh Downs

(1957) yang mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara

rasional ketika membuat pilihan dalam tempat pemungutan suara (TPS), tanpa

mengira agama, jenis kelamin, kelas, latar belakang orang tua, dan lain

sebagainya.

Dalam penelitian ini akan di fokuskan menggunakn pendekatan perlaku

masyarakat sosiologi, dimana erat hubungannya dalam sebuah kerangka etnisitas

yang melekat dalam masyarakat yang mempunyai kesamaan dengan etnisitas yang

melekat pada diri caleg yang bertarung untuk memperubutkan kursi sebagai

anggota legislative di kabupaten langkat Langkat. Teori perilaku pemilih

(25)

tentang analisis hubungan etnisitas dengan kemenangan calon legislatif di pemilu

legislatif 2014.

I.6. Metodologi Penelitian

I.6.1. Jenis Penelitian

Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka

dasar di atas, penelitian ini bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian

kualitatif ini adalah konsekuensi metologis dari penggunaan metode deskriptif.

Penelitian dekriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah

yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada.

Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu

gejala atau fenomena.21 Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metode

kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deslriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. 22

Secara khusus penelitian deskriptif yang penulis gunakan dapat diartikan

sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek

penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta

Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses

penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek,

dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis

maupun praktis.

21

Bambang Prasteyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 42

22

(26)

atau data yang ada dikumpulkan, diklarifikasi dan kemudian akan dianalisa. Pada

penelitian deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada penemuan fakta-fakta

sebagaimana keadaan yang sebenarnya ditemukan. Karena itu dalam penelitian

ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun berbagai fakta, tetapi tidak

melakukan pengujian hipotesa.23

Penelitian ini juga akan menambah beberapa artikel yang berasal dari

keputakaan untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan daerah dan

karakteristik masyarakat di Kab. Langkat. Kemudian menambahkan denagn

berbagi teori yang telah diperoleh, sehingga tercipta suatu hasil yang dapat

menunjukkan hubungan antara kesukuan dengan kemenangan yang diperoleh Dalam melakukan penelitian nantinya penulis akan menggunakan tehnik

wawancara kepada beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mampu

mengartikulasikan berbagi kepentingan dalam penulisan penelitian ini. Adapun

yang akan diwawancarai ialah para tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh

didalam kesukuan disetiap daerah di Kab. Langkat, sehingga penulis dapat

melihat bagaimana terjadinya proses kemenangan suatu caleg di Kab. Langkat

yang berhubungan dengan kesukuan yang melekat pada caleg tersebut dan

masyarakatnya, dimana seperti yang sudah dijelaskan diawal bahwa daerah

tersebut merupakan daerah dari penduduk asli yang identitas kesukuannya ialah

melayu, namun yang memperoleh suara terbanyak bukan merupakan dari

kesukuan penduduk yang ada di aerah tersebut.

23

(27)

caleh di Kab. Langkat pada pemilu legislative yang dilaksanakan pada tanggal 9

April 2014 yang lalu.

I.6.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kab. Langkat. Adapun

alasan peneliti mengapa mengambil lokasi penelitian di daerah ini adalah

disebabkan relasi antara kemenangan calon di pemilihan legislatif Kabupaten

Langkat sangat kuat. Kemudian kabupaten Langkat juga merupakan salah satu

kabupaten yang secara etnisitas merupakan Kabupaten yang plural.

I.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa

digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview),

observasi (observation), dan dokumentasi (documentation). Untuk memperoleh

data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan,

maka penulis dalam penelitian ni menggunakan teknik pengumpulan data sebagai

berikut :

1. Data Primer, yaitu penelitian lapangan (field research), dimana

pengumpulan data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian.

Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara. Adapun teknik

sampling yang dilakukan penulis ialah purposive sampling yakni

pengambilan sampel berdasarkan “penilaian” (judgment) mengenai

siapa-siapa saja yang pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan

(28)

punya latar belakang pengetahuan tertentu mengenai sampel dimaksud

(tentu juga populasinya) agar benar-benar bisa mendapatkan sampel

yang sesuai dengan persyaratan atau tujuan penelitian, seperti ;

a. Bapak Surialam anggota DPRD terpilih Kabupaten Langkat yang

beretnis Jawa juga merupakan Ketua Pujakesuma Kabupaten

Langkat.

b. Bapak Ir. Munhasyar. Spd Anggota DPRD terpilih Kabupaten

Langkat yang beretnis melayu.

c. Bapak Surya Darma Ginting Anggota DPRD terpilih Kabupaten

Langkat yang beretnis Karo.

d. Bapak Joni Sitepu Anggota DPRD terpilih dari Kabupaten Langkat

bereetnis Karo.

e. Bapak Amir Husni Anggota DPRD terpilih Kabupaten Langkat

beretnis Melayu

f. BapakRiska Purnawan Anggota DPRD terpilih Kabupaten Langkat

beretnis Jawa.

g. Bapak Sujono (Jawa) masyarakat langkat bersuku jawa (konstituen

Agus Salim) di Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat.

h. Bapak Terkelin Ginting (Karo) masyarakat Langkat bersuku jawa

(konstituen Romelta Ginting) di Kecamatan Batang Serangan,

(29)

2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaaan (library research), dimana

dengan mempelajari buku-buku, jurnal, peraturan-peraturan,

laporan-laporan serta dokumen dari Badan Pusat Statistik (BPS).

I.6.4 Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa data yang digunaka dalam penelitian ini adalah

menggunakan jenis data kualitatif. Dalam analisis data kualitatif datanya tidak

dapat dihitung dan berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam

bentuk angka-angka.24

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan

yang dibahas, pembatasan masalah yang akan diteliti, tujuan mengapa diadakan Disamping itu, penelitian ini bersifat deskripsi yang

bertujuan memberikan gambaran mengenai situasi atau kejadian yang terjadi.

Data-data yang terkumpul melalui wawancara dan dokumentasi kemudian

disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang

kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara

mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan

masalah yang akan diteliti dengan berlandaskan teori dan argumentasi yang kuat.

I.7. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, maka penulis membagi

sistematika penulisan ke dalam 4 bab yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

24

(30)

penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian serta kerangka teori yang

menjadi landasan pembahasan masalah.

BAB II : DESKRIPSI MENGENAI LOKASI PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK MASYARAKAT DI KAB. LANGKAT

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum tentang deskripsi

lokasi dan karakteristik masyarakat yang ada di Kab. Langkat

BAB III : HUBUNGAN ANTARA KESUKUAN DENGAN KEMENANGAN

CALEG DI KAB. LANGKAT

Bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang

dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi

tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah

dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan tentang apa yang dilihat

dalam penelitian yang dilakukan, serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat

Referensi

Dokumen terkait

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan..

Ministarstvo znanosti, obrazovanja i sporta na temelju članka iz Zakona o odgoju i obrazovanju u osnovnoj i srednjoj školi donosi Pravilnik o kriterijima za

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, financial leverage, variabilitas persediaan, dan rasio

Di mana perancangan situs ini sangat membantu para pelajar dalam proses belajar dan menjadi lebih menyenangkan dari pada di sekolah pada umumnya. Selain itu, secara psikologis

Yang dimaksud dengan sistem Akuntansi yang berlaku untuk PDAM adalah Sistem Akuntansi yang diatur saat ini dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

Bahwa sehubungan dengan telah ditetapkannya Keputusan Menteri Negara otonomi Daerah Nomor 8 Tahun 2000 tentang Pedoman Akuntansi Perusahaan Daerah Air Minum dan

Dari segi bisnis ini tidak efisien karena pelanggan tidak dapat membatasi biaya yang harus di keluarkan untuk akses internet karena baru mengetahui biaya tersebut setelah

dihasilkan oleh sistem untuk memuaskan kebutuhan yang diidentifikasi. Output yang tak dikehendaki a) Merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindari dari sistem yang