• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pertanian Konservasi Di Sub Das Krueng Sieumpo Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem Pertanian Konservasi Di Sub Das Krueng Sieumpo Aceh"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KonsepDasar Sistem Pertanian Berkelanjutan

Lebih dari 50% dari luas lahan secara global yang dinilai cocok untuk pertanian telah dikonversi menjadi lahan pertanian. Selain itu, pada tahun 2050 diproyeksikanmembutuhkan peningkatan satu miliar hektar lahan pertanian. Peningkatan lahan pertanian tersebut diperlukan untuk mensuplai makanan bagi populasi yang terus mengalami pertumbuhan dan untuk memenuhi peningkatan konsumsi per kapita (Tilman, 2001). Oleh karena itu, pertanian berkelanjutan bukanlah pilihan tetapi suatu keharusan yang perlu dilakukan.

Konsepsistem pertanian berkelanjutan (SPB) menjadi isu global yang muncul pada tahun 1980-an, yangmerupakan implementasi darikonsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian. setelah terbukti bahwa pertanian sebagai suatu sistem produksi ternyata juga sebagai penghasil polusi. Meluasnya lahan-lahan marjinal dan pendangkalan perairan di daerah hilir merupakan bukti nyata bahwa pertanian yang tidak dikelola secara berkelanjutan telah menurunkan kualitas sumberdaya alam. Oleh karena itu, tantangan bagi stakeholder pertanian di masa depan adalah bagaimana pertanian dapat memasok kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan tanpa banyak menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan (Suwardji et al. 2003).

(2)

kebutuhan saat ini dan masa depan untuk makanan, serat, energi, termasuk jasa ekosistem, namun tidak terbatas pada, konservasi tanah, air bersih dan keanekaragaman hayati.

Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam yang konservatif dengan orientasi teknologi dan perubahan institusi sebagai suatu cara untuk mencapai hasil yang berkelanjutan dimana sumberdaya lahan, air, tanaman dan genetik hewan terpelihara atau secara lingkungan tidak terdegradasi, secara teknologi tepat guna, secara ekonomi menguntungkan dan dapat berlanjut dan secara sosial dapat diterima dan diterapkan. Oleh karena itu, penggunaan lahan yang berkelanjutan merupakan sesuatu tindakan untuk memenuhi kebutuhan produksi pertanian dari penggunaan lahan sekarang dalam rangka memelihara sumberdaya alam pokok untuk generasi mendatang.

Sabiham(2008) menjelaskan pertanian berkelanjutan diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia (sandang, pangan dan papan), sekaligus mempertahankan dan melestarikan sumberdaya alam. Sedangkan definisi yang lebih luas dan komprehensif dikemukakan oleh Gips (1986) dalam Sabiham (2008) yang mecakup hal-hal sebagai berikut: (1) mantap secara ekologis, (2) bisa berlanjut secara ekonomis, (3) adil, (4) manusiawi, (5) luwes.

(3)

berlanjut secara ekonomis, artinya petani harus bisa cukup menghasilkan untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri beserta keluarganya, dan mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan. Keberlanjutan secara ekonomis ini harus dapat diukur bukan hanya terhadap produk usahatani secara langsung, namun juga terhadap fungsinya dalam melestarikan sumberdaya alam. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya lahan harus didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi, dan hak-hak mereka terhadap modal yang memadai, penggunaan lahan, bantuan teknis dan peluang pemasaran lebih terjamin. Manusiawi, yang berarti semua bentuk kehidupan harus dihargai, baik tanaman, hewan dan manusia. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan dapat mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung secara terus menerus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan dan permintaan pasar.

Sinukaban (2010) juga merumuskan bahwa pertanian berkelanjutan merupakan penggunaan sumberdaya secara berkelanjutan sehingga sumberdaya tersebut dapat digunakan oleh manusia untuk kehidupannya secara terus menerus. Secara khusus Sinukaban (2007) menjelakan pertanian berkelanjutan harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : mantap secara ekologis (erosi aktual <ETol), bisa berlanjut secara ekonomi (produksi dan pendapatan yang tinggi secara lestari), teknologi bersifat applicable dan replicable.

(4)

tigapilar: ekonomi, sosial, dan ekologi (Suryana, 2005). Dengan perkataan lain, konseppembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu:keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people),keberlanjutan ekologi alam (planet), atau pilar Triple-P seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Konseppembangunan berkelanjutan

Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatanyang dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset produktif yangmenjadi basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensiekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilaitambah (termasuk laba), dan stabilitas ekonomi. Dimensi

Dimensi ekonomi (Profit) ♦ Efisiensi

♦ Daya saing

♦ Nilai tambah dan laba ♦ Pertumbuhan ♦ stabilitas

Dimensi Sosial ♦ Kemiskinan ♦ Kemerataan ♦ Partisipasi ♦ Stabilitas Sosial ♦ Preservasi Budaya

Dimensi Lingkungan (Alam) ♦ Biodiversitas

(5)

ekonomi menekankanaspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk generasisekarang maupun generasi mendatang.

Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhanakan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis(termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modalsosio-kebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Untuk itu,pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan,partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-indikatorpenting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.

Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitasekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam.Termasuk dalam hal ini ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lenturbiologis (sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat, sertakesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan dilakukan pada preservasidaya lentur (resilience) dan dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadapperubahan, bukan pada konservasi suatu kondisi ideal statis yang mustahil dapatdiwujudkan.

(6)

kandang untuk mempertahankan kesuburan tanah serta mengurangi limpasan permukaan dan erosi ketingkat yang diperbolehkan, disamping perbaikan kimiawi dan biologis tanah.

2.2. Pertanian Konservasi

Agar produksi pertanian yang tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus dan berkesinambungan maka nilai erosi harus lebih kecil dari Etol dan bila sebaliknya akan mengakibatkan produktivitas lahan menjadi menurun, sehingga produksi yang tinggi itu tidak dapat dipertahankan (pertanian tidak lestari). Secara operasional hal ini dapat diwujudkan dengan penerapan sistem pertanian konservasi (Conservation Farming System).

Pertanian berkelanjutan merupakan habitat tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan merupakan suatu usaha yang menguntungkan. Dengan demikian, pertanian semacam iniakan menghasilkan produksi pertanian yang cukup tinggi dan memberikan penghasilan yang layak bagi petani secara terus menerus, sehingga mereka dapat merancang masa depannya sendiri. Disamping menghasilkan produksi yang tinggi secara terus menerus, pertanian berkelanjutan juga harus menghasilkan spektrum produksi yang luas sehingga dapat menyediakan bahan baku berbagai agroindustri dan produk-produk eksport secara lestari. Selanjutnya akan mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, sehingga daerah perianian iniakan menjadi penyerap hasil-hasil industri (Sinukaban, 2001).

(7)

menerapkan sistem pertanian yang pengelolaannya sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Dengan demikian diperlukan penerapan teknologi berupa penerapan sistem usahatani konservasi untuk membangun pertanian menjadi industri yang lestari berdasarkan pengembangan sistem pengelolaan lahan dan tanaman yang ekonomis dalam jangka pendek dan dapat mempertahankan produktivitas lahan yang cukup tinggi dalam waktu yang tidak terbatas (Sinukaban, 2001).

Sinukaban (2010) menjelaskan bahwa sistem usahatani konservasi adalah sistem usahatani yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem usahatani yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, serta menekan erosi sehingga sistem usahatani tersebut dapat berkelanjutan tanpa batas waktu. Dengan demikian sistem usahatani konservasi bukan hanya bertujuan untuk menerapkan tindakan konservasi tanah dan air, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mempertahankan pertanian yang lestari.

(8)

sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar, (5)laju erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan, sehingga produksi yang tinggi tetap dapat dipertahankan atau ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah tetap terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, dan (6) sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longtime investment security) dan menggairahkan petani untuk tetap berusahatani.

Indikator penutupan tanah (soil cover), erosi tanah, dan sedimentasi dapat digunakan untuk mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya lahan pada skala wilayah atau DAS. Bahan organik yang terdapat pada permukaan tanah pada umumnya dijadikan sebagai tolok ukur yang mendasar bagi studi penutupan lahan dan erosi tanah (Zheng et al. 2004). Rahman et al.(2003) dan Iqbal et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan lahan sebagai areal budidaya tanaman semusim dalam jangka panjang telah menyebabkan perubahan perilaku fisik dan erodibilitas tanah. Pengelolaan lahan dalam jangka panjang yang berakibat pada akumulasi residu tanaman pada permukaan tanah dapat memperbaiki kualitas fisik tanah antara lain stabilitas agregat, kekuatan geser tanah (shear strength), dan ketahanan tanah terhadap percikan air hujan yang dapat menyebabkan erosi tanah.

(9)

secara efektif dalam program pengelolaan sumberdaya lahan berkelanjutan karena selain memerlukan serial data yang cukup (time series) dan hanya dapat diperoleh dalam waktu yang lama, petani juga merasa tidak mempunyai kepentingan secara langsung terhadap program-program jangka panjang yang direncanakan oleh institusi. Indikator efisiensi penggunaan air dan status nitrogen dianggap efektif untuk dikembangkan guna mempelajari perubahan perilaku karakteristik lahan pada tingkat usahatani.

Berkaitan dengan penataan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan, maka diperlukan pemilihan atau penerapan teknologi konservasi/agroteknologi pada setiap bidang lahan yang mampu meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Beberapa bentuk agroteknologi yang dapat diterapkan antara lain: pembuatan teras, check dam, guludan, rorak, pemberian mulsa, pertanian lorong (alley cropping), pertanian strip cropping dan penanaman menurut kontur. Alternatif teknologi konservasi yang terpilih yaitu dikenal oleh masyarakat lokal, mampu meningkatkan infiltrasi dan dapat menekan erosi, mengurangi aliran permukaan, serta mampu mempertahankan produktivitas lahan. Hasil penelitian Sinukaban (1999) menyebutkan pengolahan tanah konservasi sangat efektif dalam menekan erosi dan aliran permukaan.

2.3. KonsepPengelolaan Daerah Aliran Sungai 2.3.1. Pengertian DAS

(10)

1. Lal (2000), mendefinisikan daerah aliran sungai (DAS) sebagaiwilayah yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan;

2. Asdak (2002), menyebutkan daerah aliran sungai adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung sehingga air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utarna;

3. Wiersum et al. (1979) mendefinisikan daerah aliran sungai sebagai wilayah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran bawah tanah. Wilayah ini dipisahkan dengan wilayah lainnya oleh pemisahalami topografi yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan; 4. Linsley et al. (1980) memberikan batasan bahwa DAS (watershed atau river basin atau drainage basin atau cathment area) adalah seluruh wilayah yang dialiri oleh sebuah sistem sungai yang saling berhubungan sehingga semua aliran sungai yang berasal dari wilayah ini keluar melalui satu muara (single outlet);

(11)

suatu pengukuran arus. Tempat tertentu ini dapat berupa danau, kampung, kota atau stasiun pengukur arus;

6. Chow et al. (1988), mengemukakan bahwa DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi dimana curah hujan merupakan input dari aliran sungai serta evapotranspirasi adalah output sistem;

7. Menurut Undang-Undang Sumberdaya Air No.7 tahun 2004 dan UU No.37 Tahun 2012 tentang pengelolaan DAS, DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan;

8. Pengertian DAS secara institusi dikemukakan oleh Kartodihardjo et al. (2004), dimana DAS dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam kepemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat.

2.3.2. Pengelolaan DAS

(12)

berkelanjutan. Sedangkan menurut Sinukaban (2004)Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Ini berarti bahwa pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Dalam hal ini juga termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, kemudian keterkaitan antara hulu dan hilir suatu DAS. Pengelolaan DAS perlu pula mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budayadan kelembagaan yang beroperasi di dalam dan di luar daerah aliran sungai yang bersangkutan (Asdak, 2002).

Secara umum DAS dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase tinggi, kemiringan lereng yang tinggi (>15%) dengan jenis vegetasi tegakan hutan (Asdak, 2002). Bagian hilir DAS dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase kecil, kemiringan lereng kecil (<8%), sebagian diantaranya merupakan daerah banjir, dan didominasi jenis vegetasi tanaman pertanian. Bagian tengah DAS merupakan daerah transisi di antara DAS hulu dan DAS hilir. Ketiga bagian DAS ini mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain.

(13)

daur hidrologi. Hubungan antara masukan dan keluaran dari DAS yang bersangkutan dapat digunakan untuk menganalisis dampak suatu kegiatan pada lingkungan, terutama pengaruhnya di daerah hilir.

Usaha konservasi di daerah aliran sungai bagian hulu ditujukan pada sumberdaya tanah dan air. Dalam arti luas, konservasi termasuk juga usaha rehabilitasi dan reklamasi, yaitu upaya membawa lahan kritis atau marjinal menjadi lebih subur dan lebih produksi yang dapat dipertahankan kesuburannya (Sukmana et al.1990). Lebih lanjut dikatakan oleh Paiminet al.(2010), bahwa konservasi dan rehabilitasi di daerah aliran sungai perlu ditingkatan melalui pendekatan pengelolaan terpadu daerah aliran sungai (DAS) atau daerah tangkapan air (chathmant area), dan yang dimaksud dengan daerah tangkapan air dalam penelitian ini adalah daerah yang miliki kemiringan lahan antara 8% sampai 40%.

Pengelolaan DAS adalah penggunaan sumberdaya alam di dalam daerah aliran sungai tersebut secara rasional untuk mendapatkan ciri DAS yang baik. Sinukaban (1999), mengemukakan DAS yang baik adalah yang mempunyai ciri : 1) Produktivitas yang tinggi secara lestari/terus menerus yang meliputi pertanian,

perdagangan, kehutanan, rekreasi, serta. semua pengelolaan sumberdaya yang ada di dalamnya yang bisa menjamin kehidupan yang laya

2) Hasil air yang baik, meliputi kuantitas, kualitas dan distribusinya

(14)

4) Kelenturan (resilient) yang tinggi, dalam artian apabila dalam satu titik dalam DAS tersebut terjadi guncangan dapat ditopang oleh tempat yang lain

Dalam kegiatan pengelolaan DAS harus diciptakan indikator yang secara simultan dan dipakai sebagai jaminan, yaitu : pendapatan yang cukup tinggi, dalam artian jumlah yang bisa menghidupi petani dengan layak secara lestari. Untuk rnewujudkan hal tersebut maka produktivitas harus tinggi dan hasilnya mempunyai nilai jual yang tinggi serta laku di pasar. Untuk menjamin produktivitas lahan secara terus-menerus maka agroteknologi yang diterapkan ha-rus dapat menciptakan kondisi dimana erosi yang ditimbulkan lebih kecil dari nilai erosi yang dapat ditolenransi serta dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat dengansumberdaya lokal yang tersedia (Sinukaban et al. 1996 ).

Untuk mewujudkan hal di atas, fokus utamadalam kegiatan pengelolaan DAS adalah: 1) menggunakan sumberdaya alam. sesuai dengan kemampuannya, 2) melindungi sumberdaya alam dari faktor-faktor yang merusaknya.Menurut Asdak (2002), dari segi fisik indikator untuk mengetahui normal tidaknya suatu DAS dapat dilihat dari beberapa hal. Dimana suatu DAS dikategorikan dalam kondisi baik apabila memiliki ciri sebagai berikut :

a) Koefisien air larian (C), yang menunjukkan perbandingan antara besamya air larian terhadap besamya curah hujan, berfluktuasi secara normal, artinya nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan relatif sama dari tahun ke tahun

(15)

c) Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar lumpur (Cs) terhadap debit sungai (Q)

Salah satu sistem pengelolaan lahan dalam rangka mewujudkan terciptanya kondisi DAS yang baik adalah Sistem Pertanian Konservasi (Sinukaban, 1994). Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalarn sistern pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu (sustainable). Tujuan utama pertartian konservasi adalah untuk mewujudkan kondisi sebagai berikut:

1) Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya

2) Pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat merancang masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya

3) Teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan dapat diterima oleh petani, sehingga sistem pertanian tersebut dapat dan akan diteruskan oleh petani dengan kemampuannya sendiri secara terus menerus

4) Komoditi pertanian yang diusahakan beragam dan sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku dipasar

(16)

6) Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang dan menggairahkan petani umuk terus berusahatani.

Mengingat setiap DAS memiliki karakteristik sendiri maka pengelolaannya juga harus memperhatikan masing-masing spesifikasi DAS tersebut. Bentuk DAS, panjang sungai, luas DAS, kerapatan drainase dan aktivitas yang ada didalamnya, akan menjadi bahan pertimbangan dalam pegelolaan agar penggunaannya dapat berkelanjutan.

Tantangan utama dalam pengelolaan DAS adalah bagaimana mengembangkan rencana pengelolaan untuk mencapai berbagai tujuan yang saling bertentangan. Karyana (2007) mengemukakan bahwa tantangan pembangunan pertanian dalam konsep pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada dasarnya adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam secaraberkelanjutan (sustainable) sehingga tidak membahayakan lingkungan lokal, regional, nasional dan bahkan global.Oleh karena itustrategi pengelolaan DAS memungkinkan bagi petani di daerah hulu menghasilkan bahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan kayu yang berbasis berkelanjutan (sustainable) tanpa merusak kemampuan DAS untuk menghasilkan air yang berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tersedia secara terus menerus (Pasaribu, 1999).

2.4. Konsep Kemampuan Lahan

(17)

dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan penggunaan lahan dengan kemampuan lahannya (Oluwatosin et al., 2006). Penggunaan lahan harus sesuai dengan syarat–syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi dengan baik tanpa mengurangi tingkat kesuburannya (Linet al. 2012).

Semakin meningkat jumlah penduduk maka akan semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Akibatnya lahan-lahan pertanian yang subur dan potensial semakin berkurang, serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian, sehingga diperlukan teknologi tepat guna dalam upaya mengoptimalkan penggunaan sumberdaya lahan secara berkelanjutan (Shekinahet al. 2004). Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya lahan secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang akan diusahakan terutama tanaman-tanaman yang mempunyai nilai ekonomi cukup baik (Saidaet al. 2013).

(18)

al.2009). Lahan diklasifikasikan atas dasar penghambat fisik serta potensi bahaya lain yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pemanfaatan sumber dayalahandapatoptimaldan berkelanjutanjikapengelolaanlahandilakukansesuai dengan karakteristik, kemampuan dan kapasitas daya dukung lahan. Hasil klasifikasi ini dapat digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan secara umum misalnya untuk budidaya tanaman semusim, perkebunan, hutan produksi, dan sebagainya (Brownet al. 2010). Pada penentuan kelas kemampuan lahan, sifat dan faktor pembatas yang dipakai adalah yang menentukan mudah tidaknya tanah diolah jika lahan tersebut dijadikan suatu usaha pertanian (Kusumaseta, 1987). Sifat dan faktor pembatas lahan yang sangat mempengaruhi kemampuan lahan di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh batuan, iklim, tanah, bentuk lahan, panjang dan kemiringan lereng dan proses yang bekerja di lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Kelas kemampuan lahan merupakan pengelompokan tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi kemampuan lahan. Pengelompokan kelas didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang.

2.4.1. Kelaskemampuan lahan

(19)

nomor Romawi I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai VIII (Mc Kenzie et al. 2008).

2.4.2. Subkelas kemampuan lahan

Pengelompokan dalam sub kelas didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman kerusakan. Sub kelas kemampuan lahan menunjukkan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika digunakan untuk pertanian sebagai akibat faktor sifat-sifat tanah, topografi, hidrologi dan iklim. Terdapat empat jenis hambatan atau ancaman dalam sub kelas kemampuan lahan, yaitu: 1) ancaman erosi (e), 2) kondisi draenase atau kelebihan air atau ancaman banjir (w), 3) hambatan daerah perkaran (s), dan 4) hambatan iklim (c) (Arsyad, 2010).

2.4.3. Satuankemampuan lahan (land capability unit)

(20)

pengelolaan yang sama di bawah vegetasi penutup yang sama, dan (c) mempunyai produktivitas potensial yang setara (Arsyad, 2010). Pendugaan jangka panjang hasil tanaman yang diusahakan pada setiap bidang lahan dalam satuan kemampuan lahan yang sama dengan pengelolaan yang sama tidak boleh mempunyai perbedaan lebih dari 25%.

Kelas I

Tanah kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Terletak pada lereng yang datar (0 – 3%), tanahnya dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Tanah kelas I tidak memerlukan tindakan konservasi khusus, namun upaya memelihara kesuburan tanah seperti pemupukan dan penambahan bahan organik ke dalam tanah secara teratur diperlukan.

Kelas II

(21)

atau pupuk hijau atau guludan, disamping tindakan-tindakan pemupukan seperti pada kelas I.

Kelas III

Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II, sehingga memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng agak miring atau bergelombang (8 – 15%) berdrainase buruk, kedalaman sedang, atau permeabilitasnya agak cepat. Tindakan pengawetan tanah khusus seperti penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan tanaman penutup tanah disamping tindakan-tindakan untuk memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah.

Kelas IV

Tanah kelas IV sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari kelas III, sehingga memerlukan tindakan khusus pengawetan tanah yang lebih berat dan lebih terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak pada lereng yang miring atau berbukit (15 – 30%), berdrainase buruk atau kedalaman tanah yang dangkal (< 50 – 25 cm).

Kelas V

(22)

sehingga selalu tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaannya, atau terdapat liat masam di dekat atau pada daerah perakarannya.

Kelas VI

Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim, dikarenakan terletak pada lereng agak curam (30 – 45%). Tanah ini lebih sesuai untuk padang rumput atau dihutankan. Jika profil tanahnya dalam dapat digunakan untuk produksi pertanian (tanaman semusim atau tahunan) dengan metode pencegahan erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif.

Kelas VII

Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, tetapi lebih baik untuk ditanami vegetasi permanen. Tanah ini terletak pada lereng yang curam (45 – 65%) dan tanahnya dangkal, atau telah mengalami erosi yang sangat berat. Namun dapat digunakan untuk padang pengembalaan (rumput) terbatas, hutan produksi dengan upaya pencegahan erosi, dan terbaik adalah untuk hutan lindung/suaka alam.

Kelas VIII

(23)

2.5. Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah merupakan penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan tanah yang sesuai kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2010). Sedangkan menurut UU No.37/2014 konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan, peningkatan dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan lestari. Usaha konservasi tanah tersebut ditujukan untuk dua hal, yaitu: (1) mencegah kerusakan tanah, dan (2) memperbaiki tanah agar dapat berproduksi optimal untuk waktu yang tidak terbatas. Morgan (2005) menambahkan tujuan dari konservasi tanah adalah untuk mencapai produksi pertanian pada tingkat yang maksimum dan berkelanjutan tanpa mengakibatkan keruskan lingkungan.

Masalah konservasi tanah adalah masalah menjaga agar struktur tanah tidak terdispersi, dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan. Berdasarkan asas ini, Morgan (2005) menekankanpendekatan konservasi tanah harus didasarkan atas: (1) menutup permukaan tanah agar terlindung dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (2) meningkatkan kapasitas infiltrasi untuk mengurangi aliran permukaan, (3) meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan (4) meningkatkan kekasaran permukaan tanah untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan.

(24)

vegetasi, cara bercocok tanam dan intensitas penggunaan tanah. Teknologi yang diterapkan pada setiap macam penggunaan tanah akan menentukan apakah akan didapat penggunaan dan produksi yang lestari dari sebidang tanah.

Metode konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu: (1) metode vegetatif, (2) metode mekanik, dan (3) metode kimia. Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisasisinya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan erosi. Dalam konservasi tanah dan air metode vegetatif mempunyai fungsi: (a) melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (b) melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah, dan (c) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Termasuk di dalam metode vegetatif untuk konservasi tanah dan air adalah (1) penanaman tumbuhan dan atau tanaman yang menutupi tanah secara terus menerus, (2) penamanan dalam strip (strip cropping), (3) pengiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah (conservation rotation), (4) system pertanian hutan (agroforestry), pemanfaatan sisa tanaman atau tumbuhan (residu management) dan (6) penaman saluran-saluran pembuangan dengan rumput (vegetated atau grassed waterways).

(25)

kountur, (4) teras, (5) dan penghambatan (check dam), waduk (balong) (farm ponds), rorak, tanggul, dan (6) perbaikan drainase dan irigasi.

Metode kimia dalam konservasi tanah dan air adalah penggunaan preparat kimia sintetis atau alami, kemantapan struktur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang menentukan kepekaan tanah terhadap erosi. Dalam pembentukan struktur tanah butir-butir terikat satu sama lain menjadi agregrat.

Model konservasi telah banyak dikemukan oleh berbagai sumber maupun ahli. Seperti dikemukan oleh Dariah et.al, (2004) bahwa model penanganan lahan kering dengan konservasi di kembangkan usahatani konservasi dengan anjuran menggunakan sistem tanam tumpang sari dan sistem tanaman sisipan antara tanaman pangan, tanaman keras/kayukayu/buah-buahan, rumput pakan ternak yang dapat mempertinggi efisiensi penggunaan lahan dan waktu yang tersedia. 2.6. Erosi, Faktor yang Mempengaruhi Erosi dan Selektivitas Erosi 2.6.1. Pengertian erosi

(26)

Terjadinya erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran permukaan atau karena kekuatan angin. Sebagian besar daerah tropika basah seperti Indonesia, erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir hujan dan aliran permukaan. Proses terjadinya erosi melalui beberapa tahap, yaitu pelepasan (detachment), pemindahan (transportation) dan pengendapan (deposition) (Xu dan Wang, 2011). Hujan yang jatuh di permukaan tanah akan menghancurkan partikel tanah dan memercikkan partikel tersebut ke atas kemudian berpindah ke tempat lain. Dampak yang ditimbulkan akibat berpindahnya partikel-partikel tanah tersebut yaitu akan terjadi penyumbatan pori-pori tanah sehingga akan mengurangi infiltrasi tanah karena telah terjadinya pemadatan tanah (surface crusting). Apabila hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka akan terjadi run off yang akan menghancurkan partikel tanah dan mengangkutnya dengan tenaga aliran run off. Jika kecepatan aliran menjadi lambat atau terhenti, partikel akan mengalami deposisi atau sedimentasi. Banyaknya air mengalir di permukaan tanah bergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah (Klik dan Eitzinger, 2010).

(27)

sedikitnya 15 ton/ha tanah. Dilain pihak untuk mengembalikan kehilangan tanah sebesar itu membutuhkan waktu 20 tahun (Pimentel, 2006).

2.6.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi

Proses terjadinya erosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah, dan tindakan manusia. Selanjutnya Blanco dan Lal (2008) mengklasifikasi faktor-faktor tersebut dalam suatu persamaan sebagai berikut :

E = f ( I, R, V, T, M )

dimana : I = iklim V = vegetasi M = manusia R = topografi T = tanah 1) Iklim

Di daerah tropika faktor iklim yang terpenting yang menentukan besarnya tanah tererosi adalah hujan. Karakteristik hujan yang mempengaruhi erosi adalah intensitas hujan, lama hujan, total curah hujan energi kinetik hujan, ukuran butir, kecepatan dan bentuk jatuhnya hujan serta distribusi hujan (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993).

2) Tanah

(28)

diantara koloid-koloidnya(Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993). Sebaliknya tanah dengan kadar bahan organik rendah dan perkembangan struktur tanah yang lemah sangat mudah tererosi (Pimentel, 2006). Kriteria yang penting dalam menduga kepekaan tanah terhadap erosi adalah clay ratio yaitu perbandingan antara persentase pasir dan debu dengan persentase liat (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja 1993). Selain struktur tanah, bahan organik dan tekstur tanah, erodibiltas tanah juga dipengaruhi oleh retensi air, infiltrasi, jenis mineral liat, kapasitas pertukaran ion dan jenis ion yang terkandung didalam tanah (Pimentel, 2006).

3) Topografi

Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang berpengaruh terhadap erosi. Kenaikan kecepatan aliran permukaan akibat kemiringan lereng menjadikan air tersebut sebagai pengangkut yang lebih baik, karena tetesan hujan akan mengakibatkan terlepasnya butir-butir tanah yang selanjutnya akan di hanyutkan oleh aliran permukaan. Pengaruh panjang lereng terhadap erosi sangat tergantung pada jenis tanah dan intensitas hujan. Umumnya kehilangan tanah meningkat dengan meningkatnya panjang lereng bila intensitas hujannya besar (Arsyad, 2010).

4) Vegetasi

(29)

adalah biomassa, kanopi, sistem perakaran dan keragaman jenis vegetasi. Selanjutnya Arsyad (2010) mengemukakan pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Intersepsi hujan

Intersepsi hujan oleh vegetasi akan mempengaruhi erosi, yaitu mengurangi jumlah air yang sampai ke tanah sehingga akan mengurangi aliran permukaan dan mengurangi kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh ke tanah.

b. Mengurangi kecepatan dan kekuatan perusakan aliran permukaan

Tumbuhan yang merambat di atas permukaan tanah merupakan penghambat aliran permukaan. Pengaruh vegetasi terhadap pengurangan laju aliran permukaan lebih besar dari pada pengaruhnya terhadap pengurangan jumlah aliran permukaan.

c. Pengaruh perakaran

(30)

d. Transpirasi

Tanah dalam kapasitas lapang mengakibatkan hilangnya air dari tanah terutama melalui transpirasi. Transpirasi memperbesar kapasitas tanah untuk menyerap air hujan, sehingga nantinya akan mengurangi jumlah aliran permukaan

e. Kegiatan biologi tanah

Kegiatan biologi tanah (bakteri, jamur, cendawan, insekta dan cacing tanah) akan memperbaiki porositas dan kemantapan agregat tanah. Pengaruh dari berbagai organisme tanah ini akan meningkatkan infiltrasi tanah, mengurangi aliran permukaan dan mengurangi erosi.

5) Manusia

(31)

2.6.3. Selektivitas erosi

Erosi membawa lapisan tanah permukaan yang umumnya lebih subur (kaya bahan organik dan unsur hara) dibandingkan dengan lapisan bawah, dan berarti erosi juga menyebabkan hilangnya unsur hara tanaman. Dalam peristiwa erosi, fraksi halus tanah terangkut lebih dahulu dan lebih banyak dari fraksi yang lebih kasar, sehingga kandungan liat sedimen lebih tinggi dari kandungan liat tanah semula. Hal ini terkait dengan daya angkut aliran permukaan terhadap butir-butir tanah yang berbeda berat jenisnya. Pemindahan partikel halus oleh erosi menyebabkan peningkatan persentase pasir dan kerikil di permukaan tanah, dan pada waktu yang sama mengurangi persentase debu dan liat (Sinukaban 1981). Dengan demikian tanah yang telah mengalami erosi bertekstur lebih kasar dibandingkan dengan sebelum tererosi. Kemudian oleh karena bahan organik dan unsur hara tanah umumnya terikat pada fraksi bahan halus (liat), maka sedimen atau tanah hasil erosi biasanya lebih kaya dengan bahan organik dan unsur hara dibandingkan dengan tanah asalnya (tanah yang tererosi) (Arsyad 2010). Pengkayaan juga dapat disebabkan oleh hanyutnya bentuk-bentuk larut dari hara yang ada di dalam residu tanaman atau pupuk organik dan anorganik yang digunakan di permukaan tanah, dan mudahnya pengangkutan terhadap partikel-partikel yang densitasnya lebih kecil terutama bahan organik (Elliot dan Wildung 1992).

(32)

erosi dapat diukur dari nilai nisbah pengkayaan sedimen (NPS) atau Sediment Enrichment Ratio yang didefinisikan sebagai perbandingan antara kandungan bahan organik dan unsur hara di dalam tanah yang terbawa erosi (sedimen) terhadap kandungannya di dalam tanah asalnya (Arsyad 2010).

Nilai NPS dari partikel-partikel halus dan distribusi ukuran partikel di dalam sedimen sangat bervariasi tergantung pada mekanisme penghancuran dan transportasi dari proses erosi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Arsyad (2010) mengemukakan bahwa NPS dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi penghancuran agregat dan aliran permukaan. Jika dalam proses erosi terjadi dominan penghancuran agregat sebelum pengangkutan butir-butir tanah, maka nilai NPS akan besar; sebaliknya jika penghancuran agregat tidak dominan, maka selektivitas erosi akan kecil dan nilai NPS akan kecil. Demikian juga jika kecepatan aliran permukaan makin tinggi akibat lereng yang makin curam, maka selektivitas erosi semakin kecil dan nilai NPS juga akan kecil. Sebaliknya jika aliran permukaan menjadi lambat akibat lereng yang makin landai atau oleh makin rapatnya tanaman dan makin banyaknya sisa tanaman di permukaan tanah, maka nilai NPS akan makin besar.

(33)

NPS cenderung meningkat dengan menurunnya jumlah tanah tererosi (Menzel 1980) dan memberi petunjuk tingkat atau kecepatan pemiskinan tanah serta petunjuk untuk mengetahui apakah kehilangan hara merupakan faktor utama penyebab penurunan produktivitas tanah (Arsyad, 2010). Banuwa (2004) mendapatkan nilai NPS fraksi liat berkisar dari 0,98 – 1,66 dengan berbagai tindakan konservasi tanah pada lahan berlereng 30 % yang ditanami kubis dan kentang, sedangkan tanpa tindakan konservasi nilai NPS fraksi liat hanya 0,98.

Meningkatnya konsentrasi fraksi liat di dalam sedimen dengan makin selektifnya erosi, diikuti dengan meningkatnya konsentrasi bahan organik dan unsur hara di dalam sedimen tersebut. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar bahan organik dan unsur hara terjerap pada partikel-partikel halus seperti liat dan koloid (Soepardi 1983). Konsentrasi unsur hara di dalam sedimen dapat 50 persen lebih tinggi daripada konsentrasinya di tanah asal (Wischmeier dan Smith 1978). Foth (1990) melaporkan bahwa tanah tererosi mempunyai konsentrasi bahan organik, N-total, P dan K tersedia masing-masing 2,7; 2,7; 3,4 dan 19,3 kali lebih banyak dibandingkan konsentrasinya di tanah asal.

(34)

P2O5/ha, 18 kg K2O/ha) akibat erosi (65 ton/ha) pada lahan usahatani kentang dengan guludan searah lereng, lebih besar dibandingkan dengan erosi (40.50 ton/ha) dan kehilangan hara (146 kg N/ha, 58 kg P2O5/ha, 13 kg KCl/ha) pada penanaman dengan guludan searah kontur. Selanjutnya Sinukaban et al. (2007) melaporkan bahwa pada pertanaman jagung-kacang tanah dengan perlakuan mulsa di tanah Latosol Coklat Kemerahan Darmaga dengan kemiringan lereng 7 - 14 persen menunjukkan bahwa nilai NPS berkisar 3,3 – 9,4 untuk C-organik, 6,4 – 9,0 untuk N-total, 12,9 – 33,9 untuk P-tersedia dan 1,1 – 3,0 untuk K dan 1,4 – 3,6 untuk Mg. Dalam hal ini erosi menurun dari 96,1 ton/ha menjadi 39,1 ton/ha akibat penggunaan mulsa yang sekaligus juga meningkatkan selektivitas erosi. Kehilangan hara pada system pertanian berbasis perkebunan juga dilaporkan Dariah et al. (2012) dimana unsure hara lebih banyak hilang melalui aliran permukaan dibandingkan melalui sedimen, terutama N dan K. Perbedaan tingkat kehilangan hara sangat dipengaruhi oleh sifat dari masing-masing unsure hara. Dalam hal ini unsur N dan K mempunyai sifat yang sangat mobil dibandingkan dengan unsur K.

(35)

kehilangan unsur hara berhubungan langsung dengan jumlah tanah tererosi dan merupakan fungsi dari konsentrasi hara tersebut di dalam sedimen.

Menurut Arsyad (2010) banyaknya unsur hara yang hilang oleh erosi bergantung pada besarnya erosi dan unsur hara yang terkandung dalam bagian tanah yang tererosi. Secara kasar banyaknya unsur hara yang hilang dari sebidang tanah yang tererosi dihitung dengan mengalikan kandungan unsur hara tanah semula dengan besarnya tanah tererosi. Namun lebih teliti jika jumlah hara yang hilang diukur dengan mengalikan banyaknya sedimen dengan unsur hara yang terbawa sedimen dan larut dalam air.

2.7. IndikatorKelayakan Usahatani

Menurut Soekartawiet.al (1986), ada tiga variabel yang perlu diperhatikan dalam analisis ekonomi usahatani, yaitu (1) penerimaan usahatani, (2) biaya usahatani dan (3) pendapatan usahatani.Berbagai cara penilaian investasi telah dikembangkan dan digunakan dibidang pertanian, terutama pada usahatani dengan umur produksi multi tahun.

Analisis usahatani yang dimaksudkan adalah analisis biaya dan pendapatan usahatani yang diperoleh keluarga tani berdasarkan produksi dan pendapatan lain di luar usahatni. Besarnya pendapatan bersih petani dihitung dengan persamaan (Soekartawi et al. 1986) :

T = pendapatan bersih

(36)

Biaya-biaya usahatani adalah semua biaya yang dikeluarkan petani selama proses produksi dalam setiap jenis tanaman yang disusahakan. Secara garis besar biaya tersebut dapat dibagi atas dua bagian yakni biaya variabel (biaya tidak tetap) dan biaya tetap. Biaya-biaya tidak tetap adalah semua biaya yang dikeluarkan petani sesuai dengan jenis usahatani yang akan dikerjakan dan sistem pengelolaan yang akan diterapkannya. Adapun yang termasuk biaya tidak tetap ini antara lain pembelian bibit, pengolahan tanah, pemupukan, pencegahan hama/penyakit, pemanenan, penjemuran hasil (pengolahan hasil), pemasaran. Biaya tetap dapat berupa pajak, biaya perawatan alat, biaya penyusutan, retribusi dan bunga pinjaman (Soekartawi et al. 1986).

2.8. Kebutuhan Hidup Layak

(37)

Sajogyo (1990) mengemukakan bahwa ukuran garis kemiskian untuk wilayah Indonesia dispesifikasi atas tiga tingkat kemiskinan yang mencakup konsepsi “Nilai Ambang Kecukupan Pangan” yaitu miskin, miskin sekali, sangat miskin. Garis kemiskinan tersebut dinyatakan (Rp/bln) dalam ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun) sehingga dapat dibandingkan dengan nilai tukar antar daerah dan antar waktu, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di daerah pedesaan berkisar antar 240 – 320 kg/orang/tahun, sedangkan untuk daerah perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg/orang/tahun.

Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah hidup layak, yakni apabila keluarga tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, rekreasi, asuransi dan tabungan (3). Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh setiap keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal senilai beras 320 kg/thn x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5 (Sinukaban, 2007). Selanjutnya dikemukakan bahwa rincian kebutuhan hidup layak sebagai berikut:

• Nilai setara 320 kg beras/org/th untuk memenuhi 3 kebutuhan hidup primer (pangan, sandang, papan) dengan rincian 8,9 kg beras x 3 x 12 bl = 320 kg atau dibulatkan 320 kg/org/th (100%). Dalam sehari kebutuhan hidup per orang sebesar 290 g beras, sebulan 290 g x 30 = 8,9 kg dibulatkan 9 kg/org/bln

(38)

• Kebutuhan pendidikan 50% x 320 kg beras/org/th

• Kebutuhan sosial, asuransi dll. 50% x 320 kg beras/org/th

Jadi kebutuhan layak bagi sebuah keluarga tani yang terdiri atas 5 orang (ayah, ibu dan 3 orang anak) dengan asumsi harga beras di Provinsi Aceh stabil pada Rp 8500/kg, dibutuhkan pendapatan sebesar: 320 kg x Rp.8500 x 4 x 2,5 = Rp.27.200.000/tahun.

Untuk menetapkan luas lahan minimal (Lm) dalam rangka memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), digunakan persamaan : Lm = KHL/Pb, dengan Pb adalah pendapatan bersih per hektar. 2.9. Program Tujuan Ganda

(39)

keputusan, yang terdiri atas kendala pembatas dengan notasi (<), kendala syarat (>) dan kendala keharusan (=).

(40)

target yang ditimbulkan oleh adanya nilai penyelesaian tersebut. Model umum multiple goal programming adalah sebagai berikut:

Meminimumkan :

(

+ −

)

Untuk : i=1,2,3,….m tujuan atau target kj j k n

Z = nilai skala dari kriteria pengambilan keputusan, fungsi tujuan

+ −

di

di , = jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi)

a = koefisien teknologi fungsi kendala tujuan yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambilan keputusan (Xj)

j

X = peubah pengambilan keputusan atau kegiatan (sub tujuan)

i

b = tujuan atau target yang ingin dicapai kj

g = koefisien teknologi fungsi kendala biasa

k

C = jumlah sumberdaya “k” yang tersedia

(41)

terdapat urutan skala prioritas dari tujuan atau target tersebut. Fungsi kendala terdiri atas fungsi kendala tujuan dan fungsi kendala sumberdaya (kendala fungsional).

Dalam rangka memecahkan persoalan dimana pengambil keputusan menghadapi suatu persoalan dengan tujuan ganda, tetapi satu tujuan dengan tujuan lainnya saling bertentangan, maka pengambil keputuan tersebut harus menentukan tujuan yang diutamakan atau diprioritaskan (tujuan yang paling penting ditentukan sebagai prioritas ke-1 dan seterusnya). Pembedaan prioritas tersebut dikatakan sebagai pengutamaan (preemptive) yaitu mendahulukan tercapainya kepuasan pada suatu tujuan yang telah ditetapkan sebagai prioritas utama sebelum menuju pada tujuan-tujuan atau prioritas berikutnya. Dengan kata lain prioritas-prioritas tersebut harus disusun dalam suatu urutan (ranking) menurut prioritasnya (prioritas dinyatakan sebagai Pi untuk i = 1, 2, 3 ...,m). Hubungan nPi+1 >Pi tidak mungkin diharapkan terjadi dalam persoalan multiple goal programming yang menggunakan ketentuan pengutamaan (urutan prioritas). Perumusan model multiple goal programming dengan urutan prioritas ini disebut sebagai “Model Program Tujuan Ganda” yang memiliki struktur prioritas yang timbangannya (Pi; i = 1, 2, 3, ...., m) adalah ordinal”.

Model umum multiple goal programming yang memiliki struktur timbangan pengutamaan dengan urutan ordinal dapat dirumuskan sebagai berikut :

(42)

Untuk : k = 1, 2, 3,….. m tujuan atau target timbangan relatif dari di+ dalam urutan ke-y dan timbangan relatif dari di– dalam urutan ke-s, dan terdapat m tujuan, p kendala fungsional dan n peubah pengambil keputusan.

(43)

Gambar

Gambar 1. Konseppembangunan berkelanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan kajian ini dijalankan adalah untuk mengkaji penilaian kurikulum program SPF dan SPC dari segi program, kekuatan dan kelemahan kandungan pelajaran, keberkesanan pengajaran

RPJMD Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2013-2018 memuat penjabaran visi, misi, strategi, arah kebijakan dan program pembangunan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh penggunaan binder molasses dalam pelet complete calf starter terhadap kualitas kimia dan fisik pelet.. Penelitian dilaksanakan selama

UPT BALAI INFORMASI TEKNOLOGI

Berkaitan dengan hal tersebut diperlikan suatu alat yang berguna, efektif dan efisien sehingga masyarakat merasa aman untuk berpergian dengan menggunakan kendaraan umum, salah satu

Selama 2014–2016 sudah tidak ada lagi pegawai yang berpendidikan SLTP dan SD di UPT Balai Media dan Reproduksi (LIPI Press), dengan demikian pegawai yang berpangkat Pengatur­II/c

Alat ini di rancang tidak hanya sebagai jam, tetapi juga ditambahkan fitur-fitur lainnya seperti timer maju dan mundur, dan alarm waktu dengan menggnakan ic mikrokontroler AT892051

Aset keuangan (atau mana yang lebih tepat, bagian dari aset keuangan atau bagian dari kelompok aset keuangan serupa) dihentikan pengakuannya pada saat: (1) hak untuk menerima arus