• Tidak ada hasil yang ditemukan

Policy Paper

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Policy Paper"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Tim Penyusun

Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR

Sektor Limbah

Penasehat

Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas

Kepala Editor

U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas

Koordinator ICCSR

Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas

Editor

Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke, Dieter Brulez

Laporan Sintesis

Koordinator Penyusun untuk Mitigasi:: Hardiv Haris Situmeang

Laporan Sektor Limbah

Penyusun: Asep Sofyan, Enri Damanhuri, Oman Abdurrahman.

Tim Pendukung Teknis

Chandra Panjiwibowo, Indra Ni Tua, Edi Riawan, Hendra Julianto

Tim Administrasi

(4)
(5)

uCAPAn TeRimA KAsiH

Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan.

Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini.

Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR Sektor Limbah, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggi-tingginya:

Komite Pengarah

Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Jenderal, Kementerian Pekerjaan Umum; Deputi Bidang Ekonomi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Kelompok Kerja

Kementerian Negara Lingkungan Hidup

(6)

iv

Kementerian Pekerjaan Umum

Djoko Murjanto, Mochammad Amron, Susmono, A. Hasanudin, Djoko Mursito, Handy Legowo, Setya

Budi Algamar, Agus S.K, Adelia Untari.S, Leonardo B, Desitriana, Devina Suzan, Nur. F. K, Agung. T, Rindy Farrah, Yuke Ratnawulan, Zubaidah. K, Savitri. R

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas

Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta, Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari, Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito, Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda, Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki

Universitas dan Profesional

ITB: Saut Lubis, Retno Gumilang; Asia Carbon: Architrandi Priambodo, Susy Simarangkir

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini.

(7)

Kata Pengantar dari menteri Perencanaan

Pembangunan nasional/ Kepala Bappenas

Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu

rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi

tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun 2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon

international yang solid – aksi kolektif untuk menghindari konl ik

antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.

Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua, emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi

geograi snya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian

yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.

Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau

memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintii k yang tidak

terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa maupun individu.

(8)

vi

segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global

bumi. Kita telah meratiikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi

perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan strategis dan penetapan prioritas.

Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR, dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.

Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,, yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor.

Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(9)

Kata Pengantar dari Deputi menteri Bidang sumber

Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas

Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari intensitas energi kita yang tinggi.

Dengan lokasi geograi snya yang unik, di antara negara-negara di dunia

kita termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut, banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan, maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai.

Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentii kasi

upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.

(10)

viii

DAFTAR isi

Tim Penyusun i

Ucapan Terima Kasih iii

Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas iv

Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar xi

Daftar Istilah, Singkatan dan Satuan xii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang dan Tujuan 1

1.2 Metodologi Penulisan Laporan 2

1.2.1 Analisis 2

1.2.2 Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan 2

1.2.3 Sistematika Penulisan Laporan 3

2 KONDISI SAAT INI DAN TANTANGAN MASA DEPAN 4

2.1 Kondisi Sumber Sampah 4

2.2 Kondisi Pengangkutan 7

2.3 Kondisi Pemrosesan Sampah 9

2.4 Kondisi Reduksi, Daur Ulang, dan Daur Pakai (3R) 12

2.5 Kebijakan dan Peraturan Perundangan 13

2.6 Tantangan Pengelolaan Sampah ke Depan 14

3 POTENSI MITIGASI DI SEKTOR SAMPAH 17

3.1 Metode Perhitungan 17

(11)

4 SKENARIO POTENSI MITIGASI DAN ISU-ISU STRATEGIS

DARI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR LIMBAH 22

4.1 Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah 22

4.2 Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca di Perkotaan 23

4.3 Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca di Pedesaan 30

4.4 Hasil Perhitungan Mitigasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah 33

4.5 Perhitungan Abatement Cost 41

5 KEBIJAKAN PENANGANAN SAMPAH DAN PENGINTEGRASIAN

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM KE DALAM PERENCANAAN SEKTOR LIMBAH 45

5.1 Penyusunan Alternatif Kebijakan Mitigasi berdasarkan Perbedaan Jumlah Pembiayaan 45

5.2 Isu-isu Strategis Perubahan Iklim Pada Sektor Limbah 53

5.2.1 Kelompok Program Inventarisasi Data dan Perencanaan 54

5.2.2 Kelompok Program Regulasi dan Kebijakan 54

5.2.3 Kelompok Program Implementasi 55

5.2.4 Kelompok Program Capacity Program 56

DAFTAR PUSTAKA 57

(12)

x

DAFTAR TABeL

Tabel 2.1 Kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia tahun 2005 9

Tabel 3.1 Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah 18

Tabel 3.2 Biaya untuk setiap Kegiatan Pengolahan Sampah 19

Tabel 3.3 Asumsi perencanaan landill, instalasi laring dan pembangkit listrik 21

Table 4.1 Matriks Perbandingan Skenario Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca

Sektor Sampah di Indonesia untuk wilayah Perkotaan 39

Tabel 4.2 Matriks Perbandingan Skenario Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca

Sektor Sampah di Indonesia untuk wilayah Pedesaan 41

Tabel 5.1 Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 1 (BAU) 47

Tabel 5.2 Rekapitulasi asumsi dalam Alternatif 1 (BAU) 48

Tabel 5.3 Asumsi yang digunakan dalam alternatif 2 (Law-Based, Pembiayaan Maksimal) 49

Tabel 5.4 Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 2 (Law-Based, Pembiayaan Maksimal) 50

Tabel 5.5 Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 3 (Pembiayaan Optimis) 51

Tabel 5.6 Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 3 (Pembiayaan Optimis) 52

Tabel 5.7 Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 4 (Pembiayaan Moderat) 53

Tabel 5.8 Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 4 (Pembiayaan Moderat) 54

Tabel 5.9 Asumsi yang digunakan dalam Alternatif 5 (Pembiayaan Pesimis) 55

Tabel 5.10 Rekapitulasi Asumsi dalam Alternatif 5 (Pembiayaan Pesimis) 56

Table 5.11 Matriks Aksi Mitigasi Alternatif Kebijakan

(13)

DAFTAR GAmBAR

Gambar 2.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia (2005-2030) 4

Gambar 2.2 Proyeksi Timbulan Sampah Perkapita (2005-2030) 5

Gambar 2.3 Proyeksi Timbulan Sampah di Indonesia (2005-2030) 6

Gambar 2.4 Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2010 6

Gambar 2.5 Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2030 7

Gambar 2.6 Kondisi Pengangkutan Sampah di Indonesia tahun 2005 7

Gambar 2.7 Proyeksi Prosentase Pengangkutan Sampah oleh Pemerintah Daerah 8

Gambar 2.8 Prosentase Kegiatan Pemrosesan Sampah di TPS dan TPA di Indonesia tahun 2005 10

Gambar 2.9 Kegiatan Pengelolaan Sampah yang Tidak Terangkut (Dikelola Sendiri) tahun 2005 11

Gambar 4.1 Timbulan Sampah di Perkapita di Perkotaan untuk Skenario

Reduksi Sampah di Sumber 24

Gambar 4.2 Timbulan Sampah di Perkotaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber 25

Gambar 4.3 Proyeksi Prosentase Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan

Skenario 3R dan Pengomposan 26

Gambar 4.4 Proyeksi Prosentase Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan

Skenario 3R dan Pengomposan 26

Gambar 4.5 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan Skenario SL + CL 27

Gambar 4.6 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan Skenario SL+CL 28

Gambar 4.7 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan Skenario SL+LFG 29

Gambar 4.8 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan Skenario SL+LFG 29

Gambar 4.9 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Pedesaan

Skenario dibakar/ditimbun dimana saja 30

(14)

xii

Gambar 4.11 Timbulan Sampah Perkapita di Pedesaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber 32

Gambar 4.12 Timbulan Sampah di Pedesaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber 32

Gambar 4.13 Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di perkotaan untuk setiap skenario 34

Gambar 4.14 Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di pedesaan untuk setiap skenario 35

Gambar 4.15 Reduksi emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di perkotaan untuk setiap skenario 36

Gambar 4.16 Reduksi emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di pedesaan untuk setiap skenario 36

Gambar 4.17 Biaya Pengelolaan Sampah di perkotaan untuk setiap skenario 37

Gambar 4.18 Biaya Mitigasi (Biaya Skenario – Biaya BAU) di perkotaan 37

Gambar 4.19 Biaya Pengelolaan Sampah di pedesaan untuk setiap skenario 38

Gambar 4.20 Biaya Mitigasi (Biaya Skenario – Biaya BAU) di pedesaan 38

Gambar 4.21 Perhitungan NPV Reduksi Emisi (ton CO2 eq) Setiap Skenario Perkotaan 41

Gambar 4.22 Perhitungan NPV Reduksi Emisi (ton CO2 eq) Setiap Skenario Pedesaan 42

Gambar 4.23 Perhitungan NPV Biaya Mitigasi (USD) Setiap Skenario Perkotaan 42

Gambar 4.24 Perhitungan NPV Biaya Mitigasi (USD) Setiap Skenario Pedesaan 43

Gambar 4.25 Perhitungan Abatement Cost (USD/ton) Setiap Skenario Perkotaan 43

Gambar 4.26 Perhitungan Abatement Cost (USD/ton) Setiap Skenario Pedesaan 44

Gambar 5.1 Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) tiap Alternatif terhadap Alternatif 1 (BAU) 57

Gambar 5.2 Reduksi Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) dibandingkan terhadap Alternatif 1 (BAU) 57

(15)

DAFTAR isTiLAH, sinGKATAn DAn sATuAn

BL Baseline scenario

cap capita

CDM clean development mechanism

CER certiied emission reduction

CH4 methane

CL controlled landill

CO carbon monoxide CO2 carbon dioxide

CO2 eq carbon dioxide equivalent DOC degradable organic carbon

DOCF degradable organic carbon dissimilated

EF emission factor

eq equivalent

g gram

Gg gigagram

GHG greenhouse gas

Gt gigatonne

H2 hydrogen

H2O water

ha hectare

IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change k methane generation rate constant

(16)

kWh kilowatt-hour

L litre

L0 methane generation potential

LFG landill gas

m metre

m3 cubic metre

MCF methane conversion factor

Mt megatonnes

MSW municipal solid waste

Mt megatonne

mV millivolt MW megawatt

N nitrogen

N2 nitrogen gas NA not applicable N/A not available N2O nitrous oxide

O2 oxygen

OD open dumping

OECD Organisation for Economic Co-operation and Development ppb part per billion

ppbv part per billion by volume ppm part per million

SL sanitary landill

SO2 sulphur dioxide SOx sulphur oxides

(17)

t tonne

t-km tonne-kilometre TWh terrawatt-hour

(18)
(19)
(20)

2

1.1 Latar Belakang dan Tujuan

Sebagai usaha dalam mitigasi perubahan iklim, di tingkat nasional Indonesia telah melakukan langkah-langkah, diantaranya:

• Pemerintah Indonesia telah meratiikasi United Nations Framework of Climate Change Convention

(UNFCCC) melalui Undang-Undang No 6 Tahun 1994

• Pemerintah Indonesia telah meratiikasi Protokol Kyoto melalui Undang-Undang No 17 tahun

2004.

• Pada 26 November 2007, Kementerian Lingkungan Hidup menyusun Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI) sebagai komitmen dalam mitigasi gas rumah kaca dan perubahan iklim.

• Sebagai tuan rumah dalam UN Conference of Parties (COP) in Global Warming ke 13 di Bali yang diselenggarakan pada tanggal 3-14 Desember 2007.

• Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk melakukan pengurangan gas rumah kaca dengan target jangka menengah 26% di tahun 2020 (termasuk penggunaan lahan, perubahan pemanfaatan lahan dan kehutanan) dan jika digabung dengan dukungan internasional, pemerintah Indonesia yakin bahwa emisi gas rumah kaca dapat dikurangi sebanyak 41% [SBY, 2009]. Pemerintah telah menyiapkan keputusan presiden untuk mendukung komitmen ini yang disiapkan pada Januari 2010.

• Pada September 2009, Badan Pengembangan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah meluncurkan Indonesia’s Climate Change Trust Fund [ICCTF, 2009]. Ini merupakan mekanisme pendanaan untuk menjembatani mekanisme internasional untuk perubahan iklim dengan tingkat nasional yang

eisien, transparan dan bertanggung-jawab.

Sektor limbah merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang penting. Limbah padat dan cair

merupakan sumber signiikan CH4 yang penambahannya di atmosfer berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sehingga aksi nasional dalam mitigasi perubahan iklim di sektor limbah sangat penting. Di Indonesia, sampah dapat dianalisis di lebih dari 400 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Penanganan sampah di tingkat pusat merupakan kewenangan dan tanggung jawab Departemen Pekerjaan Umum yaitu dalam bidang teknis, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup yaitu dalam aspek lingkungan hidup.

(21)

mungkin dilakukan baik dalam jangka pendek maupun panjang. Pada saat ini sektor yang siap untuk melakukan reduksi CH4 dari sektor limbah adalah dari sektor persampahan sehingga penanganan mitigasi di sektor limbah roadmap ini dibatasi hanya untuk sektor persampahan. Saat ini sektor sampah sebagian besar dikelola oleh Pemerintah Kota/Kabupaten, khususnya untuk lingkungan perkotaan.

1.2 Metodologi Penulisan Laporan

1.2.1 Analisis

Analisis dalam penyusunan roadmap perubahan iklim sektor sampah dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a) Pengumpulan dan kajian dokumen-dokumen terkait sektor sampah dari Departemen Pekerjaan Umum dan juga dari Bappenas seperti Synthesis Report for Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change Mitigation, Bappenas-GTZ, Maret 2009.

b) Melakukan kajian literatur dan kajian dasar ilmiah mengenai dampak perubahan iklim terhadap sektor sampah, salah satunya dilakukan dengan mengkaji dokumen-dokumen Guideline IPCC 2006.

c) Melakukan perhitungan timbulan sampah dan emisi GRKuntuk sektor sampah.

d) Menyusun skenario emisi GRK sebagai dasar penyusunan program-program mitigasi sampah. e) Menyusun program-program mitigasi sektor sampah.

1.2.2 Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan

Partisipasi pemangku kepentingan diikutsertakan dalam proses penyusunan Roadmap ini melalui beberapa cara di antaranya:

• Konsultasi dan diskusi yang dilakukan dengan pejabat, peneliti dan pakar di instansi terkait khususnya Bappenas, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

• Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD), Pra-FGD serta rapat-rapat koordinasi di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum dan instansi terkait yang telah dilaksanakan baik di Bappenas maupun

(22)

1.2.3 Sistematika Penulisan Laporan

Laporan ini terbagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:

• Bab 1 menjelaskan latar belakang dan tujuan penulisan laporan

• Bab 2 menjelaskan kondisi pengelolaan sampah di Indonesia

• Bab 3 menjelaskan metode perhitungan gas rumah kaca dari landi ll dan potensinya di Indonesia.

Bab ini juga menjelaskan berbagai asumsi yang dipakai dalam perhitungan.

• Bab 4 menjelaskan berbagai skenario mitigasi gas rumah kaca dari landi ll. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membandingkan jenis skenario yang paling efektif dan ei sien dalam mitigasi gas

rumah kaca, yaitu dengan membandingkan abatement costnya.

• Bab 5 menjelaskan berbagai alternatif kebijakan berdasarkan asumsi pembiayaan. Alternatif di Bab 5 merupakan gabungan dari berbagai skenario di Bab 4 yang dirangkai secara terpadu dan bertahap. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk membandingkan berbagai alternatif pengelolaan sampah yang dibagi berdasarkan jumlah pembiayaannya. Untuk mengetahui alternatif kebijakan yang paling

efektif dan ei sien ditinjau dari pengurangan gas rumah kaca dibandingkan abatement costnya. Bab 5 juga menjelaskan program jangka menengah dan panjang yang merupakan hasil FGD dengan

sektor terkait khususnya Departemen Pekerjaan Umum terkait pengurangan gas rumah kaca.

(23)

KOnDisi sAAT ini DAn

TAnTAnGAn mAsA

(24)

Untuk merencanakan kegiatan mitigasi gas rumah kaca dari sektor sampah perlu ditentukan kondisi baseline sebagai basis perhitungan. Kondisi baseline untuk perhitungan sektor sampah adalah tahun 2005, yaitu periode sebelum diterapkannya UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Selain itu, tahun 2005 dipilih karena data-data penelitian pada tahun 2005 relatif lebih lengkap dibandingkan dengan tahun yang lain. Untuk perhitungan sampah domestik jumlah penduduk diproyeksikan sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1.

Kondisi baseline pengelolaan sampah di Indonesia tahun 2005 dapat dibedakan menjadi (1) kondisi sumber sampah, (2) kondisi pengangkutan sampah, (3) kondisi pemrosesan sampah, (4) kondisi reduksi, daur ulang dan daur pakai (3R), dan (5) kebijakan dan peraturan perundangan.

Gambar 2.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia (2005-2030)

2.1 Kondisi Sumber Sampah

Indonesia pada tahun 2005 memiliki tingkat produksi sampah perkapita 0,6 kg/orang/hari untuk wilayah perkotaan dan 0,3 kg/orang/hari untuk wilayah pedesaan. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, produksi sampah perkapita akan terus naik sehingga di tahun 2030 mencapai 1,2 kg/kapita/hari untuk perkotaan dan 0,55 kg/orang/hari untuk pedesaan sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.2. Dengan jumlah penduduk sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.1, dihasilkan proyeksi timbulan sampah (lihat Gambar 2.3). Sebagai contoh, pada tahun 2005 dengan jumlah penduduk 218,8 juta (BPS, 2006) menghasilkan sampah domestik sekitar 33,5 Megaton.

(25)

Gambar 2.2 Proyeksi Timbulan Sampah Perkapita (2005-2030)

Di negara-negara Asia, data komposisi sampah tidak mudah didapatkan pada skala nasional. Sampah organik merupakan komponen utama dalam persampahan. Proporsi sampah organik adalah antara 34-70%, lebih tinggi 20-30% dari kebanyakan negara di Eropa. Saat ini, semakin banyak sampah plastik dan kertas yang dihasilkan di setiap negara di Asia, yang menunjukkan perubahan gaya hidup. Seiring peningkatan transisi ekonomi, komposisi sampah di Indonesia semakin mendekati negara-negara industri, yaitu dengan peningkatan prosentase kertas dan plastik dan penurunan komponen sampah organik.

(26)

Sebaran sampah hasil proyeksi disampaikan dalam Gambar 2.4 dan Gambar 2.5. Gambar 2.4 menunjukkan sebaran timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2010. Sedangkan Gambar 2.5 menunjukkan sebaran timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2030.

Gambar 2.4 Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2010

Pada tahun 2030, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.5, volume sampah domestik yang tinggi bukan hanya terjadi di Pulau Jawa tetapi juga di Pulau Sumatera.

Gambar 2.5 Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2030

(27)

2.2 Kondisi Pengangkutan

Di Indonesia sekitar 50% sampah di perkotaan dan 20% sampah di pedesaan diangkut secara kolektif oleh dinas kebersihan, atau lembaga lain yang ditunjuk pemerintah kota/kabupaten (lihat Gambar 2.6). Sampah yang tidak terangkut oleh pemerintah dikelola sendiri oleh masyarakat secara swadaya.

Gambar 2.6 Kondisi Pengangkutan Sampah di Indonesia tahun 2005

Sesuai dengan rencana kerja pemerintah, pengangkutan sampah diproyeksikan akan terus meningkat dari tahun ke tahun (lihat Gambar 2.7). Secara umum, pekerjaan Dinas Kebersihan adalah mengangkut sampah dari TPS menuju TPA, sementara komunitas perkotaan mengatur pengumpulan sampah dari rumah-rumah ke TPS secara mandiri. Sistem pengumpulan sampah seperti ini masih banyak kelemahan yaitu banyak sampah yang tidak dikumpulkan tetapi dibuang begitu saja di saluran drainase ataupun sungai.

Selain itu, masih ada masalah teknis yang terkait dengan peralatan dan perlengkapan dalam pengelolaan sampah. Secara umum kota/kabupaten di Indonesia mengalami kekurangan kendaraan untuk keperluan pengumpulan dan pengangkutan sampah. Kendaraan yang usianya sudah tua juga memperlambat transportasi sampah, sehingga tidak semua sampah dapat diangkut.

(28)

Gambar 2.7 Proyeksi Prosentase Pengangkutan Sampah oleh Pemerintah Daerah

2.3 Kondisi Pemrosesan Sampah

Sampah yang diangkut secara kolektif oleh pemerintah daerah tidak seluruhnya diproses di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) namun mengalami berbagai proses lain sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.8. Secara lengkap kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia ditunjukkan melalui Tabel 2.1. Berdasarkan data penelitian di Bandung Raya dan informasi sekunder lainnya dari beberapa tempat di Indonesia, di tahun 2005 (lihat Tabel 2.1), diperoleh data bahwa1 (a) sampah anorganik yang di-recovery sebanyak 3%, (b) sampah organik dikompos sebanyak 1%, (c) sampah dibakar di TPS dan TPA 0,5%; diurug dengan open dumping 45%; dan diurug dengan sanitary landi ll yang dilengkapi penangkap biogas 0,5%.

Sementara sebagian lagi sampah dikelola oleh masyarakat sendiri dengan komposisi sampah anorganik yang di-recovery sebesar 3%, sampah organik yang dikompos sebanyak 1%, sampah dibakar sebanyak 5%, dibuang ke saluran sungai 1% serta ditimbun dimana saja 40%. Sampah di pedesaan hanya sekitar 20% yang diangkut oleh petugas swadaya masyarakat secara kolektif dan 80% sisanya dikelola sendiri oleh masyarakat. Untuk sampah di pedesaan yang dikelola masyarakat sendiri tersebut, 40% dikelola dengan cara pengomposan sampah organik.

1 Satuan % yang digunakan dalam naskah ini adalah terhadap berat basah sampah. Biasanya data yang disajikan oleh pengelola sampah di Indonesia adalah berdasarkan % terhadap volume basah yang akan mempunyai densitas berbeda.

(29)

Tabel 2.1 Kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia tahun 2005

Tahun 2005 Satuan Perkotaan Pedesaan

Timbulan sampah perkapita kg/orang/hari 0,6 0,3

Kenaikan timbulan sampah per tahun % 2,5 1

Sampah diangkut secara kolektif (Dinas) % 50 20

Kenaikan sampah diangkut kolektif per-tahun % 2 - 2,5 1

Sampah dikelola kolektif 2005:

• Anorganik direcovery % 3 0,5

• Organik dikomposkan % 1 5,5

• Dibakar di TPS dan TPA % 0,5 10

• Diurug di open dumping % 45 4

• Diurug dengan sanitary landi ll + penangkap biogas % 0,5 0

Total % 50 20

Sampah dikelola sendiri 2005:

• Anorganik direcovery % 3 5

• Organik dikomposkan % 1 40

• Dibakar % 5 20

• Dibuang ke saluran sungai % 1 5

• Timbun dimana saja % 40 10

Total % 50 80

Sumber: Damanhuri, 2008

Gambar 2.8 menunjukkan bahwa dari 50% sampah yang diangkut di perkotaan, 45% diproses di landi ll

(30)

Gambar 2.8 Prosentase Kegiatan Pemrosesan Sampah di TPS dan TPA di Indonesia tahun 2005

Sampah yang tidak terangkut akan dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Gambar 2.9 menunjukkan kegiatan pengelolaan sampah yang dilakukan sendiri oleh masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Gambar 2.9 Kegiatan Pengelolaan Sampah yang Tidak Terangkut (Dikelola Sendiri) tahun 2005

Sistem manajemen persampahan di Indonesia sebagian besar bergantung pada keberadaan landi ll karena pemrosesan sampah akhir di Indonesia terbanyak menggunakan penimbunan/landi ll. TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) dengan sistem landi ll menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam pengelolaan limbah padat karena pada saat ini baru sebagian kecil landi ll di Indonesia yang dikelola dengan baik.

(31)

landill landill

landill

landill

Sebagian besar sampah ditransportasikan ke TPA yang diolah melalui open dumping, dan diestimasikan bahwa hanya 10% yang diolah melalui sistem yang lebih baik seperti controlled landill. Hanya terdapat sedikit perlindungan ataupun pengawasan terhadap air tanah sehingga lindi (leachate) dari sampah dapat mencemari air tanah atau sungai. Selain itu, pondasi TPA biasanya berbatu, berkerikil ataupun area rawa yang sangat sensitif terhadap polusi air (Damanhuri, 2008). Masalah lainnya adalah masyarakat banyak menolak jika lahan atau lingkungannya dipilih untuk dijadikan TPA.

Alasan utama penggunaan open dumping terus diberlakukan di Indonesia adalah karena terbatasnya anggaran operasional. Dengan anggaran operasional yang terbatas, sangat sulit untuk menutup area dengan lapisan tanah dan mengkompaksi sampah lapisan demi lapisan. Pengoperasian open dumping menimbulkan banyak masalah seperti terbentuknya asap, bau dan munculnya lalat. Di banyak kasus, ditemukan sampah yang berasal dari industri dan sampah patogen dari rumah sakit di TPA yang sama, walaupun sejak 1995 pemerintah Indonesia telah mengatur kriteria landill untuk sampah B3. Karena adanya pencampuran sampah dari berbagai kriteria sampah yang berbeda, maka bahaya yang ditimbulkan oleh landill menjadi semakin besar.

Selain itu, masalah utama dalam pengelolaan sampah menggunakan landill adalah ketika landill telah penuh. Secara pengelolaan juga banyak kelemahan, seperti perhatian hanya diberikan ketika TPA mulai penuh atau terdapat gangguan pada operasional. Selain itu, pengelolaan masih belum dilakukan secara terintegrasi.

2.4 Kondisi Reduksi, Daur Ulang, dan Daur Pakai (3R)

Pada umumnya Solid Waste Management (SWM) di Indonesia sangat bergantung pada keberadaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Pengolahan level menengah sudah dibangun sebagai bentuk usaha untuk mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Sampai saat ini, sangat sedikit tempat pemrosesan level menengah yang dikelola secara profesional di Indonesia. Pusat pengolahan komunitas (3R) juga dibentuk sebagai solusi untuk mengurangi jumlah sampah. Kondisi reduksi, daur ulang dan daur pakai pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 2.1, Gambar 2.8 dan Gambar 2.9.

Melalui metode 3R (reduce, reuse, dan recycle) beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang dan Yogyakarta mulai mengembangkan pengolahan level menengah dengan mengompos dan mendaur ulang sampah anorganik untuk mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Masalah yang dihadapi adalah mahalnya harga pupuk kompos yang dihasilkan yaitu sekitar Rp 300 – Rp. 400/kg, dibandingkan dengan pupuk anorganik yang lebih murah. Sampah anorganik di Indonesia juga didaur ulang dan dilakukan oleh pemulung. Dari segi ekonomi sektor ini memberikan keuntungan ekonomi yang

signiikan.

(32)

dsb.) yang dapat dilakukan pengomposan, dan sampah kering atau sampah anorganik (plastik, kertas, gelas, dsb.) yang dapat di daur ulang. Perlu diperhatikan bahwa beberapa komponen dari barang bekas di Indonesia, seperti koran, buku bekas, majalah, baju bekas, komponen elektronik bekas, biasanya tidak dianggap sampah yang harus dibuang ke tempat sampah; dan biasanya dikumpulkan oleh sektor informal seperti tukang loak dan pemulung dijual ke penampungan barang bekas.

Aspek penting lainnya dalam pengelolaan sampah yaitu daur ulang dan peranan sektor informal. Di Indonesia, terdapat dua aliran daur ulang. Aliran pertama, kolektor sebagai sektor informal mengumpulkan bahan-bahan yang dapat didaur ulang di sumber. Aliran kedua, material ini dipisahkan dan didaur ulang oleh kota/kabupaten setelah pengumpulan sampah. Kegiatan daur ulang ini melibatkan ibu rumah tangga, dinas kebersihan, dan pemulung.

Di negara berkembang tingkat daur ulang komponen sampah anorganik adalah cukup tinggi sehingga menimbulkan dampak positif berupa manfaat ekonomi pada masyarakat. Meskipun metode yang digunakan untuk pemilahan/sortasi dan pemisahan sampah di negara-negara berkembang ini dianggap

tidak sesuai untuk sistem manajemen sampah seperti yang dideinisikan oleh negara-negara maju, metode

yang ada tersebut tidak hanya memberikan arus pendapatan ekonomi kepada ratusan ribu orang yang terlibat dalam sektor informal ini, tetapi juga memberikan kontribusi positif berupa lebih banyaknya sampah yang dapat didaur ulang.

2.5 Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Pengelolaan sampah dilakukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, mencegah polusi lingkungan dan melindungi sumber daya air bersih sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009. Pengelolaan sampah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sebelum UU No.18/2008 dikeluarkan, PP No.16/2005 telah menempatkan masalah perlindungan sumber air akibat pencemaran dari TPA sebagai salah satu fokus yang diatur. PP 16/2005 ini merupakan peraturan di bawah Undang-Undang Sumber Daya Air (UU No.7/2004).

UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah menggariskan bahwa pengelolaan sampah hendaknya berlandaskan hierarki pendekatan (a) pengurangan dan (b) penanganan sampah. Pengurangan (minimasi) sampah dilandaskan atas prinsip (a) pembatasan (reduce), guna-ulang (reuse) dan daur-ulang (recycle) sebagai prioritas pengelolaan sampah, yang dikenal sebagai pendekatan 3R. Makna dari pendekatan ini adalah mengedepankan pengelolaan sampah di hulu yang dimulai dari upaya bagaimana agar sampah sesedikit mungkin dihasilkan (reduce) dari kegiatan sehari-hari, seperti perubahan pola kerja lingkungan industri penghasil dan pengguna pengemas untuk hasil produksinya, agar menghasilkan dan menggunakan pengemas yang ramah lingkungan dengan volume sesedikit mungkin dan kelak setelah tidak digunakan, sampahnya akan mudah didaur-ulang dan ditangani lebih lanjut. Mereka juga digariskan agar tetap

(33)

tidak lepas tangan terhadap pengemas tersebut, yaitu dalam bentuk extended producers responsibility (EPR). Sampah yang dihasilkan kemudian lebih diarahkan agar dikelola di sumber, melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), melalui upaya guna-ulang dan daur-ulang. Sampah atau residu yang masih tersisa selanjutnya ditangani secara baik dan profesional melalui pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan pengolahan. Residu dari kegiatan ini kemudian wajib disingkirkan ke lingkungan secara aman, agar tidak mengganggu kesehatan dan lingkungan. Oleh karenanya, UU-18/2008 menggariskan bahwa dalam 5 tahun sejak UU tersebut dikeluarkan, open dumping yang selama ini merupakan cara yang paling banyak dijumpai di Indonesia untuk menyingkirkan sampah, harus sudah digantikan dengan cara

landill yang lebih baik, seperti controlled dan sanitary landill. Selanjutnya UU tersebut menggariskan tentang penguatan kapabilitas institusi, perbaikan hubungan antar stakeholder sebagai rekan dalam pengelolaan dan peningkatan sumber investasi.

Keinginan pemerintah untuk mengedepankan pendekatan 3R telah secara nyata dikemukakan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 21/PRT/M/2006 yang memfokuskan upaya 3R sebagai strategi nasional yang menggariskan bahwa sampai tahun 2014 pengurangan sampah hendaknya mencapai 20%2. Target strategi nasional pada sektor pengelolaan sampah adalah sebagai berikut:

1. Mendukung pencapaian tingkat pelayanan pengolahan sampah 60% pada tahun 2010. 2. Mendukung pengurangan jumlah sampah melalui 3R sampai 20% pada tahun 2014.

3. Meningkatkan kualitas landill:

- Controlled Landill (CLF) untuk kota kecil dan menengah.

- Sanitary Landill (SLF) untuk kota besar dan kota metropolitan.

- Penghentian Open Dumping.

4. Mendukung pelaksanaan di tingkat institusi dan kerjasama regional.

Saat ini, implementasi pengelolaan persampahan di tingkat daerah dilaksanakan berdasarkan peraturan pemerintah daerah, berkaitan dengan organisasi pengelola sampah, biaya retribusi dan pengangkutan sampah dari sumber menuju TPA. Kendala terbesar terletak pada kurangnya kekuatan hukum yang menyebabkan lemahnya implementasi peraturan tersebut.

(34)

kehati-16

2.6 Tantangan Pengelolaan Sampah ke Depan

Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan jumlah volume sampah. Gambar 2.1 menunjukkan hasil perhitungan timbulan sampah perkotaan dan pedesaan di Indonesia yang merupakan hasil proyeksi dari tahun 2005 hingga 2030. Jumlah volume sampah yang terus meningkat ini akan menjadi masalah lingkungan yang serius jika tidak ditangani dengan baik. Sehingga pengelolaan sampah perkotaan yang baik merupakan keharusan.

Pengelolaan Persampahan Domestik (Municipal Solid Waste/MSW) di Indonesia masih menghadapi banyak masalah seperti:

• Mayoritas kota tidak memiliki perencanaan (master plan) yang konsisten dalam penanganan sampah karena Pengelolaan Persampahan masih belum diformalkan;

• Pengelolaan Persampahan belum diberikan prioritas yang cukup dalam peraturan pemerintah daerah sehingga menjadikan anggaran dana untuk pengelolaan sampah sangat terbatas;

• Fasilitas untuk pengumpulan, transportasi, dan penyimpanan sampah juga terbatas;

• Sebagian besar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan open dumping yang menyebabkan polusi air, udara, dan bau tidak sedap.

Untuk menyelesaikan masalah diatas pemerintah kota/kabupaten sebagai penyelenggara pengelolaan sampah di level kota/kabupaten perlu meningkatkan program revitalisasi pengelolaan sampah yang meliputi penyempurnaan institusi pengelola sampah, peraturan perundangan yang terkait, isu-isu teknis pengelolaan sampah, infrastruktur pendukung, alternatif pembiayaan dan investasi, serta peningkatan kesadaran, budaya, dan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan sampah yang baik.

Selain itu, pengelolaan sampah ke depan sekurangnya harus menerapkan dua kebijakan utama. Kebijakan pertama adalah pengurangan (reduce) sampah di sumber sebanyak mungkin, digunakan kembali (reuse) dan didaur ulang (recycle) (3R) sebelum diangkut ke TPA. Kebijakan kedua yaitu pengelolaan sampah harus dilakukan dengan mengintegrasikan partisipasi masyarakat. Dua kebijakan ini digunakan sebagai prinsip dasar pengelolaan sampah sebagaimana yang dideskripsikan di dalam undang-undang pengelolaan sampah. Sementara itu, partisipasi aktif masyarakat dalam program 3R sampah padat dimulai dari tingkat perumahan dengan mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat. Partisipasi industri juga akan dilakukan dengan melaksanakan EPR (Extended Producer Responsibility) yaitu prinsip untuk produsen dan importir sampah B3.

Pengelolaan sampah ke depan harus mulai memperhitungkan konversi sampah menjadi sumber energi. Selain itu, pengelolaan sampah harus terintegrasi dengan kegiatan mitigasi perubahan iklim sehingga

terjadi co-beneit yang menguntungkan. Perhatian yang lebih besar baik dari sisi program maupun

(35)

POTensi miTiGAsi Di

seKTOR sAmPAH

(36)

3.1 Metode Perhitungan

Emisi gas rumah kaca dari sektor persampahan pada umumnya berupa metana (CH4) yang dihasilkan dari TPA dan CO2 yang dihasilkan dari kegiatan pembakaran terbuka. Emisi dari pembakaran terbuka lebih sulit untuk dikontrol dibandingkan emisi dari TPA. Selain itu, pembakaran dan daur ulang kertas dan plastik menghasilkan gas N2O yang jika dikonversikan menjadi CO2 ekuivalen (Eq.) adalah 310 kalinya. Berdasarkan uraian di Bab 2 bahwa di Indonesia sampah dikelola dengan dikompos, dibakar, dibuang ke sungai, diurug, dibuang ke landill, dan sebagainya. Potensi gas rumah kaca yang dihasilkan berbeda tergantung dari proses yang terjadi tersebut. Untuk pembakaran terbuka dan dekomposisi natural, proporsi sampah yang dapat terurai secara biologi di Indonesia adalah lebih tinggi. Dalam proses pembakaran terjadi reaksi aerob yang menghasilkan CO2, namun tidak ada gas rumah kaca yang dilepaskan ke udara. Emisi CH4 dari landill merupakan hasil dekomposisi anaerobik dari materi organik dalam sampah. Sampah

dalam landill terdekomposisi perlahan, dan waktu dekomposisi dapat berlangsung dalam beberapa

dekade. Pada dasarnya gas yang terbentuk terdiri atas gas metana dan gas karbondioksida.

Sebelum melakukan mitigasi dari sektor sampah, perlu dilakukan perhitungan emisi CH4 yang dihasilkan

dari sampah tersebut. Pada dasarnya perhitungan emisi dari landill menggunakan IPCC First Order Decay (FOD) model (IPCC, 2006) dengan persamaan dasar untuk mengestimasi emisi CH4 adalah sebagai berikut:

CH4 tahun ke-t (Gg/thn) = ∑x [A ● k ● MSW(t) (x) ● MSW(F) (x) ● Lo (x)) ●e-k(t-x)]

Dimana

CH4 = CH4 yang dihasilkan dalam tahun ke-t, Gg/tahun

t = tahun perhitungan inventory

x = tahun ketika data dimasukkan

A = (1-e-k)/k ; faktor normalisasi untuk mengoreksi hasil perhitungan

MSWT(x) = jumlah total sampah yang dihasilkan dalam tahun x (Gg/tahun)

MSWF(x) = fraksi jumlah sampah yang diproses di landill dalam tahun x

Lo(x) = potensi CH4 yang dihasilkan (Gg CH4/Gg sampah)

Laju pembentukan CH4 dari landill sangat spesiik untuk kawasan tertentu karena pembentukannya tergantung kepada jenis sampah yang dibuang, elemen kelembaban, umur sampah dan kondisi iklim lokal. Sehingga untuk laporan ini digunakan data-data penelitian lokal sebagaimana terdapat pada Tabel 3.1.

(37)

Tabel 3.1 Faktor Emisi untuk Setiap Kegiatan Pengolahan Sampah

Kegiatan Faktor Emisi Keterangan

1. Transportasi Sampah

(Sumber: Alisan Smith et al, 2001: Waste management options and climate change, AEA Techno-Environment)

0,71 kg CO2/km Rata-rata perjalanan ke TPA = 50 km per 2,5 ton sampah

2. Degradasi Sampah di Landi ll. Dihitung berdasarkan kondisi sampah di Indonesia: kadar air, kadar karbon-organik, dsb. nantinya disebut sebagai CO2 eq. Plastik

2.237 kg CO2/ ton sampah 0,05 kg N2O/ ton sampah

4. Pengomposan 210 kg CO2/ton sampah

5. Daur Ulang nantinya disebut sebagai CO2 eq. Plastik

2.237 kg CO2/ ton sampah 0,05 N2O/ton sampah

6. Pengelolaan Sampah lainnya

S a m p a h

Untuk menghitung biaya mitigasi dibuat satuan harga pengoperasian dan pemeliharaan unit pengelolaan sampah seperti ditunjukkan pada Tabel 3.2. Reduksi emisi adalah selisih antara emisi GRK yang dihasilkan BAU (Business as usual) dengan emisi GRK skenario tertentu. Emisi GRK dibuat dalam satuan CO2 equivalen (CO2 eq). Rumus perhitungan untuk mendapatkan reduksi emisi dalam CO2 eq adalah sebagai berikut:

Rumus Perhitungan Reduksi Emisi GRK (dalam CO2 eq):

(38)

Tabel 3.2 Biaya untuk setiap Kegiatan Pengolahan Sampah

Kegiatan Biaya Operasi dan Pemeliharaan

per Ton Sampah

(Rp) (perkiraan dalam

USD Dollar)

1. Pengangkutan 50.000 – 60.000 5 – 6

2. Sanitary Landi ll 60.000 – 100.000 6 – 10

3. Open Dumping 10.000 – 20.000 1 – 2

4. Controlled Landi ll 30.000 – 50.000 3 – 5

5. Pengomposan 15.000 – 20.000 1,5 – 2

Sumber: Damanhuri, 2008

Mitigasi emisi gas rumah kaca dapat dilakukan setelah proses identii kasi potensi emisi dan sumbernya

selesai dilaksanakan. Pada umumnya mitigasi emisi gas rumah kaca dapat dilakukan di tempat di mana sampah terakumulasi (dikumpulkan) dalam volume yang tinggi dan di bawah kondisi anaerob. Untuk sampah, landi ll adalah sumber pelepas gas rumah kaca yang paling signii kan. Selain itu, emisi GRK juga dihasilkan mulai dari pengangkutan/transportasi sampah menuju TPA, pembakaran plastik dan kertas serta pengomposan.

Pada tahun 2015, mengacu pada target MDG, 80% sampah di daerah perkotaan dan 50% di daerah pedesaan harus ditrasportasikan ke TPA. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pengelolaan direncanakan dengan asumsi realistis yang dapat diterapkan di masa yang akan datang.

Biaya mitigasi dihitung berdasarkan biaya investasi dan biaya operasional/pemeliharaan. Interest rate digunakan 12%/tahun. Biaya ACERS (Abatement Cost the Emissions Reduction Scenario) dihitung berdasarkan (Situmeang, 2009):

ACERS =

ACERS = Abatement Cost the Emissions Reduction Scenario

NPV = Net Present Value

(39)

4.2 Pemanfaatan CH4 dari Landill menjadi Energi Listrik

Di Indonesia proyek pemanfaatan CH4 dari lahan landill untuk menghasilkan energi listrik belum pernah dilaksanakan, walaupun beberapa penelitian lapangan dalam rangka CDM sudah ada yang dilakukan.

Padahal di negara maju, landill telah menjadi sumber energi listrik yang menjanjikan. Secara umum

hambatan utama untuk pelaksanaan proyek tersebut adalah permasalahan biaya investasi karena investasi

di sektor ini masih dianggap belum menguntungkan. Harga jual listrik dari landill diatur dalam kebijakan

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Nomor : 31 Tahun 2009, tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skaia Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik.

Dalam Peraturan Menteri tersebut, PT PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang rnenggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dengan kapasitas sampai dengan 10 MW atau kelebihan tenaga listrik (excess power) dari badan usaha rnilik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga listrik setempat. Harga pembelian tenaga listrik tersebut ditetapkan sebagai berikut:

a. Rp 656/kWh x F, jika terinterkoneksi pada Tegangan Menengah;

b. Rp 1.004/kWh x F, jika terinterkoneksi pada Tegangan Rendah.

F adalah faktor insentif sesuai dengan lokasi pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dengan

besaran sebagai berikut:

a. Wilayah Jawa dan Bali, F = 1 ;

b. Wilayah Sumatera dan Sulawesi, F = 1,2 ;

c. Wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, F = 1,3 ;

d. Wilayah Maluku dan Papua, F = 1,5.

(40)

22

Tabel 3.3 Asumsi perencanaan landi ll, instalasi l aring dan pembangkit listrik

Parameter Asumsi

Landfi ll:

Kapasitas 1 unit Landi ll

Biaya investasi 1 unit Sanitary Landi ll Biaya investasi 1 unit Controlled Landi ll

Biaya investasi 1 unit Open Dumping

Flaring dan Pembangkit Listrik:

Efi siensi dari CH4 Efi ciency dari Electricity

Generated Electricity (per Unit Sanitary Landi ll) Biaya investasi Fasilitas Flaring dan Electricity

300 Gg/tahun 4.000.000 USD 3.000.000 USD 2.000.000 USD

(41)

sKenARiO POTensi

miTiGAsi DAn

isu-isu sTRATeGis

DARi PeRuBAHAn

iKLim PADA seKTOR

(42)

4.1 Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah

Skenario potensi mitigasi dari sektor sampah dibuat berdasarkan mandat UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sesuai dengan isi UU No. 18/2008 tersebut, usaha-usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor sampah adalah me-recovery LFG (landill gas) baik dari lahan open dumping yang telah dikonversi menjadi sanitary landill, maupun dari pembuatan sanitary landill yang baru. Usaha menutup open dumping dan membangun sanitary landill dengan LFG teknologi recovery sejalan dengan isi UU No.18/2008, yaitu seluruh lahan open dumping harus ditutup pada tahun 2015. Usaha lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah usaha untuk mereduksi sampah baik di sumber sampah (rumah tangga), TPS (Tempat Penampungan Sementara), maupun TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) dengan teknik 3R (reduce, reuse, recycle). Pemrosesan akhir sampah di perkotaan (urban) dan pedesaan (rural) di

Indonesia adalah berbeda, di perkotaan menitikberatkan pada teknologi landill (open dumping, controlled

landill, sanitary landill), sedangkan di pedesaan teknologi pengomposan. Sedangkan untuk 3R dapat

diterapkan baik di perkotaan maupun pedesaan.

Berdasarkan mandat UU No. 18/2008 tersebut, skenario mitigasi gas rumah kaca yang dikembangkan dalam laporan ini adalah sebagai berikut:

Perkotaan:

1) Skenario Open Dumping

Skenario ini merupakan gambaran yang paling dekat dengan kondisi saat ini, yaitu penggunaan open dumping sebagai teknologi pemrosesan akhir sampah di perkotaan.

2) Skenario Reduksi Sampah di Sumber

Skenario ini menerapkan usaha reduksi sampah di sumber seperti melakukan kampanye dan capacity building dalam pengurangan jumlah plastik, kertas, dan kemasan.

3) Skenario 3R dan Pengomposan

Skenario ini menerapkan 3R (reduce, reuse, recycle) di TPS dan TPA. Selain itu dilakukan pula pengomposan.

4) Skenario konversi ke Sanitary Landill tanpa instalasi LFG

Skenario ini mengkonversi open dumping ke sanitary landill dan controlled landill tanpa melakukan

pemanfaatan gas CH4 dari landill untuk energi listrik.

5) Skenario konversi ke Sanitary Landill dan instalasi LFG

Skenario ini mengkonversi open dumping ke sanitary landill dan dilakukan pemanfaatan gas CH4 dari landill untuk energi listrik.

(43)

Pedesaan:

1) Skenario dibakar dan ditimbun dimana saja

Skenario ini merupakan gambaran umum kondisi pengelolaan sampah di pedesaan yaitu dibakar dan ditimbun dimana saja.

2) Skenario Reduksi Sampah di Sumber

Skenario ini menerapkan upaya pengurangan jumlah sampah dari sumbernya. 3) Skenario 3R dan Pengomposan

Skenario ini merupakan gabungan antara teknologi pengomposan dan 3R.

4.2 Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca di Perkotaan

Asumsi yang digunakan dalam mitigasi gas rumah kaca di perkotaan untuk masing-masing skenario adalah sebagai berikut.

1) Skenario Open Dumping/Business as Usual (BAU)

Skenario Open Dumping merupakan kondisi BAU yang diproyeksikan sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Skenario open dumping (BAU) ini telah dijelaskan pada Bab 2 tentang kondisi saat ini. Asumsi yang digunakan untuk skenario open dumping (BAU) adalah sebagai berikut:

• Transportasi/pengangkutan sampah pada 2005 memiliki tingkat pelayanan 50%.Tingkat pelayanan meningkat 1-2% per tahun dari tahun 2005 sampai 2020 sehingga mencapai 80% pada tahun 2020 dan pada tahun 2030 menjadi 90%.

• Pembakaran sampah pada daerah perkotaan yang diangkut secara kolektif meningkat dari 0,5% pada 2005 menjadi 0,8% pada 2020 dan menjadi 0,9% pada 2030. Sedangkan pembakaran sampah yang dikelola sendiri menurun dari 24% pada 2005 menjadi 4,8% pada 2030.

• Prosentase timbulan sampah yang dilakukan dikelola sendiri oleh masyarakat untuk sampah yang dibuang kemana saja adalah sebesar 25% pada tahun 2005 dan menurun menjadi 5% pada 2030. Sedangkan untuk sampah yang dibuang ke sungai pada tahun 2005 sebesar 1% dan menurun menjadi 0,2% pada tahun 2030.

(44)

2) Skenario Reduksi sampah di sumber

• Asumsi transportasi atau pengangkutan sampah sama dengan skenario open dumping (BAU) yaitu transportasi/pengangkutan sampah pada 2005 memiliki tingkat pelayanan 50%.Tingkat pelayanan meningkat 1-2% per tahun dari tahun 2005 sampai 2020 sehingga mencapai 80% pada tahun 2020 dan pada tahun 2030 menjadi 90%.

• Timbulan sampah untuk perkotaan meningkat dari 0,6 kg/orang/hari pada 2005 menjadi 1,1 kg/orang/hari pada tahun 2030. Peningkatan timbulan sampah dengan dilakukannya reduksi di sumber sampah dapat diminimasi (meminimasi jumlah sampah yang dihasilkan), sehingga mampu mengurangi timbulan sampah sekitar 20%. Reduksi ju mlah sampah berarti juga reduksi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sampah.

Gambar 4.1 Timbulan Sampah di Perkapita di Perkotaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber

(45)

Gambar 4.2 Timbulan Sampah di Perkotaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber

3) Skenario 3R dan pengomposan

• Asumsi transportasi atau pengangkutan sampah sama dengan skenario open dumping (BAU) yaitu transportasi/pengangkutan sampah pada 2005 memiliki tingkat pelayanan 50%.Tingkat pelayanan meningkat 1-2% per tahun dari tahun 2005 sampai 2020 sehingga mencapai 80% pada tahun 2020 dan pada tahun 2030 menjadi 90%.

• Prosentase timbulan sampah yang diangkut secara kolektif untuk sampah yang dikompos adalah sebesar 2,5% pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 4,5% pada 2030. Sedangkan sampah yang dikompos yang dikelola sendiri sebesar 5% pada tahun 2005 dan menurun menjadi 1% pada 2030.

• Sampah plastik yang didaur ulang dan diangkut secara kolektif meningkat dari 2,5% pada 2005 menjadi 4% pada 2020 dan meningkat menjadi 4,5% pada 2030. Sedangkan sampah plastik yang didaur ulang dengan dikelola sendiri sebesar 5% pada tahun 2005 dan menurun menjadi 1% pada 2030. Penurunan ini sebenarnya terkait pengangkutan sampah yang mengalami peningkatan.

(46)

Gambar 4.3 Proyeksi Prosentase Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan Skenario 3R dan Pengomposan

Gambar 4.4 Proyeksi Prosentase Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat

di Perkotaan Skenario 3R dan Pengomposan

(47)

4) Konversi ke Sanitary Landi ll tanpa instalasi LFG (Landi ll Gas)

• Asumsi transportasi atau pengangkutan sampah sama dengan skenario open dumping (BAU)

yaitu transportasi/pengangkutan sampah pada 2005 memiliki tingkat pelayanan 50%.Tingkat pelayanan meningkat 1-2% per tahun dari tahun 2005 sampai 2020 sehingga mencapai 80% pada tahun 2020 dan pada tahun 2030 menjadi 90%.

• Dilakukan konversi dari Open Dumping menjadi Sanitary Landi ll dengan persen timbulan sampah yang dibawa ke Sanitary Landi ll sebesar 0,5% pada 2005 meningkat menjadi 2,4%

pada 2010 pada dan meningkat lagi menjadi 56% pada 2020 dan 63% pada 2030.

• Selain itu, timbulan sampah diproses pula di Controlled Landi ll mencapai 4% pada 2005

meningkat menjadi 23,4% pada 2020 dan 26,1% pada 2030.

(48)

Gambar 4.6 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Perkotaan Skenario SL+CL

5) Konversi ke Sanitary Landi ll dan instalasi LFG (Landi ll Gas) Penghasil Listrik

• Asumsi transportasi atau pengangkutan sampah sama dengan skenario open dumping (BAU) yaitu transportasi/pengangkutan sampah pada 2005 memiliki tingkat pelayanan 50%.Tingkat pelayanan meningkat 1-2% per tahun dari tahun 2005 sampai 2020 sehingga mencapai 80% pada tahun 2020 dan pada tahun 2030 menjadi 90%.

• Dilakukan konversi dari Open Dumping menjadi Sanitary Landi ll dengan persen timbulan sampah yang dibawa ke Sanitary Landi ll sebesar 4,5% pada 2005 meningkat menjadi 79,2%

pada 2020 dan 89,10% pada 2030.

• Selain itu, sanitary landi ll dilengkapi dengan LFG sehingga dilakukan pula perhitungan revenue dari setiap kWh listrik yang dihasilkan.

(49)

Gambar 4.7 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Perkotaan Skenario SL+LFG

(50)

4.3 Skenario Mitigasi Gas Rumah Kaca di Pedesaan

1) Skenario Dibakar dan ditimbun dimana saja

• Pembakaran sampah pada daerah pedesaan yang diangkut secara kolektif meningkat dari 12% pada 2005 menjadi 19,5% pada 2030. Sedangkan pembakaran sampah yang dikelola sendiri menurun dari 40% pada 2005 menjadi 33,75% pada 2030.

• Prosentase timbulan sampah yang dilakukan dikelola sendiri oleh masyarakat untuk sampah yang dibuang kemana saja adalah sebesar 28% pada tahun 2005 dan menurun menjadi 23,63% pada 2030. Sedangkan untuk sampah yang dibuang ke sungai pada tahun 2005 sebesar 12% dan menurun menjadi 10,13% pada tahun 2030.

Jumlah Timbulan sampah yang diurug di Open Dumping pada daerah pedesaan sekitar 8% pada 2005, meningkat hingga 13% pada 2030.

Gambar 4.9 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Pemerintah di Pedesaan

Skenario dibakar/ditimbun dimana saja

(51)

Gambar 4.10 Proyeksi Pemrosesan Sampah oleh Masyarakat di Pedesaan Skenario dibakar/ditimbun dimana saja

2) Skenario Reduksi sampah di sumber

• Asumsi pengangkutan sama dengan skenario dibakar dan ditimbun dimana saja yaitu, pembakaran sampah pada daerah pedesaan yang diangkut secara kolektif meningkat dari 12% pada 2005 menjadi 19,5% pada 2030. Sedangkan pembakaran sampah yang dikelola sendiri menurun dari 40% pada 2005 menjadi 33,75% pada 2030.

• Timbulan sampah untuk pedesaan meningkat dari 0,3 kg/orang/hari pada 2005 menjadi 0,5 kg/orang/hari pada tahun 2030.

(52)

Gambar 4.11 Timbulan Sampah Perkapita di Pedesaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber

Gambar 4.12 Timbulan Sampah di Pedesaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber

(53)

3) 3R dan pengomposan

• Asumsi pengangkutan sama dengan skenario dibakar dan ditimbun dimana saja yaitu, pembakaran sampah pada daerah pedesaan yang diangkut secara kolektif meningkat dari 12% pada 2005 menjadi 19,5% pada 2030. Sedangkan pembakaran sampah yang dikelola sendiri menurun dari 40% pada 2005 menjadi 33,75% pada 2030.

• Prosentase timbulan sampah yang diangkut secara kolektif untuk sampah yang dikompos adalah sebesar 5,5% pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 19,3% pada 2030. Sedangkan sampah yang dikompos yang dikelola sendiri sebesar 28% pada tahun 2005 dan menurun menjadi 10,5% pada 2030.

• Sampah plastik yang didaur ulang dengan cara diangkut secara kolektif meningkat dari 1% pada 2005 menjadi 3,5% pada 2030. Sedangkan sampah plastik yang didaur ulang dengan dikelola sendiri sebesar 4% pada tahun 2005 dan menurun menjadi 1,5% pada 2030.

• Sampah kertas yang didaur ulang dan diangkut secara kolektif meningkat dari 1% pada 2005 dan meningkat menjadi 3,5% pada 2030. Sedangkan sampah kertas yang didaur ulang dan dikelola sendiri menurun dari 4% pada 2005 menjadi 1,8% pada 2030.

4.4 Hasil Perhitungan Mitigasi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah

Gambar 3.14 menunjukkan hasil perhitungan emisi gas rumah kaca dari sektor sampah. Emisi terbesar dihasilkan dari BAU (open dumping), disusul oleh skenario lainnya. Skenario reduksi di sumber tidak bisa

menurunkan GRK yang cukup signiikan karena kegiatan kampanye dan capacity building dalam rangka mengurangi volume sampah disumber terbatas. Dengan kemajuan ekonomi masyarakat terpacu untuk terus meningkatkan jumlah sampahnya tanpa dapat dihindari. Skenario reduksi di sumber dapat berhasil jika didukung oleh kebijakan dan peraturan perundangan yang mengandung sanksi.

(54)

Gambar 4.13 Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di perkotaan untuk setiap skenario

Gambar 4.14 menunjukkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pemrosesan sampah di pedesaan. Emisi tertinggi adalah BAU (buang/timbun dimana saja). Emisi dari skenario reduksi di sumber dan juga 3R + pengomposan menghasilkan gas rumah kaca yang lebih sedikit dibandingkan BAU. Untuk pedesaan, kegiatan pengomposan merupakan kegiatan yang sangat direkomendasikan dengan alasan sebagai berikut: (1) komposisi sampah di pedesaan didominasi oleh sampah organik yang sangat cocok untuk pengomposan, (2) kegiatan pengomposan di pedesaan akan berkembang pesat karena lahan masih tersedia luas, (3) pasar tersedia, karena pengguna utama dari kompos adalah sektor pertanian dan perkebunan, (4) pengomposan dapat meningkatkan kualitas tanah, (5) teknologi pembuatan kompos relatif sederhana sehingga mudah dilakukan oleh warga desa. Kendala terbesar adalah masalah persepsi petani yang sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia dibandingkan pupuk organik hasil pengomposan. Sehingga diperlukan penyuluhan dan pelatihan untuk menyadarkan petani bahwa penggunaan pupuk kimia dalam jangka waktu panjang dapat menurunkan kualitas tanah. Masalah lainnya adalah bahwa pembuatan pupuk organik memerlukan waktu yang relatif lama. Masalah ini dapat diselesaikan dengan mengembangkan bakteri khusus untuk mempercepat proses pembuatan pupuk organik. Pengembangan bioteknologi terkait pengomposan harus dikembangkan sejalan dengan upaya memasyarakatkan penggunaan pupuk organik.

(55)

Gambar 4.14 Emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di pedesaan untuk setiap skenario

Gambar 4.15 dan 4.16 menunjukkan reduksi emisi GRK dari setiap skenario. Reduksi emisi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Reduksi Emisi Skenario = Emisi BAU – Emisi Skenario

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.15, reduksi emisi di perkotaan yang terbesar adalah skenario SL

(56)

Gambar 4.15 Reduksi emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di perkotaan untuk setiap skenario

Gambar 4.16 Reduksi emisi GRK (dalam Gg CO2 eq) di pedesaan untuk setiap skenario

Gambar 4.17 menunjukkan biaya pengelolaan sampah. Gambar 4.18 menunjukkan biaya mitigasi, yaitu biaya pengelolaan sampah skenario tertentu dikurangi dengan biaya BAU.

(57)

Gambar 4.17 Biaya Pengelolaan Sampah di perkotaan untuk setiap skenario

(58)

Gambar 4.19 Biaya Pengelolaan Sampah di pedesaan untuk setiap skenario

Gambar 4.20 Biaya Mitigasi (Biaya Skenario – Biaya BAU) di pedesaan

(59)

Table 4.1 Matriks Perbandingan Skenario Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Sampah di Indonesia untuk wilayah Perkotaan

Reduksi Sumber 2010 – 2020 17,73 0,13 7,61 5,12% (1)Melaksanakan kajian inventarisasi GRK dari sektor sampah yang lebih lengkap dan sempurna dengan disertai rencana pengurangan GRK yang sistematis.

(2)Menerapkan kebijakan pembangunan infrastruktur bidang persampahan berwawasan lingkungan yang didukung oleh pengembangan dan penelitian teknologi terapan berwawasan lingkungan.

2010 – 2030 45,14 0,13 2,9 11,30%

3R +

Pengomposan 2010 – 2020 143,56 0,16 1,14 37,32%

(1)Melaksanakan kajian inventarisasi GRK dari sektor sampah yang lebih lengkap dan sempurna dengan disertai rencana pengurangan GRK yang sistematis.

(2)Menerapkan kebijakan pembangunan infrastruktur bidang persampahan berwawasan lingkungan yang didukung oleh pengembangan dan penelitian teknologi terapan berwawasan lingkungan.

(3)Mengembangkan penerapan kebijakan lingkungan hidup untuk prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) dalam pengelolaan persampahan. (4)Pengurangan sampah (reduce) dari sumbernya sebanyak mungkin, digunakan kembali (reuse) dan didaur ulang (recycle) (3R) sebelum diangkut ke TPA.

(5)Pembangunan TPST 3R di semua kota/kab di Indonesia. 2010 – 2030 211,17 0,33 1,57 35,58%

SL + CL 2010 – 2020 28,94 0,96 33,34 7,07%

(1)Melaksanakan kajian inventarisasi GRK dari sektor sampah yang lebih lengkap dan sempurna dengan disertai rencana pengurangan GRK yang sistematis. (2)Menerapkan kebijakan pembangunan infrastruktur bidang persampahan berwawasan lingkungan yang didukung oleh pengembangan dan penelitian teknologi terapan berwawasan lingkungan. (5)Pengelolaan persampahan di TPAS dari

open dumping menjadi controlled landi ll di kota kecil dan menengah;

sanitary landi ll di kota besar dan metropolitan.

(60)

Skenario Periode

Akumulasi Reduksi Emisi

(Mt CO2)

Total Biaya Mitigasi (milyar

USD)

Abatement Cost (USD/

t CO2)

Reduksi Emisi dibandingkan terhadap BAU

(%)

Kebijakan yang Diperlukan

SL + LFG 2010 – 2020 159,18 1,49 9,35 42,28%

(1)Melaksanakan kajian inventarisasi GRK dari sektor sampah yang lebih lengkap dan sempurna dengan disertai rencana pengurangan GRK yang sistematis. (2)Menerapkan kebijakan pembangunan infrastruktur bidang persampahan berwawasan lingkungan yang didukung oleh pengembangan dan penelitian teknologi terapan berwawasan lingkungan. (5)Pengelolaan persampahan di TPAS dari

open dumping menjadi controlled landi ll di kota kecil dan menengah;

sanitary landi ll di kota besar dan metropolitan. (6)Peningkatan metoda

pengelolaan gas sampah (landi ll gas – LFG) melalui pengumpulan

dan pembakaran atau melalui penerapan energy recovery system.

2010 – 2030 243,67 2,27 9,33 43,46%

ICCSR -

SektoR LImbah

Gambar

Gambar 2.1 Proyeksi Jumlah Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia (2005-2030)
Gambar  2.2 Proyeksi Timbulan Sampah Perkapita (2005-2030)
Gambar 2.4  Peta Sebaran Proyeksi Timbulan Sampah Domestik Tahun 2010
Gambar 4.2 Timbulan Sampah di Perkotaan untuk Skenario Reduksi Sampah di Sumber
+7

Referensi

Dokumen terkait

Membuka diri adalah komunikasi yang dilakukan seseorang dengan suka rela dan disengaja dengan maksud memberi informasi yang akurat tentang dirinya kepada orang

Penelitian ini bertujuan membangun sebuah algortima teknik menyembunyikan informasi ke dalam dokumen digital dan mengekstraksinya dengan Watermarking menggunakan metode DCT

Aplikasi VRML yang dikembangkan dapat menampilkan objek 3D rumah adat secara lebih mendetail. Pengembang disarankan

Adanya nilai Creatine Kinase-Myocardial Band (CK-MB) yang normal pada pasien penyakit jantung koroner di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung disebabkan pasien selalu

Ltd including 3ea double block and bleed valve tee assemblies, consisting of Barred tee, 3D bend, flanges & fittings as required, for the 2 bawal wells & Tembang T6 well

Pada saat erection rangka jembatan pihak proyek bersama Dinas PU telah berkoordinasi dengan Administrasi Pelabuhan (Adpel), Pihak Navigasi, dan pengguna alur untuk memindahkan

Hasil analisis keragaman kadar lemak bakso ikan patin dapat dilihat pada menunjukkan bahwa penambahan bahan tambahan pangan pada bakso ikan patin berpengaruh tidak

Hubungan Tingkat Upah dengan Produktivitas Tenaga Kerja Pada Perusahaan Kecap Sumber Rasa di Desa Temukus Tahun 2014 menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas tenaga kerja