BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ginjal
2.1.1. Anatomi Ginjal
Nabib (1987) menjelaskan secara histologi ginjal terdiri atas tiga unsur utama, yaitu (1). Glomerulus, yakni suatu gulungan pembuluh darah kapiler yang masuk melalui aferen, (2). Tubuli sebagai parenkim yang bersama glomerulus
membentuk nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal, dan (3).Interstisium berikut pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf.
2.1.2. Mikrostrukrur Nefron Ginjal
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Didalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tubulus kontraktus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontraktus distal yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul. Glomerulus bersama Kapsul Bowman juga disebut badan Malpigi.
Gambar 2.2. Gambaran Mikrostruktur Nefron Ginjal Tikus (Christensen et.al.,2002)
Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi sebagai penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel mempunyai sitoplasma yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra dengan diameter 500-1000A0 (Alatas et al., 2002).
kapsula Bowman. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal (lamina
parietalis) yang terdiri atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis
dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler
glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit. Pada kutub urinarius dari korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan parietal kapsula Bowman, berhubungan langsung dengan epitel selindris dari tubulus kontraktus proksimal. Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontraktus distal dan karenanya tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks.
Lengkung henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal
descenden dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontraktus proksimal; ruas
tipis descenden dan ruas tebal ascenden strukturnya sangat mirip dengan tubulus kontraktus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas korteks-medula yang disebut dengan nefronjukstamedula. Nefron lainnya disebut nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan
sekresi.
Bila ruas tebal ascend lengkung henle menerobos korteks, struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel selapis
kuboid. Lumen tubulus distal lebih besar dan karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dari tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan inti dinding tubulus distal.
Urin mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens, yang saling bergabung dan membentuk duktus koligens yang lebih besar dan lebih lurus yaitu duktus papilaris Bellii yang berangsur-angsur melebar sewaktu mendekati puncak piramid. Tubulus koligens yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid dan berdiameter kurang lebih 40μm. Dalam medulla, duktus kolagens merupakan komponen utama dari mekanisme pemekatan urine (Junquera, 1995).
2.1.3. Fungsi Ginjal
menjaga komposisi cairan ekstraselular. Untuk melaksakan hal itu sejumlah besar cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsopsi dan disekresi di sepanjang nefron sehingga zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa
metabolisme dikeluarkan sebagai urin, lebih lanjut lagi dijelaskan fungsi ginjal secara keseluruhan, yaitu;
1. Fungsi Ekskresi
Ginjal dapat berfungsi untuk sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh dikarenakan aktivitas anti-duaretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan tubuh dan ginjal yang bermanfaat dalam menjaga keseimbangan asam dan basa.
2. Fungsi Endokrin
Sebagai fungsi endokrin ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu; 1. Memiliki partisipasi dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil zat eritropoetin yang dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah. 2. Pengaturan tekanan darah, hal ini dikarenakan terlepasnya granula rennin dari jukstaglomerulus yang merangsang angiotensinogen di dalam darah menjadi angitensi I kemudian diubah kembali menjadi angiotensi II oleh enzim konvertase di paru. Hal ini mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan merangsang kelenjar adrenal untuk memperoduksi aldosteron.Kombinasi kedua inilah yang mengakibatkan terjadinya hipertensi. 3. Ginjal bertugas menjaga keseimbangan kalsium dan fosfor dikarenakan ginal mempunyai peranan dalam metabolism vitamin D.
Dalam melaksanakan fungsinya, ginjal dapat mengalami gangguan yang
sitostatik dan 4. Zat radiokontras (zat yang dapat menyerap dan memantulkan sinar X). Dari keempatnya yang paling sering menyebabkan efek toksik pada nefron ginjal sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal adalah obat-obatan
dan bahan kimia (Alatas et al., 2002).
2.2. Plumbum (Pb) 2.2.1. Sifat Pb
Pb adalah senyawa organometalik yang ditemukan dalam bentuk senyawa tetra ethyllead/TEL dan Tetra metil lead/TML). Pb adalah logam lunak berwarna
abu-abu kebiruan mengkilat serta mudah dimurnikan dari pertambangan. Pb memiliki titik lebur yang rendah, meleleh pada suhu 3280C (6620F) ; titik didih 17400C (31640F); memiliki nomor atom 82 dengan berat atom 207,20. Pb juga mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga bisah digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Apabila dicampur dengan logam lain akan terbentuk logam campuran yang lebih bagus dari logam murninya (Widowati et al., 2008).
Pringgoutomo et al., (2002), menjelaskan sumber Pb yang okupasional ialah; pengecatan dengan semprotan, pekerjaan bengkel besi, pekerjaan di tambang, pembakaran aki, alat masak, makanan dalam kaleng. Sedangkan sumber Pb yang non-okupasional ialah pipa air minum, cat tua yang mengelupas, debu rumah, tanah di perkotaan, percetakan dan asap kendaraan bermotor.
2.2.2. Toksisitas Pb Bagi Organ Tubuh
Gangguan serius pada toksisitas Pb ini bergantung pada dua faktor yaitu jumlah/dosis Pb yang masuk kedalam tubuh dan lamanya Pb terakumulasi
masuknya Pb kedalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya nefritis kronik tubulointerstisiat atau sindrom Fanconi, yang ditandai oleh glikosuria,
aminoasiduria, fosfaturia, proteinuria. Lesi ginjal dapat berlanjut sampai terjadi
gagal ginjal.
Pada penelitian Hariono (2006) pada pemberian senyawa 1,5 mg trietil Pb asetat/kg BB/oral/hari/tikus yang dilakukan selama 10 minggu menunjukan gambaran histopatologik pada ginjal terlihat vakuolisasi, pelebaran lumen tubulus, banyak mengandung runtuhan sel dan ekskret debris dan pada pemeriksaan mikroskopik elektron ditemukan adanya pembengkakan lisosom dan mitokondria.
Pada penelitian Anggraini (2008), menuliskan pada pemberian Pb sebesar 100mg/kgBB/oral/hari yang dilakuakan selama 16 minggu memperlihatkan naiknya berat rata-rata ginjal yang disebabkan adanya subtansi air dan lemak yang terjadi di dalam sel sehingga volume sel akan bertambah. Secara mikroskopis pada ginjal terjadi lesi pada glomerulus ginjal yaitu terjadi vakuolisasi. Pada pengamatan minggu ke-8 terjadi pelebaran pada lumen tubulus, akumulasi sel debris dalam lumen, karyomegali disertai hiperplasi dan kerusakan ini semakin bertambah pada semakin lamanya pemberian Pb.
Penelitian Sinaga (2009), yang menganalisa kandungan residu Pb dan Cd pada hati dan ginjal babi menemukan bahwa jumlah logam berat Pb yang terdeteksi pada ginjal sebesar 0,7921 ppm dengan rata-rata sebesar 0,1153 ppm. Namun lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kandungan logam Pb yang tersimpan pada ginjal tersebut masih dibawah batas maksimum residu (BMR) yang direkomendasikan oleh pengawas makanan dan minuman (POM) pada tahun 1998 yaitu sebesar 2,000 ppm.
2.2.3. Ekskresi Pb
untuk pajanan okupasional, hal ini juga dituliskan oleh Goldstein dan Kippen (Ardyanto, 2005)
2.3. Kitosan
2.3.1. Struktur Kimia Kitosan
Dwiyatmoko (2008) menuliskan Kitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Prancis Ojier, pada tahun 1823. Ojier meneliti kitosan hasil ekstrak kerak binatang berkulit keras, seperti udang, kepiting dan serangga. Kitosan merupakan turunan dari kitin.Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik yaitu kitosan. Volume produksi kitosan di alam bebas menempati peringkat kedua setelah serat, diperkirakan volume total mahluk laut diatas 100 juta ton/tahun. Kitosan merupakan biopolymer alami turunan dari kitin, homopolymer dari (1-4)-amino-2-deoksi-β-D-glukosa merupakan hasil dari deasetilisasi sebanyak mungkin dari kitin dengan menggunakan larutan NaOH pekat.
Proses pembuatan kitosan dari kitin dilakukkan dengan tiga tahapan, yaitu; Pertama proses deprotenisasi dengan melepaskan ikatan-ikatan protein dan kitin dengan menggunakan larutan NaOH, yang bertujuan untuk mengubah gugus asetil dari kitin menjadi gugus amina pada kitosan. Kedua, proses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam-garam organik atau kandungan mineral yang terdapat didalam kitin. Proses terakhir, yaitu deasetilisasi dengan melepaskan gugus amina (-NH) agar kitosan memiliki kareteristik sebagai kation (Suhardi, 1992).
Perbedaan kandungan amina adalah sebagai patokan untuk menentukan
dan lemak). Interaksi kation logam dan kitosan adalah melalui pembentukan kelat koordinasi oleh atom N gugus amino dan O gugus hidroksil (Lee et al., 2001).
Struktur kimia dari kitin dan Kitosan dapat dilihat pada gambar
2.3.1.dibawah ini;
Gambar 2.3. Struktur Kimiawi Kitin dan Kitosan (Fernandez-Kim, 2004)
2.3.2. Manfaat Kitosan
Seperti selulosa dan kitin, kitosan merupakan polimer alamiah yang sangat melimpah keberadaannya di alam. Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan sebagai material alami, sebab kitosan sebagai polimer alami mempunyai karesteristik yang baik.
Konsentrasi ion logam bebas dalam cairan ekstra sel menurun karena pengikatan ion ini oleh pembentuk kelat, karena itu ion logam dapat juga ditarik (diserap) dari jaringan. Pembentukan kelat melalui reaksi antara pembentuk kelat dengan ion
logam dapat menyebabkan ion logam tersebut kehilangan sifat ionnya, hal inilah yang menyebabkan logam kehilangan sebagian besar sifat toksiknya (Kawamura et al., 1993).
Kitosan dapat digunakan untuk bahan pembuatan lensa kontak (soft lens) maupun hard lens karena lebih murah dan awet, dapat digunakan sebagai obat anti kolesterol, kitosan tidak menggumpalkan darah dan kitosan juga baik untuk digunakan sebagai agent anti tumor (Shahidi et al., 1999)