BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Paradigma Penelitian
Paradigma Konstruktivisme
Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba dalam buku Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi paradigma dijelaskan sebagai berikut:
“Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia. Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia”. (Wibowo, 2011:136)
Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. Littlejohn dalam
bukunya Teori Komunikasi-Edisi 9 menyimpulkan bahwa teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang
objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (2009:98).
Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam latar (setting) keseharian yang alamiah, gambar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011:162).
ilmu komunikasi?”. Ontologi dapat diartikan sebagai “apakah ilmu komunikasi itu?”, sedangkan aksiologi dapat diartikan sebagai “untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan?”.
Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme yang meyakini bahwa makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran berdasarkan teori Popper (1973) (Elvinaro dan Anees, 2007:153). Popper membedakan tiga penge-tahuan mengenai alam semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah.
Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran pengetahuan
manusia.
Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld (Elvinaro dan Anees, 2007:154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekan-kan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentumenekan-kan) kita sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas) (Wibowo, 2011:162). Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian/makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimana dari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku. (Eriyanto, 2001:6).
2.2. Kerangka Teori
dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2007:39). Teori yang relevan untuk penelitian ini adalah:
2.2.1. Komunikasi Massa
Denis McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa (2012) memberikan definisi tentang komunikasi massa, yaitu:
“Komunikasi massa adalah sebuah proses yang sering kali utamanya dianggap sebagai individualis, tidak personal, dan terisolasi, sehingga mendorong solidaritas serta rasa kebersamaan yang lebih rendah. Komunikasi masssa memiliki kapasitas untuk menyatukan individu yang tersebar di dalam khalayak yang lebih besar atau menyatukan pendatang baru ke dalam komunitas urban dan imigran ke dalam negara baru dengan menyediakan seperangkat nilai, ide dan informasi dan membantu membentuk identitas”. (McQuail, 2012:45).
Komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media massa beserta pesan
yang dihasilkan, pembaca/pendengar/penonton yang akan coba diraihnya dan
efeknya terhadap mereka. Banyak definisi tentang komunikasi massa yang
dikemukakan para ahli komunikasi. Pada dasarnya komunikasi massa adalah
komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sebab awal
perkembangannya saja komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media
of mass communication (media komunikasi massa). Massa dalam arti komunikasi
massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa
(Nuruddin, 2003: 6)
Kemampuan untuk menjangkau ribuan, atau bahkan jutaan, orang
merupakan ciri dari komunikasi massa (mass communication), yang dilakukan
melalui media massa seperti televisi atau koran. Komunikasi massa dapat
didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk mengirim
pesan kepada audien yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur atau
membujuk. Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan bentuk-bentuk
Ciri-ciri komunikasi massa adalah sebagai berikut (Nuruddin, 2003:16) :
1. Komunikator dalam komunikasi massa melembaga.
Media massa hanya bisa muncul karena gabungan kerjasama dengan
beberapa orang.
2. Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen.
Artinya penonton televisi itu beragam pendidikan, umur, jenis kelamin,
status sosial ekonomi, jabatan, kepercayaan dan agama yang berbeda pula.
3. Pesannya bersifat umum.
Pesan-pesan dalam komunikasi massa itu tidak ditujukan kepada satu
orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Pesannya ditujukan pada
khalayak yang plural.
4. Komunikasinya berlangsung satu arah.
Dalam media cetak seperti koran, komunikasi hanya berjalan satu arah.
Kita tidak bisa langsung memberikan respon kepada komunikatornya
(media massa yang bersangkutan). Kalaupun bisa, sifatnya tertunda. Jadi
komunikasi yang hanya berjalan satu arah itu akan memberi konsekuensi
umpan balik (feedback) yang sifatnya tertunda atau tidak langsung
(delayed feedback).
5. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan
Dalam komunikasi massa itu ada keserempakan dalam proses penyebaran
pesan-pesannya. Serempak disini berarti khalayak bisa menikmati media
massa tersebut hampir bersamaan.
6. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis
Peralatan teknis yang dimaksud misalnya pemancar untuk media
elektronik (mekanik atau elektronik).
7. Komunikasi massa dikontrol oleh Gate Keeper
Gate Keeper atau sering disebut pentapis informasi sangat berperan dalam
penyebaran informasi melalui media massa. Gate Keeper berfungsi
sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan,
mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami
dan untuk menginterpretasikan pesan, menganalisis, menambah data dan
2.2.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial (Luckman dan Berger)
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann pada tahun 1967 menerbitkan buku yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan) (Bungin, 2011) menggambarkan sebuah proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.
Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.
Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah
melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama.
Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh media. Menurut Gerbner dkk. (Wibowo, 2011:125), dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata, atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas. Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan sebagai berikut:
Menurut penjelasan Berger dan Luckmann di atas, segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam masyarakat.
Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann (Wibowo, 2011) pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Berger dan Luckmann membagi realitas sosial ke dalam tiga macam realitas, yaitu: (Bungin, 2011:126)
a. Realitas objektif yakni realitas yang terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan.
b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam ber- bagai bentuk.
c. Realitas subjektif, yaitu realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.
Kembali menurut Berger dan Luckmann realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu :
a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia.
c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. (Bungin, 2011: 187)
Burhan Bungin dalam Konstruksi Sosial Media Massa menjelaskan sebagai berikut:
“... pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang ke- hidupan (Bungin, 2011:87)”.
Isi media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu. (Wibowo, 2011:125).
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi
media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Sobur, 2004:88).
Dengan dalilnya yang terkenal, “world outside and pictures in our heads”, Walter Lippmann menjelaskan sebagai berikut:
“... fungsi media sebagai pembentuk gambaran realitas yang sangat berpengaruh terhadap khalayak. Fungsi media, menurutnya adalah pembentuk makna (the meaning construction of the press); bahwasanya interpretasi media massa terhadap berbagai peristiwa secara radikal dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu realitas dan pola tindakan mereka”. (Bungin, 20011:35)”.
Walaupun secara tidak khusus menyebut fungsi bahasa dalam menentukan
gambaran suatu realitas, Lippman tentu tak bisa membantah bahwa penggambaran
media adalah wahana dimana bahasa itu didayagunakan dalam
mengkonstruk-sikan realitas.
Dampak yang ditimbulkan adalah, media massa mempunya peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang dikonstruksikan. Sesuai dengan perilaku media massa yang menceritakan kembali sebuah peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian realitas (Sobur, 2004: 88).
2.2.3. Teori Identitas Sosial
Teori identitas sosial ini dipelopori oleh Henri Tajfel (1995). Menurut teori
ini, identitas sosial seseorang ikut membentuk konsep diri dan memungkinkan
orang tersebut menempatkan diri pada posisi tertentu dalam jaringan
hubungan-hubungan sosial yang rumit (Sarwono, 2005: 90).
Kita mendapatkan sebagian besar identitas kita dari konstruksi yang
ditawarkan dari berbagai kelompok sosial dimana kita menjadi bagian di
dalamnya, seperti keluarga, komunitas, subkelompok budaya, dan berbagai
ideologi berpengaruh. Tidak peduli apakah hanya ada satu dimensi atau beberapa
dimensi identitas-gender, kelas sosial, ras, jenis kelamin – maka identitas itu
dijalankan atau dilaksanakan menurut atau berlawanan dengan norma-norma dan
harapan terhadap identitas bersangkutan.
Hal ini menunjukkan bahwa identitas kita adalah selalu berada dalam „proses untuk menjadi‟ (the process of becoming), yaitu ketika kita memberikan tanggapan terhadap konteks dan situasi yang mengelilingi kita. Identitas
merupakan tindakan yang selalu berubah setiap saat (Morissan, 2009: 85).
Asumsi bahwa tidak peduli apakah hanya dalam satu dimensi atau
beberapa dimensi identitas gender, kelas sosial, ras, jenis kelamin, maka identitas
itu dijalankan atau dilaksanakan menurut atau berlawanan dengan norma-norma
dan harapan terhadap identitas bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa identitas kita adalah selalu berada dalam „proses untuk menjadi‟ (the process of
yang mengelilingi kita. Identitas merupakan tindakan yang selalu berubah setiap
saat.
2.2.4. Penempatan Produk
Penempatan Produk atau product placement merupakan strategi yang
dilakukan oleh perusahaan pengiklan untuk menampilkan produknya dengan
kesan bahwa produknya seolah-olah bagian dari cerita film atau acara televisi.
Penempatan produk didefinisikan sebagai pesan tentang suatu produk yang
dibayar dengan sasaran mempengaruhi khalayak film atau acara televisi melalui
pencakupan suatu produk secara terencana dan halus ke dalam film atau acara
televisi. Pencakupan pesan komersial secara halus ke dalam film dan acara televisi
inilah yang membedakan penempatan produk dari berbagai bentuk komunikasi
pemasaran lainnya.
Jenis Penempatan Produk
D‟astous & Seguin (1998) dalam Panda (2004:11) mendifinisikan penempatan produk (product placement)ada tiga jenis, yaitu:
1. Implicit product placement. Jenis ini disebut implisit karena, perusahaan
atau produk yang ditampilkan dalam program atau media tanpa ditekankan
secara formal, dimana logo, nama merek atau perusahaan muncul tanpa
menampilkan atau mendemontrasikan manfaat produk.
2. Intergraded explicit product placement. Jenis penempatan produk ini
berupaya meningintegrasikan secara eksplisit dimana merek atau nama
perusahaan secara formal disebutkan dan dimainkan peran aktif, serta
atribut dan manfaat produk juga secara jelas ditampilkan.
3. Non- integrated explicit product placement. Jenis ini menampilkan merek
atau perusahaan secara formal tapi tidak terintegrasi dalam isi program
atau media, umumnya ditampilkan di awal, di akhir atau dalam program
credit.
2.2.5. Teori Iklan Subliminal
yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak
dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal dibawah ambang kesadaran. Subliminal
dari kata sub-liminal, dari kata latin Limen yang berarti ambang.
Menurut Shrum (2012:vii) subliminal adalah pesan/stimulus yang diserap
oleh persepsi dan alam bawah sadar melalui gambar yang diulang-ulang secara
cepat sebelum diproses sehingga menganggu pengolahan pesan yang ada dan
pesan ini perlahan akan mempengaruhi serta mengubah pikiran sadar dari otak
seseorang.
Iklan subliminal sendiri menurut Bartens (2009:273) merupakan sebuah
teknik periklanan yang menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga
tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal dibawah ambang kesadaran
manusia. Dari definisi iklan subliminal diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa sebuah iklan dapat dikatakan iklan subliminal apabila mempunyai ciri-ciri
yaitu mempunyai konten baik secara visual ataupun audio yang dalam satu durasi
2.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional, merupakan uraian bersifat kritis dan memperkiran hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nawawi, 2001:40). Kerangka pemikiran menggambarkan bagaimana suatu permasalahan penelitian dijabarkan.
Dalam penelitian “Konstruksi Realitas Pengguna Ponsel Cerdas Berdasarkan Pesan Penempatan Merek Dalam Film James Bond: Spectre” ini, kerangka pemikirannya dijabarkan sebagai berikut:
Komunikasi Massa
Bentuk Komunikasi Massa: Media Film
Pesan Penempatan Merek dalam Film James Bond: Spectre
Konstruksi Realitas Sosial
- Teori Konstruksi Identitas - Teori Penempatan Merek
- Teori Iklan Subliminal