1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kanker termasuk penyakit yang ditakuti oleh manusia seiring
berkembangnya pola hidup masyarakat. Tahun 2000, insiden penyakit ini mencapai 10,3 juta dengan mortalitas 7,1 juta. Pada tahun 2020 pertumbuhan penduduk dunia mencapai 8 miliar, insiden kanker
diperkirakan mencapai 20 juta jiwa, mortalitas 12 juta jiwa, dan terbesar terjadi di negara berkembang (Densen, 2008). Di Indonesia, penelitian
mengenai kanker kelamin wanita (ginekologi) di RS Dharmais tahun 1993-1997 menyebutkan kanker serviks menempati peringkat paling atas (Tapan, 2005). Insiden kanker serviks, menurut perkiraan Departemen Kesehatan,
100 per 100.000 penduduk per tahun (Yatim, 2005).
Kanker serviks merupakan jenis kanker yang terjadi pada sel rahim bagian bawah yang menghubungkan antara rahim dan vagina. Kanker ini
timbul karena adanya infeksi Human Papiloma Virus (HPV) (Piersma, et al., 2007). Berdasarkan hasil survei kesehatan oleh World Health
Organization (WHO) tahun 2010, dilaporkan bahwa kejadian kanker serviks sebesar 500.000 kasus baru di dunia dan 250.000 kematian setiap tahunnya yang ± 80% terjadi di negara yang sedang berkembang, salah satunya di
2
yang tidak terdeteksi keberadaannya pada fase awal, sehingga penderita secara tidak sadar telah mengalami fase lanjut.
Penanganan kanker pada umumnya masih bergantung pada
kemoterapi yang berasal dari bahan kimia sintesis. Namun, senyawa kimia tersebut dapat menimbulkan efek multidrug resistance, suatu fenomena
dimana sel kanker yang diterapi dengan obat tertentu akan menjadi resisten terhadap obat-obatan lain yang memiliki struktur dan mekanisme kerja yang hampir sama (Baguley, 2010). Selain itu antikanker dengan senyawa kimia
sintetis tidak hanya akan mempengaruhi sel target (sel kanker) tetapi juga mempengaruhi sel sehat yang ada disekitarnya.
Pengobatan terhadap kanker dapat dilakukan melalui operasi, radiasi atau dengan memberikan kemoterapi. Penggunaan antikanker yang ideal adalah antikanker yang memliliki toksisitas selektif artinya menghancurkan
sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal. Antikanker yang ada sekarang pada umumnya menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dan menimbulkan toksisitas karena menghambat pembelahan sel normal yang
proliferasinya cepat antara lain sumsum tulang, mukosa saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit (Kurnijasanti, 2008).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 80% populasi dunia saat ini memanfaatkan obat tradisional yang bahan bakunya berasal dari tanaman. Di Amerika Serikat sekitar 25% ramuan obat modern
3
antara lain berupa tumbuhan tropis dan biota laut, sehingga sangat potensial untuk pengembangan obat baru dan fitofarmaka (Qomariyah, 2003).
Minat terhadap penggunaan obat tradisional khususnya untuk
penyakit kanker akhir-akhir ini cenderung meningkat. Kecenderungan tersebut kemungkinan disebabkan adanya kekhawatiran akan efek samping
yang ditimbulkan oleh obat-obat modern dan juga dengan alasan obat tradisional mudah didapat dan murah harganya (Kurnijasanti, 2008).
Kultur sel HeLa atau HeLa cell line merupakan continuous cell line
yang diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cervix) seorang wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang meninggal
akibat kanker pada tahun 1951. Kultur sel ini memiliki sifat semi melekat dan digunakan sebagai model sel kanker dan untuk mempelajari sinyal transduksi seluler. Sel HeLa ini cukup aman dan merupakan sel manusia
yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel. HeLa bersifat imortal yang tidak dapat mati karena tua dan dapat membelah secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup masih ada
(Sujuliyani, 2012).
Penggunaan teknologi kultur sel yang dikembangkan memanfaatkan
sel Vero sebagai sel yang digunakan untuk memperbanyak virus. Sel vero diperoleh dari ginjal kera Afrika hijau (Cercopithecus) oleh Y.Yasumura dan Y.Kawakita di Chiba University Jepang. Sel ini digunakan karena
sensitif terhadap infeksi beberapa jenis virus seperti SV-40, SV-5, poliovirus, arbovirus, influenza virus. Sel ini tidak memproduksi interferon
4
dalam sel ketika terinfeksi virus (Sheets, 2000).Oleh karena belum adanya penelitian untuk membuktikan efek sitotoksik dari ekstrak etanol daun Afrika (Vernonia amygdalina Del.) pada sel kanker serviks (HeLa), maka
peneliti tertarik untuk menguji efek sitotoksiknya. Selain itu ekstrak juga di uji pada sel normal (Vero) untuk mengetahui selektivitas ekstrak tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah:
a. apakah ekstrak etanol daun Afrika memiliki efek sitotoksik pada sel HeLa dan Vero?
b. apakah ekstrak etanol daun Afrika memiliki nilai IC50 yang poten?
c. apakah ekstrak etanol daun Afrika selektif terhadap sel kanker serviks (HeLa)?
1.3Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
a. ekstrak etanol daun Afrika memiliki efek sitotoksik pada sel HeLa dan Vero.
b. ekstrak etanol daun Afrika memiliki nilai IC50 yang poten.
c. ekstrak etanol daun Afrika selektif terhadap sel kanker serviks (HeLa).
1.4Tujuan Penelitian
5 dan Vero.
b. mengetahui potensi ekstrak etanol daun Afrika berdasarkan nilai IC50. c. Mengetahui indeks selektivitas ekstrak etanol daun Afrika terhadap sel
kanker serviks ( HeLa).
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang efek antikanker ekstrak etanol daun Afrika
b. menambah inventaris tanaman obat yang berkhasiat sebagai antikanker.
1.6 Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini secara sistematis dapat digambarkan pada Gambar 1.1
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter
Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian Ekstrak Etanol
Daun Afrika (EEDA)
Nilai IC50 % Sel Hidup
pada Sel HeLa
% Sel Hidup pada Sel Vero
Indeks Selektivitas
Nilai IC50 EEDA