• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah besar penangkapan ikan tuna di Samudera. atau berada di perairan laut bebas di wilayah samudera Hindia sehingga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sejumlah besar penangkapan ikan tuna di Samudera. atau berada di perairan laut bebas di wilayah samudera Hindia sehingga"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Samudera Hindia merupakan salah satu dari beberapa wilayah penting penangkapan ikan tuna dunia. Apabila dibandingkan dengan Samudera Atlantik dan Samudera Pasifik, sejumlah besar penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia berasal dari wilayah yang berada di luar jurisdiksi nasional suatu negara atau berada di perairan laut bebas di wilayah samudera Hindia sehingga diperlukan upaya lebih lanjut terhadap usaha penangkapan tersebut. Perikanan tuna adalah salah satu komponen penting dalam keamananan pangan (food security) dan juga sebagai dasar bagi kegiatan industri yang cukup signifikan. Kegiatan perikanan tuna menimbulkan situasi yang kompleks dimana para pemangku kepentingan yang berbeda-beda telah menyebabkan munculnya perbedaan aspirasi atau pemahaman terhadap masa depan keberlanjutan perikanan tuna di Samudera Hindia.

Ketersediaan jumlah ikan tuna di Samudera Hindia sangat melimpah, namun sama halnya dengan sumber daya hayati laut lainnya, sumber daya perikanan tuna bukan tak terbatas. Dalam beberapa wilayah perairan dunia pernah terjadi penurunan jumlah stok ikan tuna sehingga diperlukan adanya semacam kontrol melalui pembentukan sebuah rezim perikanan regional di Samudera Hindia untuk mengantisipasi terjadinya eksploitasi ikan secara berlebihan ( over-exploitation). Over-exploitation muncul di antaranya akibat semakin tingginya tingkat kebutuhan masyarakat dunia terhadap produk-produk perikanan tuna baik

(2)

produk segar maupun kalengan karena untuk beberapa negara, ikan tuna telah menjadi makanan pokok mereka.

Kontrol terhadap over-exploitation ikan tuna di Samudera Hindia kemudian diwujudkan melalui pembentukan sebuah rezim perikanan regional Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). IOTC merupakan rezim perikanan di wilayah perairan Samudera Hindia yang dibentuk pada tahun 1993 melalui perjanjian IOTC yang mulai diberlakukan pada tahun 1996. Terbentuknya rezim IOTC didesak oleh semakin tingginya kebutuhan dan kepentingan negara-negara di kawasan Samudera Hindia akan adanya suatu rezim yang berfokus pada kegiatan manajemen dan konservasi perikanan tuna di kawasan tersebut. Kepentingan negara-negara untuk mendapatkan akses menuju Samudera Hindia tentu saja memberikan dampak terhadap keberlanjutan perikanan tuna di kawasan itu mengingat negara-negara tersebut memiliki tujuan yang sama dalam usaha pemanfaatan dan penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia.

Kegiatan penangkapan ikan oleh negara-negara di Samudera Hindia merupakan salah satu bagian dari terwujudnya akses kepentingan negara terhadap sumber daya perikanan tuna yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Bagi beberapa negara anggota IOTC, perikanan tuna merupakan suatu kepentingan ekonomi yang vital, contohnya negara Jepang dimana mayoritas masyarakat Jepang mengkonsumsi daging ikan laut sebagai saah satu makanan pokoknya sekaligus memberikan kontribusi cukup besar bagi perekonomian nasional Jepang. Sementara bagi beberapa negara anggota IOTC lainnya, perikanan tuna masih dianggap sebagai kepentingan ekonomi level rendah-menengah.

(3)

Upaya-upaya penangkapan ikan tuna memerlukan suatu koordinasi dalam pengelolaan dan konservasi karena ikan tuna merupakan species ikan yang membutuhkan masa-masa reproduksi dan masa pertumbuhan sebelum ditangkap oleh kapal-kapal penangkap ikan tuna. Ikan tuna sendiri merupakan jenis ikan yang melakukan pergerakan atau berenang dalam jarak tempuh yang sangat jauh (highly migratory fish stocks) melintasi samudera di dunia, menembus batas-batas teritorial laut yang dimiliki oleh suatu negara. Fenomena ini kemudian menyebabkan suatu negara melakukan upaya pengejaran menuju lokasi kawanan ikan tuna berkumpul sehingga sering terjadi pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara akibat memasuki wilayah teritorial negara tersebut.

Pemanfaatan potensi perikanan tuna diiringi dengan munculnya berbagai permasalahan lainnya di antaranya adalah penangkapan ikan secara illegal, tidak dilaporkan (unreported), tidak sesuai dengan regulasi (unregulated) atau IUU-fishing; penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing); penangkapan secara tidak sengaja (bycatch) terhadap species lain yang berhubungan dengan ikan tuna dan proses penangkapan ikan tuna seperti ikan hiu, lumba-lumba, penyu laut, burung laut dan paus dimana sebagian di antaranya telah masuk ke dalam kelompok species yang terancam kepunahan; masalah degradasi lingkungan habitat ikan tuna akibat proses pembuangan limbah bahan bakar kapal penangkap ikan; pelanggaran batas-batas laut teritorial; lemahnya mekanisme monitoring, kontrol dan pengawasan lainnya yang dilakukan di dalam yurisdiksi nasional maupun di perairan laut bebas (high seas).

Bagi masyarakat internasional, kondisi ini merupakan tantangan besar dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan sehingga perlu

(4)

dilakukan upaya pembentukan organisasi kerjasama perikanan regional yang bergerak dalam manajemen dan konservasi perikanan dunia seperti IOTC. Sebagai sebuah rezim perikanan regional, IOTC juga telah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan hukum internasional di bidang perikanan yang telah ada sebelumnya di antaranya seperti UN Convention on The Law of the Sea (UNCLOS III) 1982, FAO-Compliance Agreement 1993, UN Fish Stocks Agreement (UNFSA) 1995 dan FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 dalam melaksanakan langkah-langkah manajemen dan konservasi terhadap perikanan tuna guna menjamin pembangunan perikanan berkelanjutan di kawasan Samudera Hindia.

Pembangunan perikanan berkelanjutan sendiri telah ada sejak tahun 1987 dalam agenda pertemuan internasional dalam forum World Commission on Environment and Development yang menghasilkan Brundland Report. Selanjutnya pada pertemuan Rio de Janeiro yang dikenal denganRio Summitpada tahun 1992 dihasilkan sebuah deklarasi yaitu Agenda 21. Pada pertemuan ini diperkenalkan konsep Code of Conduct atau kode etik bagi pembangunan perikanan berkelanjutan yang berisi prinsip-prinsip dan standar internasional tentang perilaku yang bertanggungjawab dalam pengembangan praktik perikanan atau responsible fisheries.

Perjanjian selanjutnya adalah Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas atau lebih dikenal dengan FAO-Compliance Agreement 1993 yang menyatakan bahwa negara-negara yang memiliki armada penangkapan ikan di laut lepas diharuskan mematuhi aturan-aturan yang disepakati bersama dan

(5)

negara-negara tersebut harus menyediakan dan memberikan informasi tentang kegiatan operasional armada kapal penangkap ikan milik mereka.

Berikutnya adalah UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS III 1982) yang mulai diberlakukan tahun 1994 yang merupakan perjanjian internasional tentang hukum laut internasional yang enuntut keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dengan konservasi dalam kerangka kedaulatan wilayah masing-masing negara yang ditetapkan melalui batas-batas laut teritorial.

Dalam konferensi Food and Agriculture Organization (FAO) tanggal 31 Oktober 1995, prinsip-prinsip yang dihasilkan dalam Rio Summit diadopsi menjadi kode etik perikanan yang bertanggungjawab atau yang dikenal sebagai Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Secara prinsip kode etik tersebut merupakan dasar dan standar internasional bagi upaya konservasi, pengelolaan dan pembangunan perikanan secara keseluruhan yang meliputi beberapa wilayah pengaturan mengenai penangkapan, pengolahan, perdagangan dan hasil perikanan, operasional penangkapan (metode dan prosedur), aquakultur, penelitian perikanan dan integrasi berbagai kegiatan perikanan ke dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Perjanjian lainnya adalahUN Agreement Relating to the Conservation and Management of Stradling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks atau lebih dikenal denagan UN Fish Stocks Agreement (UNFSA 1995), sebuah perjanjian yang berisi tentang aturan-aturan dalam perikanan dan penangkapan ikan yang dilakukan baik di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara maupun yang beraada di luar ZEE negara terkait dengan jenis-jenis ikan yang melakukan pergerakan atau perpindahan daam jarak yang sangat jauh (highly

(6)

migratory fish stocks). Perjanjian ini juga berisi ketentuan-ketentuan tentang hak-hak inspeksi dan mekanisme penyelesaian masalah. Selanjutnya adalah Declaratioan on Responsible Fisheries in the Marine Ecosystemdalam pertemuan FAO atau lebih dikenal denganReykjavik Declarationyang berisi pernyataan janji negara-negara penandatangan deklarasi perihal tanggungjawab dan pengelolaan serta kesadaran terkait perlindungan terhadap ekosistem laut.

Pada pertemuan-pertemuan FAO berikutnya mulai dikembangkan berbagai upaya dan rencana aksi untuk mengimplementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Beberapa bentuk rencana aksi tertuang dalam standar rencana aksi internasional atau International Plans of Action (IPOAs) untuk menurunkan tingkat penangkapan secara tak sengaja terhadap burung-burung laut dalam metode penangkapan rangkaian panjang pancing (long-line), konservasi dan pengelolaan hiu, pencegahan penangkapan ilegal, tidak tercatat atau penangkapan yang tidak sesuai aturan (IUU-fishing) dan pengembangan sistem MCS (Monitoring, Controlling and Surveillance).

Terbentuknya beragam perjanjian internasional dan beragam rezim perikanan regional ini merupakan bentuk kepedulian negara-negara dan masyarakat internasional terhadap proses pengelolaan sumber daya laut khususnya perikanan tuna. Beberapa rezim perikanan regional difokuskan untuk menangani masalah pengelolaan ikan Tuna dunia yaitu The Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC), the International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas(ICCAT),the Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), the Western and Central Pacific Fisheries Commission(WCPFC) danthe Indian Ocean Tuna Commission(IOTC).

(7)

The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) yang merupakan salah satu rezim perikanan regional yang dibentuk oleh FAO menjalankan fungsinya sebagai rezim yang menerapkan langkah-langkah manajemen dan konservasi dalam pengelolaan perikanan samudera Hindia. Terbentuknya rezim IOTC dianggap mampu mencapai derajat efektivitas yang cukup tinggi sehingga rezim dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan perikanan berkelanjutan melalui upaya-upaya yang tepat dan berkesinambungan dalam menghadapi semakin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan tuna, kecepatan tingkat pembangunan, dan beragamnya para pemangku kepentingan yang berusaha mendapatkan akses menuju Samudera Hindia.

B. Rumusan Permasalahan

Penelitian ini bertujuan intuk menganalisis tentang efektifitas rezim perikanan The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dalam usahanya mengelola perikanan dan permasalahannya di kawasan Samudera Hindia. Sementara pertanyaan penelitian yang diangkat adalah :

- Bagaimana tingkat efektivitas rezim IOTC dalam mengelola perikanan di kawasan Samudera Hindia? Faktor-faktor dan indikator-indikator apa sajakah yang dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya efektivitas rezim tersebut?

C. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai mengenai efektifitas rezim terfokus utamanya pada dimensi output dan outcome tetapi tidak pada dimensi impact. Namun demikian

(8)

dalam beberapa literatur, para peneliti telah menggunakan dan membagi tiga indikator utama dalam mengevaluasi efektivitas rezim yaitu output, outcomedan impact(Mitchell 2007: 896-897, Underdal 2002:5-6, Young 2004:12-13). Output dapat dipahami sebagai norma-norma, prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang dijalankan negara-negara membentuk sebuah rezim.Outcomemengacu pada perubahan dalam perilaku manusia akibat pengaruh dari implementasi rezim. Sedangkan impact dapat dipahami sebagai perubahan-perubahan dalam kualitas lingkungan biofisik. Tiga dimensi ini selanjutnya akan mempermudah dalam menjabarkan perihal regime formation, regime implementation dan pengaruhnya.

Sementara itu literatur tentang efektivitas rezim Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) masih jarang dilakukan atau bahkan mungkin belum pernah dilakukan karena penelitian perihal IOTC hanya sebatas mengenai kegiatan perikanan tuna di Samudera Hindia secara umum yang meneliti perihal kondisi biologis, kegiatan penangkapan ikan tuna, manajemen dan konservasi ikan tuna seperti penelitian yang dilakukan oleh Pillai dan Satheeskumar (2012) dalam artikel yang berjudul “Biology, Fishery, Conservation and Management of Indian Ocean Tuna Fisheries.”

Literatur lain mengupas tentang kerangka hukum internasional perihal keberlanjutan perikanan, baik instrumen hukum yang sifatnya mengikat (leggally binding instruments) maupun yang tidak mengikat (non-binding instruments), serta pengaruhnya terhadap efektifitas rezim perikanan regional ditinjau dari dimensi kepatuhan (Palma, 2010:56-92).

Sedangkan literatur yang cukup lengkap perihal efektivitas rezim internasional adalah buku berjudul Environment Regime Effectiveness,

(9)

Confronting Theory with Evidence (Miles, 2002) yang berisi tentang evaluasi terhadap beberapa rezim internasional yang mayoritas merupakan rezim internasional yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup dimana penelitian yang dilakukan secara garis besar menggunakan formulasi yang diajukan oleh Arild Underdal. Buku ini secara lengkap membahas dan mengevaluasi rezim melalui indikator-indikator efektivitas rezim yang diajukan oleh Underdal sehingga dapat diketahui tentang sejauh mana tingkat efektivitas sebuah rezim internasional.

D. Kerangka Pemikiran

Untuk menganalisa mengenai efektifitas rezim IOTC dalam menghadapi permasalahan perikanan di kawasan Samudera Hindia, akan dijabarkan mengenai konsep rezim internasional. Rezim dapat diartikan sebagai sebuah kerangka aturan main yang digunakan untuk mengelola hubungan-hubungan kekuasaan antara berbagai aktor dalam sistem global yang tidak mengenal kekuasaan tertinggi. Rezim merupakan satu hasil dari konsensus bersama berbagai aktor guna meminimalisir potensi terjadinya konflik sebagai akibat adanya hubungan-hubungan diantara aktor yang relatif otonom diantara satu sama lain. Menurut Stephen D. Krasner, rezim didefinisikan sebagai seperangkat prinsip-prinsip, norma-norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan baik itu secara eksplisit maupun implisit, dimana harapan-harapan para aktor menyatu di dalam dalam hubungan internasional.1Prinsip diartikan sebagai keyakinan tentang fakta,

1Stephen D. Krasner, “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables”, dalam Beth A. Simmons dan Richard H. Steinberg, et.al. “International Law and International Relations”(Cambridge, University Press, 2006),hlm. 3

(10)

penyebab dan kejujuran. Sementara norma adalah standar tingkah laku yang didefinidsikan ke dalam istlah hak dan kewajiban. Sedangkan peraturan-peraturan merupakan panduan dan larangan yang sifatnya spesifik. Menurut Robert Owen Keohane dan Joseph Nye, rezim didefinisikan sebagai serangkaian tatanan pemerintahan yang meliputi keterhubungan antara aturan-aturan, norma-norma dan prosedur-prosedur yang mengatur perilaku dan mengendalikan efeknya.2

Ernst Haas mengatakan bahwa rezim mencakup serangkaian prosedur, peraturan dan norma yang sifatnya jelas dan masuk akal dan saling memberi keuntungan satu sama lain.3Ada perbedaan mendasar di antara prinsip dan norma di satu sisi dengan aturan dan prosedur di sisi lain. Prinsip-prinsip dan norma menyediakan satu batasan dasar bagi rezim, sementara itu terdapat banyak prosedurdecision-making dan aturan yang bervariasi yang mengarah pada norma dan prinsip yang sama. Perubahan di dalam prinsip dan norma merupakan perubahan di dalam rezim itu sendiri. Ketika norma dan prinsip diabaikan, terjadi perubahan pada sebuah rezim, baik itu menjadi satu rezim baru ataupun hilangnya rezim tersebut dari wilayah issu tertentu yang sebelumnya melekat pada rezim tersebut. Rezim juga bisa mengalami satu proses pelemahan. Jika prinsip, norma, dan prosedur decision-making dari sebuah rezim menjadi kurang logis dan tidak konsisten, atau dengan kata lain jika dalam prakteknya ternyata ada inkonsistensi rezim dengan prinsip, norma, dan juga prosedur, maka rezim tersebut menjadi lemah. Selain itu perlakuan yang berbeda atau khusus dari sebuah rezim terhadap

2 Robert O. Keohane and Joseph S. Nye, Power and Interdependence (Boston: Little, Brown, 1977) hlm. 19

(11)

aktor yang terlibat didalamnya baik itu secara terang-terangan ataupun tersembunyi mengindikasikan bahwa rezim tersebut telah lemah.

Terkait dengan permasalahan signifikansi rezim, ada dua faktor yang mempengaruhi, yaitu efektivitas rezim dan daya tahan.Efektifitas rezim berkaitan dengan beberapa permasalahan yaitu: Pertama, kemampuan rezim untuk mengikat perilaku anggotanya, dan kemampuan rezim dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Kemudian faktor kedua, yaitu daya tahan, melingkupi dua hal yaitu ada atau tidaknya perubahan dalam aturan rezim, serta bertambah atau berkurangnya pendukung rezim tersebut, baik itu berupa entitas negara, badan internasional, maupun komunitas lainnya.

Dalam analisis efektifitas rezim akan digunakan metode yang diajukan oleh Arild Underdal. Dalam tulisannya Underdal melakukan pemilahan antara variabel dependen yaitu efektifitas rezim, dengan variabel independen yang terdiri dua hal yaitu tipe permasalahan dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan tersebut.4Selanjutnya sebagai intervening variable, digunakan tingkat kolaborasi (level of collaboration). Untuk variabel dependen yaitu efektifitas rezim, disebutkan ada dua bentuk pengukuran yang bisa dilakukan yaitu membandingkan keadaan sebelum rezim dibentuk atau berdiri dengan sesudah rezim tersebut ada serta membandingkan keadaan sekarang atau keadaan ketika rezim sudah berjalan dengan keadaan optimal yang seharusnya bisa diraih dengan keberadaan rezim. Sedangkan variabel independen terdiri dari dua hal. Pertama, tipe permasalahan, yang terbagi dalam dua aspek, yaitu permasalahan yang secara 4 Aril Underdal, “One Question, Two Answers”, dalam Edward L. Miles, et.al. Environment Regime: Effectiveness, Confronting Theory with Evidence(Cambridge, MIT Press, 2002) hlm. 37.

(12)

intelektual kompleks atau kurang dipahami, dan permasalahan yang secara politik tergolong mempunyai efek yang negatif. Tipe permasalahan diatas bisa berkarakter malign (memiliki efek yang buruk), atau sebaliknya permasalahan tersebut bersifat benign, atau dengan kata lain mempunyai efek positif. Untuk aspek kedua dibuat satu klasifikasi tingkat benignity politik yang terkandung dalam satu permasalahan, yang terbagi dalam tiga tipe problem benignity, yaitu problem of coordination, symmetry, dan cross-cutting cleavages. Variabel independen yaitu kemampuan untuk mengatasi permasalahan (problem-solving capacity) yang terdiri dari tiga elemen yaitu setting kelembagaan (institutional setting), distribusi kekuasaan (distribution of power), serta kepemimpinan instrumental dan komunitas epistemik (instrumental leadership and epistemic communities). Selanjutnya akan kita lihat satu-persatu variabel-variabel di atas.

Political Benignity pada suatu permasalahan merupakan satu bentuk fungsi yang saling terkait diantara kepentingan-kepentingan aktor di satu sisi dengan preferensi-preferensi yang muncul sebagai akibat dari adanya kepentingan-kepentingan tersebut pada pihak lain. Semakin identik dan harmonis preferensi aktor yang ada, maka permasalahan tersebut akan semakin benign, sebaliknya semakin tidak harmonis preferensi aktor yang terlibat maka permasalahan tersebut menjadi semakinmalign. Tujuan formal dari sebuah rezim internasional pada dasarnya adalah untuk mengakomodasikan perilaku aktor dalam situasi dimana ketiadaan atau kegagalan koordinasi menjadikan outcome yang muncul menjadi tidak optimal. Untuk permasalahan ini ada dua kategori. Kategori pertama disebut dengan problem of incongruity yang dikatakan sebagai

(13)

permasalahan yang bersifat malign, kategori kedua disebut sebagai problem of coordinationyang bersifatbenign.

Problem of coordination akan mudah diatasi melalui satu bentuk kerjasama sukarela apabila disertai dengan adanya sifat symmetry serta cross-cutting cleavages. Disebut symmetry jika pihak yang terlibat terikat sedemikian rupa sehingga nilai-nilai yang ada dirasakan menjadi harmonis dan kepentingan yang ada menjadi selaras. Semakin besar coordination maka semakin mudah untuk menemukan solusi yang dapat diterima semua pihak. Cross-cutting cleavages dalam suatu permasalahan membuat permasalahan tersebut menjadi semakin sederhana. Cross-cutting cleavages terjadi ketika pihak yang menang atau kalah di satu dimensi belum tentu menang atau kalah pada dimensi yang lain.

Dalam situasi yang bercirikan harmoni kepentingan yang sempurna, koordinasi perilaku dibutuhkan untuk memastikan tercapainya outcome kolektif yang optimal. Secara umum, koordinasi bisa berguna dalam situasi sebagai berikut: Pertama, hasil keseluruhan tergantung pada kesesuaian pilihan masing-masing aktor. Kedua, terdapat lebih dari satu cara atau rute untuk mencapai hasil optimal. Ketiga, pilihan cara atau rute yang ada tidak bersifat trivial atau remeh, dalam artian tidak diterima begitu saja walaupun kepentingan aktor yang terlibat benar-benar identik. Kondisi ini disebut sebagai problem of coordination, yang merupakan satu bentuk permasalahan yang bersifat benign, dimana solusi yang kooperatif akan dapat stabil, dan apabila satu solusi diterapkan maka pelanggaran yang terjadi akan minimal atau bahkan tidak ada sama sekali. Dari keseluruhan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa problem benignitymerupakan satu fungsi yang terbentuk dari tiga unsur, yaitu coordination, symmetry dan cross-cutting

(14)

cleavages. Coordination menjadi kriteria utama dalam klasifikasi tersebut, dan kedua unsur lain merupakan property yang bersifat menyelaraskan masalah dalam problem coordination. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini: Tabel 1. Karakteristik PermasalahanBenigndanMalign

Karakteristik Rezim Kondisi hubungan antar

aktor Benign Malign

Tipe Arah Bentuk Cleavages Coordination Symmetry Cross-cutting Incongruity Asymmetry Cumulative

Sumber: Edward L. Miles, et.al. Environment regime: effectiveness, confronting theory with evidence(Cambridge, MIT Press, 2002), Hal. 21.

Underdal berargumen bahwa permasalahan dapat diatasi dengan efektif apabila ditangani oleh lembaga atau sistem dengan power yang kuat serta didukung adanya ketrampilan atau skill dan energi yang memadai. Apabila satu solusi dihasilkan melalui keputusan kolektif, maka problem solving capacity bisa dipahami sebagai fungsi saling terkait yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: Pertama, Seting kelembagaan (institutional setting) yang ada dalam rezim tersebut. Kedua, Distribusi kekuasaan (distribution of power) di antara aktor yang terlibat. Ketiga, Skill dan energy yang tersedia bagi rezim yang digunakan untuk mencari solusi yang kooperatif, dimana elemen ketiga ini terdiri dari dua hal, yaitu Instrumental leadershipdanepistemic community.

Dalam tatanan kelembagaan (institutional setting) terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam arena politik apa rezim tersebut terlibat dan organisasi seperti apa yang berfungsi sebagai aktor dan melayani rezim dalam

(15)

arena tersebut. Institusi sebagai arena bisa digambarkan sebagai jawaban atas pertanyaan: ‘siapa’ berurusan dengan ‘apa’, ‘bagaimana’, ‘kapan’, dan ‘dimana’. Penggunaan arena negosiasi sebagai satu bentuk institusi formal yang eksis dalam jangka waktu panjang akan bisa memfasilitasi kerjasama dan meningkatkan efektivitas rezim internasional dengan mendorong aktor untuk berpikir luas dengan bersedia menerima norma yang beragam dan tidak sekedar menerapkan prinsip timbal balik atau berupaya mengurangi biaya transaksi atas suatu permasalahan tertentu. Kedua, terkait dengan organisasi sebagai aktor, organisasi internasional bisa berperan sebagai aktor yang mampu menyediakan input independent kedalam proses problem-solving atau memperkuat output yang muncul dari proses tersebut, dimana organisasi tersebut harus mempunyai keterikatan internal yang kuat, otonomi, dan aktivitas eksternal yang konkret. Organisasi internasional yang mempunyai kapasitas aktor yang memadai atau signifikan akan mempengaruhi efektivitas rezim internasional. Semakin signifikan aktor yang terlibatdalam organisasi internasional tersebut maka akan mempengaruhi efektivitas rezim dimana organisasi internasional tersebut terlibat.

Dalam distribusi kekuasaan (distribution of power), power dimaknai sebagai penguasaan terhadap event atau peristiwa yang penting baik bagi aktor maupun bagi pihak lain. Jika satu aktor mendominasi dalam suatu even penting, maka aktortersebut merupakan aktor hegemon. Aktor hegemon sendiri ada dua macam, pertama adalah benevolent hegemon, dimana aktor tersebut bersedia untuk menyediakan collective goods dengan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya, atau dengankata lain secara umum aktor tersebut bersedia dan mampu untuk membentuk danmempertahankan satu bentuk solusi unilateral untuk

(16)

menangani problem kolektif. Bentuk kedua adalah coersive hegemon, ketika satu aktor hegemon bertindaksebaliknya, dimana melalui dominasinya dalam satu even penting aktor tersebut menggunakannya untuk mengendalikan pihak lain atau dengan kata lain memaksa pihak lain untuk mengikuti semua kemauannya.

Unsur ketiga dalam problem-solving capacity adalah skill dan energi, yang teridiri dari dua macam, yaitu instrumental leadership dan epistemic community. Semakin besar skill dan energi maka efektivitas rezim juga semakin menigkat. Kepemimpinan instrumental berkecenderungan untuk memfasilitasi pembentukan danimplementasi rezim. Semakin besar benignity yang dihadapi oleh suatu rezim, maka kepemimpinan instrumental akan menjadi kurang dibutuhkan. Kepemimpinan instrumental bisa muncul dari berbagai sumber, seperti misalnya perwakilan dari satu organisasi antar pemerintah, perwakilan atau delegasi dari suatu negara, organisasi transnasional, dan juga dari jaringan informal. Epistemic community bisa terdiri dari kelompok kerja, baik itu secara formal maupun informal. Jaringan informal dan para ahli yang memberi kontribusi kedalam efektivitas rezim dengan memperkuat basis pengetahuan yang memberikan landasan gerak bagi rezim tersebut. Semakin kompak dan mumpuni kelompok tersebut maka semakin tinggi pula kemampuannya untuk bisa mempengaruhi pembuat keputusan,dimana hal ini tentu saja berpengaruh besar terhadap efektivitas rezim.

Efektivitas rezim juga mempunyai hubungan dengan tingkat kolaborasi danperubahan perilaku. Underdal menempatkan tingkat kolaborasi sebagai sebuah intervening variable, tingkat kolaborasi dipengaruhi oleh problem benignity dan problem solving capacity yang ada dalam sistem yang membentuk rezim, yang

(17)

juga berpengaruh dan memberikan kontribusi langsung terhadap efektivitas rezim. Untuk lebih jelasnya dalam melihat hubungan diantara tiga variabel di atas dapat kita lihat dalam gambar sebagai berikut:

Gambar 1. Model Inti

Sumber: Adaptasi dari Underdal, Arild. “One Question, Two Answers”, dalam Edward L. Miles, et.al.

Environment regime: effectiveness, confronting theory with evidence(Cambridge, MIT Press, 2002) hal. 37. Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa adanya masalah yang secara politis bersifat benignakan berpengaruh positif terhadap tingkat kolaborasi, sedangkan tingginya tingkat kolaborasi sendiri mempunyai pengaruh positif terhadap efektifitas rezim. Sehingga adanya masalah politik yang bersifat benign akan mendukung semakin

Problem Benignity: • Coordination • Symmetry • Cross-cutting Cleavages

+

+

Regime Effectiveness: • Behavioral change • Technical Optimum

+

Level of Collaboration

Problem Solving Capacity:

• Institutional settings • Distribution of power • Skill and Energy :

Instrumental leadership and Epistemic communities

(18)

efektifnya sebuah rezim. Kemudian kemampuan mengatasi masalah mempunyai pengaruh positif atau dengan kata lain mendukung meningkatnya tingkat kolaborasi. Karena tingkat kolaborasi mendukung efektifitas rezim, maka kemampuan untuk mengatasi masalah berpengaruh positif terhadap tercapainya efektivitas rezim. Seluruh uraian diatas dapat dijabarkan dalam indikator-indikator efektivitas rezim seperti tertera dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2. Konfigurasi Efektivitas Rezim

Independent Variable

Indicator (Hypothesized Score)

Effective Regime Ineffective Regime

Type of Problem

- Predominantlybenignor at leastmixed

- State of Knowledge :Good

-Predominantlymalignant - State of Knowledge :Poor

Problem-solving capacity

-High, as indicated by: • Decision rules providing for adoption of rules by (qualified) majority

• An IGO with significant actor capacity serving the regime • A well-integrated epistemic community

• Distribution of power in favor of pushers or pushers and

-Low,as indicated by : • Decision rules requiring unanimity or consensus

• Weak IGO serving the regime • No epistemic community present

• Distribution of power in favor of laggards or laggards and bystanders

(19)

intermediaries

• Instrumental leadership by one or a few parties or by individual delegates or coalitions of delegates

provided by coalitions or delegates

Political Context

Favorable, as indicated by: • Linkages to other benign problems

• Ulterior motives or selective incentives for cooperation

Unfavorable, as indicated by: • Linkages to other malign problems

•No ulterior motives or selective

incentives for cooperation

Sumber: Adaptasi dari Edward L. Miles, et.al. Environment regime: effectiveness, confronting theory with evidence(Cambridge, MIT Press, 2002), Hal. 63 dan 309

E. Argumen Utama

Rezim IOTC dinilai cukup kuat dan efektif dalam mengatasi permasalahan perikanan di kawasan Samudera Hindia. Kemampuan dalam mengatasi permasalahan ini didukung oleh tingkat kolaborasi dalam rezim yang dinilai tinggi. Adanya persamaan kepentingan dan perhatian di antara negara-negara anggota IOTC mengenai pemanfaatan dan pengelolaan ikan Tuna serta kepedulian terhadap kelestarian habitat ikan Tuna, menyebabkan kerjasama di dalam rezim IOTC menjadi sangat efektif. Tingkat kolaborasi yang tinggi dalam rezim disebabkan oleh rendahnya tingkat permasalahan yang sifatnya malign (malignancyrendah) atau bisa dikatakan bahwa permasalahan yang dihadapi lebih bersifat benign, sehingga memberikan efek positif terhadap efektivitas rezim.

(20)

Salah satu bentukmalignancy terletak pada masalah perbedaan kapasitas armada tangkap di antara negara-negara anggota IOTC serta perbedaan tingkat kebutuhan konsumsi ikan Tuna dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok pangan sehari-sehari sehingga diberlakukan pembatasan jumlah penangkapan ikan Tuna atau quota penangkapan.

Kemampuan dalam menyelesaikan beberapa permasalahan (Problem Solving Capacity) yang dimiliki oleh IOTC juga didukung oleh peran institusi dunia seperti FAO melalui perangkat hukum internasional dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya. Sementara distribusi kekuatan di antara para anggota IOTC relatif lebih berimbang dengan kata lain tidak ada kekuatan yang dominan dalam rezim sehingga tingkat kepatuhan atau compliance terhadap kesepakatan yang dibuat juga menjadi tinggi. Peran kepemimpinan dari negara-negara anggota IOTC yang memiliki teknologi tinggi dalam bidang perikanan, seperti kemampuan negara Jepang dan Australia, juga mempengaruhi distribusi pengetahuan tentang pengelolaan dan teknik serta metode penangkapan ikan Tuna yang lebih efisien sehingga meningkatkan jumlah hasil tangkap. Selain itu para ilmuwan dan peneliti bidang kelautan dan perikanan dalam IOTC juga berperan aktif dalam memberikan kontribusi positif utamanya di bidang perlindungan species dan pelestarian ekosistem laut.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan thesis ini dibagi kedalam 5 bab dan setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang uraianya tergantung dari luas dan pentingnya

(21)

persoalan yang dibahas. Secara rinci sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

Bab I, berisi pendahuluan, menjelaskan latar belakang masalah, rumusan permasalahan, review literatur, kerangka dasar teori, argumen utama, manfaat penelitian, metode penelitian dan jangkauan penelitian.

Bab II, akan menjelaskan tentang kerjasama perikanan regional dan proses terbentuknya rezim IOTC, evolusi atau perkembangan kerjasama perikanan di kawasan Samudera Hindia serta struktur dan mekanisme dalam tubuh rezim IOTC.

Bab III, membahas tentang langkah manajemen dan konservasi IOTC dalam

menangani masalah perikanan Samudera Hindia.

Bab IV, menjelaskan mengenai efektivitas rezim perikanan regional Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), bentuk-bentuk permasalahan, menjelaskan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, tingkat kolaborasi dalam IOTC, perubahan perilaku negara-negara anggota dan hasil yang dicapai oleh Rezim IOTC.

Bab V, Kesimpulan

G. Metode Penelitian

Penelitian thesis ini akan dilaksanakan dengan melakukan studi literatur, yaitu dengan mempelajari berbagai jurnal, buku-buku, artikel, thesis dan tulisan serta laporan tahunan yang berhubungan dengan tema yang diangkat dalam penelitian. Thesis ini akan terfokus menganalisa efektifitas IOTC dengan menggunakan kerangka teoritis yang sudah disampaikan.

(22)

H. Jangkauan Penelitian

Jangkauan waktu yang akan dijadikan acuan adalah sejak rezim IOTC berdiri tahun 1993 hingga tahun 2012 guna melihat bagaimana kinerja rezim sejak awal berdiri hingga saat ini, khususnya pada dimensi efektivitas rezim IOTC.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Permasalahan Benign dan Malign
Gambar 1. Model Inti
Tabel 2. Konfigurasi Efektivitas Rezim

Referensi

Dokumen terkait

Sistem juga harus mampu bekerja dalam waktu yang sama baiknya atau lebih cepat dibandingkan dengan seorang pakar dalam menghasilkan keputusan.. Dapat diandalkan (

Mielenkiintoisia tutkimusaiheita olisi myös, onko radikaalin ortodoksian näkemyksiä ja luterilaisen teologian (esimerkiksi Mannermaan Luther-koulukunnan) painotuksia mahdollista

Sedangkan menurut bentuknya, populasi dapat berarti sekelompok orang, benda atau hal yang memenuhi syarat- syarat teretntu yang berkaitan dengan masalah penelitian

Hasil rata-rata pengukuran logam berat Cd pada setiap stasiun menunjukkan bahwa kandungan logam berat Cd tertinggi pada kulit batang terdapat pada stasiun III yaitu

Berdasarkan latar belakang masalah diatas masalah produksi yang dihadapi oleh pengusaha kerajinan perak diduga bersumber dari masalah modal, tenaga kerja dan juga bahan baku,

Heute gibt es nur noch in zwei Dörfern, Yeyin und Langdao, Häuser, die dem traditionellen Stil entsprechen (vgl.. 14: Moderne Häuser – Dorfbild in Hongtou. Ein weiteres Beispiel

Penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan rasa keterhubungan dengan tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang berbeda.Tingkat pendidikan dan pengalaman kerja

Cara pengendalian OPT yang ramah lingkungan sudah mendesak diperlukan, sehingga strategi percepatan pemanfaatan pestisida nabati dalam jangka pendek maupun jangka