• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep – konsep yang berkaitan dala penelitian ini akan dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu:

1. Lanjut Usia

1.1 Proses menua 1.2 Teori - teori menua

1.3 Batasan-batasan lanjut usia 1.4 Tugas perkembangan lansia 2. Aktivitas Fisik Lansia

2.1 Defenisi

2.2 Tipe-tipe aktivitas fisik

2.3 Jenis-jenis Aktivitas Fisik Lansia

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik lansia 2.5 Dampak aktivitas fisik

3. Tidur

3.1 Defenisi tidur 3.2 Fisiologi tidur 3.3 Tahap – tahap tidur 4. Kualitas Tidur pada lansia

4.1 Perubahan tidur pada lansia 4.2 Kualitas tidur pada lansia

(2)

1. Lanjut Usia

1.1 Proses menua

Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih (UU No.13 Tahun 1998). Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 1999 dalam Saffutra, 2005). Proses penuaan merupakan tahap tubuh mencapai perkembangan yang maksimal setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel yang ada didalam tubuh sebagai akibatnya tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi secara perlahan-lahan (Maryam, 2008).

Constantindes (1994) dan Darmojo (2004) menyatakan proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus-menerus (berlanjut) secara alamiah, yang dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh makhluk hidup (Depkes, 2010).

1.2 Teori-teori proses penuaan

Terdapat banyak teori yang berkaitan dengan proses penuaan. Dalam Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori proses menua yaitu teori biologi, teori psikologi, teori sosial dan teori spiritual. Teori biologi mencakup teori genetic dan mutasi, immunology slow theory, teori stress, teori radikal bebas, dan teori rantai

(3)

silang. Teori sosial yang mencakup proses penuaan yaitu teori interaksi sosial, teori penarikan diri, teori aktivitas, teori kesinambungan, teori perkembangan, teori stratifikasi usia (Maryam, 2008).

1.2.1 Teori biologi

Teori genetik dan mutasi. Menurut teori ini, menua terprogram secara genetik untuk spesies–spesies tertentu, terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogramkan oleh molekul – molekul DNA dan setiap sel pada saat akan mengalami mutasi sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel–sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsi sel)

Immunology slow theory. Sitem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

Teori stress. Teori ini mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel–sel yang biasa digunakan tubuh. Regerenasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress yang menyebabkan sel–sel tubuh lelah terpakai.

Teori radikal bebas. Radikal bebas dapat berbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

Teori rantai silang. Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau asing menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya

(4)

jaringan kolagen. Ikatan ini menyebakan kurangnya elastisitas, kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.

1.2.2 Teori psikologi

Seiring dengan penambahan usia, perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungankan dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Penurunan fungsi sensorik mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespon stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang a da. Kemampuan kognitif lansia dapat dihubungkan dengan penurunan fisiologis organ otak namun pada saat dikaji fungsi positif lebih tinggi, seperti simpanan informasi usia lanjut, kemampuan memberi alasan secara abstrak, dan melakukan penghitungan. Kemampuan belajar yang menurun pada lansia terjadi karena keadaan fungsional organ otak dan kurangnya motivasi pada lansia yang menganggap bahwa lansia sendiri merupakan beban bagi orang lain dan keluarga.

1.2.3 Teori sosial

Teori interaksi sosial. Teori ini menjelaskan mengapa lansia bertindak pada situasi terrtentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Simon (1945), mengemukakan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas dasar kemampuannya untuk melakukan tukar-menukar. Menurut Dowd (1980), interaksi antara pribadi dan kelompok merupakan upaya untuk meraih keuntungan

(5)

sebesar-besarnya dan menekan kerugian hingga sedikit mungkin. Kekuasaan akan timbul apabila seseorang atau kelompok mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pribadi atau kelompok lainnya. Pada lansia, kekuasaan dan prestisenya berkurang, sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.

Teori penarikan diri. Teori ini merupakan teori awal tentang penuaan yang diperkenalkan oleh Gumming dan Henry (1961). Kemiskinan dan menurunnya derajat kesehatan yang diderita lansia mengakibatkan seorang lansia perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya. Proses penuaan mengakibatkan interaksi sosial menurun, baik secara kualitas dan kuantitas. Menurut teori ini seorang lansia dinyatakan mengalami proses penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi serta mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian.

Teori kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi lansia. Lansia tidak disarankan untuk melepaskan perannya tetapi harus memilih peran yang harus dipertahankan dan dihilangkan. Peran lansia yang hilang tidak perlu diganti dan lansia berkesempatan untuk memilih berbagai macam cara untuk beradaptasi.

(6)

Teori perkembengan. Teori ini menjelaskan bagaiman proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupu negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut. Havighurst dan Duvali menguraikan tujuh jenis tugas perkembangan (developmental task) selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lansia, yaitu : penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis, penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan, menemukan makna kehidupan, mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan, menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga, penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia, dan menerima dirinya sebagai orang lansia.

Teori sratifikasi usia. Wiley (1971) menyusun stratifikasi usia berdasarkan usia kronologis yang menggambarkan adanya perbedaan kapasitas, peran, kewajiban, dan hak mereka berdasarkan usia. Elemen penting dari model stratifikasi usia adalah struktur dan prosesnya. Struktur mencakup bagaimana peran dan harapan menurut penggolongan usia, bagaimanakah penilaian strata oleh strata itu sendiri dan strata lainnya, bagaiman terjadinya penyebaran peran dan kekuasaan yang tak merata pada masing-masing strata, yang didasarkan pada pengalaman dan kebijakan lansia. Proses mencakup hal-hal sebagai berikut : bagaimana menyesuaikan kedudukan seseorang dengan peran yang ada, dan bagaimana cara mengatur transisi peran secara berurutan dan terus menerus. Pendekatan yang dilakukan pada teori ini bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro.

(7)

1.2.4 Teori spiritual

Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan. Perkembangan spiritual pada lansia berada pada tahap penjelmaan dari pinsip cinta dan keadilan.

1.3 Batasan-batasan lanjut usia

Banyak pendapat mengenai batasan umur lansia, mengenai kapan orang dikatakan lansia sulit untuk dijawab. Dalam buku Khushariyadi (2010) terdapat beberapa pendapat ahli tentang batasan usia.

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi :

a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

b. Lanjut usia (ederly) = antara 60 dan 74 tahun c. Lanjut usia (old) = antara 75 dan 90 tahun d. Usia sangat tua (very old) = diatas 90 tahun

Menurut Prof.Dr. Koesoemanto Setyonegoro, Sp.Kj., batasan usia dewasa sampai lanjut usia dikelompokkan menjadi :

a. Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20-25 tahun.

b. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas usia 25-60/65 tahun. c. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas usian25-60/65

tahun.

d. Lanjut usia (geriatric age) usia > 65/75 tahun, terbagi atas : 1. Young old ( usia 70-75 tahun),

(8)

2. Old (75-80 tahun),

3. Very old (usia >80 tahun).

Batasan usia lanjut dalam buku Maryam, dkk (2010) terdiri dari :

a. Pra usia lanjut (Prasenilis). Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

b. Usia lanjut. Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Usia lanjut resiko tinggi. Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan

d. Usia lanjut potensial. Usia lanjut yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa. e. Usia lanjut tidak potensial. Usia lanjut yang tidak berdaya mencari

nafkah sehingga hidupnya berrgantung pada bantuan orang lain.

Di Indonesia, batasan mengenai lanjut usia adalah 60 tahun keatas, terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab 1 Pasal 1 ayat 2.

1.4Tugas perkembangan lansia

Seiring tahap kehidupan lansia memiliki tugas perkembangan khusus. Tugas perkembangan lansia terdiri dari tujuh kategori utama yaitu:

a. Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan. b. Menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan. c. Menyesuaikan terhadap kematian pasangan.

(9)

d. Menerima diri sendiri sebagai individu lansia.

e. Memprtahankan kepuasan pengaturan hidup bisa dengan cara mengubah rencana kehidupannya.

f. Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa.

g. Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup dengan belajar menerima aktivitas dan minat baru.

2. Aktivitas Fisik Lansia

2.1 Defenisi

Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan untuk bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidup (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Aktivitas fisik adalah setiap kegiatan yang membutuhkan energi untuk melakukannya seperti berjalan, menari, mengasuh cucu dan lain sebagainya. Aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur melibatkan gerakan tubuh yang dilakukan secara berulang-ulang dan bertujuan untuk kesegaran jasmani (Depkes, 2010)

2.2 Jenis Aktivitas Fisik Lansia

Aktivitas fisik yang dapat dilakukan lansia dalam kehidupan sehari-hari, yaitu : membersihkan rumah, mencuci baju, menyetrika, berkebun, mengemudi mobil, mengecat rumah, memotong kayu, olahraga/latihan fisik dan lain-lain (Depkes, 2010).

(10)

Beberapa contoh olahraga/latihan fisik yang dapat dilakukan oleh lansia untuk meningkatkan dan memelihara kebugaran, kesegaran dan kelenturan fisiknya adalah sebagai berikut (Maryam, 2008) :

Pekerjaan rumah dan berkebun. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang membutuhkan energi, Dengan kegiatan ini tubuh lansia akan mengeluarkan keringat namun harus dikerjakan secara tepat agar nafas sedikit lebih cepat, denyut jantung lebih cepat, dan otot menjadi lelah. Dengan kegiatan ini lansia mendapatkan kesegaran jasmani.

Berjalan-jalan. Berjalan-jalan sangat baik untuk meregangkan otot-otot kaki dan bila jalannya makin lama makin cepat akan bermamfaat untuk daya tahan tubuh. Jika melangkah dengan panjang dan mengayunkan lengan 10-20 kali, maka dapat melenturkan tubuh. Hal ini bergantung pada kebiasaan. Berjalan-jalan sebaiknya dikombinasikan dengan olahraga lain seperti jogging atau berlari-lari. Jones (1997) dan Lueckenotte (2000) menganjurkan untuk berjalan-jalan minimal 30 menit sambil bercakap-cakap

Jalan cepat. Jalan cepat merupakan olahraga lari dengan kecepatan di bawah 11 km/jam atau dibawah 5,5,menit/Km. Jalan cepat berguna untuk mempertahankan kesehatan dan kesegaran jasmani yang aman bagi lansia. Selain itu, biayanya murah dan menyenangkan, mudah, serta berguna bila dilakukan dengan benar. Posisi yang tepat atau yang dianjurkan pada saat jalan cepat adalah pandangan lurus kedepan, bernafas normal melalui hidung atau mulut, kepala dan badan lemas serta tegak, tangan digenggam ringan, kaki mendapat di tumit atau

(11)

pertengahan telapak kaki, langkah tidak terlalu besar, serta ujung kaki mengarah ke depan. Jalan cepat dilakukan dengan frekuensi 3-5 kali seminggu, lama latihan 15-30 menit, dilakukan tidak kurang dari 2 jam setelah makan.

Renang. Olahraga renang paling baik dilakukan untuk menjaga kesehatan karena pada saat berenang hampir semua otot tubuh bergerak, sehingga kekuatan otot meningkat. Olahraga renang biasanya baik untuk orang-orang yang menderita penyakit lemah otot atau kaku sendi karena dapat melancarkan peredaran darah asalkan dilakukan secara tertur.

Bersepeda. bersepeda baik untuk meningkatkan peregangan dan daya tahan, tetapi tidak menambah kelenturan pada derajat yang tinggi. Kegiatan ini dapat dilakukan sesuai kemampuan dan harus disertai latihan aerobik.

Senam. Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak memberatkan yang diterapkan pada lansia.

2.3 Tipe-tipe aktivitas fisik

Ada 3 tipe aktivitas fisik yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh yaitu (Rizki, 2011) :

2.3.1 Ketahanan (endurance)

Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju

(12)

tempat kerja kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah, lari ringan, berenang dan senam, bermain tenis, berkebun dan kerja di taman.

2.3.2 Kelenturan

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih mudah. Mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: 1)Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, bisa mulai dari tangan dan kaki. 2) Senam taichi, yoga. 3) Mengepel lantai.

2.3.3 Kekuatan (strength)

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatau beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Push-up (pelajari teknik yang benar untuk mencegah otot sendi dari kecelakaan), naik turun tangga, angkat berat/beban, membawa belanjaan dan mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness)

Aktivitas fisik tersebut akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran kalori ), misalnya : Berjalan kaki (5,6-7 kkal/menit), berkebun (5’6

(13)

kkal/menit), menyetrika (4,2 kkal/menit), menyapu rumah (3,9 kkal/menit), membersihkan jendela (3,7 kkal/menit), mencuci baju (3,56 kkal/menit) dan mengemudi mobil (2.8 kkal/menit).

Aktivitas fisik berupa olahraga yang dapat dilakukan antara lain: Jalan sehat dan jogging, bermain tenis, bermain bulu tangkis, sepak bola, senam aerobic, senam pernafasan, berenang, bermain bola basket, bermain voli, dan bersepeda.

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik Lansia

Bertambahnya usia seseorang, kemampuan fisik dan mental hidupnya pun akan perlahan-lahan pasti menurun. Akibatnya aktivitas hidupnya akan ikut terpengaruh termasuk aktivitas fisiknya. Beberapa masalah fisik yang dapat mempengaruhi aktivitas fisik lansia, yaitu : 1) Mudah jatuh. Hal ini dipengaruhi gangguan sistem sensorik yang menyebabkan gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan sistem saraf pusat seperti stroke dan parkinston, gangguan kognitif dan gangguan muskuluskeletal yang menyebabkan gangguan gaya berjalan. 2) Mudah lelah. Disebabkan oleh faktor psikologis (perasaan bosan, keletihan, atau persaan depresi), gangguan organis dan pengaruh obat-obatan yang melelahkan daya kerja otot (Stanley & Beare, 2006).

2.5 Dampak aktivitas fisik

Aktivitas fisik penting untuk lansia yaitu: menjaga kesehatan, memelihara kemampuan untuk melakukan ADL, dan peningkatan kualitas hidup. Manfaat dari kegiatan fisik meliputi pencegahan penyakit jantung, penurunan tekanan darah, mengurangi risiko osteoporosis, keseimbangan dan tidur lebih nyenyak (Jones,

(14)

1997, Lueckenotte, 2000). Beberapa ahli mendapatkan kesimpulan bahwa aktivitas fisik dapat menyebabkan seseorang menjadi lebih tenang, kurang menderita ketegangan dan kecemasan. Latihan fisik akan membuat seseorang lebih kuat menghadapi stres dan gangguan hidup sehari-hari, lebih dapat berkonsentrasi, tidur lebih nyenyak dan merasa berprestasi. Hal ini disebabkan karena gerakan fisik bisa digunakan untuk memproyeksikan ketegangan, sehingga setelah latihan, orang merasa ada beban jiwa yang terbebaskan. Disamping itu penurunan kadar garam dan peningkatan kadar epinephrin serta endorphin membuat orang merasa bahagia, tenang dan percaya diri (http://staff.uny.ac.id).

3. Tidur

3.1 Defenisi tidur

Tidur merupakan keadaan tidak sadarkan diri yang relatif, keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan dan merupakan suatu urutan siklus yang berulang, dengan ciri adanya aktivitas yang minim, memiliki kesadaran yang bervariasi, terdapat perubahan proses fisiologis, dan terjadi penurunan respons terhadap rangsangan dari luar (Hidayat, 2006). Tidur adalah keadaan perilaku ritmik dan siklik yang terjadi dalam lima tahap ( empat non rapid eye movement [NREM] dan satu rapid eye movement [REM]), seperti yang diindikasikan elektroensefalogram (EEG), gerakan mata dan gerakan otot (Stanley & Beare, 2006).

Tidur adalah alami, berulang secara periodik, kondisi fisiologis istirahat bagi tubuh dan pikiran dan tidur merupakan keadaan tidak aktif atau istirahat yang

(15)

dibutuhkan (Lueckenotte, 2000). Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Tarwota dan Wartonah, 2010).

3.2 Fisiologi tidur

Mekanisme serebral secara bergantian mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tertidur dan bangun. Aktivasi tidur diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang merupakan sitem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur. Pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Selain itu, reticular activating system (RAS) dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir (Aziz, 2006) .

Reticular activating sistem (RAS) di bagian batang otak mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran serta memberikan stimulus visual, auditori, nyeri, dan sensorik raba. Pada keadaan sadar mengakibatkan neuron-neuron dalam RAS melepaskan katekolamin, misalnya norepinefrin untuk tetap siaga, Mencoba untuk tidur menutup mata dan berusaha dalam posisi rileks dengan ruangan gelap dan tenang aktivitas RAS menurun, pada saat itu bulbar synchronizing regional (BSR) mengeluarkan serum serotonin (Tarwoto dan Wartonah, 2010).

(16)

3.3 Tahap–tahap tidur

Dalam prosesnya, tidur dibagi kedalam dua jenis. Pertama, jenis tidur yang disebabkan oleh menurunnya kegiatan dalam sistem pengaktivasi reticularis, disebut dengan tidur gelombang lambat (slow wave sleep) karena gelombang otak bergerak sangat lambat, atau disebut juga tidur non rapid aye movement (NREM). Kedua, jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran abnormal dari isyarat-isyarat dalam otak meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara berarti, disebut dengan jenis tidur paradox, atau disebut juga dengan rapid eye movement (REM) (Aziz, 2006).

3.3.1 Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM)

Tidur NREM atau tidur gelombang lambat dikenal dengan tidur yang dalam, istirahat penuh, atau juga dikenal tidur yang nyenyak .Pada tidur jenis ini, gelombang otak bergerak lebih lambat, sehingga menyebabkan tidur tanpa mimpi. Tidur gelombang lambat disebut juga tidur gelombang delta, dengan cirri-ciri; betul-betul istirahat penuh, tekanan darah menurun, frekuensi nafas menurun, pergerakan bola mata melambat, mimpi berkurang, dan metabolisme menurun.

NREM tahap 1. Tahap ini merupakan tahap antara bangun dan tahap awal tidur dengan ciri sebagai berikut ; rileks, masih sadar dengan lingkungan, merasa mengantuk, bola mata bergerak dari samping kesamping, frekuensi nadi dan nafas sedikit menurun, dapat bangun segera selama tahap ini berlangsung selama 5 menit. Memasuki tahap ini, Gambaran EGG memperlihatkan gelombang beta yang berfrekuensi tinggi dan bervoltase rendah (Aziz, 2006).

(17)

Tahap 2. Tahap 2 merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun dengan cirri sebagai berikut: mata pada umumnya menetap, denyut jantung dan frekuensi nafas menurun, temperatur tubuh menurun, metabolisme menurun, berlangsung pendek dan berakhir 10-15 menit dan gambaran EEG memperlihatkan istirahat tenang pada gelombang alfa (Aziz, 2006).

Tahap 3. Tahap 3 merupakan tahap tidur dengan cirri denyut nadi dan frekuensi nafas dan proses tubuh lainnya lambat, disebabkan oleh adanya dominasi sistem saraf parasimpatis, sulit untuk bangun dan gambaran EGG memperlihatkan tidur ringan karena terjadi perlambatan gelombang alfa ke jenis teta atau delta yang bervoltase rendah (Aziz, 2006).

Tahap 4. Tahap 4 merupakan tahap tidur dalam dengan ciri kecepatan jantung dan pernafasan menurun, jarang bergerak dan sulit dibangunkan, gerak bola mata cepat, sekresi lambung menurun, tonus otot menurun dan gambaran EGG memperlihatkan tidur nyenyak karena gelombang lambat dengan gelombang delta bervoltase tinggi dengan kecepatan 1-2 per detik (Aziz, 2006).

3.3.2 Tidur Rapid Eye Movement (REM).

Tidur ini berlangsung pada tidur malam yang terjadi selama 5-20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi selama 80-100 menit, akan tetapi apabila kondisi sangat lelah, maka awal tidur sangat cepat bahkan jenis tidur ini tidak ada. Ciri-ciri tidur REM adalah sebagai berikut (Aziz, 2006) : 1) Biasanya disertai dengan mimpi yang aktif. 2)Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak gelombang lambat. 3)Tonus otot selama tidur nyenyak

(18)

sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistem pengaktivasi retikularis. 4) Frekuensi jantung dan pernafasan menjadi tidak teratur. 5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur. 6) Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan irregular, tekanan darah meningkat ataua berfluktuasi, sekresi gaster meningkat, dan metabolisme meningkat. 7) Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori, dan adaptasi.

4. Kualitas Tidur pada Lansia

4.1 Perubahan Tidur pada Lansia

Kebiasaan atau pola tidur pada lansia dapat berubah, tidak bisa tidur sepanjang malam dan sering terbangun pada malam hari, sehingga lansia melakukan kegiatan pada malam hari. Penyebab dari perubahan tidur lansia adalah sebagai berikut : kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga mereka masi semangat sepanjang malam, tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari, gangguan cemas dan depresi, tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman, sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada malam hari, dan infeksi saluran kemih (Maryam dkk, 2008).

Miles & Dement (1980) menyatakan masalah tidur yang paling sering dialami oleh lanjut usia adalah sering terjaga pada malam hari, sering kali terbangun pada dini hari, sulit untuk tertidur, dan rasa lelah yang amat sangat disiang hari. Bootzin, Engle-Friedman, & Hazelwood (1983) menyatakan keluhan tersebut sejalan dengan berbagai perubahan fisiologis yang terjadi secara normal

(19)

ketika orang memasuki usia tua. Webb & Campbell (1980) menyatakan orang lanjut usia memiliki jumlah jam tidur yang agak lebih singkat atau sama dengan orang dewasa yang berusia lebih muda, namun waktu tidur mereka lebih sering terputus secara spontan; selain itu, mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat kembali kembali tertidur setelah terbangun. Dengan demikian, orang lanjut usia secara umum memiliki waktu tidur lebih sedikit dalam kaitan dengan total waktu yang mereka habiskan di tempat tidur pada malam hari; mereka cenderung mengganti kekurangan waktu tidur tersebut dengan tidur siang (Davison, dkk, 2006).

4.2 Kualitas tidur pada lansia

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk . Selain itu, kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Tanda fisik meliputi: ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing. Tanda psikologis meliputi: Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas berbicara, daya ingat

(20)

berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan menurun (Hidayat, 2006).

Menurut Stamburg & Olsen (1997) dalam Syarif (2005), beberapa variabel dan parameter yang berhubungan dengan tidur adalah waktu yang dihabiskan ditempat tidur, kuantitas tidur atau total waktu yang dibutuhkan untuk tidur, waktu atau persentase yang dihabiskan pada tahapan-tahapan tidur, waktu yang diperlukan untuk tertidur, kesulitan atau kemudahan dalam tertidur, kebiasaan tidur, penggunaan obat-obat untuk tidur, kepuasaan terhadap tidur, kemudahan atau kesulitan untuk terbangun di pagi hari, rasa segar saat bangun dari tidur, kecapekan dan rasa berenergi saat beraktivitas. Persepsi mengenai kualitas tidur ini sangat bervariasi dan individual dapat dikaji dengan cara subjektif yaitu hasil dari ungkapan individu terhadap apa yang dirasakan sebelum dan sesudah tidur.

Waktu yang dibutuhkan lansia untuk tidur normalnya kurang lebih 6 jam/hari dimana Tahap REM 20-25 %, tahap IV NREM menurun dan kadang-kadang absen dan sering terbangun pada malam hari (Tarwoto dan Wartonah , 2010).

4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur lansia

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualiatas tidur lansia yaitu : penyakit fisik, obat-obatan dan substansi, pola tidur yang biasa dan mengantuk yang berlebihan pada siang hari, lingkungan, latihan fisik dan kelelahan, serta asupan makanan dan kalori.

(21)

Penyakit fisik. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik atau masalah suasana hati dapat menyebabkan masalah tidur dengan perubahan itu seseorang mempunyai masalah kesulitan tertidur atau tetap tertidur. Contoh penyakit yang menggagu tidur lansia adalah hipertensi, nokturia, sindrom kaki tidak berdaya, penyakit jantung koroner, gangguan pernapasan dan lain-lain (Potter, Patricia 2005).

Obat-obatan dan substansi. Dari daftar obat di PDR 1990, dengan 584 obat resep atau obat bebas menuliskan mengantuk sebagai salah satu efek samping, 486 menulis insomnia, 281 menyebabkan kelelahan (Busysse, 1991). Lansia seringkali menggunakan variasi obat untuk mengontrol penyakit kroniknya (Potter, Patricia 2005). Beberapa jenis obat yang dapat menimbulkan gangguan tidur antara lain: diuretik menyebabkan insomnia, antidepresan menyupresi REM, kafein meningkatkan saraf simpatis, beta-bloker menimbulkan insomnia dan Narkotika menyupresi REM (Tarwoto dan Wartonah, 2010).

Lingkungan. Ukuran, kekerasan, dan posisi mempengaruhi kualitas tidur. Tidur tanpa ketenangan adanya suara keras atau tingkat kebisingan yang tinggi, tingkat cahaya yang tinggi dan suhu ruangan yang tidak nyaman dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Suara juga mempengaruhi tidur, Webster dan Thompson (1986) menyatakan tingkat suara yang diperlukan untuk membangunkan orang tergantung pada tahap tidur (Potter, Patricia 2005).

Latihan fisik dan kelelahan. Seseorang yang kelelahan menengah biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan

(22)

adalah hasil dari kerja atau latihan yang menyenangkan. Kelelahan yang berlebihan akibat kerja yang meletihkan atau penuh stress dapat membuat sulit tidur (Potter, Patricia 2005).

Asupan makanan dan kalori. Hauri dan Linde (1990) menyatakan orang tidur lebih baik ketika sehat sehingga mengikuti kebiasaan makan yang baik adalah penting untuk kesehatan yang tepat dan tidur. Makan yang berlebihan pada malam hari tidak dapat dicerna dengan baik akibatnya dapat mengganggu tidur (Potter, Patricia 2005).

Referensi

Dokumen terkait

ISSMS adalah Sistem Manajemen Keselamatan berbasis manajemen risiko yang memerlukan perbaikan yang berkelanjutan. Supporting

Bibit (plances) jati yang ditanam merupakan bibit hasil seleksi, pertumbuhannya bagus dengan tinggi minimal 20 cm, batang lurus, berkayu, dan sehat. Bibit ditanam pada saat

Tabel 2.3 menunjukkan perbandingan IGBT dengan MOSFET dalam hal rugi konduksi yang dinyatakan dalam bentuk tegangan drop (tegangan yang terdapat pada kedua ujung

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Calon Mahasiswa Memilih IPB Menggunakan Model Persamaan Struktural adalah benar

Pembuatan matriks ini didasarkan pada pembuatan tingkat kenyamanan yang didasarkan pada empat parameter yaitu kerapatan vegetasi dan kepadatan bangunan yang diperoleh dari

n Hasil yang diperoleh dari metoda ini sangat baik, sehingga metoda ini dapat diterapkan sebagai tindakan sementara untuk konstruksi terowongan dibawah dasar sungai atau kebocoran

Bentuk vertikal adalah hubungan manusia (dari komunitas sekolah) dengan Tuhan. Sedangkan bentuk horisontal adalah hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian kompos pada tanah bekas tambang emas dan mengetahui jenis kompos mana yang terbaik terhadap pertumbuhan awal