• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ANALISIS DATA"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

33

BAB II

ANALISIS DATA

Analisis data pada bab II ini menguraikan tentang kajian filologis dan kajian

isi dari naskah SPT. Kajian filologis berdasarkan cara kerja filologi digunakan

untuk mendapatkan teks yang bersih dari kesalahan. Kajian filologis digunakan untuk membahas permasalahan yang ada dalam naskah seperti varian-varian yang

ditemukan dalam naskah SPT. Langkah kerjanya meliputi inventarisasi naskah,

deskripsi naskah, pertimbangan dan pengguguran naskah, penentuan naskah yang asli (autografi), transliterasi, suntingan teks dan aparat kritik, serta terjemahan (Edwar Djamaris, 2002:10). Kemudian dilanjutkan dengan kajian isi untuk

memaparkan isi yang terkandung dalam naskah SPT.

A.

Kajian Filologis

Langkah kerja filologi yang diterapkan pada penelitian ini ialah menggunakan metode penelitian filologi menurut Edwar Djamaris. Akan tetapi, tidak dilakukan tahapan pengguguran dan penentuan naskah asli karena jumlah naskah yang tunggal, sehingga tidak ada naskah lain sebagai bahan

pembandingnya. Berikut langkah kerja filologi terhadap naskah SPT.

1. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah ialah penggambaran tentang naskah atau uraian ringkas tentang naskah. Uraian mengenai naskah dideskripsikan atau dipaparkan secara apa adanya. Metode yang digunakan dalam deskripsi naskah ini adalah metode deskriptif. Semua naskah dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu nomor

(2)

naskah, ukuran naskah, keadaan naskah, tulisan, bahasa, kolofon dan garis besar isi cerita (Edwar Djamaris, 2002: 11). Secara lengkap deskripsi naskah meliputi: judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal-usul naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris per halaman, huruf atau aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau penyalin, usul naskah, fungsi sosial naskah, dan ikhtisar teks atau cerita. Berikut pemaparan mengenai hal tersebut.

a. Judul Naskah

Serat Panglipur Tis-Tis. Judul ini tidak terdapat di dalam cover melainkan berada di dalam teks halaman 1 (lihat gambar 1).

b. Nomor Naskah

Tidak ada

c. Tempat Penyimpanan Naskah

Naskah ini merupakan naskah milik pribadi saudara Ari Mukti yang beralamat di Jl. Sri Rejeki 20, Munggut, Madiun, Jawa Timur, Indonesia.

d. Asal Naskah

Naskah hasil pembelian dari pemilik barang antik di wilayah Gladag, Surakarta.

e. Keadaan Naskah

Keadaan fisik naskah:

1) Cover

Cover atau sampul depan dan belakang berwarna biru keungu-unguan dengan jilidan menggunakan benang berwarna putih. Keadaan

(3)

cover sedikit rusak yaitu bagian jilidan yang sedikit sobek. Pada sampul depan terdapat mantra, keterangan angka dan nomor I berhuruf Jawa.

Gambar 17 Cover Depan Berbunyi : “salaradakatatadapasaga . 1952 . kadadadamapala – lapalasapalaca hasagamadanacahasagakagarasa bapatsadangapata – . hosi. no. I Sadamadamasantatajana.”

Pada cover tersebut terdapat mantra untuk mengawali penulisan naskah. Dalam KBBI (2007: 713), mantra diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi seperti rima dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Menurut Herman J Waluyo (1995: 5), di dalam mantra tercermin hakikat sesungguhnya dari puisi, yakni bahwa pengkonsentrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh

Angka : 1952 Tulisan berbahasa belanda : “internationale crediet- en handelsvereeniging ,,Rotterdam”

(4)

penciptanya untuk menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib. Mantra merupakan ragam puisi lisan yang berbentuk bebas.

Mantra memiliki struktur batin karena mantra merupakan bentuk doa. Hal ini sesuai dengan pendapat narasumber bahwa, mantra yang

tertulis pada cover tersebut digunakan sebagai pengganti mangajapa

baca yaitu berupa doa pengharapan untuk memulai penulisan naskah

(Arif, 24 Juni 2016). Mangajapa berasal dari kata ajap/ajab,

ngajap/ngajab yang berarti pengharapan atau mengharapkan, sedangkan

baca berarti bêcik, baik atau bagus. Mangajapa baca berarti mangajap

bêcik, mengharapkan yang baik selama penulisan naskah.

Selain itu terdapat keterangan angka 1952 dan nomor I Keterangan angka ini diperkirakan sebagai kolofon naskah dan juga jilid naskah. Hal ini dilihat dari cap buku atau kertas yang digunakan karena

dalam penelitian filologi, watermark atau cap kertas dapat membantu

menentukan umur naskah (Sudardi, 2003:92). Tulisan bahasa Belanda “internationale crediet- en handelsvereeniging ,,Rotterdam” merupakan nama bank swasta yang didirikan tahun 1863. Hal ini memberikan keterangan kesesuaian antara umur kertas dengan penulisan naskah tidak terpaut jauh, yaitu sekitar abad ke-18 dan 19.

Kemudian keterangan nomor I tersebut diidentifikasikan sebagai

keterangan jilid I. Tembang terakhir naskah SPT adalah tembang Durma

yang memiliki jumlah gatra (jumlah baris tembang) 7 baris, namun baru

tertulis 6 baris. Meskipun demikian, isi naskah SPT telah selesai

(5)

2) Isi

Keadaan isi masih baik dan lengkap. Keadaan naskah adalah sebagai berikut: halaman naskah dimulai dari halaman 1 sampai dengan halaman 35; lembaran kertasnya terisi penuh, tidak ada lembar yang kosong. Keadaan kertasnya masih baik, tanpa ada lubang-lubang kecil maupun sobekan-sobekan. f. Ukuran Naskah Ukuran kertas Panjang naskah : 20,5 cm Lebar naskah : 16 cm Ukuran teks Panjang : 17,5 cm Lebar : 15 cm Ukuran margin Kanan : 0,5 cm Atas : 2,5 cm Kiri : 0,5 cm Bawah : 0,5 cm g. Tebal Naskah

Tebal naskah ini 0,2 cm dengan jumlah halaman ada 35 halaman dan tidak ada halaman yang kosong.

h. Jumlah Baris Perhalaman

Mulai dari halaman 1 sampai halaman 35 terdapat 24 baris.

i. Huruf, Aksara, Tulisan

1. Jenis huruf/aksara : Jawa carik

2. Ukuran huruf : ukuran huruf kecil rata-rata 0,3 cm.

3. Bentuk huruf : miring ke kanan (kursif).

(6)

5. Jarak antarhuruf : rapat dan rapi. Jarak tulisan antarbaris juga rapi.

6. Bekas pena : tebal dan tipis sehingga banyak tulisan yang tembus

pandang.

7. Warna tinta : tinta berwarna biru.

j. Cara Penulisan

Ditulis bolak-balik (recto verso) yaitu lembaran naskah yang ditulisi

pada kedua halaman muka dan belakang. Penulisan searah dengan lebar naskah. Artinya teks ditulis dari kiri ke kanan. Pengaturan ruang tulisan, larik-lariknya ditulisi secara berdampingan lurus ke samping diteruskan ke bawahnya dan seterusnya.

Naskah SPT tembus pandang karena kertasnya tipis dan ditulis

menggunakan tinta warna biru. Selain itu, tinta tidak merata, maksudnya penulisan dengan ketebalan tinta yang berbeda-beda. Ada kalanya penekanan tinta sangat tipis dan kadang tebal sehingga menyulitkan pembacaan. Meskipun demikian naskah ini tetap bisa dibaca dengan ketelitian tertentu.

k. Bahan Naskah

Bahan naskah dari kertas polos, berwarna putih kecoklatan.

l. Bahasa Naskah

Bahasa Jawa Baru ragam Krama dan Ngoko serta beberapa kosakata Bahasa Indonesia.

m. Bentuk Teks

Naskah berbentuk tembang terdiri dari 8 pupuh, yaitu: (1) Dhandhanggula

(7)

20 bait; (6) Pangkur 33 bait; (7) Maskumambang 39 bait; dan (8) Durma 44

bait. Setiap pergantian pupuh ada sasmita têmbang yang umumnya terletak

di awal namun, beberapa ada yang terletak di akhir sebelum pergantian pupuh baru.

n. Umur Naskah

Umur naskah tidak disebutkan secara jelas, namun diperkirakan naskah ditulis pada tahun 1952 sesuai dengan keretangan dari cap kertas dan isi

naskah. Naskah SPT berisi tentang sejarah kemerdekaan Indonesia

(1942-1945). Naskah ini tergolong naskah baru yang menggunakan bahasa Jawa baru dengan beberapa kosakata Bahasa Indonesia.

o. Pengarang

Anonim

p. Asal-usul Naskah

Milik perorangan/ pribadi.

q. Fungsi Sosial Naskah

-

r. Ikhtisar Teks/ Cerita

Naskah ini berjudul Serat Panglipur Tis-Tis dalam Bahasa Indonesia

artinya “penghibur kesedihan” yang berisi tentang cuplikan peristiwa sejarah kemerdekaan Indonesia (1942-1945), khusunya di Surakarta dan hikmah di balik peristiwa sejarah. Naskah ini menceritakan kehidupan masyarakat Surakarta sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Sebelum merdeka, pada masa itu di Indonesia terjadi banyak peperangan akibat penjajahan Inggris, Belanda dan Jepang. Hal ini menyebabkan rakyat

(8)

terutama masyarakat kecil di pedesaan mengalami krisis ekonomi (sandang dan pangan). Harga-harga pangan melambung tinggi hingga memaksa rakyat meninggalkan keluarga dan harta benda untuk berkerja Romusha.

Rakyat sangat menderita karena krisis yang melanda sedangkan pemerintah tidak memiliki kuasa. Setelah kemerdekaan, Indonesia masih mengalami peperangan. Banyak perlawanan yang dilakukan oleh pemuda-pemudi Indonesia untuk merebut kemerdekaan dan terbebas dari penjajahan. Perlawanan tersebut terjadi di berbagai daerah di Indonesia antara lain Surabaya, Semarang dan Surakarta. Hal ini membuat ketakutan yang luar biasa terhadap rakyat karena Indonesia tak kunjung merdeka. Maka dalam memperoleh kemerdekaan, sebagai makhluk Tuhan, manusia harus selalu berusaha/berikhtiar serta berserah kepada Yang Maha Kuasa.

Catatan lain

a. Nomor halaman ditulis menggunakan angka Arab

(lihat gambar 10)

b. Pada lembar kedua setelah cover terdapat lembaran yang hampir

kosong. Lembar ini bukan merupakan halaman 1, terdapat tulisan yang membentuk sudut siku-siku.

(9)

Gambar 18 Halaman sesudah Cover

Terdapat dua tipe tulisan yaitu tulisan yang menjorok ke kanan/horizontal dan ke bawah/vertikal. Tulisan yang menjorok ke kanan agak sulit dipahami, tulisan ini hampir mirip dengan yang

tertara pada cover. Menurut Arif, tulisan ini juga merupakan mantra

namun tidak ada maksudnya yang disebut sebagai mantra nirguna.

Kata-kata tersebut ditulis hanya sebagai simulasi pengucapan bunyi atau olah suara yang letak bunyinya berasal dari tenggorokan disebut caksu (Arif, 24 Juni 2016). Mantra nirguna adalah mantra yang tanpa bentuk, maksudnya tidak ada dewa atau aspek pribadi dari

Allah yang akan dipanggil (

www.rudraksa-world.com/nirguna-saguna-mantras-24-mantra.html : 20 juli 2016). Hadatalatahalanasa gangada Asagakabasadama samadara dara

Artinya : ada tempat yang tidak baik di dunia ini da mra hya si lu ke no pê gang wah tar

(10)

Tulisan yang ke bawah/vertikal merupakan simulasi penulisan aksara oleh pengarang. Simulasi atau pelatihan awal sebelum menulis ini dapat dilihat dari pola yang telah dibuat.

Pengarang menuliskan semua jenis sandhangan mulai dari:

1). Sandhangan swara : /a/, /i/, /u/, /e/, /è/, /ê/, dan /o/ dalam (da, si, lu, ke, pê,no).

2). Sandhangan panyigeg wanda : /ha/, /ra/, /nga/ dalam (wah, tar,gang).

3). Sandhangan wyanjana : /ra/, /ya/, dalam (mra, hya).

Maka dapat disimpulkan bahwa lembar pertama pada naskah SPT ini

hanya berisi simulasi baik pengucapan bunyi maupun penulisan

macam-macam sandhangan.

2. Kritik Teks

Kritik teks merupakan upaya evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada tempatnya yang tepat. Kegiatan kritiks teks bertujuan untuk menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya. Teks yang sudah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali seperti semula dapat dipandang sebagai arketip yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain. Setiap kesalahan kata-kata maupun bacaan tesebut memerlukan penjelasan dan refensi sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah (Baried,dkk, 1985:61).

Kelainan atau varian yang terdapat dalam naskah SPT dapat dikelompokan

(11)

a. Lacuna : bagian yang terlampaui atau terlewati, baik suku kata, kata, kelompok kata ataupun kalimat.

b. Adisi : bagian yang kelebihan baik suku kata, kata, kelompok kata, ataupun kalimat.

c. Hypercorrect : kesalahan penulisan maksudnya kesalahan penulisan dilihat dari acuan ejaan yang baku. Perubahan ejaan karena pergeseran lafal.

d. Corrupt : bagian naskah yang tidak bisa dipakai lagi, tidak bisa dibaca, dan tidak tahu artinya.

Pengelompokan varian naskah SPT disusun dalam bentuk tabel untuk

mempermudah pemahaman maka dibuat singkatan sebagai berikut:

No : menunjukkan nomor urut

* : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik

@ : edisi teks berdasarkan pertimbangan konteks kalimat

# : edisi teks berdasarkan interpretasi peneliti

Hlm. : halaman

P : pupuh

B : bait

Br : baris

Edisi : teks yang dibetulkan

(12)

Tabel 1. Varian Lacuna

No. Hlm P/B/Br Teks SPT Edisi Ket

1. 2 1/10/8 Kèh janma tan

kuwagang

Kèh janma datan kuwagang

*#

2. 5 1/23/4 Praja lor lan kidul Praja lor lawan kidul *#

3. 7 1/35/5 Anggêntèni kang

ramaji

Anggêntèni ingkang ramaji

*#

4. 10 2/20/5 Lan antuk jampi Tansah antuk jampi *#

5. 15 3/14/3 Sêmbarang kang santosa Sêmbarang ingkang santosa *# 6. 16 3/17/2 Mri Mring *@ 7. 18 4/1/7 badera Bandera *@ 8. 30 7/35/1 tuwi Tuwin *

9. 33 8/25/4 Sigra nêba Sigra nêbaa *#

10. 34 8/35/2 ngusi ngungsi *@

Berdasarkan tabel di atas ditemukan 10 lacuna pada naskah SPT.

Lacuna pada naskah SPT meliputi lacuna kata dan huruf. Lacuna kata

umumnya terjadi pada baris tembang sehingga baris tersebut tidak

memenuhi konvensi tembang. Lacuna huruf umumnya terjadi karena

kurang tanda baca/sandhangan. Edisi dilakukan melalui pertimbangan

(13)

Tabel 2. Varian Adisi

No. Hlm P/B/Br Teks SPT Edisi Ket

1. 2 1/6/4 Awit wêktune wus

nyungul

Wit wêktune wus nyungul

*#

2. 3 1/12/1 kamangnungsanèki kamanungsanêki *

3. 3 1/14/4 Mula sajroning

prang agung

Mula jroning prang agung

*#

4. 8 2/2/5 Lir sinanapon rêsik Lir sinapon rêsik *@

5. 9 2/11/6 Bangsa Landi kang

kang wus

Bangsa Landi kang wus

*@

6. 24 6/12/2 Duk sinisiksa nèng

kunjaran tan tuk mijil

Duk siniksa nèng kunjaran tan tuk mijil

*@ 7. 25 6/18/7 Kuncara asmaning lalilis Kuncara asmaning lalis *@

Berdasarkan tabel di atas ditemukan 7 adisi pada naskah SPT. Adisi

pada naskah SPT umumnya terjadi karena pengulangan kata. Edisi

dilakukan melalui pertimbangan linguistik dan konteks kalimat yang telah dipertimbangkan oleh penulis.

Tabel 3. Varian Hypercorrect

No. Hlm P/B/Br Teks SPT Edisi Ket

1. 9 2/13/1 pamampin pamimpin *

(14)

3. 14 3/4/4 kêlut kêlud *

4. 22 6/1/4 optobêr oktobêr *#

5. 26 6/27/2 pamampinira pamimpinira *

6. 30 7/36/2 nompèngblêr nopèmbêr *@

7. 31 8/4/4 bandora bandera *@

Berdasarkan tabel di atas ditemukan 7 hypercorect pada naskah

SPT. Hypercorect pada naskah SPT umumnya terjadi karena penggunaan

aksara yang tidak sesuai dengan ejaan, misalnya penggunaan aksara ta dan

aksara da. Selain itu, kesalahan penggunaan sandhangan. Edisi dilakukan

melalui pertimbangan linguistik dan konteks kalimat yang telah dipertimbangkan oleh penulis.

Tabel 4. Varian Corrupt

No. Hlm P/B/Br Teks SPT Edisi Ket

1. 7 1/31/3 Osiping dwine - -

Berdasarkan tabel di atas ditemukan 1 corrupt pada naskah SPT. Corrupt tersebut tidak dapat diterjemahkan dan disesuiakan dengan konteks

cerita sehingga tidak diedisikan. Naskah SPT termasuk naskah baru

sehingga selain berbahasa Jawa juga mendapat pengaruh Bahasa Indonesia serta pinjaman istilah-istilah. Kosakata Bahasa Indonesia dan istilah-istilah

(15)

Tabel 5. Kosakata Bahasa Indonesia

No. Hlm P/B/Br Teks SPT Arti

1. 2 1/9/3 pandhudhuk penduduk 2. 4 1/21/5 nylidiki menyelidiki 3. 9 2/15/4 gêmbira gembira 4. 10 2/21/1 sêpanjang sepanjang 5. 2 1/7/8 Sabilollah sabilillah 6. 5 1/25/9 Rêmusha romusha 7. 9 2/9/2 Tokiyo tokyo 8. 22 5/16/6 pêblik publik 9. 26 6/30/7 ropêblik republik

Selain itu untuk menyesuaikan konvensi tembang terdapat beberapa

kosakata yang ditulis sesuai kebutuhan dhong-dhingtembang sebagai berikut.

Tabel 6. Kata-kata sesuai Konvensi Tembang

No. Hlm P/B/Br Teks SPT Arti

1. 5 1/24/5 dèsi desa 2. 9 2/11/4 indonesiai indonesia 3. 9 2/14/2 dhawoh perintah 4. 10 2/18/2 mungsoh musuh 5. 11 2/30/2 sinêbuteo disebut 6. 11 2/32/2 prajuriteo prajurit

(16)

7. 12 2/35/1 wismi wisma

8. 22 6/9/1 ngêpang mengepung

3. Suntingan Teks, Aparat Kritik dan Terjemahan

Setelah naskah melalui tahapan kritik teks selanjutnya naskah disajikan dalam bentuk suntingan teks. Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam kritik teks. Dalam suntingan teks harus disertai aparat kritik sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah (Baried,dkk 1985:68). Kritik teks ditandai dengan pemberian nomor kritik teks dan pembetulan berupa aparat kritik disajikan dalam

bentuk catatan kaki atau footnote (Edi S. Ekadjati, 1992:6).

Suntingan teks naskah SPT menggunakan metode edisi standar. Metode

edisi standar yaitu menerbitkan naskah dengan cara membetulkan kesalahan-kesalahan kecil atau ketidak-ajegan ejaan dengan sistem ejaan yang berlaku. Pada edisi ini dilakukan pekerjaan editing seperti pungtuasi, penulisan kata, kalimat dan pemberian komentar terhadap kesalahan teks. Kesalahan-kesalahan dan pembetulan dicatat di tempat khusus agar selalu dapat diperiksa dan dibandingkan sehingga memungkinkan penafsiran lain oleh pembaca (Baried,dkk 1985:68).

Selain suntingan dan aparat kritik, disertakan pula terjemahan dari naskah SPT. Terjemahan adalah pengalihan bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan

mempertahankan makna yang ada. Naskah SPT merupakan naskah Jawa carik dan

berbahasa Jawa, sedangkan masyarakat saat ini tidak semuanya mengerti bahasa Jawa sehingga perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tujuan dari terjemahan adalah untuk memudahkan pembaca masa kini dalam membaca dan

(17)

memahami teks dari naskah (Darusuprapta, 1989:27). Kemudian untuk

mempermudah pembacaan suntingan teks naskah SPT maka disertai pedoman atau

tanda-tanda yang sesuai kaidah tatabahasa, sebagai berikut:

a. Huruf kapital untuk penulisan nama tokoh, nama panggilan, nama

tempat, istilah-istilah, nama bulan, dan nama hari.

b. Pemakaian tanda hubung untuk penulisan kata ulang (reduplikasi),

misalnya: rupa-rupa, idham-idhaman, rontang-ranting.

c. Pembuatan tabel untuk mempermudah pembacaan. Tabel sisi kiri untuk

tembang dan sisi kanan terjemahannya.

d. Pemisahan pupuh dengan menggunakan Romawi I,II,III dan seterusnya

untuk menunjukkan pergantian pupuh.

Contoh: Pupuh IDhandhanggula

e. Penggunaan angka Arab 1,2,3 dan seterusnya untuk menunjukkan bait

tembang.

f. Penggunaan angka Arab ukuran kecil 1,2,3 dan seterusnya di atas kata atau kelompok kata dalam suntingan teks menunjukkan kritik teks pada catatan kaki.

g. Penggunaan angka Arab dalam kurung [1],[2],[3] dan seterusnya untuk

menunjukkan pergantian halaman.

h. Tanda /e/ digunakan untuk menandai vokal e yang dibaca [e] seperti

pengucapan kata ‘sate’.

i. Tanda /ê/ digunakan untuk menandai vokal e yang dibaca [ə] seperti

(18)

j. Tanda /è/ digunakan untuk menandai vokal e yang dibaca [E] seperti pengucapan kata ‘bèbèk’.

Berikut sajian suntingan teks, aparat kritik serta terjemahan naskah SPT setelah mengalami berbagai tahapan penelitian.

Pupuh I Dhandhanggula

1. Kudhandhangan: nglipur tyas kang tis-tis/ mrih jatmika linimput angarang/

sinêrat ingkang katêmbèn/ katon lagi manthungul/

patang warsi ingkang kawingking/ katon mratah lyan praja/

cêtha yèn dinulu/ tan kalingan suwasana/

suprandene kèh janma tan bisa ngèksi/

wit pêtêng jroning driya//

Kuiginkan : menghibur hati yang sedih/ agar menjadi sebuah karangan yang baik/ yang baru saja ditulis/

terlihat baru muncul/ empat tahun yang lalu/

terlihat sampai ke negara lain/ jelas jika dilihat/

tidak disembunyikan keadaannya/

akan tetapi banyak manusia yang tidak bisa melihat/

karena gelap hatinya// 2. Milanira: kapêksa sun nganggit/

wruh pra janma sami nambut karya/ tan ngèlingi ing mangsane/

gandhèng lan paprangan gung/ dènya nglantih jurit prang sabil/

tan kêndhat sêmangatan/ siyang lawan dalu/ tan pilih priya wanita/

rupa-rupa dènira ambage kardi/ mrih golong jroning driya//

Maka : terpaksa saya mengarang/ melihat para manusia yang bekerja/ tidak mengingat pada masanya/ bersatu dan peperangan besar/

olehnya melatih prajurit perang sabil (perang kemerdekaan)/

tidak berhenti semangatnya/ siang dan malam/

tidak pilih pria wanita/

banyak pembagian tugas yang dilakukan/ agar bersatu dalam hati//

3. Orêg janma maratah jro nagri / Kalang kabut manusia berhamburan di dalam negara/

(19)

ing padesan tan beda lan praja / têkan pucuk gunung kabèh / wus sami golong kayun / dènya mimpin saya ngukuhi / kadi wus tan ana liya / kang kaciptèng kalbu / dènya mrih idham-idhaman / kang ginotèk kamardikan sabênira/ raharja jroning praja //

di pedesaan tidak beda juga di keraton/ sampai ke puncak gunung semua/ sudah bersatu keinginan/

olehnya memimpin semakin kuat/ seperti sudah tidak ada lain/ yang diinginkan hati/ yang menjadi cita-cita/

kemerdekaan yang dibicarakan oleh setiap orang/ selamat dalam negara//

4. Kongsi ngetog karosan tan wigih / kringêt atus tan rinasèng driya / tan olih kasusahane /

wit kabèh janma idhup /

kadunungan apês kang tan wrin / yèn kapêngkok ing bêbaya / tan wurung amêsgul /

mula jroning nambut karya /

aywa ninggal duga prayoga kang titis / mrih luputibèng papa //

Sampai mengeluarkan kekuatan tanpa ragu/ keringat kering tidak dirasakan/

tidak menjadi kesusahannya/ karena semua orang hidup/

mendapat rugi tidak ada yang tahu/ bila menemui bahaya/

sudah pasti susah/ maka di dalam bekerja/

jangan meninggalkan perkiraan yang tepat/ agar lepas dari celaka//

5. Prayitnaning jroning andon jurit / aywa kongsi kalindhih ing driya / sawijina ing ciptane/

dènira arsa gayuh/

kongsi kurban lara lan pati/ wus mratah sabên janma/ tan lyan kang ing gayuh/ ka [2] mardikan têmbe wuntak/

angrungkêbi tanah tumpah rah kang suci/ binantu jurit dibya//

Hati-hati dalam berperang/ jangan sampai kalah oleh hati/ satukan di pikirannya/

jika ingin menggapainya/

sampai berkorban sakit dan mati/ sudah umumnya setiap manusia/ tidak lain yang dicapai/

kemerdekaan baru saja meluap/

melingkupi tanah tumpah darah yang suci/ dibantu prajurit sakti//

6. Talitinên: jaman anyar iki/ wis sêdhênge sira babar cipta/ amrih lêstari ing têmbe/

Perhatikan : jaman baru ini/ sudah seharusnya kamu berpikir/ agar lestari nantinya/

(20)

wit wêktune wus nyungul/1 paprangan gung kabèh nêgari/ pêpati tan wilangan/

sami rêbut unggul/

mung nênuwun karsaning Hyang/ kang paprangan aywa nganti angêlêbi/ mring praja Surakarta//

karena waktunya sudah muncul/ peperangan besar semua negara/ kematian tak terhitung/

saling berêbut kemenangan/ hanya memohon kepada Tuhan/

agar peperangan jangan sampai membanjiri/ di kota Surakarta//

7. Kadiparan solahirèng janmi /

lamun nganti katrajang prang dunya/ tan wurung rarêmpon gêdhe/

nêdhêng iki kang wêktu/

durung kongsi kambah ing jurit/ rasaning tyas wus prang yuda/ malah kèh wong lampus/ katrajang prang sabillolah2/

wrêdinira tan bisa nyabili pikir/ kongsi têkèng pralaya//

Bagaimana tingkahnya manusia/ apabila sampai diserang perang dunia/ sudah pasti banyak korban/

sekarang ini waktunya/

belum sampai terkena perang/ rasanya hati sudah perang besar/ lebih-lebih banyak manusia yang mati/

diserang perang sabillilah (perang di jalan Tuhan)/

artinya tidak bisa mencegah pikir/ sampai tiba kematian//

8. Pra priyagung: tumêkèng priyalit / saya kêncêng dènya nambut karya/ mrih sampurna ing pangrèhe/ karya bantu prang agung/ aywa kongsi nguciwani/ wit kang sami don yuda/ tan bisa angurus/

kang kacipta mung ngayuda/

nadyan papa apa manèh têkèng pati/ gumantung karsaning Hyang//

Para bangsawan : sampai para rakyat/ semakin keras dalam bekerja/

agar sempurna memerintahnya/ bekerja membantu perang besar/ jangan sampai mengecewakan/ karena yang saling berperang/ tidak bisa mengurus/

yang dilakukan hanya berperang/

walaupun sengsara apalagi sampai mati/ tergantung kehendak Tuhan//

9. Wus gumêlar sejagad wêradin / kang paprangan datan pilih janma/

Sudah digelar di seluruh dunia/ peperangan tidak pilih manusia/

1 Tertulis “awit wêktune wus nyungul” Adisi suku tembang (8u, Dhandhanggula seharusnya 7u) 2 Sabilolah merupakan pinjaman Bahasa Arab yang dikenal dengan istilah Sabilillah

(21)

prajurit lan pandhudhuk3e/

gêng alit anèm sêpuh/ nora beda dènya ngajurit/ wingking kêlawan ngarsa/ wus golong ing kayun/ kayungyun arsa mardika/

kongsi lupa sanak kadang tan prêduli/ ngudi marga mrih harja//

prajurit dan penduduknya/ besar kecil muda tua/

tidak beda olehnya berperang/ belakang dan depan/

sudah satu harapan/ bersatu ingin merdeka/

sampai lupa anak saudara tidak perduli/ mengupayakan jalan agar selamat// 10. Yakinira jaman anyar iki /

kabèh janma wus krasa ing driya/ kandhas ing sanobarine/

tan pilih alit agung/ tuwa anom jalu lan èstri/ sêngkut anambut karya/ tan olih pakewuh/

kèh janma datan kuwagang/ 4

nanggulangi prang sabiling lair batin/ rina wêngi abranta// [3]

Yakinilah jaman baru ini/

semua orang sudah merasa di hati/ mendasar di dalam hatinya/ tidak pilih kecil besar/

tua muda laki-laki dan perempuan/ sungguh-sungguh dalam bekerja/ tidak boleh sungkan/

banyak manusia yang tidak kuat/ menanggulangi perang sabil lahir batin/ siang malam susah//

11. Brantanira têmah jungkir walik/ kelambrangan tan kamot ing driya/ têmah gunjing rusak kabèh/

lêbur jroning jagad gung/ bawur kuwur tan bisa ngèksi/ apa kang katon ngarsa/ kinêmah ginugut/

tan wrin sanak tuwin kadang/

luwih-luwih lawan sawènèhing janmi/ cakot-cinakot gantya//

Keluhannya sampai jungkir balik/ meronta-ronta tidak muat di hati/ hingga bergoyah rusak semua/ hancur lêbur dalam dunia/

sampai bingung tidak bisa melihat/ apa yang ada di depan/

dikunyah digigit/

tidak ingat anak dan juga saudara/ terlebih dengan sesama manusia/ saling gigit-menggigit//

12. Ilang sakèh kamanungsannèki5/ Hilang sifat kemanusiaannya/

3 Pandhudhuk merupakan kosakata Bahasa Indonesia

4 Tertulis “Kèh janma tan kuwagang” Lacuna suku tembang (7a, Dhandhanggula seharusnya 8a) 5 Tertulis “kamangnungsannèki” Adisi suku kata

(22)

nanging janma kang nglêluri kuna/ ngêntêbi ing satriyane/

prasêtyanya pinikut/

nging dilalah karsaning Widhi/ karya obah ing janma/

tan mokal dinulu/

kabèh musthi kalampahan/

awit janma agung kalawan kang alit/ tan beda panduming Hyang//

tetapi manusia yg mempertahankan kuna/ mempertahankan sikap satrianya/

janjinya dipegang/

tetapi sudah menjadi kèhendak Tuhan/ usaha yang dilakukan manusia/

tidak mungkin dilihat/ sudah pasti terlalui/

karena manusia besar dan kecil/ tidak beda bagi Tuhan//

13. Têkèng janma kang tinitah luwih/ luwih sangking sêsamining gêsang/ wibawa lan pangwasane/

dadi tunggul praja gung/ dalah senapati kang sêkti/ lêbur sajroning aprang/ wit tan kiyat ngangkut/ angkutan sajroning praja/

ing padesan tumêkaning pucuk wukir/ kèh janma kapêrwasa//

Sampai manusia yang ditakdirkan lebih/ lebih daripada orang lain/

wibawa dan kekuasaanya/ jadi tonggak negara besar/ serta senapati yang sakti/ melebur ke dalam perang/ karena tidak kuat mengangkat/ angkutan di dalam kota/

di pedesaan sampai ke puncak gunung/ banyak manusia dianiaya//

14. Arsa ngobah pangwasa wus ênting/ angur mati kalamun tan bisa/ nata kaharjan prajane/

mula jroning prang agung/6

kèh praluhur tumêkèng lalis/ wit putêg ing tyasira/

têlas ing pangayun/

sumrambah têkèng kawula/

rontang-ranting dènira ngupaya bukti/ kèh janma nandhang papa//

Usaha penguasa sudah habis/ lebih baik mati namun tidak bisa/ menjaga ketentraman negaranya/ maka di dalam perang besar/ banyak para leluhur yang gugur/ karena buntu dalam hatinya/ habis pengharapannya/ menyebar sampai ke rakyat/

terlunta-lunta olehnya mencari makan/ banyak manusia menyandang sengsara// 15. Papanira wus êntèk kang budi/ Tempatnya sudah habis yang baik/

6 Tertulis “Mula sajroning prang agung” Adisi jumlah suku tembang (8u, Dhandhanggula

(23)

kang kabudi tan bisa kapanggya/ ngalor ngidul sêpi kabèh/

ngêrambyang turut lurung/ karya ngêrês janma kang ngèksi/ kang wrin tan mêntala/

têmah rigol kang luh/ puluh-puluh kadiparan/

wit manungsa mung sakdarma anglakoni/ bêja lawan cilaka//

yang diupayakan tidak bisa ketemu/ ke utara ke selatan sepi semua/ mengembara sepanjang jalan/ membuat sedih orang yang melihat/ yang melihat tidak tega/

sehingga keluar air mata/

berpuluh-puluh sebagaimana mestinya/ karena manusia hanya bisa menjalankan/ beruntung dan celaka//

16. Dèn kumpulke sakèh pêkir miskin/ tan wilangan tuwa lawan mudha/ lanang wadon datan kècèr/ sih akèh ingkang kantun/ sabên [4] ari kèh kang prapti/ sangking liyan padesan/ dalah sangking gunung/ wit kasrakat uripira/

datan omah pêkarangan tuwin têgil/ têmah sami ngumbara//

Dikumpulkan banyak fakir miskin/ tidak terhitung tua dan muda/

laki-laki perempuan tidak ketinggalan/ masih banyak yang tertinggal/

setiap hari banyak yang datang/ dari lain pedesaan/

juga dari gunung/

karena kekurangan hidupnya /

tidak punya rumah pekarangan dan kebun/ akhirnya mengembara//

17. Kongsi gêring badan kari lunglit/ tapih klasa sruwal bago tan wêtah/ wirang isin tan tinolèh/

kosobali kang punjul/ kadi lumban anèng jaladri/ sêngkuran dènya mrih donya/ wit barêngi wêktu/

laris sakèh kang dinagang/

kongsi rêga tikêl ping pitu : tan bali/ tikêl tanpa watêsan//

Sampai kurus badan tinggal kulit/

bawahan tikar celana dari goni tidak utuh/ malu tidak dihiraukan/

kebalikannya dari orangyang mampu/

seperti berenang di lautan/ terlena oleh harta/

karena bersamaan waktu ini/ laris sekali yang dijual/

sampai harga lipat tujuh kali : tak kembali/ berlipat tak terbatas//

18. Nadyan pangan rêgan saya mêncit/ samubarang butuhing manungsa/ tanpa watêsan mundhake/

Walaupun harga pangan semakin tinggi/ hal-hal kebutuhan manusia/

(24)

mung nari ingkang tuku/ arêp ora : tan kêna ngawis/ mangkono klêbu jaman/ prang sabil kang mucuk/

kang mundhak : dènurug tambah/ ingkang lêgok dèndhudhuki kongsi ênting/ kaprah uriping janma//

hanya menawarkan kepada pembeli/ mau tidak mau: tidak bisa menawar/ seperti itu termasuk jaman/

perang sabil yang memuncak/ yang naik : ditutup tambah/ yang cekung digali sampai habis/

sudah menjadi umumnya hidup manusia// 19. Karsanira kang para pamimpin/

anggènira ngudi karaharjan/ supaya padha uripe/

tinata amrih rukun/

bebarêngan anambut kardi/ lan sakèh ingkang bangsa/ dènatur para gung/

wis dilalah karsa Allah/

wus watake manungsa angumbar kapti/ anggulung jagad raya//

Kemauannya para pemimpin/

upayanya dalam menjaga ketentraman/ supaya bisa saling hidup/

tertata agar rukun/ bersama-sama bekerja/ dan banyak juga bangsa/ diatur para pemimpin/

sudah menjadi kehendak Allah/

sudah sifatnya manusia mengumbar keinginan/ menguasai dunia//

20. Yèn kinumpul kang amrih basuki/ jola-jola lir mina jinala/

ting garunêng pagrundêle/ kosok bali dènblithuk/

manthuk-manthuk lir cidhuk warih/ mangkono lamun janma/

kèh kleru panuju/

sumingkir mrih karaharjan/

ngalor ngidul tan wurung manggih bilahi/

lagi krasa ing driya//

Apabila berkumpul yang ingin selamat/ terkejut seperti ikan di jala/

saling bersautan keluhannya/ sebaliknya dibohongi/

manggut-manggut seperti gayung air/ seperti itulah bila manusia/

banyak salah tujuan/ menyingkir agar selamat/

ke utara ke selatan sudah pasti menemui bahaya/

baru terasa di hati// 21. Yèn rinasa jroning jaman iki/

pra pamimpin dènira mrih harja/ kongsi mêrêsing budine/

tan ngetang siyang dalu/

Apabila dirasa jaman sekarang ini/

para pemimpin dalam menjaga ketentraman/ sampai memeras pikirannya/

(25)

talusuran dènya nylidhiki7/

kadiparan marganya/ bisane rahayu/

priyagung [5] tuwin pangarsa/ anêtêpi prentah dhawuhirèng nagri/ mrih kumpul dadi juga//

mencari dengan teliti dalam menyelidiki/ sebagaimana jalannya/

agar bisa selamat/

bangsawan dan penguasa/ memenuhi perintah negara/

agar berkumpul jadi satu// 22. Kadi-kadi wus kèh janma myarsi/

wêcanira kang para pujangga/ tumrap kahanane têmbe/ wus têkèng mangsanipun/ mula aywa kongsi kalindhih/ datan amilih janma/

kabèh iku makluk/

bangsawan kang wus prasêtya/

angur sirna katimbang singkêl ing galih/ têtêp satriya tama//

Seperti yang banyak manusia saksikan/ katanya para pujangga/

terhadap keadaanya nanti/ sudah sampai waktunya/ maka jangan sampai kalah/ tidak memilih manusia/ semua itu makhluk/

bangsawan yang sudah berjanji/ lebih baik mati daripada susah di hati/ tetap menjadi satria utama//

23. Jaman anyar : ngancik patang warsi/ kèh bangsawan kang sami pralaya/ dalah kang mêngku kratone/

praja lor lawan kidul/8

karya tistis kaliwula alit/ dènya ngabdi wus lama/ tinilar akundur/

sanadyan ginanti nata/

mêksa branta kadi kecalan mêmanik/ rong praja padha uga//

Jaman baru : menginjak empat tahun/ banyak bangsawan yang meninggal/ juga yang memimpin keratonnya/

keraton utara (Mangkunegaran) dan selatan (Kasunanan Surakarta)/

membuat sedih para rakyat/ olehnya mengabdi sudah lama/ ditinggalkan pulang (meninggal)/ walaupun diganti raja/

memaksa hati bagai kehilangan permata/ dua keraton sama juga//

24. Rupa sandhang tan bisa dhuwiti/ têmah wuda kongsi jarik klasa/ klasa bae klasa suwèk/

Pakaian tak bisa membeli/

sehingga telanjang sampai memakai tikar/ tikar saja tikar sobek/

7 Nyidhiki merupakan kosakata bahasa Indonesia

(26)

wit awis rêginipun/

godhong kayu kang sangking desi9/

ngêndi-êndi tan beda/ pakaryan tan urup/

nandyan tinêdha priyangga/ apa manèh karya nêdha anak rabi/ sapisan tan warata//

karena mahal harganya/ daun kayu yang dari desa/ dimana-mana tidak beda/ pekerjaan tidak hidup/ walaupun dimakan sendiri/ apa lagi untuk dimakan anak istri/ sama sekali tidak cukup//

25. Yakinira janma kèh kang tis-tis/ bingung sami ngudi ing pakaryan/ nging pakaryan lèrèn kabèh/ kahanan kabèh kantu/

samubarang butuhing janmi/ susah dènya ngupaya/ pangan saya nglangut/ mula sukaring pakaryan/

kongsi kurban lumêbu Remusha10 nagri/

lunga mring [6] liyan praja//

Yakinilah manusia banyak yang sedih/ bingung dalam mencari pekerjaan/ sebab pekerjaan berhenti semua/ keadaan semua lemah/

semua barang kebutuhan manusia/ susah olehnya mengusahakan/ pangan semakin tinggi/

seperti itu susahnya pekerjaan/

sampai berkorban masuk Romusha negara/ pergi ke kota lain//

26. Ninggal desa : anak tuwin rabi/ apa manèh têgal miwah sawah/ malah barang ngomah kabèh/ tininggal lunga mamprung/ wusanane têkèng lyan nagri/ dènira nambut karya/

tinêdha tan cukup/

wit sangking awising têdha/

kèh wong ngêlih wusana minggat ing wêngi/

sangsara turut marga//

Meninggalkan desa : anak dan istri/ apa lagi kebun dan sawah/

terlebih semua benda rumah/ ditinggalkan pergi lantas/ akhirnya sampai negara lain/ olehnya bekerja/

dimakan tidak cukup/

karena mahalnya harga pangan/

banyak manusia kelaparan akhirnya pergi di waktu malam hari/

sengsara di jalanan// 27. Pangrasane sih ngeman mring ragi/

tan wuninga lamun tibèng papa/

Perasaanya kasihan melihat harga/ tidak tahu jika jatuh dalam sengsara/

9 menyesuaikan konvensi tembang, seharusnya “desa”

(27)

aluwung sira ywa mêngeng/ lumêbu prajurit nung/ tan kuciwa asmaning janmi/ wit jroning jaman anyar/ janma kang misuwur/ tan njrih mati jroning yuda/

kang kinudang ing siyang kêlawan ratri/ mati nglabuhi praja//

lebih baik kamu jangan melarang/ masuk menjadi prajurit handal/ tidak mengecewakan namanya/ karena dalam jaman baru/ manusia yang terkenal/

tidak takut mati dalam perang/ yang digadang di siang dan malam/ mati membela negara//

28. Byar rahina radhio wus muni/ pidhatone kang para pangarsa/ lan para priyagung kabèh/ tan pêgat siyang dalu/ dènya nyêbar sakèh pawarti/ supadi sakèh janma/

wruh kartine luhur/ kaluhuraning praja/

lan prajurit kang don yuda tan njrih pati/ bela amrih mardika//

Byar siang hari radio sudah berbunyi/ pidhatonya para penguasa/

dan para bangsawan semua/ tidak putus siang malam/

olehnya menyebarkan banyak berita/ supaya banyak manusia/

tahu pekertinya luhur/ keluhuranya negara/

dan prajurit yang perang tidak takut mati/ membela agar merdeka//

29. Wus kèh sirna kang samya don jurit/ kang kawuri kang bantu ing yuda/ yèn durung luluh mungsuhe/ iku kang têtêp luhur/

prasêtyane jurit utami/ utama : sirna jroning prang/ luhur asmanipun/

nadyan mungsuh yutan wendran/

dora wêgah yèn kang sêdya durung panggih/

lêbur barêng ngayuda//

Sudah banyak meninggal yang berperang/ yang di belakang membatu perang/ bila belum kalah musuhnya/ itu yang tetap luhur/

janjinya prajurit utama/ utama : mati di dalam perang/ luhur namanya/

walaupun musuh jutaan/

tidak mau jika yang diinginkan belum didapat/

hancur bersama dalam perang// 30. Tan prabeda sêdyaning pra janmi/

kang nèng wingking garising paprangan/ pêmudha pêmudhi kabèh/

Tidak berbeda keinginannya para manusia/ yang di belakang garis peperangan/

(28)

saiyêg dènya bantu/

lan pandhudhuk jalu lan èstri/ tan awrat têkèng palastra/ lêga lileng kalbu/

janma kang akèh donyanya/

dènya bantu tan bandha kêlawan ragi/ bêrjuwang wêngi rina//

bersatu olehnya membantu/

dan penduduk laki-laki dan perempuan/ tidak takut sampai mati/

lega rela di hati/

manusia yang banyak hartanya/

olehnya membantu tidak harta maupun harga/ berjuang malam dan siang//

31. Sangking gêngnya dènya nunggil kapti/

[7]wus kacihnan kumpul ingkang janma/ duk nglantih osiping dwi11ne/

nêdhêng kalaning dalu/

rêmêng-rêmêng wulan dadari/ ewon janma kang neba/ pinêtha prang pupuh/

gurilya kang ngrabasèng prang/ magunturan surakira kapiyarsi/ kiwul dènya ngayuda//

Karena besar keinginannya untuk bersatu/ sudah semestinya manusia berkumpul/ ketika melatih prajurit osiping/

sampai waktu malam hari/ remang-remang bulan purnama/ ribuan orang yang berkumpul/ pertanda perang besar/

gerilya yang merusak perang/ berguguran seruannya kedengaran/ menanggulangi perang//

32. Dènjênêngi lan kang mêngku nagri/

kalihira sami sukèng driya/ amresani kawulane/

dènya nglantih prang pupuh/ de : saiyêg saeka-kapti/ pratandha kèh janma/ wus srah pati idhup/ mring praja dènyarsa bela/

ngrabasèng prang kalamun nèng mungsuh prapti/

tan nêndya ngundurana//

Yang diangkat (raja) dan yang memangku negara (presiden)/

keduanya bersenang hati/ menyaksikan rakyatnya/

olehnya melatih perang (latihan perang)/ yaitu : bersama bersatu/

pertanda banyak manusia/ sudah berserah mati hidup/ kepada negara mau membela/

menumpas perang apabila musuh datang/

tidak berniat mundur// 33. Karya giris janma kang miyarsi/

ing panyipta aboting ngayuda/

Membuat takut orang yang melihat/ yang dipikirkan beratnya perang/

(29)

katêmbèn wruh latihane/ iba yêkti prang pupuh/

ing praja gung kang nêmbe jurit/ sajroning patang warsi/

malah saya mucuk/

mula priyagung : duk pirsa/ solahira janma kang linantih jurit/ tan siwah ing ngayuda//

baru tahu latihannya/

sangat nyata latihan perangnya/ di negara besar yang sedang perang/ selama 4 (empat) tahun/

semakin memuncak/

maka bangsawan : ketika melihat/ gerakan manusia yang berlatih perang/ tidak beda di peperangan//

34. Priyagung kang : sami anjênêngi/ duk ing dalu wus sami bibaran/ gya kundur mring kêdhatone/ kadi puh woting kalbu/ mratanani tan antara : ri/ pawarta wus sumêbar/

priyagung wus surud/ karya eram kang miyarsa/

lagi antuk pirang dina : sih jênêngi/ warti wus tilar praja//

Bangsawan yang : sudah dilantik/ pada waktu malam sudah pada bubar/ segera pulang ke keratonnya/

seperti diperas dalam hati/

meratalah tidak selang beberapa : hari/ berita sudah tersebar/

bangsawan sudah menyerah/ membuat heran yang merlihat/

baru dapat beberapa hari : dilantiknya/ kabar sudah meninggalkan negara// 35. Karya tis-tis kaliwula alit/

dèrèng lami dènira ngawula/ wit dènya gumanti rajèng/ dèrèng antuk sawindu/

anggêntèni ingkang ramaji/12 mila kèh kang sungkawa/ gya sami pinupus/

ywa kongsi kadawa-dawa/ puluh-puluh bêjane kawula alit/ wus takdiring Hyang Sukma//

Membuat sedih para rakyat / belum lama olehnya mengabdi/ karena olehnya berganti raja/

belum sampai sewindu/ menggantikan sang raja/ maka banyak yang berduka/ sehingga diterima dengan ikhlas/ jangan sampai berkepanjangan/

berpuluh-puluh keberuntungan para rakyat/ sudah menjadi takdir Tuhan//

36. Mung nênuwun ing ngarsaning Widhi/ mugi-mugi kahananing yuda/

Hanya memohon kepada Tuhan/ semoga keadaan perangnya/

12 Tertulis “Anggènteni kang ramaji” Lacuna jumlah suku tembang (8i, Dhandhanggula

(30)

ingkang sirêp sakabèhe/ prajurit kang don pupuh/

unggu-[8]-ling prang ywa nguciwani/ nagri Indonesia/

kondhang asmanipun/ pulih duk jamaning kuna/

kang don jurit samya bali kèh basuki/ têntu kèh mijil waspa//

dapat berakhir semuanya/ prajurit yang berlatih perang/

bisa menang perang jangan mengecewakan/ negari Indonesia/

terkenal namanya/

kembali seperti jaman dulu/

yang perang bisa kembali dengan selamat/ tentu banyak mengeluarkan air mata//

Pupuh II Mijil

1. Dèrèng dangu dènira kang nganggit/ nuli wontên wartos/

kang lyan praja kang nêmpuh prang gêdhe/

kèh pêpati lir babatan Pacing/

wit katiban mimis/ kang nama bom atum//

Belum lama olehnya mengarang/ lalu ada berita/

di negara lain yang menempuh perang besar/

banyak kematian seperti mengkudu yang ditebas/

karena terkena tembakan/ yang bernama bom atum// 2. Pablêdhosing : mimis angêbêki/

sakutha lir jêmblong/

nadyan tikus mati sakcindhile/ apa manèh kewan gung lan janmi/

lir sinapon rêsik/13 kabèh padha lampus//

Meletusnya : tembakan memenuhi/ seluruh kota seperti tenggelam/

kalaupun tikus mati beserta anak-anaknya/ apa lagi hewan besar dan manusia/

seperti tersapu bersih/ semuanya mati// 3. Wlasing galih ngrungu ingkang lalis/

sêpuh tuwin anom/

gêdhe cilik lan raja kayane/ datan ana kang kari sawiji/ kandhêg angajurit/

gya sami amundur//

Prihatin hati mendengar yang meninggal/ tua dan muda/

besar kecil dan hewannya (kuda,sapi,kerbau)/ tidak ada yang tertinggal satu pun/

berhenti peperangan/ segera menyerah//

(31)

4. Pangagênging wadya ing jaladri/ kalanirèng anon/

jumêgur ingkang mimis plêthèke/ cêtha lamun kèh janma kang lalis/ ngunadikèng galih/

tan wurung alêbur//

Pembesarnya prajurit di lautan/ pada saat melihat/

bergelegar jatuhnya tembakan/

jelas apabila banyak orang yang mati/ bergumam dalam hati/

sudah pasti mati// 5. Tur wuninga kang jumênèng aji/

ing nagri Tokiyo/

kawontênan dènira prang rame/ yèn linantur dènya andon jurit/ mung karya pêpati/

tan wontên kinukup//

Juga terlihat yang memimpin/ di negara Tokyo/

terdapat banyak perang/

apabila terlalu lama terjadi perang/ hanya menyebabkan kematian/ tidak memperoleh apa-apa// 6. Wus dilalah karsaning Hyang Widhi/

sang nata Tokiyo/

duk amirêng aturing mantrine/ saknalika trênyuh ing panggalih/ gung wlas mring pra janma/ sakpraja wus lampus//

Sudah menjadi kehendak Tuhan/ yang memerintah Tokyo/

saat mendengarkan laporan menterinya/ seketika bersedih dalam hati/

besar prihatin kepada para manusia/ se-kota sudah mati//

7. Gya ngandika mring prêdana mantri/ pamimpin prang pupuh/

kang supaya lèrèn ing perange/ sakèh wadya kinèn sami bali/ mring nagri pribadi/

lan kinèn sung wêruh//

Segera berkata kepada perdana menteri/ pemimpin perang besar/

agar berhenti perangnya/

banyak prajurit diperintahkan kembali/ ke negara masing-masing/

dan diperintahkan untuk memberitahu// 8. Mring pamimpin mungsuh kang don jurit/

kanthi layang waton/

aprajanji yèn lèrèn perange/

sinêksè-[9]-nan lan pra panggêdhèning/ pirang-pirang nêgri/

kang sami dènutus//

Kepada pemimpin musuh yang berperang/ melalui surat keterangan/

berjanji jika berhenti perangnya/ disaksikan oleh para pembesarnya/ dari banyak negara/

yang telah diutus//

(32)

mring nagri Tokiyo14/

lan dèniring prajurit lan gêdhe/ kang miranti nanggulangi jurit/ kèndêl têngah jladri/

tan minggir alabuh//

ke kota Tokyo/

dan diiringi prajurit dan pemimpin/ yang siap menanggulangi perang/ berhenti di tengah laut/

tidak menepi berlabuh// 10. Têbihira taksih sadasa mil/

dènya sami ngêntos/

kêmpalira kang para prang gêdhe/ kang kinarya sami anêksèni/ kontaping pawarti/

pêrtamuan agung//

Jaraknya masih 10 mil/ olehnya saling menunggu/

berkumpulnya yang akan berperang besar/ untuk saling menyaksikan/

munculnya berita/ pertemuan agung// 11. Dènirarsa ngèstu dhêdhawuhing/

nata ing Tokiyo/

dènya paring ing kamardikane/ pandhudhuk ing Indonesiai15/

ginêgêm prentahing/

bangsa Landi kang wus//16

Keinginannya melakukan pertemuan/ raja di Tokyo/

yang akan memberi kemerdekaan/ (kepada) penduduk di Indonesia/ digenggam perintahnya/

seperti bangsa Belanda yang sudah-sudah// 12. Dènya labuh dènya nglawan jurit/

tan ngetung kang layon/

ewon gêdhèn mati ting bewèwèr/ dènya pêrang jroning kawan warsi/ sawêg kèndêl jurit/

labêt wlasing kalbu//

Olehnya membela olehnya berperang/ tidak terhitung yang mati/

ribuan besar mati berceceran/ olehnya perang dalam empat tahun/ sedang berhenti perang/

oleh karena prihatin hatinya// 13. Duk anampi aturing pamimpin17/

rusaking rarêmpon/

wus kanyatan rusak sakuthane/ kamiwlasên sajroning panggalih/ mila kinèn nyapih/

dènira prang pupuh//

Saat menerima perintah pemimpin/ rusak banyaknya korban/

sudah nyata rusak se-kotanya/ semakin prihatin di dalam hati/ maka disuruh melerai/

olehnya perang besar//

14 Tokyo

15 Meneyesuaikan konvensi tembang, maksudnya “Indonesia”

16 Tertulis “Bongsa Landi kang kang wus” Adisi jumlah suku tembang (7u, Mijil seharusnya 6u) 17 Tertulis “Pamampin” Hipercorect

(33)

14. Datan liya prasêtya ing galih/ dènya paring dhawoh18/

amutusi kangge mardikane/ dènsêksèni para panggêdhèning/ perang sanès nagri/

kang amrih rahayu//

Tidak lain janji dalam hati/ olehnya memberi perintah/ memutuskan untuk merdekanya/ disaksikan para pembesarnya/ perang negara lain/

agar selamat// 15. Pra pandhudhuk ing Asia wradin/

duk mirêng pawartos/

kèndêling prang lan karusakane/ gung gembira19 sithik ngêmu tis-tis/

wartosing rusaking/ nêgri kang wus lêbur//

Para penduduk di Asia semua/ saat mengetahui berita/

berhentinya perang dan kerusakannya/ besar gembira sedikit bersedih/

berita kerusakannya/ negara yang sudah hancur// 16. Anjalari kang katiban mimis/

rêsik lir sinapon/

wit mawa gas têmah mati kabèh/

nging tan ngapa : wit datan ngrawuhi/

mung kaciptèng galih/ wus lêbur prang pupuh//

Menyebabkan yang kejatuhan tembakan/ bersih seperti disapu/

karena kandungan gas menyebabkan mati semua/

tetapi tidak mengapa : karena tidak mendatangi/

hanya terpikirkan hati/ sudah selesai perang besar// 17. Horêg janma kabèh wus miyarsi/

kêbak kang pawartos/

mardikane ra-[10]-yat kang dèname/ rina wêngi kang tansah mêmuji/ wus lêbur don jurit/

tan ngandhut rêridhu//

Terguncang semua manusia yang mengetahui/ penuh dengan berita/

merdekanya rakyat yang diinginkan/ siang malam selalu memohon/ sudah selesai perangnya/ tidak membawa godaan// 18. Kadi kang wus siyang lawan ratri/

mar : katêkan mungsoh20/

kèh parentah kinèn nyêpakake/

Seperti biasanya siang dan malam/ khawatir : kedatangan musuh/

banyak perintah disuruh menyiapkan/

18 Menyesuaikan konvensi tembang, maksudnya “dhawuh” 19 Gêmbira merupakan kosakata bahasa Indonesia

(34)

kang piranti karya nanggulangi/ yèn mungsuhnya prapti/

nibani gas murub//

peralatan untuk menanggulangi/ jika musuhnya datang/

menjatuhkan gas berapi// 19. Karya nyirêp dahana kang bêsmi/

ywa mrèntèk angobong/ lan jugangan karya dhêlikane/ aja nganti kêna blêdhosaning/ mimis kang dèn isi/

piranti ambunuh//

Mematikan api yang membakar/ jangan sampai merambat membakar/ dan parit sebagai persembunyiannya/ jangan sampai terkena letusannya/ tembakan yang diisi/

bahan yang membunuh// 20. Marmanira wêktu dina iki/

nyipta wus kêlakon/

mring pra janma idham-idhamane/ pama : udun wus miwah kang wanci/

tansah antuk jampi/21 èstri tuwin kakung//

Sehingga waktu hari ini/ keinginan sudah tercapai/

kepada para manusia cita-citanya/

seumpama : penyakit kulit (wudun) sudah waktunya meletus/

selalu mendapat obat/ perempuan dan laki-laki// 21. Gung gêmbira ing sêpanjang22margi/

kang tansah mong-omong/

mung mardika kang dèncritakake/ lan pungkasan kang sami don jurit/ kèh sami miyarsi/

nèng radhiyo umum//

Besar gembira di sepanjang jalan/ yang selalu dibicarakan/

hanya merdeka yang diceritakan/ dan berakhirnya peperangan/ banyak yang mendengarkan/ di radio umum//

22. Gêgrombolan anèng pinggir margi/ sawènèh mêlancong/

apa manèh kalanirèng sore/

têkèng ratri kèh janma nèng margi/ wit dilah dalègtris/

kathah sami murub//

Bergerombol di pinggir jalan/ sebagian jalan-jalan/

apalagi di waktu sore/

sampai malam banyak orang di jalan/ karena lampu listrik/

banyak yang menyala// 23. Tan kacrita gunging tyas pra janmi/

kadi wus tan pêdhot/

Tidak terceritakan besarnya hati manusia/ seperti sudah tidak putus/

21 Tertulis “Lan antuk jampi” Lacuna jumlah suku kata (5i, Mijil seharusnya 6i) 22 Sêpanjang merupakan Kosakata bahasa Indonesia

(35)

isih akèh janma prihatine/ labêtira kêntèkan kang bukti/ rusaking pambudi/

wit dènira nganggur//

masih banyak keprihatinannya/ oleh karena kèhabisan pangan/ rusaknya budi pekerti/

karena olehnya menganggur// 24. Patang warsi datan nambut kardi/

labêtirèng jrompo/

kang sih rosa jubêl pintirane/ kang sawènèh karya ngumbar kapti/ lumuh ing pakardi/

gêsangnya wus brundhul//

Empat tahun tidak bisa bekerja/ karena dipenjara/

yang masih kuat ikatannya/

yang lainnya menebarkan keinginan/ malas dalam bekerja/

hidupnya sudah gersang// 25. Nandhang papa rina lawan wêngi/

têmah angêloyo/

ngalor ngidul sakparan-parane/ kongsi ilang sipatirèng janmi/ têkèng jaman iki/

karya ngrês kang dulu//

Menyandang sengsara siang dan malam/ sehingga menjadi lemah/

ke utara ke selatan kemana-mana/ sampai hilang sipatnya manusia/ sampai dengan jaman ini/ membuat sedih yang melihat// 26. Mung bêkjane janma kang sih eling/

santosa kang batos/

nadyan garing nora de-[11]-nya

mêngeng/

aywa kongsi ilang sipat janmi/ mung nuwun Hyang Widhi/ paringana kemut//

Beruntung bagi orang yang masih ingat/ sentosa batinnya/

walaupun kering tidak bisa olehnya melarang/

jangan sampai hiang sifat manusia/ hanya memohon kepada Tuhan/ agar selalu diingatkan//

27. Wus dilalah karsaning Hyang Widhi/ dènya karya lakon/

kongsi têpung jagad raya kabèh/ kang supadi janma bisa eling/ nêmbah mring Hyang Widhi/ ja : nak mangan turu//

Sudah menjadi kehendak Tuhan/ olenya menjalani/

sampai merata ke seluruh alam/ agar manusia bisa ingat/

menyembah kepada Tuhan/ jangan : enak makan tidur// 28. Lali dènya manêmbah Hyang Widhi/

wit kaselan lakon/

kongsi ilang ing kasubratane/

Lupa olehnya menyembah Tuhan/ karena dalam menjalankan perintah/ sampai hilang keluhurannya/

(36)

kang kacipta nikmating ngaurip/ tan wruh samêng janmi/

kinèn sami rukun//

yang diinginkan hanya kenikmatan hidup/ tidak tahu sesama manusia/

diperintahkan selalu rukun// 29. Anêruske caritaning janmi/

jroning jaman anom/

kèh kang ngrasa luwasing susahe/ wit kahanan beda lan kang uwis/ mung kari ngupadi/

têdha karya idhup//

Meneruskan ceritanya manusia/ di dalam jaman baru/

banyak yang merasa sangat susah/ karena keadaan beda dari yang biasanya/ hanya tinggal mencari/

makan untuk hidup// 30. Anyarêngi wangsuling prajurit/

kang sinêbuteo23/

miwah jurit pambela tanahe/ sêsarêngan Rumusha don kardi/ sing liyaning nagri/

sadaya wus wangsul//

Bersamaan dengan pulangnya prajurit/ yang disebut tadi/

serta prajurit pembela tanahnya/

bersamaan dengan Romusha yang dilakukan/ di lain negara/

semua sudah pulang// 31. Gumarudug sabên ari prapti/

kongsi karya repot/

ingkang ngurus karya sandhangane/ lan sandhangan dèrèng dipuntampi/ têka lunga dlidir/

mantuk datêng dhusun//

Berbondong-bondong setiap hari datang/ sampai membuat repot/

yang mengurusi pakaiannya/ dan pakaiannya belum diterima/ datang dan pergi begitu saja/ pulang ke desa//

32. Tan wilangan Rumusha kang prapti/ lan prajuriteo24/

sêsarêngan nampi gancarane/

kang sandhangan mring kantor nagari/ kongsi kang ngêbêki/

kantor karya ngêdum//

Tidak terhitung Romusha yang datang/ dan prajuritnya/

bersama-sama menerima imbalannya/ pakaian ke kantor negara/

sampai memenuhi/

kantor sebagai tempat pembagian// 33. Ngetan ngulon dalidir nèng margi/

ngidul miwah ngalor/ kadi ana karameyan gêdhe/

Ke timur ke barat pergi ke jalan/ ke selatan dan ke utara/

seperti ada keramaian besar/

23 Menyesuaikan konvensi tembang, “sinebuta” 24 Menyesuaikan konvensi tembang, “prajurite”

(37)

wêktunira sêsarêngan janmi/ pandhudhuk kang sami/ nyadhong komponipun//

waktunya bersama-sama manusia/ penduduk yang saling/

datang meminta beras bagiannya// 34. Adhiyahing mardikaning nagri/

kaparingan gantos/

wus kas têpêg nuju ing wulane/ bangsa Jawi dungkap ari adi/ umum karya ganti/

kèh tan gadhah santu-[12]-n//

Hadiah kemerdekaan negara/ mendapatkan ganti/

sudah baru saja sampai pada bulannya/ bangsa Jawa merayakan lebaran/ umumnya mendapat ganti/

banyak yang tidak punya pakaian// 35. Janma ingkang baku bale wismi25/

kang gadhah kompon wos/ wontên kang tan antuk adhiyahe/ mung malompong katon wêlas asih/ mung narimèng Widhi/

baya durung wêktu//

Manusia yang pokok dalam rumah/ yaitu mempunyai beras/

ada yang tidak memperoleh hadiahnya/ hanya bengong terlihat kasihan/

hanya pasrah menerima/ mungkin belum waktunya// 36. Wit bêjane manungsa tan sami/

sih karya lêlakon/

mung ywa pêgat nyuwun ngapurane/ aywa kantu Gusti amaringi/

siyang tuwin ratri / sihira Hyang Agung//

karena keburuntungan manusia tidak sama/ maka dalam melangkah/

jangan putus meminta ampunan/ tak habis-habis Tuhan memberikan/ siang maupun malam/

kasihnya Yang Maha Kuasa// 37. Jroning wartos mardikaning nagri/

karya horêging wong/ rupa-rupa janma kahanane/ awit janma umume ngupadi/ dalajat kang inggil/

bisaa amêngku//

Dalam berita merdekanya negara/ membuat panik orang/

bermacam-macam keadaan manusia/ karena manusia umumnya mencari/ derajat yang tinggi/

keinginan untuk menguasai// 38. Pangwasanebisaa kang luwih/

lir lurahing kantor/

saparane ana kang dhèrèkke/ yèn wong kriya lir sudagar nêgri/

Kekuasaanya ingin menjadi lebih/ seperti lurah di kantor/

kemana-mana ada yang mengikuti/

jika orang bekerja seperti pedagang negara/

(38)

sêngkud26 nambut kardi/

bandha tumpuk-tumpuk//

rajin dalam bekerja/ harta bertumpuk-tumpuk// 39. Nadyan wêktu jaman anyar iki/

isih ngêmu raos/

pra priyayi tuwin sudagare/

durung wêruh kahanan kang prapti/ bot ènthènging kardi/

pangkat munggah mêdhun//

Walaupun waktu jaman baru ini/ masih dapat terasa/

para bangsawan dan pedagangnya/ belum tahu keadaan yang ada/ berat ringannya pekerjaan/ pangkat naik turun// 40. Bab dagangan mundhak suda rêgi/

jrih lamun kêplorot/

nora ngetung kang wus bêbathène/ tikêl satus tan rinasèng galih/ wêktunira isih/

awis rêginipun//

Bab jualan semakin berkurang nilai jualnya/ takut bila semakin jatuh/

tidak menghitung keuntungannya/ seratus kali lipat tidak terasa/ waktu sekarang ini/

mahal harganya// 41. Pra pamimpin jrih lamun kêbalik/

pangkatnya kêplorot/

wit tatanan mêsthi kèh bedane/ bêja ingkang sinêngkake inggil/ wontên kang gung tis-tis/ pocot pangkatipun//

Para pemimpin takut bila terbalik/ pangkatnya terjatuh/

karena tatanan pasti banyak bedanya/ beruntung yang (pangkatnya) dinaikkan/ ada juga yang sangat bersedih/

lepas pangkatnya// 42. Gung tis malih kang tan antuk kardi/

wit tutup kang kantor/

rupa-rupa pakaryan kèh lèrèn/ margi sangking pamimpin kèh mulih/ mring nagri pribadi/

ing dhawuh nata gung//

Sangat sedih lagi yang tidak punya pekerjaan/ karena tutup kantornya/

banyak pekerjaan yang berhenti/

karena banyaknya pemimpin yang pulang/ ke negaranya masing-masing/

diperintah raja besar// 43. Sigêg janma kang sami [13] gung tis-tis/

nyarêngi lêlakon/

dhatêngira kang montor mabure/ anyar katon ibêre tan inggil/ kèh kagèt kang ngèksi/

Berhenti manusia yang sangat bersedih/ bersamaan dengan adanya/

kedatangan pesawat terbang/ baru terlihat saat terbang rendah/ membuat kaget yang melihat/

(39)

cêtha lamun mungsuh// jelas bahwa itu musuh// 44. Mawa ciri bandera Wêlandhi/

ngubêngi kêdhaton/

bola-bali sansaya ngêlèmprèh/ kongsi cêtha kang sami kang ngèksi/ samya was ing galih/

cêtha montor mungsuh//

Membawa tanda bendera Belanda/ mengitari keraton/

berulang kali semakin terbang rendah/ sampai terlihat jelas yang melihat/ semakin khawatir di hati/

jelas bila pesawat musuh// 45. Ajrih lamun anibani mimis/

tan wurung kèh layon/

nadyan wartos wus kèndêl perange/ bok manawi dèrèng wrin kang warti/ sinèngguh sih jurit/

angsêg perangipun//

Takut bila menjatuhi tembakan/ sudah pasti banyak kematian/

walaupun berita sudah berhenti perangnya/ mungkin saja belum tahu beritanya/

dianggap masih perang/

(sehingga) didesak perangnya// 46. Duk nalika janma sami ngèksi/

ibêrirèng montor/

wela-wela wruh anyêbarake/ koranira gya kabuncang anging/ kèh janma nututi/

wit dènya awêruh//

Pada saat manusia menyaksikan/ terbangnya pesawat/

jelas sekali terlihat menyêbarkan/ korannya segera terbawa angin/ banyak orang mengikuti/ karena ingin mengetahui// 47. Bibar nyêbar : bablas tanpa bali/

anuju mangulon/

jroning koran apa ing unine/ nora susah pun gatèkên tulis/ mung sami mêmuji/

dwi nata rahayu//

Setelah menyebar : pergi tidak kembali/ menuju ke barat/

di dalam koran apakah bunyinya/ tidak susah membaca tulisannya/ hanya bisa bersyukur/

dua raja selamat//

Pupuh III Sinom

1. Sinome katon ngalela/ isih atunggil kang warsi/ horêging kang para janma/ kang ginotèk sabên ari/

Sinomnya terlihat jelas/ masih sama tahunnya/ gemparnya para manusia/ yang dibicarakan setiap hari/

(40)

siyang dalu kapyarsi/ tan liyan ingkang rinêmbug/ mung mardikaning praja/ wus kacihnan jroning nagri/

wanci ratri mubyaring dilah warata//

siang malam terdengar/ tidak lain yang dibicarakan/ hanya merdekanya negara/ sudah menjadi ciri dalam negara/

saat malam lampu-lampu hidup merata// 2. Pêmudhi tuwin pêmudha/

kèh sarimbit turut margi/ katon suka solahira/ tumêkaning wanci ratri/ saya kathah kang prapti/ kang ngrasa kinarya lipur/ labêt mêntas sungkawa/ pêtêng dhêdhêt sabên ratri/

rina wêngi tan têntrêm raosing driya//

Pemudi dan pemuda/

banyak berpasangan turun ke jalan/ terlihat senang tingkahnya/

hingga sampai malam hari/ semakin banyak yang datang/

yang merasa mendapat penghiburan/ oleh karena terlepas dari kesusahan/ gelap gulita setiap malam/

siang malam tidak tentram yang dirasakan//

3. Pangrasane wus mardika/ [14]

kadi kang kacritèng ngarsi/ durung rinasa ing driya/ kandhas jroning sanubari/ raos mardika yêkti/

lan sapa ingkang amêngku/

aja amung ubyang-ubyung turut marga//

Perasaannya sudah merdeka/ seperti yang diceritakan di atas/ belum terasa di hati/

hancur dalam sanubari/ rasa merdeka nyata/

dan siapa yang akan memerintah/ jangan hanya bergerombol di jalan// 4. Waspadakna kang pramana/

lan tolèhên ing kawingking/ nèng sajroning jaman anyar/ ywa kongsi kêlud27 pawarti/

kamardikaning nagri/ apa wus sêpèn kang butuh/ awit umuming janma/ tan sawiji kang pinitir/

nadyan uwis jamanira kang mardika//

Pehatikan sungguh-sungguh/ dan tengoklah ke belakang/ di dalam jaman baru/

jangan sampai disapuberita/

kemerdekaan negara/

apa sudah sepi kebutuhannya/ karena umumnya manusia/ tidak satupun yang terputus/

walaupun jamannya sudah merdeka//

Gambar

Gambar 17  Cover Depan  Berbunyi : “salaradakatatadapasaga . 1952 .  kadadadamapala – lapalasapalaca  hasagamadanacahasagakagarasa   bapatsadangapata –
Gambar 18  Halaman sesudah Cover
Tabel 1. Varian Lacuna
Tabel 2. Varian Adisi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini tidak meyakinkan penulis akan peranan biaya outsourcing sumber daya manusia dalam menunjang efisiensi biaya operasional, berarti teori yang dikemukakan oleh Richardus

Pemisahan senyawa atau unsur-unsur yang dikandung sehingga didapatkan berat endapan dapat dilakukan melalui cara pengendapan pada analisis gravimetrik.. Kadar klorida dapat

1. Layanan Cinta Perwujudan Layanan Prima oleh Achmad, Mansur Sutedjo, Surono, Edy Suprayitnotahun 2014. Buku ini membahas.. tentang perwujudan layanan prima

Hamdani Harahap, MA selaku Penguji Tamu serta Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sebagai

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bagi aparat penegak hukum untuk kemudian dapat menerapkannya dalam penegakan hukum terhadap tindak

Menurut Ganie (2014:4) dalam Sahibul Hikayat atau disebut cerita rakyat, pada abad XIII sampai XIV di masa kerajaan Dipa di Kalimantan Selatan, kain sasirangan pertama kali dibuat,

Bab ini menjelaskan hasil penelitian hubungan antara quick of blood dengan penurunan nilai ureum dan kreatinin pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis di RSUD

Sebagai contoh, kalau Anda memiliki website atau aplikasi yang mengelola big data untuk menunjang bisnis, inilah ilustrasi arsitektur big data yang diperlukan:.. Pertama, data