Tagline: Posisi Kami Pinggiran, Suara Kami Menentukan...
Tagline: Posisi Kami Pinggiran, Suara Kami Menentukan...
Daftar Isi
Daftar Isi
Bagian
Bagian 1
1 PENGANTAR
PENGANTAR
... 3
... 3
Bagian
Bagian 2
2 MENGENALI
MENGENALI DEMOKRASI
DEMOKRASI DAN
DAN PEMILU
PEMILU
... 5
... 5
Apa
Apa itu
itu demokrasi?
demokrasi?
...
...
Apa
Apa itu
itu Pemilu?
Pemilu?
...
...
Apa
Apa hubungan
hubungan Pemilu
Pemilu dan
dan makna
makna demokrasi?
demokrasi?
...
...
Bagaimana
Bagaimana Pemilu
Pemilu dilaksanakan?
dilaksanakan?
...
...
Bagian
Bagian 3
3 MASALAH
MASALAH SEPUTAR
SEPUTAR PEMILU
PEMILU
... 12
... 12
Pemilu
Pemilu dan
dan Politik
Politik Uang
Uang
...
...
Pemilu
Pemilu dan
dan Kekerasan
Kekerasan
...
...
Pemilu
Pemilu dan
dan Kecurangan
Kecurangan
...
...
Pemilu
Pemilu dan
dan Diskriminas
Diskriminasi i
...
...
Pemilu
Pemilu dan
dan Monopoli
Monopoli Elit
Elit
...
...
Bagian
Bagian 4
4 HARAPAN
HARAPAN DALAM
DALAM PEMILU
PEMILU
... 25
... 25
Mewujudkan
Mewujudkan Rakyat
Rakyat Sejahtera
Sejahtera
...
...
Mengontrol
Mengontrol Pemerintahan
Pemerintahan
...
...
Menumbuhkan
Menumbuhkan Partisipasi
Partisipasi
...
...
Menggapai
Menggapai Keadilan
Keadilan
...
...
Bagian
Buku ini disusun sebagai bagian darimateri
Buku ini disusun sebagai bagian darimateri pendidikan politik bagi pemilihpendidikan politik bagi pemilih dalam menghadapi dan mensikapiPemilu. Tujuan penting dari
dalam menghadapi dan mensikapiPemilu. Tujuan penting dari disusunnyadisusunnya buku ini adalah, menyediaan bahan
buku ini adalah, menyediaan bahan bacaan untuk masyarakat, secarabacaan untuk masyarakat, secara khusus komunitaspinggiran. Siapa komunitaspinggiran ini? Mereka khusus komunitaspinggiran. Siapa komunitaspinggiran ini? Mereka adalah elemen
adalah elemen atau komunitasmasyarakat yang mengalami keterbatasanatau komunitasmasyarakat yang mengalami keterbatasan akses struktural. Baiksecara ekonomi maupun politik. Mereka adalah akses struktural. Baiksecara ekonomi maupun politik. Mereka adalah bagian dari kelompok
bagian dari kelompok garis garis marginal, bahkamarginal, bahkan sering menjadi korn sering menjadi korbanban sistem produksi ekonomi. Bahkan posisinya cenderungjauh dari pengaruh sistem produksi ekonomi. Bahkan posisinya cenderungjauh dari pengaruh langsung pengambilan keputusan strategis. Biasanya mereka ini miskin langsung pengambilan keputusan strategis. Biasanya mereka ini miskin dan lapis sosial rentan dari
dan lapis sosial rentan dari segala risiko,pihak yang menjadi dansegala risiko,pihak yang menjadi dan berpotensi sebagai korbandari proses kebijakan. Kita bisa sebut berpotensi sebagai korbandari proses kebijakan. Kita bisa sebut misalnyakomunitas miskin kota (KMK), para buruh tani, buruh pabrik misalnyakomunitas miskin kota (KMK), para buruh tani, buruh pabrik kelas bawah, pedagang kaki lima
kelas bawah, pedagang kaki lima dengan rerata pendapatan rendah,dengan rerata pendapatan rendah, pelakuusaha mikro dan kecil, dst.
pelakuusaha mikro dan kecil, dst.
Buku ini akan mengajak komunitaspinggiranitu membicarakan rangkaian problem yang Buku ini akan mengajak komunitaspinggiranitu membicarakan rangkaian problem yang dialami mereka sehari-hari, lalu menghubungkannya dengan Pemilu d
dialami mereka sehari-hari, lalu menghubungkannya dengan Pemilu d an demokratisasi. Apaan demokratisasi. Apa kaitan problem yang dialami mereka tersebut dengan Pemilu sebagai momentum
kaitan problem yang dialami mereka tersebut dengan Pemilu sebagai momentum pembentukan kekuasaan? Jika identifikasi problem yang dialami dan
pembentukan kekuasaan? Jika identifikasi problem yang dialami dan dihadapidihadapi komunitaspinggiran itu, diantaranya: kemiskinan dan pengangguran, biaya
komunitaspinggiran itu, diantaranya: kemiskinan dan pengangguran, biaya pendidikan danpendidikan dan kesehatan yang tidak terjangkau, penggusuran, penyempitan lahan untuk kerja d
kesehatan yang tidak terjangkau, penggusuran, penyempitan lahan untuk kerja d anan pemukiman, upah buruh yang rendah, keterbatasan modal usaha, kelangkaan air,
pemukiman, upah buruh yang rendah, keterbatasan modal usaha, kelangkaan air, ganti rugiganti rugi lahan yang tidak adil dan
lahan yang tidak adil dan sengketa pertanian, penyerobotan tanah oleh negara dansengketa pertanian, penyerobotan tanah oleh negara dan penguasaha, status komunitas miskin kota yang tidak tercatat dalam administrasi penguasaha, status komunitas miskin kota yang tidak tercatat dalam administrasi kependudukan, korban tindak kekerasan, traficking
kependudukan, korban tindak kekerasan, traficking, dan , dan problem-problem sosial sejenis.problem-problem sosial sejenis. Ragam masalah itu selalu mengitari mereka,
Ragam masalah itu selalu mengitari mereka, yang tidak mudah diatasi karena berkenaanyang tidak mudah diatasi karena berkenaan dengan tekanan struktural.
dengan tekanan struktural.
Pertanyaannya, apakah masalah tersebutbisa dipecahkan dengan Pemilu?Itulah bagian Pertanyaannya, apakah masalah tersebutbisa dipecahkan dengan Pemilu?Itulah bagian penting untuk dibicarakan. Karena itulah, Pemilu harus
penting untuk dibicarakan. Karena itulah, Pemilu harus bisa menjadi daya tarik danbisa menjadi daya tarik dan meyakinkan bagi komunitaspinggiran untuk menjawab masalah yang pada dasarnya meyakinkan bagi komunitaspinggiran untuk menjawab masalah yang pada dasarnya sistemik. Problem konkrit keseharian harus dihubungkan dengan strategi kebijakan, dan sistemik. Problem konkrit keseharian harus dihubungkan dengan strategi kebijakan, dan Pemilu menjadi pintu untuk mengubah
Pemilu menjadi pintu untuk mengubah keadaan hidup mereka.keadaan hidup mereka.
Kunci pendidikan politik Kunci pendidikan politik
Pemilu: masyarakat Pemilu: masyarakat sebagai pemilih harus sebagai pemilih harus mendapatkan informasi mendapatkan informasi dan pengetahuan yang dan pengetahuan yang memadai, ketrampilan memadai, ketrampilan cukup, serta kesadaran cukup, serta kesadaran kritis saat memanfaatkan kritis saat memanfaatkan
hak pilihnya... hak pilihnya...
PENGANTAR
PENGANTAR
Buku ini disusun sebagai bagian darimateri
Buku ini disusun sebagai bagian darimateri pendidikan politik bagi pemilihpendidikan politik bagi pemilih dalam menghadapi dan mensikapiPemilu. Tujuan penting dari
dalam menghadapi dan mensikapiPemilu. Tujuan penting dari disusunnyadisusunnya buku ini adalah, menyediaan bahan
buku ini adalah, menyediaan bahan bacaan untuk masyarakat, secarabacaan untuk masyarakat, secara khusus komunitaspinggiran. Siapa komunitaspinggiran ini? Mereka khusus komunitaspinggiran. Siapa komunitaspinggiran ini? Mereka adalah elemen
adalah elemen atau komunitasmasyarakat yang mengalami keterbatasanatau komunitasmasyarakat yang mengalami keterbatasan akses struktural. Baiksecara ekonomi maupun politik. Mereka adalah akses struktural. Baiksecara ekonomi maupun politik. Mereka adalah bagian dari kelompok
bagian dari kelompok garis garis marginal, bahkamarginal, bahkan sering menjadi korn sering menjadi korbanban sistem produksi ekonomi. Bahkan posisinya cenderungjauh dari pengaruh sistem produksi ekonomi. Bahkan posisinya cenderungjauh dari pengaruh langsung pengambilan keputusan strategis. Biasanya mereka ini miskin langsung pengambilan keputusan strategis. Biasanya mereka ini miskin dan lapis sosial rentan dari
dan lapis sosial rentan dari segala risiko,pihak yang menjadi dansegala risiko,pihak yang menjadi dan berpotensi sebagai korbandari proses kebijakan. Kita bisa sebut berpotensi sebagai korbandari proses kebijakan. Kita bisa sebut misalnyakomunitas miskin kota (KMK), para buruh tani, buruh pabrik misalnyakomunitas miskin kota (KMK), para buruh tani, buruh pabrik kelas bawah, pedagang kaki lima
kelas bawah, pedagang kaki lima dengan rerata pendapatan rendah,dengan rerata pendapatan rendah, pelakuusaha mikro dan kecil, dst.
pelakuusaha mikro dan kecil, dst.
Buku ini akan mengajak komunitaspinggiranitu membicarakan rangkaian problem yang Buku ini akan mengajak komunitaspinggiranitu membicarakan rangkaian problem yang dialami mereka sehari-hari, lalu menghubungkannya dengan Pemilu d
dialami mereka sehari-hari, lalu menghubungkannya dengan Pemilu d an demokratisasi. Apaan demokratisasi. Apa kaitan problem yang dialami mereka tersebut dengan Pemilu sebagai momentum
kaitan problem yang dialami mereka tersebut dengan Pemilu sebagai momentum pembentukan kekuasaan? Jika identifikasi problem yang dialami dan
pembentukan kekuasaan? Jika identifikasi problem yang dialami dan dihadapidihadapi komunitaspinggiran itu, diantaranya: kemiskinan dan pengangguran, biaya
komunitaspinggiran itu, diantaranya: kemiskinan dan pengangguran, biaya pendidikan danpendidikan dan kesehatan yang tidak terjangkau, penggusuran, penyempitan lahan untuk kerja d
kesehatan yang tidak terjangkau, penggusuran, penyempitan lahan untuk kerja d anan pemukiman, upah buruh yang rendah, keterbatasan modal usaha, kelangkaan air,
pemukiman, upah buruh yang rendah, keterbatasan modal usaha, kelangkaan air, ganti rugiganti rugi lahan yang tidak adil dan
lahan yang tidak adil dan sengketa pertanian, penyerobotan tanah oleh negara dansengketa pertanian, penyerobotan tanah oleh negara dan penguasaha, status komunitas miskin kota yang tidak tercatat dalam administrasi penguasaha, status komunitas miskin kota yang tidak tercatat dalam administrasi kependudukan, korban tindak kekerasan, traficking
kependudukan, korban tindak kekerasan, traficking, dan , dan problem-problem sosial sejenis.problem-problem sosial sejenis. Ragam masalah itu selalu mengitari mereka,
Ragam masalah itu selalu mengitari mereka, yang tidak mudah diatasi karena berkenaanyang tidak mudah diatasi karena berkenaan dengan tekanan struktural.
dengan tekanan struktural.
Pertanyaannya, apakah masalah tersebutbisa dipecahkan dengan Pemilu?Itulah bagian Pertanyaannya, apakah masalah tersebutbisa dipecahkan dengan Pemilu?Itulah bagian penting untuk dibicarakan. Karena itulah, Pemilu harus
penting untuk dibicarakan. Karena itulah, Pemilu harus bisa menjadi daya tarik danbisa menjadi daya tarik dan meyakinkan bagi komunitaspinggiran untuk menjawab masalah yang pada dasarnya meyakinkan bagi komunitaspinggiran untuk menjawab masalah yang pada dasarnya sistemik. Problem konkrit keseharian harus dihubungkan dengan strategi kebijakan, dan sistemik. Problem konkrit keseharian harus dihubungkan dengan strategi kebijakan, dan Pemilu menjadi pintu untuk mengubah
Pemilu menjadi pintu untuk mengubah keadaan hidup mereka.keadaan hidup mereka.
Kunci pendidikan politik Kunci pendidikan politik
Pemilu: masyarakat Pemilu: masyarakat sebagai pemilih harus sebagai pemilih harus mendapatkan informasi mendapatkan informasi dan pengetahuan yang dan pengetahuan yang memadai, ketrampilan memadai, ketrampilan cukup, serta kesadaran cukup, serta kesadaran kritis saat memanfaatkan kritis saat memanfaatkan
hak pilihnya... hak pilihnya...
PENGANTAR
PENGANTAR
Mengapa bahan bacaan ini penting bagi
Mengapa bahan bacaan ini penting bagi mereka? Karena untuk mensikapi atau meresponmereka? Karena untuk mensikapi atau merespon Pemilu, golongan dan klas sosial
Pemilu, golongan dan klas sosial pinggiran ini harus memiliki bekal memadai.Supaya tidakpinggiran ini harus memiliki bekal memadai.Supaya tidak sia-sia, atau kecewa.
sia-sia, atau kecewa.
Jadi jika dirumuskan, tujuannya,
Jadi jika dirumuskan, tujuannya, pertama pertama, komunitas pinggiran mengetahui tentang seluk, komunitas pinggiran mengetahui tentang seluk beluk Pemilu dengan informasi sederhana tetapi mendasar;
beluk Pemilu dengan informasi sederhana tetapi mendasar; keduakedua, trampil saat, trampil saat menggunakan hak pilihnya tanpa ada kekeliruan atau
menggunakan hak pilihnya tanpa ada kekeliruan atau kesalahan yang tidak disengaja;kesalahan yang tidak disengaja; ketiga
ketiga, mereka memiliki kesadaran kritis dan , mereka memiliki kesadaran kritis dan pertimbangan rasional dalam menentukanpertimbangan rasional dalam menentukan sikapnya sebagai pemilih dalam Pemilu.
sikapnya sebagai pemilih dalam Pemilu.
Dengan demikian mereka memiliki landasan yang kuat dan bekal yang memadai saat Dengan demikian mereka memiliki landasan yang kuat dan bekal yang memadai saat memanfaatkan hak pilihnya dalam Pemilu. Itulah yang
memanfaatkan hak pilihnya dalam Pemilu. Itulah yang disebut menjadi aktor berdemokrasidisebut menjadi aktor berdemokrasi secara cerdas, agar mampu bargaining dalam kebijakan, dan tidak ditipu
secara cerdas, agar mampu bargaining dalam kebijakan, dan tidak ditipu dalam Pemilu. Padadalam Pemilu. Pada akhirnya mereka menjadi subjek yang
akhirnya mereka menjadi subjek yang menentukan.menentukan.
Buku ini menyajikan materi
-Buku ini menyajikan materi -materiyang tersusundalam tiga bagian, yaitu:materiyang tersusundalam tiga bagian, yaitu:(1) Mengenali(1) Mengenali Demokrasi
Demokrasiyang berisi: apa dan mengapa demokrasi; apa dan mengapa Pemilu; yang berisi: apa dan mengapa demokrasi; apa dan mengapa Pemilu; apaapa hubungan Pemilu dan demokrasi?; bagaimana
hubungan Pemilu dan demokrasi?; bagaimana Pemilu bermakna bagi demokrasi? sertaPemilu bermakna bagi demokrasi? serta bagaimana Pemilu dilaksanakan? Bagian
bagaimana Pemilu dilaksanakan? Bagian(2) Di seputar masalah dalam Pemilu(2) Di seputar masalah dalam Pemilu yang yang berisi:Pemilu dan Korupsi; Pemilu dan Kekerasan; Pemilu dan
berisi:Pemilu dan Korupsi; Pemilu dan Kekerasan; Pemilu dan Kecurangan; Pemilu danKecurangan; Pemilu dan Diskriminasi; Pemilu dan Elitisme. Bagian
Diskriminasi; Pemilu dan Elitisme. Bagian (3) Harapan dalam Pemilu(3) Harapan dalam Pemilu yang berisi: Pemilu dan yang berisi: Pemilu dan kesejahteraan; kontrol atas kekuasaan; Pemilu dan partisipasi politik; Pemilu
kesejahteraan; kontrol atas kekuasaan; Pemilu dan partisipasi politik; Pemilu dan keadilan;dan keadilan; pemilih sebagai subjek.
MENGENALI DEMOKRASI DAN PEMILU
Demokrasi itu cara mengelola kekuasaan atau jabatan secara terbuka, bertanggung jawab, mau diawasi, dan melibatkan peran serta orang banyak.
Pengambilan keputusan yang menyangkut urusan orang banyak wajib melibatkan peram serta masyarakat seluas-luasnya. Pejabat tidak boleh mengambil keputusan sendiri. Masyarakat, termasuk komunitas pinggiran berhak ambil bagian untuk memutuskan kebijakan menyangkut nasibnya.
Penggunaan jabatan harus diawasi agar tidak menyimpang dari aturan. Tindakan pejabat yang memperkaya diri sendiri, bersikap tidak adil, menindas, dan sewenang-wenang dapat terjadi karena lemahnya pengawasan.
Keterbukaan dalam menjalankan kekuasaan penting. Keputusan apapun yang diambil pemerintah harus diketahui publik. Tidak ditutup-tutupi. Warga berhak menilai apakah keputusan itu sesuai atau tidak dengan kebutuhan mereka.
Setiap kekuasaan dan jabatan harus ada pertanggungjawabannya. Secara politik akan menjadi ukuran bagi masyarakat apakah pejabat tersebut ke depan masih layak
dipercaya atau tidak. Secara hukum, apakah selama menjabat, tindakannya ada yang melanggar hukum atau tidak.
Pada dasarnya demokrasi bukan cara terbaik dalam melakukan pergantian dan
pengelolaan kekuasaan. Namun sejauh ini, risiko demokrasi relatif kecil dibanding sistem kekuasaan lainnya. Demokrasi dapat mengurangi peluang terjadinya penyimpangan dan kesewenang-wenangan dalam mengelola kekuasaan.
Bagi komunitas pinggiran, demokrasi sangat penting artinya. Mengapa? Karena demokrasi memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi bagian dalam
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika demokrasi dapat dijalankan dengan benar dan konsisten, maka ada jaminan hak komunitas
pinggiran sama dengan warga lainnya.
Hal ini berbeda dengan kekuasaan yang sewenang-wenang. Dalam situasi ini, biasanya komunitas pinggiran golongan miskin tidak dilibatkan dalam merumuskan kebijakan.
Mereka seringkali dipaksa mengikuti selera penguasa. Komunitas p inggiran selalu menjadi korban penguasa yang zalim. Suara mereka tidak pernah didengar karena berbeda dengan selera penguasa. Misalnya golongan miskin digusur, dirampas haknya, mendapat perlakukan sewenang-wenang dan tidak diberi kesempatan membela diri. Melalui sistem demokrasi dimungkinkan untuk saling mempengaruhi antara komunitas pinggiran dan mereka yang diberi mandat untuk berkuasa dalam pembuatan kebijakan.
Pemilu secara sederhana dipahami sebagai tata cara pemberian suara oleh masyarakat secara langsung untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan (DPR, DPD dan DPRD) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota). Tata cara itu sudah diatur dalam undang-undang dan dibuat lebih rinci dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Pemilu di Indonesia diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Tujuan pokoknya untuk memilih para pejabat yang akan duduk di parlemen dan eksekutif untuk masa jabatan lima tahun. Setalah itu, masyarakat dapat kembali memilih para pejabat yang lama jika dinilai cukup mampu memperjuangkan nasibnya. Tapi bisa juga memilih para pejabat yang sama sekali baru jika dinilai lebih mampu dari pejabat yang lama.
Melalui Pemilu, kita memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk tingkat nasional, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Propinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat kabupaten/kota. Selain itu ada Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, memilih gubernur dan wakil gubernur untuk tingkat propinsi dan memilih bupati/wali kota untuk tingkat
kabupaten/kota.
Pemilu yang benar harus dijalankan sesuai aturan. Prinsipnya langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Karena itu penyelenggara dalam hal ini Komisi Pe milihan Umum (KPU) mulai dari pusat, propinsi, kabupaten/kota dan penyelen ggara yang bersifat sementara seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus dapat dipercaya.
Sistem Pemilu hampir tiap lima tahun selalu diperbaiki, menyesuaikan dengan
kebutuhan. Di Indonesia saat ini berlaku sistem Pemilu langsung, untuk Pemilu legislatif dikenal dengan proporsional daftar terbuka dengan ketentuan keterpilihan berdasar suara terbanyak.
Bagi komunitas pinggiran, keberadaan Pemilu sangat penting. Mereka dapat memilih wakil-wakilnya yang dinilai mampu memperbaiki nasib masyarakat pinggiran secara menyeluruh.
Penyelenggaraan Pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan cerminan Negara demokrasi. Siapapun dia dan apapun latar belakangnya, memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih.
Sebagai bagian dari kegiatan berdemokrasi, Pemilu harus diselenggarakan dengan jujur dan adil (jurdil). Jujur berarti semua yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu
(penyelenggara, peserta, pemilih dan pemerintah) menjalankan hak dan kewajibannya sesuai aturan. Adil artinya setiap aturan berlaku untuk siapapun. Pemilu yang jujur dan adil akan mendapatkan pengakuan dari semua pihak.
Dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem, pergantian kekuasaan melalui Pemilu merupakan cara terbaik. Dengan demikian penyelenggaraan Pemilu diharapkan berlangsung teratur, tertib dan damai. Penyelenggara, peserta dan pemilih merasa nyaman dalam menjalankan hak dan kewajibannya.
Sepanjang sejarahnya, Pemilu telah dilakukan berulang kali. Sejak zaman orde pasca kemerdekaan (orde lama), kemudian era orde baru, sampai era reformasi.
Masing-masing zaman dalam menjalankan Pemilu mengandung sisi baik dan buruk. Pasang surut terjadi. Tetapi perjalanan Pemilu dari masa ke masa merupakan dinamika dalam
meneguhkan Indonesia sebagai negara demokrasi.
Perjalanan Pemilu di Indonesia cukup dinamis. Sejak era reformasi, Indonesia telah melaksanakan Pemilu sebanyak tiga kali, dan akan menjalankan Pemilu ke empat pada tahun 2014. Kualitas demokrasi dari Pemilu ke Pemilu diharapkan terus meningkat. Problem teknis harus dijawab dengan kinerja penyelenggara yang profesional.
Begitu juga substansi demokrasi akan dapat dicapai dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Karena itu pendidikan politik sangat penting. Sehingga politik uang, intimidasi, kekerasan, pembodohan dan praktik curang lainnya dapat dikikis habis.
Peserta pemilu dan para kandidatnya dituntut memiliki integritas. Menjauhkan diri dari praktik curang untuk mendapatkan kekuasaan. Rakyat atau pemilih juga dituntut cerdas, rasional dan mandiri dengan tidak menggadaikan suaranya hanya dengan segepok yang.
Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan benar diukur berdasar sisi prosedural (formal) dan sisi substansi (nilai dan misi utama Pemilu). Mengenai prosedur dan tata cara Pemilu, sebenarnya sudah ada standarnya sesuai peraturan perundangan.
Secara umum tiap lima tahun sekali penyelenggaraan Pemilu hampir sama teknis, prosedur, dan mekanismenya. Tinggal pelaksanaannya yang membutuhkan perhatian, terutama dalam hal teknis administrasi di level badan penyelenggara ad hoc (sementara). Dibutuhkan ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian dalam menghitung, merekab dan mencatat hasil Pemilu.
Sementara dalam hal substansi, Pemilu sudah seharusnya dapat mencerminkan terapan nilai-nilai moralitas dan etika sebagai politik penanda masyarakat beradab.
Penyelenggaraan yang sifatnya teknis dan substansi itulah yang menjadi faktor penentu, apakah Pemilu bermakna bagi demokrasi.
Komunitas pinggiran perlu menyadari bahwa dirinya adalah kelompok yang sangat menentukan apakah Pemilu 2014 kian membaik ataukah makin merosot. Jika
menginginkan perubahan sosial, politik serta ekonomi, khususnya jika dikaitkan dengan harapan perbaikan nasib komunitas pinggiran, maka keaktifan dan sikap kritis atas jalannya Pemilu mutlak diperlukan. Itulah sumbangan nyata komunitas pinggiran untuk
Sejak era reformasi, kita telah menjalankan 3 kali Pemilu, dan berencana menjalankan Pemilu ke-4, yakni tahun 2014. Untuk Pemilu 2014 nanti, akan memilih :
1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
3. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
4. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota 5. Presiden dan Wakil Presiden
Kepesertaan Pemilu berbeda-beda. Untuk Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, peserta Pemilu adalah partai politik. Untuk Pemilu DPD peserta Pemilu adalah perseorangan. Sementara itu pada Pemilu presiden dan wakil presiden pesertanya adalah pasangan calon yang mendapatkan dukungan dalam jumlah tertentu dari partai politik.
Dari segi waktu pelaksanaannya, Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dilakukan serentak. Jadwal pelaksanaan Pemilu presiden dan wakil presiden dilakukan setelah Pemilu anggota legislatif. Dalam pelaksanaan Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD, pemilih akan mendapatkan 4 (empat) surat suara, sedangkan pada Pemilu presiden dan wakil presiden mendapatkan satu surat suara.
Siapa saja yang akan menjadi peserta Pemilu tahun 2014 nanti? Berikut ini daftar partai politik peserta Pemilu 2014:
Partai tingkat Nasional
No. Urut Nama Partai Ketua
1 Partai NasDem Surya Paloh
2 Partai Kebangkitan Bangsa* Muhaimin Iskandar 3 Partai Keadilan Sejahtera* M. Anis Matta
4 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan* Megawati Soekarnoputri 5 Partai Golongan Karya* Aburizal Bakrie
6 Partai Gerakan Indonesia Raya* Suhardi
7 Partai Demokrat* Susilo Bambang Yudhoyono
8 Partai Amanat Nasional* M. Hatta Rajasa 9 Partai Persatuan Pembangunan* Suryadharma Ali 10 Partai Hati Nurani Rakyat* Wiranto
14 Partai Bulan Bintang M.S. Kaban
15 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Sutiyoso
Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu sebelumnya. Partai lokal di Aceh
No. Urut Nama Partai Ketua
11 Partai Damai Aceh Tgk. Muhibbussabri A. Wahab
12 Partai Nasional Aceh Irwansyah
13 Partai Aceh Muzakir Manaf
Pada dasarnya tiap warga negara memiliki hak suara dalam Pemilu, hanya saja harus memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundangan. Diantaranya adalah, bagi Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara atau sudah/pernah kawin. Kalau Anda memenuhi syarat, pastikan nama Anda tercantum dalam daftar pemilih.
Karena itulah, komunitas pinggiran juga berhak. Miskin, kaya, golongan, agama dan etnis apapun punya hak yang sama. Hanya saja penggunaan hak itu diatur sesuai ketentuan yang berlaku.
Berikut ini tahapan umum dalam pelaksanaan Pemilu.:
a) perencanaan program dan anggaran, serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu;
b) pemutakhiran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih; c) pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu;
d) penetapan Peserta Pemilu;
e) penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f) pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; g) masa Kampanye Pemilu;
h) masa Tenang;
i) pemungutan dan penghitungan suara; j) penetapan hasil Pemilu; dan
k) pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Secara prinsip penyelenggara Pemilu harus netral, tidak dipengaruhi dan dikendalikan pihak tertentu untuk kepentingan politik yang mengganggu jalannya Pe milu. Berikut ini lembaga penyelenggara Pemilu dari urutan atas sampai bawah:
Komisi Pemilihan Umum (KPU): lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu secara nasional
KPU Provinsi: penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di provinsi. KPU Kabupaten/Kota: penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di
kabupaten/kota.
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK): panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota
untuk melaksanakan Pemilu di daerah setingkat kecamatan.
Panitia Pemungutan Suara (PPS): panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota
untuk melaksanakan Pemilu di daerah setingkat desa atau kelurahan.
Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN): panitia yang dibentuk oleh KPU untuk
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS): kelompok yang dibentuk oleh
PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN): kelompok yang
dibentuk oleh PPLN untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara luar negeri.
Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih): petugas yang dibentuk oleh PPS atau
PPLN untuk melakukan pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih.
Sementara itu, untuk memastikan agar Pemilu berjalan sesuai aturan, maka harus diawasi. Lembaga pengawas Pemilu mulai dari lingkup nasional hingga lokal, adalah:
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu): lembaga penyelenggara Pe milu yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bawaslu Provinsi: badan yang dibentuk oleh Bawaslu yang bertugas mengawasi
penyelenggaraan Pemilu di provinsi.
Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota (Panwaslu Kabupaten/Kota): Panitia yang
dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di kabupaten/kota.
Panwaslu Kecamatan: panitia yang dibentuk oleh Panwaslu K abupaten/Kota yang
bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di daerah setingkat kecamatan.
Pengawas Pemilu Lapangan: petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan yang
bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di daerah setingkat desa atau kelurahan.
Pengawas Pemilu Luar Negeri: petugas yang dibentuk oleh Bawaslu yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.
Dalam penyelenggaraan Pemilu, terkadang terjadi sengketa baik antar peserta maupun peserta dengan penyelenggara, masalah-masalah teknis administratif bahkan substansi yang butuh penyelesaian. Penyelesaian sengketa menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Jika persoalan itu menyangkut etika penyelenggara Pemilu maka yang
berwenang memeriksa dan memutusnya adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Begitu juga pelanggaran bisa saja terjadi dalam pelaksanaan setiap tahapan Pemilu. Pelanggaran dalam Pemilu secara garis besar dibagi menjadi dua.
Pertama, Pelanggaran Administrasi Pemilu. Kedua, Pelanggaran Pidana Pemilu. Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu di luar tindak pidana Pemilu dan pelanggaran kode etik. Sedangkan Pelanggaran Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Pengadilan berhak memerika, mengadili dan memutus perkara tindak pidana Pemilu.
Bagi komunitas pinggiran, bisa jadi menemukan pelanggaran Pemilu di lapangan. Kadang ragu, takut, atau bahkan bingung bagaimana caranya mengatasi itu semua. Tetapi Kalau kita melihat pelanggaran Pemilu, maka sebaiknya harus melaporkannya kepada Bawaslu atau
Panwaslu dengan segera. Panwaslu akan menindak-lanjuti laporan itu untuk disele saikan. Tentu harus disertai bukti yang bisa dijadikan pendukung laporan.
MASALAH SEPUTAR PEMILU
Pemilu sangat penting untuk menjamin terselenggaranya kehidupan bernegara yang demokratis. Hasil Pemilu menentukan masa depan rakyat, termasuk komunitas pinggiran. Partai politik dan para caleg yang memenangi Pemilu akan menentukan arah perjalanan bangsa lima tahun ke depan.
Politik uang merupakan salah satu ancaman dalam penyelenggaraan Pemilu. Masa
kampanye, masa tenang sampai hari pelaksanaan Pemilu (hari-H) merupakan masa-masa yang rawan politik uang. Jika praktik politik uang dibiarkan, atau tidak ditindak dan dilawan, maka kualitas demokrasi akan terus menyusut.
Terkadang uang yang digunakan untuk membeli suara rakyat bukan dari kantong sendiri tetapi uang hasil korupsi dan manipulasi anggaran Ne gara. Ada pula para caleg yang mengklaim bantuan yang disalurkan pemerintah sebagai bantuan pribadinya. Segala cara digunakan untuk membodohi masyarakat.
Apa modus politik uang dalam Pemilu, dan apa dampaknya?
Pertama, ketika sumber pendanaan parpol saat Pemilu berasal dari para cukong yang melakukan bisnis terlarang. Arah kebijakan parpol akan dipengaruhi oleh kemauan si
cukong. Pengambilan keputusan publik akan berada di bawah kendali si cukong. Parpol akan disetir atau dikendalikan untuk melindungi bisnis haram mereka seperti pencucian uang, perjudian, prostitusi, perambahan hutan, penambangan secara ilegal dan sebagainya.
Kedua,penempatan kandidat legislatif dalam daftar calon tetap bukan karena kapasitas dan komitmennya, namun ditentukan oleh besaran dana yang disumbangkannya ke partai. Akibatnya, kandidat yang memiliki kompetensi dan komitmen terhadap rakyat malah tersingkir. Jika Pemilu hanya diisi para kandidat bermodal uang, maka kualitas anggota parlemen terpilih dipastikan buruk. Besar kemungkinan, saat bertugas di parlemen akan cenderung terdorong mengumpulkan uang dengan cara korupsi sebagai upaya
mengembalikan modal atau memperoleh keuntungan.
Ketiga, pembagian uang secara langsung atau dalam bentuk bantuan lainnya sepanjang tahapan Pemilu. Sumber dana dapat diperoleh dari pos-pos anggaran publik seperti bantuan sosial dan hibah atau sumbangan dari sumber-sumber terlarang. Akibatnya pemilih akan melihat Pemilu sebagai kesempatan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri.
Di lingkungan komunitas pinggiran, potensi politik uang dalam Pemilu ini selalu ada. Parpol dan politisi memanfaatkan kemiskinan dan keterbatasan ekonomi yang dialami komunitas
pinggiran tersebut. Mereka membagi-bagi uang dengan kompensasi harus dipilih pada saat pemungutan suara.
Bagi-bagi uang dan bantuan jenis lain selama kampanye dan menjelang Pemilu seringkali disambut“antusias” oleh pemilih. Padahal menerima yang menerima uang dari politisi dan parpol sama saja merendahkan dirinya sendiri. Bagi seorang buruh tani atau pedagang kaki lima, jumlah uang Rp50 ribu atau Rp100 ribu mungkin sangat besar artinya. Namun, jika pemberian uang dari politisi dengan motif mendapat dukungan suara dalam Pemilu, maka uang senilai itu tidak bisa menjawab persoalan yang dihadapi rakyat. Uang seperti itu tidak sebanding dengan masalah lain yang harus dituntaskan seperti layanan pendidikan dan kesehatan yang mahal atau kehilangan lahan untuk mencari nafkah yang seringkali dialami komunitas pinggiran.
Dalam kenyataannya, besarnya kekuasaan pimpinan dalam komunitas pinggiran juga
menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya politik uang. Komunitas pinggiran rentan dari manipulasi oleh pimpinan komunitasnya. Salah satunya dengan dengan cara menjual suara komunitas pinggiran kepada partai dan politisi tertentu dengan imbalan sejumlah uang atau materi. Warga komunitas itu tidak tahu kalau mereka sudah digadaikan oleh pemimpinnya. Kalaupun tahu mereka mendapat bagian yang jauh lebih kecil.
Kebetulan, kasus penjualan suara pimpinan komunitas pinggiran itu nyambung dengan kondisi pemilih yang kadang mengalami kesulitan hidup. Ada sebagian warga komunitas pinggiran yang karena kondisi ekonomi dan merasa butuh uang atau materi, maka transaksi suara juga bisa saja terjadi. Situasi ini kadang dimanfaatkan oleh kandidat, sehingga
menguntungkan politisi, dan dalam jangka panjang merugikan pemilih. Itulah potensial politik uang yang dapat merusak sistem demokrasi.
Dengan uang tersebut, politisi terbebas dari tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib rakyat setelah ia terpilih. Dengan demikian, sikap kritis dan berani menolak dana-dana haram tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat atas manipulasi kandidat. Artinya, rakyat sebagai orang yang menentukan dalam Pemilu hendaknya menunjukkan pada para politisi bahwa suara mereka tak dapat dihargai dengan uang. Suara rakyat hanya dapat dibayar dengan perbaikan kebijakan yang pro rakyat miskin, sehingga persoalan-persoalan mendasar yang dialami komunitas pinggiran dapat diselesaikan secara menyeluruh.
Apa yang harus dilakukan oleh komunitas pinggiran melawan politik uang dalam Pemilu? Berikut ini ada beberapa cara:
1. Menuntut berbagai pihak dan instansi negara untuk memberikan akses atas informasi dan mempermudah publik untuk mempelajari :
laporan dana kampanye yang digunakan parpol atau kandidat pihak-pihak penyumbang dan besarannya
nilai belanja dana kampanye
Untuk memenuhi syarat transparansi dan akuntabilitas publik, maka pemilih dapat meminta akses terhadap dokumen-dokumen tersebut. Hal itu penting sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan pilihan. Pada akhirnya publik dapat menghindari memilih parpol dan kandidat yang sumber pendanaan politiknya berasal dari dana yang melanggar aturan.
2. Masyarakat dapat melaporkan partai politik dan caleg kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) jika kedapatan membagi-bagikan uang kepada pemilih dengan syarat, memilih diri dan partainya pada pemungutan suara
3. Masyarakat dapat melaporkan ke pihak/badan yang berwenang jika memiliki informasi tentang sumber dana parpol dan caleg atau sumbangan yang mencurigakan. Tentu saat melaporkannya harus memiliki bukti yang cukup.
4. Mengajak pihak-pihak lain yang peduli untuk melakukan kegiatan pendidikan politik dalam rangka mencegah politik uang dalam Pemilu.
Ancaman kekerasan senantiasa membayangi pelaksanaan Pemilu. Tindakan kekerasan seringkali dipilih sebagai ekspresi kekecewaan dan kemarahan bagi pihak yang kalah atau yang tidak puas dengan proses dan hasil Pemilu. Biasanya ditandai dengan penggunaan kekuatan massa dalam jumlah banyak, dilengkapi dengan senjata tajam dan peralatan sejenis untuk menyerang orang lain atau komunitas lain.
Pengalaman sejauh ini menunjukkan, perilaku kekerasan bisa dipicu kasus tertentu, dalam cakupan terbatas, kemudian meluas menjadi kerusahan massal. Kecenderungan perluasan itu terjadi jika warga ikut terprovokasi. Tragisnya, pada tiap kasus kekerasan dalam Pemilu, rakyat pinggiran malah menjadi korban. Mereka menjadi obyek dari kepentingan politik tertentu, dijadikan massa bayaran untuk menyerang orang lain dan melakukan pengrusakan. Modus kekerasan bisa diawali dengan persebaran isu, baik dari mulut ke mulut, via sms atau media lain. Seringkali masyarakat tidak mengecek kebenarannya, tetapi gampang bereaksi, sehingga melahirkan keresahan.
Dilingkungan komunitas pingggiran, ada kecenderungan potensi kekerasan itu terjadi di antaranya karena sentimen antar komunitas. Sentimen itu dapat diolah kandidat untuk mengadu domba dan membenturkan satu komunitas dengan komunitas lainnya. Situasi seperti ini jelas akan merugikan masyarakat itu sendiri, karena merekalah yang akhirnya menjadi korban.
Perbedaan kepentingan antar komunitas pinggiran dalam beberapa kasus juga dapat memicu kekerasan selama Pemilu. Antar kelompok di komunitas pedagang kaki lima, atau komunitas miskin kota misalnya, karena mereka kadang ada gapatau jarak yang
dimanfaatkan untuk dukungan politik kandidat bisa menyulut perselisihan berupa kekerasan.
Hal paling rawan terjadi dalam Pemilu di komunitas pinggiran, adanya pemanfaatan preman untuk memaksa mereka memilih partai dan kandidat tertentu. Premanisme yang terjadi lingkungan komunitas pinggiran dapat melahirkan ketegangan.
Agar rakyat, terutama komunitas pinggiran, tidak menjadi korban tentu perlu mengenali berbagai kemungkinan terjadinya kekerasan sebagaimana dijelaskan di depan. Secara umum, potensi kekerasan terjadi di sepanjang tahapan Pemilu, pra kampanye hingga paska
penghitungan suara. Mari kita bahas secara singkat. Pra hingga masa kampanye
1. Tidak lolosnya partai politik pada tahap verifikasi atau kandidat yang dijagokan oleh kelompok tertentu pada tahap pencalonan dapat memicu kekerasan. Mereka bisa mengamuk, merusak atau menyerang kantor pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab mengeliminasi partai atau kandidatnya.
2. Tidak masuknya sejumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang dianggap basis massa kekuatan parpol tertentu dapat memicu ketidakpuasan baik di kalangan masyarakat maupun kekuatan politik yang merasa dirugikan.
3. Masa kampanye sampai dengan menjelang pemungutan suara. Biasanya tindakan kekerasan melibatkan pendukung dari masing-masing calon atau parpol yang berbeda-beda. Mobilisasi massa besar-besaran dengan membangun sentimen
dukungan komunitas tanpa dilandasi kematangan sikap dalam mengelola perbedaan afiliasi politik tentu berpotensi terjadi konflik dan kekerasan.
Pemungutan dan Penghitungan Suara
Kekerasan juga dapat mewarnai tahap pemungutan dan penghitungan suara. Hal yang biasa terjadi, jika ada salah satu atau ada pihak-pihak yang ingin melakukan tindakan kecurangan pada tahapan pemungutan suara. Demikian pula, pada tahap penghitungan suara dapat memicu aksi kekerasan, apabila para pendukung dari parpol dan kandidat yang dianggap kalah tidak siap menerima hasil penghitungan yang sedang berlangsung.
Perlu diketahui, pada lingkungan dimana komunitas pinggiran bermukim biasanya terdapat pemimpin-pemimpin informal. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh baik secara ekonomi maupun sosial dalam kehidupan sehari-hari. Ada kepala desa, majikan/bos, mandor dan lain sebagainya. Pandangan maupun sikap politik para pemimpin informal sangat mungkin mempengaruhi sikap dan arah pilihan anggota komunitas. Termasuk ketika mereka kecewa karena kandidat yang mereka usung kalah.
Komunitas pinggiran kiranya harus kian berhitung terhadap tindakan yang akan membawa dampak buruk pada kehidupannya. Mencari kebenaran dari berbagai sudut pandang, penting dilakukan. Jika pemuka-pemuka mengatakan si A adalah yang terbaik, cari tahu betul siapa si A tersebut. Apakah si A memahami persoalan kita? Apakah komitmennya dapat menjawab persoalan komunitas pinggiran. Jika masalah yang dihadapi rakyat adalah lahan yang diserobot oleh perusahaan atau harga pupuk yang tinggi, apa program yang ia miliki untuk mengatasi kondisi tersebut? Jika rakyat paham potensi calon yang maju dalam Pemilu, maka soal kalah atau menang tidak akan sampai memicu kekerasan. Karena
kekerasan adalah tindakan mereka yang tidak rasional.
Bagaimana caranya mencegah terjadinya kekerasan seperti itu? Biasakan di komunitas pinggiran untuk memfasilitasi forum atau ruang publik untuk berkumpul dan berdialog, sekalipun berbentuk informal. Kesempatan seperti itu dipakai untuk bebas mendiskusikan sikap dan pemikiran masyarakat terkait dengan masalah apapun. Jika rakyat terbiasa
membicarakan persoalan terkait dengan urusannya, maka besar kemungkinan dirinya makin cerdas dan rasional. Kecukupan informasi dan pikiran rasional akan membimbing kita dalam memahami masalah. Sehingga,tidak mudah tersulut emosinya untuk ikut dalam suatu aksi kekerasan.
Sementara itu, pencegahan kekerasan bisa dilakukan dengan segera melaporkan isu yang berkembang di masyarakat kepada pihak-pihak berwenang. Misalnya ke panitia pengawas
Pemilu. Bicarakan kabar tersebut dengan komunitas-komunitas yang ada sambil mencoba menganalisis sebab dan potensi akibat yang akan ditimbulkan dari keberadaan isu tersebut. Namun, andai saja ada kekerasan terjadi di depan mata, maka yang harus dilakukan adalah melokalisasi agar aksi tersebut tidak meluas. Sikap bahu-membahu dan saling percaya di antara warga akan menjadi penangkal dari aksi kekerasan.
Pemilu seringkali dikotori oleh tindak kecurangan. Akibatnya kualitas demokrasi terus
menyusut. Kecurangan merupakan bentuk manipulasi, melanggar aturan main untuk tujuan jangka pendek, biasanya hanya sekadar memenangkan kompetisi. Bagaimanapun juga,
kemenangan Pemilu berupa perolehan suara yang banyak harus memenuhi asas penyelenggaraan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Di lingkungan komunitas pinggiran, paling tidak ada dua potensi kecurangan dalam Pemilu. Pertama, tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat sebagai pemilih karena tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan tidak punya KTP atau identitas lain. Akibatnya mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Tapi Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan peraturan KPU Nomor 9 tahun 2013 sudah memberilkan solusinya. Mereka yang tidak terdaftar dalam DPT akan diakomodir ke dalam daftar pemilih khusus dan daftar pemilih khusus tambahan.
Kedua, Kecenderungan stigma (penilaian negatif) bahwa orang miskin itu dianggap tidak penting, sehingga mereka tidak diberi informasi yang cukup soal hak-haknya dalam Pemilu. Menganggap remeh orang miskin atau komunitas pinggiran bisa juga terjadi, baik itu
disengaja maupun tidak. Karena itu, komunitas pinggiran harus tahu bahwa dirinya punya hak untuk dilayani dalam penyelenggaraan Pemilu.
Ada beberapa modus kecurangan Pemilu yang perlu diwaspadai. Dalam prakteknya modus tersebut terjadi di sepanjang tahapan Pemilu, sebagai berikut:
1. Politik Uang
Politik uang dapat berupa pembagian uang kepada pemilih dengan tujuan membeli suara. Penyuapan terhadap penyelenggara juga dapat terjadi dengan tujuan merekayasa hasil Pemilu. Politik uang terhadap pemilih dapat berupa serangan fajar, kunjungan pada malam hari, menjelang waktu pencoblosan berakhir, dibayar setelah mencoblos di TPS. Jika
mendasarkan pada peraturan perundangan, pemberi uang dapat dikenai pidana penjara dan denda. Apa yang perlu dilakukan jika menemui kasus semacam ini? Catat kejadiannya,
tempat dan waktunya serta pihak yang terlibat, lalu laporkan ke Panwas Lapangan, dan kawal kasus itu sampai tuntas.
2. Tidak Terima Surat Undangan
Upaya menghilangkan hak politik seseorang dapat saja terjadi dalam Pemilu. Di antaranya dengan menahan atau tidak mengirimkan surat undangan kepada orang yang dianggap sebagai lawan politik. KPU dan jajarannya dituntut memfasilitasi masyarakat dengan baik dalam menggunakan hak pilihnya. Begitu juga pemilih harus pro-aktif menanyakan haknya, termasuk surat undangan kepada penyelengggara Pemilu.
3. Pemilih Ganda
Dalam Pemilu terkadang muncul kasus data pemilih ganda. Baik disengaja atau tidak, kasus ini jika modusnya untuk memperbesar dukungan dengan cara manipulasi jelas tidak bisa dibenarkan. Praktek kecurangan dengan memasukkan pemilih siluman atau seorang pemilih diberi kesempatan menggunakan hak pilihnya berulang kali akan menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain. Masyarakat komunitas pinggiran sebaiknya menolak ajakan untuk memilih dua kali, sehingga kedaulatan rakyat tidak terciderai.
4. Pengrusakan Surat Suara
Praktek ini terjadi ketika penyelenggara Pemilu memiliki kepentingan terhadap salah satu kandidat. Modusnya, saat penghitungan suara di TPS, ketika petugas membuka surat suara dan melihat hasilnya tidak sesuai dengan parpol dan kandidat yang didukungnya, secara sengaja merusak lembar suara dengan kuku jarinya. Masyarakat perlu mencermati hal ini, agar suaranya tetap bernilai.
5. Manipulasi Perolehan Suara
Pada tiap Pemilu, suara yang telah diberikan pemilih berpotensi untuk dimanipulasi. Peluang manipulasi perolehan suara dapat dilakukan di beberapa tahap. Di antaranya, terjadi ketika penghitungan suara di formulir C2 plano selesai dan akan direkap pada formulir C1.
Peluang berikutnya ketika rekapitulasi di panitia pemungutan suara (PPS), panitia p emilihan kecamatan (PPK) dan KPU Kabupaten/Kota. Dalam proses rekap dimungkinkan terjadi
pengurangan atau penambahan suara pada calon tertentu. Manipulasi semacam ini akan merugikan pemilih dan kandidat. Bagaimana mengatasinya?
Pemilih tidak boleh membiarkan praktek kotor dalam Pemilu terjadi. Pembiaran terhadap kecurangan akan semakin merusak kehidupan demokrasi. Kesejahteraan makin sulit diraih karena para pemimpin yang terpilih sudah terbiasa melakukan kecurangan. Mereka sibuk mencari cara untuk menggerogoti uang Negara dan menipu rakyat. Dengan demikian,
komunitas pinggiran yang sudah menghadapi kesulitan dalam kehidupan akan semakin sulit. Masa orde baru, mengungkap kecurangan penyelenggaraan Pemilu sangat besar risikonya. Rakyat akan berhadapan dengan aparatur Negara. Mereka diancam, bahkan di siksa agar tutup mulut. Tapi saat ini situasinya sudah berbeda. Ada ruang bagi masyarakat untuk protes dan melapor jika mendapati kecurangan.
Salah satu cara untuk mencegah kecurangan dengan meningkatkan peran saksi, pemantau dan masyarakat dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Laporkan indikasi
kecurangan kepada Panwas dan pihak-pihak yang independen agar persoalan tersebut diselidiki. Mintalah pihak-pihak tersebut untuk memproses kecurangan itu. Ajaklah
kelompok masyarakat dari kalangan menengah untuk ikut memantau bahkan kalau perlu merekam kesaksian kita,termasuk Ormas, LSM pegiat Pemilu atau Parpol. Karena pada dasarnya Pemilu yang bersih adalah kepentingan semua kalangan. Tentu saja pihak yang dituding melakukan kecurangan akan menyangkal habis-habisan, maka sediakan alat bukti
dan uraikan kronologi kejadian dengan lengkap. Kepedulian dari rakyat akan membuat para pihak yang ingin melakukan kecurangan akan berpikir ulang sebelum memperluas
prakteknya. Selain itu mengungkapkan kecurangan juga akan memberikan efek jera kepada para pelaku.
Berikut adalah modus kecurangan dan bagaimana cara mengatasinya: Pra Pencoblosan Pencoblosan Penghitungan lembaran
suara
Pengawalan surat suara
Pemilih yang belum
menerima undangan datang ke TPS terdekat atau cek lokasi TPS dengan
memasukkan nomor KTP jika KPU sudah
menyediakan situs. Pemilih yang sudah terdaftar
sebagai pemilih, tetapi tidak menerima kartu pemilih, tetap berhak memilih di TPS dengan membawa KTP.
1. Saksi atau warga perlu mengecek daftar hadir, bahwa yang hadir sesuai undangan atau ada tambahan pemilih dari wilayah lain.
2. Saksi atau warga mengecek kualitas tinta, apakah bisa dihilangkan dengan mudah atau tidak (bisa jadi tinta dari KPU ditukar).
Setelah mencoblos, penting warga tetap hadir dalam penghitungan suara dan memperhatikan dengan teliti proses pencatatan hasilnya serta mencermati jika ada potensi
pengrusakan lembaran surat suara oleh petugas TPS
Saksi atau warga memegang formulir C1 atau sertifikat hasil penghitungan suara, berita acara dan mengawal prosesnya sampai ke KPU.
Penyelenggara pemilu harus memberikan layanan yang sama kepada semua pihak baik peserta maupun pemilih. T idak boleh ada pembedaan pelayanan karena faktor latar belakang sosial ekonomi atau yang disebut diskriminasi secara struktural. Ada pula
diskriminatif berdasar kultural seperti karena perbedaan ras, etnis, agama atau komunitas tertentu.
Pemberian layanan yang berbeda merupakan bentuk pelanggaran hak warga negara. Sebab undang undang menjamin setiap warga negara dapat melaksanakan hak politiknya dengan baik. Karena itu, sudah seharusnya penyelenggara Pemilu melayani dengan baik peserta dan pemilih dengan standar yang sama dan tanpa kecuali.
Pelanggaran hak politik berpotensi dialami oleh komunitas pinggiran baik yang datang dari penyelenggara Pemilu maupun di luar penyelenggara. Misalnya petugas pemutakhiran data pemilih tidak melakukan pendataan sehingga mereka tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Pelanggaran dari luar penyelenggara misalnya datang dari majikan di tempat kerja. Sebagai contoh seorang pembantu rumah tangga yang memiliki hak suara dilarang majikannya meluangkan waktu untuk memberikan hak suaranya.
Kebutuhan warga bukan hanya sekadar terdaftar sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak suaranya. Mereka juga membutuhkan informasi, sosialisasi dan edukasi berkaitan dengan teknis dan substansi kepemiluan sehingga tidak salah dalam menggunakan hak pilihnya.
Komunitas rakyat yang terpinggirkan seperti manusia gerobak, pedagang kali lima, pengemis dan lain sebagainya wajib mendapatkan rasa aman dan bebas dari tekanan saat
menggunakan hak pilihnya.
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil juga berpeluang mendapatkan layanan yang buruk dari penyelenggara Pemilu. Misalnya pengiriman logistik Pemilu ke daerah mereka terlambat sehingga pelaksanaan pemungutan suara tidak tepat waktu.
Untuk mengantisipasi perlakuan tidak adil bagi komunitas rakyat pinggiran, mereka harus memiliki keberanian mempertanyakan hak-haknya kepada penyelenggara. Peran pemimpin informal di komunitas mereka menjadi penting untuk menjembatani kebutuhan anggota komunitasnya dengan penyelenggara pemilu.
Pemilu dan Monopoli Elit
Pemilu tidak hanya penting sebagai sebuah prosedur dalam memilih pemimpin yang akan duduk di legislatif dan eksekutif. Lebih dari itu, Pemilu ibarat menanam benih yang kelak rakyat dapat memetik hasilnya. Karena itu, benih yang ditanam harus benar-benar baik sehingga dapat tumbuh subur dan menghasilkan buah yang sehat untuk dimakan.
Pemilu seringkali tidak dikaitkan dengan problem-problem komunitas pinggiran. Masalah-nyata keseharian misalnya soal kemiskinan, pengangguran, keterbatasan modal,
penggusuran dan seterusnya kurang menjadi bahan perbincangan dalam kaitannya dengan Pemilu. Kalaupun ada hanya sebatas saat kampanye saja, setelah itu partai politik dan para politisi melupakannya.
Komunitas pinggiran jarang diajak untuk melihat Pemilu sebagai solusi untuk mengatasi persoalan hidup dan membuat masa depan mereka menjadi lebih baik. Kemiskinan dan persoalan bertahan hidup telah membuat komunitas pinggiran terbiasa hanya memikirkan solusi jangka pendek. Pemilu dianggap tidak menawarkan harapan atas perubahan yang lebih baik. Sehingga rakyat miskin banyak yang tak menggunakan kesempatan memilih. Demikian pula jika memilih, tidak perlu menggunakan banyak pertimbangan yang rumit. Misal, pak Rubino tukang bakso yang tinggal di kampung Bali akan memilih caleg yang kebetulan tinggal di sekitar wilayahnya. Sebelum Pemilu ia dan para tetangganya telah mengenal caleg ini karena sifat dermawan yang diperlihatkannya. Terutama di saat hari Raya, mereka diundang ke acara pembagian amplop tunjangan hari raya (THR). Atau simak juga bu Lastri, buruh tani, yang pernah ikut memilih, dan biasanya akan mencoblos parpol
yang ia anggap memiliki keyakinan agama yang sama dengan dirinya.
Kecenderungannya komunitas pinggiran tidak ingin berpikir rumit tentang pilihan politik mereka. Hal inilah yang nantinya akan menyuburkan praktek manipulasi parpol maupun politisi. Rakyat terus menjadi objek dalam penyelenggaraan Pemilu. Kandidat akan datang menjelang Pemilu dan memberikan kebutuhan jangka pendek komunitas pinggiran. Setelah Pemilu usai, mereka tak kelihatan lagi. Setelah duduk di kursi kekuasaan, keputusan yang dibuat malah bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Warung dan tempat usaha pedagang kecil digusur karena akan dibangun pertokoan atau perumahan mewah. Kebijakan upah buruh tidak juga memenuhi standar dan tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pelayanan publik di sektor utama seperti pendidikan dan kesehatan semakin tak terjangkau. Sementara pada saat yang sama miliaran rupiah dihabiskan untuk membangun sebuah ruangan di dalam gedung parlemen. Disitulah kegagalan demokrasi prosedural yang diperlihatkan oleh Pemilu ini.
Begitu pula kecenderungan pemanfaatan komunitas pinggiran oleh komunitas elit untuk kepentingan sesaat. Komunitas pinggiran untuk sementara dirangkul dan diberitakan lewat beragam media agar publik mengira para politisi itu juga peduli dengan mereka. Sementara perjuangan mereka di lembaga-lembaga pemerintahan tidak menyentuh akar persoalan
komunitas pinggiran.
Bagaimana solusinya? Harapan rakyat untuk berdemokrasi harus tumbuh kembali, tidak ada cara lain kecuali meningkatkan partisipasi politik dan kritis terhadap janji-janji para politisi di masa kampanye. Siapkan diri sebagai subyek, karena kedaulatan rakyat tidak boleh
dikalahkan oleh modal dan uang. Sebagai sebuah pesta demokrasi yang harus melibatkan seluruh lapisan rakyat, maka keterlibatan aktif dalam pesta demokrasi ini membutuhkan prasyarat informasi tentang calon hingga kampanye para calon. Informasi yang tidak memadai atau tidak tersosialisasi secara luas membuat warga menjadi terpinggirkan da ri proses Pemilu.
Kembangkan pengetahuan tentang kebijakan pelayanan publik dan anggaran negara. Perbanyak diskusi informal dan ajak warga kampung untuk membaca arah dari suatu janji politik. Simbol agama ataupun nasionalisme yang digunakan oleh parpol ti dak cukup jika mereka tidak memiliki agenda yang jelas untuk memecahkan persoalan komunitas
terpinggirkan.
Selain itu, rakyat membutuhkan informasi tentang siapa calon yang maju, latar belakang yang bersangkutan sebelumnya. Rakyat juga harus memperoleh in formasi tentang
komitmen politik para calon tersebut dalam merealisasikan kesejahteraan dan pelayanan publik yang lebih baik. Suarakan keraguan dan pertanyaan kritis secara langsung kepada para calon-calon tersebut atau melalui berbagai media yang ada hingga para kandidat dan parpol mendengarnya.
Rakyat harus mendesak parpol dan kandidat untuk mencatat dan memasukan persoalan dan kebutuhan rakyat dalam agenda kerjanya. Para kandidat yang tidak berani bertemu langsung dengan pemilih berarti tidak dapat dib eri kuasa untuk menjadi wakil rakyat di pemerintahan. Hanya para kandidat yang mau datang, melihat, mendengar dan punya komitmen memperjuangkan masalah-masalah rakyat yang pantas untuk diberi kepercayaan mewakili kita di pemerintahan. Dengan meletakkan harapan dan aktif di dalam Pemilu, secara perlahan Pemilu akan berubah dari agenda elit menjadi agenda rakyat yang sesungguhnya.
BERHARAP PADA PEMILU
Apa hubungan Pemilu dengan perubahan nasib masyarakat khususnya komunitas pinggiran? Pertanyaan ini selalu muncul, antara harapan dan kekhawatiran menjelang Pemilu. Sebab berulang kali Pemilu digelar, nasib rakyat miskin tak juga berubah. Jawabannya, memang tidak ada hubungan langsung Pe milu dengan kesejahteraan. Sekalipun, Pemilu dilangsungkan dengan sangat demokratis, tidak otomatis melahirkan kinerja pemerintah yang lebih baik. Pelaksanaan Pemilu yang benar secara prosedur, jujur, adil, aman dan damai belum tentu menghasilkan perbaikan keadaan setelah Pemilu
usai.
Seorang tukang becak bercerita, sudah empat kali mengikuti pemilu, baik zaman orba sampai era reformasi. Pada saat pertama kali mengikuti pesta demokrasi bernama Pemilu itu dirinya bekerja sebagai tukang becak. Nah, setelah mengikuti empat kali pemilu juga masih mengayuh becak.
Oke lah misalnya dirinya tetap menjadi tukang becak untuk mencari makan tetapi
pemerintah memberi jaminan akan layanan pendidikan dan kesehatan. Ada jaminan dari pemerintah bahwa anak-anaknya dapat bersekolah hingga perguruan tinggi. Ada
jaminan dari pemerintah jika anak dan istrinya sakit, Negara menanggung biaya pengobatannya.
Namun apa yang menjadi impian tukang becak tadi belum juga terealisasi. Begitu juga mimpi para buruh angkut, nelayan dan para petani miskin. Menjelang musim tanam harga pupuk meningkat dan barangngya langka. Berbagai skema disiapkan pemerintah, tetapi problem serupa terus berulang setiap musim tanam tiba. Rakyat menjadi putus asa.
Yang uniknya lagi, partisipasi komunitas pinggiran dalam Pemilu cukup tinggi, tetapi nasibnya mereka tidak kunjung membaik. Padahal, makna kesejahteraan di mata komunitas pinggiran sederhana, mereka bisa hidup dan bekerja layaknya manusia, tercukupi kebutuhan dasarnya. Bisa makan tiga kali sehari, punya tempat tinggal yang layak, terpenuhi kebutuhan sandang. Layanan pendidikan dan kesehatan bisa ditanggung oleh negara. Mereka tentu jauh dari imajinasi hidup foya-foya atau royal.
Dalam gambaran sederhana, misalnya para pedagang kaki lima tidak lagi digusur, buruh dijamin tidak gampang dipecat, petani mendapat kesempatan menggarap sawah dengan hasil yang baik, air, pupuk serta obat hama murah dan mudah didapat serta nelayan bisa rutin bekerja mencari ikan tanpa kesulitan. Suasana aman bekerja tanpa ancaman itu meyakinkan mereka sebagai kondisi sejahtera.
Idealnya, calon legislatif yang baik akan memaparkan gagasannya dalam memecahkan permasalahan di suatu wilayah ketika ia berkampanye. Misanya saja, bagaimana ia dapat menjawab permasalahan harga produk komoditi pertanian yang rendah di wila yah
tersebut dan tidak dapat menutupi biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani? Bagaimana ia dapat menjawab permasalahan kesehatan yang dialami oleh petani dan buruh perkebunan? Atau bagaimana agar warga dapat tetap hidup bersih dan sehat dengan keberadaan air yang kualitasnya baik?
Caleg dan parpol harus diminta untuk menjawab permasalahan kebijakan harga komoditi pertanian yang berpihak pada kelompok tani. Mereka juga harus mendorong agar petani dan buruh terjamin kesejahteraannya dengan akses pelayanan kesehatan yang gratis. Rumus pemilu dengan kesejahteraan rakyat harus dapat dijelaskan dengan masuk akal, dari mana sumber anggarannya, bagaimana mekanisme pelaksanaan dan monitoringnya.
Disinilah tantangannya, bagaimana agar partisipasi warga komunitas pinggiran dalam Pemilu itu bisa berdampak nyata mengubah nasib mereka itu, yakni tercapainya hidup layak atau sejahtera. Memang tidak mudah mengaitkan itu, karena politik Pemilu kadang ingkar dari agenda kesejahteraan, janji tinggal janji.
Kuncinya, Pemilu harus dipastikan terjadi kontrak antara kandidat dengan pemilih untuk tujuan perubahan sistem. Pemilu jangan sampai terjebak dan menjadi ajang transaksi kepentingan jangka pendek. Misalnya urusan bagi-bagi kaos, sembako, pemberian bantuan semen atau uang untuk perbaikan jalan. Pemilu bukan untuk hal seperti itu. Model kampanye seperti itu, akhirnya akan merugikan komunitas pinggiran. Sekalipun pada saat kampanye mendapatkan uang atau materi, tetapi itu tidak mungkin membuat Pemilu menciptakan kesejahteraan komunitas pinggiran.
Itu cara lama yang tidak mendidik, tentu harus ditinggalkan jika akan mengubah keadaan menuju yang lebih baik. Ujung-ujungnya menyesal. Karena setelah politisi terpilih
menjadi anggota parlemen, mereka punya alasan melupakan atau tidak peduli lagi dengan pemilih karena telah menukar suaranya dengan barang atau uang. Peristiwa itu terus saja berulang, akibatnya Pemilu tidak bermakna positif dengan urusan
kesejahteraan komunitas pinggiran. Transaksi saat kampanye tanpa disadari dampaknya memutus hubungan wakil rakyat dengan pemilih atau pendukungnya.
Apa solusinya? masyarakat komunitas pinggiran dituntut berperan aktif mengetahui track recordpara kandidat, visi dan misi yang mereka bawa apakah memperjuangkan kesejahteraan masyarakat atau tidak. Dengan kecukupan bahan itulah, pemilih bisa menilai kelayakan kandidat untuk didukung. Itulah alasan-alasan rasional dan cerdas sekaligus kritis, agar suara yang diwujudkan dalam bentuk dukungan tidak sia -sia.
Manfaatkan Pemilu agar ada komitmen antara pemilih dengan calon legislatif yang
tujuannya memperbaiki kebijakan dasar. Jika ada kontrak politik misalnya, antara pemilih dengan kandidat, maka isi kontrak hendaknya berkenaan dengan perbaikan sistem yang orientasi membenahi nasib komunitas pinggiran. Contohnya adalah bagaimana agar politisi berkomitmen untuk memperjuangkan pelayanan publik dasar seperti pe ndidikan dan kesehatan gratis sebagai hak warga negara. Orientasi perjuangannya adalah
membenahi sistem. Kalau perjuangan itu berhasil, komunitas pinggiran ini akan terkurangi beban hidupnya, perlahan mereka menjadi sejahtera.
Pelaksanaan Pemilu dinilai berhasil, salah satunya jika mampu mendorong dan menumbuhkan ketelibatan pemilih yang tinggi. Jika banyak yang datang ke TPS
menggunakan hak suaranya, maka para wakil rakyat yang terpilih merasa lebih percaya diri.
Keterlibatan warga yang tinggi dalam Pemilu, selayaknya diikuti kualitas partisipasi yang tinggi. Apa artinya? Keterlibatan warga dalam pemilu bukan karena sekadar ikut-ikutan, atau hanya memenuhi hak memilih, namun karena memiliki alasan dan pertimbangan mendukung kandidat tertentu. Memang tidak mudah menumbuhkan partisipasi yang tinggi sekaligus berkualitas.
Apa problem partisipasi pemilih? Berdasarkan pengalaman, warga enggan b erpartisipasi karena kecewa, Pemilu tidak memiliki daya tarik yang membuat pemilih datang ke bilik suara. Kisah menyusutnya angka partisipasi Pemilu karena kandidat gagal menyakinkan pemilih akan perubahan yang dapat dihasilkan dari Pemilu.
Golongan putih (golput ) adalah istilah yang populer untuk menyebut mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, dengan beragam alasan. Ada empat paling tidak soal golput; (1) masyarakat sebagai pemilih yang secara substansial memenuhi syarat, tetapi ternyata tidak terdaftar karena problem teknis administratif, sehingga hak suaranya hilang; (2) masyarakat yang terdaftar, memiliki hak pilih, tetapi sayangnya gagal menggunakannya karena alasan kendala teknis yang tidak sengaja; (3) masyarakat yang terdaftar, memiliki hak pilih dengan ditandai undangan memilih, namun keliru dan mengalami kesalahan secara tidak sengaja saat memberikan hak suara sehingga hak suaranya tidak dihitung; (4) masyarakat terdaftar, memiliki hak pilih, tetapi seca ra sadar tidak menggunakan hak pilihnya itu dengan cara tidak hadir di tempat pemungutan suara atau hadir tetapi tidak menggunakan hak pilihnya sesuai cara dan ketentuan yang berlaku mengenai sahnya suara.
Meningkat atau menurunnya partisipasi Pemilu ditentukan oleh banyak faktor. Ada faktor berkaitan dengan hal-hal yang prinsip seperti nilai atau ideologi. Ada faktor teknis menyangkut fasilitasi dan implementasi penyelenggaraan.
Mengingat Pemilu memiliki arti penting sebagai pintu masuk perbaikan cara kerja
pemerintah dalam melayani masyarakat, maka pelibatan diri komunitas pinggiran dalam Pemilu sangat penting. Pemilu sebagai hak, perlu dimanfaatkan sebaik mungkin dengan menggunakan hak suara tersebut. Hanya saja pemanfaatan hak suara harus didasari pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran kritis dalam menilai kandidat agar tercapai harapan yang diinginkan.
PEMILU
PARPOL/ KANDIDAT (BERKOMITMEN DAN
KREDIBEL)
PEMILIH
(BERPTISIPASI SECARA AKTIF, KRITIS DAN CERDAS)
Menghasilkan
Menghasilkan
KEKUASAAN YANG RESPONSIF
WARGA NEGARA YANG AKTIF (BERPARTISIPASI DALAM
PEMBANGUNAN DAN KONTROL ATAS PEMERINTAHAN)
Apa hubungan Pemilu dengan harapan keadilan? Di lingkungan komunitas pinggiran, hukum seringkali tidak memenuhi rasa keadilan. Komunitas pinggiran seringkali
mendapatkan perlakukan sewenang-wenang dan menjadi korban kebijakan. Misalnya saja penggusuran pedagang kali lima (PKL), perampasan tanah petani atas nama
pembangunan, pemecatan buruh secara sepihak dan tanpa p esangon, kekerasan pada golongan lemah, dan seterusnya. Cerita sedih itu selalu dialami komunitas pinggiran.
Dalam beberapa peristiwa, jika ada kasus yang menimpa komunitas pinggiran saat
diajukan ke lembaga hukum, seringkali tak diacuhkan. Kalaupun diproses secara hukum, selalu kalah ketika berhadapan dengan orang-orang besar baik pemilik modal maupun penguasa.
Dengan memanfaatkan buruknya kinerja aparat penegak hukum, komunitas pinggiran selalu menjadi kelompok yang kalah, bahkan mempertahankan haknya pun, terkadang mereka tak mampu. Para wakil rakyat pun tak mampu bersuara ketika kepentingan komunitas pinggiran terusik. Inilah yang membuat mereka apatis ikut Pemilu.
Kita sempat dikejutkan dengan kasus pencurian sandal jepit yang menimpa seorang bocah berusia 15 tahun di Palu, Sulawesi Tengah. Meski tak dapat dibuktikan di
Pengadilan bahwa bocah tersebut mencuri sandal pelapor, dia tetap divonis bersalah. Sementara di sisi lain banyak kasus korupsi yang tak kunjung dapat dituntaskan.
Pengalaman demi pengalaman komunitas pinggiran yang jarang merasakan keadilan ketika berhadapan dengan kekuasaan membuat mereka lebih banyak diam, pasif, dan menerima keadaan.
Oleh karena itu, menumbuhkan harapan baru atas keadilan bagi seluruh lapisan rakyat khususnya komunitas pinggiran menjadi tugas berat para kandidat yang akan b ertarung dalam Pemilu.
Sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD yang akan menghasilkan produk hukum dan mengawasi jalannya pemerintahan, para kandidat yang maju dalam pemilu harus
memiliki komitmen untuk mendorong persamaan di depan hukum bagi semua warga Negara Indonesia. Selain itu, penting memberikan pendampingan dan bantuan hukum gratis bagi rakyat miskin yang sedang tersangkut masalah hukum.
Rakyat miskin juga berhak mendapatkan akses informasi yang luas terkait dengan penyelidikan dan penyidikan kasus yang mereka laporkan ke penegak hukum.
Begitu juga dalam konteks pembangunan secara luas, mereka patut dimintai pendapat. Apalagi program dan kegiatan yang akan dijalankan pemerintah berada di lingkungan dan akan mempengaruhi kehidupan mereka. Jangan sampai pemerintah menjalankan roda pembangunan semaunya, tanpa mengerti dengan apa yang dipikirkan, dirasakan dan dibutuhkan masyarakat pinggiran.
Kalau kita cermati perjalanan Pemilu, komunitas pinggiran sebagai golongan lapis bawah struktur masyarakat cenderung loyal untuk hadir dan men gikuti Pemilu. Dalam berbagai survei, keikutsertaan mereka dalam pemberian suara sangat besar. Hanya saja, jika Negara tidak memberi jaminan keadilan, lama-lama mereka akan apatis dan menjauh dari pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Untuk itulah, Pemilu semestinya mampu memikat hati komunitas pinggiran. Para kandidat harus mampu menjelaskan secara gamblang kepada mereka, b agaimana perubahan kekuasaan dapat mewujudkan keadilan bagi komunitas pinggiran. Sehingga mereka bersemangat untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan kritis.
Karenanya mereka dituntut memiliki kemampuan dalam menilai kandidat dalam Pemilu, memiliki pertimbangan yang jelas dan rasional. Mencermati apakah wakil yang akan dipilih dapat menghadirkan tatanan pemerintahan yang memberikan rasa keadilan bagi semua.
Prinsipnya, wakil rakyat yang dipilih harus berjuang mati-matian untuk mewujudkan keadilan hukum, sosial, ekonomi dan politik. Tidak mungkin keadilan akan terwujud jika kita hanya tinggal diam, hanya menunggu secara pasif. Pemilu sangat penting dan
berharga dimanfaatkan untuk memperjuangkan keadilan secara nyata dengan cara menyerahkan mandat kepada wakil rakyat yang siap menjadi pejuang keadilan bagi komunitas pinggiran.
KESIMPULAN
Dalam sistem demokrasi, pihak yang berdaulat adalah rakyat. Mereka mewakilkan
kedaulatan atau kekuasaannya itu kepada para politisi yang dicalonkan partai politik dan perseorangan melalui Pemilu. Rakyat memberi kuasa kepada orang yang mereka percaya dengan memberinya suara. Lima tahun berikutnya rakyat dapat mencabut kuasanya itu jika para politisi tersebut tidak mampu melayani mereka dengan baik.
Pemilu merupakan cara yang paling demokratis untuk menempatkan para wakil rakyat di DPR, DPD dan DPRD. Satu suara yang diberikan oleh rakyat sangat menentukan
kemenangan partai politik dan kandidat tertentu. Tak penting suara itu dari kaum miskin, pengangguran, sakit-sakitan, tak berpendidikan dan tuna wisma. Nilai suara mereka sama dengan para konglomerat, professor, bahkan presiden sekalipun.
Pemilih adalah pihak yang menentukan ke mana bangsa ini mau di bawa. Tetapi apakah hal semacam itu sudah tercermin dalam praktek Pemilu? Sejauh ini, pemilih atau rakyat belum sepenuhnya menjadi subjek yang benar-benar menentukan. Mereka belum memiliki daya tawar yang kuat dihadapan para calon wakil rakyat. Rakyat acapkali sekedar kuda tunggangan para politisi untuk meraih kursi.
Komunitas pinggiran terus menjadi korban. Mereka dimobilisasi saat kampanye, bahkan diprovokasi untuk melakukan kekerasan dan pengrusakan hanya gara-gara ada parpol atau kandidat tertentu yang gagal memenangi kompetisi. Rakyat saling serang, terl uka dan terkadang masuk penjara. Mereka tak ubahnya “binatang peliharaan” para politisi. Bentuk-bentuk penindasan semacam inilah yang harus dilawan oleh komunitas pinggiran.
Rakyat harus sadar bahwa merekalah yang memberikan tiket bagi para politisi untuk duduk di kursi kekuasaan. Tak ada tiket yang gratis. Para politisi itu harus memberikan imbalan berupa komitmen untuk meningkatkan taraf hidup komunitas pinggiran.
Bagan di atas menggambarkan bagaimana pergeseran pola dan model, dari pemilih sebagai objek menjadi pemilih sebagai subjek. Sudah bukan zamannya lagi pemilih
dipermainkan. Pemilu harus menjadi tempat menjalin kontrak yang tulus antara kandidat atau parpol dengan pemilih. Kesepakatan yang dipilih dengan yang memilih untuk
mengubah atau memperbaiki sistem, perbaikan kebijakan yang bertujuan memperbaiki
kualitas hidup komunitas pinggiran. Itulah tantangan yang harus dijawab saat ini dan kedepan.
Mengontrol Kekuasaan
Pemilu menjadi bagian penting dalam membentuk pemerintahan yang
demokratis. Penyelenggaraan Negara harus melibatkan masyarakat secara luas. Para pejabat yang sudah diberi jabatan oleh rakyat harus siap menerima kritikan dan teguran rakyat jika mereka tak becus melaksanakan tugasnya.
Kekuasaan yang dipegang oleh para pejabat tersebut harus tetap di bawah kendali rakyat. Mereka tidak dibenarkan bertindak semaunya. Karena tugas utama
mereka adalah melayani rakyat yang telah memilihnya.
Namun sialnya, setelah Pemilu usai, seolah selesai pula tugas pemilih. Mereka tak lagi mengawasi para pejabat yang diberi kuasa itu apakah bekerja dengan benar atau jusrtu menyimpang. Umumnya tidak ada lagi sikap kritis dari pemilih atau warga negara terhadap jalannya pemerintahan.
Sikap kritis hilang karena tekanan hidup yang berat. Warga komunitas pinggiran, disibukkan dengan urusan perut, mencari nafkah untuk dapat bertahan hidup. Mereka lupa bahwa pejabat dengan rakyat harus saling mendukung dan saling mengawasi agar kesejahteraan yang menjadi cita-cita bersama tercapai.
Pertanyaannya, bagaimana seharusnya pemilih atau warga komunitas pinggiran aktif dan mengawasi kinerja pejabat yang dihasilkan dari Pemilu? Dalam hal keseharian, masyarakat dapat menilai kualitas layanan dasar yang diberikan pemerintah seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Sejauhmana pemerintah menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat dan sejauh mana hak
masyarakat untuk dilayani terpenuhi dengan baik.
Referensi
Meyer, Thomas, DEMOKRASI, sebuah pengantar penerapan , FES, Jakarta, 2003 Robert Dahl, Perihal Demokrasi: menjelajahi teori dan praktek demokrasi secara
singkat , Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001
Eva Etziony-Halevy, Demokrasi dan Birokrasi, sebuah dilema politik , Matapena, Yogyakarta, 2011