• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. masyarakat dewasa ini. Praktek korupsi yang dilakukan pejabat Indonesia adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. masyarakat dewasa ini. Praktek korupsi yang dilakukan pejabat Indonesia adalah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Masalah korupsi merupakan topik hangat yang menjadi perhatian masyarakat dewasa ini. Praktek korupsi yang dilakukan pejabat Indonesia adalah hal yang menjadi perhatian utama karena saat ini sudah mencapai kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.1

Menurut Amien Rais2

Upaya pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi telah dilakukan melalui Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penanganan Korupsi sebagai suatu permasalahan sistemik, memerlukan , di Indonesia masalah korupsi telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Selama beberapa dasawarsa, fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional yang sangat sukar untuk ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negeri ini dengan mengatakan bahwa “corruption is way of live in indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan hidup bangsa indonesia.

1

Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Bandung, hlm. 2

2

Elwi Daniel, 2011, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Rajagrafindo Persada, Depok, hlm. 65

(2)

pendekatan penanganan secara sistematis, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan dan penindakan. Untuk memastikan dilaksanakannya langkah-langkah baik pencegahan maupun penindakan serta untuk memberikan hasil yang konkrit kepada masyarakat, pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009 yang merupakan amanat khusus Instruksi Presiden No.5 Tahun 2004 yang terdiri dari tiga elemen yaitu.3

1. Pencegahan

Langkah pencegahan dilakukan pada bidang-bidang pembangunan yang strategis dan rawan terhadap terjadinya penyimpangan, yang dilakukan secara sistemik dan komperhensif berdasarkan urutan prioritas pada seluruh pilar-pilar integritas negara, baik di bidang eksekutif, yudikatif dan legislatif 2. Penindakan

Penindakan dilaksanakan untuk mewujudkan nilai-nilai dan harapan yang terdapat di masyarakat, penguatan pemberdayaan peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan korupsi dengan langkah-langkah prioritas dalam penindakan pada percepatan penanganan dan eksekusi perkara tindak pidana korupsi melalui peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum dan pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum.

3. Pengawasan dan Evaluasi

Selain penguatan pengawasan dan evaluasi dari lembaga pemerintah juga sangat diperlukan pengawasan yang bersiat eksternal dimana elemen

3

Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009, Kementerian Perncanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, hlm. 22-26

(3)

masyarakat dapat memberikan kontribusi dan implikasi yang besar terhadap pemberantasan korupsi.

Menurut Elwi Daniel, ada dua pendekatan hukum yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan pemberantasan korupsi, yaitu pendekatan preventive administrative dan pendekatan repressive judicial. Pendekatan preventif administratif disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum tata usaha negara, dan pendekatan represif yudisial disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum pidana.4

Menurut Andi Hamzah, strategi pemberantasan korupsi bisa disusun dalam tiga tindakan terprogram, yaitu Prevention atau pencegahan tindak pidana korupsi, Public Education atau pendidikan masyarakat untuk menjauhi korupsi dan Punishment berupa pemidanaan atas pelanggaran tindak pidana korupsi.5 a. Strategi Preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengancara

menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi.

b. Strategi Public Education atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat perlu digalakkan untuk membangun mental anti-korupsi. Pendidikan anti-korupsi ini bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan agama, budaya, sosioal, ekonomi, etika, dsb.

c. Strategi Punishment adalah tindakan memberi hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagai lembaga negara yang bersifat independen yang dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun.

4

Elwi Daniel, Op.cit, hlm. 183.

5

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 249.

(4)

Tindak pidana korupsi berhubungan erat dengan praktek pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara yang baik dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sesuai dengan amanat konstitusi, pada Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan suatu lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.6

Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK menggunakan standar dan peraturan perundang-undangan sebagai dasar atau kriteria dalam melakukan penilaian. Apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan pelanggaran ketentuan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana, BPK wajib menyampaikan temuan tersebut Dalam konteks memerangi korupsi, tindakan yang pertama merupakan upaya BPK untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya korupsi. Sistem administrasi keuangan negara yang sudah ditata dengan baik, serta diperkuat dengan sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dapat menekan peluang terjadinya praktik korupsi. Secara garis besar hasil pemeriksaan BPK berupa saran dan perbaikan yang berpedoman pada asas-asas pengelolaan keuangan yang baik yang meliputi asas tertib perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, asas efisien, ekonomis dan efektif, asas transparan dan akuntabel, asas taat peraturan perundang-undangan. Dalam upaya mencegah korupsi, BPK merekomendasikan kepada pimpinan instansi untuk mempraktikkan asas dan prinsip pengelolaan keuangan yang telah diterima secara universal tersebut.

6

Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

(5)

kepada aparat penegak hukum. Tindakan kedua merupakan tindakan represif yang harus dilakukan oleh BPK karena undang-undang mewajibkan BPK menyampaikan kepada penegak hukum jika menemukan indikasi korupsi.7 Berdasarkan Pemantauan Terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK, hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana telah disampaikan kepada instansi yang berwenang selama periode Tahun 2003 s.d. 2013 sebanyak 432 temuan senilai Rp42.71 triliun, diantaranya sebanyak 48 temuan senilai Rp4.50 triliun disampaikan pada Tahun 2013. Rinciannya adalah sebagai berikut.8

1. BPK telah menyampaikan kepada Kepolisian Negara RI sebanyak 61 temuan, 2. BPK telah menyampaikan kepada Kejaksaan RI sebanyak 201 temuan.

3. BPK telah menyampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 170 temuan.

Secara keseluruhan, dari 432 temuan tersebut, instansi yang berwenang telah menindaklanjuti sebanyak 319 temuan atau 73,84% yaitu pelimpahan kepada jajaran/penyidik lainnya sebanyak 45 temuan, penyelidikan sebanyak 93 temuan, penyidikan sebanyak 38 temuan, proses penuntutan dan persidangan sebanyak 26 temuan, telah memperoleh putusan pengadilan sebanyak 102 temuan, dan penghentian penyidikan dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) sebanyak 15 temuan. Adapun sebanyak 113 temuan atau 26,16% belum ditindaklanjuti atau belum diperoleh informasi tindak lanjutnya dari instansi yang berwenang.9

7

Sesuai dengan Undang-undang No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 8 ayat (3), apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

8

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2013, Biro Humas dan Luar Negeri BPK, Jakarta, 3 Maret 2014, hlm. 58

9

(6)

Untuk memperkuat sinergi dalam upaya pencegahan dan memerangi korupsi, maka sejak tahun 2006 hingga 2008, BPK membuat kerjasama dengan aparat penegak hukum, yakni Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian. Selain itu, dalam rangka mencegah dan memerangi praktik pencucian uang, BPK juga membuat kesepakatan bersama dengan Pusat Pelaporan Atas Transaksi Keuangan (PPATK).10

Atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, BPK dapat melakukan pemeriksaan lanjutan atas temuan dugaan tindak pidana korupsi dan menghitung kerugian negara. Dalam proses peradilan tindak pidana korupsi, untuk menentukan terbukti tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, perlu dibuktikan unsur perbuatan melawan hukum dan pembuktian adanya kerugian negara. Oleh karena itu, kerugian negara harus dapat dibuktikan. Satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian Negara dalam proses peradilan tindak pidana korupsi adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).11

BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian Negara/daerah. Keterangan yang diberikan oleh BPK selaku ahli dalam proses peradilan adalah keterangan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atau berdasarkan penilaian dan perhitungan kerugian Negara yang dilakukan BPK.

Untuk dapat membuktikan adanya kerugian Negara, dalam Pasal 11 huruf c Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 disebutkan bahwa:

12

10

Dalam bekerjasama dengan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) BPK telah melakukan kerja sama dalam bentuk nota kesepakatan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) yaitu (a) Kesepakatan Bersama BPK dan Kejaksaan Agung No.01/KB/I-VIII.3/07/2007/ KEP- 071/A/JA/07/2007, (b) Kesepakatan Bersama BPK dan POLRI No. 01/KB/I-III.2/11/2008/ POL :B/11/XI/2008, (c) Kesepakatan Bersama BPK dan KPK No. No.01/KB/I-VIII.3/09/2006 / 22/KPK-BPK/IX/2006 dan (d) Kesepakatan Bersama BPK dan PPATK 02/KB/I-VII.3/09/2006 / NK-1/1.02/PPATK/09/06

11

Tim Redaksi, Februari 2012, Warta BPK, Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 7

12

(7)

Dalam memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan tindak pidana korupsi, BPK harus berpedoman pada ketentuan umum yaitu hukum acara pidana yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta peraturan internal BPK yaitu Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 3 Tahun 2010 tentang Tatacara Pemberian Keterangan Ahli; Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 17/K/I-XIII.2/12/2008 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah; dan Keputusan Sekretaris Jenderal BPK RI No. 208/K/X-XIII.2/4/2013 tentang Pedoman Pemberian Keterangan Ahli dari BPK. Namun, dari peraturan perundang-undangan tersebut tidak terdapat ketentuan yang secara jelas mengatur mengenai kualifikasi ahli yang dapat dipakai sebagai acuan bagi BPK dan aparat penegak hukum agar dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi.

Keterangan ahli BPK yang memiliki keahlian khusus dalam bidang keuangan negara dan kerugian negara dapat membantu bagi aparat penegak hukum agar dapat membuat terang tindak pidana. Berdasarkan hukum positif yaitu KUHAP, telah diatur bahwa keahlian khusus yang dituangkan dalam bentuk keterangan ahli dapat disampaikan dalam tahap-tahap pemeriksaan perkara pidana mulai dari tahap penyidikan hingga pemeriksaan pada sidang pengadilan. Pada pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan, keterangan ahli dapat memiliki kekuatan sebagai salah satu alat bukti yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi.

(8)

Keterangan ahli dari BPK dalam tahap penyidikan dan penuntutan sangat diperlukan untuk membantu penyidik dan penuntut umum dalam pembuktian kerugian negara yang memerlukan penghitungan yang rumit atau kompleks. Dalam putusan perkara No.04/Pid.Sus.Tipikor/2012/PN.GTLO tindak pidana korupsi Dana Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) Kabupeten Bone Bolango, Majelis Hakim yang diketuai oleh Mustari memasukkan Keterangan Ahli dari BPK yang berupa laporan hasil perhitungan kerugian negara/daerah sebagai dasar pertimbangannya. Majelis Hakim memasukkan laporan hasil perhitungan kerugian negara/daerah No. 02/LHP-PKN/XIX.GOR/II/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang perhitungan kerugian Negara/daerah atas pengelolaan dana Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) pemerintah Kabupaten Bone Bolango tahun anggaran 2007 s/d 2010 sebagai Alat Bukti Surat. Hakim berpendapat bahwa tidak perlu menghadirkan Ahli dari BPK di persidangan karena dengan alat bukti surat tersebut dapat membuktikan unsur kerugian negara/daerah dan nilai kerugian tersebut secara sah dan meyakinkan.

Permasalahan kualifikasi Keterangan Ahli dari BPK terkait dengan seseorang yang dapat memberikan keterangan ahli di persidangan, topik dan materi keterangannya, serta bentuk keterangan yang disampaikan di dalam persidangan. Keterangan Ahli dari BPK diharapkan dapat menjelaskan unsur dan nilai kerugian negara dan Hakim berhak memiliki pertimbangan yang diyakininya, termasuk dalam mengukur relevansi keterangan ahli dengan perkara serta menilai kapasitas ahli tersebut.13

13

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan istilah ‘kualifikasi’ sebagai berikut: (a) Pendidikan khusus untuk memperoleh suatu keahlian; (b) Keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu (menduduki jabatan dsb); (c) Tingkatan; (d) Pembatasan. Ibid. hlm. 476

(9)

Dalam sidang tingkat pertama kasus korupsi dana operasional PT Jogja Tugu Trans misalnya, Hakim mengharuskan penuntut umum untuk menghadirkan Ahli dari BPK sesuai dengan Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Negara/Daerah dan Berita Acara Pemeriksaan Ahli pada tahap penyidikan di persidangan untuk menjelaskan nilai kerugian negara/daerah. Dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama Majelis Hakim mngesampingkan Keterangan Ahli dari BPK terkait nilai kerugian negara/daerah. Berdasarkan pembuktian di persidangan, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta yang dipimpin Hakim Ketua Suwarno memutus dalam perkara Dana Operasional PT. JTT tidak ada kerugian keuangan negara seperti dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Majelis tetap memvonis Mulyadi dan Poerwanto bersalah melanggar Pasal 3 Undang Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis berpendapat kedua terdakwa terbukti menyalahgunakan kewenangan dan jabatan dalam proses pencairan Dana Operasional PT. JTT pada Februari 2008. Proses pencairannya melalui kasbon dan tidak disertai dokumen resmi sehingga melanggar ketentuan administrasi. Perbuatan kedua terdakwa itu juga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.14

Keterangan ahli dari BPK dibutuhkan untuk menerangkan dan menjelaskan salah satu unsur tindak pidana korupsi yaitu adanya kerugian negara/daerah. Keterangan Ahli dari BPK dalam persidangan belum tentu dapat

14

Hanafi, Ristu, “Vonis Rendah Jaksa Banding”, diakses tanggal 31 Maret 2014

(10)

digunakan oleh hakim sebagai salah satu upaya untuk membuat terang suatu perkara pidana karena nilai pembuktiannya yang tidak mengikat.15

B. Rumusan Masalah

Dari beberapa permasalahan terkait dengan nilai pembuktian dan kualifikasi Keterangan Ahli dari BPK seperti diatas yang menjadi latar belakang penulis melakukan penelitian tesis dengan judul “Nilai Pembukt ian dan Kualifikasi Keterangan Ahli dari BPK dalam Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Korupsi”.

Berdasarakan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah nilai pembuktian keterangan ahli dari BPK dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah kualifikasi ahli dari BPK yang dapat dijadikan acuan bagi BPK dan aparat penegak hukum agar dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi?.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

15

Yahya Harahap menggunakan istilah “nilai pembuktian” seperti dalam hlm. 283-284 “Yahya Harahap berpendapat, suatu keterangan ahli juga dapat dikesampingkan karena ada pandangan yang menilai keterangan beberapa ahli (lebih dari satu orang ahli) hanya bernilai satu alat bukti. Jika beberapa keterangan ahli hanya mengungkap suatu keadaan atau suatu hal yang sama, sekalipun diberikan oleh beberapa ahli, tetapi dalam bidang keahlian yang sama, maka dianggap hanya bernilai satu alat bukti saja. Meski demikian, dalam keadaan tertentu keterangan beberapa ahli dapat dinilai sebagai dua atau beberapa alat bukti yang dapat dianggap memenuhi prinsip minimum pembuktian yang ditentukan Pasal 183 KUHAP..”

(11)

a. Untuk mengetahui nilai pembuktian keterangan ahli yang berasal dari BPK dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui kualifikasi pemeriksa/pelaksana BPK yang dapat ditunjuk oleh BPK untuk mewakili lembaga BPK menjadi ahli dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dan untuk dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum agar dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. 2. Tujuan Subyektif

Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam penyusunan penulisan tesis guna memenuhi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar magister di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Akademis

Secara akdemis penulisan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, yaitu menambah bahan pustaka dalam kajian di bidang ilmu hukum yang berkaitan dengan nilai pembuktian dan kualifikasi keterangan ahli yang berasal dari BPK dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penulisan ini bermanfaat bagi instansi/pemeriksa/pelaksana BPK dan praktisi hukum, seperti hakim dan jaksa yang berhubungan langsung dengan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi.

(12)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, tercatat beberapa penelitian mengenai keterangan ahliyang diantaranya adalah sebagi berikut:

1. Penelitian dengan judul “Kualifikasi dan Obyektivitas Ahli dalam Pemeriksaan Perkara Pidana” oleh Rafiqa Qurrata’ayun. Rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini yaitu:

a. Bagaimana kualifikasi ahli untuk dapat memberi keterangan dalam pemeriksaan perkara pidana?

b. Bagaimana peran keterangan ahli hukum pidana dalam persidangan perkara pidana dikaitkan dengan ius curia novit?

c. Bagaimana hukum acara pidana mengatasi pertentangan pendapat ahli? d. Apakah keberpihakan ahli merupakan suatu masalah dalam upaya

mendapatkan kebenaran materiil?.

2. Dari hasil penelitian diambil kesimpulan bahwa:

a. Dari beberapa doktrin hukum dan praktik yang dijalankan penegak hukum maupun advokat, kualifikasi ahli ditentukan berdasarkan pendidikan formal yang telah ditempuh, rentang waktu pengalaman ahli, serta relevansinya dengan perkara yang tengah diperiksa. Kualifikasi yang juga diperhitungkan adalah rekam jejak mengenai sikap moral ahli berupa obyektivitas dan pertanggungjawaban mengenai keterangan yang disampaikan.

b. Keberadaan ahli hukum pidana sangat penting terutama jika menyangkut isu hukum yang masih diperdebatkan atau aturan hukum yang belum jelas.

(13)

c. Jika pertentangan pendapat ahli terjadi pada tahap penyidikan, maka penyidik harus bisa menilai kebenaran pendapat ahli tersebut dengan berbagai metode. Salah satunya adalah dengan meminta ahli menyampaikan keterangannya secara ringkas, menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan tidak muluk-muluk sehingga dapat dipahami oleh penegak hukum. Jika pertentangan pendapat ahli terjadi pada tahap persidangan, hakimlah yang memegang peranan untuk mengatasi masalah tersebut. Hakim dapat mengupayakan untuk menghadirkan ahli lainnya sebagai perbandingan diantara dua pendapat sebelumnya yang bertentangan.

d. Keberpihakan ahli dapat menjadi suatu masalah dalam upaya mendapatkan kebenaran materiil. Hal itu karena keterangan ahli memiliki kekuatan sebagai alat bukti yang bisa menjadi pertimbangan hakim untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah.

3. Penelitian dengan judul “Eksistensi Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi” oleh Seviola Islaini. Rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini yaitu:

a. Bagaimana kedudukan dan kekuatan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana?

b. Bagaimana eksistensi keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi?

(14)

a. Pada pembuktian perkara pidana, keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai pembuktiannya tergantung kepada penilaian hakim.

b. Keterangan ahli dibutuhkan karena jaksa penuntut umum, penasihat hukum, maupun hakim memiliki pengetahuan yang terbatas.

Meskipun terdapat banyak penelitian yang mengkaji tentang keterangan ahli, namun penelitian ini memiliki objek yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah secara khusus mengkaji kualifikasi keterangan ahli yang berasal dari BPK agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memeriksa perkara dan nilai pembuktian keterangan ahli dari BPK dalam tahap-tahap pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan kerugian negara. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang membahas kualifikasi ahli dalam lingkup yang lebih luas yaitu ahli dalam perkara pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Sobar, nama “Kampung Gerabah” diperoleh dari pemerintah sehingga desa Anjun Gempol tersebut mulai dikenal dengan nama Kampung Gerabah, namun Kampung

Pengembangan manajemen SDM dan peningkatan mutu di lembaga pendidikan merupakan hal yang penting dalam menentukan kualitas pendidikan, maka diperlukan langkah dan upaya

Selanjutnya RKPD Minahasa Tenggara tahun 2017 disusun dengan berpedoman pada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)

Contoh dari penerimaan asli daerah adalah penerimaan dari pungutan pajak daerah, dari retribusi daerah, hasil dari perusahaan daerah, dan lainnya yang merupakan sumber

Penelitian sekarang dilakukan oleh Wisnu Aditya Nurkamal untuk menguji ulang pengaruh dimensi gaya hidup terhadap keputusan pembelian dengan menggunakan objek yang berbeda dengan

Menurut mowen dan minor menjelaskan bahwa kepercayaan konsumen adalah “semua pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen dan semua kesimpulan yang dibuat konsumen tentang objek, atribut

Berdasarkan studi lapangan yang telah dilakukan, diperoleh data produksi pabrik, jumlah order distributor ke pabrik, dan jumlah permintaan seluruh ritel sehingga

Kriteria kebaikan model yaitu MAPE dan RMSE yang diterapkan pada data out-sample menunjukkan bahwa MAPE dan RMSE model ANFIS febih kecil yaitu sebesar 3.81%