• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

5

2.1

Struktur Jembatan

2.1.1 Pengertian Jembatan

Jembatan merupakan sebuah sistem struktur yang mempunyai arti penting dalam pergerakan transportasi. Secara umum jembatan mempunyai pengertian sebagai penghubung dua tempat yang terpisah karena adanya rintangan seperti sungai, jurang bahkan laut. Tidak hanya itu, perkembangan sistem transportasi menghasilkan sebuah struktur jalan yang melayang melintasi jalan yang lain yang kita kenal dengan jembatan layang (fly over).

Bila jembatan kurang lebar untuk menampung jumlah jalur yang diperlukan oleh lalu lintas, jembatan akan menghambat laju lalu lintas. Dalam hal ini jembatan menjadi pengontrol volume dan berat lalu lintas yang dapat dilayani oleh sistem transportasi. Oleh karena itu jembatan dapat dikatakan mempunyai fungsi keseimbangan (belancing) dari sistem transportasi (Supriyadi dan Muntohar, 2007)

2.1.2 Jembatan Gelagar Beton

Dalam perkembanganya terdapat begitu banyak jenis jembatan yang ada. Mulai dari jembatan pelengkung (arch bridge), jembatan rangka (truss bridge), jembatan beton (concrete bridge), jembatan gantung (suspension bridge), dan jembatan cable stayed. Seluruh tipe jembatan tersebut sudah ada di Indonesia. Namun yang paling umum dijumpai adalah struktur jembatan beton, sehingga jembatan beton menjadi topik utama dalam penelitian ini.

Jembatan gelagar beton terdiri atas gelagar utama (longitudinal) dengan slab beton diatasnya sehingga membentuk balok T dilengkapi dengan diafragma (tranversal) untuk memperkaku gelagar utamanya. Jarak antar gelagar utama harus

(2)

dikondisikan sehingga dapat menggunakan slab tipis agar beban mati akibat beban sendiri juga menjadi kecil. Tipe ini digunakan secara luas dalam konstruksi jembatan di Indonesia. Secara umum bagian-bagian jembatan gelagar beton dapat dilihat dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Bagian jembatan gelagar beton

(Sumber : ardianfajar.files.wordpress.com)

Bagian-bagian jembatan secara umum terdiri dari tiga bagian utama yaitu struktur atas (superstructure), struktur bawah (substructure).

1. Struktur Atas Jembatan

Struktur atas jembatan atau superstructure merupakan bagian jembatan yang menerima beban luar secara langsung. Beban luar dapat berupa beban mati, beban mati tambahan, beban lalulintas, dll. Struktur atas jembatan terdiri atas dek atau slab jembatan termasuk trotoar, girder, balok diafragma dan perletakan atau tumpuan.

2. Struktur Bawah Jembatan

Struktur bawah jembatan atau substructure merupakan bagian jembatan yang berfungsi untuk meneruskan beban yang diterima dari struktur atas jembatan dan menerima beban lain seperti beban tekanan tanah, aliran air, dsb. Lalu beban-beban tersebut disalurkan ke struktur pondasi dan kemudian disalurkan ke tanah. Komponen dari struktur bawah jembatan terdiri dari abutment, pier termasuk pierhead dan pilecap.

(3)

Pondasi merupakan struktur yang berfungsi untuk menopang beban sendirinya dan semua beban diatasnya untuk kemudian disalurkan ke tanah. Terdapat berbagai macam pondasi yang dapat digunakan sebagai pondasi jembatan. Diantaranya adalah pondasi telapak dan pondasi sumuran untuk penggunaan pada jembatan sederhana yang tidak terlalu panjang dan pondasi tiang pancang untuk penggunaan pada jembatan yang membutuhkan tingkat kemananan struktur yang lebih tinggi.

2.1.3 Pembebanan Pada Jembatan

2.1.3.1Beban Tetap

Beban tetap adalah beban mati yang terdiri dari semua bagian jembatan (elemen struktural) yang ditinjau termasuk segala unsur tambahan (elemen non-struktural) yang dianggap sebagai satu kesatuan denganya. Dalam SNI T-02-2005 beban tetap jembatan dibagi dalam 2 jenis yaitu beban mati akibat berat sendiri dan beban mati tambahan.

A. Beban Mati (Dead Load)

Beban mati berasal dari berat sendiri bagian bangunan, yaitu berat bagian tersebut dan elemen struktural yang dipikulnya. Termasuk berat bahan bagian jembatan pada elemen struktural ditambah dengan elemen non-struktural yang dianggap tetap.

B. Beban Mati Tambahan (Superimposed Dead Load)

Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non-struktural, dan besarnya dapat berubah sepanjang umur jembatan. Contohnya, lapisan penutup permukaan perkerasan memiliki berat 2,2 t/m3, kemudian dapat diberi tebal tambahan 5 cm sebagai lapis overlay di kemudian hari.

(4)

2.1.3.2Beban Berjalan

Beban lalu lintas teridiri dari beban D dan Beban T. sebagai berikut: A. Beban D

Beban lalu lintas pada jembatan harus disesuaikan dengan kebutuhan pembebanan yang berdasarkan pada lebar jembatan dan jumlah lajur.

Table 2.1 Jumlah lajur lalu lintas

Tipe Jembatan Lebar jalur kendaraan (m)

Jumlah lajur lalu lintas (n1)

Satu Lajur 4,0 – 5,0 1

Dua arah, tanpa median 5,5 – 8,25 11,3 – 15,0 2 (3) 4 Banyak arah 8,25 – 11,25 11,3 – 15,0 15,1 – 18,75 18,8 – 22,5 3 4 5 6 (Sumber: SNI T-02-2005)

SNI T-02-2005 telah mengatur bahwasanya beban "D" harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan BGT dari beban "D" pada arah melintang harus sama. Penempatan beban ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban "D" harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 %.

2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5m, beban "D" harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (n1) yang berdekatan (Tabel 1),

dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis equivalen sebesar (n1 x 2,75q) kN/m dan beban terpusat equivalen dengan (n1 x 2,75p) kN,

(5)

3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip, bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50%. Susunan pembebanan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

4. Luas jalur yang ditempati median harus dianggap bagian jalur dan dibebani dengan beban yang sesuai, kecuali apabila median terbuat dari penghalang lalu lintas yang tetap.

Gambar 2.2 Pembebanan pada arah melintang

(Sumber: SNI T-02-2005)

Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Beban D terbagi atas beban tersebar merata (BTR) dan beban garis (BGT) seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Ilustrasi beban D (BTR dan BGT)

(6)

Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang bentang jembatan.

L ≤ 30 m  q = 9,0 kPa

L > 30 m  q dapat diperoleh dari gambar 2.3 Sumber: SNI T-02-2005

Dengan:

q = Intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan. L = Panjang bentang jembatan.

Gambar 2.4 BTR pada panjang bentang tertentu (Sumber: SNI T-02-2005)

Beban garis (BGT) dengan intensitas sebesar p kN/m harus dibebankan tegak lurus pada arah lalu lintas jembatan seperti pada Gambar 2.3 dengan besar intensitas p adalah 49 kN/m.

B. Beban T

Beban Truk (T) diaplikasikan sebagai beban dimana hanya ada satu kendaraan truk yang ditempatkan pada satu lajur lalu-lintas rencana. Besarnya beban truk adalah berat dari masing-masing as yang terbagi rata untuk kedua roda pada as tersebut. Penempatan beban truk harus dilakukan sepanjang jembatan untuk mendapatkan pengaruh dominan pada jembatan.

(7)

Gambar 2.5 Pembebanan truk (500 kN)

(Sumber: SNI T-02-2005) 2.1.3.3Beban Gempa

Letak geografis Indonesia yang berada diantara tiga lempeng besar yang terus bergerak setiap tahunya, menyebabkan potensi terjadinya gempa bumi yang besar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, beban gempa merupakan beban dominan yang sangat menentukan kapasitas dan performa sebuah struktur jembatan. SNI 1726:2012 telah mengatur secara umum bagaimana melakukan pembebanan gempa terhadap sebuah struktur bangunan gedung dan non gedung. Prosedur yang dapat diterapkan untuk memodelkan beban gempa pada jembatan dapat dilihat pada Gambar 2.6. Dimana prosedur 1 dan 2 sesuai untuk jembatan beraturan yang terutama bergetar pada moda pertama. Prosedur 3 dapat diterapkan pada jembatan tidak beraturan sehingga diperlukan bantuan penggunaan program komputer. Prosedur 4 diperlukan untuk struktur utama dengan geometrik yang rumit dan atau berdekatan dengan patahan gempa aktif. Dalam penelitian ini beban gempa yang digunakan adalah percepatan tanah yang merupakan fungsi dari waktu. Percepatan tanah tersebut diaplikasikan pada dua arah jembatan, yaitu pada arah longitudinal dan arah transversal.

50 kN 225 kN 225 kN 112.5 kN 112.5 kN 112.5 kN 112.5 kN 25 kN 25 kN 50 kN 225 kN 225 kN 1.75 m 2.75 m 5 m (4-9) m

(8)

Gambar 2.6 Prosedur pemodelan beban gempa pada jembatan

(Sumber: SNI 2833:2008)

2.1.4 Pengaruh Gempa Bumi Terhadap Struktur Jembatan

Menurut Moehle dan Oberhard dalam Fadhilah Muslim (2011), gempa dapat menyebabkan kerusakan yang besar pada jembatan. Kerusakan ini bisa diklasifikasikan dalam dua kelas, yaitu:

Primary Damage

Kerusakan ini disebabkan oleh pergerakan tanah atau deformasi yang merupakan penyebab utama dari kerusakan jembatan, dan bisa menyebabkan kerusakan lainya atau collapse.

Secondary Damage

Kerusakan ini disebabkan oleh pergerakan tanah atau deformasi yang merupakan hasil dari kegagalan struktur pada jembatan dan disebabkan oleh redistribusi dari aksi internal untuk struktur yang tidak didesain.

Gambar 2.7 Keruntuhan Struktur Jembatan Akibat Gempa Kobe

(9)

Performa struktur jembatan ketika menerima beban gempa dapat dipengaruhi oleh kondisi tanah dan kekakuan dari struktur itu sendiri. Struktur jembatan idealnya dibuat dengan konfigurasi yang teratur agar perilakunya ketika menerima beban gempa dapat dianalisis dengan mudah. Jembatan mudah mengalami kerusakan apabila terjadi deformasi yang berlebihan pada elemen yang rapuh, dengan konfigurasi struktur yang kompleks dan jembatan tidak bisa meneruskan beban dari suatu elemen yang lemah ke elemen lain yang masih kuat menahan beban (bridge lacks redundancy). Dengan kondisi seperti itu maka dibutuhkan sebuah metode cemerlang untuk mengetahui bagaimana kerusakan yang akan terjadi terhadap sebuah struktur jembatan apabila terjadi gempa.

2.2

Analisis Riwayat Waktu

2.2.1 Persyaratan Analisis

IDA dijalankan dengan melakukan analisis non-linier time history yang pada SNI 1726:2012 tentang Tatacara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung telah diatur. Analisis respon riwayat waktu nonlinier harus terdiri dari analisis model matematis suatu struktur yang secara langsung memperhitungkan perilaku hysteresis nonlinier elemen-elemen struktur. Untuk menentukan responya melalui metoda integrasi numerik terhadap kumpulan riwayat waktu percepatan gerak tanah yang kompatibel dengan spektrum respon desain untuk situs yang ditinjau.

Sesuai dengan ketentuan yang telah ada pada SNI 2833:2008 tentang Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Jembatan Analisis dinamis perlu dipertimbangkan untuk tipe jembatan dengan kinerja rumit sebagai berikut:

− Bentang utama melebihi 200 m.

− Jembatan fleksibel dengan periode panjang yang melebihi 1,5 detik. − Jembatan dengan pilar tinggi yang melebihi 30 m.

− Jembatan pelengkung dengan lantai di atas, struktur kabel (cable-stayed), jembatan gantung, jembatan yang menggunakan isolasi dasar.

(10)

Peraturan tersebut menyatakan bahwa jembatan dengan katagori kinerja rumit harus dianalisis dengan analisis dinamis. Perlu diketahui, analisis dinamis tidak hanya untuk jembatan dengan katagori kinerja rumit. Jembatan dengan kinerja tidak rumit atau dengan kata lain merupakan jembatan sederhana juga boleh dianalisis secara dinamis.

2.2.2 Gerakan Tanah

Paling sedikit harus terdapat tiga jenis rekaman gerakan tanah yang sesuai dengan spectrum desain untuk digunakan dalam analisis dinamis riwayat waktu. Setiap gerakan tanah harus terdiri dari riwayat waktu percepatan tanah horizontal yang diseleksi dari rekaman gempa aktual. Percepatan tanah yang sesuai diambil dari rekaman peristiwa gempa yang memiliki magnitudo, jarak patahan, dan mekanisme sumber gempa yang konsisten dengan hal-hal yang mengontrol ketentuan gempa yang dipertimbangkan. Gerakan tanah harus diskalakan sedemikian rupa sehingga nilai rata-rata spektrum respon dengan redaman 5 persen dari semua gerakan tanah yang sesuai pada situs tersebut sesuai dengan spektrum respon desain setempat untuk rentang periode 0,2T sampai 1,5T, dimana T adalah periode getar alami struktur.

2.2.3 Prosedur Spectral Matching

Setiap rekaman gerakan tanah yang dipilih harus ditransformasikan untuk membuat respon spektrum dari gerakan tanah tersebut. Proses transformasi tersebut dapat menggunakan bantuan software seismosignal yang didalamnya kita dapat melakukan transformasi dengan mudah. Kemudian rentang periode yang diskala, yaitu pada periode 0,2T sampai dengan 1,5T.

Respon spektrum pada wilayah dimana terdapat bangunan yang dievaluasi atau dinilai kinerjanya dipilih sebagai acuan dalam proses penyesuaian. Spectral acceleration (Sa) pada kedua respon spectrum dibandingkan untuk mendapatkan faktor skala. Perhitungan faktor skala (SF) didasarkan pada rumus berikut :

(11)

𝑆𝐹 =

∑𝑛𝑖=1Ā 𝐴𝑖

∑𝑛𝑖=1𝐴𝑖 𝐴𝑖………(2.1)

Sumber : Kalkan dan Chopra, 2010.

Dimana :

SF = Faktor Skala.

Ā = Spectral acceleration respon spektrum target. Ai = Spectral acceleration respon spektrum yang diskala.

2.3

Incremental Dynamic Analysis (IDA)

Dalam perkembangan konstruksi bangunan sipil yang berdasarkan pembebanan gempa atau biasa disebut Performance Based Earthquake Engineering (PBEE), estimasi performa struktur bangunan dalam menerima beban gempa menjadi hal yang sangat penting. Incremental Dynamic Analysis (IDA) adalah sebuah metode yang cukup menjanjikan saat ini sedang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dalam IDA sebuah analisis riwayat waktu (time history analysis) dibawah eksitasi sekelompok beban gempa yang merupakan rekaman gerakan tanah terdahulu harus dijalankan. Dimana masing-masing rekaman gerakan tanah telah diskalakan menjadi beban gempa dengan intensitas tertentu sesuai desain untuk membebani bangunan mulai dari elastis hingga mencapai ketidakstabilan global dan collapse.

Vamvatsikos dan Cornell (2002) meneliti formulasi dan konsep-konsep dasar IDA terhadap struktur baja 20 lantai dengan sistem rangka pemikul momen (SRPM). Penelitian tersebut mulai dilakukan hanya dengan sebuah rekaman gempa (single record IDA) kemudian dilakukan lagi dengan 30 rekaman gempa (multi record IDA) terhadap struktur yang sama. Semakin banyak rekaman gempa yang digunakan akan memberikan kurva IDA yang semakin bervariasi, sehingga memungkinkan dilakukan perangkuman untuk mendapatkan median 16%, 50% dan 84% kurva IDA. Hasil dari Incremental Dynamic Analysis menunjukan bahwa metode tersebut dapat menjadi sebuah alat yang sangat berharga dalam performance based earthquake engineering (PBEE).

(12)

Moridani dan Khodayari (2013) mencoba menerapkan konsep-konsep IDA untuk mengestimasi performa seismik dari sebuah struktur gedung bertingkat. Satu set rekaman gempa yang terdiri dari 31 rekaman gerakan tanah digunakan dalam penelitianya. Rekaman tersebut diperlukan untuk mempelajari pengaruh dari perbedaan sumber gempa untuk menghasilkan IDA. Dalam rangka mengevaluasi seismic vulnerability dari struktur, respon struktur mulai dari elastis sampai global instability (capacity point) dianalisis secara incremental. Hasil dari penelitian ini adalah sebuah kurva kerapuhan seismik yang menunjukan kemungkinan kerusakan struktur gedung yang bersangkutan apabila menerima beban gempa.

Mander, Dhakal dan Mashiko (2006) mengaplikasikan IDA untuk mengestimasi resiko seismik terhadap sebuah jembatan. Struktur tersebut dianalisis dengan 20 rekaman gempa. Sementara jembatan didesain menggunakan standar yang dipakai oleh New Zealand, Japan dan Caltrans. Hasil penelitian menunjukan bahwa jembatan yang didesain berdasarkan beban gempa yang mempunyai kemungkinan 10% dalam 50 tahun dengan Peak ground acceleration (PGA): 0,4g dan detailing berdasarkan standar untuk setiap negara memiliki performa yang cukup baik tanpa extensive damage. Namun apabila terjadi gempa dengan intensitas yang lebih besar seperti gempa yang mempunyai kemungkinan terjadi 2% dalam 50 tahun extensive damage bahkan collapse bisa saja terjadi.

Nazari dan Bargi (2013) meneliti tentang performa struktur jembatan yang terdiri dari dua span menggunakan Incremental Dynamic Analysis. Peak ground acceleration (PGA) dan simpangan kolom digunakan sebagai intensity measure dan indikator performa struktur. Delapan rekaman gerakan tanah digunakan dalam penelitianya. Damage state yang digunakan adalah slight, moderate, extensive dan collapse berdasarkan kriteria Hazus. Penelitian ini hanya sampai pada menentukan tingkat performa struktur namun kurva IDA yang diperoleh dapat digunakan lebih lanjut untuk membuat kurva kerapuhan seismik jembatan.

Penilaian atau evaluasi kinerja seismik jembatan menggunakan kurva kerapuhan seismik oleh para peneliti saat ini masih jarang yang menggunakan metode

(13)

incremental dynamic analysis. Kebanyakan yang sudah ada menggunakan metode nonlinier time history seperti penelitian oleh Nielson dan DesRoches (2006) tentang metode pembuatan kurva kerapuhan seismik dengan pendekatan komponen-komponen jembatan menggunakan 20 rekaman gempa. Penelitian oleh Bowers (2007) mempertimbangkan interaksi tanah dan efek liquifaksi. Kedua penelitian itu sama-sama menampilkan metode yang dapat digunakan untuk membuat kurva kerapuhan seismik, sehingga memberikan informasi yang sangat berguna dalam rangka melakukan evaluasi kinerja seismik jembatan dengan metode incremental dynamic analysis.

Dalam menjalankan IDA terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui. Pertama, harus dibuat pemodelan struktur yang ingin dianalisis dan sekelompok rekaman gerakan tanah harus dipilih. Setiap rekaman harus diskalakan sesuai dengan spektrum desain, lalu analisis riwayat waktu dijalankan dan hasilnya diolah. Dengan begitu kita dapat memperoleh kurva IDA dari respon struktur dimana kurva tersebut tersusun atas damage measure yang berupa drift ratio dan intensity measure atau intensitas beban gempa berupa peak ground acceleration (PGA).

Secara umum tahapan yang harus dilalui dalam melakukan penilaian kinerja seisimik sebuah jembatan dengan metode IDA adalah sebagai berikut:

1. Memilih rekaman gerakan tanah yang sesuai.

2. Menggunakan aturan dan langkah yang tepat untuk melakukan penyekalaan rekaman gempa.

3. Menjalankan analisis dinamis riwayat waktu secara bertahap dengan skala intensitas gempa yang semakin meningkat (incremental).

4. Mengolah hasil analisis untuk membuat kurva IDA dari keseluruhan rekaman gempa yang digunakan dan merangkum kurva tersebut untuk mempermudah proses analisis selanjutnya.

5. Mendefinisikan kriteria batasan kinerja (limit states) pada kurva IDA, sehingga perilaku dan respon struktur ketika menerima beban gempa pada setiap batasan kinerja dapat diketahui.

(14)

6. Pengolahan data lebih lanjut dapat dilakukan untuk membuat kurva kerapuhan seismik.

2.3.1 Single Records IDA

Satu rekaman gerakan tanah harus dipilih dari data base rekaman gerakan tanah yang menjadi beban utama struktur. Rekaman tersebut masih alami meskipun mungkin sudah diolah oleh seismologis. Alami dalam hal ini artinya adalah rekaman tersebut belum diskalakan. Setiap gerakan tanah pasti mempunyai percepatan dilambangkan a1, a adalah vector dengan elemen a1 (t1), t1=0,t1,…..,tn-1.

Untuk menghitung gempa yang lebih kuat atau lebih lemah, transformasi sederhana diperkenalkan secara umum untuk menyekalakan naik atau turun menggunakan scalar λ.

aλ = λ.a1………..……….(2.2)

Sumber: Vamvatsikos dan Cornell, 2002

Dengan:

aλ = Rekaman gempa yang sudah terskala.

λ = Faktor skala (SF).

a1 = Percepatan rekaman gerakan tanah.

Operasi diatas dapat dengan senang hati dilakukan untuk menskalakan rekaman gempa dengan scale factor (SF). Dimana SF dari sebuah accelerogram (rekaman gempa) yang diskala (aλ) adalah non-negative skalar λ yang menghasilakan aλ

ketika dikalikan dengan percepatan gempa alami a1. Harus diketahui bahwasanya

nilai λ=1 menandakan bahwa itu adalah rekaman gempa alami, λ<1 menandakan rekaman gempa telah dikecilkan, λ>1 menandakan rekaman gempa telah dibesarkan.

Intensity Measure (IM) dari rekaman gerakan tanah yang diskala (aλ) adalah non

negative skalar IM yang mengkonstitusi persamaan IM = fa1 (λ), yang tergantung

pada rekeman gempa alami (a1) dan secara monoton dinaikan berdasarkan faktor

(15)

Damage Measure (DM) adalah non-negative skalar yang merupakan respon struktur berdasarkan pembebanan gempa. Dengan kata lain DM merupakan parameter yang dapat diamati berdasarkan pembebanan yang dilakukan. Sebagai contoh DM pada gedung dapat berupa simpangan antar lantai, simpangan puncak, interstorey drift dan pada jembatan salah satu yang dapat dipakai adalah simapangan puncak kolomnya. Vamvatsikos dan Cornell 2002 mengatakan bahwa memilih DM tergantung penggunaan dan didasarkan pada strukturnya itu sendiri, bahkan jika diinginakan dapat digunakan lebih dari satu DM yang dihasilkan dari satu analisis riwayat waktu yang sama untuk mengkaji perbedaan karakteristik respon, batas kerusakan (limit state) atau mode kegagalan struktur dalam PBEE. Dengan diketahuinya intensity measure dan didapatkanya damage measure kita dapat mendefinisikan IDA dan kurva IDA juga dapat dibentuk.

Single-Record IDA adalah sebuah penelitian yang membutuhkan analisis dinamis dari model struktur yang ada dengan analisis dinamis yaitu riwayat waktu. IDA membutuhkan analisis dinamis yang dijalankan secara berulang dibawah beban gempa yang telah diskalakan. Dimana IM adalah parameter yang digunakan sebagai beban pada saat proses analisis dijalankan mulai dari elastis sampai bangunan runtuh (collapse). Tujuan dari proses analisis berulang tersebut adalah untuk mendapatkan DM sebagai parameter yang menunjukan respon bangunan terhadap beban gempa yang ada. Ketika DM dan IM yang bersesuaian diplot dalam sebuah koordinat kartesius maka didapatkan sebuah kurva yang disebut kurva IDA.

2.3.2 Multi Records IDA

Harus diperjelas lagi bahwasnya single record IDA tidak dapat menampilkan secara utuh respon struktur terhadap beban gempa dimasa depan. IDA sangat tergantung pada rekaman gerakan tanah yang dipilih, oleh karena itu sejumlah rekaman gerakan tanah harus dipilih sebagai beban gempa dalam analisis riwayat waktu. Dengan kata lain, satu model struktur harus dianalisis menggunakan beberapa rekaman gempa yang sesuai agar didapatkan perilaku atau respon struktur yang sebenarnya apabila terjadi gempa dimasa yang akan datang.

(16)

Multi records IDA dapat diartikan sebagai kumpulan single records IDA terhadap satu model struktur yang sama dibawah eksitasi beberapa rekaman gemga yang berbeda. Penelitian tersebut menghasilkan satu set kurva IDA yang digambarkan dalam satu kurva yang memiliki parameter IM dan DM yang tampak seperti Gambar 2.8 untuk struktur gedung 5 lantai dengan sistem steel braced frame (Vamvatsikos dan Cornell 2002).

Gambar 2.8 Kumpulan Kurva IDA pada Satu Struktur Gedung 5 Lantai

(Sumber: Vamvatsikos dan Cornell, 2002)

2.3.3 Batas Kerusakan (Limit State)

Beberapa kriteria batasan kerusakan struktur dapat diapakai dalam menentukan performa struktur berdasarkan kurva IDA. Dalam penelitian sebelumnya (Vamvatsikos dan Cornell 2002) menggunakan kriteria batasan kinerja immediate occupancy (IO), collapse prevention (CP) dan global instability (GI) yang diterapkan untuk bangunan gedung. Pada penelitian yang lain Mander dan Basoz (1999) menggunakan kriteria yang sesuai dengan batasan kinerja yang digunakan pada struktur jembatan sesuai dengan ketentuan HAZUS.

(17)

Tabel 2.2 Deskripsi batasan kinerja struktur berdasarkan Hazus. Batas kinerja Deskripsi kerusakan yang terjadi

Slight/Minor Damage

Retakan kecil dan terdapat pecahan pada abutment, terdapat sedikit pecahan dan retakan pada sendi atau sambungan, terjadi sedikit pecahan pada kolom yang hanya membutuhkan perbaikan lapisan luar saja dan sedikit retakan pada dek jembatan.

Moderate Damage

Pada beberapa kolom terdapat pecahan dan retakan yang agak besar namun kolom masih dengan aman dapat tegak berdiri sebagai penopang utama struktur, pada sambungan terdapat retakan akibat gaya geser yang berlebihan hingga terdapat beberapa baut yang bengkok dan terjadi sedikit penurunan pada ujung jembatan.

Extensive Damage

Beberapa kolom mengalami kerusakan yang cukup parah hingga sudah tidak aman lagi sebagai penopang utama struktur, pada beberapa sambungan sudah kehilangan fungsinya sebagai tumpuan dan terjadi penuruan pada ujung jembatan.

Complete Damage

Beberapa kolom sudah collapse dan semua sambungan sudah kehilangan fungsinya sebagai tumpuan sehingga mengakibatkan keruntuhan pada dek jembatan.

(Sumber: Nielson, 2005)

Menentukan batas kinerja struktur merupakan langkah penting dalam melakukan penilaian atau evaluasi terhadap performa struktur saat menerima beban gempa. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk mencari parameter yang digunakan untuk menentukan batasan kinerja tersebut. Table 2.2 menampilkan deskripsi kriteria kerusakan menurut Hazus. Berdasaran pengertian tersebut dalam penelitian ini drift ratio kolom digunakan sebagai parameter kerusakan. Sementara itu nilai dari setiap batas kerusakan diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya yang

(18)

terangkum dalam Table 2.3 dimana limit state menurut Kim dan Shinozuka (2004) dipilih untuk melakukan analisis kerapuhan seismic.

Tabel 2.3 Nilai batas kerusakan pada setiap limit state Damage

Measure Referensi

Limit State

Slight Moderate Extensive Complete

Drift Ratio, δ/h

Banerjee dan Shinozuka (2008)

1,0 % 2,5 % 5,0 % 7,5 %

Kim dan Shinozuka (2004)

0,7 % 1,5 % 2,5 % 5,0 %

Li et al. (2012) 1,45 % 2,6 % 4,3 % 6,9 % Yi et al. (2007) 0,7 % 1,5 % 2,5 % 5 %

(Sumber: SYNER-G: Typology Definiton and Fragility Functions for Physical Elements at Seismic Risk, 2005)

2.3.4 Kurva IDA

Kurva IDA dapat didefinisikan sebagai penggambaran damage measure (DM) hasil analisis yang bersesuaian dengan intensity measure (IM) yang menandakan bahwa pembebanan gempa dijalankan naik seiring dengan waktu berdasarkan faktor skala (λ) mulai dari elastis sampai struktur mengalami collapse. Ketika sebuah struktur dianalisis menggunakan metode IDA, setiap rekaman gerakan tanah akan menghasilkan respon struktur yang berbeda sehingga kurva IDA yang didapat berbeda pula. Sebagai contoh dalam penelitian Vamvatsikos dan Cornell 2002 mengilustrasikan kurva IDA dari sebuah struktur gedung 5 lantai dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Semua kurva menunjukkan wilayah linear elastis yang berbeda yang berakhir pada Sa yield (T1,5%) ≈ 0,2g dan pada θmax yield = 0,2%. Sebenarnya, setiap model

struktural dengan elemen elastis linear pada awalnya akan menampilkan perilaku seperti itu, yang berakhir ketika non-linearitas pertama muncul, yaitu ketika setiap elemen mencapai akhir elastisitasnya. Kemiringan IM/DM dalam bagian ini pada kurva IDA disebut kekakuan elastis (Vamvatsikos dan Cornell, 2002).

(19)

Gambar 2.9 Kurva IDA struktur gedung 5 lantai dengan T1=1,8s berdasarkan 4 rekaman gempa yang berbeda

(Sumber: Vamvatsikos dan Cornell, 2002)

Penjelasan mengenai kurva IDA yang menunjukan perbedaan perilaku akibat beban gempa yang berbeda telah dijelaskan oleh Vamvatsikos dan Cornell, 2002. Bahwa

apabila diperhatikan, setiap kurva IDA pada Gambar 2.9 berakhir pada level IM yang berbeda. Pada kurva (a) setelah melewati sifat elastisitasnya dengan tajam terjadi pertambahan drift ratio yang sangat besar hingga collapse. Sementara pada kurva (c) dan (d) terlihat membentuk gelombang disekitar bagian elastisnya. Perilaku seperti itu biasanya terjadi pada struktur dengan periode getar alami menengah, perpindahan global inelastis umumnya kurang lebih sama dengan perpindahan dari model elastis yang sesuai. Bentuk yang bergelombang pada kurva (c) dan (d) secara berturut-turut menampilkan softening dan hardening pada wilayah dimana kemiringan lokal atau kekakuannya menurun seiring bertambahnya IM sehingga perpindahan menjadi besar dan sebaliknya. Berarti bahwa pada saat struktur mengalami percepatan tingkat akumulasi DM, pada waktu yang lain terjadi deselerasi yang dapat cukup kuat untuk sejenak menghentikan akumulasi DM atau bahkan membalikkan itu, sehingga secara lokal menarik kurva IDA dan menghasilkan DM yang relatif lebih rendah dan membuat fungsi non-monoton dari IM (kurva d). Akhirnya dengan asumsi bahwa model memungkinkan untuk

(20)

mengalami beberapa mekanisme keruntuhan dan DM dapat digunakan untuk melacak itu, softening (pelunakan) akhir terjadi ketika struktur mengalami penambahan DM yang sangat tinggi yang menandakan telah terjadi ketidakstabilan dinamis. Hal ini dapat didefinisakan sebagai titik dimana terjadi peningkatan deformasi yang tak terbatas dengan sedikit peningkatan IM, kurva kemudian mendatar pada titik dimana peningkatan sedikit IM tadi mengakibatkan deformasi yang tak terhingga (flatline).

2.3.5 Perangkuman Kurva IDA

Setelah mendapatkan kurva IDA untuk semua rekaman gempa dan menentukan batasan kinerja struktur, data yang begitu banyak akan diperoleh. Kurva IDA menampilkan perilaku struktur yang sangat bervariasi sehingga membuat proses perangkuman data tersebut menjadi sangat penting. Teknik perangkuman yang sesuai digunakan untuk mengurangi distribusi data pada DM yang diberikan IM dan kemungkinan kejadian yang melebihi batasan kinerja (Vamvatsikos dan Cornell, 2002).

Gambar 2.10 (kiri) Kurva IDA daribanyak rekaman gempa, (kanan) rangkuman kurva IDA pada 16%, 50% dan 84%.

(Sumber: Vamvatsikos and Cornell, 2002)

Selain untuk melihat perilaku struktur secara umum ketika menerima beban gempa, perangkuman kurva IDA juga berguna dalam rangka menghitung ketidaktentuan struktur. Pada proses perangkumanya akan didapatkan median dari 16% data, 50% dan 84% data sesuai ilustrasi pada Gambar 2.10.

(21)

2.4

Kurva Kerapuhan Seismik (Fragility)

2.4.1 Pengertian Kurva Kerapuhan Seismik

Penilaian kinerja seismik dapat didefinisikan sebagai estimasi potensi kerusakan dan kerugian akibat beban gempa. Keutamaan dari penilaian ini membuat kita dapat memprediksi seberapa besar kerusakan atau kerugian yang akan kita alami ketika sebuah struktur bangunan menerima beban gempa. Dengan mengetahui potensi yang ada perencana dapat mendesain bangunan agar lebih kuat menahan beban gempa.

Kurva kerapuhan seismik adalah sebuah kurva yang menampilkan kemungkinan kerusakan yang terjadi pada sebuah struktur apabila menerima beban gempa dengan intensitas tertentu. Kurva ini menjadi begitu penting ketika kita melakukan penilaian atau evaluasi kinerja seismik sebuah struktur. Karena menampilkan tingkat kerapuhan seismik sebagai kemungkinan kerusakan berdasarkan beban gempa yang melebihi beban rencana pada performa atau tingkat kinerja (limit state) struktur tertentu. Sehingga kita dapat memprediksi seberapa besar kerusakan atau kerugian yang akan kita alami ketika sebuah struktur bangunan menerima beban gempa.

Dengan memfokuskan bahwa penilaian kinerja seismik dilakukan pada struktur jembatan maka kurva kerapuhan seismik merupakan element kunci dari penilaian kinerja seismik sebuah struktur jembatan. Secara umum fragility dapat dinyatakan dengan rumus berikut:

Fragility = P ( DS+| IM )………..………(2.3) Sumber: Bowers M, 2007

Dengan:

DS+ = damage state, IM = intensity measure.

Dimana DS+ merupakan kondisi dimana beberapa damage state sebuah struktur telah diketahui atau melewati limit state yang sudah ditentukan sebelumnya.

(22)

Sedangkan IM merupakan intensitas beban gempa yang dibebankan. Dengan begitu, rumus (2.3) dapat ditulis ulang dengan mendifinisikan limit state terlebih dahulu, menjadi (Bowers, 2007) :

Fragility = P(DS+ | LS+ ) P(LS+ | IM)………. (2.4) Sumber: Bowers M, 2007

Dengan:

LS+ = kondisi dimana limit state tertentu telah terlewati.

Pada kejadian terdahulu telah membuktikan bahwa salah satu jenis struktur yang mudah mengalami kerusakan akibat beban genpa adalah struktur jembatan. Mengingat pentingnya fungsi jembatan sebagai penghubung dalam sistem transportasi, dimana sistem akan terputus ketika jembatan mengalami collapse. Maka analisis kerapuhan seismik sangat diperlukan untuk menilai performa jembatan ketika menerima beban gempa dimasa depan.

2.4.2 Metode Penurunan Kurva Kerapuhan Seismik

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk membuat kurva kerapuhan seismik. Secara umum dapat dikelompokan dalam 4 katagori, diantaranya adalah empirical method, expert judgement, analytical method dan Hybrid Method.

Empirical method didasarkan pada survey dan observasi kerusakan yang diakibatkan gempa terdahulu. Metode empiris menawarkan hasil yang sangat realistis karena berdasarkan efek nyata sebuah gempa terhadap struktur tertentu. Namun memiliki kelemahan, karena sangat spesifik pada struktur, wilayah dan kondisi geologi tertentu sebagai ukuran tingkat kerusakan sebuah bangunan sehingga penggunaan metode ini pada struktur, wilayah dan kondisi geologi yang berbeda menjadi sulit.

Expert judgement merupakan metode yang berdasarkan opini dan pengalaman para ahli. Kurva yang dihasilkan mempunyai sifat yang sangat subjektif dan tergantng

(23)

kemampuan pada pengalaman individu seorang ahli untuk membuat keputusan (Bowers, 2007).

Analytical method merupakan metode yang didalamnya terdapat simulasi sebuah model struktur yang dianalisis dengan beban gempa yang meningkat secara simultan. Metode analisis didasarkan pada distribusi kerusakan yang dihasilkan dari simulasi sebuah elemen struktur berdasarkan beban gempa. Dalam Syner-G (2014) beban gempa yang digunakan berupa respon spectrum atau percepatan gerakan tanah. Metode ini dapat digunakan untuk menghasilkan kurva kerapuhan seismik pada wilayah tertentu dengan model struktur yang mirip. Sementara, pada wilayah dimana database gempa terdahulu tidak dibuat, analitycal fragility curves harus digunakan untuk melakukan penilaian seismik (Choi dkk, 2004).

Hybrid method menghasilkan kurva kerapuhan seismik dengan mengkombinasikan metode sebelumnya. Metode ini dapat digunakan dengan kombinasi analytical dan observasional data (metode empiris) atau dapat dilengkapi dengan expert judgement (Syner-G, 2014). Keuntungan dari metode ini adalah dapat saling melengkapi kekurangan antar ketiga metode sebelumnya. Metode empiris yang sangat tergantung pada struktur, wilayah dan kondisi geologi tertentu dan expert judgement yang subjektif tergantung opini oleh seorang ahli dapat disempurnakan dengan analytical method begitu pula sebaliknya.

Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun metode yang sering digunakan adalah analytical method. Karena metode analitis dapat dimaksimalkan dengan teknik komputasi yang berkembang pesat dan sangat memunginkan untuk memainkan beberapa parameter penting sehingga penelitian dalam bidang earthquake engineering dapat lebih mendalam dilakukan. Dua metode analitis yang dapat digunakan adalah capacity spectrum method (CSM) dan analisis dinamis secara umum dan yang baru-baru ini muncul adalah incremental dynamic analysis (IDA). Dalam penelitian ini metode analisis dengan IDA telah dipilih untuk menghasilkan kurva kerapuhan seismik sebuah struktur jembatan.

(24)

2.4.3 Metode Analitis Kurva Kerapuhan Seismik

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kurva kerapuhan seismik adalah sebuah kurva yang menampilkan kemungkinan kerusakan yang terjadi pada sebuah struktur apabila menerima beban gempa dengan intensitas tertentu. Limit state atau batas keruskana disebut juga kapasitas, yang telah terlampaui akibat intensitas beban gempa dapat ditampilkan dalam bentuk demand (D) dan capacity (C) (Bowers M, 2007).

Respon struktur disebut engineering demand parameter (EDP), dapat berupa daktilitas kolom, simpangan kolom, simpangan pada tumpuan atau ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan untuk mengestimasikan kerusakan. Puncak respon struktur jembatan dan rekaman gerakan tanah oleh gempa yang menyebabkan adanya respon dapat digambarkan dalam sebuah kurva. Pada pembebanan gempa, secara sederhana kerapuhan seismik dapat diartikan sebagai kemungkinan suatu kondisi dimana seismik demand struktur (D) melebihi kapasitas strukturnya (C).

Keith Porter (2016) telah merumuskan bagaimana sebuah kurva kerapuhan seismik dapat dibangun dengan metode pengolahan data secara statistik. Data-data yang digunakan untuk menghitung probabilitas kerusakan struktur sudah tersedia dalam bentuk kurva IDA. Sehingga dengan menerapkan limit state probabilitas kerusakan struktur dapat diperkirakan dengan persamaan sebagai berikut:

P

=

𝜙 (

ln(𝑥 𝜃⁄ )

𝛽𝑅𝑈

)

……….. (2.5)

Sumber: Keith Porter, 2016

Dengan:

P = Probabilitas kerusakan struktur.

Φ = Fungsi standar normal distribusi kumulatif. βRU = Ketidaktentuan total struktur.

x = Ground motion parameter, PGA (g). θ = Median capacity, PGA (g).

(25)

Median capacity dalam Persamaan 2.5 dihitung berdasarkan Persamaan 2.7 sebagai berikut:

𝑣 =

𝜎 𝜇 ……….. (2.6)

θ =

𝜇 √1+𝑣2 ………... (2.7)

Sumber: Keith Porter, 2016

Dengan:

σ = Standart deviasi nilai batas kerusakan tiap limit state. μ = Rata-rata nilai batas kerusakan tiap limit state.

ν = Koefisien variasi nilai batas kerusakan tiap limit state. θ = Median capacity, PGA (g).

Karena pada dasarnya perhitungan probabilitas keruskan melibatkan ukuran-ukuran acak yang tidak pasti, dikenal dengan random variable. Sebuah struktur mempunyai kapasitas untuk tidak collapse selama terjadi gempa, namun tidak ada ada yang tau sampai kapan struktur mampu bertahan, jadi itu tidak pasti (Porter, 2011). Sehingga muncul parameter ketidaktentuan struktur untuk memberikan toleransi perhitungan terhadap kemungkinan sebenarnya yang akan terjadi.

Secara umum terdapat dua jenis ketidaktentuan struktur, yaitu aleatory uncertain (βR) dan epistemic uncertain (βU). Aleatory uncertain adalah ketidakpastian yang

disebabkan oleh fenomena yang akan terjadi secara acak. Contohnya adalah respon suatu struktur ketika diberi ground motion. Nilai βR dapat diperoleh dengan cara

pengujian gempa terdahulu atau berdasarkan hasil observasi.

Epistemic uncertain adalah ketidakpastian yang ditimbulkan oleh adanya keterbatasan pengetahuan terhadap alam. Contoh sederhananya adalah dalam membangun sebuah model struktur pasti ada pendekatan atau asumsi yang diambil. Hal ini dilakukan karena memang sangat sulit untuk membuat model dengan variable dan parameter yang sama persis dengan alam.

(26)

Karena terdapat variasi yang sangat beragam dalam menentukan nilai ketidaktentuan struktur maka penelitian ini menggunakan 3 pendekatan yang berbeda untuk menentukan nilai ketidaktentuan. Diantaranya, ketidaktentuan menurut Keith Porter, ketidaktentuan menurut Vamvatsikos dan Fragiadakis kemudian ketidaktentuan menurut Hazus.

2.4.3.1Ketidaktentuan Menurut Keith Porter

Ketidaktentuan struktur berdasarkan teori Keith Porter dapat dihitung dengan rumusan sebagai berikut.

β = √ln (1 + 𝑣2) ………... (2.8)

Sumber: Keith Porter, 2016

Dengan:

β = Ketidaktentuan aleatory.

ν = Koefisien variasi nilai batas kerusakan tiap limit state.

Sementara itu, berdasarkan Fema P-58 nilai βU dapat ditentukan berdasarkan

seberapa representatif data yang digunakan. Jika memenuhi salah satu dari 4 kriteria berikut maka βU harus diambil sebesar 0.25 sementara jika tidak nilai βU diambil

sebesar 0.10. Dikarenakan penelitian ini menggunakan 14 data maka βU = 0.10.

1. Data yang tersedia berjumlah ≤ 5 buah.

2. Pada kenyataanya setiap elemen dapat dipasang dengan konfigurasi yang berbeda, namun diuji dalam konfigurasi yang sama.

3. Setiap elemen mendapat perlakuan pembebanan yang sama.

4. Perilaku nyata setiap komponen diharapkan berdasarkan pada 2 atau lebih demand parameter, contohnya adalah simpangan secara simultan pada 2 arah, tetapi benda uji hanya dibebani dengan 1 demand parameter.

(27)

2.4.3.2Ketidaktentuan Menurut Vamvatsikos dan Fragiadakis

Ketidaktentuan aleotory berdasarkan rumusan Vamvatsikos dan Fragiadakis (2009) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

βR = 1

2(𝑙𝑛 𝑥

84%− 𝑙𝑛 𝑥16%) ………...………... (2.9) Sumber: Vamvatsikos dan Fragiadakis, 2009

dengan:

βR = Ketidaktentuan aleatory.

x = Ground motion parameter (PGA atau Sa) sesuai limit state. 𝑥84% = Percentile 84% dari nilai x.

𝑥16% = Percentile 16% dari nilai x.

ln 𝑥84%= ln dari percentile 84% dari nilai x. ln 𝑥16%= ln dari percentile 16% dari nilai x.

Sedangkan untuk epistemic dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:

βU =

∑𝑁𝑖=1(ln (𝑥𝑖)−ln (𝜆))2

𝑁−1 ……..………...………... (2.10)

Sumber: Vamvatsikos dan Fragiadakis, 2009

dengan:

βU = Ketidaktentuan epistemic. n = Jumlah data.

xi = Ground motion parameter (PGA atau Sa) ke-i sesuai limit state. ln xi = ln data xi ke-i.

(28)

Untuk menghitung nilai ketidaktentuan Keith Porter, Vamvatsikos dan Fragiadakis menggunakan rumusan yang sama dikenal dengan square-root-sum-of-squares (SRSS) seperti pada persamaan berikut:

βRU = √𝛽𝑅2+ 𝛽

𝑈2 ……..………...……….……… (2.11)

Sumber: Vamvatsikos dan Fragiadakis, 2009

dengan:

βRU = Ketidaktentuan total. βR = Ketidaktentuan aleatory. βU = Ketidaktentuan epistemic.

2.4.3.3Ketidaktentuan Menurut Hazus

Standar deviasi untuk ketidaktentuan total dari tiap kondisi kerusakan (𝛽𝑑𝑠) merupakan gabungan dari ketidaktentuan pada nilai batas kondisi kerusakan, ketidaktentuan dalam properti kapasitas struktur yang ditinjau, dan ketidaktentuan pada demand yang berupa gerakan tanah. Ketidaktentuan total dari tiap kondisi kerusakan dapat dihitung dengan persamaan berikut :

(βds) = √[(CONV[βc, βd])]2+ [βM (ds)] 2

……....……… (2.12) Sumber: Hazus-MH MR5, 2010

dengan :

βc = Standar deviasi dari ketidaktentuan kapasitas struktur.

βd = Standar deviasi dari ketidaktentuan spektrum demand (𝛽𝑑= 0,45 untuk

periode pendek dan 𝛽𝑑= 0,5 untuk periode panjang).

βM(ds)= Standar deviasi dari ketidaktentuan nilai batas kondisi kerusakan, diambil sebesar 0,4.

(29)

Nilai standar deviasi yang menunjukan ketidaktentuan kapasitas struktur (βc) dapat

dihitung dengan persamaan 2.10.

𝛽𝑐 = √ln (s2

m2+ 1) ……… (2.13)

Sumber: Papailia A., 2011

dengan :

m = Rata-rata dari kapasitas percepatan spektra struktur yang ditinjau. s = Standar deviasi dari kapasitas percepatan spektra struktur yang ditinjau.

Gambar

Gambar 2.1 Bagian jembatan gelagar beton  (Sumber : ardianfajar.files.wordpress.com)
Table 2.1 Jumlah lajur lalu lintas
Gambar 2.2 Pembebanan pada arah melintang  (Sumber: SNI T-02-2005)
Gambar 2.4 BTR pada panjang bentang tertentu  (Sumber: SNI T-02-2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penjaga kebun binatang mengatakan bahwa jika dia menambahkan 10 tahun dengan umur beruang dan kemudian dua kali lipatnya, beruang akan berumur 90 tahun.. Berapa

(1) Sistem mengimplementasikan fitur – fitur seperti Input data supplier dan Input bobot tiap kriteria data kriteria tiap – tiap supplier menggunakan metode AHP serta output

Pendapat apapun yang disampaikan dalam laporan ini adalah untuk tujuan informasi saja dan dapat berubah tanpa pemberitahuan dan mungkin berbeda atau bertentangan dengan pendapat

Bobot segar tongkol tanpa klobot yang dihasilkan tanaman jagung manis perlakuanjarak tanamdan dosis pupuk menghasilkan bobot segar tongkol tanpa klobot yang

Masa Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama

Nilai impor Sulawesi Tenggara pada bulan Mei 2015 tercatat US$ 36,66 juta atau mengalami peningkatan sebesar 52,24 persen dibanding impor April 2015 yang tercatat US$ 24,08

Zhang (2007) mengajukan model pertumbuhan ekonomi dua sektor dalam waktu diskret, di mana dalam sistem produksi, produsen akan menghasilkan dua output (dua jenis produk)

diminta menandatangani atau cap sidik jari surat pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian bagi yang bersedia berpartisipasi dalam kegiatan penelitian. 3)