• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Allah juga Bergerak Berbelok-Belok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III Allah juga Bergerak Berbelok-Belok"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

Allah juga Bergerak Berbelok-Belok

Choan-seng Song

Pengantar

Dengan judul ini, kita akan mulai membahas pemikiran Choan-seng Song, teolog terkemuka Asia asal Taiwan yang bukunya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh BPK Gunung Mulia. Judul ini juga kami kutip dari pernyataan Song karena kami berpendapat bahwa judul ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga mengandung jawaban terhadap pertanyaan yang sedang kita gumuli: “Apakah menjadi murid berarti seseorang mesti menjadi anggota gereja institusional? Tidak dapatkah seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?”

Biografi dan Karya-Karya Song

Choan-seng Song adalah professor teologi dan budaya Asia di Pacific School of Religion, Barkeley dan Regional Professor of Theology di South East Asia Graduate School of Theology di Singapura dan Hong Kong. Ia pernah menjadi salah seorang Direktur Komisi Iman dan Tata Gereja Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD/WCC).

(2)

Song adalah seorang penulis yang kreatif dan produktif. Tulisan-tulisannya berupa artikel dimuat dalam banyak jurnal, secara khusus Asia Journal Theology dan East Asia Journal Theology. Selain itu ia juga menerbitkan buku-buku dalam bahasa Inggris. Beberapa buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahsa Indonesia, yakni: Sebutkanlah Nama-Nama Kami. Allah Yang Turut Menderita. Yesus dan Pemerintahan Allah.

Ada tiga keprihatinan utama Choan-seng Song yang mewarnai karya-karyanya. Kami mencatat ketiga point ini di awal anjangsana kita ke dalam pemikiran Song sebagai penegasan bahwa inilah konteks pemikiran teologi.

Pertama, perhatiannya yang besar terhadap agama-agama dunia yang semuanya berasal dari Rahim Asia. Betapapun Song beragama Kristen, tetapi jauh dari dirinya untuk mengklaim kekristenan sebagai agama yang sempurna dan unggul. Seperti yang akan

(3)

kita dalami nanti, Song melihat agama-agama sebagai jalan-jalan yang berbeda, tetapi yang mengarah kepada tujuan yang sama. Teologi atau refleksi Kristen tentang Allah memang harus bertolak dari satu keyakinan religius (agama) tertentu, tetapi ia akan jatuh dalam bahaya mengkarikaturkan Allah jika Allah diklaim hanya sebagai milik dari agama tersebut.

Kedua, dalam karya-karyanya kita justru menemukan betapa besar kecintaan Song terhadap budaya dan pengalaman-pengalaman spiritual manusia. Song secara asal-usul adalah seorang Cina kelahiran Taiwan. Sekarang ia tinggal dan bekerja di Amerika. Pengalaman lintas budaya ini membuat dia arif memahami tempat budaya dalam pemaknaan kehidupan.

Berbeda dengan teologi tradisional selama berabad-abad dalam kekristenan yang memandang agama-agama non Kristen dan budaya masyarakat dari dunia di luar Eropa dan Amerika Utara secara negatif, Song justru mencurahkan seluruh energinya untuk memperlihatkan bahwa penilaian negatif itu sesungguhnya lebih merupakan arogansi filosofi dan kebudayaan Barat. Penilaian negatif itu berseberangan jalan dengan hakikat agama-agama non Kristen dan kebudayaan masyarakat dunia ketiga dilihat dari perspektif penyataan Allah di dalam Kristus sebagaimana disaksikan dalam Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

(4)

Song karena itu termasuk dalam salah satu juru bicara teologi yang menyuarakan kesetaraan dan sepadanan agama-agama dan budaya manusia sebagai sumber-sumber otentik bagi upaya menjajaki dan mengalami makna Allah bagi penderitaan dan pengharapan manusia. “Agama-agama dan budaya manusia,” kata Song, “bukanlah sekedar faktor-faktor kebetulan dalam sejarah sehingga dapat dibuang semau-maunya.”1

Ketiga, situasi kemiskinan dan ketidakadilan yang menjadi nasib tak terelakkan dari sebagian besar penduduk dunia, dengan jumlah terbesar dari mereka ada di Asia juga menjadi masalah yang tak henti-hentinya digumuli Song dalam karya-karyanya. Singkatnya: kepelbagaian agama, keberagaman budaya dan situasi kemiskinan serta penderitaan umat manusia merupakan darah dan daging dari perenungan-perenungan Song akan Allah dan maknaNya bagi kehidupan manusia.

Misi atau Pekabaran Injil

Perkenankan kami mulai membahas pemahaman Song tentang pekerjaan misi atau pekabaran Injil gereja dengan mengutip pendapat Song ini: “Kita harus menolak cobaan untuk menjadikan

1 Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1995. hlm. 71.

(5)

Kristen segala sesuatu yang kita lihat dan sentuh.”2

Pernyataan Song ini bukan sebuah spontanitas, keluar begitu saja. Tidak! Pernyataan ini ada konteksnya, ada sebabnya yakni paham dan praktek misi atau pekabaran Injil yang pernah dan sedang berlangsung dalam gereja.

Misi atau pekabaran Injil yang berlangsung dalam gereja selama dua millennium yang sudah berlalu, demikian ditunjukkan Song, adalah memaksa orang-orang yang telah dimenangkan bagi Kristus dan daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh para misionaris menjadi Kristen. “Misi Kristen pada hakikatnya adalah suatu misi pengkristenan.3 Para

pekabar Injil datang kepada bangsa-bangsa dan berusaha mengubah nama-nama pribumi dengan nama-nama Kristen dan membuang nama-nama pribumi mereka bersama dengan semua keyakinan dan nilai-nilai kekudusan dan kemanusiaan yang mereka miliki. Semua hal yang tidak bernuansa Kristen dianggap tidak layak dan tidak pantas.

Tidak ada sama sekali keinginan, usaha apalagi agenda dari para pekabar Injil untuk berkenalan dengan agama bangsa-bangsa itu. Doa-doa dan meditasi yang dinaikan kepada Allah dengan hati yang murni dan penuh penyerahan diri, ritus dan ibadah yang diselenggarakan secara tetap sebagai bentuk

2 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989. hlm. 64.

(6)

penyembahan akan keagungan dan kebesaran Allah dianggap sebagai sampah. Nyanyian-nyanyian pemujaan dari umat beragama non-kristen hanya dilihat sebagai sumber kebisingan yang mengganggu. Misi atau pekabaran Injil hanya memiliki satu agenda: mentobatkan mereka ke dalam kekristenan.

Song mendeskripsikan paham dan praktek misi yang dilakoni para misionaris selama ini dalam kalimat berikut: “Kami minta kalian menerima Yesus sebagai juruselamat kalian, sebagaimana kami mengerti dan menghayatiNya dari Alkitab kami, dari sejarah Kristen kami, dan dari budaya Kristen kami, dan bukan sebagaimana kalian memahaminya dari sejarah kalian, agama dan kebudayaan kalian… kami mempunyai sesuatu yang lebih baik untuk kalian.”4

Ada dua permasalahan yang terkandung dalam paham dan praktek misi seperti yang tergambar di atas.

Pertama, misi atau pekabaran Injil diartikan sebagai penyebaran dan perluasan kekristenan serta budaya dan peradaban dari si pewarta Injil, bukan lagi pemberitaan firman Allah dan proklamasi nama Yesus. Pembiasan ini sudah disadari. Pada bulan Mei 1980 orang Kristen dari pelbagai belahan bumi yang bergabung dalam WCC bertemu di Melbourne. Di situ mereka menegaskan hal berikut:5

4 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 11.

5 Dikutip dari Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 7.

(7)

Misi kita adalah menyampaikan firman Allah, menyebut nama Yesus Kristus, agar seluruh umat manusia boleh menjawab panggilan Tuhan kita di hadiratNya dan berpaling kepadaNya.

Hal serupa kembali ditegaskan beberapa misionaris Jerman sebagai refleksi terhadap pekerjaan pekabaran Injil mereka di Papua. “Tugas missioner kami adalah untuk memberitahukan kepada manusia akan adanya tawaran keselamatan melalui rahmat Allah dalam Yesus Kristus. Tugas kami adalah membagikan kartu undangan untuk beriman kepada Yesus Kristus. Kami berbahagia jika ada yang ikut dengan kami, dan kami juga tidak kecewa jika ada orang yang dengan alasan tertentu tidak ikut bergabung. Mereka semua anak-anak Allah. Kami tidak memberitakan adanya Allah baru, karena kami percaya bahwa hanya ada satu Allah.”6

Kedua, misi yang dipahami sebagai penyebaran dan perluasan kekristenan mengandaikan bahwa agama Kristen adalah agama yang benar, absolut dan unggul. Agama-agama non Kristen adalah palsu dan para pemeluknya bakal diusir dari rumah Sang Bapa. Paling bagus mereka hanya akan dijadikan tukang cari kayu dan tukang timba air dalam rumah sang Bapa.

6 Fidon R. Mwonbeki. Dalam: Joane Beuker, dkk. Identitas di dalam Krisis. West Papua Netzwerk. Tanpa Tahun. hlm. 16.

(8)

Pandangan seperti ini sungguh mengerikan. Song lalu berkisah tentang Lin Yutang, seorang perempuan Kristen Cina yang memutuskan untuk menjadi seorang kafir karena tidak tahan mendengar cap kafir yang dikenakan para misionaris kepada tradisi rakyat dan mitologi-mitologi bangsanya. Lin Yutang mengaku bahwa pemberontakannya itu bukan terhadap Yesus, tetapi terhadap misi Kristen yang bertujuan kristenisasi.7

Inilah konteks dari pernyataan Song yang kita kutip tadi: “Kita harus menolak`cobaan untuk menjadikan Kristen segala sesuatu yang kita lihat dan sentuh.” Kalau begitu, apa sesungguhnya yang harus kita lakukan dalam misi atau pekabaran Injil? Jawaban Song untuk pertanyaan ini adalah sebagai berikut:8

Misi Kristen tidak perlu menjadi misi pengkristenan. Tugas orang Kristen bukan untuk membaptiskan setiap orang dan segala sesuatu dengan nama Kristen. Memberitakan kabar baik dalam Kristus tidak sama dengan mengkristenkan dunia dengan sistem-sistem kepercayaan Kristen, asumsi-asumsi doktriner Kristen atau nilai-nilai kebudayaan Kristen. …. Misi Kristen yang menuntut perubahan seperti itu, berlawanan dengan Injil inkarnasi.

7 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 13.

8 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 18.

(9)

Inti kabar baik, kata Song, adalah: “Allah mengenal kita satu per satu dengan nama kita masing-masing. Allah mengenal kita dengan baik sekali, sehingga Ia menjadi salah seorang dari kita di dalam Yesus Kristus. Bukankah ini inti Injil?” Misi atau pewartaan Injil bukanlah untuk mentobatkan orang ke dalam kekristenan, tetapi memberitahukan kepada setiap orang bahwa Allah mengenal mereka satu per satu dengan nama masing-masing, tentu saja dengan tujuan supaya masing-masing mereka menjalani hidup dalam pengucapan syukur kepada Allah menurut nilai-nilai yang dikenal dalam agama dan budayanya.

Inti sari Injil ialah: Allah mengenal manusia satu persatu dengan nama masing-masing, apapun juga agama dan keyakinan religiusnya. Keselamatan yang dikerjakan Allah di dalam Kristus diperuntukan bagi setiap mereka. Song menulis: “Tidak ada bangsa yang dikecualikan dari kasih Allah yang menyelamatkan, tak satupun, bahkan tidak juga mereka yang jahat, diabaikan di luar kasih yang ikut menderita.”9 Song

menyebut ini sebagai rahasia misi yang harus dipelajari, diselidiki dan diungkapkan oleh misi Kristen.

Rahasia yang Song maksudkan adalah kenyataan bahwa bukan orang Kristen atau para pewarta Injil yang membawa Allah kepada bangsa-bangsa non-kristen di Asia dan Afrika. Allah sendirilah yang memperkenalkan orang Kristen

(10)

kepada saudara-saudaranya di Asia dan Afrika.10 Ini

mengandaikan bahwa bukan gereja yang memulai misi di dalam dunia, melainkan Allah. Dunia telah menjadi ladang misi Allah sebelum gereja dipanggil melayani pekerjaan misi. Dan dunia tidak pernah berhenti sebagai ladang misi Allah setelah gereja turut ambil bagian dalam misi tersebut. Dalam melakukan pekerjaan misi atau pekabaran Injil, gereja tidak menggantikan Allah atau membuat Allah beristrahat apalagi pensiun.

Keikutsertaan gereja dalam pekerjaan misi yang telah dimulai Allah justru membuat Allah semakin sibuk. Allah harus meneruskan misi penyelamatanNya di tempat-tempat di mana gereja dilarang, pada saat yang sama Allah juga harus menopang gereja untuk mengerjakan misi, menguatkan gereja kalau semangatnya melemah dan memulihkan situasi apabila misi dikerjakan gereja dengan cara dan tujuan yang berlawanan dengan kehendak Allah.11

10 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 18.

11 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 60.

(11)

Pemaparan Song tentang rahasia misi yang menjungkirbalikkan paham tradisional kita tentang misi atau pewartaan Injil12 ia dasarkan atas keyakinan

yang tertanam kokoh dalam hatinya tentang Allah yang disaksikan dalam Alkitab. Baiklah kita segera mendalami pemikiran Song tentang Allah.

Allah Sejarah Tuhan Bangsa-Bangsa

Allah adalah Tuhan atas sejarah. Dia bukan hanya Tuhan bagi Israel. Sejarah bangsa-bangsa di luar umat perjanjian bukanlah suatu sejarah yang sama sekali asing bagi Allah.13 Song menegaskan bahwa

Allah bukan monopoli bangsa manapun. Allah juga bukan milik dari satu bangsa tertentu. Tidak ada satu bangsa, betapapun salehnya yang dapat mengurung Allah atau mengklaim Allah sebagai milik pribadinya. Allah adalah Tuhan atas sejarah dan pemiliki seluruh bumi dan isinya.

Dengan merujuk kepada Yesaya 49:15 Song menggambarkan hubungan Allah sebagai pemilik dan bangsa-bangsa miliknya dengan gambaran hubungan seorang ibu dengan anaknya. Karena, sama seperti sang nabi, Song juga bertanya: “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungnya? Sebagai ibu,

12 Widi Artanto. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogya: Taman Pustaka Kristen. 2008. hlm. 4. 13 Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 57.

(12)

ingatan Allah kepada manusia miliknya adalah ingatan yang kuat, suci dan tidak dapat dilanggar.”14

Memang Alkitab memberi lebih banyak perhatian pada hubungan Allah dan Israel sebagai hubungan ibu dan anak. Meskipun demikian, kata Song, perhatian dan keprihatinan Allah terhadap Israel tidak membuat perhatian dan keprihatinanNya terhadap bangsa-bangsa kendor. Ingatan dan kepedulian Allah terhadap Sion dan Yerusalem sama kuat dengan ingatan dan kepedulian Allah terhadap Babel dan Mesir. Perhatian dan keprihatinan, ingatan dan kepedulian itu berhubungan dengan sebuah rencana masa depan yang telah dipatri Allah kuat-kuat dalam hatiNya sejak kekekalan, yakni keselamatan mereka.

Paradigma hubungan Allah, Israel dan bangsa-bangsa yang baru saja kita tunjukkan tadi juga dikenakan Song dalam hubungan Allah, Gereja Kristen dan orang-orang dalam agama non-kristen. Dia menulis begini:15

Tak ada orang, betatapun salehnya, dapat menyatakan klaim secara khusus atas Allah. Memang Allah mengingat Israel, tetapi Ia pun mengingat orang-orang Babel. Allah mempunyai ingatan yang kuat akan gereja Kristen, memang, tetapi kesejahteraan orang-orang yang

14 Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 65. 15 Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 66.

(13)

berkeyakinan dan berbudaya lain pun tak pernah lenyap dari kenangan Allah.

Berhadapan dengan realita diri Allah ini, yakni Allah yang terbuka kepada semua manusia dan adalah Tuhan yang mengerjakan keselamatan bagi semua orang maka teologi Kristen, demikian kata Song, harus bersifat terbuka.16 Artinya, teologi tidak boleh dibatasi

pada pekerjaan dengan data yang siap pakai dan mengulang-ulangi penafsiran-penafsiran yang baku terhadap data-data tersebut. Agama-agama mempunyai data-data baru. Teologi dan misi atau pekabaran Injil harus terbuka terhadap hal-hal asing yang terjadi di sekeliling mereka.17

Allah yang adalah Tuhan atas sejarah dan semua manusia terus bekerja bagi keselamatan mereka. Gerakan yang diambil Allah untuk menanamkan keselamatan itu, kata Song, tidak dapat lagi diterangkan dalam pengertian sejarah yang bergerak pada sebuah garis lurus. Tidak! Allah yang bekerja dalam gerakan garis lurus adalah Allah yang tertutup dan diskriminatif. Allah seperti ini melumpuhkan bahkan menghilangkan makna keselamatan yang Dia sendiri kerjakan. Ini bukanlah gerakan Allah yang disaksikan Alkitab.

16 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 61.

17 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 66.

(14)

Manakala Alkitab bersaksi tentang Allah, Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa Allah bergerak maju untuk menanamkan keselamatan ke dalam setiap manusia dan gerakan yang dilakukan Allah itu adalah ke segala arah. “Allah bergerak maju, bergerak ke samping dan bahkan ke belakang. Barangkali Allah juga bergerak berbelok-belok…. Allah pergi ke mana saja yang membutuhkan kehadiran yang menebus – di Asia, di Afrika, seperti halnya di Israel dan di Barat.”18

Atas dasar pemikiran ini, Song dengan keras menolak peranan Israel sebagai pengantara, wali bagi bangsa-bangsa lain dengan siapa dan melaluinya Allah memperlihatkan karya penebusanNya. Pandangan ini mengandaikan bahwa warisan-warisan kebudayaan dan agama di luar Israel tidak akan bermanfaat sama sekali bagi penyataan Allah. Song memberontak terhadap model berteologi seperti ini. Bagi dia perlu ditemukan satu kerangka teologi baru untuk memahami kehadiran Allah yang menyelamatkan di antara bangsa-bangsa dan agama-agama di luar Israel.

Song juga menolak kebiasaan memilah-milah sejarah dalam dua bagian: sejarah keselamatan dan sejarah dunia. Bagi dia sejarah adalah satu totalitas. Kalau Israel dipilih Allah untuk mewujudkan kehadiranNya yang menyelamatkan, itu bukan dalam arti Israel menjadi wali bagi bangsa-bangsa. Yang

18 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 64.

(15)

benar ialah Israel ada sebagai simbol atau contoh dari hal yang sama yang dikerjakan Allah di antara bangsa-bangsa. Menegaskan ini Song menulis:19

Dalam terang pengalaman unik Israel, bangsa-bangsa lain boleh belajar bahwa sejarah mereka juga dikaruniai kuasa keselamatan.

Inilah kerangka teologi baru yang diusulkan Song. Dia sendiri menamakan kerangka ini loncatan teologis Asia. Ungkapan ini sejajar dengan apa yang disebut Pieres sebagai Asian sense dari teologi (teologi yang memiliki cita-rasa Asia).20 Loncatan Asia ini

hanya bisa dibuat apabila kita melakukan rancang bangun pemahaman teologis dalam satu kerangka teologis yang baru.

Dalam hubungan dengan rancang bangun kerangka teologis yang baru itu Song menyebut di sini hal menarik untuk kita dalami lebih jauh, yakni gerakan garis lurus dan gerakan berbelok-belok dari Allah dalam menamkan keselamatan kepada manusia milikNya. Seperti apakah gerakan garis lurus dan

19 Choan-seng Song. Third-Eye Theology. Maryknoll: Orbis Book. 1979. hlm. 36.

20 Dikutip dari A.A. Yewangoe. “Pokok-Pokok Pikiran Aloysius Pieris.” Dalam: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia (PERSETIA): Bahan Study Institute tentang Dogmatika tanggal 9-22 Juni 1989 di Kaliurang – Yogyakarta. 1989. hlm. 37.

(16)

gerakan berbelok-belok itu dan apa artinya itu bagi keselamatan manusia?

Gerakan Garis Lurus & Gerakan Berbelok-Belok dari Allah

Allah yang bergerak untuk menanamkan keselamatan yang Dia kerjakan di dalam Kristus pada sebuah garis lurus, kata Song, adalah teologi dari tradisi deuteronomis yang menghiasi kitab-kitab sejarah, yakni dari Yosua, Hakim-Hakim, I dan II Samuel serta I dan II Raja-Raja. Allah bergerak maju mengikuti sebuah garis lurus tidak dapat dan tidak akan toleran terhadap klaim-klaim kebenaran yang lain. Ia tidak menyesuaikan diri, apalagi berkompromi.21 Ia datang untuk memisahkan antara

yang benar dan salah, hitam dan putih, yang dihukum dan yang diselamatkan. Allah yang bergerak pada sebuah garis lurus menarik batas jelas antara agama yang benar dan agama yang sesat atau kafir.

Ini mengandaikan bahwa misi pewartaan keselamatan mewajibkan orang-orang mengambil keputusan untuk meninggalkan agama yang salah untuk bergabung dengan agama yang benar. Dalam kasus umat Allah dalam Perjanjian Lama itu berarti orang-orang diminta menjauhkan agama-agama Kanaan dengan semua ritus dan ibadahnya demi

21 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 27.

(17)

mempertahankan kemurnian iman kepada Yahweh. Siklus dosa-hukuman-pertobatan-kelepasan adalah tema yang terus berulang dalam kitab-kitab yang sudah kita catat di atas. Inilah salah satu arti dari garis lurus yang dimaksudkan Song.

Inilah panorama berpikir yang mengisi setiap detak nadi teologi deuteronomi. Ia menggantikan perjanjian yang universal dari Allah dengan suatu perjanjian yang partikularistis, yakni yang mengikat Israel kepada Allah dengan menolak bangsa-bangsa lain dan orang-orang lain. “Dalam Yosua,” demikian kata Song, “kita melihat dengan amat jelas perkembangan teologi deuteronomis tentang sejarah menjadi suatu pemikiran yang eksklusif yang terutama dipengaruhi oleh hubungan-hubungan kebencian Israel dengan bangsa-bangsa.”22

Panorama ini bertolak dari pemahaman tentang Allah sebagai yang tinggi, kuat dan tak tertandingi kuasaNya. Konsepsi tentang Allah seperti ini melahirkan gagasan mengenai Mesias dalam pengertian keagamaan dan politis yang bercorak militant, superior dan unggul. Jenis teologi ini memang berguna memperkokoh identitas diri Israel sebagai kaum minoritas di tengah-tengah agama-agama Kanaan waktu itu, tetapi teologi ini berbahaya, kata Song karena ia tidak mampu melihat tempat positif dari bangsa-bangsa lain di dalam karya penciptaan dan penebusan Allah. Teologi yang

(18)

bercorak Israel sentris ala tradisi deuteronomis

“tidaklah memadai sebagai basis pemahaman tentang kegiatan Allah dalam lingkaran-lingkaran yang lebih luas.23

Bahaya ini, kata Song disadari secara penuh oleh nabi-nabi klasik abad ke VIII dan VII Seb. Masehi. Di bawah kepeloporan deutero Yesaya, mereka mengambil langkah berani untuk melompat dari sentrisme Israel ke pandangan yang jauh lebih luas tentang bangsa-bangsa. Mereka ini berbicara tentang Allah yang bergerak dalam segala arah: bergerak maju, ke samping, ke belakang, berputar-putar dan bahkan bergerak berbelok-belok dalam menanamkan keselamatan.

Allah yang bergerak ke segala arah, bahkan juga berbelok-belok, tidak lagi menaruh pemisahan antara yang benar dan yang salah, yang fasik, kafir dan yang ditebus dan diselamatkan. Yang Ia buat justru merangkul dan mempersatukan sehingga tidak lagi ada yang jauh dan dekat, orang dalam dan orang luar, pendatang atau orang asing. Ia berjuang untuk mempertemukan dan memadukan yang tidak mungkin dipersatukan. Itu nampak, sebagaimana yang diperlihatkan Song, dalam pemberitaan Yesaya tentang Koresy, raja Persia yang diangkat Allah sebagai gembala Tuhan, mesias Allah atau Nebukadnezar yang disebut dalam pemberitaan Yeremia sebagai hamba Tuhan (Yer. 27:5-6).

(19)

Tindakan Allah memilih tokoh-tokoh ini dipakai Song untuk menunjukan bahwa bahwa medan-medan teologi (pencaharian makna Allah) adalah bidang yang tanpa batas. Dalam arti upaya menjajaki dan mengalami makna Allah tidak mempunyai batas-batas yang telah ditentukan lebih dahulu.24 Asumsi bahwa hanya budaya yang sangat

dipengaruhi kekristenanlah yang dapat mempunyai tempat yang sah dalam pencaharian makna Allah oleh Song dianggap sebagai asumsi yang keliru.

Inilah panorama teologi yang mengisi tradisi

deutero Yesaya. Allah tidak lagi dipahami dalam panorama berpikir deuteronomi sebagai tuan yang berkuasa, tinggi dan militan, melainkan sebagai hamba rendah hati, berbela rasa dan rela menderita. Teologi Allah yang militan dari tradisi deuteronomi digantikan oleh tradisi deutero Yesaya dengan teologi Allah yang ikut menderita. Song menulis: “Iman yang selalu berusaha mengukuhkan diri dan mendominasi orang lain, menyingkir kepada iman yang menyangkali dirinya agar yang lainnya boleh digenapi.25

Penggambaran Allah secara baru yang diperkenalkan tradisi deutero Yesaya memang sulit diterima, tetapi paham ini mendorong Israel untuk meninggalkan klaim-klaim keunggulan diri mereka

24 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 57.

25 Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 69-70.

(20)

sebagai satu bangsa untuk solider dengan mereka yang lain, terutama mereka yang selama ini dalam tradisi

deuteronomi dianggap sebagai sampah umat manusia. Panggilan kepada reorientasi ini bertolak dari faham akan Hamba yang Menderita yang menyatakan hukum kepadan bangsa-bangsa (Yes. 42:1), menjadi terang untuk bangsa-bangsa (Yes. 49:6), matinya di antara penjahat-penjahat dan orang menempatkan kuburnya di antara orang fasik (Yes. 53:9).

Allahnya tradisi deutero Yesaya adalah Allah yang melakukan trasposisi dan cukup rendah hati untuk menerima bangsa-bangsa pada ruang pengadilan. Ia tidak memaksa keputusan kepada mereka tetapi mengundang mereka mengungkapkan pandangan-pandangan mereka. Mereka dipersilahkan oleh Allah untuk ikut memutuskan bersama Allah bagaimana keselamatan itu ditanamkan ke dalam mereka.26

Rancang bangun teologi baru ini memiliki fondasi kuat pada relasi tidak terpisahkan antara penciptaan dan penebusan. Fondasi ini bukan hasil rekayasa Song. Itu adalah bagian integral dari konstruksi teologi tradisi deutero Yesaya yang menghubungkan pengangkatan Koresy sebagai mesias Allah dan Nebukadnezar sebagai Hamba Tuhan dengan peristiwa penciptaan. Atas dasar ini Song dengan tegas mengatakan bahwa di mana ada ciptaan di sana ada penebusan, sebab Allah yang menebus itu

(21)

tidak lain adalah Allah yang menciptakan. Cerita penciptaan tidak lain adalah cerita keselamatan.27 Ini

berarti bahwa Kristus harus dipahami sebagai yang sudah ada di dalam kebudayaan bangsa-bangsa lain jauh hari sebelum kekristenan itu sendiri datang.28

Jelasnya Allah dalam tradisi deutero Yesaya

adalah Allah yang terbuka. Ia tidak bergerak dalam garis lurus saja. Ia juga bergerak melingkar dan berbelok-belok. Kalau keterbukaan ini sekarang kita pakai untuk memahami misi gereja yang menurut Song haruslah berjalan mengikuti misi Allah,29 maka

konsekwensinya adalah misi gereja haruslah terbuka, melingkar dan berbelok-belok, yakni melompat keluar dari rasa superioritas iman dan keselamatan yang selama ini diciptakan oleh agama Kristen untuk melihat bahwa tak ada satu agama atau bangsa yang dikecualikan dari kasih Allah yang menyelamatkan.30

Misi gereja atau pewartaan Injil yang terbuka bukan berarti berkompromi dengan kebenaran yang ada di pihak lain, tetapi mengakui bahwa kebenaran yang selama ini kita pahami hanyalah satu bagiannya saja, bahkan secercah saja. Kebenaran itu barulah

27 Choan-seng Song. Christian Mission in Reconstruction: An Asian Analysis. Maryknoll: Orbis Book. 1977. hlm. 52. 28 Dikutip dari A.A. Yewangoe. “Kecenderungan-Kecenderungan…” hlm. 10.

29 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 60.

(22)

memperoleh wujudnya secara penuh apabila ia berada di antara kumpulan orang dari segala segi kehidupan.31

Kristus Melintasi Batas-Batas Agama

Allah dalam tradisi deutero Yesaya yang melakukan transposisi dari keberadaannya sebagai tuan yang berkuasa, tinggi dan militan, menjadi sebagai hamba rendah hati, berbela rasa dan rela menderita, kita temukan makin jelas dan terang benderang dalam diri dan karya Yesus Kristus. Allah seperti yang nyata di dalam Kristus melintasi batas-batas ras, agama dan budaya.32 Transposisi ini, menurut

Song tidak hanya terjadi pada Kristus di Betlehem dua ribu tahun yang lalu, tetapi sedang terjadi sekarang di Asia. Kristus menghadirkan diriNya dalam pengungkapan diri yang berbeda-beda sebagai cerminan kasihNya yang merangkul manusia untuk masuk dalam lingkaran keselamatkan.

Transposisi itu diceritakan Song dengan menunjuk kepada pengalaman seorang rahib Hindu, Sri Ramakrishna yang beberapa kali dijumpai Yesus dalam penglihatan. Yesus yang menampakan diri kepadanya memiliki hidung pesek. Sri Ramakrishna tidak bertobat ke dalam agama Kristen. Yesus juga

31 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 63.

(23)

tidak pernah meminta Sir Ramakrishna untuk meninggalkan agamanya, Hindu.33

Kristus menjumpai Sri Ramakrishna sebagai seorang berhidung pesek. Ia melakukan transposisi dari hidung mancung ke hidung pesek karena orang Asia yang adalah saudara dan saudari Sri Ramakrishna umumnya berhidung pesek, hidung yang sering dilecehkan orang Eropa. Yesus membuat hidungNya pesek supaya kehadiranNya tidak mengganggu dan membangkitkan kemarahan orang Asia, supaya Dia tidak dianggap asing bagi orang Asia dan membuat orang Asia minder untuk menerima Dia sebagai saudara mereka.

Kristus melintasi batas-batas agama, yang mentransposisikan diri supaya dapat menyapa orang-orang yang ditemuinya sebagai saudara bukan hal yang aneh. Dalam Perjanjian Baru sebagaimana ditegaskan Paulus dalam I Korintus 9:22 Kristus “menjadi segala-galanya untuk semua orang.” Kalau Kristus saja melakukan transposisi (membuat diriNya sama dengan orang-orang yang Dia temui) supaya mereka dapat menerima Dia dan Dia juga dapat menyapa mereka, mengapa gereja tidak melakukan hal yang sama dalam karya misinya?

Kalau Kristus adalah isi dari Injil, maka injil pun tentulah tidak anti perubahan (transposisi). Song menunjukan hal ini secara eksplisit. Injil, menurut Song, sejak awal pemberitaannya telah mengalami

(24)

transposisi bahkan juga mengakibatkan perubahan yang dahsyat dalam hati masyarakat. Injil dengan kemampuan berubah yang dahsyat itu ditegaskan Paulus dalam I Korintus 9:20-23.

Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.

Mengomentari penegasan Paulus ini Song mengatakan bahwa kekuatan Injil untuk mengubah

(25)

hati manusia bukan berarti Injil anti perubahan. Yang terjadi justru sebaliknya. Injil yang mengubah lembaga-lembaga manusia dan menciptakan nilai-nilai baru memiliki kemampuan berubah yang luar biasa. Kemampuan berubah dari Injil itulah yang selama ini diremehkan atau diabaikan gereja.34 Apa yang

dilakukan gereja selama ini adalah menampilkan Injil sebagai yang anti perubahan, padahal injil yang anti perubahan akan membuat injil menjadi sesuatu yang aneh.

Peremehan gereja atas kemampuan berubah yang luar biasa dari Injil nampak dalam upaya gereja untuk menempatkan Injil dalam sebuah gerakan garis lurus, yakni upaya memahami kabar keselamatan yang dikerjakan Allah di dalam Kristus sebagai sebuah gerakan yang logis dan tidak memungkinkan adanya selaan. Gerakan logis itu bermula dari ciptaan, kejatuhan, pemilihan Israel, Yesus Kristus, gereja sebagai Israel baru dan akhirnya penggenapan terakhir. Garis sejarah ini susul menyusul dan tidak dapat dibelokkan atau diputuskan (Allah Turut Menderita: 33).

Garis lurus seperti ini, kata Song, menghasilkan penyederhanaan. Ia membuang segala ketidakaturan dan meluruskan masalah-masalah kita yang kusut. Injil sebagai kabar keselamatan yang bergerak maju menurut garis lurus mengandaikan

34 Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 16-17.

(26)

bahwa Injil menolak kerja sama, menghakimi, menghukum, menghapuskan dan tidak mengenal pengampunan. Injil yang dipahami sebagai sebuah garis lurus membuat Allah menjadi sebuah karikatur (Allah Turut Menderita: 34). Injil yang dijadikan sebuah gerakan keselamatan garis lurus memperkenalkan kepada kita Allah yang monoton dan tidak menarik. Ia membuat wajah orang Kristen muram dan murung. Ia membuat ibadah jemaat menjadi seperti sebuah pertemuan ilmiah, orang-orang yang hadir dalam ibadah itu diliputi ketegangan dan memperlihatkan wajah yang serius. Injil garis lurus menyingkirkan gelak tawa pada wajah Allah dan wajah para penyembahNya. Agama tidak lagi menjadi media pengungkapan sukacita dan kebahagiaan, tetapi menjadi sesuatu yang berbahaya. Akhirnya. Injil garis lurus tidak memberi ruang apapun untuk memahami pekerjaan Allah di luar Israel dan gereja (Allah Turut Menderita: 35-37).

Israel, Gereja dan para pengikut Kristus memahami Injil sebagai sebuah gerakan garis lurus, sebagaimana yang sudah berlangsung selama berabad-abad sesungguhnya berseberangan dengan Allah yang bergerak ke segala arah: ke depan, ke belakang, ke atas, ke bawah, ke dalam dan juga keluar, dan juga secara menyilang. Allah tidak terikat hanya dalam satu garis gerakan. Ia melakukan gerakan yang tidak dapat dikungkung ke satu arah tertentu saja.35 Alasannya,

(27)

menurut Song, Allah adalah Kasih. Song menjelaskan kasih sebagai hakikat Allah itu dalam kutipan berikut:36

Kasih bukanlah sebuah konsep geometris. Ia tak dapat diukur dengan mistar. Ia tak dapat ditimbang pada timbangan. Ia tak dapat diluruskan dengan garis. Dan yang paling tidak mungkin ialah, kasih sebagai garis lurus. Kasih itu bundar, tidak lurus. Ia tidak menembus angkasa seperti sebuah garis lurus, melainkan mengisinya dan menyapunya. Ia bukanlah suatu gerakan linear melainkan gerakan konsentris. Ia tidak analitis melainkan sintetis. Ia tidaklah menghakimi melainkan merangkul. … Allah bukanlah garis lurus, melainkan kasih. Allah garis lurus dari heilsgeschichte adalah Allah yang keras, ketat yang telah menentukan sebelumnya siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan dihukum.

Jelaslah bahwa injil yang dijadikan sebuah gerakan garis lurus oleh gereja bertentangan dengan hakikat Injil yang adalah kasih. Gereja tahu itu, tetapi mengapa gereja toh melakukan kesalahan itu. Dalam eksposisinya terhadap pembangunan menara Babel, Song menunjukkan bahwa Injil dipahami sebagai garis lurus karena ada ketakutan terhadap keterserakkan. Berserak itu akan menyebabkan kehancuran

(28)

persekutuan dan merusakkan kesinambungan identitas. Ketakutan itu sebenarnya tidak beralasan, karena justru perserakkan akan membuat ikatan persekutuan makin kokoh dan identitas diri justru makin dipahami. Itu sebabnya, Allah bertindak. Ia menggagalkan upaya membangun Menara Babel.37

Allah yang bergerak dalam segala arah, Yesus Kristus yang mendemostrasikan secara utuh dan sempurna gerakan yang mengagumkan dari Allah ini dan Injil yang memiliki kemampuan berubah yang dahsyat itu haruslah kita terjemahkan dalam kehidupan bergereja. Upaya mewujudkan temuan mengagumkan ini dalam kehidupan bergereja, kata Song, hanya bisa dilakukan kalau kita memandang sejarah Israel dan Gereja dari sudut pandang yang berlainan (Allah Turut Menderita: 38). Pertanyaan kita: seperti apakah cara pandang tentang Israel dan Gereja dari sudut pandang yang baru itu?

Transposisi Pemahaman tentang Gereja

Jürgen Moltmann, salah satu teolog terkemuka abad ke-20 mengatakan bahwa setiap statement tentang Kristus selalu berkonsekwensi pada statement tentang Gereja.38 Di atas kita tegaskan,

37 Choan-seng Song. Allah Yang Turut Menderita. hlm. 28-30.

38 Jurgen Moltmann. The Church in the Power of the Spirit. A Contribution to Messianic Ecclesiology. London: SCM Press LTD. 1977. hlm.6.

(29)

tidaknya menurut Song, Kristus mewujudkan kepada kita transposisi yang dilakukan Allah dalam rangka mewujudkan karya keselamatannya kepada manusia. Transposisi itu ditunjukkan Kristus bukan hanya dengan bergerak menurut garis lurus, tetapi bergerak ke segala arah: ke depan, ke belakang, ke atas, ke bawah, ke dalam dan juga keluar, dan juga secara menyilang.

Kristus yang bertransposisi ke segala arah ini tentulah juga harus diikuti dengan transposisi gereja. Belajar dari Oscar Cullman, Song menegaskan agar gereja harus mengubah garis lurus menjadi garis melingkar dalam pemahamannya akan injil dan karya Allah dalam sejarah. Pertanyaan kita adalah transposisi macam apakah yang perlu dilakukan gereja sebagai wujud ketaatannya kepada Kristus sang kepala sebagaimana yang dipahami oleh Song?

Dari antara tulisan-tulisan Song yang memusatkan perhatian pada upaya transposisi pemahaman tentang gereja ada satu tulisan yang akan kita jadikan pijakan pembahasan, yakni tulisan dalam buku Sebutkanlah Nama-Nama Kami, secara khusus bab mengenai Pertobatan Dialogis Dalam Tujuh Tahap

yang isinya adalah sebuah analisa naratif terhadap cerita rakyat Alice dalam Rumah Kaca.39

Setiap agama, kata Song, memiliki ego-agama, doktrinal, dogmatis dan konstitusional. Isi dari

39 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 159-186.

(30)

agama itu tentu saja eksklusif, bahkan superlatif: agama A adalah yang terbaik, karena itu adalah agama Allah. Doktrin dan dogma-dogma itu mendefinisikan agama bersangkutan sebagai yang terbaik dan tak terhindarkan dalam rangka memperoleh keselamatan Allah. Setiap umat dari agama itu suka melihat dunia melalui kacamata agamanya. Bagi gereja, ego-agamanya adalah kekristenan.

Ego-agama itu berguna bagi tiap agama untuk merumuskan identitas serta mengatur perilaku religius dan sosial para pemeluknya. Tetapi ego-agama itu tidak harus diabsolutkan. Song dalam upayanya untuk melakukan transposisi pemahaman tentang gereja menegaskan bahwa tidak boleh terjebak dalam ego-agama, ego-doktrinal, dst.40

Artinya, gereja tidak harus menuntut umat beragama lain untuk melihat dunia sebagaimana orang Kristen melihatnya, memahami keindahan hidup menurut cara-cara yang dipahami orang Kristen dan melaksanakan ibadah sebagaimana yang dipraktekkan dan dijalani orang Kristen. Gereja harus belajar menerima kenyataan bahwa orang-orang dari agama lain yang hidup berdampingan dengannya melihat dunia, menjalani hidup dan memaknai kenyataan-kenyataan dengan cara yang berbeda dan dari sudut pandang yang lain.

40 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 165.

(31)

Jelasnya, gereja harus membuka mata dan hatinya untuk melihat bahwa ada orang yang tinggal di rumah yang lain, yang sama dengan dirinya sekaligus juga berbeda dengan dirinya. Untuk memiliki pemahaman seperti itu gereja harus keluar dari ego-agama dan serentak dengan itu melangkah masuk ke ruang hidup agama-agama lain.41 Keluar dari

diri sendiri untuk bertemu dengan orang lain bukan satu tanda kekalahan atau kelemahan. Justru sebaliknya, itu adalah satu bukti kedewasaan dan keperkasaan iman. Avery Dulles menulis: “Manusia menemukan dirinya dengan keluar dari dirinya sendiri.”42

Ini tentu satu keputusan yang harus dibuat, meskipun penuh resiko dan menyakitkan. Gerakan keluar itu dimaksud untuk memperdalam pengenalan terhadap para penghuni rumah di samping kita, sekaligus memperluas paham kita mengenai luas medan-medan kerja Allah sebab anugerah Allah yang menyelamatkan itu tidak terikat hanya pada orang-orang yang menyandang simbol Kristen atau biblis. Pendalaman dan perluasan pemahaman itu tentu dimulai dengan proses perjumpaan dan dialog. Ini yang harus dilakukan gereja, yakni keluar dari ego-agama Kristen untuk masuk dalam ruang hidup agama-agama non-kristen.

41 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 168.

(32)

Song mengakui bahwa dalam dialog tentulah masing-masing pihak akan mulai dengan mencari hal-hal dalam agama lain yang sama dengan yang dikenal dalam agama sendiri. Ini sesuatu yang manusiawi dan normal (Sebutkanlah Nama-Nama: 167). Semua orang yang melakukan perjalanan ke negeri-negeri asing terbiasa dengan hal itu. Manusia cenderung mencari wajah yang dikenal di antara wajah-wajah yang asing.

Dalam petualangannya masuk ke dalam ruang hidup agama-agama non Kristen, para pengikut Kristus akan merasa gembira dan aman kalau menemukan sesuatu yang sama dalam agama yang lain itu. Tetapi gereja tidak boleh hanya berpuas diri dengan pengenalan akan hal-hal yang sama itu. Melakukan hal itu, kata Song, sama dengan menganggap hinduisme sekedar sebagai perpanjangan kekristenan (Sebutkanlah Nama-Nama: 164) dan juga tidak akan mengerti perasaan otentik dari orang-orang dalam agama itu.

Gereja harus berjalan lebih jauh lagi. Ia harus memusatkan diri dalam pencaharian itu untuk memahami dan mengerti hal-hal yang tidak sama, yang lain dari yang biasa dia alami, yang wujud dan rupanya benar-benar baru, bahkan mengejutkan. Ini hanya bisa gereja temukan apabila ia tidak bergerak menurut garis lurus, yakni melihat hinduisme sebagai perpanjangan kekristenan (Sebutkanlah Nama-Nama: 164). Gereja harus berani bergerak dalam ruang hidup agama-agama lain secara berbelok-belok, seperti yang dilakukan Allah di dalam Kristus, yakni menemukan

(33)

pemahaman dan penghayatan hindiusme akan Allah dan keselamatan yang benar-benar baru.

Jadi upaya gereja menemukan dan memahami hal-hal yang baru di rumah yang berbeda itu bukan sebuah tanda penyangkalan kepada Kristus, sehingga gereja menjadi kurang kristiani. Itu justru sebuah upaya meniru Kristus. Song lalu menunjukkan bagaimana Yesus masuk ke dalam ruang hidup agama Yahudi bukan dengan melakukan gerakan garis lurus, tetapi dengan gerakan berbelok-belok.

Perayaan Sabat agama Yahudi yang dilakukan menurut gerakan garis lurus menegaskan bahwa orang dilarang bekerja pada haris Sabat, termasuk menyembuhkan orang sakit. Yesus bosan dengan gerakan garis lurus itu. Ia membuat gerakan berbelok-belok dengan cara menyembuhkan orang-orang sakit, tak peduli pada hari-hari biasa maupun hari Sabat. Kalau pendapat umum memposisikan si anak bungsu yang menghambur-hamburkan uang ayahnya sebagai yang tidak akan mendapat bagian dalam berkat sang ayah, Yesus justru mengatakan sebaliknya (Lk. 15:11-32).

Begitu juga dengan dugaan orang bahwa pesta bakal ditunda karena para tamu undangan berhalangan hadir, Yesus bercerita bahwa si tuan pesta menyuruh hamba-hambanya, pergi ke kota, berjalan ke semua lorong dan belokan untuk membawa semua orang

(34)

yang ada di sana, yang jahat maupun yang baik, untuk datang ke pestanya (Mt. 22:10).43

Gerakan berbelok-belok gereja dalam ruang hidup agama-agama lain sebagai bagian dari komitmennya untuk meniru Kristus, justru akan membuat dia terpesona. Mata dan hati gereja pasti akan melihat bahwa yang hadir dalam pesta keselamatan itu bukan hanya orang dari agama Kristen. Tata cara perayaan itu juga tidak pernah seragam, monoton dan membosankan, yakni dengan cara-cara Kristen saja. Tiap orang merayakan keselamatan dengan cara yang dikenal dalam agamanya. Pesta itu benar-benar hidup. Keselamatan dikaruniakan untuk semua secara lintas agama dan budaya.44

Perspektif baru ini harus membuat gereja bertobat, kata Song. Jadi gereja tidak masuk ke ruang hidup agama-agama lain untuk mentobatkan orang-orang dari agama lain itu, tetapi gereja yang harus lebih dahulu bertobat. Gereja bertobat dari kebiasaan mengkafirkan agama lain, atau melihat mereka sebagai monster.45 Sekarang gereja harus melihat mereka

sebagai sesama yang ikut mengumuli makna Allah

43 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 170, 171.

44 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 171.

45 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 179-180.

(35)

tetapi dengan cara yang sama sekali berbeda dari yang selama ini dibiasakan dalam kekristenan. Gereja harus memandang orang-orang dalam agama lain sebagai sesama saudara dari satu Allah yang adalah Bapa.

Dengan ini kita sampai pada paham bergereja (eklesiologi) yang dikembangkan Song. Menurut Song gereja adalah persekutuan persaudaraan dari orang-orang yang menyebar dalam berbagai agama, yang terus-menerus menjaga kebenaran iman yang telah tertanam dalam hatinya sambil terus berkomunikasi dengan saudara-saudaranya dalam agama lain supaya kebenaran itu mempengaruhi pikiran, perkataan dan perbuatannya sehingga hidup, perkataan dan perbuatannya menjadi bisa dipercaya.

Gereja adalah persekutuan orang-orang yang hatinya telah dipenuhi kebenaran Allah. Menegaskan ini Song menulis: “Kebenaran agama adalah kebenaran hati” (Sebutkanlah Nama-Nama: 183). Agama adalah kebenaran hati, yakni hati yang dipenuhi cinta kasih kepada Allah dan cinta kasih kepada sesama. Agama bukan pertama-tama masalah organisasi, aturan-aturan, tata ibadah, gaya meditasi dan dogma serta prinsip.

Gereja adalah orang-orang yang menjaga hatinya untuk tetap berpegang pada kebenaran sehingga kata dan perbuatannya dapat dipercaya. Orang-orang seperti ini tidak hanya ada dalam agama Kristen. Ia juga ada dalam lingkungan Hindu, Budha, Islam, Kong Hu Chu, dst. Orang-orang ini ada dalam

(36)

agama masing-masing, tetapi dalam roh mereka satu dan tidak terpisah. Si A yang Kristen hidup dalam hati, pikiran, perkataan dan perbuatan si B yang bukan Kristen, sedangkan si C yang Muslim hidup dalam hati, pikiran, perkataan dan perbuatan si A yang Kristen.46

Kami mendapat kesan kuat bahwa gereja dalam pandangan Choan-seng Song tidak jatuh sama dengan agama Kristen. Gereja mengatasi dan melampaui agama Kristen. Kami bahkan sampai kepada kesimpulan bahwa gerejanya Choan-seng Song bercorak lintas agama. Gereja ada dalam agama Kristen, tetapi tidak terikat hanya kepadanya. Gereja juga ada dalam agama-agama non-kristen.

Membaca pernyataan Song yang dalam dan sarat makna ini saya teringat nyanyian popular gereja yang sering saya lantunkan dengan hati-hati dan penuh penghayatan: “Kalau hatimu sperti hatiku, kaulah saudara dan saudariku.” Kesamaan hati yang dimaksudkan dalam lagu ini tentu tidak menunjuk kepada sama dalam hal keputusan politik atau pilihan agama. Kalimat tadi menunjuk kepada kesamaan keputusan hati untuk menjadikan Firman Allah sebagai landasan hidup dan karya. Jadi orang-orang yang hatinya sama untuk hal ini, mereka itu adalah gereja.

46 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 186.

(37)

Pemahaman Song tentang gereja seperti ini dengan sendirinya menafikan setiap bentuk perpindahan agama, sebab kebenaran bukan lagi masalah berada di agama A dan bukan di agama B, melainkan kebenaran adalah di dalam hati, hati yang dipenuhi oleh Firman Allah dan yang mencintai dan menerima sesamanya.

Transposisi Misi Kristen di Asia

Choan-seng Song membahas pokok ini secara mendalam dan mengesankan dalam analisanya terhadap cerita rakyat orang-orang Maori dari Selandia Baru tentang kisah cinta Mata-ora dan Niwa-reka. Analisa itu dimuat dalam buku Sebutkanlah Nama-Nama Kami di bab kedua dengan judul: Misi Kristen Yang Dirajah. Baiklah kita melihat cerita itu dan bagaimana Song menerangkannya.47

Mata-ora adalah seorang pemuda penghuni alam atas. Niwa-reka adalah seorang perempuan ras peri dari dunia bawah. Keduanya jatuh cinta dan membangun kebahagiaan hidup bersama untuk beberapa waktu. Suatu hari karena cemburu dan marah, Mata-ora memukul istrinya yang tidak bersalah. Kecewa diperlakukan tidak adil oleh

47 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 24-26. Keseluruhan uraian dalam bagian ini kami sarikan dari buku tadi.

(38)

suaminya, Niwa-reka pulang ke rumah orang tuanya di alam bawah.

Mata-ora menyesali perbuatannya. Dia turun ke alam bawah mencari istrinya. Di rumah orang tua istrinya, ia melihat mertua laki-lakinya sedang merajah (membuat tattoo) di tubuh seorang pemuda. Pemuda itu menjerit kesakitan, tubuhnya berdarah dan terdapat banyak sekali luka. Cara merajah seperti itu yakni yang menimbulkan kesakitan tidak dikenal di alam atas. Karena itu Mata-ora, berkata kepada mertuanya: “Caramu merajah salah.”

Di tubuh Mata-ora juga ada tattoo. Mertua laki-lakinya mengulurkan tangannya dan menghapus tattoo-tattoo di tubuh ora. Tattoo di tubuh Mata-ora terhapus dan menghilang hanya dengan sekali sentuhan tangan mertuanya, suatu tanda bahwa cara merajah yang dipraktekkan di dunia atas justru tidak berkualitas. Mata-ora sedih karena ia kehilangan tattoo. Ia meminta mertuanya membuatkan kembali tattoo di tubuhnya menurut cara alam bawah. Karena kesakitan akibat tubuhnya dirajah, Mata-ora menyanyikan sebuah pantun untuk mengurangi kehebatan penderitaannya.

Niwa-reka yang bersembunyi karena tidak ingin bertemu suaminya mendengar nyanyian kasih-derita Mata-ora. Dalam suara dan lagu itu terkandung ungkapan cinta, penyesalan dan pertobatan Mata-ora. Ia tergugah dengan ungkapan isi hati Mata-ora. Niwa-reka keluar dari persembunyiannya. Ia merawat

(39)

luka-luka suaminya. Setelah luka-luka-luka-luka Mata-ora sembuh dia mengajak Niwa-reka, istrinya kembali ke alam atas, setelah sebelumnya ia berjanji kepada mertuanya dan juga kepada istrinya bahwa tata cara hidup di alam bawah akan dia bawa dan terapkan di alam atas.

Ini sebuah kisah cinta yang mengharukan antara dua orang dari dua dunia yang berbeda. Bagi Song cerita ini cocok untuk melakukan rekosntruksi pemahaman tentang misi Kristen di dunia non-kristen. Ada beberapa aspek dari cerita itu yang patut diperhatikan dengan saksama. Pertama: Mata-ora dan Niwa-reka. Mata-ora mewakili gereja (agama Kristen) sedangkan Niwa-reka mengatasnamai agama-agama non-kristen.

Kedua, gambaran di tubuh (tattoo). Tattoo adalah cap diri seseorang atau satu komunitas. Itu adalah tanda identitas diri sebagai bagian dari komunitas yang memberikan kepadanya akar dan arti kehidupan. Orang-orang dalam dunia Kristen maupun dunia non-kristen sama-sama memiliki tattoo, identitas diri dari komunitasnya.

Dalam arti ini tattoo, menurut Song, adalah tanda keselamatan. “Ia memberikan perlindungan magis terhadap kemalangan dan penyakit.” Tattoo juga menunjukkan tingkatan, status atau keanggotaan seseorang dalam satu kelompok. Tattoo juga berarti keindahan (Sebutkanlah Nama-Nama: 23). Cara Song menjelaskan makna tattoo ini memberi kesan yang kuat bahwa tattoo yang benar, yakni tattoo yang

(40)

didasari cinta sampai mengeluarkan darah ( kasih-derita) adalah yang dialami di Salib dan berujung pada kebangkitan.48 Jadi orang-orang non-Kristen pun

mengenal jalan salib.

Kehidupan bersama yang damai antara manusia dari berbagai agama adalah asumsi utama dari pelaksanaan misi. Mata-ora adalah representasi gereja (baca juga agama Kristen) sedangkan Niwa-reka mewakili orang-orang dari agama lain (non-kristen). Kedua insan ini hidup dalam alam berpikir yang berbeda dan memahami dunia dari cara pandang yang berbeda juga. Tetapi dalam satu hal mereka sama, yakni kebutuhan akan cinta kasih. Dan karena cinta kasih itulah mereka bersepakat membangun kehidupan bersama dalam sebuah ikatan perkawinan.

Ada yang hilang dari gereja (Mata-ora) jika ia ditinggalkan atau tidak lagi ada bersama dengan agama lain (Niwa-reka). Inilah kenyataan yang dialami setiap agama. Hidup bersama dalam relasi cinta kasih adalah kebutuhan tiap agama. Gereja harus membangun hidup bersama yang damai dan penuh cinta kasih dengan umat dari agama lain. Gereja akan kehilangan arti apabila ia membuat orang dari agama lain menjauhkan apalagi memusuhi dirinya, misalnya oleh sebab kemarahan atau kesombongan dan kecemburuan gereja terhadap sesamanya yang lain itu.

48 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 38.

(41)

Misi gereja terhadap orang dari agama lain, demikian ditegaskan Song haruslah pertama-tama dan utama adalah masalah cinta kasih dan bukan masalah kebenaran. Kebenaran membuat gereja menyombongkan diri atas sesamanya dan tidak mengenal toleransi, tidak mau menyesuaikan diri, apalagi kompromi. Ia menghakimi dan tidak dapat dihakimi. Perpaduan antara hal-hal yang berbeda, penyatuan antara kontradiksi-kontradiksi dan mengharmonisasikan polarisasi-polarisasi tidak ada dalam kamus kebenaran.49 Kebenaran

mengkotak-kotakan manusia ke dalam yang terjangkau dan yang tidak terjangkau. Ini karena kebenaran adalah sebuah gerakan garis lurus.

Kalau kebenaran hanya akan membuat orang-orang yang berbeda agama akan menjauh dari gereja bahkan menutup diri, maka misi gereja kata Song, tidak boleh berkutat pada masalah kebenaran. Ia harus lebih merupakan masalah cinta kasih gereja terhadap orang dari agama lain yang dengannya Allah jatuh cinta (Sebutkanlah Nama-Nama: 30). Kalau kebenaran menolak penyatuan dan mentabukan perpaduan hal-hal yang berbeda, cinta kasih berjuang untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan. Kasih berjuang untuk mempersatukan dan mempersekutukan karena kasih adalah budar, garis melingkar. Itulah agenda utama gereja dalam

49 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 27.

(42)

mengerjakan misinya, yang tidak lain adalah mengikuti misi Allah, yakni bergerak ke segala arah, bergerak dalam garis melingkar.

Kebenaran lebih memberi perhatian pada prinsip-prinsip. Salah satu prinsip kebenaran yang dipegang agama Kristen ialah bahwa penyataan Allah yang penuh hanya ada dalam agama Kristen. Agama lain tidak memiliki penyataan Allah dan tidak mengenal kebenaran. Karena itu orang Kristen pergi untuk mentobatkan orang dari agama lain dalam kegiatan penginjilan dan mewajibkan mereka menjadi pemeluk agama kristen. Ingat perkataan Mata-ora di dunia bawah: “Caramu merajah salah.”

Sebaliknya, cinta kasih lebih berhubungan dengan orang-orang. Cinta kasih tidak menafikan kenyataan bahwa agama Kristen adalah agama penyataan Allah. Tetapi ia datang kepada umat beragama lain bukan untuk menghakimi mereka dengan pernyataan bahwa apa yang ada dalam agama yang lain itu salah. Tidak! Misi datang ke dunia lain untuk menyatakan kasih Allah bukan untuk menuduh dan menghakimi orang lain. Gereja pergi kepada bangsa-bangsa untuk membangun persekutuan dan persaudaraan dengan orang-orang lain itu dalam kuasa kasih Allah (Sebutkanlah Nama-Nama: 30).

Mata-ora pergi ke alam bawah untuk mencari istrinya yang pergi meninggalkan dia akibat mendapat perlakuan kasar. Di alam bawah Mata-ora melihat mertuanya sedang merajah atau membuat tattoo pada

(43)

tubuh seorang pemuda. Mata-ora sudah memiliki tattoo. Di alam bawah dia melihat orang-orang di sana juga merajah tubuh mereka. Merajah atau mentattoo tubuh yang dilakukan orang di alam bawah kelihatan asing. Proses merajah itu menimbulkan luka, perdarahan sehingga pelakuknya kesakitan.

Mata-ora menyapa mertuanya yang sedang bekerja: “Caramu merajah salah!” Mata-ora merasa bahwa tattoo yang ada padanya dan cara membuat tattoo yang dikenalnya di alam atas lebih baik. Mata-ora mencela cara Mata-orang-Mata-orang alam bawah mentattoo diri mereka. Mata-ora masih memahami misi sebagai masalah kebenaran. Ini sikap yang selalu ditunjukan gereja dalam pertemuannya dengan orang-orang dari agama lain. Gereja mencela semua yang dikenal di luar kekristenan dan menganggap apa yang dimilikinya lebih baik dan unggul. Gereja meminta orang-orang lain itu mengukir tubuh mereka dengan cara-cara yang dikenalnya.

Tetapi segera menjadi nyata bahwa tattoo yang selama ini dijadikan gereja sebagai tanda identitas gereja ternyata adalah tanda yang dangkal, hanya ada di permukaan dan berguna sekedar sebagai hiasan. Tattoo itu tidak tertanam dalam daging dan darah gereja. Tattoo seperti ini menghasilkan iman, teologi dan misi yang dangkal, yang Song namakan iman steno, teologi steno dan misi steno. Maksudnya, iman, teologi dan misi itu tidak mengciptakan hubungan-hubungan baru antar manusia. Ia hanya melanggengkan kebiasaan dan tradisis yang sudah ada,

(44)

yakni hubungan basa-basi dan sekedar ramah di permukaan.50

Dari situ Song menegaskan bahwa misi steno

yang dipahami dan dipraktekkan dengan tujuan untuk mentobatkan orang beragama lain ke dalam agama Kristen adalah misi yang dangkal dan asal-asalan.51 Ia

lahir dari teologi atau pemahaman tentang Allah yang bersifat prematur dan bergerak dalam garis lurus. Misi dan teologi seperti itu tidak siap hidup dalam kasih-derita terhadap Allah dan sesama, malah lebih suka membuat orang yang kepadanya injil diberitakan menderita, yakni meminta orang meninggalkan agamanya untuk beralih ke dalam agama Kristen. Itu sama dengan mencabut orang yang ditobatkan itu dari akar budayanya dan mengasingkan dia dari identitasnya.

Tattoo seperti ditegaskan Song adalah tanda dari identitas diri seseorang. Tattoo bercerita tentang asal-usul dan tempat seseorang dalam komunitasnya. Betapa takutnya Mata-ora ketika tahu bahwa tattoonya telah hilang. Tanpa tattoo artinya tidak memiliki identitas diri, tanpa asal usul dan bakal

50 Pernyataan Song ini juga diakui secara eksplisit oleh para misionaris Eropa yang bekerja di Papua di akhir abad ke-20 saat mereka menceritakan kembali pengalaman mereka. Lihat Joane Beuker, dkk. Identitas di Dalam Krisis. Pertanyaan Pada Misi dan Gereja-Gereja di Papua Barat. WESTPAPUA: Netzwerk.

51 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 33.

(45)

terusir dari komunitasnya. Inilah yang terjadi manakala seseorang diminta meninggalkan agamanya. Itu ibarat meniadakan tattoo dari tubuhnya. Ketakutan ini tidak pernah diperhatikan gereja selama dua milenium mengerjakan misi.

Beruntung Mata-ora yang adalah representasi gereja mengalami hal itu. Kehilangan tattoo membuat dia takut dan merasa hidupnya berada dalam ancam yang berbahaya. Ia karena itu segera meminta agar tattoonya dikembalikan, bukan lagi dengan cara asal-asalan, tetapi dengan cara yang benar. Tattoo dirinya dibuat kembali tetapi dengan cara yang benar, yakni tidak sekedar dipermukaan, tidak lagi sekedar sebagai hiasan tubuh.

Pertemuan dengan mertuanya yang berasal dari alam bawah dan pengenalannya terhadap carar-cara merajah di alam bawah membuat Mata-ora sadar akan kualitas tattoo miliknya dan kekurangan dari cara merajah yang selama ini diandalkannya. Ia juga sadar bahwa orang-orang di lingkungan yang lain darinya juga melakukan hal-hal yang sama tetapi dengan cara yang berbeda dari apa yang dikenalnya. Kita dapat katakan bahwa dalam pertemuan itu Mata-ora mengalami pertobatan. Mata-ora tidak lagi meminta orang lain bertobat. Mata-ora yang bertobat.

Inilah pemahaman misi hasil format ulang yang harus dilakukan gereja dalam perjumpaan dengan orang-orang dari agama lain. Gereja perlu bertobat dari prinsip lama tentang misi, yakni memandang

(46)

orang lain kafir, tidak memiliki kebenaran ilahi, berada di luar jangkauan kasih penyelamatan Allah. Format misi dari Barat yang tidak mau mendengarkan orang lain, tidak ingin belajar dari umat beragama lain serta mengkafirkan ibadah, spiritualitas dan pelayanan mereka harus diubah menjadi sikap saling mendengarkan untuk bersama-sama terbuka pada suara Allah.52

Untuk tetap setia dengan gambaran yang dipakai Song, misi bukan lagi upaya menghapuskan tattoo milik seseorang dan menggantikannya dengan tattoo yang baru, tetapi merajah ulang tatto miliknya dengan cara yang baru sehingga menjadi jati dirinya. Tatto milik umat beragama lain yang dipahami sebagai identitas iman agama itu harus tetap dijaga, bahkan diperdalam sekaligus diperluas makna dan penghayatannya, supaya bukan sekedar iman teoritis,

iman steno tetapi iman yang berwujud dalam

perbuatan dan karya nyata dalam masyarakat.

Menjadi jelas dari anjangsana kita ke dalam pemikiran Song mengenai misi yang ditransposisikan, yakni bagi Song, misi dan penginjilan tidak harus membuat seseorang meninggalkan agamanya dan berpindah ke agama yang baru. Misi harus lebih mengarah pada penegasan kembali identitas agama dan iman yang bersangkutan dengan cara-cara yang baru dan mendalam supaya ia benar-benar berakar dan

52 Widi Artanto. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. hlm. 123.

(47)

bertumbuh identitas itu secara benar, bukan lagi secara dangkal, hanya dipermukaan dan sekedar sebagai hiasan, iman sebagai ungkapan verbalistis dan penjabaran teoritis. Identitas yang ditegaskan secara baru itu pada saat yang sama perlu diperluas untuk ikut memahami identitas sesamanya yang lain supaya kedua pihak bertumbuh bersama dalam pengetahuan dan pengenalan akan karya Allah yang menyelamatkan dunia.

Muncul pertanyaan, apakah menurut Song kata pertobatan sudah menjadi istilah yang usang sehingga harus dibuang dari perbendaharaan misi dan pekabaran injil yang dilaksanakan gereja? Song tidak berpikir seperti itu. Menurut dia pertobatan tetap dibutuhkan dan wajib dilakukan. Pertobatan adalah aturan dasar dalam perjumpaan umat dari berbagai agama yang terlibat dalam dialog. Tetapi pertobatan yang dimaksud bukan dalam arti perpindahan agama, melainkan pembaharuan wawasan, cara pandang, penghayatan dan pengalaman iman. Song menamakan ini pertobatan dialogis. Dia menulis sebagai berikut:53

Tetapi ada jenis pertobatan lain: berbalik (metanoia) dari memakai dialog sebagai alat untuk mengubah iman kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam kehidupan mitra-mitra berdialog. Memang pertobatan dialogis

53 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 186.

(48)

benar-benar ada. Dialog antar-umat beragama tanpa pertobatan dalam arti demikian, hanya akan membuatnya tetap sebagai arena latihan akademis yang tidak akan memperkaya dan memperkembangkan serta memperdalam visi masyarakat spiritual.

Jadi, bagi Song pertobatan itu bukan pemutusan hubungan dengan persekutuan-persekutuan religius dan kebudayaan masa lampau. Karena percaya bahwa di kedalaman hidup agama-agama dan kebudayaan manusia ada keterhubungan yang kuat dengan hakekat universal dari kebenaran dan kasih Allah, maka tugas misi Kristen adalah untuk memperhadapmukakan manusia dari agama-agama lain tadi dengan Yesus Kristus. Dalam pertemuan dengan Yesus Kristus itu diharapkan bahwa perubahan terjadi, artinya manusia menjadi sadar akan kekurangan-kekurangan kepercayaan dan agama yang lampau.54

Agama Kristen di antara Agama-Agama Dunia

Perjalanan gereja ke ruang hidup agama-agama lain bukan untuk mentobatkan umat beragama lain dalam arti mengubah iman kepercayaan mereka tetapi mengkokohkan iman mereka sebagaimana yang

54 A.A. Yewangoe. “Kecenderungan-Kecenderungan Dalam. hlm. 15.

(49)

dihayati dalam agamanya itu sehingga iman itu bukan sesuatu yang dangkal, di permukaan, verbalisme, sekedar teori dan hanya sebagai hiasan melainkan iman itu menjadi kebenaran hati. Karena ini masalahnya maka menjadi jelas bahwa dalam pandangan Song bahwa agama-agama non-kristen tidak berada di luar kuasa karya keselamatan Allah di dalam Kristus.

Agama Kristen bukan agama yang unggul, agama anak mas Allah, yang diberi hak monopoli terhadap keselamatan. Agama Kristen berdiri dalam satu ordo dengan agama-agama dunia lainnya. Song karena itu dengan terang-terangan menolak pendapat Karl Barth, raksasa teologi abad ke-20 yang menyebut agama Budha sebagai ketidakpercayaan; menurut Song ini sebuah pernyataan yang terlampau gegabah.55

Menempatkan agama Kristen dalam satu ordo dengan agama-agama manusia lain tidak berarti bahwa Song menyamakan begitu saja agama-agama manusia. Tidak! Agama Kristen adalah agama yang unik, unik dalam caranya memandang keselamatan, unik juga dalam caranya menyambut dan merayakan keselamatan. Tetapi agama-agama lain juga unik. Mereka juga memiliki pandangan tentang keselamatan yang satu dan sama tetapi dari sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang agama Kristen. Song menulis begini (Sebutkanlah Nama-Nama: 164):

55 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 180.

(50)

Orang-orang Kristen bukanlah satu-satunya yang mulai memandang dunia di luar kamar duduknya sendiri. Hal yang sama dilakukan pula oleh orang-orang Budhis, Hindu, Yahudi, Muslim dan Kong Hu Cu. Dan sebagaimana halnya orang-orang Kristen, mereka juga cenderung menduga, berpikir, berspekulasi dan berkesimpulan seperti Alice. Mengapa tidak?

Semua agama adalah unik. Masing-masing agama memiliki bahasa dan pemaknaan yang berbeda terhadap keselamatan. Dengan kata lain agama-agama adalah alat atau jalan berbeda, tetapi menuju arah yang sama. Song menegaskan itu saat mengatakan bahwa Kristus bukan titik tolak agama-agama, tetapi titik fokus agama-agama.56

Kepelbagaian sudut pandang terhadap kebenaran yang menghasilkan pemahaman masing-masing agama yang unik terhadap kebenaran bukan sesuatu yang anomali dan tanda dari penyelewengan dari jalan Allah yang benar. Tidak! Allah sendiri kata Song, menghendaki kepelbagaian itu. Song menulis: “Allah menciptakan kita tidak dengan warna kulit yang sama, atau bahasa yang sama, atau pikiran yang sama. Allah bukanlah Allah yang membosankan, yang menciptakan dunia yang membosankan, dan

56 Choan-seng Song. Dalam: Douglas Elwood. Teologi Kristen Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm 188.

(51)

menakdirkan kita menjadi manusia yang membosankan.”57

Agama Kristen berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan agama-agama manusia lainya di hadapan Allah. Hanya Allah saja yang mutlak dan sempurna. Ini sejalan dengan pendapat Paul Borthwick. Yang sempurna itu Injil bukan agama Kristen.58 Tiap-tiap agama mengarahkan perhatian dan

hatinya kepada yang mutlak itu. Dalam kiblat itu agama-agama tadi mengenal dan memahami kemutlakan itu, tapi belum menggenggam kemutlakan itu secara penuh. Mereka hanya berhasil menangkap secercah kebenaran. Karena itu tidaklah sepatutnya agama-agama saling melindungi kebenaran. Mereka harus saling membuka diri untuk melihat cercahan kebenaran di agama yang lain dan masuk dalam dialog sebab tampaknya, kata Song, kebenaran lebih suka berada di antara kumpulan orang dari segala segi kehidupan.59

Singkat kata, paham tentang agama yang diperjuangkan Song adalah agama yang memiliki sifat-ibu, yakni yang kena mengena dengan kehidupan dan

57 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 168.

58 Paul Borthwick. Six Dangerous Questions… hlm. 48. 59 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 63.

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian supervisi akademik menurut para ahli yaitu menurut Sagala (2012) menyatakan: “Supervisi akademik adalah bantuan dan layanan yang diberikan kepada guru agar ingin terus

Bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan

(KPH) “Python” HIMAKOVA. Forum reptilia Kaskus atas kerjasama menjadi responden dalam penelitian ini. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

Kaitanya dengan hal tersebut, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik presiden-wapres di masa yang akan datang, yakni (1) Menata kembali

Dari hasil pengujian dapat terlihat bahwa seiring dengan peningkatan debit air menuju media pad temperatur masuk kondensor mengalami penurunan setelah penggunaan modul

Berdasarkan tabel 4variabel rasio hutang memiliki thitung sebesar - 3,282 > ttabel 1,996, dengan nilai signifikansi 0,002 < 0,05.Maka dapat disimpulkan bahwa

UU No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi terdapat pada Pasal 30 Juncto Pasal 4 Ayat (1) pasal ini dapat digunakan dalam menjerat pelaku tindak pidana

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran teams games tournaments