TINJAUAN HASIL VAKSINASI ANTHRAX PADA SAPI DAN
KAMBING – DOMBA DI INDONESIA
A.E.T.H.WAHYUNI
Bagian Mikrobiologi FKH-UGM Jl. Olah Raga Karang Makang, Yogyakarta 55281
Telp: 0274 – 7480367, Fax: 0274 - 563083 E-mail: wahyuni_aeth@yahoo.com
ABSTRAK
Anthrax merupakan salah satu penyakit zoonosis yang berbahaya, disebabkan oleh Bacillus anthracis. Penyakit ini bersifat akut atau perakut pada bebagai jenis ternak: ruminansia, kuda, babi, berbagai jenis hewan liar, kelinci, marmot dan burung unta. Beberapa cara pengendalian terhadap penyakit ini telah dilakukan yang salah satunya adalah vaksinasi. Hasil dari vaksinasi terhadap sapi cukup memuaskan dengan menurunnya jumlah sapi yang mati karena penyakit Anthrax secara signifikan. Namun demikian berbeda hasilnya pada kambing dan domba. Pada hewan-hewan ini terjadi efek Post vaccinal yang dampaknya malah dapat menimbulkan kematian pada hewan-hewan tersebut. Keberhasilan program vaksinasi Anthrax sangat dipengaruhi oleh: status hewan, vaksin yang dipergunakan serta cara pemberian vaksin termasuk dosis yang diberikan.
Kata kunci: Anthrax, vaksinasi, sapi, kambing – domba PENDAHULUAN
Penyakit Anthrax merupakan salah satu penyakit yang fatal dan bersifat zoonosis yaitu dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Seluruh mamalia dapat terserang penyakit ini dengan beberapa tingkatan, tetapi ruminansia seperti sapi, kambing dan domba adalah hewan yang sangat rentan/mudah terserang baru diikuti kuda dan babi (ANON, 2000; ANON, 2001a). Selain itu juga menyerang berbagai jenis hewan liar, kelinci, marmot tetapi tidak menyerang hewan berdarah dingin maupun unggas kecuali burung unta (ANON, 2001a; ANON, 2004c;
ANON, 2004a; ANON, 2001b). Anthrax disebut juga Radang Lympha, Malignant Pustule,
Malignant edema, Woolsorter disease, Rag pickers disease, Charbon. Kata Anthrax dalam
bahasa Inggris berarti batu bara, dalam bahasa Perancis disebut sebagai Charbon dan dalam bahasa Yunani berarti batu bara. Kata tersebut digunakan sebagai nama penyakit pada manusia yang ciri utamanya yaitu adanya luka yang rasanya pedih, ditengahnya berwarna hitam seperti batu bara (CHRISTIE, 1983). Pada
manusia dikenal sebagai Malignant pustule (MARC, 1752; FOURNIER, 1769). Penyakit ini
bersifat zoonosis sehingga dapat menular kepada manusia dan menimbulkan kematian.
ETIOLOGI DAN SIFAT-SIFAT KULTURIL
Penyebab penyakit Anthrax adalah Bacillus
anthracis. Pertama kali ditemukan oleh
DAVAINE dan BAYER tahun 1849. Selanjutnya
dilakukan identifikasi oleh POLLENDER tahun
1855. Dua tahu setelah itu (1857) BRAVEL
berhasil memindahkan penyakit ini dengan cara menginokulasikan darah hewan yang terkena Anthrax. Pada tahun 1877 ROBERT
KOCH dapat membuat biakan murni dari B.
anthracis, membuktikan kemampuan bakteri
tersebut membentuk spora serta mengenali lebih lanjut sifat-sifat bakteri tersebut. Bakteri ini merupakan bakteri pertama yang diketahui mampu menyebabkan penyakit. Pada biakan agar koloni terlihat mempunyai permukaan seperti serpihan kaca atau “ground glass”. Pinggiran koloni terlihat sebagai “Medussa”, oleh karena pembentukan filament yang panjang sehingga seakan-akan terlihat bagaikan rambut yang panjang dan ikal dari DEWI YUNANI MEDUSSA (LAY, 1992; GYLES
1988). Bacillus anthracis merupakan bakteri berbentuk batang, ujung-ujungnya persegi dengan sudut-sudut yang tampak jelas, tersusun berderet sehingga tampak seperti ruas-ruas bambu (BISPING and AMTSBERG, 1988)
atau seperti bentuk mobil boks/”box car” (ANON, 2005). Bakteri ini membentuk spora, non motil, serta membentuk kapsul (MOCK and
FOUET, 2001; ANON, 2005). Apabila kontak
dengan oksigen maka dan mencapai fase eksponensial satu spora berbentuk bulat terletak di tengah terbentuk dari setiap sel vegetatif. Bakteri bersifat Gram positif, mempunyai ukuran 1-1,2 um X 3-5 um (GYLES
and THOEN, 1993). Sifat-sifat biokimiawi dari bakteri ini adalah memfermentasi gula-gula: glukosa, levulosa, maltosa, sakarosa, trehalosa dan dekstrin. Selain itu juga mereduksi nitrat dan positif dengan uji Voges-Proskaurer. Pada kondisi anaerob dan ada HCO3 sel-sel vegetatif membentuk kapsul. Kapsul ini dibentuk di dalam tubuh/in vivo. Secara genotipe dan fenotipe sangat mirip dengan
Bacillus cereus (bakteri banyak ditemukan di
tanah) dan Bacillus thuringensis (bakteri patogen pada larva Lepidooptera). Ketiga bakteri ini mempunyai ukuran serta spora oval (HELGASON et al., 2000; ANONIMUS, 2005). Spora dapat terbentuk apabila bakteri kontak dengan udara/oksigen. Tanah merupakan tempat atau sumber alami bagi bakteri ini. Spora ini sangat resisten dan dapat survive di tanah bertahun-tahun (DRAGON and RENNIE, 1995; MERKA and PATOCKA, 2002), juga dapat hidup pada rambut hewan, wool, kulit atau bahan yang terkontaminasi sehingga dapat menyebar ke mana-mana. Bentuk spora mempunyai resistensi tinggi, tahan terhadap panas dan dingin. Spora ini bentuknya oval, terletak di tengah dan tidak disertai oleh pembengkakan sel. Pada pewarnaan Gram tidak tampak, hanya merupakan bagian yang tidak terwarnai/kosong. Hanya dengan pewarnaan khusus (pewarnaan spora) terlihat dengan jelas. Sporulasi terjadi pada keadaan banyak oksigen dan berkurangnya unsur kalsium (ANON, 1990). Bentuk spora tidak ditemukan dalam jaringan maupun dalam darah.
PATOGENESIS
Infeksi dapat terjadi melalui kulit dan alat pernafasan, tetapi kejadian yang paling sering adalah melalui saluran pencernaan. Spora teringesti/termakan, kemudian mengalami germinasi dan menjadi bentuk vegetatif dalam mukosa kerongkongan ataupun saluran pencernaan. Kapsul yang tersusun oleh asam poliglutamat akan terbentuk dan berfungsi melindungi bakteri dari proses fagositosis serta antibodi yang akan melumpuhkan bakteri tetapi tidak menggertak pembentukan antibodi pelindung. Bacillus anthracis yang bersifat virulen hanya galur yang mempunyai kapsul dan bersifat toksigenik. Di waktu lampau penyakit ini diperkirakan diakibatkan oleh penyumbatan pembuluh ka[piler akibat multiplikasi bakteri. Pada hewan penderita yidak ditemukan baik endo maupun ekso toksin. Meskipun demikian kematian akibat bakteri ini menunjukkan gejala toksemia. Eksotoksin ditemukan dalam plasma hewan yang mati. Multiplikasi bakteri terjadi terutama pada bagian yang edema dan menyebar melalui jaringan limfa ke limfoglandula. Bakteri kemudian masuk ke peredaran darah dan limfa. Sebenarnya bakteri ini disaring di dalam limfa tetapi melampaui kemampuan penyaringan sehingga masuk dalam peredaran darah. Pada hewan yang mati karena Anthrax sekitar 80% bakteri ditemukan dalam darah dan sekitar 20% ditemukan di dalam limfa. Hewan mati diakibatkan oleh produksi toksin yang dikeluarkan oleh bakteri ini. Kapsul dan toksin merupakan dua faktor virulen yang penting yang dimiliki oleh Bacillus anthracis (LAY,
1988; ANON, 2005). Toksin bakteri merusak
sel tubuh jika telah berada di dalamnya. Toksin ini terdiri dari: Antigen pelindung (AP)/
Protective antigen; Faktor edema (FE)/ Oedema factor dan Faktor letal (FL)/Lethal factor (PATOCKA et al., 2004). Antigen pelindung merupakan protein, faktor edema merupakan protein karbohidrat dan pembawa kematian merupakan protein dengan berat molekul Komponen toksin ini tidak dapat berefek jika berdiri sendiri-sendiri.
Terjadinya edema apabila edema faktor bertemu dengan antigen pelindung atau edema faktor dengan antigen pelindung dan faktor lethal. Sedangkan kematian terjadi apabila faktor edema dan antigen pelindung, antigen pelindung dengan faktor letal atau faktor edema dengan antigen pelindung dan faktor letal. Daya kerja dari komponen toksin ini adalah merusak dan menghancurkan fagosit, meningkatkan permeabilitas pembuluh kapiler dan merusak mekanisme pembekuan darah. Sebagai akibat dari kerja toksin ini terjadi trombosis pembuluh kapiler dan menyebabkan keluarnya cairan melalui epitelium pembuluh kapiler yang rusak. Tekanan darah mengalami penurunan dan hewan akan syok. Kompleks toksin ini akan menghambat aktivitas opsonin dari komplemen sehingga kemampuan fagositosis juga menurun. Menjelang kematiannya toksin ditemukan dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pemberian antibiotika harus diberikan pada permulaan infeksi sebelum toksin yang dibentuk mencapai dosis letal (LAY, 1992)
KASUS-KASUS ANTHRAX DI INDONESIA
Ada beberapa laporan kasus Anthrax yang terjadi di Indonesia sejak awal kejadian hingga kejadian tahun 2004 kemaren. Pertama kali terjadi wabah Anthrax di Indonesia pada tahun 1932 di Kecamatan Tirawuta dan Mowewe Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1969 dilaporkan 36 orang meninggal setelah makan daging di Kecamatan Tirawuta, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Sedang pada tahun 1973 dilaporkan 7 orang meninggal setelah memakan daging di Desa Loeya kecamatan Tirawuta, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Beberapa hal yang menyebabkan penyakit ini penting dan dan strategis karena: kejadiannya akut atau perakut dan menimbulkan kematian; bersifat zoonosis (menular ke manusia) dan menimbulkan kematian; penyakit sulit diberantas karena menghasilkan spora dan menjadi senjata
biologis (MERKA and PATOCKA, 2002;
GEISSLER, 1998a; PATOCKA and SPLINO, 2002;
PRYMULA, 2002; GEISSLER, 1998b). Namun
ada beberapa kejadian yang cukup besar atau luar biasa. Pada tahun 1990 kejadian Anthrax yang menyerang sapi perah di wilayah
Semarang dan Boyolali dilaporkan beberapa ekor sapi mati. Pada tahun 2000 di wilayah Purwakarta Anthrax telah mematikan banyak sekali burung Unta (Ostrich) juga menyerang 32 orang secara klinis. Tahun tahun kemudian (2001) kejadian muncul di Hambalang Bogor Jawa Barat menyerang kambing dan domba serta mengakibatkan 2 orang meninggal dan 22 orang menunjukkan gejala klinis. Pada tahu 2002 di wilayah Bogor juga Anthrax menyerang kambing dan domba dan mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Pada tahu 2003 wilayah DIY juga terserang Anthrax mengakibatkan 1 ekor sapi mati. Pada tahun 2004 kembali wilayah Bogor Anthrax muncul pada kambing dan domba serta mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Sampai sekarang telah dilaporkan ada 12 propinsi sudah terserang atau tertular Anthrax yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY,NTB, NTT, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Papua (ANONIMUS, 2002). Yang dilaporakan ada
kasus pada manusia ada 4 propinsi yaitu: Ja-Bar, Jawa Tengah, NTB dan NTT. Dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 telah dilaporkan 599 kasus pada manusia dan 22 orang telah meninggal dunia (ANONIMUS, 2002).
VAKSINASI ANTHRAX
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk pencegahan penyakit Anthrax. Vaksin pertama kali dibuat oleh PASTEUR (1879). Pasteur menemukan bahwa inkubasi bakteri pada suhu 420C akan menyebabkan penurunan sifat virulensi bakteri ini. Vaksin ini tidak digunakan lagi setelah ditemukan vaksin spora (“spore live vaccine”) oleh karena dapat disimpan lebih lama. Vaksin spora ini berasal dari varian yang tidak berkapsel dan tidak virulen (LAY, 1988).
Penambahan saponin dalam vaksin akan menghambat penyebaran yang cepat dari spora ke dalam jaringan sehingga akan dihasilkan efek adjuvan (vaksin carbozoo). Vaksin Anthrax telah dibuat atau diproduksi oleh beberapa negara yang kesemuanya menggunakan spora. Beberapa Negara yang memproduksi vaksin Anthrax seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perusahaan-perusahaan yang memproduksi vaksin spora
Negara Nama perusahaan Diskripsi Dosis
Australia CSL Ltd. 45 Poplar Road Parkville Victoria 3052
Strain: 34F2 Sheep, Goats, pigs: 0.5 ml s.c; Horse 2 ml s.c of 1 ml separated by 1-month interval Britain (UK) Biological Products Unit
Central Veterinary Laboratory New Haw Surrey KT 15 3NB
Strain : 34F2 Adjuvant: saponin
Sheep, goats, pigs: 0.5 ml s.c. Cattle : 1 ml s.c.
China (People’s Republic)
National Control Institute of Veterinary Bioproducts & Pharmaceuticals Ministry of Agriculture 30 Baishiqiao Road Beijing 100081
Strain : 34F2 Adjuvant: ? (Contact manufacturer)
Smanll animals: 1 ml
Domba, babi: 2 ml sapi, kuda: 2 ml
Colombia S.A.
Laboratories Erma Avenida El Dorado N 90-31 A.A. 98835 Bogota D.E.
Strain: 34F2 Adjuvant: saponin
Kambing, domba, babi: 1 ml s.c. Cattle, horses: 2 ml s.c. Czech Bioveta plc Komenskeho 212
683 23 Ivanovice na Hane
Strain: 34F2 Adjuvant: saponin Name of product: “Antraxen inj.ad us. vet”
Sheep, goats, pigs. Cattle, horses: 1ml s.c.
Ethiopia National Veterinary Institute P.O. Box 19
Bebere – Zeit
Strain: 34F2 Adjuvant: saponin
Sheep, goats, pigs: 1 ml Cattle, horses : 2 ml France Rhone Merieux 17 Rue Bourgelat
BP 2006 69227 Lyon Cedex 02
Strain: 34F2 Adjuvant: Saponin
Sheep, goats, pigs: 1 ml Cattle, horses: 2 ml Hungary Phylaxia-Sanofi Veterinary
Biologicals Co Ltd P.O. Box 68 1475 Budapest
Strain: 34F2 Adjuvant: saponin
Sheep. Goats: 0.5 ml Cattle: 1 ml India Institute of Veterinary Preventive
Medicine Ranipet -632 402 North Arcot Ambedkar District Tamil Nadu
Strain: 34F2 Adjuvant : none
Sheep, goats: 1 ml; Injected s.c. in tail fold Cattle, pigs, horses, unta: 1 ml s.c. Gajah: 1 ml s.c. with second dose of 3 ml after 1 month Indonesia Pusat Veterinaria Farma Jl. Jend.
A. Yani 68-70 Kotak Pos WO.3 Surabaya 60231
Strain: 34F2 Adjuvant: saponin
Sheep, goats, pigs: 0.5 ml s.c. Cattle, horses: 1 ml s.c. Italy Istituto Zooprofilattico
Sperimentale della Puglia e della Basilicata Via Manfredonia, 20 1-71100 Foggia Strain: Pasteur 2 Adjuvant: saponin Strain: Pasteur 1 Adjuvant: saponin Cattle (> 6 months): 0.25 ml, s.c. Cattle (> 6 months), sheep: 0.125 ml, s.c. Horses, goats: 0,125 ml, s.c.
Japan TheChemo-Sero-Therapeutic Research Institute 668 Okubo Shimizu Kumamoto 860
Strain: 34F2 Adjuvant: none
Cattle & horses only: 0.2 ml, s.c.
Kenya Cooper Kenya Ltd Wellcome Centre Kaptagat Road (off Waiyaki Road), P.O. Box 40596 Nairobi
Strain: 34F2
Adjuvant: ? Sheep, pigs: 0.5 ml s.c; Cattle, horses: 1 ml s.c. (It is recommended that goats should not be vaccinated without first consulting veterinary surgeon)
Korea (South)
Choong Ang Animal Disease Laboratory
Seo TaeJeon P.O. Box 312 408-1 Sa Jung Dong Choong-Ku Tae Jeon
Strain: 34F2 Adjuvant: saponin
Sheep, goats, pigs: 1.0 ml Cattle, horses: 2.0 ml
Nepal Biological Products Div. Central Animal Health Centre Veterinary Complex
Tripureswor Kathmandu
Strain: 34F2 Adjuvant: saponin
Semua spesies: 1 ml
Netherlands Institute for Animal Science and Health
P.O. Box 65 (Edelhertweg 15) 8200 AB Lelystad
Strain: 34F2 Adjuvant: saponin
Hewan kecil: 0.5 ml s.c.
Sheep, goats, pigs, anak kuda dan anak sapi: 0.5 ml s.c.
Sapi betina dewasa, horses: 1 ml s.c. Pakistan Vaccine Production
Laboratories Brewery Road Quetta
Details non obtained Romania Institutul National de Medicina
Veterinara “Pasteur” 77826 Sos. Giulesti 333
Sector 6 R-7000 Bucuresti
Strain: 1190 R- Stamatin Adjuvant: saponin
Cattle (> 2 months): 0.5 ml s.c. Sheep, pigs (> 2 months): 0.2 ml, s.c. Horses (> 6 months): 0.2 ml, s.c. Goats (> 2 months): 0.1 ml, s.c.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam vaksinasi Anthrax antara lain penyimpanan vaksin tidak boleh di frezzer tetapi di refrigeratornya . Hewan-hewan yang sedang dalam pengobatan antibiotika tidak diijinkan untuk divaksin Anthrax misalnya sapi perah dalam pengobatan karena mastitis. Hewan yang akan dipotong dalam waktu
minimal 6 minggu sebelumnya tidak boleh divaksin (ANON, 2002a). Hasil vaksinasi Anthrax pada sapi di wilayah Semarang dan Boyolali pada tahun 1990 menunjukkan hasil yang bagus yaitu terjadi penurunan kematian sapi secara signifikan. Hasil vaksinasi pada sapi-sapi tersebut terlihat pada Gambar 1 Gambar 1. Hasil vaksinasi anthrax pada sapi perah di Semarang dan Boyolali tahun 1990
Vaksinasi pada sapi perah di Kabupaten Semarang dan Boyolali pada tahun 1990 menggunakan vaksin Anthrax produksi Pusat Veterina Farma Surabaya. Pemberian secara subkutan dengan dosis pemberian 1 ml. Pada saat itu sapi yang akan divaksin dikelompokkan menjadi tiga kelompok (pengalaman pribadi saat pelaksanaan vaksinasi) yaitu: kelompok yang benar-benar sehat dan siap divaksin, kelompok yang sakit/tidak sehat diberi pengobatan dahulu dan kelompok ketiga adalah kelompok tidak divaksin yaitu pedet dan sapi bunting. Kematian sangat tinggi mencapai 494 ekor sapi yang menunjukkan sakit dan 209 ekor sapi mati secara mendadak pada bulan Mei 1990. Kematian menurun satu bulan berikutnya pada bulan Juni setelah dilakukan vaksinasi yaitu 238 ekor karena sakit dan 70 ekor mati mendadak, dan turun drastis pada bulan agustus 1990 hanya 8 ekor mati karena sakit dan 2 ekor mati mendadak (ANON, 1990).
Vaksinasi pada kambing dan domba di wilayah Sleman Yogyakarta yang dilakukan pada bulan Oktober 2004 menggunakan vaksin produksi Pusat Veterina Farma Surabaya, secara subkutan dan menggunakan dosis ½ ml. Hasil vaksinasi Anthrax pada kambing dan domba pada tahun 2004 di wilayah Yogyakarta, dari kurang lebih 800 ekor yang divaksin terjadi kematian setelah vaksinasi kurang lebih 54 ekor atau sekitar 6,7%. Sementara hasil vaksinasi pada kambing dan domba di wilayah Bogor dalam waktu yang hamper bersamaan dari laporan tidak ditemukan kematian, meski ada beberapa ekor yang mengalami sakit setelah vaksinasi tersebut. Dari hasil ini tampak berbeda sekali hasil ataupun dampak dari vaksinasi anthrax antara sapi dan kambing/domba. Dari hasil pantauan di lapangan (wawancara pribadi) banyak kambing dan domba setelah divaksin Anthrax sebelum mati menunjukkan gejala– gejala antara lain kebengkakan di dekat rektum dan dibawah ekor. Menurut ANON 2002a,
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Jan
Maret
Mei
Juli
Mati mendadak
Sakit
kambing/domba memang lebih mudah/ cenderung menampakkan reaksi terhadap vaksin Anthrax (post-vaccinal reaction). Untuk menyikapi hal itu beberapa perusahaan menyarankan pemberian vaksin Anthrax pada kambing/domba dibagi menjadi dua kali pemberian. Pemberian pertama sebanyak seperempat dosis dari standar yang direkomendasikan (1 dosis = ½ ml) sebagai “pre-inoculation dose” dan pemberian ke dua dengan selang waktu 1 bulan sebanyak 1 dosis yang dianjurkan. Vaksinasi pada kambing/ domba ini disuntikkan secara subkutan disebalik ekor pada tempat yang kering dan bersih. Menyimak kejadian kematian kambing/ domba setelah vaksinasi Anthrax ini, perlu kiranya untuk lebih berhati-hati dalam pelaksanaan vaksinasi anthrax terhadap hewan-hewan tersebut. Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan suatu vaksinasi harus sanagt diperhatikan. Baik hewannya sendiri apakah dalam kondisi yang sehat dan siap divaksin? Status hewan sendiri apakah dalam keadaan bunting? Dari laporan di lapangan ternyata memang ada 2 ekor kambing yang mati setelah divaksin Anthrax mati ternyata dalam keadaan bunting. Perlu diperhatikan juga pemberian vaksin seperti yang dianjurkan (ANON, 2002a) yaitu pemberian sebanyak 2 kali dengan interval 1 bulan dan dosis pemberia yang pertama ¼ dosis yang dianjurkan. Dan kiranya perlu untuk difikirkan pembuatan vaksin Anthrax tidak dengan spora dari Bacillus
anthracis untuk mendapatkan hasil yang
protektif tetapi tidak begitu berbahaya baik bagi hewan yang divaksin maupun petugas yang memberi vaksin di lapangan misalnya dengan pembuatan subunit vaksin.
DAFTAR PUSTAKA
ANONNIM. 2004a. Humidity Test May Unmask Anthrax Spores. http://www.meridianhealth. com/index.cfm/MediaRelations?News?Breaki
ngNews/anthrax 11/30/2004
ANONNIM. 2004b. Anthrax Toxin: Deadly Triumvirate of anthrax. Applied Science and Analysis, Inc. THE ASA Neewslatter.
http://www.asanltr.com/newsletter/03-3/articles/Anthrax.htm 12/3/2004
ANONNIM. 2004c. Anthrax. Media centre. World Health Organization. http://www.who.int/
mediacentre/factsheets/fs264/en/ 13/2004
ANONNIM. 2004d. Guidelines for the Surveillance and Control of Anthrax in Humans and Animals. WHO/EMC/ZDI/98.6
ANONNIM. 2004e. Anthrax – Biological Agent. http://www.arches.uga.edu/-fl50ga/Patho.htm 12/3/2004
ANONNIM. 2002a. Pedoman dan Protap Penata-laksanaan Kasus Anthraks di Indonesia. ANONNIM. 2001a. Anthrax. APHIS Veterinary
Services. November 2001
ANONNIM. 2001b. Anthrax Disease Information.
http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/
anthrax-g.htm. 11/30/2004
ANONNIM. 2001c. Fact Sheet Anthrax. Labor SPIEZ ANONNIM. 2000. Anthrax Vaccine. U.S.
Departement of Health and Human Services. Centers for Diseases Control and Prevention National Immunization Program. 11/6/00 ANONNIM. 1990. Proceeding Seminar. Rabies,
Zoonosa, dan Anthrax. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro dan Perhimpunan dokter Hewan Indonesia. BISPING,W and G.AMTSBERG. 1988. Colour Atlas
for the Diagnosis of Bacterial Pathogens in Animals. Paul Parery Scientific Publishers. Berlin and Hamburg. P 72-78
CHRISTIE, A.B. 1980. Infectious Diseases: Epidemiology and Clinical Practice. Third Edition, Churchill Livingstone, Eidenburg, London, Melbourne and New York.
DRAGON, D.C., and RENNIE, R.P. 1995. The Ecology of Anthrax spores: tough but not invincible. Can Vet 36, 295-301
GEISSLER E. 1998a: Conversion of former BTW facilities, lessons from German history. IN: GEISSLER E (Eds.): Conversion of former BTW facilities. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht, pp. 53-66.
GEISSLER E 1998b: Hitler und die Biowaffen. LIT, Munster, pp. 298
GYLES,C.Land C.O.THOEN. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. J.W. EZZELS, JR and C.L. WILHELMSEN. Bacillus anthracis. Second editian. Iowa State University Press. P 36-41.
HELGASON, E., OKSTAD, O.A., CAUGANT D.A., JOHANSEN H.A., FOUET, A., MOCK, M., HEGNA, and I.,KOLSTO,A.B. 2000. Bacillus
anthracis, Bacillus cereus and Bacillus thuringensis- one species on the basis of
genetic evidence. Appl Environ Microbiol 66, 2627-2630.
LAY, B.W dan SUGYO HASTOWO. 1992. Mikrobiologi. Hal 263-269.
MERKA V, and PATOCKA J. 2002.: Anthrax: An important agent of biological terrorism. Nederl Milit Geneeks 55, 142-145.
MESSELSON M, GUILLEMIN J, HUGH-JONES M, LANGMUIR A, POPOVA I, SHELKOV A, and YAMPOLSKAYA O. 1994. The Sverdlovsk antrax outbreak of 1979. science 266, 1202-1208.
MOCK,Y.and FOUET,A.2001. Anthrax. Anuu Rev Microbiol 55, 647-671.
PATOCKA J., and SPLINO M. 2002.: A history of Gruinard Island, the “Antrax” Island (Article in Cech). Voj Zdrav Listy 71, 58-59 11x. Prymula R. 2002: Historical aspects of biological agent misuse (Article in Czech). Voj Zdrav Listy 71, 1-9.
PRYMULA R. 2002. Historical aspects of biological agent misuse (Article in Czech). Voj Zdrav Llisty 71, 1-9.