• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI UMUM WILAYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESKRIPSI UMUM WILAYAH"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI UMUM WILAYAH

Lokasi dan Kondisi Fisik Geografis

Di dalam wilayah Jawa Barat, Kabupaten Bandung terletak pada koordinat 6"41'

-

7'19' LS dan 107'22'

-

108"05' BT, serta memiliki ketinggian antara 100 m sampai 2 429 m di atas permukaan laut (Bapeda Kab. Bandung 2002). Iklim di Kabupaten Bandung merupakan iklim tropis yang dipengaruhi iklim muson dengan curah hujan berkisar 1500 mm - 4500 mm per tahun, suhu 19 "C-24 "C

dengan penyimpangan harian 5 OC, serta kelembaban udara bervariasi antara 78% pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau. Daerah dengan curah hujan tertinggi (3500-4500 mdtahun) berada di daerah pegunungan seperti di Gunung Tangkuban Parahu, G. Patuha dan G. Kuda, sedangkan curah hujan terendah (

+

1500 mdtahun) terdapat di daerah dataran seperti di Kecamatan Batujajar, Soreang, Bojongsoang, Katapang, dan Pameungpeuk.

Wilayah Kabupaten Bandung mempunyai geomorfologis bervariasi yaitu; (1) dataran dengan kemiringan lereng 0 4 % yang terdapat di sebagian Kecamatan Soreang, Bojongsoang dan Rancaekek; (2) bergelombang dengan kemiringan lereng 8-15% yang antara lain berada di Kecamatan Pasirjanlbu, dan Pangalengan; (3) perbukitan dengan kemiringan lereng 15-40% yang menempati lembah antar gunung seperti bagian timur kaki G. Patuha dan lereng atas perbukitan Ciburial

-

G.Manglayang; dan (4) berpegunungan dengan kemiringan lereng > 40% yang menempati bagian puncak pegunungan seperti G. Wayang, G. Windu, dan G. Tangkubanparahu. Sebagian besar wilayah kaki bukit dan pegunungan terbentang sepanjang bagian utara, selatan dan barat dengan kemiringan beragam antara 26-40% dan >40%. Dengan demikian secara umum Kabupaten Bandung merupakan suatu cekungan, sehingga wilayah ini merupakan daerah tangkapan air yang penting, dan merupakan kawasan lindung yang menjaga keaeimbangan hidroorologis cekungan Bandung (Badri dan Wahyono 2005).

Berdasarkan kondisi geologis, wilayah Kabupaten Bandung mempunyai litologi dengan: (1) satuan batuan andesit yang terdapat di sekitar Kecamatan Pasirjambu; (2) lava bersusunan andesit hingga basalt yang terdapat di G.

(2)

Kendang, dan G. Rakutak ; (3) breksi, lahar dan lava yang tersebar di sekitar hulu Sungai Cikapundung ke arah G. Manglayang, dan sekitar G. Malabar; (4) pasir tufaan, breksi lava, dan aglomerat yang merupakan hasil kegiatan gunung api seperti di daerah Lebaksari, G. Malabar, dan G. Mandalawangi ; (5) evata dan aliran lava seperti yang terdapat di G. Wayang-Windu, dan G. Manglayang ; ( 6 )

breksi tufaan berbatu gamping seperti yang terdapat di utara Kecamatan Gununghalu; (7) tuf kaca yang berada di sekitar G. Mandalawangi dan G. Mandalagiri; (8) lempung organik, tufaan, pasir tufaan yang merupakan hasil endapan danau yang terletak di daerah dataran seperti Kecamatan Margahayu dan Margaasih; dan (9) koluvium yang berasal dari breksi bersifat andesit, basalt, lava, batu pasir tufaan yang terdapat di sebelah utara Kabupaten Bandung.

Wilayah dengan morfologi datar di daerah Cilampeni, Dayeuhkolot, Cipamokolan, rnernpunyai litologi endapan kuarter berupa aluvial, pasir, kerikil, dan lernpung yang mempunyai sifat fisik sangat lunak dengan drainase buruk sampai kedalaman 20 m (Hidayat & Mulyana 2002). Warlina (2000) mengemukakan bahwa berdasarkan kondisi geologi, Kecamatan Baleendah, Ciparay, Majalaya, Bojongsoang, Paseh, Rancaekek, Pameungpeuk, Cikancung dan Dayeuhkolot merupakan daerah dengan tanah berdrainase buruk dan berbakat banjir dengan luas 11 599 hektar. Pada wilayah dataran tersebut Sungai Citarum membelah dari tirnur ke arah barat kabupaten dan terdapat pertemuan anak-anak Sungai Citarum. Di daerah Dayeuhkolot tejadi pertemuan antara dua anak Sungai Citarurn yaitu Cikapundung dan Cisangkuy, begitu pula di Sapan (Majalaya) terdapat pertemuan antara Sungai Citarik dan Sungai Citarum Hulu, lalu di Ciparay dan Banjaran terdapat perternuan Sungai Citarik dan Cirasea. Karenanya menurut Arwin Sabar (seorang pakar hidrologi) tak mengherankan jika daerah- daerah tersebut jadi daerah langganan banjir (IndoNews 1998).

Kondisi tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Bandung adalah: (1) satuan lempung organik yang merupakan endapan aluvial dengan litologi umumnya benvama abu-abu tua, mudah mengkerut dan mengembang karena pengaruh air, dan berpermeabilitas sangat rendah; (2) satuan lempung lunak yang terdapat di Kecamatan Majalaya bagian utara dan Kecamatan Soreang, (3) satuan lanau kerikilan dengan litologi agak lunak yang penyebarannya berada di

(3)

Lebaksari, Kecamatan Majalaya; (4) lempung pasiran, pasir lempungan, dan pasir kerikilan yang merupakan hasil hasil lapukan dari gunung api dan terdapat di kaki G. Patuha (Badri & Wahyono 2005).

Penelitian Suherlan (2000) dengan parameter curah hujan, kemiringan lahan, penggunaan lahan dan tekstur tanah menetapkan daerah rentan banjir di Kabupaten Bandung seluas 42 506.14 hektar. Daerah-daerah tersebut berada di sebagaian besar kecamatan Cipatat, Cipeundeuy, Cikalong Wetan, Cileunyi, Rancaekek, Majalaya, Ciparay, Baleendah, Pameungpeuk, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margaasih, dan Margahayu. Berdasarkan penelitian Badri dan Wahyono tahun 2005, pemicu banjir di wilayah Kabupaten Bandung antara lain curah hujan

c

3

atas normal, limpasan air di daerah aliran sungai bagian hulu meningkat dan daerah resapan mulai terganggu. Sedangkan di bagian hilir, kondisi topografis yang rendah, morfologi datar, tanah di tempat tertentu relatif kedap air, limpasan lambat, sistem drainase yang bumk, dan kondisi lingkungan sungai yang cenderung memburuk (sumbatan aliran karena sampah dan pendangkalan sungai).

Menurut kondisi hidrologis, sumber air, baik air tanah maupun permukaan, di Kabupaten Bandung sangat banyak. Air permukaan terdiri atas danau alam, danau buatan, dan 172 buah sungai, namun hanya sekitar 30 sungai yang berair sepanjang tahun. Debit air permukaan yang berasal dari curah hujan yang tinggi diperkirakan mencapai 2 milyar m3 per tahun pada kondisi normal dan 1 milyar m3 per tahun pada kondisi kering. Mata air-mata air yang mempunyai debit minimal 10 ltfdetik dikuasai Pemerintah Kabupaten Bandung dengan prioritas pemanfaatan untuk kepentingan umum khususnya penyediaan air bersih dan irigasi. Wilayah barat kabupaten seperti di Kecamatan Cikalongwetan, Cipatat, Batujajar memiliki sungai-sungai yang relatif kering dengan debit sungai yang rendah. Adapun di daerah-daerah lain mempunyai debit lebih dari 200 rn3/det, antara lain kecamatan Cisama memiliki 3 buah sungai dengan debit 418 m3/dt, Lembang terdiri dari 10 buah sungai dengan debit 244 m3/dt, kecamatan Cilengkrang mempunyai 3 buah sungai dengan debit 231 m3 /dt (Pemkab Bandung 2001).

(4)

Hampir seluruh wilayah Kabupaten Bandung m e ~ p a k a n Daerah Aliran Sungai @AS) Citarum bagian hulu dengan luas daerah tangkapan kurang lebih 250 ribu hektar (Gambar 4). Disamping itu terdapat wilayah yang mempakan bagian dari DAS Cimanuk, Cibuni, Cilaki, dan Cisokan. DAS Citarum Hulu mempunyai tujuh sungai utama yang mempengaruhi pola aliran Sungai Citarum baik secara kuantitas maupun kualitas yaitu Sungai Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, Ciwidey, Ciminyak, dan Cihaur. DAS Citamm Hulu mempunyai sumber mata air di Gunung Wayang (2 182 m) yang dikenal dengan nama Pangsiraman, Cikahuripan, Cisanti, dan Cipaedah, yang termasuk pada Sub DAS Cirasea. Dari sumber ini air kemudian mengalir ke daerah perbukitan Pacet dan kemudian bergabung dengan Sungai Citarik (Sub DAS Citarik) pada awal cekungan Bandung di daerah Jolok (Majalaya) yang bermorfologi datar. Selanjutnya aliran Sungai Citanun membelah cekungan di Kabupaten Bandung dari timur ke barat, bergabung dengan Sungai Cikapundung (Sub DAS Cikapundung) dan Sungai Cisangkuy di daerah Dayeuhkolot, lalu bergabung dengan Sungai Ciwidey di daerah Cimahi. Aliran ini kemudian mengalir pada bebatuan porous melalui suatu celah di daerah kapur di Kecamatan Padalarang dan bergabung dengan Sungai Cihaur lalu masuk ke waduk Saguling sebagai outletnya. Aliran Sungai Citanun banyak dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan ekonomi seperti untuk irigasi pertanian, untuk air minum, pembangkit listrik, perikanan, dan pariwisata (PC1 2003).

Pola aliran Sungai Citarum serta sejumlah anak sungainya cendemg bertipe radial sentrihgal. Alur sungai utama atau anak sungai yang menyusun aliran terbesar dan terpanjang dinamakan saluran drainase primer. Anak lcabang sungai yang bermuara ke alur sungai utama mempakan saluran drainase sekunder, dan seterusnya untuk macam drainase. Pola aliran sungai tersebut kemudian membentuk DAS seperti kipas, yang secara geografis tipe aliran tersebut bisa mengakibatkan titik-titik simpul yang memudahkan terjadinya banjir. Potensi tersebut diperkuat lagi dengan muara anak sungai yang saling berlawanan dan tegak lurus dengan aliran Sungai Citamm. Maka, ketika air sungai meluap, aliran air dari sejumlah anak sungai akan ikut terhambat, sedangkan jika air di sejumlah anak sungai meluap akan mengakibatkan Sungai Citaruin rneluap pula. Hal ini

(5)

tejadi kareaa luapan dari masing-masing anilk sttngai niaupun Sungai Citamm sendiri saling bertemu sehiigga menimbulkan banjir di daerah sekitamya (Badri 8: xJ:n_h;.yono 2002).

PETA DAS DAN JARINGAN SUNGAI WILAYAH KABWATEN BANDUNG

PROVINSI JAWA BARAT

I

I

UIAS DDI WILAYAH

NAMA KAOUPA1.W BANDUX0 01.4)

33.3

I

I I

Giunbar 4 DAS dan jaringan sungai Kabupaten Bandung.

ma mumonrc~w~air ZIIJ3

SUsrMs ClllAllK IS 8m.l sun ~nsahtaunr IS ?%.I

st,,> u*scnt,rn 3s m.5 sl SIIIIU~FCI~ANIII(IIUI.U zz811

SUII DAS CISDUN ~ 9 x 9 Nr*'"<*,,w., engihn=*br

uii*ri,Krh rlnnlling :.- h Wnm.,

Somber:

BPSDA Wly Citarum Peta RBI Bnkosurtanal

(6)

Sejarah dan Kondisi Sosial Ekonomi

Pemerintahan Kabupaten Bandung telah berdiri sejak pertengahan abad ke-17 yang dahulu beribukota di daerah Dayeuhkolot yang berada di hilir Sungai Cikapundung. Pada tahun 1810 ibukota Kabupaten Bandung pindah ke daerah yang saat ini termasuk wilayah Kota Bandung di sekitar Alun-alun kota. Sejak saat itu, tejadi pernbangunan permukirnan dan sarana transportasi sehingga wilayah tersebut berkembang rnenjadi daerah otonom Kota Bandung seperti sekarang. Adapun kernudian pusat pemerintahan Kabupaten Bandung pada tahun 1994 pindah ke Soreang yang terletak di selatan kabupaten (Bappeda Prov. Jabar 2006).

Luas wilayah Kabupaten Bandung saat ini adalah 307 371 hektar yang secara administratif terdiri dari 45 kecamatan dengan 440 desa. Luas wilayah tersebut sudah rnerupakan hasil pemekaran Kota Bandung seluas 16 732 ha dan Kota Cirnahi seluas 4 025.73 ha. Adapun batas-batas administratif Kabupaten Bandung adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Punvakarta dan Kabupaten Subang; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Garut d m Kabupaten Sumedang; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut; sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sedangkan bagian tengahnya berbatasan dengan Kota Bandung dan Kota Cimahi (UU No.9 tahun 2001; Bapeda Kab. Bandung 2002).

Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung sebagai ibukota Proinsi Jawa Barat, pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bandung cukup pesat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung tahun 2004, kepadatan penduduk rnencapai 13.49 jiwa per hektar (Lanlpiran 2) dan cenderung terus meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 3.19%.

Penyebaran penduduk di Kabupaten Bandung tidak merata, karena sebagian besar penduduk berada di daerah-daerah perdagangan atau industri, serta ibu kota kecamatan yang dilalui oleh jalan arteri primer seperti Kecamatan Soreang, Margahayu, dan Dayeuhkolot (Badri dan Wahyono 2005). Adapun jaringan jalan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

(7)

Gambar 5 Jaringan jalan Kabupaten Bandung

Berdasarkan data BPS Kabupaten Bandung (2004), kepadatan penduduk tahun 2004 di Kecamatan Margahayu 101.54 jiwdha, Dayeuhkolot 95.76 jiwalha dimana pada daerah-daerah tersebut banyak terdapat industri serta merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Sedangkan untuk kecamatan-kecamatan yang relatif jauh dari Kota Bandung antara lain Kertasari, Pasirjambu, dan Sindangkerta masing-masing mempunyai kepadatan penduduk 4.10 jiwdha, 3.08 jiwdha dan 4.97 jiwdha. Sebaran kepadatan penduduk Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Gambar 6.

Adapun sumber penghasilan utama penduduk Kabupaten Bandung sebagian besar berasal dari pertanian, industri pengolahan, perdagangan besarteceran, jasa, dan angkutan. Aktivitas pertanian umumnya berlangsung di kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten-kabupaten lain, yaitu Ciwidey, Rancabali, Pasirjambu, Cimaung, Gununghalu, Cipongkor, Cikalongwetan, Nagreg, dan Cicalengka. Industri pengolahan yang berkembang adalah tekstil, kerajinan, pengolahan hasil pertanian, tersebar di kecamatan Rancaekek, Majalaya, Pameungpeuk, Soreang, dan Dayeuhkolot. Potensi perdagangan berada di kecamatan Margahayu, Margaasih, Ibun, Soreang, dan Baleendah. Sedangkan jasa dan angkutan berkembang dengin baik di daerah Cimenyan, Banjaran, Arjasari, Cileunyi, Katapang, dan Margaasih.

(8)
(9)

Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bandung

Secara umum skenario pengembangan tata ruang Kabupaten Bandung mengarah pada pola ring radial dengan Kota Bandung sebagai kota inti. Pengembangan Kabupaten Bandung diarahkan untuk pengembangan kegiatan agribisnis, industri manufaktur, pariwisata, industri jasa, dan pendidikan (Bappeda Prop. Jabar 2003). Titik berat pembangunan jangka panjang Kabupaten Bandung diletakkan pada bidang ekonomi sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan tetap memperhatikan keterkaitan dengan bidang-bidang lainnya. Pada pelaksanaan pembangunan, seluruh daya harus digali dan dimanfaatkan disertai kebijaksanaan serta langkah-langkah guna membimbing dan meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah. Sementara itu, visi pengembangan Kabupaten Bandung adalah untuk mewujudkan pola pemanfaatan lahan di wilayah Kabupaten Bandung yang efisien dan berorientasi lingkungan, dengan terbebaskannya wilayah Kabupaten Bandung dari masalah banjir dan masalah pencemaran limbah industri (Penlkab Bandung 2001). Pemerintah daerah berupaya menerapkan strategi pemanfaatan ruang dengan menjamin keIestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya alan. Strategi tersebut antara lain dengan berupaya menlpertahankan luas kawasan lindung yang ada, memanfaatkan ruang kawasan budidaya secara optimal sesuai kemampuan daya dukung lingkungan, mengendalikan pemanfaatan ruang agar tidak terjadi konflik antar kegiatan, dan dalam menentukan prioritas hams lebih fleksibel dan terarah.

Alokasi pemanfaatan ruang Kabupaten Bandung disusun dengan mempertimbangkan potensi dan kendala yang dihadapi, kecenderungan perkeinbangan yang ada, dan kebijaksanaanyang berlaku. Tada Peta Rencma Pemanfaatan Ruang dalam RTRW Kabupaten Bandung (Gambar 7), peruntukan penggunaan lahan yang direncanakan bejumlah 20 macam yaitu hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat, taman hutan rayalwisata alamlcagar alam, ruang terbuka hijau, sawah irigasi, sawah tadah hujan, ladang, potensi agribisnis, kebun, perltebunan PTP, perikanan, petemakan, pertan~bangan, kawas? industri, perumahan / permukiman, perdaganganljasa, pemerintahadfasilitas umum, militer, dan situ 1 danau 1 waduk. (Pernkab Bandung 2001).

(10)
(11)

Menurut pemerintah Kabupaten Bandung, setiap rencana pemanfaatan ruang baik dari masyarakat, pengusaha maupun pemerintah diharapkan dapat menyesuaikan dengan RTRW yang telah dibuat dan disahkan melalui Perda RTRW. Sejauh ini pemerintah daerah telah memberikan izin-izin untuk pemanfaatan tanah sebanyak 511 izin dari tahun 1993-2006. Perincian izin tersebut adalah sebanyak 255 izin untuk pembangunan perumahan dari tahun 1993-2000 (Pemkab Bandung 2001), serta sebanyak 256 izin untuk berbagai aktivitas termasuk perumahan, industri, pertarnbangan, pasar, dan lain-lain (Dinas Lingkungan Hidup Kab. Bandung 2006).

Ferkembangan Bencana Banjir

Dataran tinggi Bandung terletak pada daerah yang berketinggian 600-700 m dpl. Tapi, ketinggian suatu wilayah belum jaminan daerah tersebut akan terbebas banjir. Laporan Van Benunelen pada tahun 1949 menurut Suganda (2002) telali mengungkapkan bahwa sampai menjelang Perang Dunia I1 daerah selatan dataran tinggi Bandung yang berupa rawa di sepanjang Sungai Citarum selalu tergenang tiap musim hujan. Rawa tersebut merupakan peninggalan danau Bandung purba yang lebih dari 6 000 tahun lalu membentang dari daerah Dago di utara sampai Soreang di selatan sejauh 30 kilometer, dan dari Padalarang di barat sampai Cicalengka di timur sejauh 50 kilometer. Rawa tersebut kemudian surut hingga kering dan terbentuklah palung Sungai Citarum dengan anak-anak sungainya.

Banjir besar yang pemah terjadi di Bandung aclalah pada tahun 1931 dengan luas genangan 9 300 ha, kemudian pada tahun 1983 daerah genangan mencapai 13 000 ha. Dari catatan tersebut, wilayah genangan yang terletak di Kabupaten Bandung lebih luas dibandingkan dengan genangan yang terdapat di ICota Bandung, terutama Bandung Selatan. Pada tahun 1984 terjadi 3 kali banjir yaitu pada bulan Januari, Pebruari dan April dengan luas sekitar 11 000 ha. Pada bulan Maret tahun 1986, luas genangan banjir di Bandung Selatan sekitar 7 000 hektar (Pemkab Bandung 2001). Banjir erat kaitannya dengan drainase permukaan tanah yang menunjukkan seringnya tanah tergenang air. Kondisi ini dipengaruhi oleh Iereng, tekstur tanah dan porositas tanah.

(12)

Dalam Renstrada Kabupaten Bandung Tahun 2001-2005 (2001), perilaku masyarakat yang sering membuang sampah ke sungai, serta berkurangnya daerah resapan air di hulu-hulu sungai merupakan faktor yang mendorong meluapnya Sungai Citarum dan beberapa anak sungainya di musim penghujan. Kondisi ini menimbulkan tergenangnya daerah Kecamatan Margahayu akibat meluapnya Sungai Cimariuk, daerah Kecamatan Cileunyi oleh luapan Sungai Ciendog, daerah Kecamatan Cicalengka oleh Sungai Cikijing, daerah Kecamatan Majalaya oleh Sungai Leuwiteureup, daerah Kecamatan Ciparay dan Bojongsoang akibat luapan Sungai Cirasea dan Sungai Jelekong, dan lain-lain.

Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Wilayah Citarum beserta Unit Pelaksana Teknis (UPT) nya yang tersebar di beberapa daerah telah berusaha mengompilasi data banjir yang terjadi di Kota maupun Kabupaten Bandung dari tahun 1986 sampai 2006 berdasarkan laporan-laporan di lapangan, meskipun tidak setiap tahun dan selumh kejadian banjir dapat didokumentasikan. Gambar 8 memperlihatkan wilayah yang pemah tergenang akibat banjir yang terjadi dari tahun 1986 sampai 2006 di Bandung dan sekitarnya. Adapun data debit Sungai Citarum saat kejadian banjir dari tahun 1994 sampai 2005 dapat dilihat pada Gambar 9. Tampak perbedaan yang besar antara debit saat kejadian banjir dan debit rata-rata tahunan.

Kerusakan yang ditimbulkan akibat banjir menurut data BPS Kabupaten Bandung (1994), telah menimbulkan korban jiwa sekitar 17 000 jiwa dengan taksiran kerugian 1.2 milyar rupiah. Menurut Dinas PSDA Propinsi Jabar (2005), pada tahun 2005 sekitar 18 000 unit rumah terbenanl dengan tinggi genangan mencapai 3 meter, lamanya tergenang mencapai 10 hari dan kerugian yang diterima mencapai trilyunan rupiah. Sedangkan pada peristiwa banjir tahun 2006, kerugian yang menimpa industri di Bandung selatan mencapai 30 milyar rupiah. Adapun banjir yang terjadi pada tanggal 21 Pebruari 2007 menyebabkan pengusaha yang terkena dampak banjir mengklaim kerugian sementara 1.8 miiyar rupiah dan masih bisa bertambah (AntaraNews 2007).

(13)

Gambar 8 Genangan di wilayah Bandung dan sekitarnya (kompilasi tahun 1986-2006)

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 (Tahun)

Gambar 9 Debit rata-rata tahunan Sungai Citarum dan pada saat banjir tahun 1994-2005

Keterangan :

= debit Sungai Citarum saat peristiwa banjir + = debit rata-rata tahunan Sungai Citaruln

(14)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di wilayah administratif Kabupaten Bandung (Gambar 10)

.

Penelitian dilaksanakan pada Juli - September 2006. Selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data.

105 1 0 s

107 108

Gambar 10 Peta lokasi penelitian.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografis yang dilaksanakan dalam 3 tahap utama yaitu persiapan dan pemasukan data, analisis, serta penyajian hasil analisis. Hasil analisis disajikan dalam bentuk peta-peta dengan referensi geografis dan langkah selanjutnya dilakukan analisis deskripsi dari informasi yang ditampilkan peta-peta tersebut. Adapun diagram tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.

(15)

...

1

I \ I

I :I ' I ' ,

- 2 , I I I

Peta kantol Peta Penepsi

pengunvan lallan Masyvrakat ' 8 I 0

terhadap RTRW ' I

I

I

5 I I I

Gambar 11 Diagram tahapan penelitian.

(16)

Persiapan dan Pemasnkan Data

Pada tahap ini penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner, kemudian cek lapang untuk verifikasi penggunaan lahan dan genangan banjir. Sedangkan data sekunder (Tabel 1) diperoleh dari berbagai sumber, melalui studi pustaka maupun konsultasi ke instansi terkait untuk memperoleh informasi banjir dan tata ruang. Data tersebut berupa data dijital, tabular, paper, dan peta-peta,

Tabel 1 Data sekunder penelitian

No. Jenis Format Tahun Skala Sumber

1 Peta administrasi JPEG 2002 (diolah) 1:100 000 Bapeda Kab. Bandung

Peta penggunaan

dijital 2002 BPN Kab.

lahan 1:100 000 Bandung

Peta RTRW (rencana dijital

2001 1:100 000 Bapeda Kab. Bandung

pemanfaatan ruang)

4 Peta infrastruktur dijital 2000 (diolah) 1:25 000 Peta Bakosurtanal RBI

Peta fasilitas sosial Peta RBI

5 dan fasilitas umum dijital 2000 (diolah) 1:25 000 Bakosurtanal

(fasos fasum)

6 Peta banjir, peta DAS cetakan 1986,1992, 1994 1: 100 000 Balai PSDA

sld 2006 Wly Citarum

Data - data sosial

Tabular 2004 BPS Kab.

ekonomi Bandung

Data-data Bapeda Kab.

8 infrastruktur, dan Tabular 2004 Bandung

fasos-fasum

Penyusunan Kuesioner. Kuesioner disusun untuk mencari informarsi tentang pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap :

(1) kejadian dan penyebab banjir (2) penataan ruang

Pemilihan responden secara acak dengan metode stratified randorn

san~pling. Responden berasal dari seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung, baik yang berada di bagian hulu sungai-sungai utama maupun daerah di bawahnya. Masing-masing kecan~atan diwakili oleh 2 desalkelurahan, dan setiap desa diwakili oleh 2 orang responden, jun~lah kecamatan adalah 45 sehingga total responden menjadi 180 orang.

(17)

Pembuatan kuesioner didasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan adalah tingkat pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan partisipasi masyarakat mengenai program-program pemerintah yang terkait dengan penataan ruang maupun pengendalian banjir.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka data-data dari masyarakat kemudian diolah untuk memberikan deskripsi tentang persepsi masyarakat terhadap penataan mang dan kaitannya dengan banjir.

Verifikasi Lapang. Pelaksanaan verifikasi lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan aktual dan daerah bahaya banjir di Kabupaten Bandung. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan GPS navigasi berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dari BPN Kabupaten Bandung

.

dan peta genangan banjir dari Balai PSDA Wilayah Citarum yang merupakan kompilasi dari tahun 1986-2006.

Hasil verifikasi lapang merupakan data-data yang dituangkan sebagai informasi untuk memperbahami peta penggunaan lahan aktual tahun 2006, dan peta genangan banjir aktual. Pada penelitian ini peta genangan banjir tersebut digunzkan sebagai peta bahaya banjir untuk digunakan dalam analisis pembuatan peta resiko banjir. Pengolahan peta dilakukan dengan menggunakan seperangkat komputer berprocessor setara Pentium 111, RAM 256 MB, dan berkecepatan 1 GHz. Adapun perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian adalah ArcView versi 3.3 untuk pengolahan peta, dan Microsoft Excel untuk pengolahan data-data terkuantifikasi.

Pemasukan Data. Data yang telah diperoleh, baik primer maupun sekunder kemudian disusun sebagai basis data. Pada tahap ini, peta genangan banjir skala 1: 100 000 dari BaIai PSDA Wilayah Citarum yang masih dalam bentuk cetak (hardcopy) kemudian disiam (scan) dan dilakukan dijitasi menggunakan perangkat lunak ArcView untuk memperoleh peta dalam format dijital. Sedangkan data-data yang diperoleb dengan menggunakan GPS dapat dimasukkan langsung kedalam peta dijital yang sudah ada, dalanl ha1 ini berupa

(18)

koordinat-koordinat geografis. Adapun data-data tabular dimasukkan langsung kedalam komputer menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Peta infrastruktur diperoleh dari jaringan jalan pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal skala I : 25 000.

Pada peta infrastruktur, jaringan infrastruktur yang digunakan dalam analisis ditarnpilkan dalam bentuk garis (line) berupa jaringan jalan sebagai sarana bagi pergerakan aktivitas manusia, yaitu jalan arteri primer, kolektor primer, lokal primer, jalan to1 dan jalan kereta api. Peta fasilitas sosial dan m u m (fasos fasum) berasal dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal skala 1:25 000 dalam bentuk titik (point), data dari Bapeda Kabupaten Bandung, dan verifikasi. Jenis fasos fasum yang digunakan adalah tempat ibadah, kantor pemerintahan daerah

. ,

.

(bupati, camat, desallurah), kantor polisi, pasar, kantor pos, pelayanan telekomunikasi, puskesmas/rumah sakit, sekolah, terminaWstasiun, dan menara saluran udara tegangan tinggi (SUTT). Pemilihan fasos fasum tersebut dengan asumsi bahwa pada tempat-tempat tersebut sering dilakukan aktivitas manusia, dan merupakan fasilitas pelayanan yang sangat berguna bagi manusia (sarana vital) dalam menjalankan kehidupannya.

Analisis Data

Pada tahap ini seperti yang dapat dilihat pada diagram alir (Gambar lo), dilakukan analisis SIG pada peta-peta dijital yang sudah ada yaitu peta rencana pemanfaatan ruang (RTRW), peta penggunaan lahan 2006 (hasil verifikasi), peta bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir), peta infrastruktur, serta peta fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos fasum). Analisis data tersebut dilakukan untuk menghasilkan kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW, peta resiko banjir, dan peta persepsi masyarakat.

Analisis yang dilakukan meliputi pemanfaatan ruang aktual di kecamatan- kecamatan yang ada, berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 yang direvisi, dikaitkan dengan penataan ruang berdasarkan RTRW Kabupaten Bandung 2001-2010, dan pengaruhnya terhadap resiko banjir, dilihat dari aspek fisik maupun sosial. Selain itu mengetahui persepsi masyarakat Kabupaten

(19)

Bandung, baik di daerah bahaya banjir maupun tidak, mengenai banjir dan penataan ruang.

Analisis data meliputi analisis keruangan dan analisis atribut. Analisis keruangan yang digunakan adalah :

a.

Klasifikasi/Reklasifikasi

Klasifikasi digunakan untuk mengkelaskan data spasial atau atribut menjadi data spasial baru dengan kriteria tertentu, untuk mempermudah proses analisis selanjutnya.

b. Tumpang tindih

Analisis ini merupakan hasil gabungan dari beberapa peta yang akan menghasilkan informasi baru dalam bentuk poligon baru yang merupakan irisan beberapa poligon dari peta yang ditumpangtindiian.

c. Buffer

.

Penggunaan buffer dilakukan untuk membatasi suatu obyek dengan jarak tertentu yang dalam progam ArcView diganibarkan di sekeliling titik, garis, atau poligon, seperti jaringan jalan, pasar, perkantoran, dan lain sebagainya.

Adapun analisis atribut yang digunakan dalam penelitian berupa pemberian skor (pengharkatan) dari atribut-atribut yang ada pada tiap peta. Pengharkatan dilakukan kepada peta penggunaan lahan (verifikasi), peta bahaya banjir, peta fasos fasum, peta infrastruktur Cjaringan jalan)

Penyusunan peta kontrol penggunaan lahan. Pada tahap ini, peta-

peta yang diperlukan adalah peta rencana pemanfaatan ruang dari RTRW Kabupaten Bandung, dan peta penutuplpenggunaan lahan terkini (hasil verifikasi tahun 2006).

Operasi tumpang tindih menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 kemudian dilakukan untuk n~emperoleh poligon-poligon baru, lalu dilakukan analisis keruangan melalui que,y atribut dan field calculator untuk melakukan klasifikasi.

Tahap pembuatan peta kontrol tata guna lahan dapat dilihat pada Gambar 12, yang merupakan bagian dari tahapan penelitian dari Gambar 11.

(20)

/

Pcla pengunaan lahan 2002

/

/

Jicldclreck

Peta RTRW

Peta penggunaan lahan 2006

Peta kontrol penggunaan lahan thd RTRW

Gambar 12 Tahapan pembuatan peta kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW (bagian dari tahap penelitian)

Pembuatan peta bahaya banjir. Peta bahaya banjir perlu dibuat untuk digunakan dalam pembuatan peta resiko banjir. Luas genangan banjir merupakan salah satu parameter ancaman / bahaya banjir menurut BAKORNASPBP (2005), karena itu daeiah tergenang diasumsikan sebagai daerah bahaya banjir.

Pada penelitian ini peta bahaya banjir dibuat dari kompilasi peta genangan banjir tahun 1986, 1992, 1994, 1995, 1996, 1997, 1998, 1999,2000,2001,2002, 2003, 2004, 2005, dan 2006 (verifikasi).

Tahap-tahap yang dilakukan adalah dengan melakukan tumpang tindih pada peta-peta tersebut untuk memperoleh daerah (area) yang mengalami bailjir dengan frekuensi tertentu. Ilustrasi pembuatan peta bahaya banjir dapat dilihat pada' Gambar 13, yang merupakan bagian dari Gambar 11 pada tahap tumpang tindih. 1994 1992 - pengharkatan 1986

0

I I 2

Peta bahaya banjir

.

,

. . .

Tumpang tindih peta-peta genangan banjir

(21)

Frekuensi kejadian banjir pada suatu area dijadikan dasar untuk menentukan klasifikasi kerawanan suatu daerah terhadap bahaya banjir. Dari 15 peta tersebut, ditentukan tingkat bahaya banjir berdasarkan frekuensi banjir yang melanda daerah-daerah banjir di Kabupaten Bandung. Semakin banyak fiekuensi banjir di suatu daerah, maka daerah tersebut dinyatakan semakin rawan terhadap banjir. Daerah yang tidak pemah mengalami banjir dikategorikan sebagai daerah tidak bahaya banjir yang umurnnya berada di hulu-hulu sungai, sedangkan daerah lainnya diklasifikasikan kerawanannya berdasarkan jumlah kejadian banjir. Jumlah kejadian banjir berdasarkan 15 peta dimana tiap peta mewakili 1 kejadian banjir dalam 1 tahun. Dari hasil tumpang tindih dapat diketahui frekuensi banjir yang menimpa suatu daerah. Pembagian kelas bahaya banjir terdiri dari 4 kelas yaitu tidak rawan, rendah, sedang dan tinggi yang kemudian diberi skor 0 - 3 (Tabel 2).

Tabel 2 Kelas bahaya banjir

Frekwensi banjir Kelas Bahaya Banjir S kor

berdasarkan 15 kejadian

0 (tidak pernah) tidak bahaya 0

1-5 kali rendah 1

6-10 kali sedang 2

2 11 kali tinggi 3

Penyusunan peta resiko banjir. Peta-peta yang digunakan untuk menghasilkan peta resiko banjir adalah peta bahaya banjir yang berasal dari peta genangan banjir (hasil verifikasi), kemudian peta penggunaan lahan tahun 2006 (hasil verifikasi), peta infiastmktur dan peta fasos-fasum sebagai komponen properti yang memiliki skoi / kadar kerentanan tertentu berdasarkan penilaian multi kriteria terhadap banjir.

Gambar 14 menunjukkan tahap pembuatan peta resiko banjir, dan rnerupakan bagian dari Ganlbar 11.

(22)

Peta penggunaan lahan 2002

Peta-peta genangan (verifikasi)

klasifikasi komponen proprli ,'

a-

-

- - -

--- -- - - -

-

Peta penggunaan

banjir lahan 2006 Fasos- fasum infiastruklur

pengharkatan pengharkatan pengharkatan

& brrffering

_--

- - - _ _ _

. _ _ - - - tumpang tindih

ri

I

pengharkntnn klasifikasi

( PETA RESIKO BANJIR

\

\

/'

Gambar 14 Bagan pembuatan peta resiko banjir (bagian dari tahap penelitian).

Pengharkatan (Scoring) dan Buffering. Pengharkatan atau scoring untuk masing-masing komponen properti, yaitu melalui peta penggunaan lahan, peta fasos fasum dan peta infrastruktur, didasarkan pada asumsi kerugian yang dialami jika dilihat dari kriteria fisik, manusia dan manfaat, apabila terjadi banjir. Penentuan skor berdasarkan kriteria fisik dilandasi pertimbangan terhadap nilai ekonomi. Adapun kriteria manusia dinilai dengan melihat kemungkinan seberapa banyak manusia terlibat dalam herbagai komponen properti, sedangkan penentuan skor berdasarkan kriteria manfaat ditinjau dari aspek utilitas, ditinjau dari kerugian yang diterima bila terlanda banjir.

Nilai skor yang diberikan untuk masing-masing kriteria bervariasi dari 1 sampai 3, dengan asumsi bahwa skor 1 mempunyai resiko rendah, skor 2 mempunyai resiko sedang dan skor 3 mempunyai resiko tinggi jika macam properti tersebut dilanda banjir (Alhasanah 2006).

(23)

Skor untuk masing-masing kriteria tersebut kemudian dijurnlahkan untuk memperoleh skor total dari jenis-jenis komponen properti. Semakin tinggi nilai skor total, menunjukkan kemungkinan resiko terkena bencana semakin tinggi pula jika terlanda banjir. Pengharkatan dilakukan untuk mempermudah penilaian resiko pada proses pembuatan peta resiko banjir ini. Namun metode ini terdapat kelemahan pada proses tumpang tindih peta, dimana mengakibatkan terjadinya penghitungan ganda terhadap skor-skor masing-masing atribut peta tematik, yang seharusnya tidak te rjaai. Skor komponen properti dapat dilihat pada Tabel 3.

Pemberian buffer dilakukan untuk memperoleh batasan area dari peta inkastruktur dan peta fasos fasum karena peta-peta tersebut ditampilkan dalam bentuk titik (poiitf) dan garis (line) sehingga perlu pemberian buffer yang membatasi daerah-daerah sekitar titik dan garis tersebut untuk kemudahan analisis tumpang tindih. Hal ini dilakukan karena operasi tumpang tindih pada software ArcView hams dilakukan dalam bentuk arealpoligon. Buffer yang diberikan adalah 50 m, dengan mempertimbangkan genangan banjir di sekitar tiap infrastruktur maupun fasos fasum yang minimal dapat mencapai 50 m berdasarkan data empiris.

No Jenis Fisik Manusia Manfaat Total

Penggunaan Lahan 1 SituIKolandWaduk 1 1 1 3 2 Hutan 1 1 1 3 3 Industri 3 2 3 8 4 Kebun Campuran 2 1 2 5 5 Ladang 2 1 2 5 6 Sawah 2 2 2 6 7 Permukiman 3 3 3 9 8 Tanah kosonglsemak 1 1 1 3 9 Perkebunan PTP 2 1 2 5 Fasos fasum 1 Tempat ibadah

2 Kantor BupatilCamat 1 Desa 3 Menara SUTT

4 Kantor Polisi 5 Pasar

6 Kantor Pos

(24)

No Jenis Fisik Manusia Manfaat Total 8 PuskesmasIRS

9 Sekolah

10 TerminaWstasiun Infrastruktur 1 Jalan Arteri Primer 2 Jalan Kolektor Primer 3 Jalan Lokal Primer 4 Jalan Kereta Api 5 Jalan To1 Nasional

Sumber P e m k a b Bandung (2001), Alhasanah (2006), diolah

Pada analisis atribut, masing - masing skor total dari macarn properti yaitu penggunaan lahan, fasos fasurn dan infrastruka dijumlahkan untuk memperoleh nilai skor total akhir dari komponen properti. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 15.

skor fasos fasum skorjalan skor penggunaan lahan skor tqtal

(25)

Tahap terakhir pembuatan peta resiko banjir adalah tumpang tindih antara peta genangan banjir (terverifikasi) dengan peta penggunaan lahan 2006 (terverifikasi), peta fasos-fasum, dan peta infrastruktur. Pada tahap ini juga dilakukan klasifikasi dan pengharkatan untuk menentukan nilai resiko banjir. Nilai resiko diperoleh dengan menggunakan persamaan :

Resiko = Bahaya x Properti (Primayuda 2006)

Nilai bahaya ditentukan berdasarkan skor tingkat bahaya banjir dari peta bahaya banjir yaitu 0 sampai 3. Sedangkan nilai properti merupakan nilai akhir skor total dari penjumlahan skor total dari tiap elemen properti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi nilai resiko dalam 4 kelas resiko banjir (Tabel 4).

Tabel 4 Tingkat resiko banjir.

Tingkat Resiko Banjir Nilai Resiko

Tinggi >40

Sedang 21-40

Rendah Tidak Beresiko

Pemetaan Persepsi Masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang diperoleh dari hasil walvancara terhadap responden. Data lokasi responden berupa titik-titik koordinat yang diperoleh dari GPS dimasukan dalam tabel menggunakan program Microsoft Excel. Data tersebut kemudian disiinpan dalam format .dbf atau .txt. Untuk menampilkan titik-titik koordinat tersebut dalam ArcView, maka data yang disiinpan tersebut dipanggil menggunakan fasilitas Add Tables dan untuk menampilkan titik-titik tersebut dalam peta, maka pada menu View pilih Add Event Theme. Adapun ilustrasi pemanggilan data koordinat tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.

(26)

Garnbar 16 Pemanggilan lokasi data responden.

Pemetaan persepsi masyarakat ini kemudian disandingkan dengan wilayah resiko banjir, sehingga dapat diketahui dan dianalisis hubungan antara persepsi masyarakat dengan banjir di Kabupaten Bandung

Penyajian Hasil Analisis

Hasil analisis didesain sedemikian rupa dalarn bentuk peta dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3. Tampilan peta berupa peta ketidaksesuaian penggunaan lahan terhadap RTRW, peta bahaya banjir, peta resiko banjir, dan peta persepsi masyarakat berdasarkan lokasi wawancara yang dikaitkan dengan daerah penelitian. Setiap peta dilengkapi dengan legenda, arah mata angin, skala, sumber data, inset, dan koordinat.

Analisis Deslcriptif

Peta-peta yang telah dihasilkan kemudian dikaji dan dilakukan pembahasan dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk memberi penjelasan terhadap suatu kondisi baik berupa proses maupun hasil secara logis dan sederhana tanpa menghilangkan- ciri ilmiah dari suatu penelitian.

(27)

Analisis dilakukan untuk menggambarkan kaitan antara pemanfaatan ruang dengan resiko banjir. Pada tahap ini, pembahasan dilakukan secara logika berbasis pengetahuan dengan memasukkan juga unsur persepsi masyarakat yang diperoleh dari wawancara.

Kuantifikasi dilakukan dalam analisis ini terhadap peta-peta yang telah dihasilkan, baik berupa luasan maupun persentase untuk memperoleh paparan yang lebih jelas. Melalui penjelasan secara kuantitatif diharapkan apa yang sulit dituangkan dalam bentuk tulisan dapat terekspresikan lebih bermakna.

(28)

Untuk meliha; kemunglanan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang, maka peta penggunaardpenutupan lahan (veriJied) ditumpangtindihkan dengan peta rencana pemanfaatan ruang (RTRW 2001-2010) yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Hasil turnpang tindih menunjukkan adanya penyimpangan tata ruang yang cukup besar. Pada Lampiran 3, area benvama coklat muda (nomor 1) adalah daerah dengan penggunaan laharl yang sesuai dengan arahan dalam RTRW, sedangkan area lainnya merupakan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan. Kondisi ini dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat atau lemahnya penegakan hukum sesuai aturan yang berlaku. Kemungkinan tidak sesuainya penggunaan lahan dengan RTRW juga dapat berasal dari penggunaan lahan yang telah berlangsung sejak dulu sebelum dibuatnya Perda yang mengatur tentang RTRW. Kondisi tersebut masih memungkinkan untuk disesuaikan dengan rencana pemanfaatan ruang yang berlaku. Hal ini dapat diketahui dari izin-izin pemanfaatan lahan yang telah diberikan pemerintah daerah dalam kurun waktu 2001-2006 (setelah disusumya RTRW).

Berdasarkan data yang ada sudah 511 izin pemanfaatan tanah yang dikeluarkan oleh Pernkab Bandung dari tahun 1993-2006, namun informasi mengenai apakah izin-izin tersebut sesuai dengail RTRW tidak diketahui karena datanya tidak ada, sehingga harus dilakukan studi tersendiri mengenai izin-izin yang telah dikeluarkan. Bila izin-izin tersebut ternyata menyimpang dari RTRW, maka ha1 ini menunjukkan ketidak konsistenan aparat dalam menerapkan aturan yang telah dibuat. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya banjir di Kabupaten Bandung, jika temyata penyimpangan tersebut berada pada lokasi bahaya banjir atau penyimpangau tersebut terletak pada lokasi peruntukan yang berperan dalam kejadian banjir seperti hutan di daerah hulu sungai yang berubah fungsi menjadi permukiman. Adapun luas area penyimpangan hasil tumpang tindih ini dapat dilihat pada Tabel 5.

(29)

Tabel 5 Luas area ketidaksesuaian penggunaan lallan

Landuse Luas (ha) Jumlah Pencnfase

PemrIFasum Prdgnglls Perikanan Perkb.PTP Penamb. Permh&Permkm Peternkan Potcnsi AgrBsnis 1 504.4 1 920.3 850.5 638.9 693.4 144.6 81.7 115.3 5 949.0 1.9 RTH 5 705.3 119.3 6 507.7 1663.6 1 733.3 1622.0 491.5 114.5 507.5 18 464.6 6.0 Swli lrigasi 3 050.0 234.3 5 439.5 1 834.9 256.0 11 045.4 66.7 584.4 28 218.2 9.2 Swh Tdh Hjn 1 595.0 7 390.8 4445.1 283.0 951.1 1 028.6 19 8 3 5 5 6.5 Situ/Danau/Waduk 61.0 559.7 513.0 59.9 1 508.1 7 947.8 2.6 Tahur,afTWA/CA 9 819.6 792.0 142.4 698.7 114.5 7.8 55.4 91.3 11 721.7 3.8 J u m l a l i 7 1 778.6 2 033.2 100 170.8 3 1 045.7 25 600.0 43 291.0 17 084.8 7 361.0 9 005.9 307371.0 100.0 Perscntase (%) 23.4 0.7 32.6 10.1 8.3 14.1 5.6 2.4 2.9 100.0

Sumbcr : Hail tumpang tindill pcta pcnggunaan lahan 2006 (verifikasi) dengan peta rencana ema an fa at an rtlang

Keterangan : RTH = Ruang Tcrbuka Hi'au Tnh ksglsmk = tsnah kosonglsemak

TahuraTTWfV ayflaman Wisata AlamICagar Alam

(30)

Hutan

Penyebaran hutan pada Gambar 16 tampak sebagian besar berada di bagian selatan, yaitu di Kecamatan Gunung Halu, Ciwidey, Pangalengan, Kertasari, dan Ibun (Persebaran peta administrasi lihat Gb. 6). Hutan tampak sedikit di bagian utara, yaitu di Kecamatan Cisama dan Lembang. Hal ini terjadi karena di daerah tersebut kini banyak dibangun villa. Kondisi ini dpat mempengaruhi kualitas air Sungai Cikapundung yang berhulu di daerah tersebut. Aliran-air permukaan akan membawa butiran tanah yang akan berpengamh terhadap peningkatan sedimen di hilir.

Total luas hutan adalah 71 778.6 ha, sedangkan luas hutan menurut RTRW adalah 73 758.6, dengan kata lain 97.3% luas hutan aktual masih mendekati luas yang direncanakan. Namun, lokasi aktual hutan tersebut tidak sesuai dengan arahan dalam RTRW. Kondisi ini menunjukkan adanya kekurangharmonisan dalam penyusunan RTRW karena hutan umumnya tidak terjadi dalam waktu 1-2 tahun, dan bisa dipastikan hutan tersebut sudah ada sejak dulu.

Berdasarkan Tabel 5, luas area hutan lindung yang sesuai dengan peruntukan adalah 21 064.5 ha. Nilai luasan tersebut belum mencapai target dalan RTRW, yaitu 42 339.7 ha, sehingga persentase ketidaksesuaian lebih dari 50%. Sebagian besar daerah peruntukan hutan lindung saat ini mempakan kebun campuran yang tersebar di Kesamatan Rongga, Sindangkerta, Gununghalu, Cipatat, Rancabali, Pangalengan, Kertasari, Cilengkrang, Lembang, Parongpong, Cisarua, dan Cikalong Wetan. Selain itu, terdapat pula daerah peruntukan hutan lindung di sekitar Pacet dan Kertasari yang menjadi perkebunan milik pemsahaan perkebunan seluas 5 322.8 ha.

Daerah-daerah peruntukan hutan lindung tersebut diarahkan berfungsi sebagai kawasan resapan, dengan kondisi-kondisi fisik yang diasumsikan cocok untuk hutan lindung, namun dengan adanya ketidaksesuaian maka fimgsi resapan berkurang dan aliran permukaan pun meningkat dari daerah hulu ke daerah yang lebih rendah. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi hutan di Kabupaten Bandung sangat memprihatinkan dengan gundulnya gunung dan perbukitan yang biasanya daerah

berhutan. Kondisi ini terjadi dibagian selatan seperti yang dapat dilihat pada Foto 5 Lanlpiran 4.

(31)

Dalam konteks peristiwa banjir, hutan berperan melindungi permukaan tanah dari curah hujan dengan menangkapnya melalui tajuk yang kemudian diuapkan kembali ke atmosfer, tertahan di serasah, ataupun terserap ke dalam tanah, karena permukaan tanah hutan umumnya berpori besar sebagai akibat aktivitas mikroorganisme dan perakaran. Dengan kata lain, aliran air permukaan akan lebih terkendali sehingga potensi terjadinya banjir dapat dihrangi.

Indnstri

Luas penggunaan lahan industri belum memenuhi target perencanaan seluas 9 096.8 ha. Penggunaa~~ lahan yang sesuai peruntukan adalali seluas 940.4 ha yang berada di Kecamatan Padalarang, Margaasih, Katapang, dan Dayeuhkolot. Penyimpangan lokasi industri aktual yang mencolok merupakan lokasi dengan peruntukan permukiman yaitu seluas 499.5 ha. Lokasi peruntukan kawasan industri sendiri saat ini paling besar digunakan untuk permukiman. Hal ini menunjukkan antara permukiman dan industri terjadi perebutan lahan, dan seharusnya tidak boleh terjadi jika aparat konsisten dengan aturan yang telah dibuat.

Terlepas dari pada itu, temyata lokasi peruntukan maupun aktual industri berada di daerah datar yang dilalui aliran sungai sehingga bahaya banjir dapat mengancam daerah tersebut. Kondisi ini seharusnya sudah diantisipasi dau diupayakan pengendalian banjir sehingga tidak memgikan industri maupun penduduk dan lingkungan sekitarnya.

Kebun Campuran

Penggunaadpenutupan lahan yang sesuai peruntukan bagi kebun campuran hanya 14 928.9 ha sementara peruntukan dalam RTRW 31 052.9 ha yang berarti baru memenuhi 48.1% dari peruntukan secara ruang. Penggunaadpenutupan lahan aktual untuk kebun campuran adalah 100 170.8 ha yang mana pada kondisi tersebut terdapat penyimpangan dari peruntukan-peruntukan pemanfaatan ruang yang lain seperti industri, militer, perurnahan, dan sebagainya. Ketidaksesuaian peruntukan untuk kebun yang terjadi di wilayah pegunungan Kabupaten Bandung seperti di

(32)

Kecamatan Pasir Jambu, Pangalengan, Ciwidey, dan Cicalengka, saat ini didominasi oleh hutan produksi maupun hutan rakyat yang gundul dan sering te jadi penebangan liar (illegal logging). Daerah-daerah tersebut termasuk kedalam DAS Ciwidey dan Citarik bagian hulu yang akhirnya bermuara ke Sungai Citarum, sehingga berpotensi te~jadi erosi, deposisi, yang mengakibatkan pendangkalan sungai. Akibat lain adalah meluap~ya sungai jika terjadi hujan deras, karena tidak ada yang menahan air karena gundulnya hutan serta berkurangnya kapasitas tampung sungai. Ketidaksesuaian penggunaan lahan kebun campuran yang terbesar adalah pada daerah dengan peruntukan ladang yang tersebar di kecamatan-kecamatan sebelah barat dan selatan kabupaten, seperti Cikalongwetan, Rongga, Soreang, Batujajar, Cililin, Cimaung, dan Banjaran. Adanya kebun pada daerah peruntukan ladang sebenamya menunjukkan kcbiasaan masyarakat di daerah tersebut dalam bercocok tanam, dan jika dibudidayakan dengan baik akan berfungsi dalam menahan laju aliran permukaan, sebagai contoh dapat dilihat pada Foto 3 Lampiran 4.

Terlepas dari penyimpangan yang terjadi, luasan kebun campuran yang besar seharusnya cukup untuk menghambat air larian, karena vegetasi kebun campuran pada umumnya merupakan tanaman tahunan dengan perakaran yang cukup dalam. Namun, ha1 ini dipengaruhi kondisi nil di lapangan, seperti lokasi kebun campuran yang berada di gunung-gunung tejal di Kecamatan Ciwidey yang sebenarnya cocok untuk hutan lindung. Selain itu jumlah vegetasi kebun campuran yang sedikit, banyak ditemukan di bagian selatan Kabupaten Bandung.

Ladang

Luas ladang aktual belum mencapai luas yang direncanakan, dan tejadi pula penyimpangan lokasi peruntukan ladang. Sebagian besar lokasi peruntukan ladang menjadi kebun campuran dengan luas 17 611.5 dan pada dasamya ha1 ini tidak bermasalah bila dikaitkan dengan banjir. Bahkan, lokasi ladang aktual ada yang terdapat pada lokasi peruntukan permukiman dengan luas 5 422.8 hektar. Hal ini justru dapat mengurangi resiko banjir.

(33)

Perkebunan PTP

Penggunaantpenutupan lahan aktual untuk Perkebunan PTP melebihi peruntukan dalam RTRW yang seluas 19 395.2 ha, dimana wilayah yang sesuai RTRW hanya 7 406.0 ha, atau hanya mencapai 38%. Penyimpangan penggunaan lahan perkebunan PTP ini didominasi pada daerah peruntukan untuk hutan lindung.

Di sisi lain, peruntukan ruang untuk perkebunan PTP ini pada kondisi aktual ada yang dimanfaatkan menjadi hutan dan kebun campuran dengan luas yang cukup dominan. Pemanfaatan sebagai hutan dengan luas 3 684.5 ha merupakan kondisi yang positif jika ditinjau peranannya dalam meresapkan air. Sedangkan pemanfaatan sebagai kebun campuran dengan luas 6 025.5 ha merupakan bentuk penyimpangan yang dapat meningkatkan air larian, dan ha1 ini perlu diwaspadai sebagai stimulan banjir.

Permukiman

Luas penggunaan lahan permukiman melebihi peruntukan, yaitu 43 291.0 ha, sementara luas peruntukan adalah 36 333.4 ha. Penggunaan lahan permukiman yang sesuai dengan arahan dalam RTRW hanya 11 432.2 ha atau sekitar 31%, termasuk di dalamnya adalah peruntukan pemerintahan dan perdagangan.

Peruntukan permukiman ada yang kenyataamya merupakan hutan, kebun campuran, ladang, dan sawah dengan luas yang cukup dominan. Pemanfaatan sebagai hutan, kebun campuran, dan ladang tersebar di Kecamatan Paseh, Pacet, Cilengkrang, dan Nagrek, yang aksesibilitasnya cukup jauh dari Kota Bandung maupun pusat pemerintahan Kabupaten Bandung (Soreang). Sedangkan sawah berada di Kecamatan Bojongsoang, Cileunyi, Majalaya, dan Cicalengka. Kondisi ini dapat saja tejadi sejak dulu sebelum disusunnya RTRW, dan masih dapat berubah mengikuti RTRW.

Permukiman sebagian besar berada pada daerah yang diperuntukan sebagai sawah irigasi dalam RTRW, yaitu seluas 11 054.4 ha. Daerah-daerah tersebut nlempakan daerah dataran dan dilalui oleh sungai. Nainun ternyata permukiman pun tumbuh subur sehingga tejadi alih fungsi lahan. Sebaran permukilnan tersebut berada di Kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang, Baleendah, Majalaya, Rancaekek,

(34)

Katapang, Pameungpeuk, Cangkuang, Soreang, Batujajar, dan Cikalong Wetan. Apabila terjadi banjir, maka daerah permukiman tersebut rawan terjadinya genangan yang dapat menimbulkan kerugian karena terhambatnya aliran air yang melalui permukiman, dan resiko tak dapat dihindari.

Sawah

Luas dan lokssi aktual sawah sangat jauh dari peruntukan yaitu dengan luas 17 084.8 ha sedangkan peruntukan sawah irigasi 28 218.2 ha dan sawah tadah hujan 19 835.5 ha. Peruntukan sawah irigasi pada kondisi aktual didominasi hutan, kebun cainpuran, dan permukiman. Adapun ladang, kebun campuran dan permukiman mendominasi peruntukan sawah tadah hujan. Hal ini perlu dicermati, apakah ketidaksesuaian dengan peruntukan tersebut te rjadi sesudah atau sebelum penyusunan RTRW. Jika ditinjau dari kecenderungan suatu penggunaan lahan, umumnya hutan, kebun campuran, ladang, perkebunan PTP, waduk, dan semak adalah penggunaan lahan yang tidak memerlukan aktivitas manusia terlalu banyak sehingga kemungkinan penggunaan-penggunaan lahan tersebut sudah ada sebelum penyusunan RTRW dapat dimaklumi. Di lain pihak, industri dan permukiman sangat memerlukan campur tangan manusia dalam pemanfaatannya, dan bisa saja ha1 ini terjadi setelah penyusunan RTRW, namun tidak ada penegakan aturan yang jelas.

Adapun penggunaadpenutupan lahan sawah sendiri ada yang merupakan penyimpangan-penyimpangan dari peruntukan dalam RTRW, dimana yang dominan adalah peruntukan permukiman.

Ditinjau dari kaitannya dengan banjir, terjadinya penyimpangan peruntukan ruang dari sawah irigasi menjadi permukiman merupakan ha1 yang dapat meningkatkan laju air larian, menghambat aliran air menuju hilir sehingga dimungkinkan terjadinya genangan jika hujan deras, dan tentu saja akan berpengaiuh terhadap resiko banjir.

(35)

Peruntukan mang perairan yaitu situ/danau/waduk pada kondisi aktual ada yang mempakan hutan, kebun campuran ladang, perkebunan PTP, permukiman, sawah, dan tanah kosonglsemak. Hutan seluas 61 ha yang terdapat pada lokasi peruntukan situ berada di Kecarnatan Pangalengan di lokasi yang berbatasan dengan Situ Cileunca. Scisa saja nantinya hutan itu akan diubah menjadi situ sebagai penambahan areal pariwisata. Adapun kebun campuran, ladang, dan semak berada di sekitar waduk saguling. Hal ini terdapat 2 kemungkinan, yaitu penggunaan lahan tersebut sudah ada sejak dulu dan akan diubah menjadi perairan untuk memperbesar daya tampung waduk, ataupun bam terjadi akibat keringnya tepi waduk sehingga menimbulkan aktivitas perladangan di sekitar waduk. Pemntukan perairan dengan kondisi aktual permukiman berada di sekitar Waduk Saguling dan di Kecamatan Bojongsoang. Kemungkinan yang tejadi bagi permukiman di daerah waduk tersebut adalah selain memang telah lebih dulu ada, juga akan terkait dengan proyek jika nantinya akan tergusur untuk perluasan waduk. Adapun peruntukan situ yang temyate mempakan permukiman di Kecarnatan Bojongsoang memang telah ada rencana pembangunan waduk barn sebagai reservoir dan kawasan ekowisata, namun sampai sekarang belum tampak kegiatan pembangunan maupun pembicaraan serius di tingkat pengambil kebijakan. Hal ini dimunglankan karena rencana ini terkait dengan kepentingan baik daerah maupun masyarakat dari berbagai aspek antara lain lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Terlepas Mi kondisi-kondisi yang tidak sesuai peruntukan, keberadaan situ/kolam/waduk aktual dalam ha1 luasan hampir mencapai peruntukan yaitu 7 361.0 ha atau 92.6% dari yang direncanakan. Dasrah yang sesuai peruntukan seluas 3 333.2 ha termasuk di dalamnya perikanan seluas 90.2 ha. Selain itu ada juga yang merupakan peruntukan permukiman, dan ha1 ini terjadi di Kecamatan Cipeundeuy yang mendekati Waduk Cirata.

(36)

Tanah kosonglsemak

Penggunaadpenutupan lahan bempa tanah kosong atau semak di Kabupaten Bandung seluas 9 005.9 ha padahal dalam arahan RTRW tidak ada peruntukan semak, ataupun tanah kosong, sehingga daerah bersemak ataupun tanah kosong tersebut berada di tiap jenis peruntukan ruang (RTRW). Daerah dengan peruntukan hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat, kebun, ladang, militer, perkebunan PTP, petemakan, potensi agribisnis, ruang terbuka hijau, sawah, perairan, dan taman hutan rayaftaman wisata alamlcagar alam yang dalam kondisi aktual bempa tanah kosong ataupun semak bisa saja belum dimanfaatkan sesuai peruntukan atau memang tidak ada vegetasinya. Adapun tanah kosong dengan pe~ntLIkan kawasan industri, pemerintahan, perdagangan, pertambangan, dan pemmalian, bisa saja belum dilakukan aktivitas pembangunan bagi pemntukan tersebut.

Berkaitan dengan banjir, maka keberadaan tanah kosong maupun semak ini tergantung pula pada kondisi fisik tutupan lahan yang bersangkuran. Tanah kosong yang b e m p u t maupun bersemak masih dapat menahan air larian walaupun tidak seefektif hutan maupun kebun. Sedangkan tanah kosong yang benar-benar kosong akan meloloskan air larian di permukaan tanah, dan akan makin berbahaya jika tanah tersebut berdrainase buruk, sehingga memungkinkan tejadinya genangan di daerah bermorfologi datar.

Gambar 18 dan 19 menunjukkan luas lahan yang sesuai dengan peruntukan dalam RTRW atau konsisten, dan persentase penyimpangan yang tejadi terhadap RTRW dari jenis penggunaan lahan di Kabupaten Bandung saat ini.

Gambar

Gambar 5 Jaringan jalan Kabupaten Bandung
Gambar 6 Peta administrasi kecamatan dan kepadatan penduduk Kabupaten Bandung.
Gambar  8  Genangan di wilayah Bandung dan sekitarnya  (kompilasi tahun  1986-2006)
Gambar  10  Peta lokasi penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

55 Wawancara yang mendalam adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan percakapan secara intensif untuk mendapa berbagai informasi menyangkut masalah yang

Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam melaksanakan pendidikan Pascasarjana Program

Ada hubungan antara dukungan masyarakat dengan keaktifan kader pada kegiatan posyandu di Desa Purwojati, dengan nilai koefisien korelasi dukungan keluarga

Dengan ini saya menyatakan bahwa : Skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Menjelang Ujian Nasional Kelas XII MAN 10 Jakarta” ini adalah

Sehingga perlunya suatu bentuk kegiatan pendampingan masyarakat untuk lebih memasyarakatkan tanaman obat keluraga (TOGA) ini sebagai suatu bentuk kemandirian

Berdasarkan hasil penelitian melalui angket pemahaman literasi yang telah diisi siswa, maka didapatkan bahwa semua siswa sudah memahami apa itu literasi. Mereka sudah

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia