• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Pajak dan Kinerja Pemungutannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Potensi Pajak dan Kinerja Pemungutannya"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Potensi Pajak dan Kinerja Pemungutannya

Hidayat Amirα

Dalam satu dekade terakhir nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami peningkatan yang sangat besar, menjadi hampir empat kali lipatnya. Total Belanja Negara yang pada tahun 2004 hanya sebesar Rp427,2 triliun meningkat menjadi Rp1.639,4 triliun pada tahun 2013. Dalam dokumen Rancangan APBN Perubahan 2014, angka belanja ini kembali meningkat menjadi Rp1.849,5 triliun. Total belanja pemerintah ini memberikan kontribusi antara 16,2% - 19,9% dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional.

Untuk mendanai Belanja Negara tersebut, pemerintah memerlukan sumber-sumber pendapatan negara baik berupa penerimaan perpajakan maupun penerimaan bukan pajak. Dalam beberapa dekade terakhir, kontribusi penerimaan perpajakan jauh lebih banyak dibanding kontribusi penerimaan bukan pajak. Jika dilihat dari rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB (tax ratio) mencapai sekitar 12%. Bandingkan nilai ini dengan rasio belanja terhadap PDB (16,2% - 19,9%). Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, nilai tax ratio Indonesia masih relatif kecil. Menurut data Bank Dunia1 pada tahun 2012, tax ratio untuk Malaysia 16.1%,

Thailand 16.5%, dan Singapore 14,5%.

Ada yang berpendapat bahwa tax ratio Indonesia sebetulnya relatif tinggi jika dihitung dengan definisi yang lebih luas, yaitu mencakup seluruh penerimaan perpajakan, penerimaan dari bagi hasil dan royalty sumber daya alam, dan juga pajak daerah. Nilai tax ratio dalam arti luas ini mencapai: 14,4% (2010), 15,3% (2011), dan 15,4% (2012).2 Pendekatan ini yang digunakan

dalam pendekatan OECD model.

Di sisi lain, penggunaan tax ratio dianggap tidak mencukupi jika digunakan untuk mengukur kinerja pemungutan pajak (Setiyaji, 2007).3 Namun setidaknya dia bisa menjadi indikator awal,

apalagi bila digunakan untuk melihat dinamika antarwaktu. Pertanyaan lebih lanjut, apakah nilai tax ratio sebesar ini wajar? Seberapa besar sebetulnya potensi pajak yang ada? Mengapa       

α  Peneliti Madya pada Badan Kebijakan Fiskal, dapat dikontak melalui alamat Email: hamir@fiskal.depkeu.go.id, 

(2)

selama beberapa tahun terakhir target penerimaan pajak dalam APBN tidak dapat dicapai? Berbagai pertanyaan ini penting dijawab untuk identifikasi langkah-langkah optimalisasi pemungutan perpajakan.

Gambar-1: Perkembangan APBN 2004-2014 (Rp triliun)

 Sumber: Nota Keuangan, diolah penulis (2004-2012 LKPP audited, 2013 LKPP unaudited, 2014 RAPBN-P)

 

Potensi Penerimaan Pajak

Selain tax ratio, ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi pemungutan pajak (tax collection) diantaranya ialah tax coverage ratio yaitu rasio antara realisasi pajak yang berhasil dipungut dibandingkan dengan potensi pajak yang sebenarnya ada di dalam perekonomian. Beberapa studi sebelumnya telah melakukan perhitungan estimasi besaran tax coverage ratio ini. Marks (2003a, 2003b) mengestimasi menggunakan data Susenas 2002 dan hasil analisisnya menunjukkan bahwa nilai tax coverage ratio hanya sebesar 56% untuk pajak penghasilan orang pribadi, sedangkan untuk PPN sebesar 55%.4 Hasil kajian

Ikhsan et, al (2005) juga memberikan hasil yang tidak jauh berbeda.5 Hasil estimasi dari

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dikutip oleh Hendri (2012) pun mengkonfirmasi masih

18.6  19.9  16.2  18.1  18.4  12.2  13.3  11.9  12.2  0 5 10 15 20 25 0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(3)

rendahnya tax coverage ratio ini. DJP mengestimasi bahwa besaran tax coverage ratio secara keseluruhan hanya sekitar 50% untuk periode 2005-2009, meningkat menjadi 60,2% (2010) dan 70,1% (2011).6

Pendekatan tax coverage ratio mengandung satu hal krusial yang mempengaruhi besaran angka yang dihasilkannya, yaitu bagaimana metode atau pendekatan yang digunakan dalam mengukur variabel potensi pajak. Apakah metode yang digunakannya konsisten sehingga hasilnya bisa diperbandingkan antarwaktu atau tidak? Ketidakkonsistenan metode ini bisa ditangkap dari hasil analisis yang sulit untuk dijustifikasi. Misalnya, data DJP sebagaimana dikutip oleh Setiyaji dan Amir (2005) pada 2001 dan 2002 tax coverage ratio telah mencapai angka di atas 70%.7 Adalah sebuah pertanyaan yang cukup mendasar, mengapa ketika dalam

periode 2010 dan 2011 terjadi kenaikan tax coverage ratio namun ternyata tax ratio relatif tidak mengalami kenaikan?

Namun sepertinya semua sepakat bahwa penerimaan perpajakan Indonesia masih memiliki basis pajak yang sangat terbatas (kecil). Hal ini dindikasikan oleh jumlah pembayar pajak yang masih sangat sedikit. Jumlah wajib pajak (WP) Orang Pribadi yang telah memiliki (Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) baru mencapai sekitar 19.9 juta. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 61 juta rumah tangga (Sensus Penduduk 2010). Hal sama pun terjadi untuk WP Badan. Tercatat hanya 1,9 juta NPWP Badan dari sekitar 23 badan usaha yang ada di Indonesia. Yang aktif menjadi pembayar pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajaknya pun hanya sekitar separuh jumlah yang memiliki NPWP.8

Angka-angka tersebut hanya sebagai indikasi bahwa basis pajak yang ada masih sangat sempit. Penulis percaya bahwa kenaikan basis pajak akan meningkatkan penerimaan perpajakan walau pun kenaikannya tidak akan linear. Hal inilah, menurut hemat penulis masalah terbesar yang menjadi sebab musabab rendahnya tax ratio atau pun tax coverage ratio. Sehingga dengan demikian, sebagai konsekuensinya proses reformasi perpajakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan tax ratio atau pun tax coverage ratio adalah suatu proses yang dapat memperluas basis pajak yang ada ini. Dua sasaran penting yang perlu dicapai: (1) menjadikan wajib pajak yang masih di luar untuk masuk ke dalam sistem perpajakan, dan kemudian (2)

(4)

meningkatkan compliance (kepatuhan) wajib pajak yang sudah berada di dalam sistem perpajakan. Apa pun pilihan strateginya ialah yang menjamin ketercapaian dua sasaran penting tersebut. Tentu, strategi dan sasaran penting tersebut harus didetailkan untuk dapat dioperasionalisasikan. Kebijakan penyederhanaan proses dan administrasi pemenuhan kewajiban perpajakan dan kebijakan perubahan tarif perpajakan, sebagai contohnya, hanyalah kebijakan turunan dalam upaya peningkatan kinerja pemungutan perpajakan.

Kinerja Pemungutan Pajak

Selain mengalami peningkatan secara nominal dari sebesar Rp280,6 triliun pada 2004 menjadi Rp1.077,1 triliun pada 2013 (hampir empat kali lipat) penerimaan perpajakan juga mengalami peningkatan jika dilihat dari kontribusinya terhadap total pendapatan negara, dari 69,6% pada 2004 menjadi 75,0% pada 2013. Kontribusi ini diperkirakan akan mencapai 77,1% dalam RAPBN-P 2014.  

Gambar-2: Penerimaan Perpajakan 2004-2014 (Rp triliun)

 

Sumber: Nota Keuangan, diolah penulis (2004-2012 LKPP audited, 2013 LKPP unaudited, 2014 RAPBN-P) 119.5  175.5  208.8  238.4  327.5  317.6  357.0  431.1  465.1  506.4  562.6  102.6  101.3  123.0  154.5  209.6  193.1  230.6  277.8  337.6  384.7  475.6  29.2  33.3  37.8  44.7  51.3  56.7  66.2  77.0  95.0  108.4  117.2  69.6  70.1  64.1  69.4  67.1  73.0  72.7  72.2  73.3  75.0  77.1   ‐  10  20  30  40  50  60  70  80 0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 PPh PPN+PPnBM PBB+BPHTB Cukai Pajak lainnya Pajak Perdag. Int'l Porsi Pen. Pajak (%)

(5)

Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai + Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN + PPnBM) merupakan kontributor terbesar penerimaan perpajakan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) secara bertahap sudah mulai dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sedangkan Cukai, Pajak lainnya dan Pajak Perdagangan Internasional fungsinya lebih sebagai alat pengaturan (kebijakan) dibandingkan sebagai sumber pendapatan Negara. Komposisi kontribusi PPh dan PPN+PPnBM terlihat semakin seimbang dalam tahun-tahun terakhir ini. Semacam ada shifting dari pemajakan atas penghasilan (pendapatan) kepada konsumsi. Walau pun mungkin tidak didasari atas bentuk kebijakan yang eksplisit untuk itu.

Jika dilihat kinerja pemungutan pajak dari sisi pencapaiannya terhadap target APBN maka terlihat bahwa dalam 12 tahun terakhir target penerimaan pajak hanya tercapai dua kali yaitu pada tahun 2005 dan 2008. Karena keterbatasan ruang, Gambar-3 hanya menyajikan selisih antara realisasi penerimaan pajak dibandingkan dengan target (APBN-P) untuk periode tahun 2007 – 2013.

Gambar-3: Selisih Realisasi dengan APBN-P (Rp triliun)

 

Sumber: Nota Keuangan, diolah penulis (2013 unaudited)

(1.0) 49.5   (32.0) (20.0) (4.8) (35.7) (71.1) 6.7   23.4   1.0   3.5   7.9  15.5   14.5   (20.1) (0.9) (23.6) (8.7) (8.7) (64.1) (46.8) 2.5   14.2   (10.0) (32.4) (20.6) 1.5   (39.0) 3.7   0.2   (0.1) 4.1   0.8   (0.7) (2.0) 2.6   5.5   2.2   6.9  8.9   11.8   3.7   0.0   (0.3) (0.1) 0.1   (0.3) (1.4) (0.5) 3.5   7.4  (1.4) 6.4   7.2   1.7   (1.0) 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Total Pajak PPh Migas PPh Nonmigas

PPN+PPnBM PBB+BPHTB* Cukai

(6)

Dalam keterbatasan pemahaman penulis, ada beberapa catatan setting situasi dan kebijakan atas dinamika pencapaian target realisasi penerimaan pajak ini.

1. Pencapaian target penerimaan pajak tahun 2008 disokong oleh penerimaan PPh Migas yang cukup besar. Hal ini sangat terkait dengan kenaikan harga minyak internasional pada tahun 2008, yang meningkat dari USD72,3/barel pada 2007 menjadi USD97,0/barel pada 2008 berdasarkan harga ICP rata-rata tahunan. Sebetulnya puncak harga tertinggi mencapai USD135/barel pada bulan Juli 2008 jika dilihat dari harga ICP rata-rata bulanan. Ditambah lagi bahwa pada tahun 2008, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang menjalankan kebijakan sunset policy yaitu kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya pada tahun 2008, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan (tax amnesty) agar menarik para wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya;

2. Tahun 2009, target realisasi penerimaan pajak tidak tercapai antara lain disebabkan oleh berbagai kebijakan stimulus fiskal untuk merespon krisis ekonomi global 2008. Dari sisi kebijakan pajak terdapat tax-cut dalam bentuk penurunan tarif PPh (tarif tunggal PPh Badan dan perubahan lapisan tarif PPh Orang Pribadi)9 dan kebijakan PPN Ditanggung

Pemerintah (DTP);

3. Tahun 2010 dan 2011, penulis tidak memiliki catatan spesifik apa yang terjadi. Namun jika melihat detail tidak tercapainya target penerimaan pajak lebih dikontribusikan oleh tidak tercapainya target penerimaan PPN+PPnBM. Maka boleh jadi ini sebagai efek atas krisis global yang mulai mempengaruhi iklim bisnis perekonomian nasional. Dampak shortage ini sedikit diminimalisasi, terutama pada tahun 2011, oleh surplus penerimaan PPh Migas sebagai akibat harga minyak internasional yang kembali meningkat serta surplus dari penerimaan Cukai;

4. Tahun 2012 mengalami defisit pencapaian target yang cukup besar yaitu Rp35,7 triliun. Hal ini ditandai oleh tiga hal: (1) surplus penerimaan PPh Migas, masih sejalan dengan harga minyak yang tinggi dan ditambah dengan kenaikan kurs Dolar Amerika; (2) surplus dari penerimaan Cukai; dan (3) defisit dari penerimaan PPh Nonmigas yang sangat besar, mencapai Rp64,1 triliun. Memang pada tahun ini terjadi krisis global namun penulis tidak memiliki catatan spesifik akan hal ini. Satu hal yang lain yang perlu dicatat, penerimaan PPN+PPnBM tahun ini mengalami surplus walau pun tipis. Hal ini berbeda dibanding dua tahun sebelumnya dimana PPN sebagai penyumbang defisit terbesar. Salah satu sebab yang

(7)

penulis catat ialah adanya kebijakan registrasi ulang bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Proses registrasi ulang ini mampu mengeliminasi PKP ‘bodong’ atau pun potensi terjadinya faktur pajak fiktif;

5. Tahun 2013 defisit pencapaian target penerimaan pajak membengkak menjadi Rp71,1 triliun, dikontribusikan oleh akumulasi defisit PPh Nonmigas dan PPN+PPnBM yang relatif besar. Memang pada tahun ini ada penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang relatif besar10 dan pemberlakuan pajak final 1% untuk Usaha Kecil Mikro,

Kecil dan Menengah (UMKM), namun demikian ekspektasi dampaknya tidak sebesar nilai defisit PPh Nonmigas yang terjadi ini. Sementara itu, defisit yang cukup besar pada pencapaian target penerimaan PPN+PPnBM masih perlu dicari akar musababnya secara lebih detail.

Gambar-4: Tax Buoyancy

 

Sumber: Estimasi penulis, PDB dan Pajak dihitung berdasarkan harga konstan 2000. 1.92 1.35 1.44 0.61 1.24 2.25 ‐2.83 1.25 1.81 1.18 0.94 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(8)

Analisis lebih lanjut atas defisit target pencapaian penerimaan pajak yang cukup besar pada dua tahun terakhir dapat dilihat dengan indikator tax buoyancy sebagaimana dalam Gambar-4. Tax buoyancy secara sederhana menunjukkan persentasi perubahan penerimaan perpajakan untuk setiap persen pertumbuhan ekonomi. Terlihat secara nyata bahwa selama dua tahun terakhir pertumbuhan ekonomi yang mampu dikonversi menjadi pertumbuhan penerimaan pajak sangatlah minim. Hal ini memerlukan diagnosa lanjut apakah ini efek yang disebabkan oleh kebijakan atau justru manajemen organisasional lembaga pemungut perpajakannya.

Penutup 

Defisit target pencapaian penerimaan pajak yang semakin membesar terutama dalam dua tahun terakhir menjadi warning bagi pemerintah untuk terus dalam agenda reformasi perpajakan. Dari uraian di atas ada beberapa agenda yang perlu segera dijalani. Pertama, defisit PPN+PPnBM yang cukup besar pada dua terakhir menandai perlunya terobosan administratif yang efektif untuk memastikan mekanisme penghitungan PPN dilakukan secara teruji kebenarannya. Seharusnya PPN dengan mekanisme pajak keluaran dan pajak masukannya dapat sebagai kontrol atas setiap transaksi yang dikenakan PPN, namun lemahnya sistem informasi transaksi dan belum terintegrasi menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Belum lagi dalam system perekonomian yang masih dominan sektor informalnya atau pun transaksi kas-nya.

Kedua, perlu analisis lanjut terhadap detail komponen/jenis penerimaan pajak yang fluktuatif dan juga variabel atau faktor penyebabnya. Sebagai contoh, PPh Migas berfluktuasi menurut pergerakan variabel harga minyak internasional dan nilai tukar. Sehingga dengan analisis ini dapat dibedakan mana potensi penerimaan pajak yang sifatnya permanen dan mana yang temporer. Pemisahan karakter ini penting untuk melakukan estimasi penerimaan pajak yang lebih terukur. Tidak hanya itu juga dalam proses penyusunan rancangan APBN secara keseluruhan, menentukan besaran belanja negara dan juga target defisit serta strategi kebijakan fiskalnya. Hal ini mengingat komponen penerimaan perpajakan yang sangat dominan dalam total pendapatan negara.

(9)

Ketiga, menuntaskan agenda untuk memperbesar basis pajak. Ini sebetulnya agenda lama namun masih memerlukan kerja keras untuk mengekskalasi daya ungkitnya. Wacana perubahan radikal pengorganisasian DJP menjadi lembaga tersendiri di luar Kementerian Keuangan atau dalam format yang lain dalam bentuk lembaga otonom sebetulnya menemukan konteks justifikasinya dalam kerangka hal ini. Namun apabila opsi ini dipilih harus dijelaskan lebih detail target, strategi, dan tahapan-tahapan perluasan basis pajaknya. Baik urusan yang bersifat ke dalam seperti: bentuk dan kewenangan kelembagaannya, transformasi perubahan termasuk regulasi perpajakannya, baik dari tingkat undang-undang sampai dengan peraturan teknis operasional yang saat ini berlaku sebagai urat nadi sistem perpajakan atau pun urusan yang bersifat eksternal seperti interaksi dengan lingkungan organisasi yang terkait dalam sistem perpajakan nasional. Apabila wacana ini secara gegabah digulirkan bukan tidak mungkin risiko yang dihadapi akan lebih besar, bahkan mungkin malah menjauhkan dari pencapaian perluasan basis pajak yang menjadi target utamanya.

Referensi

      

1 http://data.worldbank.org/indicator/GC.TAX.TOTL.GD.ZS diakses 4 Juni 2014

2 Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2012 hal. 32

3 Setiyaji, G. (2007), “Ruwetnya Urusan Tax Ratio”. Harian Sindo 4 September 2007

4 Marks, S. V. (2003a). Personal Income Taxation in Indonesia: Revenue Potential and Distribution of the Burden. Jakarta: Bappenas

Marks, S. V. (2003b). The Value Added Tax in Indonesia: The Impact of Sectoral Exemptions on Revenue Potential and Effective Tax Rates. Jakarta: Bappenas

5 Ikhsan, M., et al. (2005). Indonesia's New Tax Reform: Potential and Direction. Journal of Asian Economics, 16, 1029 - 1046

6 Hendri (2012). Perbandingan Sistem Administrasi Pemungutan Pajak Indonesia dengan

Republik Rakyat China. Thesis Magister Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

7 Setiyaji, G. dan Amir, H. (2005), “Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan Indonesia”, Jurnal Ekonomi, Universitas Indonusa Esa Unggul, January 2005

(10)

      

8 Laporan Tahunan 2011. Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI

9 Amir, H. et al. (2013), “The Impact of the Indonesian Income Tax Reform: A CGE

Analysis”, Economic Modelling 31, 492-501

10 Amir, H. and Hewings, G.J.D. (2013), “Distributional Welfare Impact of the 2013

Adjustment of Tax-Free Income Threshold in Indonesia: A CGE Simulation”, Conference Paper presented at the 21st International Input-Output Conference, Kitakyushu, Japan, 7-12 July 2013 

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Koloni Bakteri pada Hasil

Nely Ana Mufarida, ST., MT., selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Jember sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu,

Proksi untuk tingkat imbalan bebas risiko menggunakan data Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang diperoleh dari laman http://www.bi.go.id. Data historis yang sama tersedia

Agar dalam penulisan Laporan Akhir ini tidak menyimpang dari permasalahan yang ada, penulis membatasi ruang lingkup pembahasannya yaitu penulis fokuskan pada

Fungsi penghulu sebagai kepala nagari ini kemudian bergeser pada pelaksanaan sistem pemerintahan nagari menurut Perda Kabupaten agam No.12 tahun 2007 tentang pemerintahan

Dengan demikian, perubahan yang dilakukan terhadap organisasi Indonesia Power merupakan langkah dan strategi untuk lebih fokus dalam mewujudkan kinerja yang terbaik,

Penutur ash yang ekabahasawan pada umumnya adalah penutur bahasa Bulungan yang tidak berpendidikan, seperti petani, nelayan atau buruh besar lainnya, sedngkan penutur asli yang

Berdasarkan hasil pada Tabel 4, hasil pengolahan data yang dapat dilihat pada lampiran19 tabel model summary diperoleh hasil nilai R square sebesar 0,987 menunjukkan