• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI INDONESIA INTANSARI PERTIWI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI INDONESIA INTANSARI PERTIWI"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

ix

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP

TINGKAT PENGANGGURAN DI INDONESIA

INTANSARI PERTIWI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

ix

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014 Intansari Pertiwi NIM H14090118

(4)

x

ABSTRAK

INTANSARI PERTIWI. Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Di Indonesia. Dibimbing oleh Ir. DEWI ULFAH WARDANI, M.si

Permasalahan yang paling menonjol dalam pembangunan ekonomi di Indonesia adalah lonjakan tingkat pengangguran. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan kondisi tata kelola ekonomi daerah (TKED) kabupaten dan kota di Indonesia, dan menganalisis pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran. Analisis data menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menyatakan bahwa dari tujuh indikator TKED, nilai indeks kapasitas integritas kepala daerah dan interaksi pemda dengan pelaku usaha lebih baik di Indonesia Timur, sedangkan lima indikator lainnya memiliki nilai indeks yang lebih baik di Indonesia Barat. Variabel investasi, belanja modal, dan TKED signifikan berpengaruh menurunkan tingkat pengangguran. Kabupaten dan kota yang disarankan untuk memperbaiki indikator TKED terendah di daerahnya adalah Provinsi Banten, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, NTB, dan Sulawesi Tenggara.

Kata Kunci: Kabupaten, Kota, Pengangguran, TKED.

ABSTRACT

INTANSARI PERTIWI. Effect Local Economic Governance Against Unemployment Rate In Indonesia. Supervised by Ir. DEWI ULFAH WARDANI, M.si.

The most prominent problems in economic development in Indonesia is a spike in the unemployment rate. The purpose of the study was to describe the condition of local economic governance (TKED) districts and cities in Indonesia, and analyze the effect on the unemployment rate TKED. Analysis of data using multiple regression analysis. The results stated that of the seven indicators TKED, capacity index values integrity of regional heads and local government interaction with business players better in Eastern Indonesia, while the other five indicators has an index value better in western Indonesia. Variable investment, capital expenditures, and significant TKED effect of reducing the unemployment rate. Counties and cities recommended to improve TKED indicators are the lowest in the region Banten, Jambi, Central Kalimantan, South Kalimantan, North Maluku, NTB, and Southeast Sulawesi.

(5)

ix

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP

TINGKAT PENGANGGURAN DI INDONESIA

INTANSARI PERTIWI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

ix

Judul Skripsi : Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Di Indonesia

Nama : Intansari Pertiwi NIM : H14090118

(8)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah tata kelola ekonomi daerah, dengan judul Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Pengangguran Di Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si. selaku dosen pembimbing yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ibu Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah bersedia memberikan masukan dan arahan yang bermanfaat kepada penulis sebagai penyempurnaan penulisan skripsi ini, serta kepada ibu Laily Dwi Arsyianti, S.E, M.Sc. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan banyak masukan mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ibunda tercinta Rita Malasinha yang telah banyak mengajarkan arti kehidupan, lalu kepada kedua adik tercinta Rizka Mutiara dan Fallah Indrawan, serta seluruh keluarga penulis atas doa, motivasi dan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Shinta Pratiwi yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini serta kepada teman sebimbingan dan keluarga besar Ilmu Ekonomi 46.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia.

Bogor, Juli 2014 Intansari Pertiwi

(9)

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA

Pengangguran 4

Investasi 4

Pengeluaran Pemerintah 4

Otonomi Daerah 5

Tata Kelola Ekonomi Daerah 5

Penelitian Terdahulu 8

Kerangka Pemikiran 9

Hipotesis Penelitian 9

METODE

Jenis dan Sumber Data 10

Metode Analisis Data 10

Model Penelitian 10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi TKED di Daerah Kabupaten dan Kota Di Indonesia 11 Pengaruh TKED Terhadap Tingkat Pengangguran Di Indonesia 16 Pengaruh Indikator TKED Terhadap Tingkat Pengangguran

di Indonesia 18

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 21 Saran 22 DAFTAR PUSTAKA 22 LAMPIRAN 24 RIWAYAT HIDUP 34

DAFTAR TABEL

1. Penelitian terdahulu 8

2. Indeks TKED di kabupaten dan kota Indonesia 12 ix

(10)

x 3. Hasil estimasi pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran 17 4. Hasil estimasi pengaruh indikator TKED terhadap pengangguran

di Indonesia 19

DAFTAR GAMBAR

1. Perbandingan pengangguran di Indonesia dan ASEAN 2007-2011 2

2. Kerangka pemikiran 9

3. Rata-rata TKED kabupaten dan kota di Indonesia tahun 2011 12

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Estimasi Model 1 24

2. Hasil Uji Asumsi Klasik Model 1 25

3. Hasil Estimasi Model 2 26

4. Hasil Uji Asumsi Klasik Model 2 27

5. Skor Indikator TKED Berdasarkan Kabupaten Di Indonesia 29 6. Skor Indikator TKED Berdasarkan Kota Di Indonesia 33 x

(11)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual (Todaro, 2006).

Dalam proses pembangunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah perekonomian ke arah yang lebih baik. Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh percepatan pertumbuhan ekonomi tetapi lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih utuh. Kesejahteraan masyarakat akan terwujud apabila tersedianya lapangan kerja yang cukup, sehingga dapat meningkatkan pendapatan perkapita, menekan jumlah pengangguran, dan mengurangi tingkat kemiskinan. Di dalam visi pembangunan Indonesia jangka panjang yaitu terwujudnya negara kebangsaan Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaaan, kemerdekaan, dan persatuan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tersirat makna bahwa Indonesia saat ini mengarah kepada tiga sasaran, yaitu 1) Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai, 2) Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak-hak azasi manusia, 3) Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Pada sasaran ketiga itulah dapat terlihat bahwa pemerintah sangat memberikan perhatian pada masalah pengangguran di Indonesia. Permasalahan pengangguran salah satunya dapat diatasi dengan melakukan investasi di berbagai sektor, misalnya di sektor infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat menyerap pengangguran dengan cara membuka kesempatan kerja ketika proses pelaksanaan pembangunan infrastruktur tersebut, sehingga dengan tersedianya infrastruktur yang lebih baik akan dapat menarik minat para investor untuk kembali berinvestasi di Indonesia.

Dalam perwujudan upaya pembangunan ekonomi, Indonesia sebagai negara berkembang telah mencanangkan kebijakan otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari 2001. Pelaksanaan otonomi daerah mendapat dukungan pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjelaskan definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah yang terjadi di tengah persaingan global yang ketat memerlukan peran Pemerintah Daerah (pemda) yang dibantu oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) untuk memperbaiki tata kelola ekonomi daerah (TKED) dengan melakukan survei

(12)

2

mengenai tata kelola ekonomi di 245 kabupaten dan kota di 19 propinsi di Indonesia pada tahun 2011. Perbaikan diupayakan untuk meningkatkan iklim investasi yang dapat mendorong pertumbuhan penyediaan lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi pengangguran. Penelitian ini menjelaskan pengaruh investasi, belanja modal serta tata kelola ekonomi kabupaten dan kota terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.

Perumusan Masalah

Tujuan inti pembangunan menurut Todaro (2006) salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok, menunjukkan peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan.

Permasalahan dari pembangunan ekonomi yang paling menonjol adalah kemiskinan, ketidakmerataan, dan lonjakan tingkat pengangguran. Tujuan akhir dari seluruh kebijakan ekonomi Indonesia adalah untuk menciptakan efisiensi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sejahtera dapat menunjukkan keberhasilan sebuah pemerintahan dalam mewujudkan upaya pembangunan ekonomi. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai apabila terjadi peningkatan pendapatan perkapita, penurunan jumlah pengangguran, dan tingkat kemiskinan.

Sumber : Bappenas

Gambar 1 Perbandingan pengangguran di Indonesia dan ASEAN 2007-2011 (%) Terlihat bahwa persentase pengangguran di Indonesia dari tahun 2007 hingga 2011 lebih tinggi daripada persentase rata-rata pengangguran di beberapa negara ASEAN (Malaysia, Vietnam, dan Filipina). Berdasarkan publikasi Bappenas, hingga akhir tahun 2013 pemerintah juga mengakui bahwa tingkat pengangguran Indonesia masih yang tertinggi jika dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN lainnya. Selain itu, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menunjukkan bahwa terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja dari peningkatan investasi pada triwulan-1 tahun 2014. Realisasi investasi pada triwulan-1 tahun 2014 mencapai Rp 106.6 triliun atau meningkat sebesar Rp 13.6 triliun dari periode yang sama di tahun 2013 yaitu sebesar Rp 93 triliun. Tetapi, penyerapan tenaga kerja dari investasi tersebut menurun drastis, pada triwulan-1 tahun 2013 penyerapan tenaga kerja dapat mencapai 361,924 orang, namun pada periode sama di tahun 2014 penyerapan tenaga kerja hanya mencapai 260,156 orang atau berkurang sebanyak 101,768

9.11 8.39 7.87 7.14 6.7 5.06 5.13 5.69 5.17 5.13 2007 2008 2009 2010 2011 Indonesia ASEAN

(13)

3 orang. Hal ini menunjukkan kejanggalan yang tidak sesuai dengan kaidah ekonomi, bahwa seharusnya dengan investasi yang tinggi maka akan mampu lebih banyak menyerap tenaga kerja, sehingga akan mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia.

Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran bisa menyebabkan pendapatan nasional riil yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (yang diharapkan). Oleh karena itu, kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah, dengan tingginya jumlah pengangguran dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Untuk itu, masalah pengangguran harus secepat mungkin diselesaikan.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka perumusan masalah di dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi tata kelola ekonomi di kabupaten dan kota di Indonesia, dan bagaimana pengaruh investasi, belanja modal serta tata kelola ekonomi kabupaten dan kota terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kondisi tata kelola ekonomi di kabupaten dan kota di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh investasi, belanja modal serta tata kelola ekonomi di kabupaten dan kota terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para penentu kebijakan dalam menambah pemahaman tentang indikator tata kelola ekonomi daerah (TKED) yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran, dapat menjadi bahan masukan untuk melakukan perbaikan investasi, belanja modal, dan TKED sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah informasi pengetahuan bagi masyarakat umum dan dapat dapat dijadikan sumber rujukan untuk penelitian lain yang terkait mengenai TKED.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah berdasarkan penelitian survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2011. Cakupan penelitian ini sebanyak tujuh indikator TKED dari 120 kabupaten dan 22 kota dari 19 provinsi di Indonesia. Oleh karena itu, dalam penelitian digunakan data cross section dengan unit analisis kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun 2011. Penulis juga menganalisis faktor lain yang diduga memengaruhi tingkat pengangguran yaitu investasi dan belanja modal pemerintah.

(14)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Pengangguran

Batasan (definisi) variabel ketenagakerjaan telah dibakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia sejak tahun 1976. Definisi yang dimaksud diantaranya adalah mengenai angkatan kerja, yaitu penduduk usia kerja yang bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan atau penduduk yang termasuk dalam pengangguran. Penduduk usia kerja yang dimaksud adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. Pengertian dari bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan yang lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara terus-menerus dalam seminggu yang lalu. Sedangkan yang dimaksud pengangguran meliputi penduduk yang sedang mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha, atau merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (discourage worker), atau sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (future start).

Investasi

Investasi menurut Mankiw (2006) sering disebut juga sebagai penanaman modal atau pembentukan modal. Investasi menghubungkan pasar uang dengan pasar barang, masa kini dan masa datang. Baik perusahaan maupun rumah tangga membeli barang-barang investasi, perusahaan membeli barang-barang untuk menambah pesediaan modalnya dan mengganti modal setelah habis dipakai. Investasi menurut Murwito (2013) dibagi menjadi tiga yaitu investasi pemerintah, masyarakat,dan swasta (dunia usaha). Investasi pemerintah dibagi menjadi dua yaitu investasi fisik (pembangunan infrastruktur) dan investasi non-fisik (peningkatan kualitas sumber daya manusia), investasi non-fisik ini merupakan iinvestasi masyarakat. Investasi swasta merupakan investasi yang dilakukan oleh pihas swasta. Tujuan investasi adalah untuk meningkatkan kapasitas memproduksi suatu perekonomian. Investasi merupakan suatu unsur GDP (Gross Domestic Product) yang paling sering berubah. Ketika pengeluaran atas barang dan jasa turun selama resesi, sebagian besar dari penurunan itu berkaitan dengan anjloknya pengeluaran investasi.

Pengeluaran Pemerintah

Menurut BPS (2012) pengeluaran pemerintah adalah belanja daerah yang terdiri atas belanja tidak langsung (Indirect Expenditure) dan belanja Langsung (Direct Expenditure). Belanja Langsung (Direct Expenditure) merupakan belanja yang dianggarkan karena terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah. Diantara belanja langsung dari pemerintah daerah yaitu belanja modal pemerintah (investasi pemerintah). Belanja modal pemerintah merupakan pengeluaran yang digunakan untuk pembelian atau pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari satu tahun. Pembentukan aset tersebut meliputi pengadaan tanah, alat-alat berat, alat-alat angkutan, alat-alat bengkel, alat-alat pertanian, peralatan dan perlengkapan kantor, komputer, mebeulair, peralatan dapur, penghias ruangan, alat-alat studio, alat-alat komunikasi, alat-alat ukur, alat-alat kedokteran, alat-alat laboraturium, konstruksi jalan, jembatan, jaringan air, penerangan jalan, taman dan hutan kota, instalasi

(15)

5 listrik dan telepon, bangunan, buku/kepustakaan, barang seni, pengadaan hewan/ternak dan tanaman, serta persenjataan atau keamanan.

Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor. 25 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada intinya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mendesentralisasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengambil keputusan mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan kepada pemerintah daerah, sedangkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 merubah secara mendasar keseimbangan keuangan pusat dan daerah melalui bagi hasil (revenue sharing) baik dari pendapatan pajak maupun bukan pajak. Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih luas,nyata dan bertanggung jawab dalam mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan, yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Inti dari Undang-Undang ini adalah mengakomodir kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah. Menurut Chalid (2005) otonomi daerah merupakan manifestasi dari keinginan untuk mengatur dan mengoptimalkan seluruh potensi daerah secara maksimal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.

Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)

World Bank Institute mengukur tata kelola pemerintahan menggunakan enam sub indeks, yaitu: (1) keterbukaan dan akuntabilitas, (2) stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme, (3) efektifitas pemerintahan, kualitas peraturan, (5) penegakan hukum, dan (6) kontrol terhadap korupsi. Sedangkan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengukur tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia dari aspek tata kelola ekonomi. Unsur-unsur tata kelola daerah yang baik menurut persepsi pelaku usaha dirumuskan secara berbeda oleh KPPOD. Pemilihan 9 unsur ini didasarkan pada elemen-elemen yang merefleksikan tata kelola ekonomi daerah, bukan merupakan faktor anugrah (endowment), merupakan kewenangan dan kontrol kabupaten/kota, tetapi bukan sub indeks outcome/impact (KPPOD 2011). Terdapat sembilan indikator TKED yang digunakan oleh KPPOD yaitu, akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan usaha, peraturan daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas kepala daerah, interaksi pemda dengan pelaku usaha, program penanggulangan usaha swasta, serta keamanan dan penyelesaian konflik.

Indikator pertama yaitu akses lahan, merupakan salah satu aspek penting untuk menciptakan iklim investasi yang baik bagi pelaku usaha dengan kewenangan yang belum didesentralisasikan. Lahan sangat dibutuhkan bagi setiap pelaku usaha, baik untuk mendirikan pabrik, penyimpanan produk atau sekedar mendirikan kantor untuk menjual produk. Oleh karena itu, kebijakan yang berpihak terhadap kemudahan untuk mendapatkan lahan akan mendukung peluang investasi baru. Terdapat beberapa variabel pembentuk sub-indeks akses

(16)

6

lahan yang ditentukan KPPOD yaitu, waktu untuk mengurus sertifikat tanah, kemudahan untuk mendapatkan tanah, frekuensi penggUndang-Undangsuran tanah, frekuensi kasus konflik kerjasama atas penggunaan tanah dan penilaian keseluruhan atas dampak lahan terhadap kelangsungan usaha.

Indikator kedua yaitu, infrastruktur memiliki hubungan yang erat dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dan keputusan pelaku usaha untuk melakukan investasi. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu keputusan pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi input dan output produksi. Oleh karena itu, ketersediaan infrastruktur dapat menjadi faktor pendorong produktivitas suatu daerah. Variabel pembentuk sub-indeks infrastruktur daerah yang ditetapkan KPPOD adalah tingkat kualitas suatu daerah, lama perbaikan infrastruktur yang rusak, tingkat pemakaian genset, lamanya pemadaman listrik dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan.

Indikator ketiga yaitu, perizinan usaha yang sederhana dan murah dapat mendorong perkembangan pelaku usaha baru. Sebaliknya, prosedur pengurusan perizinan usaha yang sulit, lama, dan mahal akan mengakibatkan keengganan pelaku usaha untuk mengurus perizinan dan menghambat pertumbuhan kegiatan usaha baru. Variabel pembentuk sub-indeks perizinan usaha yang ditetapkan KPPOD diantaranya yaitu, persentase perusahaan yang mempunyai Tanda Daftar Perusahaan (TDP), persepsi kemudahan memperoleh TDP, tingkat biaya dan persepsi terhadap biaya TDP yang memberatkan usaha, persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas kolusi, efisien dan pungutan liar, persentase keberadaan mekanisme pengaduan dan persentase hambatan izin usaha terhadap usaha.

Indikator keempat yaitu, peraturan di daerah merupakan sebuah instrument kebijakan pemerintah daerah yang dapat mengindikasi keberpihakan terhadap dunia usaha. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) memberikan kewenangan yang besar kepada pemda untuk menerbitkan peraturan di daerah yang dapat digunakan untuk mendorong dan menciptakan insentif atau, sebaliknya, menjadi penghambat bagi perkembangan dunia usaha. Terdapat 14 kriteria sub-indeks pembentuk peraturan daerah yaitu relevansi acuan yuridis, penggunaan acuan yuridis, kelengkapan yuridis, keterkaitan tujuan dan isi, kejelasan obyek, subyek, hak dan kewajiban pungut, standar waktu, kesesuaian filosofi, keutuhan wilayah ekonomi nasional, persaingan sehat, dampak ekonomi negatif, hambatan akses masyarakat, dan pelanggaran kewenangan pemerintahan.

Indikator kelima yaitu, biaya transaksi resmi mencakup pajak, retribusi, dan sumbangan pihak ketiga (SP3) yang ditetapkan melalui peraturan di daerah. Pajak daerah meliputi pungutan wajib yang diterapkan pemerintah tanpa adanya imbal jasa secara langsung, sementara retribusi daerah menyangkut pungutan sebagai kompensasi atas layanan atau pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemda dalam hubungannya dengan kepentingan usaha. SP3 resi adalah sejumlah pembayaran daerah atas dasar adanya perda. Variabel pembentuk sub-indeks biaya transaksi yang dilakukan oleh KPPOD adalah tingkat hambatan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan, tingkat pembayaran donasi terhadap pemda, tingkat hambatan donasi kepada pemda terhadap kinerja perusahaan, pembiayaan

(17)

7 biaya informal pelaku usaha terhadap kepolsian, dan tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan.

Indikator keenam yaitu, kinerja pemerintahan, selain dipengaruhi oleh terlembaganya suatu sistem, juga tergantung pada pejabat pemerintah yang menjalankannya. Suatu sistem yang sudah terlembaga dengan baik dapat memberikan batas dan rambu-rambu yang kuat untuk meminimalisasi penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah menunjukkan bahwa peran para pejabat yang melaksanakannya mengabaikan sistem yang ada. Variabel pembentuk sub-indeks kapasitas dan integritas bupati/walikota yaitu, pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha, profesionalisme birokrat daerah, tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri, ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya, karakter kepemimpinan kepala daerah dan hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha.

Indikator ketujuh yaitu, komunikasi antar pelaku usaha dengan pemerintah sangat diperlukan untuk membangun interaksi yang konstruktif. Pada kenyataannya, komunikasi antar dunia usaha dan pemerintah daerah tidak selalu konstruktif. Pelaku usaha seringkali mengeluhkan pemda yang tidak melibatkan mereka ketika membuat suatu kebijakan, yang terkadang menghasilkan kebijakan yang distortif terhadap perekonomian dan memberatkan dunia usaha. Variabel pembentuk sub-indeks interaksi pemda dengan pelaku usaha yaitu, keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha, tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda, tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah, tingkat kebijakan pemda yang berorientasi untuk mendukung iklim investasi, tingkat kebijakan non-diskriminatif pemda, tingkat pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran dunia usaha, tingkat kepastian hukum pemda terkait dunia usaha, dan tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha.

Indikator kedelapan yaitu, program pengembangan usaha swasta (PPUS) adalah pelayanan pengembangan bisnis yang disediakan pemda. Kegiatan tersebut diadakan tanpa adanya pungutan dari pemda kepada pelaku usaha. Sampai saat ini, telah ditetapkan sejumlah kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang mendukung terciptanya ruang berusaha yang berpihak kepada kelompok usaha kecil ini, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian; Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang usaha kecil; Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; Inpres Nomor 6 tahun 2007 tentang kebijakan percepatan sektor rill dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah; dan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 2 tahun 2008 tentang pemberdayaan business development service provider untuk pengembangan koperasi dan UMKM. Variabel pembentuk sub-indeks program pengembangan usaha swasta yaitu, tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS, tingkat partisipasi dalam PPUS, tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha dan dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan.

Indikator kesembilan yaitu, keamanan dan penyelesaian konflik. Keamanan, setidaknya perasaan aman, merupakan hal yang esensial bagi kelangsungan dan kesuksesan usaha. Kegiatan usaha yang sudah ada, masuknya investasi baru, dan keseluruhan iklim usaha ditentukan oleh tingkat keamanan di suatu daerah. Tanggung jawab untuk memberi rasa aman bagi pelaku usaha ini secara umum

(18)

8

dilakukan oleh polisi. Kinerja polisi dalam menangani berbagai bentuk kriminalitas merupakan fungsi penting yang jelas dampaknya bagi dunia usaha. Fungsi pencegahan, pengamanan dan penanganan gangguan ketertiban umum dan pelanggaran hukum akan menentukan seberapa besar rasa aman yang bisa dibangun oleh institusi ini dalam sebuah daerah tertentu. Variabel pembentuk sub-indeks keamanan dan penyelesaian konflik adalah tingkat kejadian pencurian di tempat usaha, kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, demonstrasi buruh oleh polisi, dan tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian konflik terhadap kinerja perusahaan.

Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terkait dengan tingkat pengangguran, investasi, belanja modal pemerintah, dan tata kelola ekonomi daerah, sebagai berikut:

Tabel 1 Penelitian terdahulu

Nama

(Tahun) Judul Penelitian Variabel Hasil Penelitian

1.Rahmasari (2009)

Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) dan Kesejahteraan Masyarakat

PDRB (Y1),

% penduduk miskin (Y2),

TKED(X1), PAD(X2), dan IPM (X3)

Semua variabel independent signifikan terhadap Y1dan Y2. 2. Santi (2012) Dampak TKED Terhadap Realisasi Investasi di Jawa Timur.

PMA (Y), PMDN (X1), belanja modal (X2), pertumbuhan ekonomi (X3), kualitas infrastruktur jalan (X4), hambatan donasi (X5), pemahaman kepala daerah (X6), dan frekuensi demo (X7).

X1, X4, X5,dan X6 berpengaruh positif dan signifikan terhadap Y. 3. Zulhanafi (2013) Pengaruh Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja di Indonesia

Produktivitas tenaga kerja (Y1), Tingkat pendidikan (X1), tingkat kesehatan (X2), tingkat

pengangguran (Y2), produktivitas tenaga kerja (X1),pertumbuhan ekonomi (X2), investasi (X3), pengeluaran pemerintah (X4), upah (X5), inflasi (X6).

X1 dan X2 signifikan terhadap Y1.

X1, X2, X3, X4, dan X5 signifikan terhadap Y2.

4. Mega (2014) Pengaruh TKED Terhadap Tingkat Pengangguran di Jawa Timur (Perbandingan TKED di tahun 2007 dan 2011)

Tingkat pengangguran (Y), akes lahan (X1), infrastruktur (X2), peraturan daerah (X3), izin usaha (X4), biaya transaksi (X5), kapasitas kepala daerah (X6), interaksi pemda (X7), program usaha swasta (X8), keamanan (X9), invetasi (X10), belanja modal (X11),

Tahun 2007:

X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, dan X9, dan X11 signifikan terhadap tingkat Y, sementara X3 dan X5 berpengaruh positif terhadap Y. Tahun 2011:

X1, X2, X3, X4, X5, X9, X10, dan X11 signifkan terhadap Y, sementara X3 dan X9 berpengaruh positif terhadap Y. 5. Shinta (2014) Hubungan Realisasi Investasi Dengan TKED di Indonesia

Investasi (Y), program usaha (X1), infrastruktur (X2), akses lahan (X3), izin usaha (X4), dan belanja modal (X5).

X1, X2, X4, dan X5 signifikan terhadap investasi, sementara X1 berpengaruh negatif terhadap Y.

(19)

9

Kerangka Pemikiran

Sebuah negara dapat dikatakan berhasil dalam pembangunan ekonomi jika terjadi pengingkatan kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu adalah dengan penurunan tingkat pengangguran yang dapat dilakukan dengan melakukan investasi di berbagai sektor. Selain itu, melalui otonomi daerah di Indonesia diharapkan pemerintah daerah yang dibantu dengan Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) akan lebih optimal mengelola potensi daerah masing-masing yang dapat diwujudkan melalui tata kelola ekonomi yang baik, sehingga akan menciptakan iklim investasi yang baik. Pembangunan ekonomi dengan melakukan investasi misalnya, pembangunan infrastruktur akan mampu menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan sehingga pada akhirnya akan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak, dan tingkat pengangguran dapat semakin menurun. Penelitian ini akan menganalisis pengaruh indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) serta faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.

Gambar 2 Kerangka pemikirian

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu dapat dirumuskan beberapa hipotesis sebagai berikut :

1. Investasi diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.

2. Belanja modal diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.

3. Indikator TKED (Infrastruktur Daerah, Perizinan Usaha, Peraturan Daerah, Biaya Transaksi, Kapasitas Integritas Kepala Daerah, Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha, dan Keamanan Penyelesaian Konflik) yang merefleksikan kualitas investasi di daerah, diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.

Pengangguran Implementasi kebijakan Faktor Penduga : 1. Indikator TKED 2. Investasi 3. Belanja Modal Pembangunan ekonomi

Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran

(20)

10

METODE

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis cross section yaitu sebanyak 142 kabupaten/kota dari 19 provinsi di Indonesia pada tahun 2011 tentang tujuh indikator tata kelola ekonomi daerah (TKED) yang diperoleh dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), data tingkat pengangguran terbuka yang diperoleh dari BPS, data belanja modal yang diperoleh dari BPS, dan data realisasi investasi di Indonesia yang diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selain itu, penelitian ini menggunakan data sekunder lain yang terkait yang diperoleh dari berbagai artikel, jurnal, skripsi/tesis, internet dan lembaga lainnya.

Metode Analisis Data Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif menyajikan kondisi dan perkembangan tata kelola ekonomi daerah tahun 2011 dalam bentuk tabel maupun grafik. Analisis deskriptif ini belum sampai pada penarikan kesimpulan namun hanya berbentuk ringkasan data agar informasi yang terkandung dalam data lebih mudah dipahami.

Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda untuk menganalisis keterkaitan hubungan yang diduga signifikan antara tujuh indikator TKED dengan tingkat pengangguran di Indonesia. Estimasi koefisien regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Analisis regresi berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel tak bebas) yang merupakan akibat. Analisis regresi berganda berfokus pada ketergantungan satu variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel penjelas (variabel bebas).

Model Penelitian

Model dalam penelitian ini ada dua. Model pertama, untuk menganalisis pengaruh TKED, investasi dan belanja modal terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Sedangkan model kedua untuk menganalisis pengaruh tujuh indikator TKED, investasi, dan belanja modal terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.

TPTi = α0i + α1 lnINVi + α2 lnBMi + α3 lnTKED + α4 D+ εi ………..(1)

Keterangan : α0i : Konstanta α1... α4 : Koefisien εi : Error standar

TPT : Tingkat pengangguran terbuka (%)

(21)

11 BM : Belanja modal pemerintah yang sebagian besar digunakan untuk

infrastruktur tahun 2011 (juta rupiah)

D : Variabel dummy daerah ( 1 untuk kota, 0 untuk kabupaten )

TKED : Skor rata-rata tujuh indikator TKED (skor dari 1-100), dengan rumus:

TKED =

i

i=1

7 Keterangan: i1 = Infrastruktur daerah

i2 = Perizinan usaha i3 = Peraturan daerah i4 = Biaya transaksi

i5 = Kapasitas dan integritas kepala daerah i6 = Interaksi pemda dengan pelaku usaha i7 = Keamanan dan penyelesaian konflik

TPTi = α0i + α1 lnINVi + α2 lnBMi + α3 lnIDi + α4 lnPUi + α5 lnPDi + α6 lnBTi + α7 lnKIPi + α8 lnIPPi + α9 lnKPKi +α10 D + εi ……….…………..(2) Keterangan :

α0i : Intersep α1... α10 : Koefisien εi : Error standar

TPT : Tingkat pengangguran terbuka (%)

INV : Realisasi investasi tahun 2011(juta rupiah)

BM : Belanja modal pemerintah yang sebagian besar digunakan untuk infrastruktur tahun 2011 (juta rupiah)

ID : Infrastruktur daerah (skor dari 1-100) PU : Perizinan usaha (skor dari 1-100) PD : Peraturan daerah (skor dari 1-100) BT : Biaya transaksi (skor dari 1-100 )

KI : Kapasitas dan integrasi kepala daerah (skor dari 1-100)

IPP : Interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha (skor dari 1-100) KPK : Keamanan dan penyelesaian konflik (skor dari 1-100)

D : Variabel dummy daerah ( 1 untuk kota, 0 untuk kabupaten )

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi TKED Di Daerah Kabupaten Dan Kota Di Indonesia

Survei Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) dilaksanakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), mulanya bertajuk Pemeringkatan Daya Tarik Investasi yang sudah dilaksanakan mulai tahun 2001 hingga tahun 2011 di kabupaten dan kota yang terpilih di Indonesia, serta mendapatkan dukungan dari Asia Foundation. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim

(22)

12

investasi daerah di era desentralisasi. Hasil survei ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah (pemda) kabupaten/kota untuk memprioritaskan reformasi atau perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. serta dapat menciptakan iklim kompetisi antar kabupaten/kota yang sehat. Fokus survei TKED ini adalah pada tata kelola ekonomi daerah yang menitikberatkan indikator penelitian yang bersifat kebijakan dan implementasinya. Survei ini juga fokus pada aspek-aspek tata kelola ekonomi yang merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota.

Tabel 2 Indeks TKED di kabupaten dan kota Indonesia (skor)

Indikator TKED

Indeks Tertinggi Indeks Terendah

Kabupaten Kota Kabupaten Kota

ID Tuban, Prov.Jatim (91.1) Mojokerto, Prov.Jatim (86.8) Teluk Bintuni, Prov.PapuaBarat (31) Waringin Timur, Prov.Kalteng (57.8) PU Tapin, Prov.Kalsel (82) Solok, Prov.Sumbar (73.3) Bombana, Prov.Sultra (39) Tangerang Selatan, Prov.Banten (51.6) PD Kubu Raya, Prov.Kalbar (100) Solok, Prov.Sumbar (99) Kota Baru, Prov.Kalsel (31.6) Serang, Prov.Banten (63.5) BT Mamuju, Prov.Sulbar (99.7) WaringinBarat, Prov.Kalteng (85.6) Serang, Prov.Banten (44.2) Tangerang, Prov.Banten (52.8)

KIP Sumbawa Barat,

Prov.NTB (77.9) Jayapura, Prov.Papua (65.5) Merangin, Prov.Jambi (14.9) Pasuruan, Prov.Jatim (32.7) IPP Bombana, Prov.Sultra (77.8) Sawah Luto, Prov.Sumbar (67.1) Kepahiang, Prov.Bengkulu (20.2) Serang, Prov.Banten (33.5) KPK Lamongan, Prov.Jatim (87.5) WaringinBarat, Prov.Kalteng (85.7) Bungo, Prov.Jambi (16.2) Tangerang, Prov.Banten (48.3) Sumber : KPPOD 2011 Sumber : KPPOD 2011

Gambar 3 Rata-rata TKED kabupaten dan kota di Indonesia tahun 2011(skor) Penelitian ini membahas perbedaan TKED di kabupaten dan kota dengan jumlah 142 kabupaten dan kota dari 19 provinsi di Indonesia. Perbedaan antara TKED di kabupaten dan kota menjadi hal yang menarik untuk diteliti, karena umumnya wilayah kota memiliki kondisi seperti investasi dan infrastruktur yang

69 61 79 82 51 50 67 75 64 82 71 49 51 63 ID PU PD BT KIP IPP KPK Kabupaten Kota

(23)

13 lebih maju daripada di kabupaten, padahal luas daerah di kabupaten lebih besar daripada di kota, sehingga seharusnya investasi lebih banyak di kabupaten. Indikator TKED dalam penelitian ini adalah infrastruktur daerah, perizinan usaha. peraturan daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas kepala daerah, interaksi pemerintah daerah dan pelaku usaha, dan keamanan serta penyelesaian konflik.

Nilai selisih indeks indikator infrastruktur daerah (ID) antara daerah kabupaten dan kota sebesar 6 skor. Menunjukkan terjadi kesenjangan yang tergolong sedang antara kabupaten dan kota, dimana sub-indikator infrastruktur terdiri dari lamanya pemadaman listrik, dan lamanya waktu perbaikan infrastruktur yang rusak. Di Indonesia rata-rata skor indikator infrastruktur adalah sebesar 72 yang menunjukkan kualitas infrastruktur seperti penyediaan listrik, air bersih, dan telekomunikasi telah berjalan cukup baik. Infrastruktur daerah kabupaten maupun kota di Indonesia Barat, khususnya Provinsi Jawa Timur lebih baik daripada di Indonesia Timur karena sebanyak lima dari enam kabupaten dengan nilai indeks infrastruktur tertinggi berada di Provinsi Jawa Timur, lalu mayoritas sebanyak 80 % dari lima kota tertinggi, Provinsi Jawa Timur juga mendominasi sebanyak tiga kota. Infrastruktur sangat penting bagi kegiatan ekonomi sehingga perlu terus ditingkatkan terutama untuk wilayah Indonesia Timur. Sementara itu, nilai infrastruktur kabupaten tertinggi dan nilai infrastruktur kota terendah berada di Provinsi Kalimantan Tengah sehingga perlu menjadi perhatian bagi pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah untuk memperbaiki kondisi indikator infrastruktur daerahnya.

Indikator perizinan usaha (PU) di Indonesia dengan rata-rata skor sebesar 62 memiliki perbedaan nilai indeks perizinan usaha (PU) antara kabupaten dan kota hanya sebesar 3 skor, menunjukkan kesenjangan yang rendah mengenai sub-indikator perizinan usaha yaitu persentase perusahaan yang mempunyai Tanda Daftar Perusahaan (TDP), persentase kemudahan memperoleh TDP, dan persentase hambatan izin usaha terhadap usaha di daerah kabupaten dan kota. Perizinan usaha untuk wilayah kota di dominasi oleh Indonesia Barat, baik nilai indeks tertinggi maupun terendah. Sementara itu, untuk wilayah kabupaten, nilai indeks perizinan usaha tertinggi maupun terendah di dominasi oleh wilayah Indonesia Timur. Dua dari tiga kabupaten dengan nilai indeks tergolong tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Selatan, sedangkan dua kabupaten dengan nilai indeks terendah dari 120 kabupaten berada di Provinsi NTB dan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Indeks indikator peraturan daerah (PD) di Indonesia memiliki skor rataan tertinggi yaitu sebesar 81, menunjukkan bahwa peraturan di daerah-daerah berpihak kepada pelaku usaha sehingga akan mampu mengembangkan perekonomian karena meluasnya perdagangan dan akses pasar. Skor peraturan daerah untuk wilayah kabupaten di Indonesia Barat lebih baik daripada wilayah kabupaten di Indonesia Timur, dimana dua dari tiga kabupaten dengan nilai indeks tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Barat dan Sumatera Barat. Sedangkan empat kabupaten dengan nilai indeks terendah tersebar merata di Provinsi Kalimantan Selatan dan Maluku Utara. Di wilayah Indonesia Barat, tepatnya di Provinsi Sumatera Barat merupakan daerah yang istimewa karena memiliki nilai indeks peraturan daerah yang tinggi dari tiga peringkat tertinggi, baik di kabupaten maupun kotanya. Selisih nilai indeks peraturan daerah antara kabupaten dan kota hanya sebesar 3 skor, menunjukkan terjadi kesenjangan yang

(24)

14

rendah mengenai kesesuaian peraturan daerah kabupaten dan kota dengan ketentuan peraturan pemerintah pusat.

Rataan indeks indikator biaya transaksi (BT) yang tinggi dengan rataan skor sebesar 77, menunjukkan bahwa biaya transaksi seperti pajak, retribusi dan biaya transaksi lainnya tidak menjadi penghambat bagi kegiatan usaha di daerah. Semakin tinggi nilai indeks biaya transaksi maka akan semakin murah pembayaran transaksi di daerah tersebut. Kesenjangan indikator biaya transaksi antara daerah kabupaten dan kota merupakan yang paling tinggi daripada indikator lain, yaitu sebesar 11 skor mengenai tingkat hambatan retribusi daerah, dan tingkat pembayaran donasi terhadap pemda. Dari 120 kabupaten, sebanyak tiga kabupaten di Indonesia Timur memiliki indeks biaya transaksi tertinggi yang tersebar di Provinsi Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, dan NTT. Sementara itu, untuk wilayah kota dari lima kota dengan nilai indeks tertinggi , mayoritas (80 %) berada di Indonesia Barat dengan urutan Provinsi Sumatera Barat sebanyak dua kota, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan nilai indeks biaya transaksi terendah berada di wilayah kabupaten maupun kota di Indonesia Barat. Dua kabupaten dengan nilai indeks biaya transaksi terendah berada di Provinsi Banten. Sementara sebanyak 75 % dari empat kota terendah berada di Provinsi Banten.

Dari penjelasan tersebut, menunjukkan bahwa kabupaten dan kota di Provinsi Banten memiliki nilai indeks biaya transaksi terendah yang berarti biayanya berkategori tertinggi. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Provinsi Banten untuk memperbaiki nilai indeks biaya transaksi, karena Provinsi Banten merupakan salah satu daerah industri besar di Indonesia yang seharusnya biaya transaksinya lebih murah daripada di daerah lain.

Kapasitas dan integritas kepala daerah (KIP) di wilayah kabupaten Indonesia Timur lebih baik daripada wilayah kabupaten di Indonesia Barat, sebanyak lima kabupaten peringkat nilai indeks tertinggi tersebar di Provinsi Papua Barat (3 kabupaten), NTB, dan Sulawesi Barat. Sementara mayoritas 80 % dari lima kabupaten dengan nilai indeks terendah tersebar di Provinsi Jambi (2 kabupaten), Kalimantan Tengah, dan Jawa Timur. Indeks indikator kapasitas dan integritas kepala daerah di Indonesia memiliki rataan skor sebesar 50 yang tergolong rendah karena berada di bawah skor 60, menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah belum dilaksanakan secara efektif oleh kepala daerah. Kepala daerah seharusnya jujur dan berkapasitas sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor dan akan memunculkan peluang besar akan menjalankan kebijakan yang ramah terhadap investasi. Berdasarkan data yang diperoleh, wilayah kabupaten maupun kota di Indonesia Barat, yaitu tepatnya di Provinsi Jawa Timur dan Jambi memiliki nilai indeks kapasitas dan integritas kepala daerah terendah. Selain itu, di Provinsi Kalimantan Tengah terjadi kesenjangan antara nilai indeks kapasitas dan integritas kepala daerah di kabupaten dan kota. Sehingga hal ini perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Jambi, dan Jawa Timur untuk lebih meningkatkan nilai indeks indikator kapasitas dan integritas kepala daerahnya.

Kabupaten dan kota di Indonesia Barat memiliki nilai indeks interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha (IPP) terendah. Dari sembilan kabupaten terendah, sebanyak 66.67 % berada di Provinsi Kalimantan Tengah (3 kabupaten) diikuti Provinsi Jambi (2 kabupaten), dan Provinsi Bengkulu. Demikian juga

(25)

15 untuk wilayah kota, lima peringkat dengan nilai indeks terendah berada di Provinsi Banten (3 kota), Jawa Timur, dan Jambi. Terlihat bahwa kabupaten maupun kota di Provinsi Jambi memiliki nilai indeks indikator interaksi pemda dengan pelaku usaha yang rendah, sehingga Pemerintah Provinsi Jambi perlu memberi perhatian untuk meningkatkan nilai indikator tersebut di daerahnya. Skor rataan indikator interaksi pemda dengan pelaku usaha di Indonesia adalah sebesar 50. Selisih rataan nilai indeks kabupaten dan kota hanya sebesar 1 skor menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan yang rendah antara wilayah kabupaten dan kota untuk urusan tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda, tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah, dan tingkat kebijakan pemda terhadap peningkatan iklim investasi. Kebijakan dan investasi oleh pemda yang belum sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha akan mengakibatkan kegiatan usaha tidak dapat tumbuh dengan baik.

Indonesia Barat khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah yang tergolong istimewa, karena baik di kabupaten maupun kotanya memiliki nilai indeks keamanan dan penyelesaian konflik (KPK) yang tinggi. Provinsi Kalimantan Tengah menempati peringkat kedua setelah Provinsi Jambi untuk nilai indeks keamanan dan penyelesaian konflik tertinggi. Sementara untuk wilayah kota, Provinsi Kalimantan Tengah menempati peringkat pertama dengan nilai indeks tertinggi. Indikator keamanan dan penyelesaian konflik di Indonesia memiliki rataan skor sebesar 65 yang tergolong sedang. Demikian juga dengan kesenjangan yang sedang antara wilayah kota dan kabupaten karena selisih rataan nilai indeksnya sebesar empat skor. Indeks keamanan dan penyelesaian konflik menunjukkan tingkat kejadian pencurian di tempat usaha, kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, sering terjadinya demonstrasi buruh, dan tingkat hambatan terhadap kinerja perusahaan.

Pada Tabel 2, terlihat bahwa nilai tertinggi maupun nilai terendah berbagai indeks TKED tersebar cukup merata antara wilayah kabupaten di Indonesia Barat dengan Indonesia Timur. Untuk wilayah kota, nilai indeks TKED tertinggi mayoritas sebanyak 86 % berada di wilayah Indonesia Barat yang sebagian berada di Provinsi Sumatera Barat dan sebagian sisanya menyebar di Provinsi Kalimantan Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan wilayah kota di Indonesia Barat khususnya Provinsi Banten merupakan daerah dengan nilai indeks TKED terendah karena dari tujuh indikator TKED terendah tersebut, lima diantaranya berada di Provinsi Banten. Rataan indeks TKED di Indonesia memiliki rataan skor sebesar 63 yang tergolong sedang. Skor rata-rata TKED untuk wilayah kabupaten adalah sebesar 64 skor, dan untuk wilayah kota sebesar 63 skor.

Selisih rataan nilai indeks TKED antara kabupaten dan kota hanya sebesar 1 skor yang menunjukkan tidak terjadi kesenjangan penampilan indeks TKED antara kabupaten dengan wilayah kota. Dengan demikian secara keseluruhan masih perlu banyak perbaikan di lapang untuk meningkatkan nilai indeks indikator TKED. Perbaikan ini terutama disarankan untuk Pemerintah Provinsi Banten yang daerahnya tergolong memiliki nilai terendah untuk berbagai nilai indeks indikator TKED.

(26)

16

Pengaruh TKED Terhadap Tingkat Pengangguran Di Indonesia

Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk menganalisis keterkaitan hubungan antara Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) dengan tingkat pengangguran kabupaten dan kota di Indonesia. Estimasi koefisien regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Analisis regresi berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel tak bebas) yang merupakan akibat. Pada model pertama yang diteliti adalah pengaruh TKED, investasi, belanja modal, dan dummy daerah terhadap tingkat pengangguran.

Variabel TKED yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gabungan dari tujuh variabel TKED (infrastruktur daerah, perizinan usaha, peraturan daerah, biaya transaksi, kapasitas integritas kepala daerah, interaksi Pemda dengan pelaku usaha, dan keamanan serta penyelesaian konflik). Model yang baik harus memenuhi asumsi klasik yaitu model yang terbebas dari masalah mutikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas serta didasarkan pada asumsi bahwa faktor-faktor residual menyebar secara normal.

Tahap uji asumsi klasik yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Autokorelasi

Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson (DW) sebesar 1.846 dengan dL sebesar 1.64129 dan dU sebesar 1.79581. Maka nilai dU (1.7958) < DW (1.846) < 4-dU (2.2042), sehingga model ini tidak memiliki masalah autokorelasi.

2. Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel independent. Berdasarkan hasil analisis di lampiran terlihat bahwa seluruh variabel dependent dan independent memiliki nilai VIF kurang dari 5, sehingga tidak ada masalah multikolinearitas pada model ini.

3. Heteroskedastisitas

Masalah heteroskedastisitas ini diatasi dengan menggunakan uji glejser. Hasil pada lampiran menunjukkan bahwa p-value (0.178) lebih besar daripada taraf nyata 5 %, sehingga tidak ada masalah heteroskedastisitas pada model ini.

4. Normalitas

Masalah normalitas ini di uji menggunakan One-Sample Kolomogrov-Smirnov Test, hasil analisis pada lampiran menunjukkan bahwa p-value (0.087) lebih besar dari taraf nyata 5 %, sehingga model ini terdistribusi normal.

Dari hasil uji asumsi klasik diatas, menyatakan bahwa model terbebas dari masalah asumsi klasik sehingga model bersifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) dan dapat digunakan dalam penelitian.

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 3, diperoleh nilai R2 sebesar 0.898. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman tingkat pengangguran dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 89.8 %, sedangkan sisanya sebesar 10.2 % dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang signifikan yaitu pada

(27)

17 tingkat taraf nyata 5 %, yaitu sebesar 0.000 yang berarti masing-masing variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Terdapat tiga variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat pengangguran, yaitu variabel investasi, belanja modal, dan TKED. Sedangkan variabel dummy daerah tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran, menunjukkan bahwa pengaruh dari TKED, investasi dan belanja modal terhadap tingkat pengangguran antara kabupaten dan kota di Indonesia tidak berbeda secara nyata.

Tabel 3 Hasil estimasi pengaruh TKED terhadap tingkat pengangguran

Variabel Koefisien Probabilitas

Konstanta Ln Investasi Ln Belanja Modal Ln TKED Dummy Daerah 6.927 - 0.223 - 0.097 - 0.274 0.018 0.000 *** 0.000 *** 0.021 *** 0.084 *** 0.662 ,** S = 0.17318 R-Sq = 0.898 R-Sq (adj) = 0.895 Keterangan :

*) : Signifikan pada taraf nyata 10 % **) : Signifikan pada taraf nyata 5 % ***) : Signifikan pada taraf nyata 1 %

Variabel investasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran, dengan nilai elastisitas sebesar 0.223. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peningkatan investasi sebesar 1 % maka dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.223 %, asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian pertama yang menyebutkan bahwa investasi berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Investasi yang meningkat menandakan adanya peningkatan terhadap kegiatan penanaman modal Oleh karena itu, kegiatan penanaman modal ini akan banyak membutuhkan input-input produksi diantaranya adalah tenaga kerja, Sehingga penggunaan atau penyerapan terhadap tenaga kerja menjadi meningkat. Kondisi meningkatnya penyerapan tenaga kerja akan menurunkan tingkat pengangguran. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mega (2014) yang menyatakan bahwa semakin banyaknya investasi di daerah, maka menunjukkan banyaknya lapangan kerja yang tersedia. Hal tersebut yang akan membuat banyaknya penyerapan tenaga kerja dan dapat signifikan menurunkan tingkat pengangguran di Jawa Timur pada tahun 2011. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulhanafi (2013), yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat pengangguran dan investasi.

Variabel belanja modal dalam penelitian ini adalah salah satu variabel pengeluaran pemerintah untuk berinvestasi dalam hal barang-barang modal. Berdasarkan hasil estimasi, belanja model berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran dengan nilai elastisitas sebesar 0,097. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal sebesar 1 % maka dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.097 %, asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian kedua yang menyebutkan bahwa belanja modal berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Dengan adanya belanja modal maka akan ada pembangunan baru yang akan membutuhkan tenaga

(28)

18

kerja lebih banyak sehingga akan mampu menurunkan tingkat pengangguran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mega (2014) yang menyatakan bahwa tingginya realisasi belanja modal dimana menurut BPS Indonesia belanja modal yang digunakan untuk pembangunan aset tetap berwujud dengan nilai manfaat lebih dari setahun. Aset lebih dari setahun diantaranya adalah kontruksi jalan, jembatan dan jaringan air. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori Keynes, bahwa perekonomian selalu menghadapi masalah pengangguran dan campur tangan pemerintah yang aktif dalam perekonomian akan membantu masalah ini. Salah bentuk campur tangan yang dapat dilakukan adalah dengan menjalankan kebijakan fiskal yang ekspansif melalui penambahan pengeluaran pemerintah (Government Expenditure).

Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) berpengaruh negatif dan signifian dengan nilai elastisitas sebesar 0.274. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin meningkatnya nilai TKED sebesar 1 % maka dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.274 %, asumsi cateris paribus. Meningkatnya nilai TKED berarti semakin bertambah baik tata kelola ekonomi suatu daerah, maka akan menghasilkan iklim investasi yang semakin baik sehingga dengan iklim investasi yang baik maka akan terjadi pembangunan-pembangunan infrastruktur yang nantinya akan membutuhkan tenaga kerja yang efektif akan menurunkan tingkat pengangguran. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian ketiga yang menyebutkan bahwa TKED merefleksikan kualitas investasi di suatu daerah, sehingga berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan tujuan dilakukannya survei TKED oleh KPPOD, yaitu untuk mendorong kompetisi antar daerah dan untuk menekankan pentingnya iklim investasi daerah di era desentralisasi yang akhirnya akan mampu menciptakan pembangunan ekonomi daerah dengan terciptanya investasi di daerah sehingga akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang akan mengurangi tingkat pengangguran. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulhanafi (2013), bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi, apabila pertumbuhan ekonomi meningkat berarti telah terjadi kenaikan terhadap produksi barang dan jasa karena kenaikan produksi barang dan jasa akan menyebabkan kenaikan terhadap faktor-faktor produksi salah satunya adalah tenaga kerja. Kenaikan permintaan terhadap tenaga kerja ini akan berakibat terhadap menurunnya tingkat pengangguran.

Pengaruh Indikator TKED Terhadap Tingkat Pengangguran Di Indonesia

Pada model kedua yang diteliti adalah pengaruh investasi, belanja modal, infrastruktur daerah, perizinan usaha, peraturan daerah, biaya transaksi, kapasitas integritas kepala daerah, interaksi pemda dengan pelaku usaha, keamanan serta penyelesaian konflik, dan dummy daerah terhadap tingkat pengangguran. Model yang baik harus memenuhi asumsi klasik yaitu model yang terbebas dari masalah mutikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas serta didasarkan pada asumsi bahwa faktor-faktor residual menyebar secara normal.

(29)

19

1. Autokorelasi

Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson (DW) sebesar 1.876 dengan dL sebesar 1.54442 dan dU sebesar 1.89782. Maka nilai statistik Durbin Watson berada di antara dU dan dL sehingga menunjukkan tidak ada kesimpulan pelanggaran autokorelasi pada model.

2. Multikolinearitas

Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel independent. Berdasarkan hasil analisis di lampiran terlihat bahwa seluruh variabel dependent dan independent memiliki nilai VIF kurang dari 5, sehingga tidak ada masalah multikolinearitas pada model ini.

3. Heteroskedastisitas

Masalah heteroskedastisitas ini diatasi dengan menggunakan uji glejser. Hasil pada lampiran menunjukkan bahwa p-value (0.715) lebih besar daripada taraf nyata 5 %, sehingga tidak ada masalah heteroskedastisitas pada model ini.

4. Normalitas

Masalah normalitas ini di uji menggunakan One-Sample Kolomogrov-Smirnov Test, hasil analisis pada lampiran menunjukkan bahwa p-value (0.029) lebih besar dari taraf nyata 1 %, sehingga model ini terdistribusi dengan normal.

Dari hasil uji asumsi klasik diatas, menyatakan bahwa model terbebas dari masalah asumsi klasik sehingga model bersifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) dan dapat digunakan dalam penelitian.

Tabel 4 Hasil estimasi pengaruh indikator TKED terhadap pengangguran di Indonesia

Variabel Koefisien Probabilitas

Konstanta Ln Investasi Ln Belanja Modal Ln Infrastruktur Daerah Ln Perizinan Usaha Ln Peraturan Daerah Ln Biaya Transaksi

Ln Kapasitan dan Integritas Kepala Daerah

Ln Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha Ln Keamanan dan Penyelesaian Konflik

Dummy Daerah 7.030 - 0.223 - 0.098 - 0.146 - 0.074 - 0.147 - 0.062 0.058 0.022 - 0.059 0.019 0.000*** 0.000*** 0.022*** 0.086 *,* 0.598 .* 0.092 *,* 0.573 * 0.481 ** 0.823 ** 0.479 ** 0.647 ** S = 0.17324 R-Sq = 0.902 R-Sq (adj) = 0.895 Keterangan :

*) : Signifikan pada taraf nyata 10 % **) : Signifikan pada taraf nyata 5 % ***) : Signifikan pada taraf nyata 1 %

Berdasarkan hasil estimasi di Tabel 4, diperoleh nilai R2 sebesar 0.902, hal ini menunjukkan bahwa keragaman tingkat pengangguran dapat dijelaskan oleh variabel bebas sebesar 90.2 %, sedangkan sisanya sebesar 9.8 % dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik yang signifikan yaitu pada tingkat

(30)

20

taraf nyata 5 %, yaitu sebesar 0.000 yang berarti masing-masing variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Terdapat empat variabel yang signifikan berpengaruh terhadap penurunan tingkat pengangguran, yaitu variabel investasi, belanja modal, infrastruktur daerah, dan peraturan daerah.

Variabel investasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran dengan nilai elastisitas sebesar 0.223. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peningkatan investasi sebesar 1 % maka dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.223 %, asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis pertama yang menyebutkan bahwa investasi berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Investasi yang meningkat menandakan adanya peningkatan terhadap kegiatan penanaman modal Oleh karena itu, kegiatan penanaman modal ini akan banyak membutuhkan input-input produksi diantaranya adalah tenaga kerja, Sehingga penggunaan atau penyerapan terhadap tenaga kerja menjadi meningkat. Kondisi meningkatnya penyerapan tenaga kerja akan menurunkan tingkat pengangguran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mega (2014) yang menyatakan bahwa semakin banyaknya investasi di daerah, maka menunjukkan banyaknya lapangan kerja yang tersedia. Hal tersebut yang akan membuat banyaknya penyerapan tenaga kerja dan dapat signifikan menurunkan tingkat pengangguran di Jawa Timur pada tahun 2011. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulhanafi (2013), yang menyatakan bahwa investasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Terdapatnya pengaruh yang signifikan antara tingkat pengangguran dan investasi mengindikasikan bahwasannya tingkat pengangguran dipengaruhi oleh investasi. Investasi yang meningkat menandakan adanya peningkatan terhadap kegiatan penanaman modal Oleh karena itu, kegiatan penanaman modal ini akan banyak membutuhkan input-input produksi diantaranya adalah tenaga kerja, Sehingga penggunaan atau penyerapan terhadap tenaga kerja menjadi meningkat, dan akan menurunkan tingkat pengangguran.

Variabel belanja modal berpengaruh negatif dan signifikan menurunkan tingkat pengangguran, dengan nilai elastisitas sebesar 0,099. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal sebesar 1 % maka dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0,099 %. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian kedua yang menyebutkan bahwa belanja modal berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Semakin meningkatnya belanja modal maka akan semakin menurunkan tingkat pengangguran, asumsi cateris paribus.

Variabel infrastruktur daerah berpengaruh negatif dan signifikan menurunkan tingkat pengangguran, dengan nilai elastisitas sebesar 0.158. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi infrastruktur sebesar 1 % dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.158 %, asumsi cateris paribus. Meningkatknya kuantitas maupun kualitas infrastruktur di daerah maka akan berdampak terhadap peningkatan produksi output. Output yang meningkat akan meningkatkan permintaan terhadap faktor-faktor produksi salah satunya adalah tenaga kerja. Dengan demikian keadaan seperti ini akan mendorong turunnya tingkat pengangguran. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian ketiga yang menyebutkan bahwa indikator TKED merefleksikan kualitas investasi di suatu daerah, sehingga berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran. Hal ini juga

(31)

21 sesuai dengan penelitian Santi (2010) yang menyatakan bahwa kualitas infrastruktur jalan dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan berpengaruh signifikan terhadap PMA dan PMDN di Jawa Timur yang akhirnya akan memengaruhi tingkat pengangguran. Selain itu, penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mega (2014) yang menyatakan bahwa, semakin cepat tanggapan dalam perbaikan infrastruktur yang mengalami kerusakan akan membuat output yang dihasilkan perusahaan akan bertambah. Bertambahnya output dibutuhkan input diantaranya adalah jumlah tenaga kerja yang akan efektif menurunkan tingkat pengangguran.

Variabel peraturan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran, dengan nilai elastisitas sebesar 0.147. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin meningkatnya indeks peraturan daerah sebesar 1 % dapat menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.147 %, asumsi cateris paribus. Peraturan daerah dapat memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan daerah yang dapat digunakan untuk mendorong dan menciptakan insentif, serta mampu mengembangkan dunia usaha. Semakin baik peraturan suatu daerah maka akan dapat mengembangkan perekonomian daerahnya sehingga mampu untuk memperluas perdagangan dan akses terhadap pasar, sehingga akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang akan menurunkan tingkat pengangguran. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis penelitian ketiga yang menyebutkan bahwa indikator TKED merefleksikan kualitas investasi di suatu daerah, sehingga berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) terhadap tingkat pengangguran di Indonesia, dapat disimpulkan berbagai hal, sebagai berikut :

1. Nilai indeks indikator infrastruktur daerah, perizinan usaha, peraturan daerah, dan keamanan serta penyelesaian konflik untuk wilayah kabupaten Indonesia Barat lebih baik daripada Indonesia Timur. Sedangkan untuk nilai indeks indikator kapasitas serta integritas kepala daerah, dan interaksi pemda dengan pelaku usaha lebih baik di Indonesia Timur. Nilai indeks infrastruktur tertinggi baik di kota maupun kabupaten berada di Provinsi Jawa Timur. Nilai indeks indikator peraturan daerah tertinggi berada di Provinsi Sumatera Barat baik wilayah kabupaten maupun kota. Nilai indeks biaya transaksi terendah berada di wilayah kabupaten dan kota Provinsi Banten. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki nilai indeks indikator keamanan dan penyelesaian konflik tertinggi untuk kabupaten maupun kota. Nilai rataan indeks TKED kabupaten adalah 64 skor, sementara nilai rataan indeks TKED kota adalah 63 skor.

2. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda maka dipilih model pertama untuk menduga besarnya tingkat pengangguran di Indonesia menggunakan empat variabel, dimana variabel investasi, belanja modal, dan TKED

Gambar

Tabel 1   Penelitian terdahulu
Gambar 2  Kerangka pemikirian
Tabel 2   Indeks TKED di kabupaten dan kota Indonesia (skor)

Referensi

Dokumen terkait

Maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak yang berarti diterdapat pengaruh yang signifikan dari Legislatif terhadap Tata kelola pemerintah daerah pada

Penerapan digital teknologi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, merupakan wujud dari tujuan pemerintah untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik,

Khususnya saat mengkaji daerah-daerah dengan kondisi terbaik pada tahun 2007 dan 2011, pergerakan indeks tata kelola tertinggi yang berada di Indonesia bagian barat dapat

melalui keputusan tata kelola kota atau urban good governance.

Di dalam makalah ini, kami mengambil manfaat dari data set yang baru dari tata kelola ekonomi yang disediakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), untuk

Khususnya saat mengkaji daerah-daerah dengan kondisi terbaik pada tahun 2007 dan 2011, pergerakan indeks tata kelola tertinggi yang berada di Indonesia bagian barat dapat diamati,

Sistem Digital Tata Kelola Pemerintahan Daerah Penerapan digital teknologi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, merupakan wujud dari tujuan pemerintah untuk menyelenggarakan

ten Sumber: BPS Provinsi Banten Dapat kita lihat dari data di atas terdapat persentase laju pertumbuhan ekonomi kota provinsi Banten dari tahun 2018- 2022, dapat kita lihat