• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PARETO EKONOMI KAWASAN HULU DAN HILIR BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PARETO EKONOMI KAWASAN HULU DAN HILIR BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 1 -

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan Puncak merupakan bagian dari Kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor. Kawasan Puncak secara nasional merupakan bagian dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur (Jabodetabekpunjur). Kawasan ini juga dikategorikan sebagai Kawasan Strategis Kabupaten yaitu wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup daerah pada aspek ekonomi dan lingkungan. Dalam RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, rencana pengelolaan kawasan strategis Puncak diarahkan untuk terselenggaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir.

Kawasan Puncak memiliki beragam fungsi strategis, antara lain sebagai kawasan lindung dan tata air, sumber plasma nutfah, kawasan penyangga dan budidaya pertanian dan non pertanian. Dikarenakan posisi geografis yang signifikan dari kawasan ini, kawasan Puncak juga dianggap sebagai kawasan hinter land yang menjaga kehidupan penduduk urban di sekitarnya seperti Depok, Bogor dan Ibukota negara DKI Jakarta. Eksistensi kawasan ini sangat diperhitungkan karena dampak permasalahan di dalamnya mempengaruhi kawasan-kawasan penting lainnya.

Selain itu kawasan ini memiliki keindahan alam dan udara yang sejuk karena didominasi oleh pegunungan dengan hamparan perkebunan teh yang terletak pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut sehingga menjadi andalan wisata Jawa Barat dan trade mark bagi Bangsa Indonesia di forum pariwisata internasional. Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional, Kawasan ini menjadi salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Beberapa keunggulan di atas, menjadikan kawasan ini memiliki daya tarik yang cukup tinggi sehingga banyak pihak yang memanfaatkannya tidak hanya sebagai alternatif tempat pariwisata untuk menikmati keindahan alam di akhir pekan, tetapi berubah menjadi keinginan untuk menguasai lahan dan tempat investasi, mulai dari investasi skala kecil hingga skala besar, sehingga jumlah penduduk di kawasan ini meningkat pesat dan membawa konsekuensi pada penggunaan lahan yang meningkat pula. Menurut sensus

(2)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 2 -

penduduk pada tahun 1980 dan 2000 terjadi peningkatan jumlah penduduk dari 5,7 menjadi 11,7 juta jiwa (Alihar, 2002).

Apalagi sejak tahun 1960, dengan terbukanya jalur intensif Jakarta-Bandung, perkembangan EKONOMI di kawasan ini sulit dikendalikan. Dominasi pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan telah menyebabkan perubahan perkembangan fisik dan ekonomi yang pesat dan terkadang destruktif terhadap ekologi. Kondisi ini mengakibatkan perubahan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan fungsi peruntukannya. Sebagai contoh, kawasan hutan, daerah pertanian, dan daerah resapan air telah berubah menjadi kawasan perumahan bahkan untuk industry dan pariwisata. Kegiatan ini mengindikasikan persoalan ekonomi lebih mendominasi aktivitas di kawasan puncak.

Akibat dari perubahan fungsi ini bermunculan persoalan-persoalan lingkungan yang memiliki dampak ekologis seperti banjir, erosi dan lain-lain, yang tidak saja terjadi di kawasan Puncak Kabupaten Bogor tapi juga pada kawasan-kawasan di sekitarnya. Persoalan ekologis pada kawasan hilir secara ekonomi merugikan atau menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat bagian hilir.

Sumber: Rustiadi, et. al., 2014.

Selanjutnya jika kita lihat berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan di kawasan puncak, untuk wilayah Megamendung, Cisarua dan wilayah Ciawi bagian selatan diklasifikasikan pada kelas VII artinya ialah lahan pada klasifikasi ini tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas VIII dapat berupa: (1) terletak pada lereng yang sangat

Gambar 1.1

(3)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 3 -

curam (>65 persen), atau (2) berbatu atau kerikil (lebih dari 90 persen volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90 persen permukaan lahan tertutup batuan), dan (3) kapasitas menahan air sangat rendah. Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu terungkap, dan pantai pasir.

Sumber: Rustiadi, et. al., 2014.

Gambar 1.3. Kemampuan Lahan Wilayah Sub-DAS Ciliwung

Selanjutnya pada wilayah Ciawi bagian utara diklasifikasikan pada kelas IV artinya ialah wilayah ini merupakan lahan dengan ciri tanah terletak pada wilayah yang miring sekitar 12 – 30 persen, dengan system pengairan yang buruk. Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam. Jika kita bandingkan dengan Gambar 2 di atas, dari peta existing penggunaan lahan Sub DAS Ciliwung Tahun 2012 lahan pada klasifikasi ini telah dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kawasan pemukiman/villa, padahal hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV ini sangat beresiko tinggi bila dimanfaatkan sebagai pemukiman. Ancaman kerusakan tanah pada wilayah klasifikasi ini salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng yang miring atau berbukit ( lebih

(4)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 4 -

dari 15% – 30%), (2) kepekaan erosi yang sangat tinggi, (3) pengaruh bekas erosi yang agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk), (8) terdapat banyak kerikil atau batuan di permukaan tanah, (9) salinitas atau kandungan Natrium yang tinggi (pengaruhnya hebat), dan/atau (10) keadaan iklim yang kurang menguntungkan (Gambar 1.3). Sehingga selain keberadaan pemukiman/villa-villa ini telah melanggar Rencana Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor juga dikarenakan pembangunan pemukiman/villa tersebut sangat beresiko atas bencana longsor.

Sumber: Andono, 2014.

Gambar 1.4. Sebaran Lokasi Pendirian Ressort di Gunung Gede Pangrango

Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ini adalah memperketat aturan main (perundang-undangan) di Kawasan Puncak. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2008 tentang penataan ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur merupakan ketentuan yang memuat gambaran pengaruh kesadaran lingkungan pada pembangunan di kawasan ini. Sebelumnya telah diterbitkan PP nomor 13/1963, Keppres 48/1983, Keppres nomor 79/1985, PP nomor 47/1997, dan Keppres 114/1999 yang kemudian peraturan ini dijadikan sebagai landasan operasional penataan di Kawasan Puncak, namun semuanya dianggap tidak relevan dengan dinamika pembangunan di lapangan, karena peraturan yang ada tidak menggambarkan kondisi rill di lapangan.

(5)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 5 -

Di samping hal-hal di atas, pengelolaan di Kawasan Puncak semakin kompleks dikarenakan sifat kepemilikan lahan yang dikuasai secara turun temurun yaitu sebagai tanah adat, yang memiliki kelemahan dalam kontrol penggunaannya. Dewasa ini, kepemilikan lahan secara adat dikarenakan alasan ekonomi dialihkan kepada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan keuangan. Mutasi kepemilikan ini menyebabkan pemerintah sulit menghentikan pihak yang menguasai lahan tersebut dalam merubah lahan milik mereka menjadi perumahan (pemukiman) dan industri dikarenakan peruntukannya lebih menguntungkan secara ekonomi (Barlowe, 1986).

Interdependensi dalam penggunaan sumberdaya alam berupa lahan tidak hanya menjadi masalah individu. Lahan-lahan milik negara pun memiliki konsekuensi terjadinya perubahan fungsi lahan karena berbagai kepentingan sektor-sektor pembangunan lainnya dalam kepemilikan (ownership) lahan yang telah ada. Fenomena ekonomi yang terjadi menjadi semakin besar dan sangat massif tanpa solusi.

Berdasarkan ekuilibrium dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat Puncak sebagai kawasan hulu (OA) dengan masyarakat Jakarta dan sekitarnya di bagian Hilir (OB), terjadi pada titik dimana keduanya optimal dengan tidak ada lagi yang dirugikan ketika pihak lain diuntungkan.

1.2 Perumusan Masalah

Kawasan pariwisata Puncak yang memiliki luas 18.352,89 Ha terdiri dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Ciawi, yang semula peruntukannya adalah sebagai kawasan non budidaya, diperuntukkan bagi pengaturan air, pencegahan erosi dan banjir, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah. Akan tetapi, pada saat ini cenderung menjadi kawasan dengan fungsi pengembangan perkotaan, dengan meningkatnya berbagai macam pembangunan.

Sumber: Rustiadi, et. al., 2014.

Gambar 1.5. Tingkat Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Puncak

(6)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 6 -

Pesatnya pembangunan di kawasan ini menyebabkan berkurangnya kawasan hutan lindung dan meningkatnya luas kawasan lahan kritis. Perkembangannya, kawasan-kawasan ini mengalami perubahan fungsi lahan yang mengarah pada perusakan lingkungan yang berdampak secara ekologis seperti banjir, erosi dan lain-lain, yang tidak saja terjadi di kawasan Puncak Kabupaten Bogor tapi juga pada kawasan-kawasan di sekitarnya.

Sumber: Rustiadi, et. al., 2014

Gambar 1.6. Evaluasi Fisik Lahan, Landuse (2012) dan Rencana Pola Ruang dalam RTRW

DAS Ciliwung adalah pertahanan terakhir kota penyangga, karena dari enam DAS yang ada di Kabupaten Bogor, DAS Ciliwung yang memiliki tutupan hutan seluas 3.565 ha. Kondisi DAS Ciliwung berdasarkan hasil penelitian dari P4W menyebutkan bahwa kini terjadi penurunan daya dukung sungai di kawasan Puncak, hal ini dikarenakan adanya penyimpangan bangunan terbangun di dalam tata ruang yang bukan peruntukannya. Jika tutupan lahan yang ada di Kawasan Puncak semakin berkurang maka sudah bisa diperhitungkan dampaknya bagi Jakarta. Banjir dan longsor selama beberapa tahun terakhir akan terus terjadi dari siklus lima tahunan kini bergeser menjadi siklus dua tahunan.

Meskipun aturan hukum telah tersedia, permasalahan-permasalahan di kawasan Puncak belum dapat terselesaikan. Permasalahan-permasalahan EKONOMI KESEJAHTERAAN dalam upaya mempertahankan fungsi Kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur dengan fungsi kegiatan ekonomi wilayah, antara lain:

(7)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 7 -

1. Upaya Mempertahankan kawasan hutan sebagai system produksi secara ekonomi kurang menghasilkan income bagi masyarakat petani dan pemilik lahan.

2. Rendahnya produktivitas ekonomi kawasan menyebabkan mayarakat dan pemilik lahan beralih menjadikaan kawasan gopuncjur, menjadi kawasan ekonomi bernilai tinggi yakni pariwisata

3. Terdapat keseimbangan antara kegiatan pariwisata dengan kegiatan konservasi pada titik dimana kegiatan ekonomi lebih banyak menghasilkan income sedangkan pada kegiatan konservasi menjadi marginal

4. Secara perlahan alih fungsi lahan dari sector konservasi ke sector ekonomi terutama jasa pariwisata menyebabkan pergeseran fungsi kawasan dan akhirnya berakibat pada semakin banyaknya kebencaaan terutama banjir di kawasan hilir.

5. Kondisi demikian meneyebabkan secara ekonomi terdapat kerugian masyarakat di bagian hilir akibat pergeseran aktivitas masyarakat di bagian hulu

Dalam kasus Kawasan Puncak di sini terjadi Dilematis Pengembangan Ekonomi

Wilayah dilihat dari sisi Ekonomi Kesejahteraan, yang terjadi pada sisi kegiatan kawasan

konservasi dan kegiatan ekonomi. Dilematis yang terjadi di kawasan tersebut bukan akibat kemiskinan warga setempat sehingga lapar akan lahan, melainkan akibat keserakahan kelompok masyarakat elite dan konflik tata kelola kelembagaan. Konflik tata kelola, yang berarti ada pada pemerintah, terutama terjadi pada kawasan yang dikelola dan kewenangan utamanya ada pada pemerintah pusat, yakni pada kawasan hutan dan kawasan perkebunan teh.

Kawasan Puncak telah menjadi etalase kemewahan kelompok elite kota, dengan vila-vila atau perumahan mewahnya, yang mempertontonkan pelanggaran yang secara jelas, di atas penderitaan dan musibah yang menimpa masyarakat luas. Inkonsistensi ini harus segera diakhiri, pembongkaran villa-villa baru-baru ini belum cukup untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran yang terjadi dalam konteks keekonomian wilayah. Dua kutub dilemma sangat menyulitkan pengambilan kebijakan oleh pemerintah antara harus mengembalikan fungsi lahan tersebut sebagai lahan konservasi dan kedua tetap mempertahankan aktivitas ekonomi untuk keberlanjutan kesejahteraan kawasan tersebut namun disisi lain mengurangi kesejahteraan masyarakat di kawasan hulu yang menderita kerugian akibat banjir sebagai hasil dari berkembangnnya kegiatan ekonomi di kawasan puncak.

(8)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 8 - 1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini ditulis dengan tujuan mengkaji dan menganalisis persoalan ekonomi wilayah antara Kawasan Puncak yang merepsentasikan kawasan hulu serta Kawasan Jakarta dan sekitarnya sebagai kawasan hilir. Ketidak seimbangan kesejahteraan yang tercipta akibat adanya 2 (dua) policy yakni mengembangkan kegiatan ekonomi atau konservasi di kawasan puncak.

(9)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 9 -

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ekonomi Kawasan Puncak sebagai Fenomena Ekonomi Kesejahteraan

Gareth Hardin dalam artikelnya di Science (1968) menyebutkan peristiwa degradasi sumberdaya alam akibat eksploitasi berlebihan. Ketika sumberdaya alam yang terbatas jumlahnya, dimanfaatkan oleh semua orang, maka setiap individu memiliki rasionalitas dalam memanfaatkan sumberdaya secara intensif sehingga kelimpahan sumberdaya akan terus menurun dan pada akhirnya semua akan mengalami kerugian.

Dalam pandangan Hardin (1968) manusia sebagai pengguna sumberdaya memiliki sifat egois yang mengutamakan kepentingan ekonomi pribadinya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Masing-masing individu yang egois tersebut memiliki kemampuan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam, sehingga secara total laju eksploitasi melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk pulih kembali. Asumsi Hardin dalam tragedy of the

commons, komunitas masyarakat yang hidup dari pemanfaatan sumberdaya alam tidak

memiliki pranata sosial atau institusi yang efektif untuk menegakkan aturan dalam melindungi sumberdaya alam.

2.2 Tinjauan Teori

Ekonomi kesejahteraan mempelajari barbagai kondisi di mana cara penyelesaian dari model ekuilibium umum dapat dikatakan optimal. Hal ini memerlukan, antara lain, alokasi optimal factor produksi di antara komoditi dan alokasi optimal komoditi (yaitu distribusi pendapatan) diantar konsumen. Alokasi factor produksi dikatakan optimal Pareto jika proses produksi tidak dapat diatur lagi sedemikian rupa guna menaikkan output dari satu atau lebih komoditi tanpa harus mengurangi output komoditi lain. Dengan demikian, dalam perekonomian dua komoditi, kurva kontak produksi adalah tempat kedudukan alokasi factor produksi yang optimal Pareto dalam proses produksi kedua komoditi. Demikian pula alokasi komoditi dapat dikatakan optimal Pareto jika system distribusi tidak dapat diatur lagi sedemikian dalam perekonomian dua individu, kurva kontrak konsumsi adalah tempat kedudukan distribusi komoditi yang mencapai optimal Pareto antara dua individu.

(10)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 10 -

Gambar 2.1

Kondisi Pareto Optimal Antara Dua Barang Bagi Dua Individu

Kriteria Pareto

Kriteria Pareto menilai keinginan relative dari berbagai penggunaan sumberdaya. Kriteria ini merumuskan bahwa keuntungan masyarakat dan kesejahteraan sosial akan meningkat dengan adanya realokasi sumber daya sehingga semua individu memperoleh keuntungan atau tidak ada individu lainya yang berkurang kepuasannya. Kriteria Pareto merupakan dasar bagi suatu pengevaluasian efisiensi penggunaan sumber daya. Suatu alokasi sumber daya dikatakan efisien secara Pareto jika dalam upaya untuk menaikkan kepuasan bagi paling tidak satu orang anggota masyarakat akan memerlukan penurunan tingkat kepuasan paling tidak untuk satu orang anggota masyarakat lainnya.

Suatu perekonomian persaingan sempurna dapt menghasilkan alokasi sumber daya

yang bersifat Pareto-efisien. Ada 3 syarat untuk mencapai alokasi tersebut yaitu:

1. Efisien produksi: MRTS antar dua input harus sama untuk semua produsen yang menggunakan kedua input tersebut.

2. Efisiensi konsumsi: MRS antara setiap dua barang harus sama untuk semua konsumen yang menggunakan kedua brang tersebut.

3. MRT=MRS: MRT dalam produksi antar setiap dua barang harus sama dengan MRS dalam konsumsi diantara konsumen barang tersebut.

Ketiga syarat ini perlu untul efisiensi Pareto. Hal ini dapat dilihat dengan pengujian alokasi yang tidak memenuhi ketiga syarat ini.

(11)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 11 - 2.3 Model Ekonomi Kesejahteraan Kawasan Hulu dan Hilir

Fenomena Ekonomi dan Konservasi Kawasan Puncak, dimana pada saat terdapat masyarakat puncak membatasi penggunaan sumberdaya untuk kegiatan ekonomi yang berarti memperluas kegiatan konservasi berakibat menurunnya kesejahteraan mereka. Sedangkan Bagi masyarakat hilir seperti Jakarta dan sekitarnya ketika konservasi diperluas di kawasan puncak mereka akan mengalami peningkatan ekonomi atau kesejahteraan dan di Kawasan Puncak terjadi sebaliknya. Secara digramatis dapat dimodelkan sebagai berikut.

Kegiatan Ekonomi Tk. Kesejahteraan Masy.Jakarta dsk

Tk. Kesejahteraan Masy. Puncak Konservasi

Gambar 2.2

Kondisi Pareto Optimal Antara Dua Barang Bagi Dua Individu

1. Kurva di atas menunjukkan bahwa semakin besar kegiatan ekonomi, maka kesejahteraan masyarakat puncak menjadi semakin besar. Namun sebaliknya kesejahteraan masyarakat Jakarta dan sekitar nya menjadi semakin menurun. Hal yang sebaliknya terjadi dengan kegiatan konservasi. Terjadi hubungan tidak simetris antara kesejahteraan masyarakat puncak dan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. 2. Kurva Kontrak dapat terjadi optimal karena adanya intervensi pemerintah berupa

kebijakan yang mampu mengalokasikan sumberdaya ekonomi dan sumber daya konservasi/lingkungan yang berada dalam perspektif kesejahteraan antara masyarakat kawasan hulu dan kawasan hilir

3. Kawasan hulu dalam perspektif sumber daya alam merupakan common pool goods, sehingga pareto optimal tidak terjadi melalui makanisme pasar

(12)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 12 - 2.3 Model Hipotetik Pareto Ekonomi Kawasan Hulu dan Hilir

Ada Hubungan yang RECIPROCAL saling melemahkan antara kegiatan ekonomi dan konservasi masyarakat kawasan Hulu dengan masyarakat Kawasan Hilir.

(13)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 13 -

2.4 Alternatif Kebijakan

Menyusun Kebijakan Pembangunan Ekonomi Berbasis pada Keberimbangan antara Kawasan Hulu dan Hilir dalam hal:

 Perlu ada mekanisme konpensasi dari masyarakat hilir yang mensubsidi masyarakat di kawasan hulu

 Perlu ada mekanisme konpensasi antara kegiatan ekonomi dengan kegiatan konservasi  Perlu ada pengaturan keberimbangan ekonomi hulu dan hilir di tingkatan wilayah yang

lebih tinggi, sampai ke tingkat nasional

 Pemahaman Pareto Optimal mesti dilihat sebagai PROSES yang dituju dalam Jangka menengah hingga panjang dan bukan solusi jangka pendek, atau terjadi secara simultan dengan kebijakan yang diambil saat ini

KAWASAN HILIR 1. Kegiatan Ekonomi 2. Kegiatan Konservasi KAWASAN HULU 1. Kegiatan Ekonomi 2. Kegiatan Konservasi

(14)

Tugas Mata Kuliah Ekonomi Kesejahteraan - 14 -

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

1. Terjadi hubungan yang saling menegasikan antara kegiatan ekonomi dan konservasi, baik di kawasan hulu maupun kawasan hilir

2. Terjadi fenomena ekonomi kesejahteraan antara aktivitas masyarakat di kawasan hulu dan hilir

3. Semakin besar kegiatan ekonomi masyarakat di kawasan hulu, maka semakin besar penurunan kesejahteraan masyarakat hilir akibat eksternalitas kegiatan ekonomi di kawasan hulu

4. Semakin besar kegiatan konservasi di kawasan hulu, maka semakin rendah kesejahteraan masyarakat di kawasan hulu dan semakin besar keseahteraan masyarakat di kawasan hilir, karena tidak adanya eksternalitas kegiatan ekonomi

3.2 Saran

1. Ekulibrium kegiatan ekonomi dan kegiatan konservasi antara masyarakat kawasan hulu dan kawasan hilir, dapat dibentuk dari pengukuran ambang batas kesejahteraan masyarakat kawasan hulu dan kerugian pada masyarakat hilir sama-sama berada pada posisi dimana tidak ada lagi keseimbangan yang akan merugikan kelompok lain ketika ada penambahan kesejahteraan masyarakat lainnya.

2. Ekuilibrium kawasan hulu dan hilir terjadi dalam perspektif ekonomi dan konservasi yang berimbang

Gambar

Gambar 1.3.  Kemampuan Lahan Wilayah Sub-DAS Ciliwung
Gambar 1.4.  Sebaran Lokasi Pendirian Ressort di Gunung Gede Pangrango
Gambar 1.5.  Tingkat Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Puncak  2010
Gambar 1.6.  Evaluasi Fisik Lahan, Landuse (2012) dan Rencana Pola Ruang     dalam RTRW

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif sebagai metode untuk mengambil data selama penulis melakukan penelitian,

Berdasarkan hasil yang di peroleh berdasarkan tindakan sosial yang di lakukan pemuka agama Islam terhadap komunitas punk , diantara nya Pemuka agama Islam yang

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari dan mengakui bahwa banyak sekali kesulitan-kesulitan yang penulis temui, namun berkat ketekunan, kesabaran, serta atas

Untuk pertanyaan kedua dari karakteristik potensi pasar yang disampaikan adalah teknologi layanan online yang digunakan oleh responden, pada gambar 2, teknologi pasar

Segala puja dan puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan anugrahnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul

Hasil analisa kadar air nugget fungsional dari ikan cakalang diperoleh nilai dengan kisaran 30,91-33,45 % Hasil analisa sidik ragam terhadap kadar air nugget ikan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi teori belajar konstruktivisme dengan menggunakan model

Beberapa hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa pembelajaran bahasa Arab dengan menghidupkan suasana lingkungan merupakan cara yang tepat dan cepat dalam mencapai