• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. BAB I PENDAHULUAN. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. BAB I PENDAHULUAN. 1"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……… i

KATA PENGANTAR ………. ii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

BAB II LANDASAN TEORI

II.A DEFINISI PENYESUAIAN DIRI ………. 8 II.A.1 Aspek-aspek Penyesuaian Diri ………. 9 II.A.2 Teori-Teori Penyesuaian Diri ………... 11

II.B PENYESUAIAN DIRI TEHADAP PENSIUN

II.B.1 Tahap-tahap dalam Menghadapi Masa Pensiun ….. 11 II.B.2 Model Penyesuaian terhadap Pensiun ………. 13

II.B.3 Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

terhadap Pensiun ………... 16

BAB III KESIMPULAN ……… 18

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan yang berjudul “Pola Penyesuaian Diri pada Pensiunan” ini disusun karena penulis tertarik dengan masalah-masalah yang terjadi pada saat seseorang beranjak ke usia tua dan akhirnya pensiun.

Melalui tulisan ini dapat dilihat bahwa setiap manusia pasti akan menjadi tua. Pada saat itu, terjadi berbagai perubahan fisik dan psikologis. Kita harus melakukan penyesuaian terhadap perubahan tersebut, termasuk penyesuaian dalam menghadapi masa pensiun. Dalam tulisan ini juga dapat dilihat berbagai pola penyesuaian diri yang dilakukan dalam menghadapi masa pensiun tersebut.

Melalui tulisan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengabdikan ilmu yang dimiliki di lingkungan PS Psikologi FK USU. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dekan FK USU dan juga Ketua PS Psikologi FK USU yang telah memberikan banyak dukungan dan kemudahan kepda penulis untuk menjalankan tugas. Tidak lupa rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Iskandar Muda dan rekan-rekan staf pengajar PS PSikologi FK USU yang selalu mendorong penulis agar tulisan ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna. Oleh sebab itu penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang kiranya dapat membuat tulisan ini menjadi lebih baik. Akhir kata semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Medan, 5 Agustus 2006

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Kehidupan manusia pasti akan mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan sendiri pada dasarnya melibatkan pertumbuhan, yang berarti bertambahnya usia, menjadi tua dan akhirnya meninggal. Tahapan terakhir dalam rentang kehidupan adalah usia lanjut. Usia lanjut merupakan periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Santrock, 2004).

Menurut Hurlock (1980) tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh, dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang. Sedangkan menurut Papalia (1998) usia madya atau paruh baya berkisar antara 40-65 tahun dan usia tua dimulai setelah 65 tahun.

Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Efek-efek fisik dan psikologis tersebut menentukan apakah pria atau wanita usia lanjut akan menyesuaikan diri dengan baik atau tidak.

Sebagian besar tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh orang berusia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang dari pada orang lain. Orang tua diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan kesehatan secara bertahap. Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan di dalam maupun di luar rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka saat masih muda dulu (Hurlock, 1980). Selain itu mereka juga harus menyesuaikan diri terhadap menurunnya fungsi indra seperti daya penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan sentuhan (Santrock, 2004).

Salah satu tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh orang-orang yang akan memasuki usia tua adalah mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Masa ini diawali oleh peristiwa dimana seseorang harus berhenti dari aktivitas bekerja secara formal yang disebabkan oleh bertambahnya usia. Kondisi ini menyebabkan adanya pergantian posisi yang

(5)

diduduki oleh karyawan yang memasuki batas usia pensiun dengan karyawan yang lebih muda untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas dari organisasi dimana mereka bekerja. Peristiwa inilah yang disebut pensiun (Sulistyorini, 2000).

Di Indonesia sendiri, batas usia pensiun bagi pegawai negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah yang berlaku yaitu usia 56 tahun (PP RI No. 32 tahun 1979 dalam Sulistyorini, 2000). Batas usia tersebut dapat melonggar menjadi 58, 60 atau 65 tahun apabila seseorang menduduki jabatan tertentu yang telah diatur dalam PP tersebut. Batas usia pensiun 56 tahun dimaksudkan pemerintah untuk memberi kesempatan bagi tenaga-tenaga muda untuk menempati kedudukan-kedudukan yang lebih bertanggung jawab (Djatmiko & Marsono, 1975 dalam Sulistyorini, 2000). Bagi pegawai negeri yang berstatus guru, usia pensiun adalah 60 tahun sedangkan untuk dosen adalah 65 tahun. Bagi anggota ABRI, batas usia untuk pensiun adalah 48 tahun untuk golongan Tamtama dan Bintara, sementara untuk golongan Perwira adalah 56 tahun (Sulistyorini, 2000).

Seseorang memutuskan untuk pensiun berdasarkan beberapa alasan, seperti bertambahnya usia, kebijakan perusahaan, atau keinginan sendiri. Menurut Price (2002), keputusan untuk pensiun didasarkan oleh beberapa hal, antara lain:

1.Keamanan finansial

Evaluasi mengenai keadaan keuangan seringkali menjadi faktor pertama yang diperhatikan ketika mengambil keputusan untuk pensiun. Beberapa orang memilih untuk pensiun bila dana pensiunnya telah tersedia, sedangkan yang lain memilih untuk terus bekerja karena merasa tidak mampu untuk pensiun.

2.Kondisi kesehatan

Menderita suatu penyakit secara signifikan mempengaruhi keputusan seseorang untuk pensiun. Individu yang sehat mungkin memutuskan untuk pensiun supaya dapat menyalurkan hobi atau melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya sebelum terganggu oleh masalah kesehatan.

(6)

3.Tanggung jawab keluarga

Keputusan untuk pensiun didasari oleh kebutuhan anggota keluarga, misalnya cucu atau orang tua yang memerlukan perawatan. Berdasarkan alasan ini yang lebih memungkinkan untuk pensiun adalah wanita.

4.Waktu pensiun pasangan

Pensiun pada masa ini lebih menjadi pengalaman bersama daripada masa dulu karena lebih banyak wanita yang bekerja di luar rumah. Wanita lebih mungkin memutuskan untuk pensiun sejalan dengan pensiun suaminya.

Schwartz (dalam Hurlock, 1980) berpendapat bahwa pensiun merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup yang baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan, nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu. Apa yang dilakukan seseorang dalam hidupnya merupakan hal yang penting bagi identitas mereka, apabila mereka kehilangan pekerjaan, maka aspek kehidupan tersebut akan menimbulkan masalah, dimana seseorang melabel dirinya dengan hal selain istilah pensiun (Kail & Cavanaugh, 1999). Studi-studi tentang pensiun memperlihatkan bahwa pensiun dapat menimbulkan dampak yang baik pada sebagian individu, dan juga dampak yang buruk bagi yang lainnya (Sulistyorini, 2000).

Pensiun dapat berupa sukarela atau kewajiban yang terjadi secara reguler atau lebih awal. Beberapa pekerja menjalani pensiun secara sukarela sebelum tiba masa pensiun wajib bagi mereka. Hal ini biasanya disebabkan karena masalah kesehatan atau keinginan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan melakukan hal-hal yang lebih berarti daripada pekerjaannya. Bagi yang lain, pensiun dilakukan karena terpaksa atau wajib, karena organisasi dimana mereka bekerja menetapkan batasan usia untuk pensiun, tanpa mempertimbagkan apakah karyawannya senang atau tidak. Bagi mereka yang lebih suka bekerja tapi terpaksa pensiun sering menunjukkan kebencian dan akibatnya motivasi untuk melakukan penyesuaian diri terhadap pensiun sangat rendah (Hurlock, 1980).

Sikap seseorang terhadap pensiun mempunyai pengaruh besar terhadap penyesuaian. Sikap ini bervariasi dari sikap yang senang karena merasa akan bebas dari tugas

(7)

dan tanggung jawab sampai pada sikap yang gelisah karena memikirkan sesuatu yang akan dilepaskan, padahal sesuatu itu sangat berarti, yaitu pekerjaan (Hurlock, 1980).

Individu yang penyesuaian dirinya baik dalam menghadapi masa pensiun memiliki kesehatan yang baik, posisi keuangan yang baik, aktif di lingkungan sosial, tingkat pendidikan lebih baik, hubungan sosial dengan teman-teman dan keluarga baik, dan sangat puas dengan masa pensiunnya. (Gall, Evans & Howard, 1997; Moen & Quick, 1998; Palmore & Others, 1985). Sedangkan individu yang pendapatannya rendah dan kesehatannya buruk serta harus menyesuaikan diri pada masalah-masalah lain yang dapat memunculkan stress, misalnya kematian pasangan, akan lebih sulit menyesuaikan diri (Zarit & Knight, dalam Santrock 2004).

Individu yang memandang rencana pensiun hanya pada masalah keuangan tidak akan beradaptasi sebaik individu yang memiliki rencana pensiun yang seimbang (Birren, 1996). Sebaiknya orang yang memasuki masa pensiun tidak hanya merencanakan masalah keuangan, tapi masalah-masalah lainnya yang berkaitan dengan semua aspek kehidupannya. Misalnya apa yang akan dilakukan untuk mengisi waktu luang untuk tetap aktif dan untuk bersosialisasi (Choi, dalam Santrock 2004). Individu yang pensiun karena terpaksa biasanya lebih mudah sakit, depresi dan penyesuaian dirinya buruk daripada individu yang pensiun secara sukarela (Swan, 1996).

Beberapa pensiunan merasakan pengalaman pensiun yang menyenangkan, sementara yang lain tidak. Pada umumnya, pensiunan yang menikah cenderung lebih bahagia dalam masa pensiunannya daripada individu yang tidak menikah. Mereka memiliki sikap terhadap pensiun yang lebih positif, kepuasan akan pensiun yang lebih besar dan beradaptasi dengan lebih baik terhadap perubahan situasi tersebut (Danko, 2000).

Bagi keluarga, pensiun membawa pengaruh baik positif maupun negatif. Lepasnya seseorang dari tuntutan pekerjaan dan membesarkan anak membuat pasangan suami istri memiliki waktu lebih banyak untuk diri mereka sendiri dan juga bagi anak cucunya dalam aktivitas waktu senggang seperti rekreasi, jalan-jalan, melakukan hobi dan acara sosial. Pasangan suami istri lanjut usia kebanyakan menggantungkan diri pada anaknya dalam hal nasehat, dukungan emosional maupun dalam keadaan darurat. Semakin tua seseorang maka semakin tergantung mereka terhadap anak-anaknya (Cockerham, 1997).

(8)

Apabila dalam sebuah keluarga dimana masih terdapat anak yang dibiayai, maka hal ini akan menghambat proses penyesuaian diri seseorang. Hal ini bisa terjadi karena adanya tren penundaan perkawinan. Dengan tertundanya perkawinan, maka tertunda pulalah kelahiran anak, sehingga saat seseorang mencapai usia pensiun, masih ada anggota keluarga yang menjadi tanggungan. Hal ini akan mempengaruhi keadaan keluarga terutama kondisi keuangan. Akibatnya adalah seseorang tidak bisa pensiun begitu saja dari pekerjaan (padahal sudah seharusnya pensiun), karena kewajiban finasial atas anaknya tersebut. Akibat lain, jika ia pensiun maka akan mengalami kesulitan keuangan karena masih ada anaknya yang harus dibiayai.

Pengaruh keluarga terhadap keputusan untuk pensiun sangat menentukan. Ketika seseorang memasuki masa pensiun, beberapa hal akan berubah. Tidak ada lagi uang yang dibawa pulang suami. Tidak ada lagi penghargaan pada suami akan statusnya sebagai pencari nafkah, dan berubahnya hak dan kewajiban setelah pensiun (Price, 2003).

Hal-hal yang mempengaruhi dalam keluarga dalam masa pensiun meliputi pembagian tugas rumah tangga, kualitas perkawinan, equity, pengambilan keputusan dan kekuasaan, serta hubungan dengan keluarga. Walaupun telah memasuki masa pensiun, tetap saja istri yang melakukan pekerjaan rumah tangga, padahal istri mengharapkan pembagian yang merata dalam pekerjaan rumah tangga (Danko, 2000). Beberapa orang memang membantu urusan rumah tangga, tapi pemilihan didasarkan peran tradisional seperti membersihkan halaman dan memperbaiki rumah (Danko, 2000).

Pengambilan keputusan dan kekuasaan dalam rumah tangga juga akan terpengaruh dengan pensiunnya si suami, terutama apabila suami merupakan satu-satunya sumber nafkah keluarga. Pria yang memandang sumber ekonomi sebagai sumber kekuasaan dalam perkawinan merasakan adanya kekuasaan yang berkurang setelah pensiun. Apabila sang suami ikut membantu pekerjaan rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh istrinya, dia akan merasa kehilangan kekuasaan karena melakukan apa yang disuruh oleh istrinya (Danko, 2000).

Pada dasarnya pensiun merupakan masa transisi, karena seseorang yang memasuki tahap pensiun sedang melangkah dari satu tahap perkembangan dewasa menengah ke tahap perkembangan dewasa akhir/lanjut usia. Oleh sebab itu kondisi perpindahan tahap perkembangan ini mengarah kepada transisi peran dimana seseorang yang memiliki identitas

(9)

sebagai pekerja akan berubah menjadi pensiunan atau tidak bekerja lagi. Transisi ini dapat mengakibatkan krisis dimana terdapat proses merelakan berbagai hal yang diperoleh dari peran sebelumnya yang sangat penting artinya bagi kesejahteraan. Individu yang pensiun tersebut perlu untuk melakukan penyesuaian diri terhadap terjadinya transisi tersebut. (Ebersole & Hess, 1990 dalam Slistyorini, 2000).

Menurut Schneider, penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat (Partosuwido, 1993). Hambatan dalam penyesuaian diri dapat dilihat dari tanda kecemasan tinggi, rasa rendah diri, depresi, ketergantungan pada orang lain dan tanda-tanda psikosomatis (Kristiyanti dkk, 2001).

Seseorang dapat menyesuaikan diri dengan datangnya pensiun dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pola-pola perilaku tertentu yang sesuai dengan keinginan individu itu sendiri. Hornstein & Wapner (1985, dalam Hoyer, 1999) mengembangkan empat pola penyesuaian diri yang cenderung dijalani yaitu transition to old age, dimana individu menganggap pensiun sebagai saat santai dan akhir dari beban kerja yang penuh tekanan, new beginning, dimana individu memandang pensiun sebagai kesempatan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang terpendam dan merasa kembali bervitalitas dan bersemangat. Pola ketiga adalah continuation, dimana pensiun tidak membawa dampak personal bagi individu karena hanya merupakan pengurangan intensitas dan pola kerja. Pola penyesuaian yang terakhir adalah imposed diruption dimana pensiun dipandang sebagai hal yang negatif karena hilangnya identitas diri yang berharga sehingga individu merasa frustrasi dan kehilangan.

(10)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. DEFINISI PENYESUAIAN DIRI

Penyesuaian dapat diartikan sebagi interaksi individu yang kontinu dengan diri sendiri, lingkungan dan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990 ).

Menurut Schneider (dalam Partosuwido, 1993), penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat. Sedangkan Maslow (dalam Partosuwido, 1993) memandang penyesuaian diri sebagai kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya hierarkis.

Menurut Corsini (2002) penyesuaian diri merupakan modifikasi dari sikap dan perilaku dalam menghadapi tuntutan lingkungan secara efektif. Menurut Martin dan Poland (1980), penyesuaian diri merupakan proses mengatasi permasalahan lingkungan yang berkesinambungan. Sedangkan menurut kamus psikologi Chaplin (1999), penyesuaian diri adalah:

1. Variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan.

2. Menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial

Davidoff (dalam Kristiyani, 2001) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai usaha untuk mempertemukan tuntutan diri sendiri dengan lingkungan. Menurut Tidjan, penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mengubah tingkah laku, agar terjadi hubungan yang lebih baik antara dirinya dengan lingkungan.

Gerungan (1988) mendefinisikan penyesuaian diri secara aktif dan pasif. Secara aktif maksudnya ketika individu mempengaruhi lingkungan sesuai dengan keinginannya. Sedangkan secara pasif maksudnya, ketika kegiatan individu dipengaruhi oleh lingkungan.

(11)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk mengatasi tekanan kebutuhan dan frustasi dengan cara mengubah tingkah laku ke arah yang lebih baik antar dirinya dengan lingkungan.

II. A. 1. Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek (Mu`tadin, 2002), yaitu: 1. Penyesuaian Pribadi

Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antar dirinya dengan lingkungannya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya, serta mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi yang dialaminya.

Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyatan dan tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi yang dialaminya. Sebaliknya, kegagalan dalam penyesuaian pribadi ditandai dengan guncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib, yang disebabkan adanya kesenjangan antara individu dengan tuntutan lingkungan. Hal ini menjadi sumber konflik yang terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya, individu perlu melakukan penyesuaian diri.

2. Penyesuaian Sosial

Setiap individu hidup didalam masyarakat. Di dalam masyarakat terjadi proses saling mempengaruhi. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu Psikologi Sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara umum. Dalam hal ini individu

(12)

dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh individu sendiri.

Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan masyarakat belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial, individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok. Hal ini merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk bertahan dan mengendalikan diri. Berkembangnya kemampuan sosial ini berfungsi sebagai pengawas yang mengatur kehidupan sosial. Mungkin inilah yang oleh Freud disebut sebagai super ego, yang berfungsi untuk mengendalikan kehidupan individu dari sisi penerimaan terhadap pola perilaku yang diterima dan disukai masyarakat, serta menolak hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.

II. A. 2. Teori-teori Penyesuaian Diri

Ada dua teori umum yang mengemukakan bagaimana individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Hurlock, 1980), yaitu:

1. Teori aktivitas

Menurut teori ini, baik pria maupun wanita seharusnya tetap mempertahankan berbagai sikap dan kegiatan mereka semasa usia madya selama mungkin dan kemudian mencari kegiatan pengganti untuk menggantikan kegiatan yang harus mereka tinggalkan apabila mereka pensiun

(13)

2. Teori Disengagement (pelepasan)

Pria dan wanita secara sukarela atau tidak membatasi keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan. Mereka membentuk hubungan langsung dengan orang lain, tanpa terpengaruh dengan pendapat orang lain

Penelitian menunjukkan bahwa individu yang melakukan penyesuaian diri yang baik mempunyai sifat-sifat yang ada pada teori aktivitas, sebaliknya individu yang melakukan penyesuaian diri yang buruk memiliki karakteristik yang berhubungan dengan teori

disengagement.

II. B. PENYESUAIAN DIRI TERHADAP PENSIUN

Menurut Salim & Salim (2002), pensiun merupakan keadaan sudah tidak bekerja lagi karena dianggap sudah tua dan akan mendapat uang pensiun. Orang yang telah pensiun dan menerima uang pensiun disebut sebagai pensiunan.

Pensiun merupakan masa penyesuaian yang mengakibatkan pergantian peran, perubahan dalam interaksi sosial dan terbatasnya sumber finansial. Pria yang merasa pekerjaan sebagai hidup dan identias mereka akan merasa kehilangan saat pensiun tiba (Danko, 2000)

II. B. 1. Tahap-tahap dalam Menghadapi Masa Pensiun

Menurut Atchley (1983, dalam Hoyer,1999), ada tujuh tahap dalam menghadapi masa pensiun, yaitu:

1. Remote Phase

Individu belum mempersiapkan apapun untuk pensiun. Semakin mendekati usia pensiun, mereka cenderung mengingkari tiba saatnya untuk pensiun.

2. Near Phase

Individu ikut berpartisipasi dalam program prapensiun. Program ini akan membantu individu untuk memutuskan kapan harus pensiun dengan mengetahui keuntungan dan uang pensiun yang akan mereka peroleh.

3. Honeymoon Phase

Pada fase ini, individu bisa melakukan banyak hal yang dulunya tidak pernah atau tidak sempat dilakukan dan memperoleh kesenangan dari waktu senggang.

(14)

Bagi individu yang pensiun secara terpaksa, sedikit kemungkinan mengalami aspek positif dari fase ini.

4. Disenchanment Phase

Individu mengalami perasaan kehilangan kekuasaan, prestise, status maupun pendapatan. Ini berlangsung beberapa bulan sampai bertahun-tahun, dan dapat mengarah ke depresi. Perasaan kehilangan ini diperkuat dengan tidak sesuainya harapan akan kehidupan setelah pensiun dengan kenyataan yang ada. Individu yang hidupnya hanya berputar di pekerjaan mengalami penyesuaian diri yang lebih berat daripada yang mempunyai keterlibatan sosial sebelum pensiun.

5. Reprientation Phase

Individu melakukan re-evaluasi mengenai keputusan pensiun dan memutuskan tipe gaya hidup apa yang akan membawa mereka pada kepuasan selama pensiun. Beberapa orang memutuskan untuk kembali bekerja, sementara yang lain menerima keputusan untuk pensiun.

6. Stability Phase

Pada fase ini, keputusan yang diambil pada fase sebelumnya akan dijalani. Individu tidak terlalu sering memikirkan mengenai masa-masa pensiun dan beradaptasi pada fase ini dengan baik.

7. Termination Phase

Pada fase ini individu menjadi tergantung pada orang lain akan perawatan dan hidupnya sesudah mendekati akhir kehidupan.

Keseluruhan fase ini dialami oleh semua pensiunan, walaupun dalam tingkatan dan urutan yang berbeda (Danko, 2000).

(15)

II. B. 2. Model Penyesuaian Terhadap Pensiun

Hornstein dan Wapner (Hoyer, 1999) mengemukakan empat model penyesuaian terhadap pensiun, yaitu:

1. Transition to Old Age/ Rest

Individu dengan tipe ini menganggap pensiun sebagai masa santai, dan merupakan akhir pra kerja yang penuh tekanan dan dimulainya gaya hidup yang menyenangkan dan santai ketika mereka memasuki usia tua

2. The New Beginning

Individu memandang pensiun sebagai kesempatan yang menyenangkan, peluang untuk hidup sesuai dengan keinginan dan mempunyai kebebasan menghabiskan waktu dan energi untuk diri sendiri. Pensiun ditandai dengan perasaan baru, kembali bervitalitas, antusias dan energi yang bertambah. Individu memandang masa depan dengan positif sebagai saat untuk meraih kendali atas tujuan dan kesenangan (hobi dan minat) jangka panjang. Bagi individu tipe ini, pensiun merupakan awal yang baru dan tidak terkait sama sekali dengan proses menuju tua.

3. Continuation

Pensiun tidak membawa dampak personal yang penting bagi individu. Walaupun telah pensiun, individu ini mampu untuk kembali bekerja. Mereka berganti karir dan mencurahkan lebih banyak waktu untuk keterampilan, hobi dan minat khusus. Pekerjaan tetap merupakan sentral pengaturan kehidupan mereka. Pra pensiun dan pensiun dibedakan bukan dari aktivitas melainkan pengurangan langkah dan intensitas peran kerja.

4. Imposed Diruption

Individu memandang pensiun sebagai hal yang negatif (hilangnya pekerjaan, tidak bisa lagi mencapai prestasi). Pekerjaan merupakan identitas yang sangat penting. Tanpa pekerjaan, bagian penting dari identitas diri itu juga ikut hilang. Walaupun dalam masa pensiun tersebut individu melakukan aktivitas-aktivitas

(16)

lain, tetap saja timbul perasaan frustrasi dan kehilangan. Bagi individu, tidak ada yang bisa menggantikan pekerjaan dan akhirnya tidak bisa menerima pensiun dengan baik.

Reichard, Livson dan Peterson (dalam Belsky, 1990) mengidentifikasikan lima tipe kepribadian pria dalam menyesuaikan diri dengan pensiun, tiga di antaranya merupakan penyesuaian yang baik sedangkan dua lainnya adalah penyesuaian yang buruk.

1. The Mature Man

Individu tipe ini memandang dunia dan kehidupannya secara realistik dan tidak merasa marah karena menjadi tua. Sikap matang individu terhadap kehidupan menjadikan kehidupan pensiunnya menjadi bahagia.

2. The Rocking Chair Man

Individu tipe ini tidak menyukai tanggungjawab, lebih suka di belakang layar. Karena pensiun memperbolehkannya untuk memuaskan kebutuhan ini, individu merasa bahagia dengan status pensiunnya.

3. The armored Man

Individu tipe ini harus selalu sibuk. Gagasan untuk memikirkan perasaannya membuatnya cemas. Individu ini menyukai pensiun dan menggabungkan aktivitas senggangnya dengan aktivitas lain.

4. The Angry Man

Individu ini merasa pensiun dirinya adalah sebuah kesalahan dan menyalahkan dunia untuk hal tersebut.

5. The Self Hating Man

Individu tipe ini juga merasa marah akan hilangnya kehidupannya, tetapi menginternalisasikan kemarahan ini dengan menyalahkan diri sendiri.

Sementara itu J.R Kelly (dalam Papalia, 1998) mengemukakan gaya hidup setelah pensiun yang umum dijalani.

(17)

1. Family Focused Lifestyle

Gaya hidup ini terdiri dari aktivitas terjangkau dan berbiaya murah yang berkisar di keluarga, rumah dan teman-teman. Aktivitas ini berbentuk percakapan, menonton televisi, mengunjungi teman dan keluarga, hiburan informal, pergi ke restoran murah, bermain kartu atau melakukan hal-hal yang terlintas di pikiran. Gaya hidup ini banyak ditemui pada kelompok pensiunan pekerja pabrik.

2. Balanced Investment

Gaya ini biasa ditemui pada individu yang lebih berpendidikan, yang mengalokasikan waktunya secara seimbang antara keluarga, pekerjaan, dan hiburan.

3. Serious Leisure

Gaya ini didominasi oleh aktivitas yang menuntut keterampilan, perhatian dan komitmen. Pensiunan yang mengikatkan diri pada aktivitas ini cenderung sangat puas dengan kehidupannya.

Sebuah teori yang dikembangkan oleh Ekerdt (dalam Hoyer, 1999) mengemukakan bahwa semasa pensiun individu harus menyalurkan etika kerja menjadi aktivitas yang produktif dan berguna. Dengan menyibukkan diri, pensiunan tetap produktif. Hal ini juga dapat menjauhkan individu dari efek penuaan. Individu yang menggunakan waktu pensiun dengan melakukan aktivitas lain mampu menciptakan jaringan persahabatan yang lebih besar.

II. B. 3. Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Terhadap Pensiun

Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi penyesuaian diri terhadap pensiun (Papalia, 1998):

1. Para pekerja yang pensiun secara sukarela akan menyesuaikan diri lebih baik dibandingkan mereka yang pensiun terpaksa.

2. Kesehatan yang memburuk mempermudah penyesuaian diri dalam menjalani masa pensiun

(18)

3. Banyak pekerja yang merasa bahwa berhenti bekerja secara bertahap lebih baik efeknya dibandingkan yang tiba-tiba berhenti bekerja.

4. Bimbingan dan perencanaan pra pensiun akan membantu penyesuaian diri 5. Pekerja yang mengembangkan minat tertentu untuk menggantikan rutinitasnya

mempermudah penyesuaian diri ketika pensiun

6. Semakin sedikit perubahan yang harus dilakukan selama masa pensiun semakin baik penyesuaian diri yang dilakukan

7. Kontak sosial, sebagaimana ditemukan dalam rumah-rumah jompo, sebenarnya membantu mereka dalam penyesuaian diri terhadap masa pensiun.

8. Status ekonomi yang baik yang memungkinkan seseorang untuk hidup dengan nyaman dan dapat menikmati hal yang menyenangkan sangat penting untuk mempermudah penyesuaian diri

9. Status perkawinan yang bahagia sangat membantu penyesuaian diri, sedangkan perkawinan yang banyak diwarnai percekcokan cenderung menghambat penyesuaian diri.

10. Semakin pekerja menyukai pekerjaan mereka semakin sulit proses penyesuaian diri dilakukan. Terdapat hubungan yang bertolak belakang antara kepuasan kerja dan kepuasan pensiun.

11. Tempat tinggal seseorang mempengaruhi penyesuaian terhadap masa pensiun. Semakin besar masyarakat menawarkan berbagai kekompakan dan berbagai kegiatan bagi orang usia lanjut, semakin mudah orang menyesuaikan diri dengan masa pensiunnya.

12. Sikap anggota keluarga terhadap pensiun mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap sikap pekerja, terutama sikap terhadap pasangan hidupnya.

(19)

BAB III

KESIMPULAN

Kehidupan manusia pasti akan mengalami perkembangan dan perubahan. yang melibatkan pertumbuhan, bertambahnya usia, menjadi tua dan akhirnya meninggal. Tahapan terakhir dalam rentang kehidupan adalah usia lanjut yang merupakan periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Santrock, 2004).

Salah satu tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh orang-orang yang akan memasuki usia tua adalah mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Masa ini diawali oleh peristiwa dimana seseorang harus berhenti dari aktivitas bekerja secara formal yang disebabkan oleh bertambahnya usia. Kondisi ini menyebabkan adanya pergantian posisi yang diduduki oleh karyawan yang memasuki batas usia pensiun dengan karyawan yang lebih muda untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas dari organisasi dimana mereka bekerja (Sulistyorini, 2000).

Schwartz (dalam Hurlock, 1980) berpendapat bahwa pensiun merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup yang baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan, nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu. Apa yang dilakukan seseorang dalam hidupnya merupakan hal yang penting bagi identitas mereka, apabila mereka kehilangan pekerjaan, maka aspek kehidupan tersebut akan menimbulkan masalah, dimana seseorang melabel dirinya dengan hal selain istilah pensiun (Kail & Cavanaugh, 1999). Studi-studi tentang pensiun memperlihatkan bahwa pensiun dapat menimbulkan dampak yang baik pada sebagian individu, dan juga dampak yang buruk bagi yang lainnya (Sulistyorini, 2000).

Transisi ini dapat mengakibatkan krisis dimana terdapat proses merelakan berbagai hal yang diperoleh dari peran sebelumnya yang sangat penting artinya bagi kesejahteraan. Individu yang pensiun tersebut perlu untuk melakukan penyesuaian diri terhadap terjadinya transisi tersebut. (Ebersole & Hess, 1990 dalam Sulistyorini, 2000).

(20)

Menurut Schneider, penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat (Partosuwido, 1993). Hambatan dalam penyesuaian diri dapat dilihat dari tanda kecemasan tinggi, rasa rendah diri, depresi, ketergantungan pada orang lain dan tanda-tanda psikosomatis (Kristiyanti dkk, 2001).

Seseorang dapat menyesuaikan diri dengan datangnya pensiun dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pola-pola perilaku tertentu yang sesuai dengan keinginan individu itu sendiri. Hornstein & Wapner (dalam Hoyer, 1999) mengembangkan empat pola penyesuaian diri yang cenderung dijalani yaitu transition to old age, dimana individu menganggap pensiun sebagai saat santai dan akhir dari beban kerja yang penuh tekanan, new beginning, dimana individu memandang pensiun sebagai kesempatan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang terpendam dan merasa kembali bervitalitas dan bersemangat. Pola ketiga adalah continuation, dimana pensiun tidak membawa dampak personal bagi individu karena hanya merupakan pengurangan intensitas dan pola kerja. Pola penyesuaian yang terakhir adalah imposed diruption dimana pensiun dipandang sebagai hal yang negatif karena hilangnya identitas diri yang berharga sehingga individu merasa frustrasi dan kehilangan.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Belsky, Janet K. (2000). The Psychology of Aging: Theory, Research and Intervention. California: Brooks/Cole Publishing Company

Calhoun, J.F., & Acocella, J.R. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi ke-3. Semarang: IKIP Semarang Press

Chaplin, J.P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Corsini, Ray. (2002). The Dictionary of Psychology. London: Brunner-Routledge

Danko, J.M. Effects of Retirement on Family Relationship and Health. http://userpage.umbc.edu/~jdanko1/retbody.htm

Hoyer, William J., Rybash Jhon M., & Roodin, Paul A. (1999). Adult Development and Aging. New York: McGraw-Hill Companies

Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Kail, R.V., & Cavanaugh, J.C. (1999). Human Development A Life Span View. Stamford: Thom Son Learning, Inc

Kristiyani, Veronica, M.sih, Setija Utami & Sumijati, Sri. (2001). Penyesuaian Diri Pembantu rumah Tangga Wanita Ditinjau dari Persepsi terhadap Efektifitas Komunikasi dengan Majikan dan Rasa Aman. Psikodimensia Kajian Ilmiah Psikologi. Vol 1 No 2, 96-103 Martin, Robert A., & Poland, Elizabeth Y. (1980). Learning to Change: a Self Management

Approach to Adjusment. New York: McGraw-Hill Companies

Mu’tadin, Z., S.Psi, M.Si. (2002). Penyesuaian Diri Remaja. http://www.e-psikologi.com/remaja.htm

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (1998). Human Development. New York: McGraw-Hill Companies

Partosuwido, Sri.R. (1993). Penyesuaian diri Mahasiswa dalam Kaitannya dengan Konsep Diri, Pusat Kendali dan Status Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi Sosial 1, 32-47 Price, C.A. Facts About Retirement. http://ohioline.osu.edu/ss-fact/0200.html

Salim, Peter, Drs. M.A., & Salim, Y. Bsc. (2002). Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press

Santrock, John. W. (2000). Life-Span Development. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Companies

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi dari 16 ibu pada kelompok intervensi paling banyak ibu yang menjalani pertama SC sejumlah 13 ibu , sedangkan pada

(2) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri yang telah disetor dengan menggunakan lembar

transparansi 10 CSCW & Ubiquitous Computing TIU : Mahasiswa mampu menjelaskan komunikasi dalam kelompok dan pemrosesan yang ubiquitous - Systems - Groupware Ø

Poligami adalah suatu ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam satu waktu bersamaan.Poligami merupakan suatu bentuk

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepercayaan diri adalah kondisi mental atau psikologis seseorang dan yakin pada kemampuan

Deskripsi hasil penelitian mengungkapkan bahwa proses berlangsungnya pembelajaran tentang Meningkatkan Hasil Belajar IPS Materi Kelangkaan Sumber Daya Ekonomi

- Jika Anda akan menggunakan power listrik dalam jangka waktu yang lama lebih dari 3 jam, Anda bisa memperpanjang usia baterai dengan melepasnya dan menyimpannya dalam