• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI SEJARAH DAN PURBAKALA DAS BATANGHARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI SEJARAH DAN PURBAKALA DAS BATANGHARI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

~ 68 ~

POTENSI SEJARAH DAN PURBAKALA DAS BATANGHARI

Witrianto, S.S., M.Hum., M.Si

Staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang

Abstract

Batang Hari River Basin is an area bounded by topography and blunt receiving rain water, sediment and nutrients, and running it through its tributaries. Batanghari DAS consists of three parts, namely the upstream, midstream and downstream, located in West Sumatra and Jambi province, each of which has different physical characteristics. In the upper region is located at an altitude 500-1000 meters above sea level with rainfall 3000 mm / yr and the geology is dominated Bukit Barisan mountains that are volcanic quarter. Culture that flourished in the upper reaches of the culture, especially in the Minangkabau of West Sumatra Province, located in Solok District, South Solok, and Dharmasraya, while the center is a cultural area with a mixture of Malay Minangkabau Jambi is located in the district of Bungo and Tebo, the downstream Malay culture is an area located in the city of Jambi Jambi, District Batanghari, Muarojambi, Tanjungjabung East. Along the Batang Hari River flows are historical relics from the small kingdoms and large, like a Malay kingdom, Dharmasraya, Siguntur, Alam Surambi Sungaipagu, Pulaupunjung, and others. Keywords: Watershed, culture, historical

(2)

~ 69 ~

Pendahuluan

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi pembatas topografi (punggungan bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkan melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Selanjutnya

Departemen Kehutanan (2001)

memberikan pengertian bahwa Daerah Aliran Sungai adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan smber air lainnya, dan kemudian mengalirkan melalui sungai utamanya (single outlet). Suatu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS) oleh pemisah dan topografi, seperti punggug perbukitan dan pegunungan.

Daerah Aliran Sungai

Batanghari merupakan kawasan yang dibatasi oleh topografi yang menerima

dan menumpulkan air hujan,

sedimentasi dan unsur hara dan mengalirkannya melalui anak-anak sungainya. DAS Batanghari terdiri dari tiga bagian yaitu hulu, tengah dan hilir yang masing-masing mempunyai ciri fisik yang berbeda. Pada bagian hulu terletak pada wilayah ketinggian 500 – 1.000 mdpl dengan curah hujan 3.000 mm/th dan geologinya didominasi pegunungan Bukit Barisan yang bersifat vulkan kuarter. Dari hulu

sampai hilir matapencaharian

masyarakat pada DAS Batanghari didominasi sektor pertanian untuk

menunjang perekonomian dan

merupakan penyumbang terbesar

pembangunan dalam PDRB daerah. DAS Batanghari mempunyai luas daerah tangkapan air (catchment

area) ± 4,5 juta hektar, dan merupakan

DAS terbesar kedua di Indonesia

(Departemen Kehutanan, 2002).

Secara administrasi pemerintahan, sebagian besar DAS Batanghari berada di wilayah Provinsi Jambi (bagian hulu, tengah dan hilir DAS), sisanya berada di wilayah Provinsi Sumatera Barat (hulu DAS). Keberadaan DAS ini ditunjang pula dengan adanya faktor fisik berupa geologi, morfologi, litologi jenis tanah dan faktor sosial ekonomi.

Sungai Batanghari merupakan sungai terpanjang di Sumatera yang memiliki panjang 800 km. Di samping digunakan sebagai tempat mandi, mencuci, dan irigasi pertanian bagi penduduk yang bertempat tinggal di sepanjang tepiannya, sungai ini juga

dipergunakan sebagai sarana

transportasi yang menghubungkan berbagai kota dan desa yang ada di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat. Sungai Batanghari berhulu di Jorong Batanghari Nagari Alahanpanjang

Kecamatan Lembahgumanti

Kabupaten Solok. Dari Kabupaten Solok, sungai ini kemudian terus mengalir ke Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Batanghari, Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, kabupaten Tanjung

Jabung Timur sampai akhirnya

bermuara di perairan Timur Sumatera dekat Muara Sabak.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari secara geografis terletak pada posisi 0˚43’ - 0˚46’ Lintang Selatan dan 100˚45’ - 104˚25’ Bujur

Timir. Secara topografis DAS

Batanghari dibatasi oleh Bukit Barisan di sebelah barat dengan puncak Gunung Kerinci, Gunung Tujuh, Gunung Pantai Cermin, Gunung Mesjid, Gunung Terasik, Gunung Raja, dan Gunung Kunyit. Sedang di sebelah selatan berbatasan dengan puncak puncak gunung dari Gunung

(3)

~ 70 ~ Bongsu, dan Gunung Kayu Aro.

Selanjutnya di sebelah utara berbatasan dengan puncak-puncak gunung dari

Gunung Tigajerai dan Gunung

Rinting, dan sebelah timur berbatasan dengan Selat Berhala (Departemen Kehutanan 1993). Sedangkan secara

administratif, DAS Batanghari

berbatasan dengan Provinsi Riau di bagian utara, pada bagian barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Bengkulu, sedang di bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan, sementara di bagian timur berbatasan dengan Selat Berhala.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4,5 juta Ha (Departemen Kehutanan, 2002), dan meliputi sebagian besar wilayah Provinsi Jambi dan sebagian Provinsi Sumatera Barat. anjang Sungai Batanghari ± 775 Km berhulu di Pegunungan Bukit Barisan dan bermuara di Selat Berhala. Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Bungo, dan Batang Suliti.

DAS Batanghari mempunyai topografi yang bervariasi dari dataran rendah sampai pegunungan. Daerah dataran rendah umumnya berada di bagian tengah dan hilir DAS, sementara daerah pegunungan berada di daerah hulu yang juga merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Elevasi berkisar dari 200 m dpl sampai dengan > 3000 dpl. Puncak-puncak gunung yang tinggi yang terdapat di kawasan DAS Batanghari seperti Gunung Kerinci (3.805 m), Gunung Tujuh (2.604 m) Gunung Baleng (2.560 m), Gunung Ratam (2.566 m), Gunung Pantai Cermin (2.690 m), Gunung Terembung (2.577 m), dan Gunung

Raya (2.543 m), (Departemen

Kehutanan, 2002).

Kawasan DAS Batanghari

semenjak ribuan tahun lalu telah menjadi sarana transportasi dan denyut kehidupan manusia masa lampau. Khususnya pada abad VII sampai dengan abad ke-14yang berdasarkan bukti peninggalan sejarah merupakan masa keemasan kerajaan-kerajaan

Hindu Buddha. Di Kabupaten

Dharmasraya sendiri pada periode tersebut berdasarkan bukti sejarah yang ada telah berdiri Kerajaan Melayu Dharmasraya yang dipimpin oleh

Adityawarman dengan pusat

pemerintahan di Dharmasraya.

Kawasan kepurbakalaan di DAS Batanghari, khususnya di Kabupaten Dharmasraya tersebar dari mulai arah hulu sungai Batanghari di daerah Rambahan (Lubukbulang Kecamatan Pulaupunjung., Siguntur (Kecamatan Sitiung), Sungai Lansek (Kecamatan Sitiung, sampai ke Padanglaweh (Kecamatan Kotobaru). Perjalanan panjang sejarah Dharmasraya dan jambi tidak bisa dilepaskan dari peranan Sungai Batanghari. Sungai

Batanghari memainkan peranan

penting sebagai sarana yang

menghubungkan daerah hulu sebagai

penghasil emas dan komoditas

pertanian dengan daerah hilir yang berfungsi sebagai pelabuhan pada masa Kerajaan Melayu.

II. Kerajaan Melayu

Nama Melayu sudah dikenal pada abad ke-7 yang diketahui dari Kitab Sejarah Dinasti Tang di Cina yang menyebutkan bahwa pada tahun 644-645 datang utusan dari Mo-le-yeu di Cina. Kata Mo-le-yeu diidentifikasikan dengan Melayu yang letaknya di

Pantai Timur Sumatera dengan

pusatnya di Tepi Sungai Batanghari (Marjoned, 1993). Selain itu, dari Berita Arab, pada masa pemerintahan Muawiyah (661-681) dari Dinasti

(4)

~ 71 ~ Umayyah, menyebutkan bahwa bandar

lada terbesar di Sumatera terletak di

Zabag Sribusa, yang diidentifikasikan

sebagai Muara Sabak, sebuah kota pesisir yang terletak di muara Sungai Batanghari (Sulaiman, 1979).

Berita lainnya didapatkan dari kisah perjalanan seorang filosof Cina bernama I-Tsing (671) yang dalam perjalannya dari Kanton ke India, pernah singgah di She-li-fo-she, yang diidentifikasi sebagai Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa Sansekerta dan agama Buddha. Tahun 1672 ia berlayar dari Sriwijaya ke India dengan menggunakan kapal milik raja dan singgah selama dua bulan di

Mo-le-yeu (Sartono, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini sudah ada Kerajaan Melayu. Berita ini juga senada dengan Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 682 M. Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno dengan menggunakan Huruf Palawa yang mengatakan berita yang berisi: “Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara sebanyak dua laksa dan 200 peti perbekalan dengan perahu, serta 1.312 orang tentara yang berjalan di darat (Noor, 2007).

Krom dan Poerbatjaraka

mencoba menjelaskan bahwa tentara yang disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit berasal dari Minanga yang diidentifikasi sebagai Minangkabau, sebelum sampai ke Palembang lebih dahulu datang ke melayu yang terletak di tepi Sungai Batanghari. Apabila pendapat ini benar, berarti ada seorang pembesar Minangkabau yang pergi berperang, berhenti lebih dahulu di

Melayu, kemudian melanjutkan

perjalanannya menuju Palembang dengan mendapat kemenangan lalu membuat kota di daerah itu yang diberi nama Sriwijaya.

Kisah perjalanan I-Tsing dan kisah perjalanan Dapunta Hyang

dalam Prasasti Kedukan Bukit

memberi gambaran bahwa Melayu adalah tempat persinggahan yang cukup penting, karena tidak dilewati begitu saja. Coedes (1930) dan Poerbatjaraka (1952) membacanya

dengan Minanga Tamwam dan

menjelaskan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya adalah Minangkabau atau sekitar pertemuan Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri yang sekarang terletak dalam wilayah Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jika pernyataan Krom, Poerbatjaraka, dan Coedes benar, dapat disimpulkan

bahwa Minangkabau sudah ada

sebelum Sriwijaya.

Menurut Bambang Soemandio, sebagaimana dikutip oleh Utomo (2002), ketika I-Tsing datang untuk kedua kalinya ke Mo-le-yeu, daerah ini telah menjadi bagian dari Sriwijaya. Menurut Sartono (1992), pada masa ini nama Jambi identik dengan nama Melayu. Pada Cian yang ditulis oleh Ling Piao Lui, disebutkan bahwa

Chan-pi yang diidentifikasi sebagai Jambi

tahun 853 dan 871 mengirim misi dagang ke Cina (Utomo, 1992). Kemudian dalam Dinasti Song (960-1270), disebutkan sebuah kerajaan Sumatera bernama San-fo-tsi, yang terletak di Laut Selatan dengan ibukotanya Chan-pi.

Berdasarkan catatan sejarah, Melayu pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun

(5)

~ 72 ~ 670. Harus diakui bahwa, sejarah

tentang Melayu kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit

sekali ditafsirkan. Namun,

dibandingkan daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka, sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama

ketika Aditywarman mendirikan

Kerajaan Swarnabhumi pada

pertengahan abad ke-14 M (Noor, 2007).

Pada saat Kerajaan Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batanghari, dan bergabung

dengan Kerajaan Melayu yang

memang sudah lebih dulu berdiri, tapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, keadaan

berbalik, Kerajaan Melayu

menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.

Kerajaan Melayu mulai

berkembang lagi dengan nama Melayu Dharmasraya yang berpusat di hulu Sungai Batanghari. Kerajaan ini

dinamakan Melayu Dharmasraya

karena berpusat di Dharmasraya yang

sekarang menjadi nama sebuah

kabupaten di Provinsi Sumatera Barat. Rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak.

Menjelang akhir abad ke-13, Raja Kartanegara dari Kerajaan Singasari mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kartanegara

berhasil menaklukkan Kerajaan

Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Jawa versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kartanegara menaklukkan Melayu pada tahun 1275 M.

Menurut sumber sejarah yang tertulis dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama disebutkan bahwa

tahun 1275, Raja Kertanegara

mengirim tentaranya ke Kerajaan Melayu. Pengiriman pasukan ini dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa

Anabrang atau Kebo Anabrang,

kemudian ditahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk

mengantarkan Amoghapasa yang

kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibukota

Bhumi Malayu sebagai hadiah dari

kerajaan Singhasari (Joned, 1993). Maksud dari ekspedisi ini adalah untuk menjalin persahabatan antara Singasari

dari Jawa dengan Melayu

Suvarnabhumi di Sumatera untuk

sama-sama menahan serangan

ekspansi Kaisar Khubilai Khan dari Cina.

Pada tahun 1286 M, Kartanegara

mengirimkan sebuah arca

Amogapacha ke Kerajaan

Dharmasraya. Raja dan rakyat

Dharmasraya sangat gembira

menerima persembahan dari

Kartanegara ini. Untuk memperat persahabatan kedua kerajaan tersebut, untuk membalas pemberian hadiah arca tersebut, Raja Melayu Srimat

Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa,

menyerahkan dua orang putrinya Dara Petak dan Dara Jingga untuk dikawini oleh bangsawan Singasari. Ketika utusan Kartanegara ini kembali ke

(6)

~ 73 ~ tanah Jawa, mereka mendapatkan

Kerajaan Singosari telah hancur akibat serangan Jayakatwang dan pasukan Kubilai Khan. Sebagai penerus Singosari, muncul Kerajaan Majapahit dengan raja pertama Raden Wijaya. Kedua putri ini kemudian dikawini oleh bangsawan Majapahit sebagai penerus Kerajaan Singasari yang sudah dikalahkan oleh Kerajaan Kediri. Dara Petak dinikahkan oleh Raja Raden Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahkan dengan Alaki Dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Janaka atau Warmadewa yang identik dengan

Adityawarman. Demikianlah,

keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Adityawarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit.

Tujuan utama Kertanegara dari

Kerajaan Singhasari menyerang

Kerajaan Melayu adalah untuk

menaklukkan Sumatera berdasarkan jejak sejarah yang terdapat pada Lapik Patung Amoghapasa yang ditemukan di daerah Rambahan – Lubukbulang Kecamatan Pulaupunjung Kabupaten Dharmasraya. Pada tahun 1208 Saka

(1286 M), Kertanegara, Raja

Singhasari, memberikan hadiah berupa patung Buddha (Amoghapasa) kepada penguasa Kerajaan Melayu. Patung tersebut dibawa dari Jawa ke Sumatera dan ditempatkan di Dharmasraya

(diantuk dari bhumi Jawa ka

Swarnnabhumi dipratistha di Dharmasraya), dan seluruh penduduk di

Bhumi Malayu.

Teori lainnya dikemukakan oleh C.C. Berg yang mengatakan bahwa Ekspedisi Pamalayu dan ekspedisi lainnya dari penguasa-penguasa di Jawa merupakan bagian dari far-reacing

imperialistic dan secara sistematis telah

direncanakan, yang bertujuan untuk

menyatukan Nusantara (Jawa dan

Sumatera) untuk menghadapi

kemungkinan serangan dari Can dengan membentuk Aliansi

anti-Mongol. Teori Berg ini juga

diperbaharui oleh De Casparis, yang menyatakan bahwa pemberian Patung Amoghapasa harus dilihat sebagai bentuk ungkapan persahabatan untuk membentuk aliansi dengan tujuan ganda, yaitu untuk memperluas pengaruh Kerajaan Singhasari di tengah makin melemahnya pengaruh kerajaan, dan untuk membentuk sebuah Konfederasi Malaya di bawah Kerajaan Singhasari untuk menghadapi potensi serangan dari pasukan Kubilai Khan.

Sesudah Ekspedisi Pamalayu, ibukota Kerajaan Melayu bergeser ke Sungailangsat yang terletak di Hulu Sungai Batanghari (Utomo, 2002).

Tahun 1316, Kerajaan Melayu

dipimpin oleh Akarendrawarman. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatera, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatera, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru: Swarnabhumi. Pusat kerajaan terletak daerah hulu Sungai Batanghari di

daerah yang sekarang disebut

Padangrocok yang merupakan bagian dari Kabupaten Dharmasraya di Sumatera Barat.

Pada tahun 1347, memindahkan pusat kerajaan ke Saruaso dengan tujuan menghindarkan diri dari serangan Majapahit. Keberadaan kerajaan di pedalaman Minangkabau

(7)

~ 74 ~ ini didukung oleh 22 prasasti yang

tersebar di Kabupaten Tanahdatar Sumatera Barat, di antaranya Prasasti Pagaruyung, Prasasti Kuburajo, Prasasti Saruaso, Prasasti Batubapahat, Prasasti Pariangan, Prasasti Rambatan, dan Prasasti Umbilin. Prasasti-prasasti tersebut sebagian besar menceritakan tentang raja Adityawarman (Zubir, 2002).

Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Aditywarman

ini kemudian berpindah ke

Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan

Kerajaan Minangkabau. Akibat

perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah

kekuasaan Kerajaan Pagaruyung

(Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14.Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau di perairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini.

Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka. Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan

Johor. Dalam beberapa kali

pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan.

Bahkan, Jambi berhasil

menghancurkan ibukota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.

III. Peninggalan Budaya di Hilir DAS Batanghari

Di sepanjang DAS Batanghari

banyak ditemukan peninggalan

budaya, seperti pemukiman kuno, area candi, prasasti, keramik, dan sebagainya yang tersebar di daerah hilir, yaitu Kualatungkal, Muarasabak, Koto Kandis, Suak Kandis, Jambi, Muara Jambi, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, Rantau Kapas Tuo, Sumai, Teluk Kuali, dan Betung Berdarah yang terletak di Provinsi Jambi (Zubir, 2002).

Mengenai Kerajaan Melayu

dapat dapat pula kita telusuri melalui peninggalan budaya yang banyak

terdapat di sepanjang Sungai

Batanghari dari Sumatera Barat sampai ke Jambi.

Peninggalan tersebut berupa candi yang ditemukan di daerah Muara Jambi, Solok Sipin, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, dan Teluk Kuali. Candi yang berada di hilir Sungai Batanghari diperkirakan

didirikan pada abad IX-XIII.

Penanggalan ini berdasarkan

penemuan batu tertulis yang

ditemukan di Situs muara Jambi.

Sedangkan Candi Kemingking

diperkirakan dibangun pada abad X-XII (Data Suaka PSP Jambi).

Peninggalan budaya berbentuk arca ditemukan di Muara Jambi, Rantau Kapas Tuo, Betung Berdarah, Tanah Periuk, Kuala Tungkal, Rantau Limau Manis, Solok Sipin, dan Teluk Kuali. Arca tersebut adalah Arca

(8)

~ 75 ~ batu, potongan arca Buddha, arca

Buddha perunggu, arca nadi, arca makara batu, dan arca Prajnaparamita. Peninggalan arca yang ada di DAS Batanghari bahagian hilir diperkirakan berasal dari abad ke-6 yang ditemukan di Situs Solok Sipin, Kota Jambi, dan arca yang paling muda di temukan di Koto Kandis dan Muara Jambi, yaitu Arca Dipalaksmi dan Prajnaparamita

(Suaka PSP Jambi). Menurut

Setyawati Sulaiman, arca

Prajnaparamita (tanpa lengan dan

kepala) memiliki persamaan dengan arca yang ada di Singasari, sehingga diduga arca ini berasal dari abad XIII-XIV (Utomo, 1992).

Peninggalan-peninggalan

kebudayaan berbentuk prasasti

ditemukan di Karang Berahi, oleh L.M. Berkhout tahun 1904, berisikan kutukan d n ancaman. Peninggalan berupa keramik pada umumnya berasal dari abad X-XIII. Peninggalan berbentuk lempengan emas bertulis diperkirakan berasal dari abad IX-X, dan peninggalan budaya berupa perhiasan seperti kalung emas seberat 98 gram dan ikat pinggang (sabuk) emas seberat 300 gram ditemukan tahun 1995. Perhiasan ini juga berasal dari abad ke-7 (Suaka Purbakala

Jambi, 1995). Hal ini dapat

dihubungkan dengan berita Arab dan Cina yang menyatakan bahwa Melayu merupakan penghasil emas yang terbesar di kawasan Nusantara (Zubir, 2002).

Beberapa benda arkeologis yang

ditemukan di daerah Jambi

menunjukkan bahwa, di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa,

orang-orang Jambi merupakan

masyarakat yang religius.

IV. Peneninggalan Sejarah Melayu Kuno di Hulu DAS Batanghari

Peninggalan sejarah yang ada di sepanjang Hulu DAS Batanghari yang terdapat di wilayah Provinsi Sumatera Barat, terutama berada di Kabupaten Dharmasraya yang di masa lampau merupakan pusat kerajaan Melayu Dharmasraya. Peninggalan tersebut tersebar di Padanglaweh, Padangroco,

Sungailangsat, Pulausawah,

Rambahan, dan Lubukbulan.

Peninggalan yang ditemukan berupa candi, arca, prasasti, dan keramik (Amran, 1981).

Di hulu DAS Batanghari

terdapat tiga buah kompleks candi, di antaranya Candi Padangrocok, Candi

Pulausawah, dan Candi

Rawamangambe. Candi ini pernah digali oleh Belanda di bawah pimpinan Schnitger tahun 1935 (Helmi, 1997). Di sekit ar lokasi candi juga ditemukan dua arca, yaitu Arca Bhairawa dan Arca Amoghapasa. Arca Bhairawa ditemukan di Sungailangsat, memiliki tinggi 4,41 meter, berdiri di atas mayat.

Arca ini dibuat semasa

Akarendrawarman yang dipandang

sebagai lambang yang harus

melindungi negara yang dipimpin oleh Adityawarman dari penyebaran agama Islam (Casparis, 1922).

Arca Amoghapasa berangka

tahun 1286 Masehi, memiliki prasasti di bagian bawah dan belakangnya. Prasasti yang terletak di bagian bawah arca ini dikenal dengan nama Prasasti Amoghapasa yang dikeluarkan oleh Kertanegara dari Kerajaan Singasari untuk ditempatkan di Dharmasraya. Prasasti ini tidak dapat dipisahkan dengan ekspedisi Pamalayu.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berita asing (Cina dan Arab) serta keberadaan peninggalan sejarah yang terdapat di sepanjang DAS Batanghari, menunjukkan bahwa

(9)

~ 76 ~ benda2 yang ditemukan di Hilir lebih

tua umurnya dibandingkan dengan temuan yang ada di Hulu. Bukti-bukti sejarah tentang keberadaan Kerajaan

Melayu Dharmasraya tersebut

sebagian sudah ditemukan seperti situs-situs candi, patung Amoghapasa,1 arca-arca, artefak-artefak, dan perkuburan raja-raja.

Pejabat yang diperintah oleh Raja Kertanegara untuk mengiringi arca Amoghapasa tersebut adalah

Rakryan Mahamantri Dyah

Adwayabrahma, Rakryan Sirikan

Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan

Hang Dipangkara, dan Rakryan

Dmung Pu Wira. Seluruh rakyat Melayu dari keempat kasta (Brahmana,

Ksatria, Waisya, dan Sudra)

berukacita, terutama rajanya yang

bernama Srimat Tribhuwanaraha

Mauliwarmadewa. Arca Amoghapasa yang dikirim tersebut kemudian

ditemukan di situs Rambahan,

sedangkan alas arcanya ditemukan di

Dusun Padangrocok Nagari

Sungailansek yang berjarah sekitar 5 Km arah hilir Sungai Batanghari. Arca dan alas kakinya sekarang berada di Museum Nasional Jakarta.

Dari data prasasti Dharmasraya

dapat diketahui bahwa arca

Amoghapasa yang dikirim dari

Kertanegara sebagai tanda

persahabatan tersebut kemudian didirikan di Dharmasraya, suatu tempat yang penting artinya. Tempat

ditemukannya arca kemungkinan

adalah pusat (ibukota) pemerintahan dengan rajanya yang bernama Srimat Tribhuanaraja Mauli Warmadewa.

Salah satu bukti sejarah tertulis yang ditemukan tentang sejarah Kerajaan Melayu di Dharmasraya adalah tulisan yang ditulis di media kertas yang dibuat dari kulit pohon mulberry, yang dikenal dengan

1 Patung Adityawarman yang saat ini berada di Museum Nasional Jakarta.

dluwang.Manuskrip ini ditemukan di

Desa Tanjung Tanah oleh Petrus

Voorhoeve yang mengunjungi

Sumatera, tepatnya di Kabupaten Kerinci pada bulan April dan Juli 1941

sehingga disebut juga dengan

Manuskrip Tanjung Tanah. Nama

Dharmasraya terdapat dalam

manuskrip ini yang merupakan tempat keberadaan Patung Amoghapasa yang dikirim oleh Raja Singasari pada tahun 1208 Saka (1286 M).

Manuskrip Tanjung Tanah

memiliki ukuran 10 x 15 cm yang terdiri dari 17 lembar dan ditulis pada kedua sisinya yang mana setiap halamannya berisi tujuh baris tulisan, tidak dijilid, tidak memiliki cover, dan ditulis dengan tinta hitam. Transliterasi terhadap manuskrip dibuat oleh Philologist Poerbatjaraka, manuskrip tersebut pernah hilang pada waktu perang dan ditemukan kembali oleh Antropolog Inggris pada tahun 1975.

Manuskrip ini merupakan

booklet kecil yang ditulis pada media

deluwang, di mana dua halaman

merupakan tulisan Rentjong, dan halaman lainnya adalah tulisan Jawa Kuno, serta kebanyakan isinya berisi daftar hukuman atau denda dan merupakan buku perundang-undangan

Saramucchaya Versi Melayu.

Manuskrip Tanjung Tanah merupakan bukti jelas bahwa budaya menulis di Kerajaan-kerajaan Melayu telah ada sebelum pengaruh Islam masuk pada masyarakat Pesisir Asia Tenggara. Biasanya aturan-aturan hukum pada periode Islam dibuka dengan kalimat

Bismillahirrahmanirrahim, namun manuskrip Yanjung Tanah jelas ditulis sebelum masuknya Islam ke Kerajaan Melayu karena dimulai dengan kalimat dalam bahasa Sansekerta dan ditandai dengan bulan-bulan Waisyak Tahun Saka.

Dalam manuskrip Tanjung

Tanah pada halaman 29 dan 30 disebutkan bahwa penguasa saat itu,

(10)

~ 77 ~ Paduka Ari Maharaja Drammastara

(ditulis Drammasaraya dan

Drammasraya), di mana aturan hukum yang ada mengikat seluruh wilayah Kerinci (saisi bumi Kurinci), yang berbunyi:

“Nyatnya titahmaharaja

drammasaraya // yatnya yatna sidangmahatnya saisi bumi kurinci si lunju kurinci // sasta likitangkuja ali dipati diwaseban di bumi palimbang di hadappan paduka ari maharaja drammasraya // & // .. //”

“Ini merupakan titah dari Maharaj Drammasaraya […] yang diagungkan di seluruh daerah Kerinci […] di tempat pertemuan daerah Palimbang, di hadapan Paduka Ari Maharaja Drammasraya”

Salah satu candi di Muarajambi, yaitu Candi Gumpung, memiliki kemiripan dengan Candi Jawi di Jawa

Timur yang merupakan candi

pemujaan dari Kertanegara, sehingga dapat disimpulkan bahwa Kertanegara sepertinya berusaha untuk menjadikan Jambi sebagai titik strategis dengan mengirimkan pasukan dan buruh untuk membangun tempat pemujaan Buddha (Suleiman, 1982). Kertanegara tidak saja mengembangkan pengaruhnya di Muarajambi, tetapi juga sampai ke Dharmasraya, hal ini dibuktikan

dengan pemberian Patung

Amoghapasa. Penempatan patung ini oleh Kertanegara di Dharmasraya, secara kontekstual dapat diartikan

sebagai bentuk pengakuan

Dharmasraya sebagai ibukota baru.

Dengan pindahnya ibukota

Kerajaan Melayu ke Dharmasraya

berakibat hilangnya monopoli

perdagangan maritim di Selat Melaka yang merupakan gerbang ke Negeri

Siam dan Jawa, sehingga

perekonomian diarahkan pada

eksplorasi potensi sumberdaya alam pertanian (land-based resources).

Dharmasraya terletak di perbatasan

antara Jambi dan Minangkabau, dan merupakan lokasi yang ideal untuk

merumuskan kembali identitas

Kerajaan Melayu Baru sebagai

kerajaan berbasis sumberdaya alam pertanian (land-based state), yang diperkaya dengan konsep politik dan kelembagaan yang dibawa dari Jawa Timur.

Manuskrip Tanjung Tanah

mengindikasikan bahwa Dharmasraya

merupakan tempat pengaturan

perdagangan yang terindikasi dengan adanya kerjasama yang erat dengan Lembah Kerinci hingga Palembang. Penguasa Dharmasraya menyadari

pentingnya untuk mengatur

perdagangan dengan Kerinci yang dikenal dengan deposit emasnya yang sangat besar dan menarik bagi penguasa Kerajaan Melayu di mana pada manuskrip tersebut ditemukan aturan yang dikeluarkan Maharaja

Dharmasraya yang berbunyi:

“barangsiapa yang terbukti menipu dalam menimbang […] akan didenda sebesar satu dan seperempat tahil emas”.

Dharmasraya berlokasi di jalur utama perdagangan dari Dataran Tinggi Minangkabau (Saruaso) menuju ibukota Jambi Lama di pesisir pantai,

di mana penguasa Dharmasraya

menurut Manuskrip Tanjung tanah bergelar “Maharaja”, yang merupakan bawahan dari penguasa Minangkabau yang bergelar “Maharajadiraja. Pada akhir abad ke-13, Dharmasraya menjadi pusat administrasi yang penting sebelum ibukota Kerajaan Malayu pindah dari wilayah Pesisir ke Saruaso pada awal abad ke-14, sehingga tidaklah salah untuk

mengatakan bahwa Dharmasraya

pernah menjadi ibukota Kerajaan Malayu sebelum dipindahkan ke Dataran Tinggi Minangkabau di Saruaso. Sayangnya tidak banyak diketahui tentang proses masuknya sebagian wilayah Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau

(11)

~ 78 ~ serta tentang peran Dharmasraya

dalam proses ini.

Pada abad ke-14, Saruaso,

Dharmasraya, dan Muarajambi

merupakan pusat-pusat utama

perdagangan, di mana Sungai

Batanghari merupakan jalur utama perdagangan pada masa itu. Ibukota Kerajaan Melayu yang berlokasi di

Dataran Tinggi Minangkabau

memudahkan dalam mengontrol

wilayah perdagangannya. Rute lalu lintas utama pada masa sekarang yang menghubungkan daerah Minangkabau dengan kota-kota lainnya di Sumatera, seperti Medan, Pekanbaru, Jambi, dan Palembang, sama dengan rute di masa pemerintahan Adityawarman. Lokasi ibukota yang berada di dataran tinggi juga sangat menguntungkan sebagai perlindungan untuk mengantisipasi serangan dari Dinasti Yuan dari Mongol atau Kerajaan Thai.

Tanah gunung api yang subur juga mendukung stabilitas ekonomi, di

mana diindikasikan dengan

pembangunan jaringan irigasi dekat Saruaso yang pernah dilakukan oleh

Adityawarman. Dari manuskrip

tersebut terbukti bahwa terbukti bahwa saluran irigasi dibangun selama

kepemimpinan Akarendra (Putra

Mauliwarmadewa), dan diselesaikan di masa kepemimpinan Adityawarman.

Keberadaan irigasi tersebut

membuktikan bahwa Akarendra dan

penerusnya sangat menyadari

pentingnya sektor pertanian dan sumberdaya lainnya yang tersedia di sepanjang lembah dan hutan Bukit Barisan.

Tiga lokasi yang memainkan peran utama di Kerajaan Melayu pada masa Pemerintahan Adityawarman adalah; (1) Saruaso, ibukota Dataran

Tinggi Minangkabau; (2)

Dharmasraya, titik tumpu utama tempat sumberdaya alam dari daerah sekitarnya dikumpulkan; dan (3) Muarajambi, dan atau pelabuhan

lainnya di Muarasabak, wilayah Kotokandis sepanjang Kualaniur, yang

merupakan cabang dari Sungai

Batanghari menuju perdagangan

internasional.

Bukti sejarah keberadaan

Kerajaan Melayu di Dharmasraya berupa situs, bangunan sejarah, dan peninggalan artefak. Bukti sejarah berupa situs di antaranya adalah (1) Situs Rambahan yang terletak di Jorong Lubukbulang Nagari IV Koto Pulaupunjung; (2) Situs Sungai Siran yang terletak di Jorong Lubukbulang Nagari IV Koto Pulaupunjung; (3) Situs Makam Raja-raja Siguntur yang terletak di Jorong Siguntur Bawah nagari Siguntur Kecamatan Sitiung; (4) Situs Parit Keliling Candi Padangroco yang terletak di Jorong Sungai Lansek Kecamatan Sitiung; (5) Situs Bekas Arca Bhairawa yang terletak di Jorong Sungailansek Kecamatan Sitiung; dan (6) Situs Padang Laweh yang terletak di nagari Padang Laweh Kecamatan Sitiung. Bukti sejarah berupa bangunan sejarah di antaranya adalah; (1) Kompleks Candi Padangroco yang terletak di Jorong Sungailansek Kecamatan Sitiung; (2) Kompleks Candi Pulau Sawah yang terletak di Jorong Siguntur Bawah Kecamatan Sitiung; (3) Rumah gadang Siguntur yang terletak Jorong Siguntur Bawah Kecamatan Sitiung; (4) Masjid Tua Siguntur yang terletak di Jorong Siguntur Bawah Kecamatan Sitiung; (5) Candi Bukik Awang Maombiak yang terletak di Jorong Kotobaru Siguntur Kecamatan Sitiung; (6) Rumah Gadang Pulaupunjung yang terletak di Kecamatan Pulaupunjung; dan (7) Rumah Gadang Padanglaweh yang terletak di Kecamatan Kotobaru. Bukti sejarah berupa peninggalan artefak adalah; (1) Arca Dewa setengah badan dari Siguntur yang terbuat dari batu; (2) Arca dari Sungailansek yang terbuat dari perunggu; (3) Arca dari

(12)

~ 79 ~ perunggu; (4) Arca Bhairawa dari

Sungailansek yang terbuat dari batu; (5) Arca Amoghapasa dari Rambatan yang terbuat dari batu dan merupakan hadiah dari Raja Sri-Kertanegara dari Kerajaan Singhasari untuk Raja Melayu Tribhuwana Mauliwarmadewa yang dibuktikan dengan pahatan yang terbaca pada Lapik Arca Amoghapasa; (6) Artefak lainnya yang pernah

ditemukan di DAS Batanghari

(Efrianto & Ajisman, 2010).

V. Penutup

Daerah sepanjang DAS

Batanghari mulai dari hulunya di Sumatera Barat sampai ke hilir di Jambi, merupakan daerah yang kaya dengan peninggalan budaya yang berasal dari Kerajaan Melayu yang merupakan salah satu kerajaan besar di masa lalu di Nusantara. Berbagai peninggalan berupa candi, arca,

keramik, dan lain-lain sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang masih tetap memelihara peninggalan benda-benda bersejarah dari zaman Hindu dan

Buddha walaupun mereka sudah

masuk Islam, masyarakat Melayu ketika mereka sudah masuk Islam, mereka menghancurkan sebagian besar bukti-bukti peninggalan sejarah dari zaman Hindu dan Buddha karena dianggap sebagai tempat pemujaan orang kafir dan dianggap syirik. Hal ini berakibat sebagian besar masyarakat yang hidup di abad ke-21 tidak bisa lagi menyaksikan kemegahan Melayu di masa lampau, karena peninggalannya berupa candi, arca, keramik, dan sebagainya sudah tidak ada lagi yang masih utuh sebagaimana peninggalan sejarah yang ada di Jawa.

[ ]

Daftar Pustaka

Amran, Rusli (1981), Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan. Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah

Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.

Helmi, Surya, et al., (1997), “Kepurbakalaan DAS Batanghari, Sumatera Barat: Suatu Paparan Singkat”, Cinandi. Yogyakarta: UGM.

Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan

Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi,

7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi. Efrianto & Ajisman (2010), Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Dharmasraya, Padang:

BPNST PadangPress.

Muljana, Slamet (1981), Kuntala, Sriwijaya, dan Swarnabhumi, Jakarta: Idayu. Muljana, Slamet (2006), Sriwijaya, Yogyakarta: LKiS.

Muljana, Slamet (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Noor, Junaidi T. (2007), Mencari Jejak Sangkala Mengirik Pernik-pernik Sejarah Jambi. Jambi: Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi.

Zubir, Zusneli (2002), “Peninggalan Budaya Melayu pada Zaman Klasik di Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari: Keterkaitan Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Melayu” dalam Sastri Yunizarti Bakry & Media Sandra Kasih (Eds.), Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Yakup, MS dengan judul “Pengelolaan Hara dan Pemupukan Pada Budidaya Tanaman Jagung (Zea mays L.) Di Lahan Kering” telah diterima dan untuk dapat dipresentasikan pada Seminar

Risiko ini dipengaruhi oleh turunnya harga dari Efek (saham, obligasi, dan surat berharga lainnya) yang masuk dalam portfolio Reksa Dana tersebut. •

anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur

Merakit (pemasangan setiap komponen, handle, poros pemutar, dudukan handle alas atas bawah, dan saringan).. Mengelas (wadah dengan alas atas, saringan, handle, dan

Berdasarkan pada analisa pasar dapat disimpulkan bahwa proyek ini layak untuk dijalankan, mengingat belum adanya pesaing langsung dalam bisnis ini walaupun pesaing

This study aims to analyses and determine the dominant factors that influence regional spending and its impact on gross regional domestic products and to analyses the direct

Ini adalah hikmah terpenting sebab diturunkannya sakit dan musibah. Dan hikmah ini sayangnya tidak banyak diketahui oleh saudara-saudara kita yang tertimpa

Low dan Lamb Jr dalam Albari & Anindyo Pramudito,(2005:198), Obyek yang digunakan dalam penelitian adalah adalah produk Acer “Projector”, dengan meneliti segi brand extension,