• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAMPUAN MANAJEMEN EMOSI PADA NARAPIDANA. Kuntoro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMAMPUAN MANAJEMEN EMOSI PADA NARAPIDANA. Kuntoro"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN MANAJEMEN EMOSI PADA NARAPIDANA

Kuntoro

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SEMARANG

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi kemampuan manajemen emosi pada narapidana di Lapas Kedung Pane Semarang. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 166 orang narapidana di Lapas Kedung Pane Semarang yang tidak mengikuti program rehabilitasi narapidana yang diselenggarakan pihak Lapas Kedung Pane Semarang. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel incidental sampling.

Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan Skala Kemampuan Manajemen Emosi pada Narapidana. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dengan mencari mean (rata-rata) dan prosentase dari kemampuan manajemen emosi pada narapidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan manajemen emosi pada narapidana pada kategori tinggi.

Kata Kunci : kemampuan manajemen emosi, narapidana

EMOTION MANAGEMENT ON INMATES

The Faculty of Psychology the University of Semarang

ABSTRACT

This research aims to know the description of emotion management on inmates at Kedung Pane pemtentiary. The subject in this study amounted to the population of this research is 166 inmates at Kedung Pane prison take by they’re not in a rehabilitation programe. This research uses a sampling technique was incidental sampling.

The research data was used to collected data in this research and by using the scale of Emotion Management capabilities on the inmates. Data analysis was descriptive quantitative analysis technique. The results showed that the ability of management of emotions on inmates in a high category of inmate.

(2)

PENDAHULUAN

Pembatasan kebebasan bertindak dan kehilangan privasi sebagai makhluk individual merupakan stresor yang diterima narapidana setiap harinya. Kehidupan lapas yang sesak menjadikan narapidana merasakan ketidaknyamanan selama mejalani masa tahanan. Salah satu lembaga pemasyarakatan yang ada di Semarang adalah lembaga pemasyarakatan Kedung Pane Semarang. Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang Pemasyarakatan dimana termasuk dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah. Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang diresmikan pemakaiannya pada tanggal 13 Maret 1993 oleh Menteri Kehakiman Bapak Ismail Saleh, SH. Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang berlokasi di Jalan Raya Semarang-Boja Km. 4 Kelurahan Wates, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Adapun gedung Lapas ini merupakan pindahan dari Lapas lama yang beralamat di Jalan Dr. Cipto No. 62, Mlaten, Semarang. Pemindahan ini dilaksanakan dalam rangka penyesuaian lokasi, sesuai tata ruang Kota Semarang dan mengingat situasi dan kondisi keamanan dan ketertiban. Data yang bersumber dari Aziz (2010), diketahui bahwa jumlah penghuni ruang lapas pada sejumlah lembaga pemasyarakatan (LP) maupun Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia

melebihi kapasitas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa narapidana di seluruh lapas Indonesia hingga Januari 2010 berjumlah 132.372 orang. Narapidana dipaksa menempati lapas yang cuma berkapasitas 90.853 tahanan. Di kota-kota besar, isi lapas meluap sampai 300%. Kondisi tersebut menjadikan selama tahun 2006 terdapat 813 narapidana meningal di lapas. Dari data terbanyak terjadi di DKI Jakarta, yaitu 321 kasus, sementara pada tahun 2007 (Januari-Februari) terdapat 62 narapidana yang meninggal di berbagai LP di Indonesia, 22 diantaranya terjadi di Jakarta. Meninggalnya narapidana di dalam lapas memang bukan satu-satunya masalah yang dihadapi oleh sistem pemasyarakatan di Indonesia. Lapas juga identik dengan masalah seperti kekerasan antara narapidana (juga petugas kepada narapidana), kerusuhan, dan pelarian (Sulhin, 2007). Kejadian narapidana yang meninggal di dalam lapas juga terjadi di Semarang pada tahun 2010. Seorang tahanan titipan kejaksaan yang mendekam di LP Kedungpane, Semarang tewas bunuh diri dengan cara menggunakan sarung yang telah disambung dan diikatkan pada jeruji besi di dalam sel khusus (Hernawan, 2010).

Kerusuhan yang terjadi di Lapas terjadi di Lapas Krobokan Bali pada Februari 2012. Seluruh bangunan kantor di lapas terbesar itu ludes terbakar dan rusak parah. Kerusuhan itu sendiri akibat penuntasan kerusuhan sebelumnya yang dianggap oleh para napi tak

(3)

adil. Kerusuhan tersebut terkait dengan masalah penusukan napi dan penyelesaiannya tidak adil dan tidak tuntas (Vivanews, 2012). Kerusuhan lain yang terjadi di Lapas, terjadi di Lapas Kedung Pane Semarang. Kerusuhan ini awalnya dipicu oleh salah seorang tahanan Blok G. Para narapidana dan tahanan mengamuk sambil memecahkan kaca kantor Lapas. Para petugas yang berjaga pun kalang kabut untuk menyelamatkan diri (Independen Media, 2012).

Kerusuhan antar narapidana juga terjadi di Lapas Kelas II B Lumajang, Jawa Timur. Bentrokan diduga akibat kapasitas Lapas yang melebihi daya tampung. Seharusnya, Lapas menampung 180 orang tapi Lapas dihuni 312 narapidana dan tahanan (Metronews.com. 2012).

Pintu masing-masing kamar dalam lapas terbuat dari jeruji besi yang secara tidak langsung seorang narapidana ditempatkan dalam sangkar besi. Seseorang yang ada di dalamnya akan merasakan keadaan yang sangat membosankan karena semua keinginannya dibatasi pintu jeruji besi. Jika keinginan seseorang dibatasi maka orang itu akan merasa frustrasi dan dapat mengarah pada tindakan-tindakan yang melanggar peraturan sebagai bentuk kekecewaan. Lapas Kedung Pane Semarang memiliki 145 petugas yang bertanggung jawab terhadap 1077 narapidana. Perbandingan rasio antara jumlah narapidana dan petugas lapas mencapai 1

berbanding 7. Keadaan seperti itu, mungkin lebih disebabkan karena adanya jumlah yang melebihi batas antara perbandingan rasio jumlah lapas dan petugas dengan jumlah narapidana yang menempati lapas.

Peran kemampuan dalam mengelola emosi menjadi sangat penting mengingat kerasnya kehidupan di lapas, sehingga dapat menjadikan narapidana menghindari stimulus yang mengarah pada tindakan-tindakan represif. Sobur (2003: 443) menyatakan bahwa kemampuan individu dalam mengelola emosi akan membantu kesuksesan dalam pergaulan sehari-hari dapat berjalan lancar dan dapat menikmati kehidupan yang tenteram.. Kemampuan manajemen emosi dapat menjadikan individu memiliki pengertian yang mendalam akan emosi diri, juga kekuatan dan keterbatasan diri, serta nilai-nilai dan motif-motif diri. Individu jujur tentang dirinya sendiri kepada dirinya sendiri, bahkan bisa menertawakan kekurangan mereka sendiri. Emosi sendiri merupakan cerminan keadaan jiwa, yang akan tampak nyata pada perubahan jasmaninya. Manusia sulit menikmati hidup secara optimal tanpa memiliki emosi, karena emosi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia (Safari dan Saputra, 2009: 11). Narapidana yang sedang menjalani masa tahanan diharapkan dapat memiliki kemampuan dalam mengelola emosi, sehingga dapat menghindarkan diri dari tindakan-tindakan brutal, seperti halnya dengan

(4)

perkelahian diantara narapidana hingga kurangnya kontrol terhadap perilaku yang menyebabkan narapidana melakukan bunuh diri.

Kemampuan manajemen emosi menentukan seberapa pintar individu bertindak dan seberapa berhasil individu dalam hidup (Ivancevich, dkk, 2007: 130). Tanpa kemampuan manajemen emosi atau kemampuan mengenali dan menilai perasaan serta bertindak jujur, individu tidak dapat bergaul dengan baik dengan orang lain, tidak dapat melanjutkan hidup di dunia, tidak dapat membuat keputusan dengan mudah dan sering terombang-ambing tidak menyadari diri sendiri.

Hasil Penelitian Nurdin (2009: 107) menunjukkan bahwa individu dengan kemampuan mengelola emosi dapat melaksanakan tugas, peranan dan tanggung jawabnya dengan baik di lingkungan temat individu berada seperti halnya di lingkungan sehari-hari individu. Meskipun di lapas, narapidana dengan kemampuan mengelola emosi kemungkinan tetap dapat mengendalikan diri dan menunjukkan penyesuaian yang baik dengan penghuni lapas. Narapidana tetap dapat berinteraksi dengan narapidana lain maupun petugas lapas tanpa harus mengalami tekanan karena hilangnya kebebasan.

Kemampuan manajemen emosi menurut Mubayidh (2006: 5) merupakan kemampuan

dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan perasaan dan emosinya. Kemampuan kemampuan mengelola emosi juga berpengaruh terhadap pembentukan sifat keterbukaan (openess) dan sifat mengikuti kata hati (conscientiousness) serta berkaitan dengan coping yang lebih aktif, terencana dan konstruktif. Kemampuan manajemen emosi pada narapidana diharapkan dapat menumbuhkan suasana keakraban dan kerukunan diantara narapidana, sehingga berbagai bentuk perkelahian karena ketidakmampuan dalam mengelola emosi dapat dihindari.

Hasil penelitian yang dilakukan Winarno (2008: 18) menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengelola perasaan merupakan wujud dari kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati dan lain-lain. Jika individu tidak mampu mengelola emosio dengan baik maka individu tidak akan mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional (IQ) secara maksimum. Kemampuan mengelola emosi pada narapidana dapat membuatnya mengembangkan ketrampilan, kapabilitas dan kompetensi yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Kemampuan mengelola emosi pada narapidana akan dapat menjadikannya mampu mengatasi setiap tekanan yang muncul selama menjalani proses

(5)

hukuman di lapas, sehingga tetap dapat menjalin hubungan harmonis dengan penghuni lapas lainnya.

Usaha pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mendidik narapidana dengan cara memberi bekal hidup agar mempunyai kemampuan dan kemauan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga negara yang baik dan tidak melanggar hukum dimasyarakat. Narapidana di lembaga pemasyarakatan selain mendapatkan keterampilan sebagai bekal kehidupan ketika kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat, juga diberikan materi-materi yang dapat meningkatkan ketenangan emosi, seperti halnya dengan kegiatan kerohanian. Narapidana diharapkan dapat menunjukkan kemampuan dalam manajemen emosi yang baik sehingga dapat menjaga hubungan baik dengan sesama narapidana di lembaga pemasyarakatan. Kenyataan yang terjadi saat ini masih saja terjadi berbagai bentuk kekerasan, seperti halnya dengan perkelahian diantara narapidana yang sedang menjalani masa tahanan. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui kemampuan manajemen emosi pada narapidana di LP Kedung Pane Semarang.

Kemampuan manajemen emosi pada narapidana

Manajemen emosi menurut Mubayidh (2006: 5) merupakan kemampuan dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan

perasaan dan emosinya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Safari dan Saputra (2009: 18) bahwa semakin tinggi kemampuan seseorang memahami, membedakan, dan menanamkan emosinya, maka semakin terhindar individu dari sifat cemas dan kalut. Kejelasan emosi juga berpengaruh terhadap pembentukan sifat keterbukaan (openess) dan sifat mengikuti kata hati (conscientiousness) serta berkaitan dengan coping yang lebih aktif, terencana dan konstruktif.

Lazarus (1991: 3) menyatakan bahwa emosi memegang peran penting dalam setiap peristiwa kehidupan manusia. Emosi dapat bersifat positif atau negatif, tergantung pada fokus perhatian dan pada tiga kemungkinan yang ada, yaitu hubungan dengan lingkungan yang berbahaya, perasaan subjektif terhadap sumber emosi, serta konsekuensi dari adaptasi yang dilakukan (Lazarus, 1991: 5). Hochschild (dalam Jan dan Turner, 2007: 124-125) menyatakan bahwa manajemen emosi adalah tindakan untuk mencoba mengubah dalam derajat atau kualitas suatu emosi atau perasaan. Upaya individu untuk melakukan manajemen emosi didorong oleh keinginan individu untuk mengikuti perasaan yang terdiri dari budaya emosi. Manajemen emosi yang dilakukan individu melibatkan kerja tubuh dan kognisi. Peran fisik melibatkan perubahan aspek fisiologis dari pengalaman emosional, sedangkan kognitif melibatkan perubahan pikiran dan ide-ide dalam suatu pengalaman

(6)

emosional. Perspektif psikologi sosial menganggap bahwa pria kurang terampil dalam mengelola emosi dibandingkan wanita. Kemampuan manajemen emosi dapat mengendalikan peran dari individu lain (Vaccaro, dkk, 2011: 416).

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa kemampuan manajemen emosi adalah kemampuan untuk menggunakan kekuatan yang siap digali untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dan akan membantu pencapaian kesuksesan di masa yang akan datang.

Finkelor (2007: 54) menyatakan bahwa individu dengan kemampuan manajemen emosi adalah individu yang matang secara emosi, sehingga dapat mengetahui dan menerima dirinya yang nampak pada ciri-ciri, sebagai berikut:

a. Mengetahui kemampuan-kemampuan dan batas-batas fisik dan mentalnya.

b. Mengenal reaksi-reaksi emosi batin terhadap orang dan mentalnya.

c. Mengetahui seberapa besar tekanan-tekanan luar memengaruhi dan bagaimana tekanan tersebut memengaruhinya.

d. Memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan sifat-sifat tersebut.

Thoit (dalam Jan dan Turner, 2007: 127) menyatakan ciri-ciri dalam kemampuan manajemen emosi, antara lain:

a. Katarsis atau pelepasan emosi negatif

Individu dengan kemampuan manajemen emosi mampu melepas emosi negatif yang menekan dan dapat merugikan individu. b. Mengambil tindakan langsung.

Kemampuan manajemen emosi memungkinkan individu mengambil tindakan dalam mengatasi sumber emosi negatif. Tindakan berkaitan dengan ekspresi untuk mengungkapkan emosi kepada orang lain.

c. Mencari dukungan.

Individu dengan kemampuan manajemen emosi bersedia mencari dukungan untuk memecahkan permasalahan emosi yang sedang dihadapi.

d. Menyembunyikan perasaan.

Individu berusaha menunggu waktu yang tepat untuk meluapkan perasaannya agar tidak melibatkan orang lain ke dalam permasalahan pribadi individu.

e. Menafsirkan ulang situasi.

Individu berusaha menafsirkan ulang situasi agar tidak terjadi kesalahan dalam memberikan tanggapan terhadap sumber emosi.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti akan menggunakan pendapat yang diutarakan oleh Thoit (dalam Jan dan Turner, 2007: 127) bahwa ciri-ciri kemampuan manajemen emosi adalah katarsis atau pelepasan emosi negatif, mengambil tindakan langsung, mencari dukungan, menyembunyikan perasaan, serta menafsirkan ulang situasi.

(7)

Metode Penelitian

Batasan populasi dalam penelitian ini narapidana di LP Kedung Pane Semarang, yang berjumlah 1077 narapidana dan terbagi ke dalam 11 Blok dan masing-masing blok terdiri atas 21 sel.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu incidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, apabila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2010: 85).

Penelitian ini menggunakan Skala Kemampuan Manajemen Emosi pada Narapidana yang disusun berdasarkan ciri-ciri individu yang memiliki kemampuan manajemen emosi, yaitu katarsis atau pelepasan emosi negatif, mengambil tindakan

langsung, mencari dukungan, menyembunyikan perasaan, serta menafsirkan

ulang situasi.

Teknik anlisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif, yaitu menghitung mean (rata-rata) dan prosentase dari kemampuan manajemen emosi pada narapidana.

Hasil dan Pembahasan

Tingkat Kemampuan Manajemen Emosi pada Narapidana secara umum pada kategori tinggi. Tingkat Kemampuan Manajemen Emosi

pada Narapidana yang berada pada kategori tinggi berarti bahwa narapidana di Lapas Kedung Pane telah dapat menguasai diri untuk tidak terbawa ke dalam stimulus-stimulus yang dapat menjadikan narapidana merasa tertekan dengan kehidupan di Lapas yang kehilangan kebebasan.

Kemampuan manajemen emosi menentukan seberapa pintar individu bertindak dan seberapa berhasil individu dalam hidup (Ivancevich, dkk, 2007: 130). Tanpa kemampuan manajemen emosi atau kemampuan mengenali dan menilai perasaan serta bertindak jujur, individu tidak dapat bergaul dengan baik dengan orang lain, tidak dapat melanjutkan hidup di dunia, tidak dapat membuat keputusan dengan mudah dan sering terombang-ambing tidak menyadari diri sendiri (Segal, 1999: 2). Kemampuan manajemen emosi pada diri narapidana di Lapas Kedung Pane Semarang akan dapat menjadikannya memahami sejauh mana perilaku sosial dapat memengaruhi emosi, mampu bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya, mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar yang membangun. Berbagai tekanan yang muncul pada diri narapidana selama menjalani masa tahanan akan dapat dikelola dengan baik, sehingga narapidana dapat menghindari perkelahian dengan sesama narapidana. Kemampuan manajemen emosi pada narapidana akan dapat menjadikan narapidana

(8)

mampu melewati masa-masa di Lapas dan berusaha menerima setiap perbedaan yang ada. Kemampuan manajemen emosi mampu menjadikan narapidana melestarikan hubungan terbuka dan interaktif dengan emosi yang menyenangkan maupun menyedihkan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Nurdin (2009: 107) menunjukkan bahwa individu dengan kemampuan mengelola emosi dapat melaksanakan tugas, peranan dan tanggung jawabnya dengan baik di lingkungan tempat individu berada seperti halnya di lingkungan sehari-hari individu. Meskipun di lapas, narapidana dengan kemampuan mengelola emosi kemungkinan tetap dapat mengendalikan diri dan menunjukkan penyesuaian yang baik dengan penghuni lapas. Narapidana tetap dapat berinteraksi dengan narapidana lain maupun petugas lapas tanpa harus mengalami tekanan karena hilangnya kebebasan.

Penutup Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa narapidana di Lapas Kedung Pane Semarang memiliki tingkat kemampuan manajemen emosi pada narapidana yang tinggi.

Daftar Pustaka

Finkelor, D. C. 2007. Peranan Emosi dalam Hidup Anda. Alih Bahasa: Yessi Hersanti. Yogyakarta: Dolphin Books.

Hernawan, R. 2010. Napi Kedungpane Bunuh Diri di Sel.

http://harianjoglosemar.com/berita/napi-kedungpane-bunuh-diri-di-sel.

Ivancevich, J. M., Robert, K. Dan Michael, T. M. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Alih Bahasa: Gina Gania. Jakarta: Erlangga.

Jan, E. S., Turner, J. H. 2007. Handbook of the Sociology of Emotions. California: Springer.

Lazarus, R. S. 1991. Emotion and Adaptation. New York: Oxford University Press.

Metronews.com. 2012. Diduga Kapasistas Berlebihan, Narapidana di Lumajang Bentrok.http://www.metrotvnews.com/metr omain/newsvideo/2012/04/09/148764/Didu

ga-Kapasitas-Berlebih-Narapidana-di-Lumajang-Bentrok/82.

Mubayidh, M. 2006. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak: Referensi Penting bagi Para Pendidik dan Orang Tua. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Nurdin. 2009. Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah. Jurnal Psikologi. Vol. IX. No. 1. Hal. 86-102.

Safari, N., dan Saputra, T. 2009. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Segal, J. 1999. Meningkatkan Kecerdasan

Emosional: Panduan Praktis. Alih Bahasa: Dian Paramesti Bahar. Bandung: Kaifa. Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung:

Angkasa.

Sulhin, I. 2007. Masalah Klasik Penjara.

http://www.kompas.com.

Vaccaro, C. A., Douglas, P. S., and Janice, M. M. 2011. Managing Emotional Manhoo: Fighting and Fostering Fear in Mixed

(9)

Martial Arts. American Sociological Association. Vol. 74. No. 4. Page 414-437. Vivanews. 2012. Dalang Kerusuhan Lapas

Kerobokan Diburu.

http://nasional.vivanews.com/news/read/2 90347-dalang-kerusuhan-lapas-kerobokan-diburu.

Winarno, J. 2008. Emotional Intelegence Sebagai Salah Satu Faktor Penunjang Prestasi Kerja. Jurnal Psikologi, Vol.8, No.1, Hal. 12-19. November 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain

Pada penelitian ini, yaitu keefektifan pembelajaran matematika berbasis MICRULED berbantuan E-modul pada mata kuliah pembelajaran matematika SD, kajian dari

35 Syamsul Anwar, Islam, Negara, dan Hukum.. Ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih

menemukan aturan yang memperbolehkan pemerintah mengakses data perbankan wajib pajak, kecuali untuk keperluan pemeriksaan dan penyidikan perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal

Ketentuan dari pemberlakuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi

Fungsi keanggotaan ( membership function ) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetakan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya (sering juga disebut dengan

lainnya untuk lebih memahami mengenai pengaruh tayangan drama Korea “Goblin” terhadap interaksi sosial. Juga diharapkan dapat menjadi kontribusi yang berguna untuk

Dari hasil pengamatan terhadap mood sebelumnya penggunaan itensitas cahaya dan kontras yang tinggi antara key light dan fill light dapat menghasilkan mood negative high energy