• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan generasi sebelumnya. Menurut psikolog Ratih Ibrahim sebagaimana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan generasi sebelumnya. Menurut psikolog Ratih Ibrahim sebagaimana"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Kini sudah jadi kecenderungan orang menikah di usia yang lebih tua dibandingkan generasi sebelumnya. Menurut psikolog Ratih Ibrahim sebagaimana yang dikutip oleh Anna,1 bahwa sejak pertengahan tahun 1990-an, kecenderungan perempuan untuk menikah di atas usia 30 tahun semakin besar. Kenyataan ini penulis temukan ketika melakukan praktek penjemaatan di HKBP Bandung, Resort Bandung Riau-Martadinata. Penulis bertemu dengan jemaat laki-laki dan perempuan yang berusia di atas 30 tahun tetapi belum menikah. Mereka yang belum menikah, walaupun dari segi usia sudah memasuki usia menikah, oleh David Edgar dikategorikan sebagai kaum lajang (untuk selanjutnya penulis akan mengikuti pendapat David Edgar).2 Kaum lajang tersebut bersama dengan keluarga-keluarga muda bergabung dalam Paduan suara Ekklesia. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman bergereja penulis, pelayanan seperti ini hanya penulis temukan di HKBP Bandung.

Dari pengamatan penulis terlihat bahwa kaum lajang sepertinya menikmati status kelajangan mereka. Hal ini sangat kontras dengan para orangtua

1

Anna, Melajang, Siapa Takut? dalam http://kompas.com/ver1/Perempuan/0705/24/160655.htm diakses tanggal 21 Januari 2008

2

David Edgar, Hidup Melajang: Memahami Dunia Kaum Lajang Masa Kini, Yogyakarta: Yayasan Gloria, 2004, hal 17

(2)

2 yang kuatir dengan semakin banyaknya pemuda-pemudi yang berusia di atas 30 tahun tetapi belum menikah. Dalam setiap pertemuan-pertemuan ibadah, mereka selalu berdoa syafaat untuk pemuda-pemudi yang berusia di atas 30 tahun tetapi belum menikah. Penulis menangkap kesan adanya kekuatiran dan ketakutan dari para orangtua jika ada anggota keluarga yang belum menikah. Selain itu ada juga pemahaman para orangtua, jika seorang anak belum menikah maka tugas mereka sebagai orangtua dianggap masih belum selesai.

Kekuatiran dari orangtua tersebut dapat dimengerti karena ada stereotip negatif yang ditujukan bagi mereka yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. Jika yang belum menikah tersebut adalah laki-laki maka tersedia sebutan perjaka tua atau bujang lapuk untuk mereka. Belum lagi laki-laki sering diidentikkan dengan kebutuhan seksual yang besar. Demikian juga perempuan akan mendapatkan sebutan sebagai perawan tua. Bahkan sebutan ”perawan tua” dirasakan berdampak jauh lebih besar untuk perempuan daripada sebutan “perjaka tua” untuk laki-laki. Stereotip negatif yang ditujukan kepada laki-laki lajang hanya dikaitkan dengan hasrat seksualnya dan itu pun sering kali mendapat pembenaran karena ia laki-laki.

Tidak demikian halnya dengan perempuan. Label perawan tua yang diberikan kepada perempuan hanya merupakan permulaan. Perempuan dingin, judes, galak, frigid, kesepian, sombong, terlalu pemilih, tidak laku, akan menyusul dalam daftar stereotip lainnya terhadap perempuan lajang. Ditambah

(3)

3 lagi, adanya praduga negatif masyarakat terhadap kaum lajang, jika laki-laki atau perempuan masih betah dalam kelajangan mereka, mereka dicurigai memiliki penyimpangan seksual.

Berdasarkan pengamatan penulis, perempuan lajang kelihatannya mendapat desakan lebih besar untuk menikah jika dibandingkan dengan laki-laki, baik dari keluarga dekatnya maupun dari masyarakat. Masyarakat memahami bahwa kodrat perempuan adalah menjadi “penolong yang sepadan” bagi laki-laki. Pemahaman tersebut didasarkan pada Perintah Allah dalam Kejadian 2: 18 “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. Masyarakat sering menafsirkan perempuan sebagai “penolong yang sepadan” adalah perempuan sebagai istri.

Eko Bambang Subiantoro mempertegas pendapat diatas, ia menyatakan bahwa sampai saat ini masyarakat masih meyakini bahwa kodrat perempuan adalah menjadi istri yang setia, mendampingi suami serta melayani suami dan hal tersebut merupakan tanggungjawab utama perempuan.3 Ada kekeliruan dalam masyarakat dimana pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang kodrati untuk perempuan sehingga tidak mungkin ditolak.4 Penolakan atas pernikahan merupakan penolakan atas kodratnya sebagai perempuan sehingga banyak perempuan yang berlomba-lomba untuk menikah secepat mungkin agar tidak dianggap menyalahi kodrat mereka sehingga dapat diterima dalam lingkungan

3

Eko Bambang Subiantoro, Perempuan dan Perkawinan: Sebuah Pertaruhan Eksistensi Diri dalam Jurnal Perempuan No.22, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002, hal 13

4

(4)

4 masyarakat dan terhindar dari label sebagai perawan tua. Hal senada juga diungkapkan oleh Esterlianawati yang mengutip pandangan Simone de Beauvoir, feminis eksistensialis yang pernah mengatakan bahwa banyak orangtua menganggap anak perempuannya tidak akan bahagia jika tidak bersuami.5 Ruth Tiffany Barnhouse juga menegaskan hal tersebut bahwa status sosial seorang wanita dalam masyarakat patriarki terkait pada status ayahnya dan hanya dapat diubah (menjadi naik atau turun) melalui pernikahan. Status baru seorang wanita selalu disamakan dengan status suaminya.6 Eksistensi perempuan sudah dikonstruksi sedemikian rupa untuk dilekatkan dalam konteks hubungannya dengan laki-laki (ayah atau suami).

Dalam masyarakat juga terdapat kepercayaan bahwa setiap perempuan harus menjadi ibu.7 Kepercayaan ini dilegitimasi dengan ajaran agama. Perintah Allah untuk “beranak-cuculah dan bertambah banyak serta penuhilah bumi….” (Kejadian 1: 28), seringkali dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa “pernikahan adalah keharusan” sehingga memunculkan anggapan bahwa orang-orang yang telah menikah adalah kelompok Kristen kelas satu sebab mereka telah mematuhi perintah Allah tersebut sedangkan mereka yang belum menikah adalah kelompok Kristen kelas dua karena dianggap gagal untuk mematuhi perintah Allah tersebut. Dari sejak kecil, orangtua telah mensosialisasikan kepercayaan tersebut kepada

5

Esterlianawati, Menikah atau Melajang, Sebuah Pilihan dari http://esterlianawati.wordpress.com diakses tanggal 25 Januari 2008.

6

Ruth Tiffany Barnhouse, Identitas Wanita: Bagaimana Mengenal dan Membentuk Citra Diri, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hal 31

7

(5)

5 anak-anak perempuan, mereka selalu mendapatkan mainan berupa boneka, peralatan masak-memasak. Di sekolah mereka juga diajarkan bagaimana bersikap dan berprilaku yang pantas dan yang tidak pantas sebagai seorang perempuan melalui pelajaran etika, budi pekerti dan lain-lain. Melalui buku-buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, mereka pun diajarkan tugas yang pantas untuk laki-laki dan perempuan melalui kalimat-kalimat seperti “Tuti membantu ibu di dapur” atau “Ayah membaca koran dan ibu merajut” dan semakin diperkuat karena kalimat-kalimat tersebut disertai gambar-gambar sebagai ilustrasinya.

Hasil wawancara Henny Supolo Sitepu dengan seorang perempuan dapat dijadikan gambaran bagaimana seorang anak perempuan dididik.8 Berdasarkan seluruh rutinitas yang dilakukan ibunya, akhirnya membuat anak perempuan merasa bahwa perempuan memang dilahirkan untuk mengabdi pada suami dan anak-anak. Perempuan tersebut bercerita bahwa dari sejak kecil, ia telah diberi contoh bagaimana seharusnya perempuan bersikap oleh ibunya sendiri. Perempuan tersebut diberi contoh cara berjalan yang baik yaitu gemulai dan tidak gagah seperti laki-laki; cara berbicara yang baik yaitu tidak berteriak; cara tertawa yang sopan yaitu tidak terbahak-bahak dan berbagai kesopanan lainnya yang harus dimiliki perempuan sehingga dapat menjadi ibu yang baik. Perempuan tumbuh dengan pemahaman bahwa tempat perempuan adalah di rumah bersama

8

Henny Supolo Sitepu, Ratu Rumah Tangga dalam Mayling Oey-Gardiner dan Sulastri, Perempuan

(6)

6 dengan anak-anak. Perempuan yang baik adalah perempuan yang berada di rumah, membesarkan anak-anak dan menunggu suami pulang.

Dalam masyarakat Batak, juga ada tuntutan untuk segera menikah bagi orang yang telah dewasa karena dalam adat-istiadat suku Batak, pernikahan/perkawinan merupakan sarana untuk menciptakan relasi kekeluargaan dalam struktur Dalihan Na Tolu9, yang secara literer berarti “Tungku Nan Tiga”, yang digambarkan seperti batu tungku tempat perapian menanak nasi (berasal dari kata, dalih = tungku, n = nan/terdiri dari, tolu = tiga).10 Dalihan Na Tolu adalah pemetaan masyarakat Batak Toba yang terdiri dari hula-hula, dongan sabutuha dan boru.11 Hula-hula adalah pihak yang mengambil putri dalam suatu perkawinan. Dongan sabutuha adalah teman semarga (dari kata dongan = teman,

butuha = perut). Dongan sabutuha berarti saudara yang seibu-sebapa, berasal dari

kandungan yang sama (disebut juga dengan dongan tubu) dalam arti luas yang disebut marga. Boru ialah pihak yang memberi anak putri dalam suatu pernikahan. Ketiga unsur masyarakat ini bukanlah strukur hirarkis atau subordinasi, yang satu lebih tinggi dari yang lain, tetapi pada dasarnya unsur Dalihan Na Tolu ini merupakan golongan fungsional dalam setiap upacara adat.

9

Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: Suatu

Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 132

10

Hiddin Situmorang, Mitos Dasar Kebudayaan Batak Toba, dalam Majalah Basis, Agustus 1988, hal 292

11

(7)

7 Dalihan Na Tolu yang menjadi tonggak budaya Batak yang mengandaikan tiap individu berada dalam lembaga pernikahan dan sistem kekerabatan berdasarkan pertalian darah dan hubungan marga. Pernikahan membuat masyarakat Batak bersatu, berhubungan erat satu sama lain, artinya melalui pernikahanlah masyarakat Batak sangat terintegrasi.12 Lembaga pernikahan dan hubungan kekerabatan merupakan tiang terpenting yang menyangga kehidupan tiap orang Batak. Orang Batak sangat suka memiliki keluarga besar dengan banyak kerabat. Pernikahan dan hubungan kekerabatan menjadi tujuan hidup dan memberi makna hidup bagi orang Batak. Ada pepatah orang Batak yang berbunyi: Magodang anak pangolihononhon, Magodang boru pamulion (Artinya : Anak-anak itu baik laki-laki maupun perempuan, jika sudah dewasa wajib dinikahkan).13

Bagi orang Batak, lembaga pernikahan dan hubungan kekerabatan merupakan tempat dimana seseorang memperoleh arti hidup dan pengakuan akan eksistensi dirinya. Seseorang mendapatkan pengakuan melalui lembaga pernikahan dan hubungan kekerabatan yang luas. Hal ini tersirat dalam salah satu unsur dalam falsafah orang Batak: hagabeon. Arti hagabeon adalah mempunyai banyak anak, lelaki dan perempuan. Kehidupan dan kematian yang sia-sia bagi orang Batak adalah tanpa keturunan, terutama jika tak mempunyai anak laki-laki.

12

Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945, hal 133

13

T.M. Sihombing, Filsafat Batak:Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hal 53

(8)

8 Orang Batak menyebut mati tanpa keturuan sebagai “mate ponggol” yang secara literer berarti “mati terputus”. Ada umpama/pepatah Batak mengatakan, ”Hosuk

humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru; Porsuk ni na porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru” (artinya: penderitaan yang terberat

adalah tidak memiliki keturunan).14

Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, bersifat patrilinear, maka laki-laki menjadi pemeran utama dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan adalah bagian dari kerabat ayahnya saat ia gadis kemudian setelah menikah perempuan menjadi bagian kelompok kekerabatan suaminya.15 Adat Batak tak memberi tempat bagi filsafat eksistensialis yang berorientasi pada kemanusiaan manusia dalam tiap individu. Bagi Orang Batak, makna individu terletak dalam identitas kolektif, dimana individu ada untuk masyarakat.

Dengan memperhatikan keterangan di atas, penulis menangkap kesan awal bahwa bagi perempuan Batak ketika belum menikah pada usia di atas 30 tahun adalah kondisi yang sulit karena dalam falsafah-falsafah hidup orang Batak didapati adanya tuntutan bagi orang dewasa untuk menikah. Ditambah lagi adanya stereotip negatif yang dilekatkan masyarakat pada mereka. Masyarakat juga memahami bahwa kodrat perempuan adalah menjadi istri dan ibu sehingga mengakibatkan adanya desakan sosial bagi perempuan bahwa pernikahan adalah kewajiban bagi perempuan.

14

T.M. Sihombing, Filsafat Batak, hal 105

15

Rainy Hutabarat, Perempuan Dalam Budaya Batak: Boru ni Raja, Inang Soripada, dan Pembuka

(9)

9 Berdasarkan latar belakang inilah, penulis ingin mengetahui pergumulan yang dialami perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun berdasarkan pengalaman mereka sendiri dan bagaimana mereka menghadapi pergumulan-pergumulan tersebut. Selanjutnya penulis akan menelusuri bagaimana gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Bandung berperan menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. Menurut penulis hal tersebut perlu dilakukan karena perempuan-perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun tersebut adalah warga jemaat HKBP Bandung sehingga penulis akan menelusuri seberapa besar perhatian gereja HKBP Bandung terhadap perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan bagaimana hal tersebut diwujudkan melalui pelayanan-pelayanan untuk kaum lajang sehingga dapat menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. Akhirnya penulis akan mengkonstruksi suatu teologi yang kontekstual sehubungan dengan pergumulan yang dihadapi perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah:

(10)

10 1. Apakah pergumulan yang dialami perempuan Batak yang belum menikah

pada usia di atas 30 tahun dan bagaimana mereka menghadapi pergumulan-pergumulan tersebut?

2. Bagaimana gereja HKBP Bandung berperan dalam menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun?

3. Teologi kontekstual seperti apa yang dapat dibangun sehubungan dengan pengalaman perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pergumulan yang dialami perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan mengetahui sikap perempuan Batak dalam menghadapi pergumulan-pergumulan tersebut.

2. Untuk mengetahui peran gereja HKBP Bandung dalam menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun.

3. Untuk membangun teologi kontekstual melalui mendialogkan pergumulan perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dengan pemahaman Paulus tentang pernikahan dalam I Korintus 7.

(11)

11

4. Hipotesis

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah:

1. Ada perempuan Batak lajang yang merasa tidak nyaman dengan status mereka karena stereotip negatif yang dilekatkan pada mereka sehingga tidak siap menghadapi pergumulan berkaitan dengan statusnya sebagai perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun.

2. Gereja HKBP Bandung turut berperan mengubah stereotip negatif yang dilekatkan masyarakat pada perempuan yang belum menikah berusia di atas 30 tahun dengan melibatkan mereka dalam pelayanan sehingga mereka dapat menikmati masa lajang mereka dan mampu menghadapi pergumulan sebagai perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun.

3. Gereja HKBP Bandung belum merumuskan teologi kontekstual yang bisa menjawab pergumulan-pergumlan yang dialami sebagai perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun

5. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian fenomenologi dimana pengalaman manusia diperiksa melalui penjelasan yang terperinci dari orang yang diselidiki.16 Peneliti berusaha

16

Andreas B Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif: Termasuk Riset Teologi dan

(12)

12 menggambarkan dan menjelaskan makna pengalaman manusia dan berusaha memperoleh apa yang ada di balik penggambaran orang mengenai pengalamannya tersebut yaitu sampai pada struktur yang mendasari kesadaran.17

5.1 Lokasi Penelitian dan Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bandung Resort Bandung Riau-Martadinata, Jl LLRE. Martadinata No.96 Bandung. Di HKBP Bandung 566 KK (Kepala Keluarga) yang berjumlah 2.737 jiwa. Jemaat dikelompokkan dalam 10 daerah-daerah pelayanan demi memudahkan untuk memberikan pelayanan kepada anggota jemaat.

Penelitian lapangan dilakukan mulai dari 21 Juli 2008 sampai 7 Agustus 2008 dimana selama waktu itu, penulis melakukan wawancara dengan para responden yang dianggap dapat memenuhi tujuan penelitian yaitu perempuan-perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun serta majelis jemaat HKBP Bandung.

5.2 Sampel

Dalam penelitian ini, penulis menetapkan sampel menurut sampel

pertimbangan18 dan sampel berantai.19 Penulis harus lebih dahulu

menguasai lingkungan penelitian, kemudian memilih narasumber berdasarkan pertimbangan bahwa mereka memenuhi kriteria yaitu

17

Andreas B Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif, hal 112

18

John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, Jakarta: PT Grasindo, 1997, hal 38

19

(13)

13 perempuan-perempuan Batak warga jemaat HKBP Bandung yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun tetapi masih berkeinginan menikah. Berdasarkan wawancara penulis dengan Majelis Jemaat di HKBP Bandung, mereka belum pernah mendaftar jemaat yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun sehingga tidak ada daftar yang memastikan jumlah perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun. Oleh karena itu penulis berusaha mencari tahu dengan meminta informasi dari mereka tentang perempuan-perempuan berumur di atas 30 tahun namun belum menikah. Dari informasi yang penulis kumpulkan terdapat 30 orang perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun, namun yang aktif beribadah di HKBP Bandung hanya 13 orang. Mereka yang tidak aktif beribadah di HKBP Bandung karena alasan-alasan tertentu seperti bekerja di kota lain, beribadah di gereja lain, dan lain-lain. Penulis melakukan pendekatan pribadi kepada mereka untuk meminta kesediaan mereka diwancarai secara mendalam namun hanya 8 orang perempuan yang bersedia untuk diwawancarai. Penulis juga mewawancarai Majelis Jemaat HKBP Bandung yaitu 3 orang Pendeta jemaat dan 1 orang penatua yang mengetuai dewan koinonia untuk mengetahui pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada kaum lajang.

(14)

14

5.3 Teknik Pengumpulan Data

Metode yang dipakai untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

5.3.1 Penelitian Pustaka

Penulis menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memaparkan falsafah-falsafah hidup orang Batak Toba tentang pernikahan/perkawinan. Penulis juga akan memaparkan kepercayaan masyarakat tentang kodrat perempuan sebagai istri dan ibu serta stereotip yang melekat pada kaum lajang. Penulis juga akan menggunakan Aturan-Peraturan HKBP untuk mendeskripsikan pelayanan bidang Koinonia, Marturia dan Diakonia di HKBP Bandung.

5.3.2 Penelitian Lapangan

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi dari para responden yaitu perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan Majelis Jemaat di HKBP Bandung. Penulis mewawancarai 8 orang perempuan yang belum menikah berusia di atas 30 tahun untuk mengetahui pergumulan yang mereka alami sebagai perempuan lajang dan bagaimana mereka menghadapinya. Penulis juga mewawancarai Majelis Jemaat di HKBP Bandung untuk mengetahui pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada kaum lajang dan

(15)

15 menganalisa apakah pelayanan tersebut dapat menolong perempuan menghadapi pergumulan-pergumulan sebagai perempuan yang belum menikah/tidak menikah berusia di atas 30 tahun. Penulis mengumpulkan data dengan metode wawancara tidak terstruktur,20 yaitu wawancara yang bersifat mendalam, yang ditandai oleh keterbukaan, keterlibatan, emosional dan kepercayaan antara pewawancara dan orang yang diwawancarai. Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam wawancara adalah pertanyaan tidak tertutup, di mana pertanyaan yang diajukan tidak hanya dijawab melainkan juga ditanggapi, dikomentari, diolah, diperbaiki, dibahas dan dianalisis bersama, untuk memperjelas pemahaman serta mempertajam gagasan.21 Hasil wawancara akan ditanskrip menjadi teks, kemudian akan diringkas dan selanjutnya akan ditafsirkan dengan memberi ruang pada subjektifitas penulis.

20

Andreas B Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif & Kualitatif, hal 228

21

(16)

16

6. Judul

Adapun judul yang dicanangkan untuk penulisan tesis ini adalah:

PEREMPUAN LAJANG BATAK DALAM GEREJA HKBP (Suatu Kajian Teologis Tentang Pergumulan Perempuan Batak

yang belum Menikah pada Usia di atas 30 Tahun Di HKBP Bandung, Resort Bandung Riau-Martadinata)

7. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PENGALAMAN PEREMPUAN BATAK YANG BELUM MENIKAH PADA USIA DI ATAS 30 TAHUN

Bab ini menguraikan pergumulan-pergumulan yang dialami oleh perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun dan bagaimana mereka menghadapi pergumulan-pergumulan tersebut.

BAB III : HKBP BANDUNG DAN PELAYANAN KEPADA

PEREMPUAN BATAK YANG BELUM MENIKAH PADA USIA DI ATAS 30 TAHUN

(17)

17 Bab ini memaparkan peran-peran yang dilakukan gereja HKBP untuk menolong perempuan Batak menghadapi pergumulan-pergumulan sebagai perempuan yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun.

BAB IV : KAJIAN TEOLOGIS TENTANG PERGUMULAN

PEREMPUAN BATAK YANG BELUM MENIKAH PADA USIA DI ATAS 30 TAHUN

Bagian ini merupakan suatu upaya untuk merumuskan sebuah teologi yang kontekstual yang dibangun berdasarkan pengalaman perempuan ketika menghadapi pergumulan-pergumulan yang dihadapi perempuan Batak yang belum menikah pada usia di atas 30 tahun.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan, termasuk saran-saran dan rekomendasi lanjutan terhadap masyarakat dan gereja.

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Pengadilan Negeri Sibolga merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan tiap tahun, disusun dengan mengacu pada Surat Sekretaris Mahkamah Agung

29 Telah diketahui bahwa hal ini dapat meningkatkan risiko dari erosi gigi disebabkan penurunan laju aliran saliva yang berakibat pada pembilasan yang dilakukan tidak cukup

D-III TLB (Teknik Listrik Bandara) Formasi Pola Pembibitan Kemenhub: 24 Taruna/Taruni 3 Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP).

Force majeure dapat diartikan sebagai klausul yang memberikan dasar pemaaf pada salah satu pihak dalam suatu kontrak jual beli internasional, untuk menanggung

Senam aerobik ini merupakan suatu bentuk proses kegiatan fisik yang ritmis dilakukan secara terus menerus dengan memadukan beberapa gerakan yang bertujuan untuk

Diagram representasi substasiun penelitian dalam kaitannya dengan parameter biofisik dan kimia lingkungan pada perpotongan sumbu F1 dan F2 (Gambar 3b), memperlihatkan

Hasil wawancara dengan Bpk. Sutopo Kabid Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Blitar.. Untuk mempercepat dan memperlancar pelaksanaan sistem resi gudang

Dari persepsi netizen Indonesia, jika pemerintah ingin merevisi logo Asian Games 2018, empat hal utama yang perlu diperhatikan adalah logo perlu memiliki tampilan dan