• Tidak ada hasil yang ditemukan

I WANT GO BACK TO THE START

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I WANT GO BACK TO THE START"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

I WANT GO BACK TO THE START

(PREQUEL)

Sekarang jam 22.30.

Biasanya aku sudah terkapar di atas tempat tidurku. Tapi sejak Oktavia menolakku mentah-mentah, aku merasa semua yang indah itu hanya ada dalam dongeng saja. Terkadang aku berharap bisa hidup di dalam dunia yang tak ada siang ataupun malam. Dunia yang bisa membuatku terbebas dari yang namanya mengkhayalkan wajahnya.

Oktavia.

Aku sudah menyukainya sejak kami masih duduk di bangku kelas 2 SD. Sejak dulu dia memang sudah cantik, apalagi sekarang. Wajar jika dia menolakku, karena ada yang lebih keren dan bisa mengantarnya dengan mobil halus dan dompet tebal. Mungkin dia sudah lupa saat SD dulu dia pernah berjanji dengan seutas jerami.

(2)

Berapa sih harga seutas jerami jika dibandingkan dengan berlembar-lembar kertas berwarna merah seratus ribuan. Seharusnya aku lebih waras dengan tangan terbuka melepaskannya.

Yang kuingat hanya satu kata yang diucapkannya, “Sampai kapanpun kita masih bisa bersahabat, kan? Aku lebih nyaman dengan status itu, Lilo. Kamu pasti juga tahu kan kedekatanku dengan Rivo. Kuharap kamu bisa mengerti dan tidak membuat keadaan di antara kita menjadi lain. Ayolah, Lilo. Maaf ya.”

Hanya dia yang memanggilku Lilo. Aku ingin dia memanggilku Lilo tapi dengan panggilan khusus, bukan sebagai sesosok sahabat tempatnya nyampah jika dia sedang ada masalah dengan Rivo.

“Ngapain pandangi aku kaya gitu, Brown? Kamu belum pernah rasakan sakitnya ditolak, jadi jangan sok pasang wajah iba melihatku gitu deh,” kataku pada Brown. –Brown adalah anjingku yang gede dengan bulu yang halus. Dulu aku memanggilnya Bworn. Maklum saat itu aku belum tahu ejaan yang benar nulis warna coklat dalam bahasa Inggris itu gimana.-

(3)

Brown hanya diam, lalu kembali ke tempat tidurnya di dekat pintu. Dia selalu tahu yang kukatakan, tapi aku? Aku mungkin tak pernah mau tahu yang diinginkannya. Semalaman aku menggambar banyak sekali dalam buku tulisku dan menjelaskannya pada Brown hingga dia tertidur. Kaya orang gila saja rasanya putus sebelum jadian.

Awal tahun ajaran adalah awal memulai aktifitas baru. Dunia baru di kehidupan pendidikan yang kurasakan sangat menjenuhkan di kelas X. Semua serba hitam putih. Tidak ada warna sama sekali dalam catatan perjalananku selama satu tahun.

Ya, prestasiku biasa saja. Tidak tergolong siswa berprestasi juga tidak tergolong siswa bloon. Terkadang aku iri dengan anak-anak yang bersikap semau gue, tapi lebih diperhatiin oleh banyak guru. Mereka dimarahi, dihukum tapi seperti sangat menikmati dosa-dosanya. La, aku? Catatan buku ini nihil, jika harus membuat autobiografi perjalanan sekolahku selama satu tahun, hanya akan berisikan satu kata -KOSONG. Aku tak pernah bisa konsentrasi menerima materi matematika, bisa dibilang aku lemah dalam hal ini.

“Berapa determinannya, Elvan?!!!!” bentak Pak Bian membuatku gelagapan mau jawab apa.

(4)

Determinan itu apa? Perasaan di buku milik Willis Emerson tidak pernah dibahas masalah Determinan. Waduh gawat nih, Pak Bian itu orangnya idealis dan suka menghukum dengan cara konvensional. Mampus deh gua. Aku membuka-buka bukuku, dan seisi kelas mulai mengarahkan pandangannya padaku. Bodoh. Harusnya tadi tuh aku membuka mataku dan lihat ke papan tulis karena pertanyannya ada di depan. Ya Tuhan. Mana soalnya Matrix seperti itu mana aku paham.

“Berapa?” ulang Pak Bian mulai berjalan mendekat padaku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku tanda tidak tahu jawabannya. “Ada yang tahu?”

Tumben Pak Bian tidak menghukumku. Dia beranjak kembali ke muka kelas lalu meminta siapa saja menjawabnya. Jiah, ternyata seisi kelas juga tidak tahu. Selamatlah aku, tapi…

“25 Pak,” kata Caroline membuatku tersungkur di mejaku setelah Pak Bian membenarkan jawabannya.

Jadi deh hukumannya. Aku diminta untuk mengerjakan 50 soal matriks mencari Determinan Matriks dengan Metode Kofaktor lalu dengan metode Sarrus. Perlu diketik ulang dengan huruf capital “MALAS”.

(5)

“Satu saja sudah sepanjang ini mengerjakannya?” tanyaku pada Loline panggilan Caroline.

“Panjang gimana?” tanya Loline dengan wajah kesal karena aku terlalu bloon.

“Ya itu? Panjang kan?”

“Aku beri kamu contoh tiga cara, Elvan. Terserah kamu mau pilih kerjainnya pakai baris pertama, baris kedua, atau mau pakai kolom. Tuh kan hasilnya sama semua.” Loline menjelaskannya lebih tidak manusiawi dari cara penjelasan Pak Bian.

Blank.

Aku sama sekali tidak paham yang baru saja dijelaskan Loline. Bahkan mungkin jika dia mengulanginya sepuluh kali lagi, aku juga tidak akan paham kok bisa ketemu seperti itu. Pada dasarnya memang aku tidak suka pada bidang matematika mau apa lagi. Akhirnya aku malah mengeluarkan buku milik Emerson.

(6)

“Elvan!” kata Loline kesal ketika aku malah membuka-buka buku yang tidak ada kaitannya dengan tugasku.

“Kamu tahu kan jika aku tidak bakat di bidang ini,” belaku tanpa mempedulikan penjelasannya.

“Yang dapat tugas kan kamu. Kamu saja baca buku itu ada waktu, kenapa baca materi Matriks malah jadi malas. Terserah kamu saja.”

Pulang deh dia. Terus yang kerjain tugasku siapa dong? Aku buta sama sekali tentang materi Matriks. Saat aku mencoba mencari-cari di Internet, tapi malah menemukan film The Matrix. Keren sekali film ini. Banyak sekali filosofi yang bisa kuambil dari cerita di film ini. Terutama tokoh utamanya yang bernama Neo yang tak jauh beda dengan diriku. Intinya film ini sangat keren. Sekuelnya juga seru.

Loh.

Terus tugasku selesainya kapan dong? Aku malah menghabiskan empat jam untuk nonton film The Matrix Trilogi. Apalagi pas tahu jika film ini akan ada seri keempatnya, ga sabar pengen segera nonton. Bodo amat dengan tugasku.

(7)

Hari berikutnya sikap Loline mulai berubah. Setiap hari semakin menjauh. Mungkin dia kesal dengan sikapku yang masa bodoh, tapi lama-lama aku cape juga dengan sikapnya. Aku memang tidak mau mengaku jika semua itu salahku, bibir ini berat untuk bilang maaf.

“Hai,..” sapaku datar.

Dia hanya diam dan kembali menghindariku. Kok aku jadi serba salah gini coba? Aku semakin merasa tak nyaman dengan semua beban ini. Dia menjauh dan menjauh lagi. Saat aku duduk di sampingnya dia malah menghindar pergi. Aku kesannya jadi nguber-uber dia gitu. Biasanya dia tidak pernah tahan marahan selama ini. Jika kuhitung lagi sejak peristiwa mengerjakan tugas itu sudah hampir satu bulan deh.

“Loline,...” panggilku dan dia melihat sekilas ke arahku lalu beranjak pergi lagi.

Nyesek banget rasanya diabaikan terus menerus seperti ini. Padahal kan aku hanya ingin minta maaf sama dia. Tidak lebih. Aku hanya berharap bisa berteman seperti dulu lagi, dan akan mencoba menata kembali diriku untuk belajar dengan benar.

(8)

Setiap hari dia hanya sibuk dengan tugasnya. Terkadang aku cemburu dengan tugas-tugasnya. Aku ingin menjadi bahan penelitiannya yang selalu mendapat porsi lebih perhatiaannya. Ternyata meminta maaf itu tidak semudah saat berbuat salah.

Loline...

Aku sengaja menulis surat ini. Jika kau robek juga ya nasib. Tapi aku hanya ingin kamu jelaskan letak salahku, sebelum aku gila kau abaikan seperti ini terus. Apa salahku, Loline? Katakan!

Elvan

Apes. Tadinya kukira, dia akan membacanya setelah kuberikan surat itu, tapi tidak. Dia meremasnya dan melemparnya ke tong sampah. Hancur hatiku, memungut kembali surat itu dari tong sampah. Rasa sakit ini lebih menyakitkan daripada saat Oktavia menolakku saat itu.

(9)

Oktavia datang dan duduk di hadapanku saat aku mulai membaca buku Emerson yang selalu kubawa. Tiba-tiba saja jantungku berdetak tidak karuan seperti ini.

“Kamu suka Loline ya?” tanya dia.

Aku tak memiliki susuan kata yang tepat untuk kukatakan padanya, “Dia masih marah padaku.”

“Apakah kamu suka dia?” tanya Okta sekali lagi. “Bagaimana kabarmu dengan Rivo?” Pertanyaan Okta terlalu sulit untuk kujawab. Sederhana, tapi tidak mudah.

“Aku sudah putus, Lilo. Aku sedih melihatmu seperti ini terus. Sekarang aku sadar siapa orang yang sebenarnya kuinginkan. Kamu.” Aku pasti salah dengar, atau memang telingaku sedang gangguan.

Oktavia nembak aku? Apa tidak salah?

“Jangan bercanda deh. Rivo nyakitin kamu ya?” “Emm.” Dia hanya menggelengkan kepalanya, “Tapi jika kamu memang sudah menetapkan hatimu

(10)

untuk Loline, aku bisa mengerti kok. Aku yang dulu bodoh tidak memahami perasaanku sendiri.”

Oktavia memegang tanganku dan melihatku penuh harap. Anehnya getaran itu semakin lama semakin tak terasa. Aku tidak lagi merasakan detakan tidak karuan yang tadi kurasakan saat dia memanggilku Lilo. Ini sangat tidak lucu menurutku. Harusnya aku senang dia sudah putus dengan Rivo dan aku bisa bersamanya seperti impianku sejak SD.

“Lilo, apakah tawaran itu masih berlaku?” tanya Oktavia memabngunkan lamunanku.

Aku tak bisa menjawabnya. Terlalu kompleks bagiku. Bibirku tak bisa memilih kata yang tepat walaupun itu hanya kata, “tidak.” Aku hanya tersenyum kepadanya tanpa mengatakan sesuatu. Aneh rasanya menjalani peran kebersamaan semacam ini tanpa lagi menyimpan perasaan yang tak lagi terasakan.

Setiap kali kulihat Loline, aku merasa sangat bersalah. Padahal jika kuingat-ingat kembali kesalahanku tidak begitu fatal. Masa juga hanya karena aku baca buku bukan buku tentang Matriks, dia bisa ngambek selama itu.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran tentang kemampuan penalaran matematis siswa materi operasi pecahan bentuk aljabar menggunakan PMRI dan LSLC sebagai

Saya menyatakan bahwa data yang saya isikan dalam formulir pendaftaran SNMPTN 2016 adalah benar dan saya bersedia menerima ketentuan yang berlaku di Perguruan Tinggi dan Program

Based on the research results, it can be concluded that the addition of micronutrient and fermentation time 48 hours up to 144 hours can increase the

5. Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan

POKJA I Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2017 Berdasarkan Berita Acara Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran Nomor :

On the otherhand, low pH, higher water transparency and colorless water were found in stations where the researchers re- corded high richness of riparian

Dari pemaparan pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa Kurikulum berbasis kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi

Formulir gawat darurat yang ada belum memenuhi kebutuhan standar akreditasi rumah sakit versi 2012 untuk assessment awal medis meliputi identitas pasien, jenis