• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBELAJARAN MEMBACA PUISI DAN POTENSI TRADISI PELISANAN MACAPAT DALAM PARADIGMA PENDIDIKAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBELAJARAN MEMBACA PUISI DAN POTENSI TRADISI PELISANAN MACAPAT DALAM PARADIGMA PENDIDIKAN INDONESIA"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBELAJARAN MEMBACA PUISI

DAN POTENSI TRADISI PELISANAN MACAPAT

DALAM PARADIGMA PENDIDIKAN INDONESIA

Untuk sampai pada pemahaman yang cukup bagi usaha pembahasan dalam penelitian disertasi in

i, pada bab ini akan dipaparkan konsep-konsep dasar yang meliputi: (1) seni tradisi dalam konteks sosial masyarakatnya, (2) seni macapat, (3) hakikat pendidikan dan paradigma baru pendidikan Indonesia, (4) pendidikan seni sastra di sekolah, (5) puisi dan seni membaca puisi sebagai karya kreatif (6) model pembelajaran, dan (7) model pembelajaran membaca puisi dengan memanfaatkan tradisi pelisanan macapat.

2.1 Seni Tradisi dalam Konteks Sosial Masyarakatnya

Keberadaan seni tradisi tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial masyarakatnya. Sebagai peristiwa dan tontonan, roh seni tradisi hanya dapat ditemukan ketika ia berada di tengah masyarakatnya, demi kebutuhan-kebutuhan transenden hingga dalam peristiwa keseharian yang pragmatis sekalipun. Hal demikian tidak lepas dari kenyataan bahwa seni tradisi memiliki peran yang melekat pada masyarakatnya. Dalam konteks ini, Bandem & Murgiyanto

(2)

(1996:27–33) menekankan bahwa seni tradisi memiliki sejumlah peran, yaitu sebagai (1) sarana upacara, (2) hiburan, (3)media komunikasi, dan (4) pengucapan sejarah.

Sebagai sarana upacara, seni tradisi dapat berposisi sebagai bagian dari rangkaian upacara atau bentuk upacara itu sendiri. Ini dapat berlangsung siang atau malam, dan terkait dengan upacara keagamaan. Sebagai hiburan, seni tradisi biasa ditujukan pada orang-orang yang sedang berpartisipasi dalam kegiatan tertentu ataupun pada orang-orang yang khusus menjadi penonton. Dalam konteks hiburan ini, sajian artistik menjadi perhatian penting demi tercapainya rasa puas dan terhiburnya penonton. Sebagai media komunikasi, seni tradisi mengemban fungsi penyaluran informasi. Hal demikian sejalan dengan sifat komunal yang dimiliki seni tradisi. Sebagai pengungkapan sejarah, seni tradisi umumnya mengangkat materi atau peristiwa masa lalu. Dengan demikian, masyarakat mendapatkan informasi yang sekaligus memahami sejarah.

Seni tradisi dengan peran sebagaimana diuraikan di atas umumnya dikenal dalam bentuk sastra dan pertunjukan (teater). Sifat khas seni tradisi dapat digali akar-akarnya dalam upacara agama. Dalam hal ini, Saini K.M. (Malaon, dkk., 1986:41) mengutarakan sebagai berikut.

Upacara-upacara agama sudah barang tentu tidak dilakukan dalam rangka menggambarkan kenyataan objektif, melainkan kenyataan yang ada di atas kenyataan sehari-hari, atau kenyataan transendental. Mudah dipahami kalau teatrikalisme pentas dan perlengkapan pentas tidak berusaha meniru apa yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tak jarang digunakan perlengkapan yang semata-mata dipergunakan untuk teater, misalnya gunungan dan blencong dalam wayang kulit .... Bahkan pada berbagai jenis teater tradisional, perlengkapan bukan saja masih dipergunakan, akan tetapi para

(3)

pemainnya tidak merasa tenteram kalau perlengkapan itu tidak tersedia. Tidak mengherankan kalau pada awal pertunjukan dupa dinyalakan, kemenyan dibakar, dan sajen tersedia.

Sifat khas seni tradisi sebagaimana gambaran di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya keseluruhan perlengkapan, proses, dan bentuk seni tradisi tidaklah semata-mata mewakili dirinya, tetapi mewakili hal-hal yang ada di belakangnya. Dengan kata lain, keseluruhannya bersifat simbolik. Karena sifatnya yang transendental, maka simbol-simbol itu kaya makna dan dalam.

Lebih lanjut, Saini K.M. (Malaon, 1986:45) menunjukkan bahwa bahasa dan sastra dalam seni tradisional memiliki kedudukan sangat penting pula. Bahasa dalam seni tradisional bersifat formal dan sangat terikat pada fungsi artistik dan teatrikalnya. Itulah sebabnya jika tidak sepenuhnya berupa puisi, bahasa dalam seni tradisi memiliki kecenderungan puitik yang sangat kuat.

Kenyataan bahasa yang puitik, karena berorientasi pada aspek artistik, tidak jarang juga menimbulkan jarak komunikasi dengan penikmat (audience) seni tradisi. Namun demikian, hal ini pulalah yang menunjukkan kekhasan dan kekuatan seni tradisi di tengah masyarakatnya. Penikmat atau masyarakat hampir tidak pernah mempersoalkan bahasa yang tidak mudah atau bahkan tidak dimengertinya. Hal ini karena ada aspek lain yang dipandang lebih penting, antara lain adalah adanya kekuatan spiritual dalam seni tradisi.

2.2 Seni Macapat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) disebutkan bahwa macapat adalah bentuk puisi Jawa tradisional, setiap baitnya mempunyai baris kalimat

(4)

(gatra) tertentu, setiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pd bunyi sanjak akhir (guru lagu; guru suara tertentu), msl Dandanggula, Kinanti, Maskumambang. Sementara Mustopo & Sumantri (1993:4) menyebutkan bahwa macapat sebagai “lagu winengku sastra”. Artinya, macapat itu merupakan jenis lagu yang mengedepankan aspek sastra. Mencipta macapat tidak dapat sekenanya, melainkan harus mmematuhi aturan tertentu.

Dari paparan tersebut selanjutnya dapat dipahami bahwa aturan-aturan

pada (bait), gatra (baris), guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris), dan guru lagu/swara (bunyi) tidak lain adalah untuk memenuhi aspek (keindahan) sastra.

Hal demikian dipertegas dengan kenyataan bahwa jika disimak, kata-demi kata dalam macapat bukanlah kata-kata bahasa Jawa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kata yang dipakai dalam macapat umumnya telah mengalami pengolahan untuk mendapatkan aspek sastrawinya.

Ada sebagian orang yang mengartikan macapat sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Mengenai pengertian macapat yang dikaitkan dengan cara membaca empat-empat ini, Mustopo & Sumantri (1993:3) menyatakan sebagai berikut.

Tembang macapat kang wus sumebar ing bebrayan umum, ana sadhengah wong kang nduweni panemu manawa tembang macapat iku diarani ‘maca papat-papat’ (manut kerata basa). Panemu kasebut sejatine isih kurang trep, amarga nembang utawa nglagokake macapat iku dudu nembang sarana dopedhot papat-papat (ora dipedhot saben 4 wanda).

Berdasarkan paparan Mustapa & Sumantri tersebut, pengertian macapat yang diarahkan pada cara membaca tembang tersebut dengan tiap empat suku kata (patang wanda) hanyalah pendapat sebagian orang dan tidak sepenuhnya

(5)

benar. Hal ini karena dalam kenyataannya, pembacaan macapat tidak selalu dengan cara pemutusan rangkaian kata dalam baris pada tiap empat suku kata. Lebih lanjut, Mustapa & Sumantri (1993:4) menguraikan bahwa pemutusan rangkaian kata disebut dengan istilah pedhotan; dan dalam macapat dikenal ada

pedhotan kendho (pemutusan longgar) dan pedhotan kenceng (pemutusan

kencang/ketat). Pedhotan kendho merupakan cara pemutusan yang terletak pada akhir kata. Misalnya: ojo turu / sore kaki. Adapun pedhotan kenceng merupakan pemutusan yang terletak tidak pada akhir kata. Misalnya: anoman ma- / -lumpat

sampun; podho gulang- / -en ing kalbu. Pedhotan kenceng dilakukan umumnya

untuk menerapkan cara pembacaan tiap empat suku kata.

Mengenai cara pembacaan yang tidak selalu empat suku kata-empat suku kata terdapat banyak variasi. Mustopo & Sumantri (1993:4); Sandi (Tanpa tahun:3) memberikan contoh variasi pedhotan kendho sebagai berikut.

a. Gatra yang terdiri atas 5 suku kata (pada tembang Durma gatra ke-6)

Baris (Gatra) Pedhotan dalam Pembacaan Pola Pedhotan

Ari laksmana Ari / laksmana 2 – 3

Kadanga dewa Kadhanga / dewa 3 – 2

b. Gatra yang terdiri atas 6 suku kata (pada tembang Mijil gatra ke-2)

Baris (Gatra) Pedhotan dalam Pembacaan Pola Pedhotan

dununge tan adoh dununge tan / adoh 4 – 2

dununge limang nggon dununge / limang nggon 3 – 3

(6)

c. Gatra yang terdiri atas 7 suku kata (pada tembang Pangkur gatra ke-4)

Baris (Gatra) Pedhotan dalam Pembacaan Pola Pedhotan

maratani sajagad maratani / sajagad 4 – 3

myang ingkang para suka myang ingkang / para suka 3 – 4

yen tan mikani rasa yen tan / mikani / rasa 2 – 3 – 2

d. Gatra yang terdiri atas 8 suku kata (pada tembang Asmaradana gatra ke-1) Baris (Gatra) Pedhotan dalam Pembacaan Pola Pedhotan

Brajamusti Jambumangli Brajamusti / Jambumangli 4 -4

Tan ana kumliwer aglis tan ana / kumliwer / aglis 3 – 3 – 2

Sigra angraup pasalin sigra / angraup / pasalin 2 – 3 – 3

e. Gatra yang terdiri atas 9 suku kata (pada tembang dhandhanggula gatra ke-5) Baris (Gatra) Pedhotan dalam Pembacaan Pola Pedhotan

Pangrasane sampun udani Pangrasane / sampun / udani 4 – 2 – 3

Datan wruh yen akeh ngesemi

Datan wruh yen / akeh nge- /sem-i 4 – 3 – 2

e. Gatra yang terdiri atas 10 suku kata atau lebih (pedhotan diambil 4 di awal, selebihnya menggunakan rumus yang ada)

Baris (Gatra) Pedhotan dalam Pembacaan Pola Pedhotan

Lan den sami mantep maring becik

Lan den sami / mantep / maring becik

4 – 2 – 4

Akarana karenan mardi siwi

(7)

Mapan ana sesiku telung prakara

Mapan ana / sesiku / telung pra- / -kara

4 – 3 – 3 – 2

Dalam masyarakat Jawa, dikenal ada beberapa ragam puisi rakyat. Ragam puisi jawa ini dapat ditetapkan berdasarkan aspek bentuk. Dari segi bentuk, puisi jawa dapat dibedakan menjadi (1) tembang yasan, (2) tembang para, dan (3) puisi Jawa bebas (Endraswara, 2010:133). Tembang yasan merupakan puisi yang menerapkan aturan (metrum) baku, tidak berubah-ubah, biasanya menggunakan bahasa Jawa kuno dan tradisional. Tembang para merupakan puisi Jawa yang memiliki aturan tetapi relatif longgar. Adapun puisi Jawa bebas merupakan jenis puisi Jawa yang tidak memiliki aturan secara jelas, sehingga ada kebebasan kreativitas.

Macapat merupakan salah satu bentuk tembang yasan (selain kekawin,

kidung, tembang gedhe, dan tembang tengahan). Dalam masyarakat Jawa, dari

kelima bentuk tembang yasan tersebut, yang paling populer adalah tembang

gedhe dan macapat. Endraswara (2010:134–150) menguraikan bahwa tembang gedhe biasanya digunakan sebagai bawa (mengawali) gendhing dan suluk dalang. Tembang gedhe merupakan puisi yang berupa deskripsi suasana makrokosmos.

Secara tidak langsung, tembang gedhe juga menjadi wahana ekspresi jagad gedhe (alam semesta). Melalui tembang gedhe (baik sebagai bawa maupun suluk), penikmat akan menjadi lebih mudah dalam memahami alam semesta. Adapun

macapat dikenal sebagai jagad cilik (mikrokosmos), berisi pikiran/gagasan

(8)

pengarang, isu-isu yang diangkat dan disampaikan sebagai refleksi maupun representasi kehidupan sosial masyarakat.

Sebagai tembang yasan, macapat ditulis dengan memenuhi aturan metrum, yang meliputi guru gatra (jumlah baris), guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris), dan guru lagu/swara (bunyi suku akhir tiap baris). Metrum ini sekaligus menunjukkan jenis-jenis macapat dengan ciri isi dan suasana yang terkandung di dalamnya. Perbedaan ciri isi dan suasana tersebut selanjutnya menjadi penanda bagi penyebutan jenis-jenis macapat.

Sutopo & Sumantri (1993:4–6) menguraikan bahwa tembang macapat ada sebelas jenis, yaitu dhandhanggula, sinom, kinanthi, asmaradana, pangkur, mijil, pocung, durma, maskumambang, megatruh, dan gambuh. Terkait dengan jenis tembang macapat, terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa nama jenis-jenis macapat tersebut melambangkan siklus kehidupan manusia. Namun demikian, terdapat sejumlah penafsiran yang berbeda-bedan menegenai tata urutannya. Salah satu bentuk penafsiran tata urutan macapat sebagai gambaran siklus kehidupan manusia disampaikan oleh Samsubur (2011), yaitu (1) maskumambang (masa dalam kandungan), (2) mijil (masa kelahiran) , (3) kinanthi (masa kanak-kanak), (4) sinom (masa tumbuh dewasa), (5) asmaradana (masa mengenal asmara), (6) gambuh (masa membina rumah tangga), (7) dandanggula (masa jaya), (8) durma (masa berdarma), (9) pangkur (masa menghindari hawa nafsu), (10) megatruh (masa kematian), (11) pucung (masa seseorang sudah berkain kafan).

(9)

Selanjutnya, metrum (guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu) masing-masing jenis macapat tersebut dapat diuraikan dalam bentuk tabel berikut.

Tabel 2.1

METRUM MACAPAT

No. Jenis Macapat

Jumlah Baris Tiap Bait

Jumlah Suku dan Guru Lagu Baris Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Maskumambang 4 12i 6a 8i 8a

2 Mijil 6 10i 6o 10e 10i 6i 6u

3 Kinanthi 6 8u 8i 8a 8i 8a 8i

4 Sinom 9 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a

5 Asmaradana 7 8i 8a 8e/o 8a 7a 8u 8a

6 Gambuh 5 7u 10u 12i 8u 8o

7 Dhandhanggula 10 10i 10a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a

8 Durma 7 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i

9 Pangkur 7 8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i

10 Megatruh 5 12u 8i 8u 8i 8o

11 Pucung 4 12u 6a 8i 12a

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tiap jenis macapat memiliki kandungan isi dan suasana. Gambaran isi dan suasana tiap jenis macapat adalah sebagai berikut (Mustopo & Sumantri, 1993:6–7; Samsubur, 2011).

(10)

Jenis macapat ini dikaitkan dengan keadaan janin dalam kandungan, yang disimbolkan sebagai emas kang kumambang (emas yang mengambang). Watak tembang ini umumnya seperti menggambarkan kondisi belum jelas, terlunta-lunta, sengsara, dan cocok untuk menggambarkan hati yang tersentuh. Dalam konteks yang lain, maskumambang juga dikaitkan dengan gambaran laki-laki pada masa tumbuh dewasa, yang melanglang buana mencari jati diri.

2) Mijil

Mijil mengandung arti lahir, bayi yang lahir dari kandungan. Tembang

mijil umumnya menggambarkan isi dan suasana penyadaran (wedharing rasa) dan tepat untuk menyampaikan cerita yang berisi petuah/pesan.

3) Kinanthi

Kinanthi menggambarkan kanak-kanak. Kata kinanthi berasal dari kata kanthi yang artinya menuntun. Sisipan –in- bermakna pasif, jadi kinanthi

berarti dituntun. Maksudnya dituntun untuk dapat tumbuh dan menjalani hidup.

Kinanthi merupakan jenis macapat yang umumnya digunakan untuk

menggambarkan rasa senang, kecintaan, dan kebijaksanaan. Adakalanya

kinanti juga dikaitkan dengan maskumambang. Jika maskumambang

menggambarkan laki-laki yang sedang tumbuh dewasa, maka kinanthi untuk menggambarkan perempuan yang sedang tumbuh dewasa.

(11)

Sinom artinya daun yang masih muda. Macapat jenis sinom memiliki sifat

batiniah muda, seperti seorang anak yang baru mengerti dunia. Artinya masa yang sangat penting dan paling penting untuk menimba pengetahuan sebanyak-banyaknya.

5) Asmarandana

Asmarandana atau asmaradana merupakan jenis macapat yang umumnya digunakan mengungkapkan isi hati yang sedang dilanda asmara, Asmara mengandung arti jatuh cinta, dan dahana artinya api atau gejolak. Gejolak cinta dalam arti yang luas: cinta sesame manusia maupun cinta manusia pada Tuhannya. Suasananya dapat senang, sedih, atau prihatin.

6) Gambuh

Gambuh dari kata jumbuh yang mengandung arti sesuatu yang memiliki

kesamaan. Ini berarti pula kecocokan. Jika dikaitkan dengan pasangan pria dan wanita, maka gambuh ini menggambarkan dipertemukannya pria-wanita untuk membina rumah tangga. Gambuh juga berisi petuah agar manusia selalu mengingat segala perbuatannya, bahwa semua perilaku manusia itu ada akibatnya. Apa yang diperbuat akan sama dengan apa yang didapat. Sifat sombong hanya akan mencelekakan diri.

(12)

Dhandhanggula merupakan jenis macapat yang berisi pengharapan yang

baik. Oleh karena itu, dhandhanggula biasanya beisi petuah. Dahandhang mengandung arti pengharapan, gula artinya gula dengan sifat rasanya yang manis. Dhandhanggula sering dimaksudkan juga untuk menggambarkan senangnya hidup, hati yang senang, apa yang dicita-citakan tercapai, kejayaan hidup, harapan akan hidup yang baik.

8) Durma

Durma dimaksudkan sebagai darma, berdarma. Hal ini menggambarkan

saatnya seseorang harus melakukan atau berbuat sesuatu. Jika perbuatannya baik dan mau berkorban, maka hidup menjadi berguna untuk negara, masyarakat, keluarga, juga dirinya. Jika perbuatannya jelek,

maka akan

menimbulkan kerusakan.

Oleh karena itu,

durma juga memiliki watak

“galak”, keras, dan marah. Kadang durma juga digunakan untuk menggambarkan suasana yang seram dan menjadikan takut.

9) Pangkur

Pangkur berasal dari kata mungkur yang berarti menyingkir. Maknanya

adalah menyingkir dari nafsu angkara murka. Yang ada hanyalah rasa ingin memberi dan berbuat baik pada sesama.Pangkur merupakan tembang macapat yang memiliki watak tinggi. Jika berupa pelajaran, maka merupakan pelajaran yang tinggi. Jika rasa cinta, maka rasa cinta yang sejati.

(13)

10) Megatruh

Dari kata pegat roh yang berarti putus roh/nyawa karena sudah tiba waktunya menghadap Yang Maha Kuasa. Megatruh merupakan jenis macapat yang memiliki watak prihatin dan rasa sesal yang mendalam.

11) Pucung

Pucung merupanan tembang macapat yang mengingatkan pada kematian.

Kata pocung dapat diasosiasikan pada “pocong”, kain mori untuk membungkus jenazah. Tembang pucung digunakan untuk mengingatkan bahwa kehidupan itu ada akhirnya. Namun demikian, pucung juga memiliki watak lain. Bunyi cung mengingatkan pada hal yang lucu seperti halnya masa kecil waktu masih di-kuncung. Oleh karena itu, tembang ini juga sering digunakan untuk mengutarakan hal-hal yang lucu, juga berupa tebak-tebakan.

2.3 Hakikat Pendidikan dan Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia 2.3.1 Hakikat Pendidikan

Terdapat banyak definisi mengenai pendidikan. Namun demikian, satu dan lainnya berada dalam ide dasar yang relatif sama dan apabila terdapat perbedaan maka itu semata-mata memperluas dan mempertegas. Beberapa di antara definisi tersebut adalah sebagai berikut.

Langeveld, seorang pakar pendidikan Belanda, mengemukakan bahwa pendidikan ialah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak

(14)

yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan (Mahfud, 2008:33). Pengertian ini mengacu pada konteks pertumbuhan alamiah manusia. Hal ini tampak pada penggambaran interaksi manusia dewasa dengan manusia yang belum dewasa.

Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan juga diartikan sebagai segala daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi-pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak. Keseluruhannya sebagai kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Menuntun segala kekuatan kodrat agar menjadi manusia dan anggota masyarakat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Dewantara, 1977:14–20). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan menentukan bagi manusia, baik secara individu maupun sosial, fisik maupun mental.

Husein & Aziz (2004:1–2) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk memperkembangkan pengetahuan, kemahiran, tingkah laku, dan perwatakan (karakter) pelajar. Walaupun definisi pendidikan bisa berbeda di

(15)

antara banyak orang, namun diakui bahwa tujuan pendidikan terdapat di dalam proses pendidikan itu sendiri.

Dalam berbagai perspektif dan dengan berbagai penjelasan masing-masing, pendidikan dapat diartikan sebagai proses transformasi budaya, proses pembentukan pribadi, proses penyiapan warga negara, proses penyiapan tenaga kerja, dan sebagainya (Tirtarahardja & La Sulo, 2005:33–37). Perspektif yang dimaksudkan pada umunya adalah menempatkan suatu aspek menjadi pusat perhatian dalam pembahasan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kompleks.

Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan dimaksudkan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam konteks ini, terdapat tiga bentuk transformasi, yaitu (1) nilai yang masih cocok diteruskan, (2) nilai yang kurang cocok diperbaiki, dan (3) nilai yang tidak baik diganti. Dengan demikian, pendidikan dalam definisi pewarisan budaya tidak semata-mata mengekalkan budaya secara estafet, melainkan sebuah upaya konstruktif dan mempunyai tugas menyiapkan peserta didik untuk kehidupam masa depan.

Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan sistematis dan sistemik yang mengarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Bayi yang baru lahir belum memiliki kepribadian atau kepribadiannya belum terbentuk. Ia baru sebagai individu. Untuk menjadi suatu pribadi perlu mendapatkan bimbingan, pelatihan, pengalaman melalui bergaul bersama lingkungan, khususnya dengan lingkungan pendidikan. Proses

(16)

pembentukan pribadi ini mencakup pembentukan cipta, rasa, dan karsa (kognitif, afektif, dan psikomotor), yang keseluruhannya sejalan dengan pengembangan fisik.

Sebagai proses penyiapan warga negara, pendidikan diartikan sebagai kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. Ukuran baik di sini tentu bersifat relatif, tergantung pada tujuan nasional suatu bangsa. Hal demikian dikarenakan oleh setiap bangsa memiliki falsafah yang berbeda-beda.

Sebagai proses penyiapan tenaga kerja, pendidikan diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. Pembekalan yang dimaksudkan meliputi pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja. Dalam perspektif ini, pembekalan demikian menjadi sesuatu yang penting dan misi utama pendidikan.

Keseluruhan uraian mengenai konsep pendidikan di atas menunjukkan bahwa pendidikan merupakan sebagai usaha sadar manusia. Hal ini secara pokok ditandai oleh adanya maksud atau tujuan yang hendak dicapai melalui peristiwa pendidikan. Selain itu, pendidikan juga dipastikan melibatkan banyak aspek yang masing-masingnya memiliki peran dan fungsi, serta memiliki keterjalinan. Dengan demikian pendidikan merupakan upaya yang sistematis dan sistemis.

Dengan memerhatikan definisi pendidikan sebagaimana telah diuraian oleh sejumlah pakar di atas, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar manusia yang dilakukan secara sistematis dan sistemis untuk menuntun dan memajukan tumbuhnya budi-pekerti (kekuatan

(17)

batin, karakter), pikiran (intelektual), dan jasmani bagi pencapaian keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Bagi kehidupan manusia, pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Hal ini terutama bila dikaitkan dengan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Tanpa pendidikan, suatu kelompok manusia atau masyarakat tidak mampu bertahan hidup dan berkembang sesuai dengan harapan, cita-cita sebagaimana konsep dan pandangan hidupnya.

Pendidikan terlaksana sebagai suatu proses memobilisasi segenap komponen pendidikan bagi pencapaian tujuan pendidikan (Tirtarahardja & Sulo, 2005:20). Dalam konteks keseluruhan, kualitas proses pendidikan dipengaruhi oleh kualitas komponen dan kualitas pengelolaan. Selanjutnya, bagaimana suatu proses pendidikan dilakukan akan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan pendidikan.

Yang menjadi tujuan utama pengelolaan proses pendidikan adalah terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal. Di sini menunjukkan bahwa pengelolaan proses pendidikan harus memperhitungkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam pengelolaan proses pendidikan, setiap pendidik harus menekuninya secara saksama dan terus melakukan inovasi.

Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yang selanjutnya disebut sebagai unsur-unsur dalam pendidikan (Tirtarahardja & Sulo, 2005:51), yaitu: 1) subjek yang dibimbing (peserta didik),

(18)

3) interaksi antara peserta didik dan pendidik (interaksi edukasi), 4) arah bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan),

5) pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan), 6) cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode), dan 7) tempat peristiwa bimbingan dilangsungkan (lingkungan pendidikan).

Ketujuh unsur pendidikan tersebut dalam implementasinya terlaksana dalam kerangka sistem, yang menunjukkan keberkaitannya antara yang satu dengan yang lain. Secara komprehensif, keseluruhan unsur pendidikan dapat digambarkan dalam kerangka sistem pendidikan sebagai berikut (Tirtarahardja & Sulo, 2009:61). INSTRUMENTAL INPUT Administrasi Anggaran Tenaga Guru & Non-Guru Kurikulum Sarana & Prasarana PROSES PENDIDIKAN RAW INPUT SISWA BARU OUTPUT LULUSAN Sosial Budaya Politik Kependu-dukan Keamanan Ekonomi, dll. ENVIRONMENTAL INPUT

(19)

Bertolak dari ikatan sistem sebagaimana gambar di atas, selanjutnya dapat dipahami bahwa setiap aktivitas pengembangan yang menyangkut aspek dalam pendidikan dituntut untuk selalu mempertimbangkan dan memerhatikan aspek lain secara keseluruhan. Misalnya, dalam mengembangkan strategi pembelajaran harus mempertimbangkan aspek guru, siswa, sarana-prasarana, ekonomi, dan lain-lain.

Penyelenggaraan pendidikan di sekolah pada hakikatnya memiliki tiga misi, yaitu (1) pendidikan kepribadian, (2) pendidikan kewarganegaraan, dan (3) pendidikan intelektual (Uno, 2010:32). Ketiga misi tersebut selanjutnya diaktualisasikan dalam berbagai aktivitas sekolah, baik dalam konteks terbatas pada mata pelajaran maupun dalam konteks yang lebih luas dalam bentuk sinergi antar-mata pelajaran dan program sekolah lainnya.

Sebagai upaya mengembangkan pribadi anak sebagai kaum terpelajar, pendidikan di sekolah sebagai kegiatan yang bersifat formal harus pula memiliki landasan yang kuat, utamanya terkait dengan hakikat manusia. Hal ini dikarenakan kegiatan pendidikan merupakan peristiwa sosial, gejala rohani, dan tindakan manusiawi dalam hubungannya dengan alam, manusia, dan sistem nilai. Hakikat manusia pada dasarnya adalah animal educandum, animal symbolicum, dan homo regiusus (Uno, 2010:32–33). Memerhatikan kenyataan demikian, pendidikan bagi manusia harus menyeluruh, komprehensif, dan memerlukan landasan secara interdisipliner. Dalam konteks ini, pemanfaatan pendekatan secara eklektif menjadi solusinya, yang oleh Brown (2001: 46–48) di antaranya

(20)

disebutkan pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa, pendekatan kooperatif dan kolaboratif, pembelajaran interaktif.

2.3.2 Paradigma Baru Pendidikan Indonesia

Kenyataan mutakhir yang menunjukkan demikian cepat dan gencarnya transformasi sosial dalam kehidupan manusia merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Dalam kerangka menyeluruh, kenyataan demikian tentu memberi akibat pada tuntutan tersedianya sistem pendidikan nasional yang mampu mengatasi dan mengantisipasi perkembangan/tuntutan zaman.

Transformasi sosial yang berlangsung demikian cepat juga memunculkan tuntutan-tuntutan baru dan pandangan-pandangan baru yang kemudian memunculkan gerakan reformasi bidang pendidikan. Tilaar (1999:19) menguraikan bahwa pendidikan nasional harus didasarkan pada paradigma-paradigma baru yang bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat madani yang demokratis. Masyarakat demikian adalah masyarakat yang terbuka, yaitu yang sadar akan harkat martabat kemanusiaannya dan bertanggung jawab terhadap kehidupannya. Kondisi demikian digambarkan sebagai sesuatu yang berlangsung sebagai kesadaran diri, bukan karena paksaan dari penguasa.

Secara substansial, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat dengan manusia sebagai anggotanya dan dengan berbagai dinamikanya. Brubacher (Jalal & Supriadi, 2001:16) menjelaskan bahwa karena pendidikan terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan

(21)

antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara simultan. Di samping itu, secara mikro, pendidikan juga harus memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antarindividu. Dengan mengacu pada konsepsi demikian, maka pemikiran, penataan, dan pengembangan istem pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga terbangun keterpaduan dalam konsep. Oleh karena itu pengembangan sistem pendidikan nasional berpijak pada acuan dasar, yang meliputi acuang filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan strategis.

Paradigma baru pendidikan nasional Indonesia mengarah pada terbangunnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara agar dapat berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Visi demikian kemudian diterjemahkan ke dalam misi, di antaranya adalah meningkatkan muru pendidikan yang memeiliki daya saing di tingkat nasional, regional, dan global, serta meningkatkan profesionalitas dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global.

Berdasarkan nilai-nilai yang dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dewasa ini, selanjutnya dapat terlihat adanya pergeseran dari apa yang selama ini terjadi (paradigma lama) menuju paradigma baru pendidikan nasional Indonesia. Dengan memperbandingkannya dengan paradigma lama, Jalal &

(22)

Supriadi (2001:5) menunjukkan paradigma baru pendidikan Indonesia adalah sebagai berikut.

Paradigma lama Paradigma Baru

• Sentralistik; •desentralistik;

kebijakan top down; kebijakan bottom up;

• orientasi pengembangan parsial: pendidikan untuk pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan teknologi perakitan;

•orientasi pengembangan holistik: pendidikan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, kesadaran hukum;

• peran pemerintah sangat dominan; •meningkatkan peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif;

• lemahnya institusi nonsekolah. •pemberdayaan institusi masyarakat: keluarga, LSM, pesantren, dan dunia usaha.

Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah baru pengembangan pendidikan nasional adalah:

1) kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain; 2) pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial;

3) pendidikan dalam rangka pemberdayaan bangsa;

4) pemberdayaan infrastrukstur sosial untuk kemajuan pendidikan nasional; 5) pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan; 6) penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus

(23)

7) perencanaan terpadu secara horizontal (antarsektor) dan vertikal (antarjenjang –

bottom-up dan top-down planning)

8) pendidikan berorientasi peserta didik; 9) pendidikan multikultural; dan

10) pendidikan dengan perspektif global.

Paradigma baru pendidikan Indonesia seperti diuraikan di atas pada dasarnya menggambarkan tiga amanat reformasi pendidikan sebagaimana diungkap Lengkanawati (2005:2–3). Pertama, paradigma proses pendidikan dari pengajaran yang menitikberatkan pada pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan bergeser ke arah paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi kreativitas diri dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kecerdasan, etika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Kedua, adanya perubahan paradigma mengenai peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumber daya pembangunan menjadi paradigma manusia sebagai subjek pembangunan secara utuh. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu membentuk manusia seutuhnya, yaitu yang digambarkan memiliki karakteristik personal yang memahami dinamika psikososial dan lingkungan budayanya. Ketiga, adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dalam lingkungan sosial-budayanya, yang pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat yang mandiri dan berbudaya.

(24)

Dewasa ini, salah satu aspek yang dikedepankan dalam proses pendidikan adalah kesadaran untuk belajar dan kemandirian dalam belajar peserta didik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tirtarahardja & Sulo (2005:51), kemandirian belajar merupakan aktivitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pebelajar (peserta didik). Kemandirian belajar ini bertumpu pada prinsip bahwa individu yang belajar hanya akan sampai pada perolehan hasil belajar (pengetahuan, keterampilan, penalaran, sikap, dan lain-lain) apabila ia mengalami sendiri dalam proses pemerpolehan hasil belajar tersebut.

Kemandirian belajar peserta didik juga dapat dijadikan salah satu indikator penting bagi sebuah pendidikan yang efektif. Jika pembelajar dapat belajar secara mandiri berarti mereka memahami tugas sepenuhnya. Mereka dapat membuat perencanaan, melaksanakan kegiatan, dan membuat keputusan berdasarkan latar belakang pemahaman dan kapasitas masing-masing (Reid, 2009:8). Hal demikian sekaligus menunjukkan juga bahwa proses pembelajaran yang didasarkan pada kemandirian belajar mengakomodasikan potensi dan menghargai perbedaan peserta didik, berlangsung konstruktif, dan manusiawi.

Reformasi pendidikan Indonesia dengan paradigma baru merupakan bentuk antisipasi menghadapi arus informasi dan perubahan kehidupan masyarakat yang mengglobal dengan berlandaskan pada empat pilar pendidikan sebagaimana dicanangkan UNESCO sejak 1997 (Sindunata, 2000:55), yaitu

learning oi know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Learning to know mengandung pengertian bahwa pendidikan harus berorientasi

(25)

pada pengetahuan logis dan rasional sehingga pembelajar berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis, serta memiliki semangat membaca yang tinggi.

Learning to do mengandung pengertian bahwa pendidikan berorientasi pada

perbuatan untuk meningkatkan kualitas hidup. Learning to live together mengandung pengertian bahwa pendidikan diarahkan pada pembentukan pembelajar yang memiliki kesadaran hidup bersama dalam masyarakat global dengan latar belakang bahasa, etnik, agama, dan budaya. Learning to be mengandung pengertian bahwa pendidikan diarahkan pada pengembangan sikap kreatif dan daya pikir imajinatif sebagai hasil belajar dari lingkungan, pengalaman sendiri dan orang lain, dan alam sekitar.

Paradigma baru pendidikan Indonesia dengan segenap nilainya sebagaimana diuraikan di atas memberikan gambaran betapa pentingnya kematangan jasmani, rohani, intelektual secara utuh dalam konteks manusia sebagai pribadi dan anggota masyarakat luas dibentuk dan dikembangkan pada setiap manusia, tidak terkecuali para pembelajar tingkat SMP. Hal yang tidak kalah pentingnya untuk dijadikan perhatian adalah terbangunnya wawasan, watak, dan sikap multikultural pada peserta didik. Hal demikian tentu hanya dapat dilakukan jika pendidikan juga berlangsung dalam landasan-landasan multikultural. Dengan demikian peserta didik semakin memahami potensi dan posisinya sebagai bangsa Indonesia dan warga dunia.

(26)

Melalui pendidikan, manusia bermaksud menuju kemajuan dan kesejahteraan. Kemajuan dan kesejahteraan hidup dapat dicapai masyarakat jika anggotanya memiliki keterampilan dan kualitas-kualitas kepribadian yang berguna bagi usaha mengatasi persoalan, terutama dalam dunia modern dewasa ini (Rahmanto, 1988:15). Dalam persoalan kualitas kepribadian inilah pendidikan dan pengajaran seni sastra di sekolah mengambil peran dan fungsi. Hal ini tentu tanpa mengabaikan fungsi dan peran pengajaran bidang lain sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual maupun kelompok yang menghasilkan sesuatu yang indah. Dari segi tujuan pendidikan, yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian memiliki andil yang besar. Hal ini dikarenakan kegiatan berkesenian dapat mengisi pengembangan domain afektif, khususnya emosi yang positif dan konstruktif, dan aspek keterampilan (Tirtarahardja & Sulo, 2005:243). Dalam konteks sistem pendidikan, apa yang diperankan oleh bidang kesenian tentu merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dari apa yang telah diperankan oleh bidang (mata pelajaran) lain. Namun demikian, terdapat hal yang secara khsusus menjadi pembeda bidang kesenian dari bidang lainnya, yaitu penekanannya pada bidang estetika, moral, dan emosi.

2.4.1 Kurikulum Pendidikan Sastra

Kurikulum yang diberlakukan di sekolah dewasa ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini pada mulanya merupakan

(27)

pengembangan yang dilakukan sejak tahun 2001 atas kurikulum 1994. Sejak tahun 2001, Depdiknas melakukan serangkaian kegiatan penyempurnaan kurikulum 1994 dan melakukan rintisan (piloting) secara terbatas untuk validasi dan mendapatkan masukan empiris. Rintisan ini menghasilkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada KBK dirumuskan secara eksplisit kemampuan (kompetensi) minimal yang harus dicapai oleh peserta didik, materi standar untuk pencapaian kompetensi, dan indikator yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menetapkan ketercapaian hasil pembelajaran. KBK yang merupakan kurikulum rintisan ini semula akan diberlakukan penerapannya pada tahun 2004/2005. Namun demikian, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kurikulum KBK perlu disempurnakan kembali.

Sesuai dengan PP No. 19 th. 2005, penyempurnaannya kurikulum KBK dilakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Penyempurnaan mencakup sinkronisasi kompetensi untuk setiap mata pelajaran antar-jenjang pendidikan, beban belajar dan jumlah mata pelajaran, serta validasi empirik terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar. Selanjutnya, BSNP menetapkan standar isi dan standar kompetensi lulusan, serta mengembangkan Penduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang di dalamnya terdapat model-model kurikulum satuan pendidikan. Dari sinilah selanjutnya setiap satuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kurikulum yang dapat diimplementasikan di satuan pendidikan masing-masing. Selanjutnya dengan

(28)

mengacu pada UU No.20 th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No.19 th. 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No.22 th. 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Permendiknas No.23 th. 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Menengah, setiap satuan pendidikan pada dasarnya dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan dengan tetap memerhatikan penduan penyusunan KTSP dari BSNP. Oleh karenanya, standar kompetensi yang telah ditetapkan BSNP disebut dan selalu ditekankan sebagai standar kompetensi minimal.

Dalam sistem kurikulum pendidikan Indonesia, pendidikan sastra di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK masuk dalam cakupan mata pelajaran bahasa Indonesia. Materi bidang sastra ditampilkan secara terintegrasi dalam empat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Oleh karena itu, dalam beberapa hal, kenyataan mengenai pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini dapat disebutkan misalnya mengenai guru pengampu, alokasi waktu, dan sistem evaluasi yang dilakukan.

Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dijelaskan bahwa mata pelajaran sastra (bahasa Indonesia) termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika (yang lainnya ada kelompok mata pelajaran agama, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, jasmani). Kelompok mata pelajaran estetika ini meliputi bahasa, seni dan budaya, keterampilan dan muatan lokal yang relevan. Kelompok mata pelajaran estetika

(29)

dimaksudkan untuk meniingkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.

Sebagai satu kesatuan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, rumusan tujuan pembelajaran sastra di sekolah berada dalam satu rangkaian tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu (1) menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara; (2) memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; (3) memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial; (4) memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis); (5) mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (Depdiknas, 2002:9). Masih mengenai tujuan pembelajaran sastra, Rusyana (1982:6) menge-mukakan sebagai berikut.

Tujuan pembelajaran sastra adalah untuk beroleh pengalaman dan pengetahuan tentang sastra. Kedua tujuan ini sama pentingnya, akan tetapi untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama, tujuan beroleh

(30)

pengalaman itu harus diutamakan. Jika anak telah berhasil memperoleh pengalaman, kemudian ia akan terdorong untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan pengalamannya itu.

Tujuan pembelajaran sastra sebagaimana diuraikan di atas mengisyaratkan adanya sejumlah harapan yang ditumpukan pada pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini sekaligus menunjukkan sejumlah fungsi pembelajaran sastra dalam membantu pendidikan secara utuh, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Dalam kaitan ini, Rahmanto (1988:16–25) menjelaskan sejumlah fungsi pengajaran sastra di sekolah sebagai berikut.

1) Membantu keterampilan berbahasa

Terdapat empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Melalui pengajaran sastra, keterampilan menyimak dapat dikembangkan melalui kegiatan mendengarkan pembacaan karya sastra oleh guru atau siswa lain. Keterampilan berbicara dapat dikembangkan dengan ikut berperan dalam drama, diskusi tentang sastra. Keterampilan membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan membaca puisi dan prosa. Keterampilan menulis dikembangkan melalui kegiatan menuliskan hasil diskusi yang dilakukan siswa.

2) Meningkatkan pengetahuan budaya

Sastra berkaitan erat dengan semua aspek kehidupan manusia. Setiap karya sastra selalu menghadirkan ‘sesuatu’ dan sering menyajikan banyak hal, yang jika dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan. Walaupun

(31)

dalam karya satra disajikan fakta-fakta, keterkaitan dan relasi secara menyeluruh mengenai fakta tersebut menjadi lebih penting dan dianggap mampu memberikan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan manusia lengkap dengan konteks budaya yang melatarbelakanginya.

3) Mengembangkan cipta dan rasa

Siswa adalah individu dengan kepribadian, kemampuan, masalah, dan kadar perkembangan masing-masing yang khas dan khusus. Apa yang ada dalam diri individu siswa tersebut pada dasarnya merupakan kecakapan yang dimilikinya. Melalui pengajaran sastra dapat dikembangkan kecakapan siswa yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, dan religius.

4) Menunjang pembentukan watak

Karya satra dipandang sanggup memuat berbagai medan engalaman yang sangat luas. Dalam potensi demikian, pengajaran sastra diharapkan mampu memberikan bantuan dalam mengembangkan berbagai kualitas kepribadian. Pengajaran sastra diharapkan mampu membina perasaan yang tajam dan dalam mengenai berbagai kemungkinan hidup: kebanggaan, kebahagiaan, kesetiaan, kekalahan, dan lain-lain. Malalui karya sastra seseorang diharapkan tumbuh cita, rasa, dan kepekaannya terhadap sesuatu yang bernilai dan yang tidak bernilai. Dengan demikian akan tumbuh kualitas pribadi siswa sebagaimana yang dicita-citakan.

Pendidikan sastra harus dapat memaksimalkan fungsi dan maknanya. Dalam konteks ini, Siswanto (2008:171–174) memberikan perspektif dengan menjadikan sastra sebagai medium pendidikan (pendidikan melalui sastra),

(32)

pembelejaranan sastra yang seimbang (mengolah dalam keseimbangan spiritual, emosional, logika, etika,estetika, dan kinestetika), dan pembelajaran sastra untuk kecakapan hidup.

Dengan memerhatikan harapan sebagaimana ditumpukan pada bidang kesenian, khususnya sastra, maka sudah seyogyanya pendidikan seni sastra harus dikembangkan melalui sistem pendidikan secara terstruktur dan terprogram. Pengembangan kualitas pendidikan sastra secara terprogram menuntut tersedianya sarana-prasarana dan berbagai kelengkapan sistem pendidikan. Salah satu bentuk realisasinya adalah ketersediaan materi yang eksploratif dan penerapan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan memerhatikan konteks dan potensi multikultural masyarakat Indonesia. Dengan demikian, lulusan SMP berada dalam kompetensi yang dicita-citakan dalam paradigma baru pendidikan Indonesia.

2.4.2 Komponen Pembelajaran Membaca Puisi

Komponen pembelajaran membaca puisi meliputi (1) pendekatan, metode, teknik, (2) tujuan, (3) materi, (4) media, dan (5) penilaian. Kelima komponen tersebut dikembangkan dengan berdasar pada paradigma baru pendidikan Indonesia, yang menitikberatkan pada keberdayaan dan pemberdayaan peserta didik dan masyarakat, potensi budaya bangsa, mengakui keberagaman budaya dalam sebuah pengembangan yang holistik.

(33)

Pendekatan, metode, dan teknik mempunyai hubungan hirarki. Hubungan itu menyatakan bahwa teknik merupakan hasil dari (pelaksanaan) suatu metode yang selalu konsisten dengan pendekatan. Pendekatan bersifat aksiomatik, metode bersifat teoretis prosedural, dan teknik bersifat teknis pelaksanaan.

Pendekatan yang selama ini digunakan dalam pembelajaran sastra di sekolah adalah pendekatan apresiatif. Hal demikian tampak dalam berbagai orientasi pembelajaran sastra yang senantiasa diarahkan pada tujuan dan kegiatan apresiasi.

Tujuan (utama) pembelajaran sastra adalah mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra (Rusyana, 1984:314), yaitu pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Untuk mendapatkan kenikmatan yang mendalam, sudah barang tentu juga perlu pemahaman terhadap sastra. Pengetahuan sastra meliputi teori, sejarah, esai, dan kritik sastra.

Dalam karya sastra terkandung pengalaman manusia yang indah dan mendalam. Pengenalan yang semakin mendalam dan hasrat serta jawaban kita terhadap pengalaman hidup yang terkandung dalam sastra itulah yang dapat disebut sebagai apresiasi sastra (Rusyana, 1982:7). Dalam konteks demikian, apresiasi sastra dengan berbagai kegiatan eksplorasi yang dapat dikembangkan dipandang menjadi hal yang penting bagi sebuah pembelajaran sastra.

(34)

Apresiasi berisikan kegiatan atau usaha merasakan dan menikmati hasil-hasil karya seni (Soeharianto, 1981:15), termasuk di dalamnya karya sastra. Hal demikian mengandung arti mempersepsi dan mengenal dengan cukup luas suatu karya sastra. Maksudnya adalah mengerti, memahami, dan mengenal secara intuitif tentang kebenaran dan kualitas estetik karya sastra. Selama hubungan dengan karya sastra belum atau kurang menggambarkan kegiatan itu, belumlah dapat dikatakan bahwa kita sudah mengapresiasi karya sastra. Apresiasi sastra merupakan kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.

Pembelajaran membaca puisi pada dasarnya juga perlu dikembangkan dengan pendekatan yang berorientasi pada kreativitas dan potensi kreatif manusia. Gordon (Joice & Weil, 2000:166) menekankan bahwa kreativitas merupakan hal penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, serta makna suatu gagasan dapat ditingkatkan melalui aktivitas kreatif. Berdasarkan pendapat Gordon ini, maka pembelajaran membaca puisi yang dikembangkan dengan pendekatan yang berorientasi pada kreativitas akan mampu mengungkap secara komprehensif dan lebih banyak makna dan nilai yang terkandung dalam puisi.

Selain pendekatan apresiatif dan pendekatan yang berorientasi pada kreativitas, dalam pembelajaran membaca puisi perlu juga digunakan pendekatan kontekstual, yaitu pendekatan pembelajaran yang menempatkan siswa dalam konteks bermakna. Dalam penelitian ini, kebermaknaan diarahkan

(35)

pada keesesuaian materi dan peristiwa pembelajaran dengan kebutuhan siswa baik secara individu maupun dalam konteks sosial dan budaya. Secara lebih khusus, pembelajaran membaca puisi akan lebih sadar dan peka pada potensi tradisi (kultural) yang berkelindan dalam lingkungan kehidupan siswa. Dengan pendekatan ini, pembelajaran membaca pusi diarahkan pada terbangunnya keterampilan membaca puisi secara lisan secara kreatif dengan memerhatikan dan memanfaatkan potensi tradisi (kultural).

2) Tujuan

Sebagaimana diuraikan oleh Rusyana (1984:314), tujuan pembelajaran sastra adalah mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, yaitu pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Bertolak dari uraian Rusyana tersebut, terdapat gagasan penting yang dapat dijadikan dasar pengembangan pembelajaran sastra, khususnya membaca puisi, yaitu perlu diupayakan secara sungguh-sungguh diperolehnya kegairahan dan berbagai kenikmatan sebagai akibat (hasil) pembelajaran sastra. Hal demikian mengisyaratkan bahwa pembelajaran sastra harus dilakukan dalam peristiwa pembelajaran yang tidak sekedarnya atau biasa-biasanya saja.

3) Materi ajar

Membaca puisi secara lisan merupakan bentuk keterampilan produktif dan kegiatan kreatif karena merupakan kegiatan kesenian. Materi pembelajaran

(36)

membaca puisi secara lisan sebagai kegiatan kreatif produktif harus dikembangkan dengan orientasi kecukupan bahan bagi pencapaian tujuan. Materi ini meliputi (1) bahan puisi, dan (2) konsep dasar dan prinsip-prinsip membaca puisi sebagai karya kreatif seni.

4) Media

Media pembelajaran digunakan untuk membantu proses pembelajaran. Selain terkait dengan fungsi bagi pemahaman siswa, media pembelajaran juga diarahkan bagi terciptanya proses pembelajaran yang menarik. Media dapat berupa sesuatu yang sederhana dan murah hingga yang kompleks dan mahal. Bentuknya dapat berupa gambar dan foto, benda-benda di sekitar yang relevan, yang sudah tersedia atau yang harus dipersiapkan secara khusus oleh guru, milik pribadi siswa/guru atau inventaris sekolah, dan sebagainya yang memiliki makna bagi pembelajaran membaca puisi.

5) Penilaian

Penilaian pembelajaran membaca puisi dilakukan dengan mencakup ranah kognitif, afektif, psikomotorik. Penilaian juga dilakukan terkait dengan kegiatan proses pembelajaran dan hasil pembelajaran. Penilaian diarahkan untuk mendapatkan informasi dan gambaran yang sesungguhnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk keperluan itu, perlu disusun panduan dan rubrik penilaian dengan kisi-kisi dan indikator yang digunakan sebagai tolok ukur penilaian. Panduan dan rubrik penilaian ini disediakan untuk memberikan

(37)

penilaian saat proses pembelajaran berlangsung maupun pada akhir pembelajaran. Penilaian pada akhir pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk unjuk kerja membaca puisi secara lisan.

2.5 Puisi dan Membaca Puisi sebagai Karya Kreatif 2.5.1 Definisi Puisi

Sulit diperoleh sebuah definisi puisi yang memuaskan banyak pihak. Hal ini dikarenakan banyaknya perspektif berbeda yang digunakan untuk melihat apa itu puisi. Sebagaimana ditegaskan oleh Teeuw (1980:12) bahwa puisi selalu mengalami perubahan, perkembangan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan. Hal demikian senada dengan Riffatere (1978:1) yang menyatakan bahwa puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya. Namun demikian, sudah sangat dipahami bahwa puisi merupakan karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti.

Dalam usaha memahami definisi puisi, biasanya kita harus membanding-kannya dengan prosa. Dalam kasus ini ada yang melihatnya dari segi bentuk, yaitu bahwa puisi sebagai bentuk karangan yang terikat, sedangkan prosa adalah bentuk karangan bebas (Wirjosoedarmo dalam Pradopo, 1993:5). Sebagai karangan yang terikat, puisi dibatasi oleh (1) banyaknya baris dalam tiap bait, (2) banyaknya kata dalam tiap baris, (3) banyaknya suku kata dalam tiap baris, (4) rima, dan (5) irama.

(38)

Mengenai pembedaan dari segi bentuk ini, Teeuw (1983:6) menyatakan bahwa untuk waktu sekarang, niat pembaca turut menjadi ciri sastra yang utama. Hal ini mengingat pembaca adalah pihak yang memberi makna atas sebuah puisi.

Altenbernd (1970:2) memberikan definisi bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berima (bermetrum). Namun demikian, definisi demikian tidak tepat untuk puisi Indonesia karena puisi Indonesia dapat dikatakan tidak menggunakan metrum sebagai dasarnya. Namun, jika metrum itu diartikan sebagai irama yang umum (rhythm-ritme), definisi Altenbernd masih dapat diterima.

Beberapa definisi puisi juga dicoba untuk ditampilkan oleh Shahnon Ahmad (1978) sebagaimana dikutip oleh Pradopo (1993:6), yaitu dengan mengumpulkan definisi-definisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut. Samuel Taylor Coleridge mengemukakan bahwa puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Disebutkan di sini bahwa penyair memilih kata yang tepat dan disusun secara sebaik-baiknya (seimbang, simetris, terdapat hubungan erat antarunsur, dsb.), memikirkan efek bunyi. Wordsworth memiliki gagasan bahwa puisi adalah pernyataan-pernyataan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Dunton menyebutkan bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Maksudnya dengan kiasan, citra-citra, dan disusun secara artistik (selaras, simetris, tepat pilihan kata), dan bahasanya penuh perasaan serta berirama seperti musik.

(39)

Dalam sejumlah definisi tersebut tampak sekali terdapat perbedaan pemikiran. Namun, sebagaimana dikemukakan Shahnon (Pradopo, 1993:7) selanjutnya bahwa jika unsur-unsur yang ada dalam pendapat mengenai definisi puisi tersebut dipadukan maka akan didapat garis-garis besar tentang pengertian puisi. Unsur-unsur tersebut meliputi: emosi, imajinasi, pemikiran, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga unsur pokok, yaitu (1) pemikiran, ide, emosi; (2) bentuk; dan (3) kesan. Keseluruhan itu terungkap dengan media bahasa.

Dengan memerhatikan pandangan mengenai puisi, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindera dalam susunan yang berirama. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.

Sebagaimana disebutkan Riffaterre sebelumnya, bahwa puisi itu selalu berubah, dan perubahan itu dikeranakan oleh evolusi selera dan konsep estetik yang berubah-ubah. Namun demikian, Riffaterre (1978:1) menyebutkan bahwa ada hal yang tetap dalam puisi, yaitu bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung, mengatakan suatu hal dan berarti lain. Ketidaklangsungan ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing), yang terjadi pada metafora dan metomini; (2) penyimpangan arti (distorting), terjadi pada ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of

(40)

meaning), terjadi pada pengorganisasian ruang teks, seperti persejarahan tempat (homologues), enjambement, dan tipografi.

2.5.2 Membaca Puisi secara Lisan dalam Konteks Keterampilan Berbahasa Membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Zintz (1980:5) menjelaskan beberapa pengertian membaca sebagai berikut.

Reading is decoding written words so that they can be produced orally. Reading is understanding the language of the outhor of printed passage. Reading is the ability to anticipate meaning in lines of print so that the reader is not concerned with the mechanical details but with grasping ideas from groups of words that convey meaning.

Pengertian membaca sebagaimana diutarakan Zintz di atas menunjukkan bahwa membaca dapat menunjuk pada kegiatan memaknai kata-kata tertulis sehingga dihasilkan ucapan lisan; memahami bahasa penulis; kemampuan menangkap makna suatu teks dengan memahami ide-ide dari kelompok kata bermakna. Berdasarkan konsep demikian, Aminuddin (1991:15–16) menyebutkan bahwa membaca adalah mereaksi; membaca adalah proses; dan membaca adalah memecahkan kode dan penerimaan pesan.

Selanjutnya, Aminuddin (1991:17–21) menjelaskan bahwa berdasarkan tujuan dan sifatnya, ragam membaca dapat dibedakan menjadi (1) membaca dalam hati, (2) membaca cepat, (3) membaca teknik, (4) membaca bahasa, (5) membaca estetik, (6) membaca kritis, dan (7) membaca kreatif. Membaca dalam

(41)

bacaan secara mendalam. Oleh karena itu, membaca jenis ini disebut juga dengan membaca pemahaman. Membaca cepat adalah membaca yang dilakukan secara cepat dengan tujuan memahami isi bacaan secara garis besar. Membaca teknik adalah membaca yang dilakukan secara bersuara sesuai dengan aksentuasi, intonasi, dan irama yang selaras dengan gagasan dan suasana penuturan dalam teks. Membaca bahasa merupakan kegiatan membaca yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa. Membaca estetik adalah kegiatan membaca dengan tujuan menikmati serta menghargai unsur-unsur keindahan dalam teks (sastra). Membaca kritis adalah kegiatan membaca yang bertujuan tidak semata-mata memahami isi bacaan, melainkan juga memberikan penilaian.

Membaca kreatif adalah kegiatan membaca yang bertujuan menerapkan perolehan

pemahaman dari membaca untuk diaplikasikan dalam keperluan lain.

Mengenai membaca puisi secara lisan dalam bentuknya sebagai karya kesenian, penggolongan dengan hanya menggunakan satu sudut pandang menjadi kurang tepat atau belum sepenuhnya tepat. Jika dilihat dari aspek kelisanannya

(oral), membaca puisi secara lisan dapat digolongkan sebagai membaca teknik.

Istilah membaca teknik sering juga disebut membaca lisan (oral reading) maupun membaca nyaring (reading aloud). Namun jika dikaitkan dengan sifat bahan dan maksud pembacaan yang lebih mengeksplorasi nilai keindahan, maka membaca puisi secara lisan dapat dipandang sebagai membaca estetik.

Zintz (1980:315) mengemukakan bahwa tujuan membaca secara lisan adalah sebagai berikut.

(42)

The major purposes of oral reading have been presented as (1) to entertain; (2) to give personal enjoyment and satisfaction; (3) to encourage effective group participation; (4) to provide effective practice for speech improvement; and (5) to provide for the teacher a diagnostic measure of the strengths and weaknesses in childrent's oral reading abilities.

Apa yang disampaikan Zintz mengenai tujuan utama membaca lisan di atas menunjukkan adanya nilai menghibur, memberikan kenikmatan dan kepuasan, mendorong partisipasi aktif kelompok, menyediakan latihan berbicara, dan mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa dalam hal kemampuan membaca lisan. Dengan demikian, selain berkembang keterampilan berbahasanya, anak juga berkembang aspek-aspek rohaniahnya.

Ragam membaca ini, selain dikaitkan dengan membaca teks ilmiah secara lisan, dapat juga berhubungan dengan kegiatan membaca karya sastra (misalnya puisi). Membaca puisi (poetry reading) secara lisan memiliki sifat re-deskriptif. Oleh karena itu, dalam membaca puisi secara lisan, bunyi ujar tidak muncul secara sewenang-wenang tetapi harus mampu menggambarkan isi dan suasana yang digambarkan dalam teks tulis.

Sejalan dengan sifat re-deskriptif tersebut, Aminuddin (1991:19) mengutarakan bahwa sebelum membaca puisi secara lisan, seorang pembaca harus memahami isi puisi dan suasana penuturannya. Selain itu juga harus memahami dan menguasai aspek-aspek (1) pelafalan, (2) penentuan kualitas bunyi: tinggi-rendah, keras-lunak, (3) tempo, dan (4) irama. Karena membaca puisi secara lisan juga melibatkan aspek tubuh, maka pembaca juga harus memiliki keterampilan gerak tubuh (gesture), dan mimik (facial expression),

(43)

posisi tubuh, dan kontak mata (eye contact). Keseluruhannya merupakan media untuk dapat membangun hubungan batin dengan pendengar.

Hal yang sama adalah seperti apa yang disarankan oleh Larson (Zintz, 1980:309) mengenai reader’s theater, yaitu “... a ’reader's theater’ as an

inovative technique for improving oral reading in the classroom. … a ‘reader's theater’ as a medium in which two or more oral interpreters cause an audience to experience literature”. Sebagai sebuah teknik inovatif bagi pengembangan

kemampuan membaca lisan, reader’s theater merupakan medium. Terkait dengan hal ini, maka terdapat beberapa persoalan mengenai aspek keteateran yang perlu diperhatikan.

Berdasarkan paparan mengenai hakikat membaca di atas, selanjutnya dapat dipahami jika membaca puisi secara lisan secara pokok tergelong sebagai membaca teknik, karena berupa pelisanan puisi atau pembacaan secara nyaring; namun juga berkaitan dengan membaca estetik (indah) karena kegiatan membaca ini juga bertujuan menikmati serta menghargai unsur-unsur keindahan dalam teks (sastra).

2.5.3 Membaca Puisi sebagai Kegiatan Berekspresi Sastra

Membaca sastra merupakan istilah untuk menyebut kegiatan membaca karya sastra secara lisan. Dalam konteks lain sering juga disebut membaca ekspresif (Sunaryo, 2005) dan membaca kreatif (Tarigan, 1991). Kegiatan ini memiliki target “menghidupkan” teks sastra dan disikapi sebagai aktivitas berkesenian, yang sangat menuntut kemampuan kreatif seseorang. Hal ini

(44)

dikarenakan oleh kenyataan bahwa aktivitas membaca dengan target menghidupkan teks dengan muatan emosi dan karakter lebih berkenaan dengan aktivitas kreatif (berkesenian). Bentuknya dapat berupa membaca puisi, deklamasi, membaca cerita atau pengisahan cerita (storytelling).

Lebih lanjut Sunaryo (2005:22) menegaskan bahwa dalam kaitannya sebagai aktivitas kreatif, membaca ekspresif merupakan aktivitas khusus dan khas yang menuntut banyak potensi pendukung dan prosedur kerja tertentu. Potensi pendukung akan mencakup aspek diri dan nondiri yang ada pada pelaku kegiatan (pembaca). Prosedur kerja akan berkenaan dengan jenis dan tataurutan aktivitas yang ditempuh oleh pelaku (pembaca). Kedua potensi ini sekaligus sebagai karakter khas yang dimiliki dan ditempuh seseorang. Sulit dan bahkan tidak dapat ditetapkan rumusan baku mengenai jenis aktivitas apa dan dengan prosedur bagimana dalam aktivitas kreatif yang harus ditempuh oleh pelaku kesenian. Hal ini selanjutnya berimplikasi pada terbukanya kemungkinan mengenai kenyataan membaca ekpresif yang berbeda antara orang yang satu dan orang yang lain, walaupun teks (bahan tulis, karya sastra) yang dihadapi sama. Namun demikian, ukuran, kriteria, atau standar pengekspresian harus tetap memenuhi nilai-nilai tertentu. Hal ini terbukti dengan adanya format-format dan standar penilaian yang diterapkan dalam lomba/festival baca puisi atau baca cerpen.

Mengenai istilah, WS Rendra menggunakan secara bergantian istilah deklamasi dan membaca sajak. Ramadhan K.H. (Haryono, Ed. 2004:43) menyebut istilah membaca sajak sebagai padanan istilah asing poetry reading. Pada intinya, deklamasi, membaca sajak atau poetry reading ini menunjukkan

(45)

kegiatan pemaparan sajak secara lisan kepada orang banyak, kadang-kadang dengan gerakan-gerakan semacam orang memainkan sebuah adegan dramatik dengan bunyi-bunyi yang jauh daripada normal. WS Rendra (Haryono, Ed. 2004:23–24) dalam tulisannya berjudul “Seni Deklamasi di Kota Yogya dan Solo”, memaparkan bahwa deklamasi dapat memberikan kepuasan pada darah muda. Membaca sajak di depan orang banyak dapat memberi suasana romantis dan meluapkan gairah. Dengan memberikan tekanan dramatik dalam membaca sajak atau deklamasi berarti pula memberikan tekanan pada ungkapan jiwa dan perasaan atas persoalan yang dihadapi. Dengan keadaan yang terkendali, seni deklamasi dapat lebih mendekatkan sajak pada publiknya, dan di samping itu juga mempunyai nilai kesenian tersendiri, yaitu keindahan yang menafsirkan, yang dapat dirasakan, keindahan suara yang dapat didengarkan, serta keindahan susana yang dapat dilihat.

Lebih lanjut Rendra (Haryono, Ed. 2004:26) menegaskan bahwa deklamasi adalah mewartakan sajak secara lisan, baik sajak sendiri maupun sajak orang lain. Jadi, yang pertama tidak boleh dilupakan adalah bahwa yang diucapkan dalam deklamasi adalah sajak. Penyair dalam menulis sajak bersenjatakan kata-kata, dan dari kata-kata tersusunlah pengertian yang puitis, irama, juga suasana. Dengan kata-kata, penyair juga melakukan perbandingan-perbandingan. Oleh karena itu, deklamator tidak boleh melupakan fungsi kata-kata tersebut. Kata harus diucapkan dengan jelas dan tepat, tekanan dan intonasi yang tepat. Mimik dan gerak hanya memiliki kepentingan yang mendukung.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu diperlukan suatu tindakkan yang mampu melibatkan peran aktif siswa dalam mengikuti pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut,

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian normatif, sedangkan jenis data yang digunakan penulis adalah data sekunder (kepustakaan) dan data

Upaya kriopreservasi semen lele dumbo terhadap 16 kombinasi perlakuan yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu: persiapan pengenceran semen lele dumbo; pencampuran

Mungkin aspek yang paling signifikan dan agak diabaikan adalah hubungan antara RTA dengan stabilitas politik, yang isu terakhir ini menjadi salah satu penentu

4 Hak pasien dan keluarga Rumah sakit menyediakan pernyataan tertulis tentang informasi hak dan tanggung jawab pasien dan keluarganya yang diberikan kepada pasien pada saat

Diagram aktifitas ini terdapat 3 (tiga) aktifitas utama pengguna, yaitu pertama, dosen pengajar mengautentikasi login dan memulai kelas berdasarkan jadwal akademik dari

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaaan produksi stroberi antara petani yang rajin mengikuti penyuluhan dengan yang tidak rajin mengikuti

(2002) melakukan pengujian pada sampel lada di India untuk mendeteksi keberadaan PYMV menggunakan metode Direct antigen-coated ELISA (DAC- ELISA) dengan antiserum Commelina