• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa Remaja adalah masa transisi yaitu antara masa anak anak ke masa dewasa..

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa Remaja adalah masa transisi yaitu antara masa anak anak ke masa dewasa.."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kenakalan Remaja

Masa Remaja adalah masa transisi yaitu antara masa anak – anak ke masa dewasa.. Menurut J.Piager, Remaja adalah peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, yaitu antara 12- 21 tahun. Pada masa ini dia beralih dari masa yang penuh dengan ketergantungan kepada orang lain, dimana dia harus melepaskan diri dari ketergantungan itu dan ikut memikul tanggung jawab sendiri yaitu masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Remaja memiliki perasaan takut kehilangan masa anak-anak, hal ini disebabkan karena remaja nantinya akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Oleh sebab itu, masa remaja adalah masa yang paling sulit dalam tahap perkembangannya (J.Piager dalam Gunarsa 2003: 195).

Menurut Sri Rumini & Siti Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa (http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/, Diakses pada tanggal 24 Oktober 2012). Lebih lanjut Dr. Kartini Kartono mengatakan bahwa Remaja adalah suatu tingkatan umur, dimana seorang anak tidak lagi bersikap seperti anak-anak, tetapi belum dapat juga dipandang sebagai orang yang dewasa. (http:// repository.usu. ac.id/bitstream /1234 567 89/27551/4/Chapter%20I.pdf,Hal8, diakses pada tanggal 24 Oktober 2012).

Jadi seorang anak atau remaja adalah batasan umur yang menjembatani antara umur anak-anak dengan dewasa. Masa remaja merupakan masa yang sangat rentan terhadap perilaku – perilaku negatif, karena pada masa ini merupakan tahapan bagi seorang remaja menuju kedewasaan yang seringkali menuntut seorang remaja untuk menemukan karakter dan jati dirinya dan sayangnya seringkali seorang remaja dalam mencari jati dirinya sering

(2)

sosial dan kurang pengawasan dari beberapa pihak seperti orangtua dan sekolah, hal – hal seperti inilah yang akhirnya menyebabkan remaja tersebut terjerumus pada kenakalan remaja dan bahkan kejahatan.

Kenakalan Remaja merupakan tindakan melanggar peraturan atau hukum yang dilakukan oleh anak yang berada pada masa remaja. Perilaku yang ditampilkan dapat bermacam-macam, mulai dari kenakalan ringan seperti membolos sekolah, melanggar peraturan-peraturan sekolah, melanggar jam malam yang ditetapkan orangtua, hingga kenakalan berat seperti vandalisme, perkelahian antar geng, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya.

Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The

Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:

1. Pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.

2. Pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orang tua.

Tindakan kenakalan remaja yang tidak terkontrol akan menjerumuskan seorang remaja pada perilaku kejahatan remaja (Juvenile Deliquency) yang merupakan salah satu penyakit sosial. Penyakit Sosial atau Penyakit Masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma – norma umum, adat istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Disebut juga sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi penyakit (Kartono, 2010:4).

(3)

Kejahatan/Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency) ialah perilaku jahat (Dursila), atau kejahatan/kenakalan anak – anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak – anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Anak – anak muda yang deliquen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat (Kartono, 2010:6).

Juvenile berasal dari bahasa latin“juvenilis” yang berarti anak-anak, anak muda, ciri

karakteristik pada masa muda, sifat – sifat khas pada periode remaja.

Deliquent berasal dari bahasa Latin “delinquere” yang berarti terabaikan,

mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain – lain (Kartono, 2010:6).

Pengertian secara etimologis telah beberapa kali mengalami pergeseran, akan tetapi hanya menyangkut aktifitasnya, yakni istilah kejahatan menjadi kenakalan. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian subjek atau pelaku pun mengalami pergeseran. Psikolog Bimo Waljito merumuskan arti selengkapnya dari juvenile deliquency, yaitu tiap perbuatan jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya remaja. Sedangkan Fuad Hasan merumuskan juvenile deliquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja bilamana dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan (Sudarsono, 1991:11).

(4)

Purnianti mendefinisikan kenakalan remaja berdasarkan perspektif sosiologis, dalam tiga kategori, yaitu:

a. Definisi hukum, menekankan pada tindakan/perlakuan yang bertentangan dengan norma yang diklasifikasikan secara hukum,

b. Definisi peranan, dalam hal ini penekanannya pada pelaku, remaja yang peranannya diidentifikasikan sebagai kenakalan,

c. Definisi masyarakat, perilaku ini ditentukan oleh masyarakat (Marlina, 2009:40). Pada intinya kenakalan remaja ini dipicu oleh beberapa sebab yang secara luas dihasilkan oleh lingkungan sosial yang salah dan menyebabkan seorang remaja tidak dapat mengendalikan kontrol dirinya sehingga sering berperilaku sesuai dengan keinginannya yang seringkali mengesampingkan dan meremehkan orang lain, lalu bertindak dengan motif – motif serta landasan – landasan yang bersifat subjektif. Pada umumnya, remaja sering bertindak hanya mengedepankan egonya dan sering menyalahgunakan serta melebih-lebihkan harga dirinya.

2.1.1 Klasifikasi dan Tipe Kenakalan Remaja

Mengenai klasifikasi dan tipe kenakalan remaja, pada umumnya digolongkan secara historis, instinktual, dan mental. Semuanya dapat terjalin secara kolaboratif dan kombinatif. Secara historis, kenakalan remaja dapat terjadi secara kebetulan, kadang – kadang, dan habitual. Lalu secara mental, remaja memiliki kepribadian yang dibagi antara lain: Pribadi normal, Pribadi abnormal, Pribadi psikopatik, Psikoneurosa, Psikosis. Kemudian secara insinktual, kenakalan remaja didorong oleh keserakahan, dorongan seksual, agresifitas, parental, dan dorongan berkumpul.

Secara umum, munculnya kenakalan remaja bersumber pada 3 hal tersebut sehingga membuat mereka pribadi yang deliquen, Dimana tipe deliquen menurut struktur kepribadian ini dibagi atas:

(5)

1. Delikuensi Terisolir

Kelompok ini merupakan jumlah terbesar perilaku delikuen di kalangan remaja. Pada umumnya mereka tidak mengalami kerusakan psikologis. Perbuatan kejahatan mereka disebabkan atau didorong oleh faktor berikut:

a. Kejahatan mereka tidak didorong oleh motivasi kecemasan dan konflik batin yang tidak dapat diselesaikan, dan motif yang mendalam, akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh keinginan meniru, ingin konform dengan norma gengnya. Biasanya semua kegiatan mereka lakukan secara bersama – sama dalam bentuk kegiatan kelompok.

b. Mereka kebanyakan berasal dari daerah – daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil anak melihat adanya geng –geng kriminal, sampai pada suatu saat dia ikut menjadi anggota salah satu geng tersebut. Didalam geng ini anak merasa diterima, mendapatkan kedudukan “terhormat”, pengakuan, status sosial, dan prestise tertentu. Semua nilai, norma dan kebiasaan kelompoknya dengan subkultur kriminal itu, diopernya dengan serta-merta. Jadi ada proses pengondisian dan proses

differential association.

c. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga yang berantakan, tidak harmonis, tidak konsekuen, dan mengalami banyak frustasi. Kondisi keluarga dipenuhi oleh konflik sehingga anak merasa ditolak oleh keluarga khususnya orang tua, disia-siakan, harga dirinya diinjak, dan anak tidak merasakan iklim kehangatan emosional. Sehingga anak mencari jalan keluarnya di lingkungan sosial lain seperti lingkungan anak – anak kriminal, dan anak merasakan adanya alternatif hidup yang menyenangkan, dan di gengnya ini dia merasa mendapatkan kedudukan, menonjol, dan berarti.

(6)

d. Secara typis mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan disiplin yang teratur. Sebagai akibatnya, anak tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi kebal terhadap nilai kesusilaan, sebaliknya menjadi lebih peka terhadap pengaruh jahat (Kartono, 2010:49-51).

Ringkasnya delikuensi terisolir itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan social. Mereka mencari panutan dan sekuritas dari kelompok gengnya (Kartono, 2010:51). . Kebanyakan dari mereka yang tergolong pada tipe ini pada akhirnya akan meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21-23 tahun (Mc Cord dkk.1959:76). Kelihatannya perilaku mereka merupakan cara untuk melangkah menuju kedewasaan diri, dimana melalui perilaku – perilaku delikuen tersebut mereka akhirnya memasuki fase hidup baru dan memiliki peranan sosial baru yaitu proses menjadi lebih dewasa. Pada usia menjelang dewasa tersebut, pada akhirnya mereka akan menyadari bahwa mereka harus meninggalkan orangtuanya dan lingkungannya sendiri, mereka menyadari adanya sebuah tanggung jawab yang akan mereka hadapi, dan menyadari bahwa mereka harus memainkan peranan sosial baru yang lebih “terhormat”. Jadi pada intinya, pada waktunya nanti mereka akan menjembatani diri mereka dari “manusia jahat” menuju “manusia baik” setelah menyadari bahwa perilaku juvenile delinquency sangat tidak cocok diterapkan ketika mereka

harus memainkan peranan sosial mereka ketika mereka memasuki kedewasaan.

(7)

2. Delikuensi Neurotik

Pada umumnya anak – anak delikuen tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa: kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau berdosa, dan lain- lain. Ciri – ciri tingkah laku mereka itu antara lain adalah:

a. Tingkah laku delikuennya bersumber pada sebab-sebab psikologis yang sangat dalam dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gangnya, dan juga bukan berupa usaha untuk mendapatkan prestise sosial simpati dari luar.

b. Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Karena itu tindak kejahatan mereka merupakan alat pelepas bagi rasa ketakutan, kecemasan, dan kebingungan batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya.

c. Biasanya anak remaja deliquen tipe ini melakukan kejahatan seorang diri dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu.

d. Anak delikuen neurotik ini banyak yang berasal dari kelas menengah, yaitu dari lingkungan konvensional yang cukup baik kondisi sosial ekonominya. Namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik dan psikotik. e. Anak delikuen neurotik ini memiliki ego yang lemah, danada kecenderungan

untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau anak – anak remaja lainnya.

f. Motivasi kejahatan mereka berbeda – beda. Misalnya, para penyundut api (pyromania, suka membakar) didorong oleh nafsu ekshibisionistis, anak –

(8)

anak yang suka membongkar melakukan pembongkaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks, dan lain – lain.

g. Perilakunya memperlihatkan kualitas kompulsif (paksaan). Kualitas sedemikian ini tidak terdapat pada tipe delikuen terisolir, anak – anak dan orang muda tukang bakar, para peledak dinamit dan bom waktu, penjahat seks, dan pecandu narkotik dimasukkan dalam kelompok tipe neurotik ini (Kartono, 2010:52-53).

Oleh karena perubahan tingkah laku anak – anak deliquen neurotic ini berlangsung atas dasar konflik jiwani yang serius atau mendalam sekali, maka mereka akan terus melanjutkan tingkah laku kejahatannya sampai usia dewasa dan umur tua (Kartono, 2010:53).

3. Delikuensi Psikopatik

Delikuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah:

a. Hampir seluruh anak delikuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan selalu menyiakan anak – anaknya. Tak sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim piatu. Dalam lingkungan demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang, dan relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sehingga akibatnya mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi, sedang kehidupan perasaannya pada umumnya menjadi tumpul atau mati. Akibatnya mereka tidak mampu menjalin relasi emosional yang akrab dengan orang lain.

(9)

b. Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran, karena itu sering meledak tidak terkendali.

c. Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif. Biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.

d. Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak perduli terhadap norma subkultur gengnya sendiri.

e. Acapkali mereka juga menderita gangguan neurologis sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri (Kartono, 2010:53-54).

Psikopat itu merupakan bentuk kekalutan mental dengan ciri – ciri sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri. Orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, dia selalu konflik dengan norma sosial dan hukum. Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu a-sosial, eksentrik kegila-gilaan, dan jelas tidak memiliki kesadaran sosial serta intelegensi sosial. Mereka sangat egoistis, fanatik, dan selalu menentang apa dan siapa pun juga. Sikapnya aneh, sangat kasar, kurang ajar, ganas buas terhadap siapa pun tanpa sebab sesuatu pun juga. Kata-katanya selalu menyakiti hati orang lain, perbuatannya sering ganas sadis, suka menyakiti jasmani orang lain tanpa motif apapun juga. Karena itu remaja delikuen yang psikopatik ini digolongkan ke dalam bentuk penjahat yang paling berbahaya (Kartono, 2010:54).

(10)

4. Delikuensi Defek Moral

Defek (defect, defectus) artinya: rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delikuensi defek moral mempunyai ciri: selalu melakukan tindak a-sosial atau anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif, namun ada disfungsi pada intelegensinya.

Kelemahan dan kegagalan para remaja delikuen tipe ini ialah: mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya. Selalu saja mereka ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan, dan kejahatan. Relasi kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin dan beku, tanpa afeksi (perasaan), jadi ada kemiskinan afeksi dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan superegonya sangat lemah. Impulsnya tetap ada dalam taraf primitif, sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan “prestasinya”, namun sering perbuatan mereka disertai agresivitas yang meledak. Mereka juga selalu bersikap bermusuhan terhadap siapapun juga, karena itu mereka selalu melakukan perbuatan kejahatan.

Anak muda yang defek moralnya itu biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitive (Kartono, 2010:55).

Pengaruh lingkungan adalah relatif kecil (hanya kurang lebih 20%) dalam membentuk seseorang menjadi defek moralnya. Sebaliknya konstitusi dan disposisi psikis yang abnormal (kurang lebih 80%) menyebabkan pertumbuhan anak muda menjadi defek moralnya. Selanjutnya apabila kejahatan anak muda dan remaja yang defek moralnya itu sangat mencolok ekstrim, biasanya mereka digolongkan kedalam tipe deliquen psikopatik.

(11)

2.1.2 Karakteristik Remaja

Masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun (Santrock 2007:25). Menurut Santrock ciri utama remaja meliputi pertumbuhan fisik yang pesat, kesadaran diri yang tinggi, dan selalu tertarik untuk mencoba sesuatu yang baru. Remaja bukanlah masa berakhirnya terbentuk kepribadian akan tetapi merupakan salah satu tahap utama dalam pembentukkan kepribadian seseorang.

Remaja banyak meluangkan waktunya bersama kawan-kawan sebaya. Disamping itu, remaja mulai banyak menerima informasi dari media massa yang sudah mulai dikenal dan dekat dengan mereka. Oleh karenanya, remaja menjadi individu yang terbuka terhadap hal-hal baru (Makgosa 2010:36). Banyaknya informasi yang diterima membuat remaja melakukan pemrosesan informasi secara lebih mendalam.

2.2 Narkoba

2.2.1 Pengertian Narkoba

Narkoba adalah zat kimia yang mengubah keadaan psikologis seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta prilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, dan lain sebagainya (Kurniawan 2008:56). Narkoba adalah suatu istilah yang berasal tadi terjemahan asing, seperti drug abuse dan drug

depedence, dikalangan awam dikenal dengan isitlah Narkoba, yang merupakan singkatan dari

Narkotika dan obat berbahaya. Ada istilah lain, yaitu Napza, yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat aditif. Berbagai istilah yang sering di gunakan, tidak jarang menimbulkan salah pengertian, tidak saja di kalangan medis, tapi juga masyarakat awam (Hawari 2003:51).

(12)

Narkoba itu sendiri sulit diartikan, karena tergantung dari perspektif masing-masing individu. Berikut ini dikemukakan pengertian istilah narkoba menurut Dinas Kesehatan. Narkoba adalah istilah yang digunakan masyarakat dan aparat penegak hukum,untuk bahan atau obat yang masuk kategori berbahaya atau dilarang untuk digunakan, diproduksi, dipasok, diperjualbelikan, diedarkan, dan sebagainya, di luar ketentuan hukum (Martono 2000:87).

Perspektif lain menjelaskan narkoba sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi individu yang menggunakannya. Menurut Hawari (2003:58), semua zat tergolong sebagai narkoba akan menimbulkan adiksi (ketagihan), yang pada waktunya akan berakibat pada ketergantungan. Hal ini disebabkan karena narkoba mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

a. Keinginan yang tidak tertahankan (an over powering desire) terhadap zat yang dimaksud, dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya.

b. Kecenderungan untuk menambah takaran sesuai dengan toleransi tubuh.

c. Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat di hentikan akan menimbulkan gejala-gejala kejiwaan seperti kegelisahan, kecemasan, depresi dan sejenisnya.

d. Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat (symtoms).

2.2.2 Jenis-jenis Dan Efek Narkoba

Setiap jenis narkoba menimbulkan efek yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan zat-zat yang terkandung di dalamnya memiliki efek samping yang berbeda-beda. Tidak ada jenis narkoba yang aman bagi tubuh.

(13)

2.2.2.1 Jenis-jenis Narkoba

Menurut Badan Narkotika Nasional (2004), narkoba dibagi dalam tiga jenis yaitu,

1. Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman dan bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan tingkat kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketagihan atau ketergantungan yang sangat berat (Undang-udang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1997).

Jenis-jenis narkotika dibagi atas tiga golongan yaitu:

a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling berbahaya, daya aditif sangat tinggi menyebabkan ketergantungan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan apapun kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contoh: Ganja, morphine dan putauw.

b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang mempunyai daya aditif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan peneilitan. Contoh: petidin dan turunannya, benzetidin dan betametadol.

c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki daya aditif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: Codein dan turunannya.

2. Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku, digunakan untuk mengobati ganguan jiwa (Undang-udang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997).

(14)

Jenis-jenis psikotropika dibagi atas empat golongan yaitu

a. Psikotropika golongan I : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan dan sedang diteliti khasiatnya. Contoh: ekstasi (methylendioxy

methaphetamine dalam bentuk tablet dan kapsul), shabu-shabu (berbentuk

kristal berisi zat methaphetamine).

b. Psikotropika golongan II : adalah psikotropika dengan daya aktif yang kuat untuk menyebabkan sindroma ketergantungan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: aphetamine dan methaphetamine.

c. Psikotropika golongan III : adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sedang, berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: lumubal,

fleenitrazepam.

d. Psikotropika golongan IV : adalah psikotropika dengan daya adiktif ringan, berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: nitrazepam, diazepam (Martono 2006:89).

3. Zat Aditif Lainnya

Zat aditif lainnnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya, diantaranya adalah:

a. Rokok.

b. Kelompok alkohol dan minuman lainnya yang dapat memabukkan dan menimbulkan ketagihan.

c. Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus cair atau aseton, cat, bensin yang bila dihirup akan memabukkan (Alifia 2008:15).

(15)

2.2.2.2 Efek Narkoba

Pengunaan narkotika dengan dosis teratur dapat bermanfaat sesuai dengan tujuan, sedangkan penggunaan dengan dosis yang melebihi ukuran normal apalagi dalam kasus penyalahgunaanakan menimbulkan efek negatif. Efek-efek negatif penyalahgunaan narkotika akan meningkat sesuai dengan kuantitas dan kualitasnya.

Tingkatan tersebut ialah: euphoria, delirium, hailuciation, weakniss dan drowsiness. Penggunaan dosis yang tinggi dapat mencapai efek yang paling parah yakni drowsiness, dalam kondisi ini pemakai mengalami penurunan kesadaran seperti sedang setengah tidur dengan ingatan yang kacau. Apabila pemakai mengalami kelemahan pisik maupun psikhis, atau salah satu saja dari keduanya, kondisi ini sebagai akibat dari tingkat efek weakniss. Penggunaan narkoba adalah berbahaya dan merusak kesehatan, baik secara jasmani maupun mental-emosional dan sosial. Berbagai macam efek yang ditimbulkan oleh setiap narkoba sesuai dengan jenis narkoba tersebut, yakni: eforia, santai, keringanan stress dan rasa sakit, nafsu makan bertambah, perusakan pada kemampuan bergerak, kebingungan, hilangnya konsentrasi serta motivasi berkurang, keriangan dan bertenaga, ketajaman perhatian, percaya diri dan kegiatan seksual yang meningkat, tidak berpendirian tetap, merasa tidak terkalahkan, agresif dan suka bertengkar. Meningkatnya nafsu makan dan berkurangnya nafsu makan tergantung dari jenis narkoba yang dikonsumsi, bahkan memperlambat refleks motorik, menekan pernafasan, denyut jantung dan menggangu penalaran dan penilaian merupakan efek kelanjutan apabila mengkonsumsi narkoba dalam jangka waktu yang panjang hingga tak jarang berujung kepada kematian.

2.2.3 Faktor Penyebab Penggunaan Narkoba

Secara umum yang dikemukakan oleh para ahli, ada tiga faktor mendasar yang menyebabkan seseorang menggunakan narkoba, antara lain:

(16)

1. Tersedianya Narkoba

Permasalahan penyalahgunaan narkoba dan ketergantungan narkoba tidak akan terjadi bila tidak ada narkobanya itu sendiri. Dalam pengamatan ternyata banyak tersedianya narkoba dan mudah diperoleh.

Menurut Gunawan (2006) faktor tersedianya adalah ketersediaan dan kemudahan memperoleh narkoba juga dapat menjadi faktor penyebab banyaknya pengguna narkoba. Para penjual narkoba berkeliaran dimana-mana, termasuk di sekolah, lorong jalan, gang-gang sempit, warung-warung kecil yang dekat dengan permukiman masyarakat.

2. Faktor Internal

Terjadinya penyebab penyalahgunaan narkoba yang sebagian dilakukan oleh usia produktif khususnya remaja dikarenakan beberapa hal, antara lain:

a. Keluarga

Menurut Kartono dalam Wina (2006) keluarga merupakan satu organisasi paling penting di dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan biologis anak manusia.

Penyebab penggunaan narkoba salah satunya adalah keluarga, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Keluarga yang memiliki sejarah (termasuk orang tua) pengguna narkoba. 2. Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada jalan keluar yang

memuaskan semua pihak dalam keluarga. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.

3. Keluarga dengan orang tua yang otoriter, yang menuntur anaknya harus menuruti apapun kata orang tua, dengan alasan sopan santun, adat-istiadat,

(17)

atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri tanpa memberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidak setujuan.

4. Keluarga tidak harmonis

Menurut Hawari (2006:75), keluarga harmonis adalah persepsi terhadap situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang. Jadi keluarga tidak harmonis merupakan tidak adanya persepsi terhadap kondisi dan situasi tersebut.

b. Individu

Menurut Coopersmith (2006), harga diri adalah aspek yang penting kepribadian yang penting sebagai penilaian yang dibuat individu terhadap dirinya sendiri. Harga diri tinggi akan mempengaruhi kepribadian seseorang. Harga diri merupakan evaluasi diri yang ditegakkan dan dipertahankan oleh individu, yang berasal dari interaksi individu dengan orang-orang terdekat lingkungannya, dan dari jumlah penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain yang diterima individu.

3. Faktor Eksternal

Kondisi lingkungan sosial untuk bergaul dan bermasyarakat yang tidak sehat atau rawan, dapat menjadi terganggunya perkembangan jiwa kearah prilaku yang menyimpang yang pada gilirannya terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba. Lingkungan sosial yang rawan tersebut antara lain:

1. Semakin banyaknya pengangguran, anak putus sekolah dan anak jalanan. 2. Tempat-tempat hiburan yang buka hingga larut malam bahkan hingga dini hari

(18)

3. Banyaknya penerbitan, tontonan TV dan sejenisnya yang bersifat pornografi dan kekerasan.

4. Masyarakat yang tidak peduli dengan lingkungan.

5. Kebut-kebutan, coret-coretan pengrusakan tempat-tempat umum.

2.2.4 Ciri-Ciri Umum Pengguna Narkoba

Biasanya orang tua mengetahui anaknya menggunakan narkoba selalu ketika keadaannya sudah parah dan terlambat. Oleh karena itu ciri awal pengguna narkoba perlu diketahui dengan baik, secara umum pengguna narkoba terdiri dari 4 tahap, antara lain :

1. Tahap Awal

Biasanya seorang pada awalnya hanya coba-coba, tetapi karena terjebak oleh zat-zat yang terkandung dari narkoba serta lemahnya pertahanan diri sehingga kelanjutannya akan mencoba secara terus-menerus. Sangat sulit untuk melihat gejala awal pengguna narkoba, gejala tersebut dapat dilihat dari gejala psikologis dan fisik. Gejala psikologis memperlihatkan perubahan sikap, akan timbul rasa takut dan malu yang disebabkan oleh perasaan bersalah dan berdosa, lebih sensitif, resah dan gelisah, kemanjaan dan kemesraan akan berkurang bahkan hilang, sedangkan gejala pada fisik tidak kelihatan untuk tahap awal.

2. Tahap Pemula

Setelah tahap coba-coba, lalu meningkat menjadi terbiasa dan akan terus menggunakan, sehingga muncul gejala-gejala seperti sikapnya lebih tertutup, jiwanya resah, gelisah, kurang tenang dan lebih sensitif, hubungan dengan keluarga mulai renggang dan kelihatan sedang menyembunyikan rahasia.

(19)

3. Tahap Berkala

Setelah beberapa kali menggunakan narkoba sebagai pengguna yang merasakan kenikmatan dari narkoba, maka untuk kelanjutannya narkoba dikonsumsi dengan rutin karena apabila terlambat atau berhenti menggunakan, pengguna narkoba tersebut akan merasakan sakaw. Ciri psikologis yang sulit bergaul dengan orang-orang baru, pribadi menjadi lebih tertutup, lebih sensitif dan mudah tersinggung, penampilan sangat murung, kurang percaya diri apabila tidak menggunakan narkoba. Sedangkan ciri fisik kelihatan terjadi gejala gelisah, lemah, malas apabila tidak menggunakan narkoba dan kelihatan normal apabila menggunakan narkoba.

4. Tahap Tetap

Setelah mengkonsumsi narkoba secara berkala, pengguna narkoba tersebut akan dituntut oleh tubuhnya untuk semakin sering mengkonsumsi narkoba tersebut dengan dosis yang lebih tinggi, apabila tidak maka pengguna tersebut akan merasakan penderitaan(sakaw). Pada tahap ini, pengguna narkoba tidak dapat lepas sama sekali karena pengguna tersebut harus mengkonsumsi narkoba setiap hari secara rutin bahkan sampai empat atau enam kali per harinya. Ciri psikologis pada tahap ini hampir sama dengan beberapa ciri dari tahap-tahap sebelumnya, tetapi dalam tahap ini seorang pengguna narkoba sudah disebut sebagai seorang pecandu narkoba yang mempunyai ciri-ciri pandai berbohong, gemar menipu, sering mencuri, merampok, dan tidak malu menjadi pelacur baik wanita ataupun pria dan tidak merasa berat untuk berbuat jahat membunuh orang lain termasuk orang tuanya sendiri. Ciri-ciri fisik pada tahap ini terlihat kurus (loyo) tetapi ada juga yang membuat diri pecandu menjadi gemuk karena efek dari beberapa narkoba untuk menambah nafsu makan. Gigi kuning kecoklatan, mata sayup, ada bekas sayatan atau tusukan jarum di tangan, kaki, dada, lidah atau kemaluan (Partodiharjo 2008:42).

(20)

2.2.5 Kerangka Pemikiran

Permasalahan mengenai kenakalan remaja khususnya remaja pengguna narkoba merupakan salah satu masalah sosial yang akhir – akhir ini sangat meresahkan masyarakat, khususnya orang tua, sekolah, dan masyarakat umum lainnya. Banyak dampak negatif dari berkembangnya remaja pengguna narkoba ini, diantaranya timbul aksi-aksi kejahatan remaja dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan untuk mengkonsumsi narkoba tersebut. Secara sosiologis, pengguna narkoba ini juga merupakan salah satu penyakit sosial karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi “penyakit”. Dapat pula disebut sebagai struktur sosial yang terganggu fungsinya karena disebabkan oleh faktor – faktor sosial, dapat disebut juga sebagai disorganisasi social karena gejalanya berkembang menjadi akses sosial yang menganggu keutuhan dan kelancaran berfungsinya organisasi sosial dan dapat disebut juga sebagai disintegrasi sosial karena menyebabkan bagian satu struktur sosial tersebut berkembang tidak seimbang dengan bagian – bagian lain sehingga prosesnya bisa mengganggu, menghambat, dan bahkan merugikan bagian – bagian lain, karena tidak dapat diintegrasikan menjadi satu totalitas yang utuh (Kartono, 2010:4-5). Maka akan sangat menganggu secara sosiologis sekali apabila permasalahan remaja pengguna narkoba ini tidak diselesaikan secara cepat dan tepat.

Tidak hanya penanganan secara sosiologis, penanganan secara psikologis dan hukum juga dibutuhkan dalam menangani permasalahan remaja pengguna narkoba ini, dan tentu saja harus melibatkan semua pihak yang terkait dengan persoalan remaja pengguna narkoba ini, misalnya orangtua, guru, masyarakat dan kepolisian. Menangani permasalahan ini tidak seperti halnya menangani tindakan kriminal yang sama dengan kejahatan kriminal yang dilakukan oleh orang dewasa, para pelaku Juvenile Deliquency ini merupakan anak – anak remaja yang secara umur dan psikis masih labil dan secara hukum seharusnya mendapatkan perlindungan dan arahan. Yang perlu untuk ditelusuri oleh pihak – pihak yang terkait dalam

(21)

penanganan permasalahan remaja pengguna narkoba ini adalah apa – apa saja pemicu remaja tersebut mengkonsumsi narkoba dan bagaimana cara memaparkan tentang bahaya-bahaya narkoba kepada remaja-remaja yang belum mengkonsumsi narkoba ataupun yang sudah mengkonsumsi narkoba. Perhatian yang serius justru harus diawali dengan cara pencarian fakta mengenai faktor – faktor penyebab penggunaan narkoba di kalangan remaja dan bagaimana cara berkembangnya pengguna narkoba di kalangan remaja khususnya remaja di Desa Perumnas Simalingkar Kecamatan Pancur Batu.

Berangkat dari pemikiran inilah penulis secara sistematis ingin menyusun kerangka pemikiran yang selanjutnya akan menjadi bangunan daripada penelitian ini dengan cara melakukan studi kasus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan alir pikir.

(22)

Bagan Alir Pikir

Faktor Penyebab Remaja Menggunakan Narkoba

Remaja Faktor Tesedianya

Narkoba (Alam)

Faktor Internal (Keluarga dan Individu) Faktor eksternal

(Lingkungan sosial)

(23)

2.2.6 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji (Siagian, 2011:136). Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam kerangka teori maka rumusan konsep yang akan menjadi batasan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Remaja adalah perkembangan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional

2. Kenakalan Remaja merupakan tindakan atau perilaku melanggar peraturan atau hukum yang dilakukan oleh anak yang berada pada usia remaja yang pada konteksnya kali ini adalah remaja yang berdomisili di Desa Perumnas Simalingkar Kecamatan Pancur Batu.

3. Narkoba adalah zat kimia yang mengubah keadaan psikologis seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta prilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, dan lain sebagainya.

4. Pengguna Narkoba adalah orang yang mengkonsumsi narkoba dengan takaran tertentu, waktu tertentu dan masih mudah untuk diselamatkan melalui rehabilitasi karena tidak mengalami sakaw apabila tidak mengkonsumsi narkoba, dalam hal ini pengguna narkoba yang akan diteliti adalah pengguna narkoba yang dikategorikan sebagai remaja.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh biopori terhadap infiltrasi dan limpasan pada tanah pasir berlanau dengan peubah intensitas hujan, jumlah biopori, dan

Kami tidak bertanggung jawab atas kekeliruan atau kelalaian yang terjadi akibat penggunaan laporan ini, Kinerja dimasa lalu tidak selalu dapat dijadikan acuan

Laporan Penelitian: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.. “Yoga and Yantra: Their Interelation and Their

Kini, surat menyurat melalui E-mail tidak hanya dapat dilakukan melalui kompoter meja atau desktop dan komputer junjing (laptop) melainkan juga telepon genggam (seluler)

Faktor yang paling dominan dipertimbangkan dalam keputusan pembelian beras organik di Kota Surakarta adalah faktor distribusi dengan variabel pembentuk terdiri dari

produktivitas tanaman jagung di wilayah daratan Kabupaten Sumenep. Bentuk kegiatan berupa penentuan anjuran pemupukan spesifik lokasi pada tanaman jagung di masing-masing

Adapun peralatan yang digunakan oleh peneliti untuk melakukan percobaan adalah 12-bit capacitance to digital integrated circuit yang digunakan sebagai ADC converter dari

Pengembangan rencana tindakan merupakan salah satu aktivitas yang penting dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang berarti bahwa dalam tahap ini tim