• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuesioner

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kuesioner"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN KESEHATAN TENTANG

PENULARAN HIV/AIDS DENGAN STIGMA

MASYARAKAT PADA ORANG DENGAN

HIV/AIDS (ODHA) KECAMATAN

DEWANTARA KABUPATEN

ACEH UTARA

TAHUN 2015

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian skripsi Sarjana Kedokteran

Oleh:

MOCH. GIZKY BADAWI

NIM. 110610036

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

LHOKSEUMAWE

2015

(2)

ABSTRAK

Pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS adalah salah satu faktor yang mempengaruhi stigma di masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Stigma pada ODHA yang terjadi di masyarakat ini masih menjadi masalah yang mengganggu kehidupan sosial para ODHA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada ODHA Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling sebanyak 77 orang. Data dianalisis dengan menggunakan software statistik dengan Uji Chi Square. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan nilai p = 0,226 (p>0,005) yang berarti tidak terdapat hubungan antara pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada ODHA di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.

(3)

ABSTRACT

Health knowledge about the transmission of HIV/AIDS is one of the factors that affect people living with HIV/AIDS (PLWHA) stigma in society. Stigma on PLWHA that occurs in the community is still a problem that interfere social life of the PLWHA. This study aims to determine the relationship of health knowledge about the transmission of HIV/AIDS and stigma on PLWHA at Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara in 2015. This research was analytic study with cross sectional approach. Purposive sampling method was used in this study (total 77 people). Data were analyzed using statistic software by the Chi Square test. Based on the research results, p value was = 0.226 (p> 0.005) which means there was no relationship between health knowledge about the transmission of HIV/AIDS and stigma on PLWHA at Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara 2015.

Keyword : HIV/AIDS, Health Knowledge, PLWHA, Stigma on People Living with HIV/AIDS

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulias panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, karunia serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul : “Hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS

dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara 2015” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana Kedokteran dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya karena melalui perantara penulis dapat menikmati hidup didalam islam yang penuh pengetahuan ini.

Skripsi ini penulis persembahkan bagi orang-orang tercinta yang senantiasa mendukung penulis :

1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Amir Jaya Badawi dan Ibunda Rita

Rovaida, sumber kehidupan dan pembimbing utama dalam kehidupan penulis

yang selalu memberikan do’a, cinta, kasih sayang, dukungan dan perhatian serta pengorbanan yang begitu besar baik berupa materi maupun moril. Dorongan dan motivasi ayahanda serta ibundalah yang membuat penulis dapat penulis dapat menyelesaikan tahapan pendidikan ini, sehingga ucapan terima kasih ini tidaklah cukup untuk menggambarkan wujud penghargaan penulis kepada mereka.

(5)

2. Adik Tercinta Gesya Gebinne yang selalu memberi semangat agar penulis selalu sukses dan selalu memberika yang terbaik untuk orang tua.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. dr. Ibrahim Puteh, Sp.KJ, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh memberikan petunjuk, saran dan masukan untuk kelengkapan penelitian ini.

2. Ibu Harvina Sawitri, SKM. MKM, selaku pembimbing satu yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. dr. Cut Khairunnisa, M.Kes, sebagai sekretaris prodi dan pembimbing dua yang juga telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. dr. Sri Wahyuni, M.Sc, selaku penguji satu yang telah memberikan petunjuk, saran dan masukan untuk kelengkapan penelitian ini.

5. dr. Cut Sidrah Nadira M.Sc, sebagai penguji dua yang juga telah membrikan petunjuk, saran dan masukan untuk kelengkapan penelitian ini.

6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh.

(6)

7. Bapak Camat, staf beserta warga Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara yang telah turut membantu dan memberika izin penelitian skripsi.

8. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh khususnya angkatan 2011 yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis hingga akhir masa pendidikan.

9. Seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung ataupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam pengantar ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna bagi dari segi isi maupun penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini dan pengembangan di masa yang akan datang.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Lhokseumawe, 20 Januari 2016

(7)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Aquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS) adalah penyakit menular seksual menurut United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) dan World Health Organization (WHO). Diperkirakan HIV

telah menginfeksi 25 juta orang sejak ditemukan pada tanggal 5 Juni 1981, sehingga dalam kurun waktu yang singkat telah menjadi pandemi di seluruh negara. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) didefinisikan sebagai seseorang yang telah terinfeksi oleh virus HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala AIDS (United Nation Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), 2006).

Waktu munculnya gejala bisa saja terjadi lebih cepat (kurang dari 2 tahun) atau lebih lama (lebih dari 10 tahun). Kowalak (2011) mengatakan bahwa sekitar 10% orang yang terinfeksi virus HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu 2 sampai 3 tahun, dan sekitar 10% pengidap HIV tidak akan berkembang menjadi AIDS bahkan setelah 10 tahun. Rentang waktu dari seseorang terinfeksi sampai muncul gejala klinis bisa sangat bervariasi antara 8 sampai 10 tahun, yang bisa disebut sebagai masa inkubasi, atau dalam terminologi penyakit HIV/AIDS biasa disebut juga sebagai

windows period. Pembuktikan seseorang telah terinfeksi HIV, harus melewati

pemeriksaan atau tes HIV yang biasa dilakukan menggunakan metode pengujian

(8)

kering, maupun urine pasien. Seseorang harus mendapatkan penyuluhan (konseling) sebelum dan setelah melakukan tes HIV. Tes HIV tidak boleh dilakukan tanpa adanya persetujuan dan berdasarkan informasi lengkap (informed consent) dari yang bersangkutan (Kowalak, 2011).

Stigma buruk terhadap ODHA dan diskriminasi tidak saja dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit HIV/AIDS, tetapi dapat juga dilakukan oleh petugas kesehatan. Saat ini tercatat, sekitar 34 juta orang di dunia mengidap Virus HIV penyebab AIDS dan kebanyakan dari mereka hidup dalam kemiskinan dan di negara berkembang. Data WHO terbaru juga menunjukkan peningkatan jumlah pengidap HIV yang mendapatkan pengobatan. Tahun 2012 tercatat 9,7 juta orang dan angka ini meningkat 300.000 orang lebih banyak dibandingkan satu dekade sebelumnya (WHO, 2012). Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa sejak pertama kali kasus HIV/AIDS ditemukan pada tahun 1987 sampai dengan 30 Juni 2012, telah tercatat 32.103 kasus AIDS dan 86.762 kasus terinfeksi HIV serta 8.235 kasus kematian akibat HIV/AIDS di 33 Provinsi di Indonesia (Kemenkes RI, 2012).

Data Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi (KPAP) Aceh, kasus HIV/AIDS di Provinsi Aceh dari tahun 2007 hingga akhir bulan Desember 2012 telah terdapat 161 kasus HIV/AIDS di 23 Kabupaten/Kota. Dari 23 Kabupaten/Kota tersebut, Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah tertinggi penderita HIV/AIDS dengan jumlah kasus sebanyak 33 orang, tetapi yang diakui oleh Kementerian Kesehatan berjumlah 19 kasus HIV/AIDS (KPAP, 2013).

(9)

Data terakhir sejak 2004 hingga Oktober 2014, HIV/AIDS di Aceh mencapai 303 kasus. Dari jumlah tersebut, 94 penderita meninggal dunia. Kabupaten/kota tertinggi terjangkitnya virus itu adalah Aceh Utara dengan 35 kasus, disusul Aceh Tamiang 32 kasus, Bireuen dan Banda Aceh masing-masing 27 kasus, dan Lhokseumawe 23 kasus. Kecamatan Dewantara sendiri termasuk yang tertinggi di Kabupaten Aceh Utara dengan jumlah 14 kasus November 2013 (KPAP Aceh, 2014). Stigma masyarakat aceh yang buruk pada ODHA juga termasuk yang tertinggi di Kabupaten dan kota di Aceh seperti, Kuala simpang, Bireuen, Banda Aceh dan Lhokseumawe. Salah satu kendala dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS adalah stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes, 2012). Herek & Capitiano (1999) mengatakan bahwa timbulnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA disebabkan oleh faktor risiko penyakit ini yang terkait dengan perilaku seksual yang menyimpang dan penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya atau narkoba. Penyuluhan kesehatan terutama tentang HIV/AIDS di Aceh Utara sering dilakukan oleh Dinas Kesehatan, KPAK dan juga Yayasan terkait, namun masyarakat masih saja takut dan memberi perlakuan tidak adil (diskriminasi) dan stigma karena penyakit yang mereka derita. Hal ini mungkin dikarenakan semakin besarnya kasus di daerah tersebut maka semakin besar pula stigma yang buruk dari masyarakat Aceh terhadap ODHA (YPAP Lhokseumawe, 2014)

(10)

1.2 Rumusan Masalah

Tingginya angka kejadian HIV/AIDS masih menimbulkan stigma buruk di masyarakat meskipun sering dilakukannya penyuluhan kesehatan. Atas dasar itulah peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana karakteristik masyarakat yang mendiskriminasi ODHA Aceh

Utara?

2. Apakah pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS berhubungan

dengan stigma di masyarakat pada ODHA Aceh Utara?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada ODHA Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.

(11)

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik masyarakat yang mendiskriminasi ODHA di

Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara 2015.

2. Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan masyarakat tentang penularan

HIV/AIDS dengan stigma pada ODHA di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara 2015.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

1. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti tentang hubungan

pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS.

2. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya

pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dalam upaya pencegahan stigma pada ODHA.

3. Sebagai penyedia data untuk penelitian lebih lanjut khususnya dalam

mengetahui hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan munculnya stigma masyarakat pada ODHA.

1.5.2 Manfaat praktis

1. Menambah informasi bagi Dinas Kesehatan Aceh Utara tentang pentingnya

pengetahuan kesehatan penularan HIV/AIDS dalam upaya pencegahan munculnya stigma masyarakat pada ODHA.

(12)

2. Menambah informasi KPAP Aceh tentang manfaat pengetahuan kesehatan penularan HIV/AIDS dalam upaya pencegahan stigma masyarakat pada ODHA.

3. Menambah informasi bagi masyarakat dan mampu menurunkan stigma yang

(13)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian

Human immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus dari famili lentivirus

yang termasuk golongan virus ribonucleic acid (RNA) dengan bentuk sferis dan berdiameter 1000 angstrom. Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat khas karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk

deoxyribonucleic acid (DNA) yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi

genetik sel limfosit yang diserang. Virus HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk memperbanyak dirinya. Virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 1983 oleh Luc Montaigner di Perancis pada seorang pasien limfadenopati (Jawetz, 2008).

2.1.2 Epidemiologi

Menurut laporan data statistik The Joint United Nations Programme on

HIV/AIDS (UNAIDS), pada tahun 2010 terdapat 35,5 juta kasus HIV/AIDS dan pada

tahun 2011 lebih dari 34 juta orang hidup dengan HIV/AIDS yang di antaranya 3,3 juta orang berada di bawah usia 15 tahun. Angka ini menunjukkan penurunan insidensi kasus HIV/AIDS sebanyak hampir 50% di tiap negara, khususnya di negara-negara sedang berkembang seperti kawasan Afrika (Afrika Sub-Sahara, Malawi, Zimbabwe)

(14)

dan kawasan Asia (India, Nepal, Thailand, Papua New Guinea) tetapi sebagian negara di kawasan tersebut malah mengalami peningkatan kasus (UNAIDS, 2012).

Kawasan Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia, penyebab utama cara penularan virus HIV/AIDS adalah seks antara kaum homoseksual tanpa perlindungan sebanyak 60% dan sisanya para pekerja seks komersial dan penyalahgunaan narkoba suntik. Hal berbeda terdapat pada kawasan Asia termasuk Indonesia dimana penyebab utama cara penularannya adalah melalui hubungan seks bebas heteroseksual, kemudian penyalahgunaan narkoba suntik, dan yang terakhir seks antara kaum homoseksual (Timreck, 2006).

Kasus HIV/AIDS sejak tahun 2006 − 2014 terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah kasus terbanyak pada tahun 2010 − 2014, meskipun terdapat penurunan jumlah kasus seperti pada tahun 2007, 2009, dan 2012. Total kasus HIV dari tahun 2006 sampai 5 September 2014 sebanyak 265,21 kasus. Berikut tabel jumlah kasus HIV menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Kemenkes, 2012).

Tabel 2.1 Jumlah Kasus HIV Menurut Tahun di Indonesia

No. Tahun Jumlah Kasus HIV

1. 2006 7.195 2. 2007 6.045 3. 2008 10.362 4. 2009 9.793 5. 2010 21.581 6. 2011 21.031 7. 2012 9.883 8. 2013 29.037 9. 2014 150.29 Total 265.21

(15)

(Sumber: Kemenkes, 2012)

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Aceh Utara mendapatkan jumlah kasus HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Utara terus meningkat sampai akhir tahun 2012. Pada tahun 2007 terdapat 3 kasus HIV/AIDS, tahun 2009 ditemukan 5 kasus, tahun 2010 dijumpai 2 kasus, tahun 2011 dijumpai 7 kasus, tahun 2012 terdapat 13 kasus, sehingga totalnya adalah 30 kasus HIV/AIDS. Dari 30 kasus tersebut, 21 kasus diantaranya masih stadium HIV sedangkan yang telah terdeteksi mengidap AIDS ada 9 kasus, 6 diantaranya masih tergolong usia dewasa muda (30 tahun) dan 8 orang diantaranya telah meninggal dunia (KPA Aceh Utara, 2013).

2.1.3 Etiologi

Human immunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk dalam famili retrovirus

genus lentivirus diketemukan oleh LucMontagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy

Associated Virus (LAV). Gallo (National Institute of Health, USA 1984) menemukan

Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of

Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan

virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun antigenik. Virus HIV-2 dianggap kurang patogen

(16)

dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu disebut sebagai HIV saja (Kowalak, 2011).

Virus HIV-1 memiliki 10 subtipe yang diberikan kode A sampai J. Virus subtipe B merupakan prevalen di Amerika Serikat dan Eropa Barat, ditemukan terutama pada pria homoseksual dan penggunaan obat suntik. Subtipe C dan E ditularkan melalui hubungan seksual. Subtipe C merupakan prevalen di Afrika sub-Sahara, juga ditemukan di Amerika Utara. Subtipe E, yang merupakan penyebab epidemi di Thailand, memiliki daya afinitas yang lebih kuat terhadap sel epitel baik saluran reproduksi pria maupun wanita. Subtipe B tidak mudah ditularkan melalui sel epitel saluran reproduksi, tetapi langsung masuk ke dalam tubuh melalui kontak pada darah. Subtipe E telah ditemukan hanya pada isolasi di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Subtipe C dan E mempunyai afinitas tinggi pada sel epital saluran reproduksi, epidemi HIV yang baru dapat terjadi pada populasi heteroseksual (Kowalak, 2014). 2.1.4 Cara Penularan

Human immunodeficiency Virus sendiri dapat ditularkan melalui beberapa cara,

adapun di antaranya (Kowalak, 2014);

a. Menggunakan jarum suntik secara bergantian, bekas pakai atau tidak steril b. Hubungan seks berganti-gantian pasangan

c. Dari ibu ke bayi saat melahirkan, maupun menyusui Namun HIV tidak dapat ditularkan melalui;

a. Gigitan nyamuk atau serangga lain b. Berenang bersama

(17)

c. Memakai toilet umum

d. Bersalaman, pelukan atau ciuman e. Terpapar batuk atau bersin

f. Berbagi makanan atau menggunakan alat makan bersama g. Air kotor dan udara

2.1.5 Patofisiologi

Human immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menggunakan

RNA sebagai genom. Untuk masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan reseptor (CD4) yang ada di permukaan sel. Artinya, virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki reseptor CD4 pada permukaannya. Karena biasanya yang diserang adalah sel T limposit (sel yang berperan dalam sistem imun tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4+ T cell) (Pricen, 2012).

Setelah berikatan dengan reseptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses

reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan

oleh enzim reverse transcriptase. Proses sampai step ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrase (integration). Proses ini dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus (Pricen, 2012).

(18)

Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus (SIV). Virus SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina (Notoadmojo, 2010).

2.1.6 Manifestasi klinis

Diagnosis HIV AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis HIV AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala minor dan satu gejala mayor (Kemenkes, 2011).

a. Gejala Mayor;

1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan 2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan 3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan 4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis 5. Ensefalopati HIV

(19)

b. Gejala Minor;

1. Bentuk menetap lebih dari 1 bulan 2. Dermatitis generalisata

3. Herpes zooster multisegmental berulang 4. Kandidiasis oropahringeal

5. Herpes simplex kronis progresif 6. Limfadenopati

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita 8. Retinitis oleh sitomegalo virus

2.1.7 Penatalaksanaan

Pedoman World Health Organitation (WHO), untuk penanganan HIV/AIDS, pemberian pengobatan bagi penderita HIV dewasa harus segera diberikan, jika didapatkan hasil pemeriksaan tes CD4+ menunjukkan kadar virus dalam darah

mencapai <500 sel/mm3, ini berfungsi untuk menghambat virus merusak sistem imun

pasien lebih awal (WHO, 2013). Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui tiga golongan obat untuk infeksi HIV yaitu Nukleosida Reverse

Transcriptase Inhibitor (NRTI), Non-Nukleosida Reverse Transcriptase Inhibitor

(NNRTI), dan Protease Inhibitor (PI) (Louisa, 2009).

Mekanisme kerja dari NRTI adalah menghambat enzim DNA polimerase dependen RNA HIV (reverse transcriptase) dan menghentikan pertumbuhan untai DNA, contoh obatnya adalah zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, dan abakavir. NNRTI menghambat transkripsi RNA HIV-1 menjadi

(20)

DNA, suatu langkah penting dalam replikasi virus. Obat tipe ini menurunkan jumlah HIV dalam darah dan meningkatkan CD4+, contoh obatnya adalah nevirapin, delaviridin, dan efavirenz. Protease Inhibitor (PI) menghambat aktivitas protease HIV dan mencegah pemutusan poliprotein HIV yang esensial untuk pematangan HIV sehingga yang akan terbentuk bukan HIV matang tetapi partikel virus imatur yang tidak menular, contoh obatnya adalah indinavir, ritonavir, nelfinavir, dan lopinavir (Louisa, 2009).

Paduan pemilihan obat ARV lini pertama yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu 2 NRTI + 1 NNRTI dengan paduan (Kemenkes, 2012):

a. Zidovudine + lamivudine + nevirapine

b. Zidovudine + lamivudine + efavirenz

c. Tenofovir + lamivudine atau emtricitabine + nevirapine

2.2 Pengetahuan

2.2.1 Pengertian

Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Dewi, 2010).

Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi beberapa faktor dari dalam seperti

(21)

motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia serta keadaan sosial budaya (KBBI).

2.2.2 Jenis-jenis Pengetahuan

Pada umumnya pengetahuan dibagi dalam beberapa jenis, diantaranya (Dewi, 2010):

1. Pengetahuan langsung (immediate) adalah pengetahuan langsung yang

hadir dalam jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan pikiran. Kaum realis (penganut paham Realisme) mendefinisikan pengetahuan seperti itu. Umumnya dibayangkan bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagaimana adanya, khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-realitas yang telah dikenal sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah, binatang, dan beberapa individu manusia.

2. Pengetahuan tidak langsung (mediate) adalah hasil dari pengaruh interpretasi dan proses berpikir serta pengalaman-pengalaman yang lalu. Apa yang kita ketahui

dari benda-benda eksternal banyak berhubungan dengan penafsiran

dan penyerapan pikiran kita.

3. Pengetahuan indrawi (perceptual) adalah sesuatu yang dicapai dan diraih melalui indra-indra lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan satu pohon, batu, atau kursi, dan objek-objek ini yang masuk ke alam pikiran melalui indra penglihatan akan membentuk pengetahuan kita. Tanpa diragukan bahwa hubungan kita dengan alam eksternal melalui media indra-indra lahiriah ini, akan tetapi pikiran kita tidak seperti klise foto dimana gambar-gambar dari apa yang diketahui lewat indra-indra

(22)

tersimpan didalamnya. Pada pengetahuan indrawi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, seperti adanya cahaya yang menerangi objek-objek eksternal, sehatnya anggota-angota indra badan (seperti mata, telinga, dan lain-lain), dan pikiran yang mengubah benda-benda partikular menjadi konsepsi universal, serta faktor-faktor sosial (seperti adat istiadat).

4. Pengetahuan konseptual (Conseptual) adalah pengetahuan yang juga tidak

terpisah dari pengetahuan indrawi. Pikiran manusia secara langsung tidak dapat membentuk suatu konsepsi-konsepsi tentang objek-objek dan perkara-perkara eksternal tanpa berhubungan dengan alam eksternal. Alam luar dan konsepsi saling berpengaruh satu dengan lainnya dan pemisahan di antara keduanya merupakan aktivitas pikiran.

5. Pengetahuan partikular (particular) adalah pengetahuan yang berkaitan dengan satu individu, objek-objek tertentu, dan realitas-realitas khusus. Misalnya ketika kita membicarakan satu kitab atau individu tertentu, maka hal ini berhubungan dengan pengetahuan partikular itu sendiri.

6. Pengetahuan keseluruhan (universal) adalah pengetahuan yang meliputi keseluruhan yang ada, seluruh hidup manusia.

2.2.3 Faktor-faktor yang memepengaruhi pengetahuan

Pada umumnya ada beberapa hal yang mempengaruhi tingakat pengetahuan itu sendiri, berikut faktor-faktor yang dapat mempegaruhi (Wawan, 2010):

1. Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

(23)

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.

2. Media masa yang didisain secara khusus untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Jadi contoh dari media massa ini adalah televisi, radio, koran, dan majalah. Pengertian informasi menurut Oxford English Dictionary, adalah "that of which

one is apprised or told: intelligence, news". Kamus lain menyatakan bahwa

informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Selain itu istilah informasi juga memiliki arti yang lain sebagaimana diartikan oleh RUU teknologi informasi yang mengartikannya sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu.

3. Sosial budaya dan ekonomi juga mempengaruhi, kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun

(24)

tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

4. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

5. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

6. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan

(25)

banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini.

2.2.4 Sumber pengetahuan

Pengetahuan yang kita ketahui ini memiliki sumber (source) diataranya adalah (Wawan, 2010):

1. Intuisi adalah sebuah pemikiran eksperiman, coba-coba yang berawal dari sebuah pertanyaan akan keraguan dan lahirlah insting. Daya atau kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tampa ada dipelajari terlebih dahulu.

2. Rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal adalah suatu pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah. Hal ini berbeda dengan pengetahuan intuitif atau pengetahuan yang berasal dari hati. Pengetahuan ini tidak akan didapatkan dari suatu proses pengajaran dan pembelajaran resmi, akan tetapi, jenis pengetahuan ini akan terwujud dalam bentuk-bentuk “kehadiran” dan “penyingkapan” langsung terhadap hakikat-hakikat yang dicapai melalui penapakan mistikal, penitian jalan-jalan keagamaan, dan penelusuran tahapan-tahapan spiritual.

3.

Emperikal atau indra manusia merupakan alat dan sumber pengetahuan, dan

manusia mengenal objek-objek fisik dengan perantaraanya. Setiap orang yang kehilangan salah satu dari indranya akan sirna kemampuannya dalam mengetahui suatu realitas secara partikular. Misalnya seorang yang kehilangan indra penglihatannya maka dia tidak akan dapat menggambarkan warna dan bentuk

(26)

sesuatu yang fisikal, dan lebih jauh lagi orang itu tidak akan mempunyai suatu konsepsi universal tentang warna dan bentuk. Begitu pula orang yang tidak memiliki kekuatan mendengar maka dapat dipastikan bahwa dia tidak mampu mengkonstruksi suatu pemahaman tentang suara dan bunyi dalam pikirannya. 2.2.5 Pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai kesehatan secara optimal. Pendidikan kesehatan adalah komponen program kesehatan dan kedokteran yang terdiri atas upaya terencana untuk mengubah perilaku individu, keluarga dan masyarkat yang merupakan cara perubahan berfikir, bersikap dan berbuat dengan tujuan membantu pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan promosi hidup sehat (Sudikno, 2011).

2.2.6 Tujuan pendidikan kesehatan

Tujuan pendidikan kesehatan yang paling pokok adalah tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam memelihara perilaku sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan pendidikan kesehatan, antara lain tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, kepercayaan masyarakat, dan ketersediaan waktu dari masyarakat (Notoadmojo, 2012).

Materi yang disampaikan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan mulai dari individu, keluarga, dan masyarakat sehingga dapat langsung dirasakan

(27)

manfaatnya. Sebaiknya saat memberikan pendidikan kesehatan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam bahasa kesehariaannya dan menggunakan alat peraga untuk mempermudah pemahaman serta menarik perhatian sasaran (Purnomo, 2013). 2.2.7 Sasaran dan tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan

Sasaran pendidikan kesehatan dibagi dalam 3 kelompok, yaitu pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu, pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok dan pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat (Notoadmojo, 2012).

Tempat penyelenggaraan pendidikan kesehatan dapat dilakukan di institusi pelayanan antara lain puskesmas, rumah bersalin, klinik dan sekolah serta di masyarakat berupa keluarga masyarakat binaan. Hasil yang diharapkan dalam pendidikan kesehatan masyarakat adalah terjadinya perubahan sikap dan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat untuk dapat menanamkan prinsip-prinsip hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari demi mencapai derajat kesehatan yang optimal (Purnomo, 2013).

2.3 Stigma

2.3.1 Pengertian

Stigma adalah fenomena negatif yang kuat yang terjadi di masyarakat, dan terkait erat dengan nilai dan norma yang ditempatkan pada beragam identitas sosial (Kesrepro, 2007). Stigma sebagai suatu isyarat atau petanda yang dianggap sebagai “gangguan” dan karenanya dinilai kurang dibanding orang-orang normal.

(28)

Individu-individu yang diberi stigma yang dianggap sebagai Individu-individu yang cacat, membahayakan, dan agak kurang dibandingkan orang lain pada umunya (KPA, 2013). 2.3.2 Stigmatisasi

Stigmatisasi adalah kata keterangan yang artinya merupakan noda atau menodai, maka perbedaan stigma dan stigmatisasi adalah stigma kata benda sedangkan stigmatisasi kata keterangan. Proses pemberian stigma yang masyarakat terjadi dalam tiga tahap yaitu (Kesrepro, 2007);

a. Proses interpretasi, pelanggaran norma yang terjadi dalam masyarakat tidak

semuanya mendapatkan stigma dari masyarakat, tetapi hanya pelanggaran norma yang diinterpretasikan oleh masyarakat sebagai suatu penyimpangan perilaku yang dapat menimbulkan stigma.

b. Proses pendefinisian, orang yang dianggap berperilaku menyimpang, setelah

pada tahap pertama dilakukan dimana terjadinya interpretasi terhadapa perilaku yang menyimpang, maka tahap selanjutnya adalah proses pendefinisian orang yang dianggap berperilaku menyimpang oleh masyarakat.

c. Perilaku diskriminasi, tahap selanjutnya pada proses kedua dilakukan, maka

masyarakat memberikan perlakuan yang bersifat membedakan. 2.3.3 Tipe-tipe dan dimensi stigma

Tindakan stigamtisasi kepada orang lain dapat memberikan beberapa fungsi bagi inidividu termasuk meningkatkan harga diri, meningkatkan kendali sosial, menaham kecemasan. Menurut Jones membedakan dalam 6 jenis stigma, atau kondisi stigmatisasi, diantaranya (Kesrepro, 2007);

(29)

a. Penyembunyian, yang mencakup karakteristik stigmatisasi sedapat mungkin bisa dilihat (seperti cacat wajah vs. homoseksualitas).

b. Rangkaian Penandaan, berhubung dengan apakh tanda tersebut sangat

mencolok mata atau makin melemah dari waktu ke waktu (seperti multiple

sclerosis vs. kebutaan).

c. Kekacauan, yang menyangkut pada tingkat stigmatisasi dalam menganggu

dalam interaksi interpersonal (seperti gagap dalam berbicara).

d. Estetika, yang berhubungan dengan reaksi subjektif yang dapat memunculkan

stigma karena suatu hal yang kurang menarik.

e. Asal-usul, tanda stigmatisasi (seperti cacat bawaan, kecelakaan, atau

kesengajaan) yang juga terkait dengan tanggung jawab seseorang dalam bentuk stigma.

f. Risiko, yang mencakup perasaan bahaya dari stigmatisasi dari orang lain

(seperti memliki penyakit yang mematikan atau membahayakan vs. memiliki kelebihan berat badan).

2.3.4 Stigma masyarakat terhadap ODHA

Stigma terhadap ODHA yang masih melekat di dalam masyarakat yang membuat diskriminasi terhadap ODHA semakin kuat. Masih banyak masyarakat baik yang berasal dari kelas bawah sampai dengan seorang dokter sekalipun mendiskriminasi ODHA seperti yang terjadi di Yogyakarta seorang dokter di sebuah rumah sakit terkemuka yang mengganggap bahwa ODHA itu adalah manusia yang kotor yang melakukan hal-hal yang tidak bermoral seperti pengguna narkoba, PSK

(30)

(Penjaja Seks Komersil), wanita simpanan, dll, sehingga ketika ia mendapatkan pasien ODHA ia tidak mau merawatnya (KPA, 2013).

Hasil penelitian ditemukan bahwa stigma terhadap status HIV/AIDS yang didapatkan oleh ODHA lebih tinggi di lingkungan masyarakat (71,4%), selanjutnya di tempat pelayanan kesehatan (35,5%) dan yang terendah adalah di lingkungan keluarga (18,5%). Berdasarkan persentase tersebut terlihat adanya perbandingan yang cukup signifikan, dalam hal ini dapat dilihat masih kentalnya pandangan negatif mengenai ODHA di lingkungan masyarakat karena kurangnya informasi mengenai HIV/AIDS (KPA, 2013).

(31)

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konseptual

Dari hasil tinjauan teoritis dan telaah kepustakaan maka disimpulkan kerangka konsep hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015 adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H0:

Tidak terdapat hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015. Pengetahuan Kesehatan

Tentang Penularan HIV/AIDS

Stigma Masyarakat Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

(32)

Ha:

Terdapat hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.

(33)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional yaitu penelitian dilakukan dengan cara pengukuran atau pengumpulan secara simultan variabel bebas dan variabel terikat pada saat yang bersamaan/point time to approach.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dan waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 – November 2015.

4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat berusia 21-51 tahun berdasarkan pengelompokan usia profil kesehatan di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara yang berjumlah 46.834 orang.

4.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang ada pada saat peneliti melakukan penelitian dengan jumlah dan kriteria yang sudah ditentukan sebagai berikut:

(34)

Kriteria inklusi

1. Individu yang berusia antara 21-51 tahun di Kecamatan Dewantara Kabupaten

Aceh Utara.

2. Bersedia menjadi sampel penelitian dan bisa membaca.

Kriteria eksklusi

1. Individu dalam kondisi sakit sehingga sulit untuk menjawab pertanyaan

penelitian.

2. Individu yang tidak koperatif.

3. Invidu yang menderita HIV/AIDS.

4. Individu yang tidak bisa membaca.

4.3.3 Besar sampel

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Lameshow (1997), sebagai berikut:

N.Z21-α/2.P.q n = d2 (N-1) + Z21-α/2.P.q Keterangan : n : Besar sampel N : Besar populasi

Z21-α/2 : Standar deviasi normal (1,96)

P : Perkiraan populasi (prevalensi) variabel dependen

(35)

q : 1-P

d : delta presisi absolut atau margin of error yang

diinginkan pada kedua sisi proporsi (5%)

Berdasarkan rumus tersebut, maka besarnya sampel minimal yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

N.1,962.0,95 (0,05) n = 0,052 (N-1) + 1,962.0,95 (0,05) 46.834.(3,8416).(0,0475) n = (0,0025) 46.834+ (3,8416).(0,0475) 8546,08 n = 117,27 n = 72,9 dibulatkan menjadi 73.

Proporsi berdasarkan bobot desa adalah;

4476

Desa A (Paloh Gadeng) X 73 = 12,35 dibulatkan menjadi 13 orang.

26441

5956

Desa B (Tambon Baroh) X 73 = 16,44 dibulatkan menjadi 17 orang.

26441

1825

Desa C (Pulo Rungkon) X 73 = 5,03 dibulatkan menjadi 6 orang.

26441

1135

Desa D (Ulee Reuleng) X 73 = 3,13 dibulatkan menjadi 4 orang.

(36)

4896

Desa E (Lancang Barat) X 73 = 13,51 dibulatkan menjadi 14 orang.

26441

4255

Desa F (K.K. Geukueh) X 73 = 11,74 dibulatkan menjadi 12 orang.

26441

3898

Desa G (Bangka Jaya) X 73 = 10,76 dibulatkan menjadi 11.

26441

Total jumlah sampel adalah 77 orang. 4.3.4 Teknik pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling dilakukan secara subjektif sehingga peneliti menentukan sendiri siapa yang dapat menjadi sampel penelitian.

4.4 Variabel Penelitian, Cara Pengukuran dan Definisi Operasional

4.4.1 Variabel penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas yaitu variabel yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat tentang penularan HIV/AIDS.

(37)

2. Variabel terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

4.4.2 Cara pengukuran variabel

Pengukuran variabel bebas dalam penelitian ini menggunakan mean yaitu nilai rata-rata hitung atau jumlah semua hasil pengamatan dibagi banyaknya pengamatan (Budiarto, 2002).

1. Variabel pengetahuan tentang HIV/AIDS

Cara pengukuran variabel ini dengan menggunakan kuesioner yang ditujukan kepada responden. Pengetahuan baik jika responden dapat menjawab lebih dari 3 soal dengan benar, sedang jika 2 sampai 3 soal benar, dan buruk jika 0 atau 1 soal benar.

2. Variabel stigma terhadap ODHA

Cara pengukuran variabel ini dengan menggunakan kuesioner yang ditujukan kepada responden. Setiap pertanyaan dapat di jawab dengan pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Jika responden menjawab STS maka skornya adalah 0, TS dengan skor 1, S dengan skor 2, dan SS skornya adalah 3. Total skor menentukan tingkatan stigma masyarakat terhadap ODHA. Stigma rendah jika total skor 0-30, sedang jika total skor 31-60, dan tinggi jika total skor 61-90.

(38)

4.4.3 Definisi oprasional

No Variabel Definisi

operasional Alat ukur Hasil ukur Skala

1. Pengetahuan Tentang HIV/AIDS Pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS Kuesioner 1. Baik 2. Sedang 3. Buruk Ordinal 2. Stigma Masyarakat Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Segala pemikiran dan perilaku negatif masyarakat terhadap ODHA yang dapat mempengaruhi aktivitas ODHA dalam kehidupan sosial bermasyarakat Kuesioner 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Ordinal 4.5 Instrumen Penelitian

Kuesioner berisi pertanyaan yang berhubungan dengan variabel yang diteliti. Data tersebut nantinya merupakan data primer yang dikumpulkan langsung dari lokasi penelitian. Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu :

a. Kuesioner A berupa data demografi responden dan pengetahuan tentang

(39)

b. Kuesioner B berisikan pertanyaan tentang stigma masyarakat terhadap ODHA. 4.5.1 Uji validitas

Notoatmodjo (2010), validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur benar-benar mengukur apa yang diukur. Sebuah instrumen dikatakan valid bila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data variabel yang diteliti secara tepat. Uji validitas akan dilakukan di Kecamatan Muara Dua Kabupaten Aceh Utara dengan sampel yang dibutuhkan 10% dari besar sampel yaitu 7,7 digenapkan menjadi 8 orang.

4.5.2 Uji reliabilitas

Uji reliabilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya konsistensi alat ukur dalam penggunaannya atau dengan kata lain alat ukur tersebut mempunyai hasil yang konsisten apabila digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda (Notoadmojo, 2010).

4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data

Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan membagikan kuesioner kepada responden sedangkan data sekunder diperoleh saat pengambilan data jumlah populasi diawal penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan pengisian lembar kuesioner. Sebelum dimulai penelitian, peneliti meminta izin melakukan penelitian ke Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Responden dijelaskan bahwa mereka diikutkan

(40)

dalam penelitian ini dan diminta kesediannya untuk ikut dalam penelitian. Responden diberi penjelasan bahwa akan dilakukan pengisian kuesioner untuk penelitian Hubungan Pengetahuan Kesehatan Tentang Penularan HIV/AIDS Terhadap Stigma Masyarakat Pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Aceh Utara Tahun 2015. Setelah kuesioner diisi, peneliti memeriksa kelengkapan jawabannya, jika belum lengkap akan dilengkapi pada saat itu juga dan jika sudah lengkap dapat mengakhiri pertemuan.

4.7 Pengolahan Data

Menurut Budiarto (2002), data yang telah dikumpulkan diolah dengan cara manual serta langkah prosedur sebagai berikut :

1. Editing adalah kegiatan melakukan pengecekan kelengkapan pengisian

kuesioner, kejelasan jawaban, relevansi jawaban terhadap pertanyaan dan konsistensi jawaban pada isian kuesioner. Apabila ada jawaban yang kurang/tidak lengkap atau tidak relevan dengan pertanyaan maka akan diperbaiki.

2. Coding adalah kegiatan pemberian kode yang dilakukan peneliti untuk mengubah data yang sudah terkumpul ke bentuk yang lebih ringkas dan memudahkan proses pengolahan data.

3. Tabulating adalah memasukkan data yang telah dikoreksi dalam bentuk tabel.

4. Computing adalah memasukkan data ke komputer dan mengolahnya dengan

menggunakan software statistik.

(41)

Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa analisis univariat dan bivariat menggunakan Uji Chi-Square yang diolah menggunakan software statistik. Hasil akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Karakteristik Responden

5.1.1 Frekuensi usia responden

Gambaran frekuensi usia responden penelitian di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Usia Responden

Usia Frekuensi (f) Persentase (%)

21-25 12 15,6%

26-35 27 35,1%

36-45 25 32,5%

46-51 13 16,9%

Total 77 100%

(Sumber: Data primer, 2015)

Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat berdasarkan pembagian usia menurut Depkes RI usia remaja akhir (21-25) adalah 12 orang (15,6%), usia dewasa awal (26-35) adalah 27 orang (35,1%), usia dewasa akhir (36-45) adalah 25 orang (32,5%), dan usia untuk lansia awal (46-51) adalah 13 orang (16,9%).

5.1.2 Frekuensi jenis kelamin responden

Gambaran frekuensi jenis kelamin responden penelitian di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.2.

(43)

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)

Laki-Laki 36 46,8%

Perempuan 41 53,2%

Total 77 100%

(Sumber: Data primer, 2015)

Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa responden perempuan lebih banyak dengan jumlah 41 orang (53,2%) daripada laki-laki yaitu 36 orang (46,8%).

5.1.3 Frekuensi agama responden

Gambaran frekuensi agama responden penelitian di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Agama Responden

Agama Frekuensi (f) Persentase (%)

Muslim 74 96,1%

Non Muslim 3 3,9%

Total 77 100%

(Sumber: Data primer, 2015)

Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa responden yang beragama muslim merupakan mayoritas yaitu 74 orang (96,1%) daripada nonmuslim yaitu 3 orang (3,9%).

(44)

5.1.4 Frekuensi status responden

Gambaran frekuensi status responden penelitian di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Status Responden

Status Frekuensi (f) Persentase (%)

Menikah 57 74,0%

Belum Menikah 20 26,0%

Total 77 100%

(Sumber: Data primer, 2015)

Berdasarkan Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa status responden yang sudah menikah lebih banyak dengan jumlah 57 orang (74,0%) daripada yang belum menikah 20 orang (26,0%).

5.1.5 Frekuensi pekerjaan responden

Gambaran frekuensi pekerjaan responden penelitian di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden

Pekerjaan Frekuensi (f) Persentase (%)

Tidak Berkerja 46 59,7%

Berkerja 31 40,3%

Total 77 100%

(45)

Berdasarkan Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa responden yang tidak berkerja lebih banyak dengan jumlah 46 orang (59,7%) dari pada yang berkerja 31 orang (40,3%).

5.1.6 Frekuensi pendidikan terakhir responden

Gambaran frekuensi pendidikan terakhir responden penelitian di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.6

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Responden

Pendidikan Terakhir Frekuensi (f) Persentase (%)

Tidak Sekolah 1 1,3% SD 3 3,9% SMP 11 14,3% SMA 44 57,1% Sarjana 18 23,4% Total 77 100%

(Sumber: Data primer, 2015)

Berdasarkan Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa mayoritas responden menyelesaikan pendidikan SMA yaitu 44 orang (57,1%) dan yang tidak bersekolah yaitu 1 orang (1,3%).

5.2 Karakteristik Responden yang Memiliki Stigma

Gambaran karakteristik responden yang memiliki stigma di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.7.

(46)

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang Melakukan Stigma

No Varibel

Responden

Stigma Masyarakat pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

Rendah Sedang Tinggi (n) (%) (n) (%) (n) (%) 1 Usia 21-25 2 16,7% 9 75,0% 1 8,3% 26-35 4 14,8% 22 81,5% 1 3,7% 36-45 6 24,0% 18 72,0% 1 4,0% 46-51 1 7,7% 8 61,5% 4 30,8% 2 Jenis Kelamin Laki-Laki 6 16,7% 27 75,0% 3 8,3% Perempuan 7 17,1% 30 73,2% 4 9,8% 3 Agama Muslim 13 17,6% 54 73,0% 7 9,5% Non-muslim 0 0,0% 3 100,0% 0 0,0% 4 Status Belum Menikah 10 17,5% 41 71,9% 6 10,5% Menikah 3 15,0% 16 80,0% 1 5,0% 5 Pekerjaan

(47)

Tidak Berkerja 11 23,9% 30 65,2% 5 10,9% Berkerja 2 6,5% 27 87,1% 2 6,5% 6 Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah 0 0,0% 1 100,0% 0 0,0% SD 0 0,0% 3 100,0% 0 0,0% SMP 2 18,2% 8 72,7% 1 9,1% SMA 6 13,6% 32 72,7% 6 13,6% Sarjana 5 27,8% 13 72,2% 0 0,0%

(Sumber: Data primer, 2015)

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat dilihat responden dengan usia yang memiliki stigma rendah paling banyak adalah usia (36-45) 6 orang (24,0%), yang memiliki stigma sedang paling banyak adalah usia (26-35) 22 orang (81,5%), dan yang berstigma tinggi paling banyak adalah usia (46-51) 4 orang (30,8%). Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat responden dengan jenis kelamin yang memiliki stigma rendah paling banyak adalah perempuan yaitu 7 orang (17,1%), yang memiliki stigma sedang paling banyak adalah perempuan yaitu 30 orang (73,2%), dan yang berstigma tinggi paling banyak adalah perempuan yaitu 4 orang (9,8%).

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat dilihat responden dengan agama yang memiliki stigma rendah paling banyak adalah muslim yaitu 13 orang (17,6%), yang memiliki stigma sedang paling banyak adalah muslim yaitu 54 orang (78,0%), dan yang berstigma tinggi paling banyak adalah muslim 7 orang (9,5%). Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat responden dengan status yang memiliki stigma rendah paling banyak adalah yang belum menikah yaitu 10 orang (17,5%), yang memiliki stigma sedang

(48)

paling banyak adalah yang belum menikah yaitu 41 orang (71,9%), yang memiliki stigma tinggi paling banyak adalah yang belum menikah yaitu 6 orang (10,5%).

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat dilihat responden dengan status pekerjaan yang memiliki rendah paling banyak adalah yang tidak berkerja yaitu 11 orang (23,9%), yang memiliki stigma sedang adalah yang tidak berkerja yaitu 30 orang (65,2%), yang memiliki stigma tinggi paling banyak adalah yang tidak berkerja yaitu 5 orang (10,9%). Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat responden dengan pendidikan terakhir yang memiliki stigma rendah paling banyak adalah SMA yaitu 6 orang (13,6%), yang memiliki stigma sedang paling banyak adalah SMA yaitu 32 orang (72,7%), yang memiliki stigma tinggi paling banyak adalah SMA yaitu 6 orang (13,6%).

5.3 Hasil Penelitian Pengetahuan HIV/AIDS

Hasil penelitian Pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS di

Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.8.

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Kesehatan tentang Penularan HIV/AIDS Pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS Frekuensi (f) Persentase (%) Baik 63 81,8% Sedang 10 13,0% Buruk 4 5,2% Total 77 100%

(49)

Berdasarkan Tabel 5.8 dapat dilihat responden yang berpengetahuan baik 63 orang (81,8%), berpengetahuan sedang 10 orang (13,0%) dan yang berpengetahuan buruk 4 orang (5,2%).

5.4 Hasil Penelitian Stigma Masyarakat

Hasil penelitian stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.9.

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Stigma Masyarakat Pada ODHA Stigma Masyarakat

Pada ODHA Frekuensi (f) Persentase (%)

Rendah 13 16,9%

Sedang 57 74,0%

Tinggi 7 9,1%

Total 77 100%

(Sumber: Data primer, 2015)

Berdasarkan Tabel 5.9 dapat dilihat responden yang berstigma rendah 13 orang (16,9%), berstigma sedang 57 orang (74,0%), dan yang berstigma tinggi 7 orang (9,1%).

5.5 Analisis Pengetahuan Kesehatan tentang Penularan HIV/AIDS dengan Stigma Masyarakat pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Hasil analisa Pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat pada Tabel 5.10.

(50)

Tabel 5.10 Hubungan Pengetahuan Kesehatan tentang Penularan HIV/AIDS dengan Stigma Masyarakat pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara 2015

No Pengetahuan Kesehatan Tentang Penularan HIV/AIDS

Stigma Masyarakat pada Orang

Dengan HIV/AIDS (ODHA) Total

p-value

Rendah Sedang Tinggi

(n) (%) (n) (%) (n) (%) (n) (%) 1 Baik 9 14,3% 48 76,2% 6 9,5% 63 100% 0,226 2 Sedang 4 40,0% 5 50,0% 1 10,0% 10 100% 3 Buruk 0 0,0% 4 100% 0 0,0% 4 100% Jumlah 13 16,9% 57 74,0% 7 9,1% 77 100% (Sumber: Data primer, 2015)

Pada Tabel 5.10 terlihat bahwa total responden 77 orang (100%). Responden berpengetahuan baik berjumlah 63 orang (100%) dengan stigma rendah 9 orang (14,3%), stigma sedang 48 orang (76,2%) dan stigma tinggi 6 orang (9,5%). Responden berpengetahuan sedang berjumlah 10 orang (100%) dengan stigma rendah 4 orang (40,0%), stigma sedang 5 orang (50,0%), dan stigma tinggi 1 orang (10,0%). Responden berpengetahuan buruk berjumlah 4 orang (100%) dan semua memiliki stigma sedang.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai signifikansi (p-value) sebesar 0,226, nilai ini lebih dari level of significance (α) yaitu 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Ha ditolak dan Ho diterima, berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.

(51)

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Responden yang Memiliki Stigma

Stigma adalah fenomena negatif yang kuat yang terjadi di masyarakat, dan terkait erat dengan nilai dan norma yang ditempatkan pada beragam identitas sosial (Kesrepro, 2007). Stigma pun terbagi atas tiga bentuk yaitu stigma rendah yang membuat seseorang mendiskriminasi melalui pikirannya, stigma sedang yang membuat seseorang sudah mendiskriminasi melalui tindakan secara langsung dan stigma tinggi yang membuat sudah mendiskriminasi secara langsung hingga mengganggu kehidupan dari ODHA sendiri. Berdasarkan data yang didapatkan bahwa mayoritas usia yang memiliki stigma sedang adalah usia dewasa (26-35) sebanyak 22 orang (81,5%). Hal ini mungkin dikarenakan pada usia dewasa seseorang sudah bisa memilih keputusannya sendiri. Usia dewasa adalah usia produktif bagi seseorang untuk mengambil setiap keputusan dari apa yang dia tahu dan apa yang dia percaya (Wawan, 2010). Hasil penelitian Cipto (2006) juga mengatakan bahwa stigma terhadap status

HIV/AIDS yang didapatkan oleh ODHA lebih tinggi di lingkungan masyarakat dewasa

(71,4%), daripada masyarakat remaja dan lansia.

Berdasarkan data yang didapatkan bahwa wanita lebih banyak memiliki stigma rendah 7 orang (17,1%), sedang 30 orang (73,2%) dan tinggi 4 orang (9,8%). Hal ini mungkin dikarenakan wanita memiliki rasa kekhawatiran yang lebih tinggi seperti penelitian Hastjarjo (2008) yang menyatakan wanita memiliki pemikiran yang rumit sehingga menyebabkan kecemasan yang tinggi ini diakibatkan karena hormon yang

(52)

meningkat atau dilepaskan pada saat tertentu. Herek (2012) juga menemukan bahwa ekspresi nyata dari stigmatisasi HIV/ AIDS di Amerika pada tahun 2009, 1 dari 5 wanita dewasa yang disurvei mengatakan mereka "takut" dan “jijik” berhubungan dengan ODHA. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Diaz (2011) yang mengambil data 5000 anak muda umur 14 tahun sampai 22 tahun di Cape Town, Afrika Selatan mengemukakan bahwa determinan yang potensial untuk munculnya stigma ODHA diantaranya adalah jender, hasil analisisnya menunjukkan bahwa laki- laki rata-rata menunjukkan tingkat stigma yang lebih rendah dari pada perempuan.

Berdasarkan data didapatkan bahwa mayoritas masyarakat tidak berkerja memiliki stigma rendah sebanyak 11 orang (23,9%), sedang 30 orang (65,2%), tinggi 5 orang (10,9%). Seseorang yang tidak berkerja mungkin akan mempengaruhi pola pikir seseorang itu sendiri sehubungan dengan penelitian Chen (2007) yang menyatakan tidak berkerja mempengaruhi stigma dan diskriminasi karena sesorang yang berkerja atau lama berkerja cenderung mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih banyak dimana hal ini memegang peranan penting dalam merubah perilaku seseorang. Kesalahpahaman atau kurang lengkapnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS seringkali berdampak pada stigmatisasi (sangat buruk) terhadap ODHA (Kristina, 2005). Hal ini juga berhubungan dengan faktor ekonomi sejalan dengan penelitian Goffman (2012) bahwa dukungan ekonomi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap diskriminasi kepada ODHA.

Berdasarkan data didapatkan bahwa masyarakat dengan tamatan SMA paling banyak memiliki stigma dengan stigma rendah 6 orang (13,6%), stigma sedang 32

(53)

orang (72,7%) dan stigma tinggi 6 orang (13,6%) terhadap orang dengan HIV/AIDS. Tamatan SMA mungkin mempengaruhi dari tingkat pengetahuan masyarakat tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Sudikno (2011) yang menyatakan semakin tingginya pendidikan seseorang akan mempengaruhi tindakan dan pemikiran orang tersebut. Kristina (2005) menunjukkan bahwa 72% orang yang berpendidikan cukup (SMU) kurang menerima ODHA dan hanya 5% yang cukup menerima.

6.2 Hubungan Pengetahuan Kesehatan Tentang Penularan HIV/AIDS Dengan Stigma Masyarakat Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hal ini disebabkan karena pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS tidak menjadi faktor utama yang mempengaruhi stigma masyarakat, namun masih ada faktor-faktor lain yang bisa juga mempengaruhi stigma seseorang seperti faktor perilaku dan faktor adat, dll. Goffman (2012) juga mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan suatu kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok tidak hanya berdasarkan pengetahuan namun juga sifat fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam komunitas tersebut.

Menurut penelitian Herek (2012) stigma yang terjadi pada ODHA bukan saja karena infeksi yang dialaminya atau lebih sering dikarenakan perilaku seperti penyalahgunaan narkotika dan seksual yang menyimpang yang dianggap penyebab

(54)

orang tersebut terinfeksi. Faktor lain yang berpengaruh terhadap stigma dan diskriminasi adalah faktor kepatuhan terhadap agama. Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan penularan HIV (Diaz, 2011).

Namun berbeda dengan penelitian Bradley (2009) yang menyatakan pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana individu tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA muncul berkaitan dengan ketidaktahuan tentang mekanisme penularan HIV, perkiraan risiko tertular yang berlebihan melalui kontak biasa dan sikap negatif terhadap kelompok sosial yang tidak proporsional yang dipengaruhi oleh epidemi HIV/AIDS juga dinyatakan oleh Herek (2009) yang mungkin dikarenakan oleh perbedaan sampel dan waktu pengambilan sampel.

(55)

BAB 7 PENUTUP 7.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian hubungan pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara tahun 2015 diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Responden berusia (21-25) yang memiliki stigma rendah 2 orang (16,7%), stigma sedang 9 orang (75,0%), stigma tinggi 1 orang (8,3%). Responden berusia (26-35) yang memiliki stigma rendah 4 orang (14,8%), stigma sedang 22 orang (81,5%), stigma tinggi 1 orang (4,0%). Responden berusia (36-45) yang memiliki stigma rendah 6 orang (24,0%), stigma sedang 18 orang (72,0%), stigma tinggi 1 orang (4,0%). Responden berusia (46-51) yang memiliki stigma rendah 1 orang (7,7%), stigma sedang 8 orang (61,5%), stigma tinggi 4 orang (30,8%). Responden laki-laki yang memiliki stigma rendah 6 orang (16,7%), stigma sedang 27 orang (75,0%), stigma tinggi 3 orang (8,3%). Responden wanita yang memiliki stigma rendah 7 orang (17,1%), stigma sedang 30 orang (73,2%), stigma tinggi 4 orang (9,8%). Responden beragama muslim yang memiliki stigma rendah 13 orang (17,6%), stigma sedang 54 orang (73,0%), stigma tinggi 7 orang (9,5%). Responden beragama non muslim hanya memiliki stigma sedang 3 orang (100,0%). Responden berstatus belum menikah yang memiliki stigma rendah 10 orang (17,5%), stigma sedang 41

(56)

orang (71,9%), stigma tinggi 6 orang (10,5%). Responden berstatus menikahn yang memiliki stigma rendah 3 orang (15,0%), stigma sedang 16 orang (80,0%), stigma tinggi 1 orang (5,0%). Responden yang tidak berkerja yang memiliki stigma rendah 11 orang (23,9%), stigma sedang 30 orang (65,2%), stigma tinggi 5 orang (10,9%). Responden yang berkerja yang memiliki stigma rendah 2 orang (6,5%), stigma sedang 27 orang (87,1%), stigma tinggi 2 orang (6,5%). Responden yang tidak sekolah 1 orang dan tamatan SD 3 orang hanya memiliki stigma sedang (100,0%). Responden dengan pendidikan terakhir SMP yang memiliki stigma rendah 2 orang (18,2%), stigma sedang 8 orang (72,7%), stigma tinggi 1 orang (9,1%). Responden denagn pendidikan terakhir SMA yang memiliki stigma rendah 6 orang (13,6%), stigma sedang 32 orang (72,7%), stigma tinggi 6 orang (13,6%). Responden dengan pendidikan terakhir sarjana yang hanya memiliki stigma rendah 5 orang (27,8%), stigma sedang 13 orang (72,2%).

2. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (p>0,05).

7.2 Saran

Saran sebagai berikut

1. Bagi Pemerintah Daerah, melalui instansi terkait diharapkan agar terus mempertahankan sosialisasi informasi tentang penularan HIV/AIDS dan juga

(57)

menjaga penularan agar tidak meluas dengan menjauhkan generasi muda dari narkoba dan seks bebas.

2. Bagi Masyarakat, diharapkan lebih simpati dan membuka diri untuk para ODHA, dan lebih mengerti tentang bagaimana penularan HIV/AIDS itu sendiri. 3. Bagi Peneliti Lain, diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut terhadap

faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi stigma masyarakat pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Gambar

Tabel 2.1 Jumlah Kasus HIV Menurut Tahun di Indonesia
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Usia Responden
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Agama Responden
Tabel 5.4   Distribusi Frekuensi Status Responden
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma masyarakat terhadap ODHA didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Caroline

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa demokrasi yang merupakan manifestasi kedaulatan rakyat berupa penyerahan kepada rakyat untuk mengambil keputusan-keputusan politik

Data – data yang dibutuhkan untuk menghitung kriteria investasi penerapan peak clipping dan strategic conservation antara lain: Data Kenaikan Faktor Beban pelanggan rumah

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor dan 3 kali ulangan. Parameter yang diamati yaitu warna kuning telur,

Guna mendukung Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka alokasi anggaran untuk Belanja Langsung diarahkan pada program dan kegiatan-kegiatan yang

Dalam perancangan konsep untuk permainan Trading Card Game Kerajaan Majapahit mengunakan keyword “Reality of kingdom” yang dimaksudkan pengabungan antara kerajaan

Pencalonan diri sendiri tidak diperbolehkan sebagai ketentuan umum, akan tetapi pencalonan diri sendiri diperbolehkan jika dituntut suatu keterpaksaan (keadaan