• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas fitoplankton sebagai bioindikator pada media pemeliharaan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dipapar limbah deterjen dan pestisida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Komunitas fitoplankton sebagai bioindikator pada media pemeliharaan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dipapar limbah deterjen dan pestisida"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pusat Studi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Indonesia Mei 2021 Peer-Reviewed URL: https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE DOI: https://doi.org/10.29239/j.akuatikisle.5.1.7-14 Artikel Penelitian 

Komunitas fitoplankton sebagai bioindikator pada media

pemeliharaan ikan nila (

Oreochromis niloticus

) yang dipapar limbah

deterjen dan pestisida

Phytoplankton community as bioindicators in aquaculture media

Tilapia (

Oreochromis niloticus

) exposed to detergent and pesticide

waste

Yusrizal Akmal

1

, Rindhira Humairani

1

, Muliari

1

, Hanum

1

, Ilham Zulfahmi

2

1 Department of Aquaculture, Faculty of Agriculture, Universitas Almuslim. Jl. Almuslim, Matang Glumpang Dua, Peusangan, Bireuen 24261, Aceh, Indonesia

2 Marine and Fisheries Faculty, Syiah Kuala University, Darussalam, Banda Aceh, 23111, Aceh, Indonesia

1.

Pendahuluan

Kabupaten Bireuen merupakan salah satu wilayah padat penduduk dengan jumlah 409.842 jiwa dan memiliki sektor pertanian dengan luas 128.971 ha (BPS, 2015). Pencemaran air pada umumnya diakibatkan oleh aktifitas kehidupan manusia (Sahabuddin, 2012). Tingkatan pencemaran itu sendiri tergantung pada jumlah dan kualitas limbah yang masuk ke dalam perairan, baik limbah padat maupun cair. Paparan berbagai jenis polutan rumah tangga dan pertanian dilaporkan telah berdampak buruk pada kesehatan lingkungan perairan dan pencemaraan perairan

termasuk struktur komunitas fitoplankton (Tarwotjo et al., 2014; Muliari & Zulfahmi, 2016). Menurut Sagala (2010) plankton berfungsi sebagai produsen pada rantai makanan pada tingkatan dasar dalam mempertahakan organisme pada rantai berikutnya. Kesuburan suatu perairan dapat diindikasikan dengan kelimpahan plankton yang tersedia di perairan tersebut (Zulfahmi & Akmal, 2020). Hasil penelitian Singh (2013), pestisida yang mempunyai sifat persisten mengakibatkan terjadinya bioakumulasi dalam rantai makanan dan berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem perairan (Koesoemadinata, 2017).

Limbah rumah tangga dan pertanian berupa sisa deterjen dan

 Info Artikel: Diterima: 18 Januari 2021 Disetujui: 04 Maret 2021 Dipublikasi: 06 Maret 2021  Keyword: Phytoplankton; Detergents; Pesticides; Tilapia  Korespondensi: Yusrizal Akmal

Department of Aquaculture, Faculty of Agriculture, Universitas Almuslim. Jl. Almuslim, Matang Glumpang Dua, Peusangan, Bireuen 24261, Aceh, Indonesia

Email:

drh.yusrizal.akmal.msi@gmail.com

ABSTRAK. Fitoplankton merupakan salah satu bio-indikator kesuburan suatu perairan. Penelitian ini bertujuan mengetahui dampak dari limbah deterjen dan pestisida terhadap struktur komunitas fitoplankton dalam media pemeliharaan ikan nila. Tahap identifikasi fitoplankton dilakukan di Laboraturium MIPA Universitas Almuslim. Parameter yang dikaji antara lain kelimpahan fitoplankton, indeks keragaman, indeks keseragaman, indeks dominasi, dan parameter kualitas air. Hasil penelitian menujukkan bahwa limbah deterjen dan pestisida pada akhir penelitian telah menyebabkan terjadinya penurunan nilai kelimpahan fitoplankton sebesar 3.250 individu/L dan 3.750 individu/L. Pada perlakuan kontrol, komposisi fitoplankton tertinggi didominasi jenis Chaetoceros sp, sedangkan pada perlakuan pestisida dan deterjen didominasi oleh jenis Golenkenia sp, dan Microcystis sp. Paparan limbah deterjen dan pestisida menurunkan nilai indeks keragaman, nilai indeks keseragaman fitoplankton. Pada awal penelitian memiliki indeks keragaman sedang (H’= 2,485–3,072), sedangkan diakhir penelitian menunjukkan keragaman rendah (H’= 2,111-2,375). Selanjutnya pada awal dan diakhir penelitian terjadi penurunan nilai indeks keseragaman (E= 0,87–1,01) dan (H’= 0,88–0,94).

ABSTRACT. Phytoplankton is a bio-indicator of fertility in waters. This study aims to determine the impact of detergent and pesticide waste on the phytoplankton community structure in in tilapia aquaculture media. The phytoplankton identification stage was carried out at the MIPA Laboratory Almuslim University. The parameters studied were phytoplankton abundance, diversity index, uniformity index, dominance index, and water quality parameters. The results of this study showed that detergent and pesticide waste at the end of the study had caused a decrease in the abundance value of phytoplankton by 3,250 individual/L and 3,750 individual/L. In the control treatment, the highest phytoplankton composition was dominated by Chaetoceros sp, while the pesticide and detergent treatments were dominated by Golenkenia sp. and Microcystis sp. Exposure to detergent and pesticide waste reduced the diversity index value, the phytoplankton uniformity index value. At the beginning of the study, it has a moderate diversity index (H '= 2.485–3.072), while at the end of the study it shows low diversity (H' = 2.111–2.375). Furthermore, at the beginning and at the end of the study there was a decrease in the uniformity index value (E = 0.87–1.01) and (H '= 0.88–0.94).

Copyright© Mei 2021 Yusrizal Akmal et al.

(2)

residu pestisida merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran perairan karena mengandung bahan kimia yang lebih tahan dan tidak berubah dalam berbagai media (Kamiswari, 2013; Rudiyanti & Dana, 2009). Penurunan kualitas air yang disebabkan oleh terpaparnya limbah pestisida dan deterjen dapat berakibat ketidakseimbangan lingkungan perairan seperti suhu, dan kecerahan (segi fisika), pH, karbondioksida, oksigen terlarut (segi kimia), sedangkan biologi seperti ikan, plankton, makrofita, dan benthos (Kusriani et al., 2012). Semua komponen tersebut saling berhubungan, jika salah satu terganggu maka komponen lainnya akan terganggu (Basmi, 2000). Organisme-organisme akuatik yang tergolong dalam komponen biologi berpengaruh langsung terhadap perubahan dari dampak tersebut (Rudiyanti, 2009).

Deterjen dengan konsentrasi sebesar 7,67 mg/L memiliki kelimpahan fitoplankton sebesar 1.405 individu/L yang termasuk kelimpahan rendah (Swary & Hutabarat, 2014). Pada konsentrasi deterjen diatas 40 mg/L akan mematikan ikan uji sebesar uji 50% pada durasi 96 jam, sedangkan pada konsentrasi rendah ikan uji akan mati pada durasi 14 hari (Halang, 2018). Selain itu, deterjen dapat menghambat oksigen masuk ke dalam perairan, sehingga dapat menganggu biota dan ikan yang hidup di perairan akan mengalami kekurangan oksigen terlarut serta menyebabkan kematian (Magfirah et al., 2015). Pestisida merupakan pilihan dalam membasmi organisme pengganggu tanaman karena memiliki daya bunuh yang tinggi terhadap hama, mudah dalam penggunaannya dan hasilnya cepat (Wibowo & Kalatham, 2017). Menurut Rudiyanti & Dana (2009), paparan pestisida toksisitas sublethal dengan kosentrasi 0,084 mg/L pada benih ikan mas berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup.

Salah satu parameter kualitas air secara biologi dalam mengkaji kualitas suatu perairan mengunakan indikator fitoplankton (Wijaya & Hariyati, 2011). Fitoplankton digunakan sebagai indikator perairan kerena memiliki siklus hidup yang pendek dan memiliki respon yang sangat tinggi terhadap perubahan lingkunngan perairan sehingga dapat menjadi parameter kualitas perairan (Nugroho, 2006). Selain itu fitoplankton mempunyai sebagai penghasil oksigen dari hasil fotosintesis dan menghasilkan bahan organik bagi kehidupan perairan (Maresi et al., 2015). Meskipun demikian, kelimpahan ikan dan kelangsungan hidup ikan sangat berpengaruh terhadap keberadaaan fitoplankton, terutama ikan herbirvora pemakan fitoplankton dan bagi ikan-ikan pada tahap awal perkembangan (Muliari & Zulfahmi, 2016). Fitoplankton merupakan sumber nutrien bagi zooplankton seperti Daphnia sp. yang dapat diaplikasikan sebagai pakan alami untuk larva ikan (Akmal et al., 2019). Kelimpahan fitoplankton memiliki hubungan dengan sebaran konsentrasi padatan tersuspensi (TSS) dan kekeruhan mempunyai kaitannya sebagai indikator penentu kondisi perairan (Wisha et al., 2016). Fitoplankton dapat dijadikan sebagai indikator kualitas perairan karena berhubungan dengan indeks saprobitas perairan (Indrayani et al., 2014). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dari limbah deterjen dan pestisida terhadap pertumbuhan fitoplankton di dalam media pemeliharaan ikan nila.

2.

Bahan dan Metode

2.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bak beton untuk wadah pemeliharaan ikan nila yang telah terkontaminasi dengan limbah deterjen dan pestisida bertempat di Lipah Rayeuk. Selanjutnya semua sampel dianalisis dan identifikasi fitoplankton dilakukan di Laboratorium MIPA Universitas Almuslim. Tahapan penelitian meliputi persiapan wadah, pemupukan, pengambilan sampel air dan dianalisis.

Wadah merupakan wadah beton dengan panjang sebesar 3 m dan lebar sebesar 2 m, sedangkan tinggi sebesar 1,8 m. Wadah yang digunakan terlebih dahulu dibersihkan dan dikeringkan hingga 1 hari. Setelah bak dikeringkan, bak diisi dengan air. Air pemasukan untuk media pemeliharaan ikan nila diambil dari perairan tawar. Sebelum benih ikan nila ditebar di dalam wadah terlebih dahulu akan dilakukan proses pemupukan untuk menumbuhkan fitoplankton sebagai pakan alami. Jumlah wadah yang digunakan

untuk penelitian ini berjumlah 9 wadah, yang akan ditebar benih ikan nila dengan padat tebar 500 ekor setiap wadah. Pengamatan dilakukan selama 30 hari.

2.2. Pemupukan Untuk Pakan Alami (Fitoplankton) Pakan alami ditumbuhkan dengan menggunakan pupuk kompos yaitu kotoran ayam yang telah kering, dosis pemberian pupuk kandang adalah 300-500 g/m. Wadah yang telah diisi dengan air diberi pupuk untuk menumbuhkan pakan alami (fitoplankton). Biasanya fitoplankton akan tumbuh ditandai dengan perubahan warna air pada bak setelah beberapa hari perendaman pupuk didalam air. Warna air yang berubah menjadi warna hijau ditandai dengan tumbuhnya fitoplankton di dalam bak, dan jika warna air berubah menjadi warna kecoklatan ditandai dengan tumbuhnya zooplankton pada bak pemeliharaan ikan nila. Pemupukan pakan alami ini dilakukan di dalam bak yang akan digunakan sebagai wadah pemeliharaan benih ikan nila, dan nantinya juga akan dimanfaatkan oleh ikan nila sebagai pakan alami benih ikan nila. 2.3. Pembuatan Larutan Limbah

Bahan untuk larutan limbah yang akan digunakan adalah deterjen dan pestisida yang kemudian masing-masing dari larutan tersebut dilarutkan dengan air sebanyak satu liter, larutan tersebut dimasukkan ke dalam wadah sebagai bahan uji penelitian untuk melihat tingkat pencemaran deterjen dan pestisida terhadap pertumbuhan fitoplankton. Limbah deterjen dan pestisida akan dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan secara bertahap, yaitu didalam waktu seminggu konsentrasi larutan telah dimasukan sepenuhnya. Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan dan tiga ulangan untuk setiap wadah pemeliharaan ikan nila dengan perlakuan Kontrol (0 mg/L), perlakuan B (deterjen: 20 mg/L), dan perlakuan C (pestisida: 0,02 mg/L) (Swary & Hutabarat, 2014; Halang, 2018).

2.4. Pengambilan Sampel Air

Pengambilan sampel air dilakukan pada saat awal pemeliharaan dan pada saat akhir pemeliharaan. Pengambilan air sampel diambil menggunakan ember dengan kapasitas 100 L, sampel air diambil pada lima titik. Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini adalah pH, oksigen terlarut, dan suhu. Pengambilan sampel plankton dilakukan menggunakan jaring Plankton Net No. 25 yang dilengkapi dengan botol pelampung. Volume air yang disaring sebanyak 100 L sementara volume air yang tersaring sebanyak 80 mL. Sampel fitoplankton dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berlabel kemudian diawetkan dengan lugol 2 % sebanyak 8–10 tetes.

Sampel yang telah dihomogenkan, diambil dengan menggunakan pipet tetes dan diteteskan ke dalam ruang Sedgwick Rafter Counting Cell (SRCC) yang berukuran 20 mm x 50 mm x 1 mm. SRCC diletakkan di bawah mikroskop dan diamati dengan metode Total Strip Counting, yaitu pengamatan dari sudut baris pertama atas kiri secara horizontal ke arah kanan, kemudian diamati baris kedua dan seterusnya. Selanjutnya semua sampel air dianalisis dan identifikasi fitoplankton dilakukan di Laboratorium MIPA Universitas Almuslim dengan melihat ciri dari bentuk morfologi fitoplankton. Identifikasi fitoplankton dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi plankton.

2.5. Parameter Yang Diamati 2.5.1. Kelimpahan fitoplankton

Kelimpahan adalah jumlah individu plankton pervolume air. Penentuan kelimpahan plankton dilakukan berdasarkan metode sapuan di atas kamar hitung. Kelimpahan plankton dihitung berdasarkan rumus persamaan (APHA, 2005) sebagai berikut:

N

=

×

× ×

... (1) Keterangan: N = jumlah (sel/L), Op = luas satuan lapang pandang (1,036 mm2), Oi = luas gelas penutup preparat (324 mm2), Vr = volume air tersaring (80 mL), Vo = volume air yang diamati pada

(3)

Counting Chamber (1 mL), Vs = volume air yang disaring (100 L), n = jumlah fitoplankton pada seluruh lapang pandang, p = jumlah lapang pandang yang teramati.

2.5.2. Indeks Keragaman

Indeks keragaman jenis merupakan penggambaran secara matematik untuk mempermudah menganalisis informasi jenis dan jumlah organisme. Untuk melihat indeks keragaman fitoplankton dihitung menggunakan rumus Shannon-Wiener (Odum, 1996) sebagai berikut:

H’

= −

𝑙𝑛

... (2) Keterangan: H’= Indeks keragaman, Pi = ni/N, ni = Kelimpahan jenis pada peringkat ke-i, N = Kelimpahan total. Kisaran total indeks Keragaman modifikasi Wilhm & Dorris (1968) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: H’<2,302 = Keragaman kecil dan kestabilan komuditas rendah, 2,302<H’<6,907 = Keragaman sedang dan kestabilan komuditas sedang, H’>6,907 = Keragaman tinggi dan kestabilan komuditas tinggi.

2.5.3. Indeks Keseragaman (E’)

Indeks keseragaman menunjukkan pola sebaran biota, yaitu merata atau tidak merata. Jika nilai indeks keseragamaan relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam kondisi merata. Untuk melihat indeks keseragaman fitoplankton dihitung menggunakan rumus Shannon Wiener (Odum, 1996) sebagai berikut:

E=

... (3) Keterangan: E = Indeks keseragaman, H’ = Indeks keragaman, H maks = ln S, S = Jumlah spesies. Dimana indeks keseragaman berkisar 0-1, dengan ketentuan: E > 0,6 = Keseragaman jenis tinggi, 0,6 ≥ E ≥ 0,4 = Keseragaman jenis sedang, E < 0,4 = Keseragaman jenis rendah.

2.5.4. Indeks Dominasi

Indeks dominasi digunakan untuk megetahui adanya pendominasian jenis tertentu di perairan dengan persamaan indeks dominasi Simpson (Odum, 1996) sebagai berikut:

C

=

𝑛𝑖

𝑁

... (4) Keterangan: C = Indeks dominasi simpson, ni = Jumlah individu spesies I (ind/L), N = Jumlah total plankton tiap titik pengambilan sampel (ind/L). Nilai indeks dominasi berkisar antara 0-1. Nilai yang mendekati 0 menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang dominan

dalam komunitas. Sebaliknya jika indeks dominasi mendekati 1 menunjukkan bahwa ada spesies yang dominan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan.

2.5.5. Parameter Kualitas Air

Pengukuran kadar oksigen terlarut menggunakan DO meter. Pengukuran pH menggunakan kertas indikator pH dengan mencelupkan kertas indikator pH beberapa saat ke permukaan air dengan ujung kertas yang berwarna, perubahan warna kemudian membandingkan dengan label warna standar pada kotak pH. Pengukuran suhu menggunkan termometer, pengukuran parameter kualitas air untuk suhu dilakukan setiap hari dan untuk pengukuran parameter lainnya akan dilakukan selama 1 minggu sekali selama penelitian.

2.6. Analisis Data

Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kualitatif.

3.

Hasil dan Pembahasan

3.1. Kelimpahan Fitoplankton

Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah fitoplankton pada perlakuan awal kontrol yang ditemukan pada wadah pemeliharaan ikan nila yang belum terkontaminasi dengan limbah pestisida dan deterjen sebanyak 41 spesies dan untuk kelimpahan fitoplankton pada hari ke 30 (Tabel 1), wadah perlakuan yang telah menggunakan limbah pestisida dan deterjen menurun sebanyak 23 spesies (Tabel 2).

Dari Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa pada awal penelitian, perlakuan deterjen memiliki komposisi fitoplankton lebih tinggi (14.503 individu/L) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (9.752 individu/L) dan perlakuan kontrol pestisida (8.001 individu/L) (Gambar 1). Jenis fitoplankton tertinggi pada awal penelitian adalah perlakuan kontrol Chaetoceros sp., perlakuan pestisida tertinggi pada jenis Golenkenia sp., dan perlakuan deterjen dalam golongan Microcystis sp. (Tabel 1). Pada hari ke-30 untuk perlakuan kontrol memiliki komposisi fitoplankton lebih tinggi (5.003 individu/L) dibandingkan dengan perlakuan setelah menggunakan pestisida (3.750 individu/L), dan deterjen (3.250 individu/L) (Gambar 1 dan Tabel 2). Kelimpahan fitoplankton menunjukkan kesuburan sedang yang berkisar antara 2.000–15.000 individu/L dan tergolong kedalam mesotrofik.

Penurunan kelimpahan fitoplankton pada kedua perlakuan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain fitoplankton adalah salah satu pakan alami bagi ikan nila, juga dapat di pengaruhi oleh faktor kualitas air (Saputra et al., 2013). Fitoplankton memiliki kemampuan gerak yang lemah sehingga distribusi fitoplankton juga sangat tergantung dari ketersedian

Gambar 1. Nilai jumlah kelimpahan fitoplankton (individu/L) pada ketiga wadah perlakuan kontrol awal dan perlakuan pada hari ke 30. 9,752 5,003 8,001 3,750 14,503 3,250 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Kelimpahan Perlakuan Awal Kontrol Kelimpahan Perlakuan Pada Hari ke 30 Kontrol Pestisida Deterjen

Perlakuan Awal Penelitian Perlakuan Akhir Penelitian hari ke-30

Ke lim pa ha n Fi to pl an kt on (in d/ l)

(4)

cahaya yang sampai kedalam perairan, zat hara, dan pemangsa oleh organisme herbivora (Haumahu, 2005). Menurut penelitian Wijaya & Hariyati (2011), tingginya kelimpahan fitoplankton yang didominasi oleh spesies Melosira karena memiliki bahan organik yang tinggi. Penurunan kelimpahan fitoplankton pada akhir penelitian yang tekontaminasi pestisida dan deterjen dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu ketersedian nutrien, keberadaan cahaya dikolam dan laju grazing (pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh zooplankton) dan oleh organisme lain. Penurunan kelimpahan fitoplankton disebabkan adanya grazing, rendah dan tingginya perkembangan fitoplankton di pengaruhi oleh keberadaan zooplankton (Djunaidah et al., 2017). Selain itu pemberian pestisida dapat menurunnya nilai kelimpahan fitoplankton dibandingkan dengan perlakuan lainnya diduga karena tingkat kekeruhan sedikit tinggi ditandai dengan perubahan warna air yang sedikit keruh sehingga cahaya yang masuk ke dalam perairan relatif terbatas.

Penurunan nilai kelimpahan pada perlakuan pestisida dan deterjen diduga disebabkan karena kualitas air yang buruk dengan nilai kadar DO yang rendah selama penelitian. Deterjen mengandung bahan aktif sulfaktan dan pada pestisida mengandung alfa sipermetrin. Bahan aktif tersebut dapat mengikat oksigen sehingga dapat mengganggu kelangsungan hidup ikan nila dan fitoplankton yang terdapat di dalam wadah perlakuan. Menurut Makmur & Fahrur (2011), semakin sedikit nilai konsentrasi oksigen terlarut di dalam air mencirikan adanya pencemaran organik yang tinggi serta dapat menyebabkan penurunan jumlah fitoplankton di perairan.

Tingginya kelimpahan fitoplankton pada perlakuan awal deterjen diduga karena ketersediaan kandungan makanan berupa nutrien yang diperoleh khususnya tingginya kadar nitrat dan fosfat memiliki kadar yang kecukupan dan bahan organik yang banyak terurai di perairan Nopiantari et al. (2017) dan diduga karena belum terdapat ikan nila di dalam wadah perlakuan. Banyak faktor penyebab terjadinya penurunan jumlah kepadatan pada hari ke-30 diduga karena air wadah budidaya ikan nila telah terkontaminasi dengan limbah deterjen dan pestisida, dan juga fitoplankton dapat menjadi pakan alami untuk ikan nila sehingga dalam waktu 30 hari kelimpahan fitoplankton menurun.

3.2. Indeks Keragaman

Nilai indeks keragaman fitoplankton di awal penelitian pada perlakuan kontrol berada pada kisaran 2.485–3.072 individu/L. Perlakuan kontrol memiliki indeks keragaman tertinggi yaitu, 3.072 individu/L sedangkan pada perlakuan pestisida dan deterjen memiliki indeks keragaman terendah yaitu 2.703 individu/L dan 2.485 individu/L. Untuk perlakuan pada hari ke-30 indeks keragaman fitoplankton berada pada kisaran 2.111–2.375 individu/L untuk perlakuan deterjen memiliki indeks keragaman lebih tinggi 2.375 individu/L, dibandingkan dengan kontrol 2.245 individu/L, sedangkan pada perlakuan pestisida terjadi penurunan indeks keragaman sebesar 2.111 individu/L (Gambar 2). Pada perlakuan deterjen pada hari ke-30 nilai keragaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan pestisida, diduga karena pada perlakuan pestisida benih ikan nila memiliki tingkat kematian tertinggi dan nilai DO sangat rendah yaitu 1,91 ppm dan dapat mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton di dalam suatu perairan, sehingga nilai indeks keragaman fitoplankton pada perlakuan pestisida rendah.

Indeks keragaman yang berbeda pada awal penelitian maupun pada hari ke-30 memiliki perbedaan nilai indeks keragaman. Pada perlakuan awal memiliki kisaran 2,485– 3,072 termaksud kedalam kategori keragaman sedang (2,302 < H’<6,907). Untuk perlakuan hari ke-30 memiliki kisaran 2,111-2,375 termaksud juga dalam kategori keragaman kecil (H’< 2,302). Menurut Wahyudiati et al., (2017), jika indeks

Tabel 1. Kelimpahan fitoplankton pada awal penelitian (individu/L).

Nama Kontrol awal Pestisida awal Deterjen awal

Anabena sp. 250 - - Anacystis sp. 500 - - Aphanothece elabens sp. - 250 - Aphanothece nidulans sp. 250 - - Aplanchna sp. 500 - - Asterionella focus sp. 250 250 - Asterionella formosa sp. 500 - - Bdelloidea sp. 250 - - Botryoccocus sp. - - 250

Ceratium hirundinella gyst 500 - 500

Chaetosceros sp. 2.001 - - Chlamydomonas sp. - - 750 Cholophyta sp. 250 250 - Chroococcus turgidus 250 250 - Chostridium botulinum 250 - - Colpidium sp. 250 - - Crptophyta sp. 250 - 250 Cylindrospermum lincheniforme 250 250 1000 Desmidium sp. 250 - 250 Dictyosphaerium sp. 250 - - Dinophysis acuminate - 500 - Distyosphaerium sp. - 250 - Eudorina cylindrical - - 750 Euglena sp. - - 250 Frustulia vulgaris - - 500 Geitlerinema splendidum - - 250 Gloeotrichia natans - - 250 Golenkenia sp. 500 2001 2001 Gonium pecturale - 750 1000 Gonyaulax sp. - - 250 Lioloma sp. 1.751 1.250 250 Lyngbya wollei - - 250 Meogeotia sp. - - 250 microcistys sp. - 250 3.752 Microcistys novacekii - 250 250 Microcistys panniformis - - 750 Monostylaelachis sp. 250 500 500 Nostochopsis lobata - 250 - Oedogonium sexangulare - 250 - Oscillatoria sp. - 250 - Worochinia sp. 250 250 250 Jumlah 9.752 8.001 14.503

Tabel 2. Kelimpahan fitoplankton pada hari ke-30 (individu/L).

Nama Hari ke 30 kontrol Hari ke 30 Pestisida Hari ke 30 Deterjen

Actinastrum hantzschii 250 - - Amphidinium sp. 750 - - Anascystis sp. 500 - 500 Bacillaria sp. 500 500 250 Botryoccocus sp. 250 250 - Microcistys sp. 1.250 500 1000 Noviculla sp. 250 - - Botryoccocus sp. 250 250 250 Oedogonium sexangulare 500 - - Promidium sp. 250 - - Proboscia sp. 250 - - Pinnularia sp. - - 250 Planktothrix agardhii - 250 250 Pleorogsigma sp. - - 250 Protoceratium sp. - - 250 Rhodomonas salina - 250 250 Lioloma sp. - 250 250 Spirogyra sp. - 250 - Scenedesmus naegelii - 250 - Scytonema acellatum - 250 - Trihocerca sp. - 250 - Gonyaulax - 250 - Worochinia sp. - 250 - Jumlah 5.003 3.750 3.250

(5)

keanekaragaman dibawah 2,306 termasuk dalam katogori rendah. Hal ini bahwa perairan sedang mengalami tekanan ekologi yang disebabkan oleh kegiatan pertanian (Nopiantari et al., 2017). Sabun atau deterjen menghasilakn busa merupakan salah satu faktor penghambat sinar matahari masuk ke perairan, sehingga proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton menjadi berkurang dan

menyebabkan penurunan

keragaman jenis fitoplankton (Maresi et al., 2015). Cahaya matahari merupakan faktor penting karena berdampak langsung terhadap distribusi dan jumlah organisme khususnya fitoplankton dalam badan air (Suprobo et al., 2013). Menurut Wibowo (2004), keragaman jenis tinggi apabila banyak spesies berada disuatu komunitas tersebut, dan nilai keragamannya akan rendah bila satu atau beberapa jenis saja yang terdapat didalamnya dan mendominasi daerah tersebut. 3.3. Indeks Keseragaman

Nilai indeks keseragaman pada awal penelitian berada pada kisaran 0,87–1,01 individu/L. Pada perlakuan kontrol memiliki indeks keseragaman tertinggi 1,01 individu/L, dibandingkan dengan perlakuan pestisida 0,88 individu/L dan perlakuan deterjen 0,87 individu/L. Untuk nilai keseragaman pada penelitian hari ke-30 berada pada kisaran 0,88–0,94 individu/L. Pada perlakuan kontrol memiliki nilai keseragaman tertinggi 0,94 individu/L dibandingkan dengan perlakuan pestisida 0,93 individu/L dan perlakuan deterjen 0,88 individu/L (Gambar 3).

Indeks keseragaman digunakan untuk melihat adanya kemungkinan lebih melimpahnya sebagian jenis biota dibandingkan biota lainnya yang mengakibatkan adanya dominasi (Swary & Hutabarat, 2014). Indeks keseragaman pada awal penelitian memiliki kisaran 0,87–1,01 tergolong dalam kategori keseragaman tinggi (E>0.6), dan indeks keseragaman pada perlakuan hari ke-30 memiliki kisaran 0,88– 0,94 juga tergolong dalam kategori keseragaman tinggi (E>0,6). Sesuai yang dijelaskan oleh Maresi et al., (2015) bahwa semakin besar indeks keseragaman dalam suatu komunitas menunjukkan jumlah individu fitoplankton setiap jenis hampir sama. Berdasarkan data indeks keseragaman yang didapatkan kondisi habitat di dalam

wadah pemeliharaan ikan nila yang telah terkontaminasi limbah deterjen dan pestisida relatif serasi untuk pertumbuhan dan perkembangan masing-masing fitoplankton. Semakin kecil nilai

indeks keseragaman atau mendekati nol menunjukkan semakin kecil pula keseragaman populasi fitoplankton, indeks keseragaman yang mendekati nol cenderung menunjukkan komunitas yang tidak

Gambar 2. Jumlah Nilai Indeks Keragaman fitoplankton pada ketiga perlakuan awal kontrol dan pada akhir perlakuan hari ke-30.

Gambar 3. Rata–rata Indeks keseragaman fitoplankton pada tiga perlakuan kontrol awal dan perlakuan akhir pada hari ke-30.

Gambar 4. Nilai dominasi fitoplankon pada tiga perlakuan di awal kontrol dan di akhir perlakuan pada hari ke-30.

3,072 2,245 2,485 2,703 2,375 2,111 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Perlakuan awal Kontrol Perlakuan Pada hari ke 30 Kontrol Deterjen Pestisida

Perlakuan Awal Penelitian Perlakuan Akhir Penelitian hari ke-30

Ke ra ga m an F ito pl an kt on (i nd /l) 1,01 0,94 0,88 0,93 0,87 0,88 0,8 0,85 0,9 0,95 1 1,05

Perlakuan Awal Kontrol Perlakuan Pada Hari Ke 30 Kontrol Pestisida Deterjen

Perlakuan Awal Penelitian Perlakuan Akhir Penelitian hari ke-30

Ke se ra ga m an F ito pl an kt on (in d/ l) 0,09 0,11 0,12 0,08 0,78 0,14 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

Perlakuan Kontrol Awal Perlakuan Pada hari ke 30

Kontrol Pestisida Deterjen

Perlakuan Awal Penelitian Perlakuan Akhir Penelitian hari ke-30

Do m in as i F ito pl an kt on (in d/ l)

(6)

stabil artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan cenderung suatu spesies tertentu mendominasi populasi tersebut (Nugroho, 2006; Amin & Utojo, 2008). Labilnya keseragaman fitoplankton sangat dipengaruhi amoniak yang lebih tinggi dan bahan pencemaran (Muliari & Zulfahmi, 2016). Menurut Sastrawijaya (2000), pencemaran perairan akan mengakibatkan penurunan keanekaragaman dan keseragaman plankton.

3.4. Dominasi Fitoplankton

Dari hasil penelitian dominasi fitoplankton pada awal penelitian menjukkan hasil berbeda-beda kisaran dominasi 0,09– 0,78. Pada perlakuan deterjen memiliki nilai dominasi tertinggi sebesar 0,78 dibandingkan dengan perlakuan pestisida sebesar 0,11 dan perlakuan kontrol 0.09. Pada perlakuan deterjen, lioloma sp merupakan jenis fitoplanton dengan nilai dominasi tertinggi.

Untuk penelitian pada hari ke-30 memilik nilai dominasi fitoplankton kisaran dominasi 0,08–0,14. Dominasi tertinggi terdapat pada perlakuan deterjen 0,14 dibandingkan dengan perlakuan kontrol sebesar 0,12 dan perlakuan pestisida sebesar 0,08. Microcistys sp merupakan fitoplankton yang memiliki nilai dominasi tertinggi yaitu pada perlakuan deterjen.

Berdasarkan persamaan Ludwig et al., (1998) indeks dominasi fitoplankton di dalam wadah pemeliharaan ikan nila dengan tiga perlakuan awal kontrol berkisar antara 0,09–0,78. Pada awal penelitian perlakuan kontrol dan perlakuan kontrol pestisida menunjukkan tidak ada terdapat jenis fitoplankton yang mendominasi karena nilai mendekati nilai nol sedangkan untuk nilai perlakuan kontrol deterjen nilai dominasi hampir mendekati nilai 1 dan nilai dominasi tertinggi pada perlakuan ini dalam golongan Lioloma sp. Untuk perlakuan akhir pada hari ke-30 nilai dominansi berkisar antara 0,08–0,14 pada perlakuan ini juga tidak terdapat spesies yang dominan pada ketiga perlakuan tersebut, karena pada setiap nilai perlakuan kontrol, pestisida dan deterjen mendekati nilai nol. Salah satu golongan atau spesies dapat mendominasi jenis lain apabila memiliki nilai mendekati 1, hal ini disebabkan karena lingkungan mengalami tekanan ekologis berupa stres (Nugroho, 2006).

Jenis fitoplankton tertinggi yang ditemukan pada awal penelitian dan akhir penelitian adalah golongan Microcistys sp. Miscrocystis sp. merupakan jenis plankton dari kelas Cyanophyceae Cyanobacteria yang berpotensi menyebabkan terjadinya ledakan populasi (blooming) plankton pada suatu perairan (Prihantini et al., 2010). Menurut Makmur et al., (2013), perairan yang kaya nutrien ditandai dengan melimpahnya diatom dan rendahnya dinoflagelata. Menurut Maresi et al. (2015), spesies yang lebih mendominasi perairan menyebabkan rendahnya nilai indeks keseragaman pada seluruh stasiun penelitian kerena tidak merata kelimpahan fitoplankton. Tingginya fitoplankton jenis Microcystis sp. dapat menyebabkan perairan dalam wadah perlakuan menjadi toksit dan berdampak negatif terhadap organisme perairan yaitu ikan nila yang terdapat di dalam wadah perlakuan. Spesies Microcystis sp. dan Lioloma sp. merupakan fitoplankton yang ditemukan dihampir semua wadah perlakuan baik pada saat awal penelitian sampai pada hari ke-30 perlakuan yang telah diberikan pestisida dan deterjen spesies tersebut memiliki indeks dominasi yang tinggi. Hal tersebut diduga karena genus ini memiliki distribusi yang luas dan mempunyai kemampuan beradaptasi yang baik terhadap perubahan–perubahan parameter perairan (Soetrisno, 2008). 3.5. Kualitas Air

Parameter kualitas air yang di ukur pada awal penelitian sampai akhir penelitian hari ke-30 (Tabel 3). Pengukuran suhu di

dalam wadah pemeliharaan ikan nila pada saat awal penelitian adalah 29–300C, sedangkan akhir penelitian terjadi peningkatan berkisar 30-310C dengan baku mutu perairan 25310C artinya biota masih dalam keadaan layak untuk hidup di perairan.

Hasil pengukuran derajat keasaman atau pH pada wadah pemeliharaan ikan nila saat awal penelitian berkisar 7.5–7.9 dan akhir penelitian terjadi peningkatan pH sebesar 8.9-9.2. Pada awal penelitian kadar oksigan terlarut berkisar 4.35–5.2 ppm, dan terjadi penurunan pada akhir penelitian didapatkan kisaran antara 1,91– 6,46 ppm dengan baku mutu 5,45-7,00 mg/L. Pada akhir penelitian perlakuan pestisida dan perlakukan deterjen terjadi penurunan kadar oksigan terlarut secara signifikan. Pengukuran amonia (NH3) dilakukan pada hari akhir penelitian untuk melihat nilai amonia pada wadah budidaya ikan nila yang telah terkontaminasi limbah deterjen dan pestisida. Konsentrasi amonia di dalam wadah pemeliharan ikan nila pada tiga perlakuan mengalami pengingkatan seperti pada kontrol (0,878 mg/L), pestisida (0,806 mg/L), deterjen (0,826 mg/L). Kadar amonia yang optimal dalam perairan berkisar 0,3 mg/L.

Pada parameter kulitas air menunjukkan bahwa terjadinya pencemaran sedang pada akhir penelitian. Khairuman et al. (2008) menyatakan bahwa persyaratan optimal kualitas air untuk pH berkisar antara 6,5-8,6. Peningkatan nilai pH pada ahhir penelitian dapat mencerminkan tidak keseimbangan antar asam dan basa dalam perairan tersebut (Wijaya & Hariyati, 2011). Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh aktivitas wadah pemeliharaan ikan nila, yaitu aktivitas pemberian pakan pada ikan yang dibudidayakan. Menurut Boyd & Tucker (2012), pH berpengaruh terhadap semua proses kimiawi di dalam ekosistem perairan. Penurunan DO pada akhir penelitian terutama pada perlakuan pestisida dan deterjen kemungkinan dikarenakan oleh paparan limbah yang mengandung bahan non organik (Wijaya & Hariyati, 2011). Menurut Basmi (2000) mendeskripsikan fase tersebut sebagai keadaan dimana oksigen terlarut mulai menurun sehingga NH3 tidak teroksidasi yang disebabkan oleh bahan pencemar berupa bahan organik maupun anorganik. Oksigen terlarut lebih dari 3 mg/L merupakan kehidupan dan kelangsungan hidup yang sangat baik untuk plankton (Wijayanti, 2011). Kadar amonia meningkat pada akhir peneltian ini disebabkan oleh penguraian sisa bahan organik dan hasil samping dari metabolisme ikan. Selain itu, menurut Basmi (2000) mendeskripsikan amonia menghasilkan produk akhir yaitu nitrat sehingga menyebabkan fitoplankton dalam jumlah yang melimpah. Semakin tinggi bahan organik di perairan maka konsentrasi amonia juga semakin tinggi. Menurut Connel & Miller (1995), bahwa kotoran organisme air mengandung amonia yang dapat meningkatkan derajat keasaman (pH) yakni menjadi basa.

4.

Simpulan

Limbah deterjen dan pestisida pada akhir penelitian memberikan dampak langsung terhadap kelimpahan fitoplankton, indeks keragaman dan indeks keseragaman pada media pemeliharaan ikan nila. Penurunan nilai kelimpahan fitoplankton diakhir penelitian sebesar 3.250 individu/L dan 3.750 individu/L. Nilai keragaman diakhir menunjukkan nilai H’=2,111-2,375 (keragaman kecil), sedangkan diakhir penelitian tergolong juga dalam kategori keseragaman tinggi (E’= 0,88–0,94). Adanya akumulasi limbah deterjen dan pestisida telah menyebabkan terjadinya pencemaraan dari sedang sampai tinggi pada media pemeliharaan ikan nila sehingga terganggunya struktur komunitas fitoplankton.

Tabel 3. Parameter Kualitas Air

Variabel Kontrol Pestisida Perlakuan Awal Deterjen Kontrol Perlakuan Hari Ke 30 Pestisida Deterjen Suhu 290C 300C 290C 300C 310C 300C

pH 7,9 7,5 7,8 8,9 9,2 9,0

DO 4,35 ppm 5 ppm 5,2 ppm 6,46 ppm 1,91ppm 2,03 ppm NH3 0,137mg/L 0,289 mg/L 0,213 mg/L 0,878 mg/L 0,806 mg/L 0,826 mg/L

(7)

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih dihaturkan kepada Laboratorium Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Almuslim yang telah memfasilitasi terlaksananya penelitian ini.

Referensi

Akmal, Y.; Humairani, R. & Zulfahmi, I., 2019. Pemanfaatan Air Buangan Budidaya Ikan Lele (Clarias sp.) Sebagai Media Budidaya Daphnia

sp. Jurnal Biosains dan Edukasi, 1(1): 22–27.

Amin, M. & Utojo, 2008. Komposisi dan KeragamanJenis Plankton di Perairan Teluk Kupang Provinsi Nusa Tenggara TImur. Jurnal Ilmu

Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanudin, 18(2): 129–135.

APHA, 2005. Standard methods for the examination of water and

wastewater. American Public Health Association (APHA). USA.

Washington, DC, 1193 p.

Basmi, J., 2000. Planktonologi: Plankton sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Ilmu Pertanian Bogor. Bogor. 42 p.

Boyd, C. E. & Tucker, C. S., 2012. Pond aquaculture water quality management. Springer Science & Business Media, 624 p.

BPS, (Badan Pusat Statistik). 2015. Badan Pusat Statistik. Available: <https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/895>, [Consulted:February 18, 2021].

Connel, D. W. & Miller, G. J., 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Penerjemah: Koestoer, Y. Judul asli: Chemistry and Ecotoxicology Of Pollution. UI-Press. Jakarta. 520 p.

Djunaidah, I. S.; Supenti, L.; Sudinno, D. & Suhrawardhan, H., 2017. Kondisi Perairan dan Struktur Komunitas Plankton di Waduk Jatigede. Jurnal Penyuluhan Perikanan dan Kelautan, 11(2): 79–93, https://doi.org/10.33378/jppik.v11i2.87.

Halang, B., 2018. Toksisitas Air Limbah Deterjen Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carprio). Bioscientiae, 1(1): 39–49.

Haumahu, S., 2005. Distribusi Spasial Fitoplankton di Perairan Teluk Haria Saparua, Maluku Tengah. Ilmu Kelautan: Indonesian Journal

of Marine Sciences, 10(3): 126–134,

https://doi.org/10.14710/ik.ijms.10.3.126-134.

Indrayani, N.; Anggoro, S. & Suryanto, A., 2014. Indeks Trofik-Saprobik Sebagai Indikator Kualitas Air di Bendung Kembang Kempis Wedung, Kabupaten Demak. Management of Aquatic Resources

Journal (MAQUARES), 3(4): 161–168,

https://doi.org/10.14710/marj.v3i4.7051.

Kamiswari, R., 2013. Pengaruh Pemberian Deterjen terhadap Mortalitas Ikan Platy sp. LenteraBio: Berkala Ilmiah Biologi, 2(1): 139–142. Khairuman, S. P.; Amri, K. & Pi, S., 2008. Buku Pintar Budi Daya 15 Ikan

Konsumsi. AgroMedia. Jakarta, 268 p.

Koesoemadinata, S., 2017. Toksisitas Akut Formuilasi Insektisida Endosulfan, Klorpirifos, Dan Klorfluazuron Pada Tiga Jenis Ikan Air Tawar Dan Udang Galah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 6(3–

4): 36–43, https://doi.org/10.15578/jppi.6.3-4.2000.36-43. Kusriani, K.; Widjanarko, P. & Rohmawati, N., 2012. Uji pengaruh

sublethal pestisida diazinon 60 EC terhadap rasio konversi pakan (FCR) dan pertumbuhan ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Jurnal Penelitian Perikanan, 1(1): 36–42.

Ludwig, J. A.; QUARTET, L.; Reynolds, J. F. & Reynolds, J. F., 1998. Statistical ecology: a primer in methods and computing. John Wiley & Sons. Singapore. 337 p.

Magfirah, M.; Adhar, S. & Ezraneti, R., 2015. Efek surfaktan terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan struktur jaringan insang benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Acta Aquatica: Aquatic Sciences Journal, 2(2): 90–96. https://doi.org/10.29103/aa.v2i2.340 Makmur, M.; Kusnoputranto, H.; Moersidik, S. S. & Wisnubroto, D. S., 2013. Pengaruh limbah organik dan rasio n/p terhadap kelimpahan fitoplankton di kawasan budidaya kerang hijau Cilincing. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, 15(2): 51–64. Makmur, R. & Fahrur, M., 2011. Hubungan antara kualitas air dan

plankton di tambak Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. In: Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, Vol. 2, pp. 961–968.

Maresi, S. R. P.; Priyanti, P. & Yunita, E., 2015. Fitoplankton sebagai bioindikator saprobitas perairan di Situ Bulakan Kota Tangerang.

Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 8(2): 113–122,

https://doi.org/10.15408/kauniyah.v8i2.2697.

Muliari, M. & Zulfahmi, I., 2016. Impact of palm oil mill effluent towards phytoplankton community in Krueng Mane River, North Aceh.

Jurnal Perikanan dan Kelautan, 6(2): 137–146,

https://doi.org/10.33512/jpk.v6i2.1107.

Nopiantari, N. P. V.; Arthana, I. W. & Astarini, I. A., 2017. Dampak kegiatan pertanian terhadap tingkat eutrofikasi dan jenis–jenis fitoplankton di Danau Buyan Kabupaten Buleleng Provinsi Bali.

ECOTROPHIC: Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental

Science), 11(1): 47–54.

https://doi.org/10.24843/EJES.2017.v11.i01.p08

Nugroho, A., 2006. Bioindikator kualitas air. Universitas Trisakti. Jakarta. 145 p.

Odum, E. P., 1996. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Penerjemah Samingan, Tjahjono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 p.

Prihantini, N. B.; Wardhana, W.; Hendrayanti, D.; Widyawan, A.; Ariyani, Y. & Rianto, R., 2010. Biodiversitas Cyanobacteria dari beberapa situ/danau di kawasan Jakarta-Depok-Bogor, Indonesia. Makara

Journal of Science, 12(1): 44-54.

https://doi.org/10.7454/mss.v12i1.309.

Rudiyanti, S., 2009. Kualitas perairan sungai Banger Pekalongan berdasarkan indikator biologis. Saintek Perikanan: Indonesian

Journal of Fisheries Science and Technology, 4(2): 46–52,

https://doi.org/10.14710/ijfst.4.2.46-52.

Rudiyanti, S. & Dana, A., 2009. Pertumbuhan dan survival rate ikan mas

(Cyprinus carpio Linn) pada berbagai konsentrasi pestisida regent

0, 3 g. Saintek Perikanan, 5(1): 49–54.

Sagala, E. P., 2010. Indeks Saprobik Komunitas dalam Menentukan Tingkat Pencemaran di Perairan Laut antara Muara Sungai Benu dan Pulan Betet, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Maspari Journal, 2: 11–18.

Sahabuddin, E. S., 2012. Cemaran air dan tercapainya lingkungan sumber daya alam yang berkelanjutan. Publikasi Pendidikan, 2(2): 102–

111, https://doi.org/10.26858/publikan.v2i2.1411.

Saputra, E.; Taqwa, F. H. & Fitrani, M., 2013. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih nila (Oreochromis niloticus) selama pemeliharaan dengan padat tebar berbeda di lahan pasang surut Telang 2 Banyuasin. Jurnal Lahan Suboptimal: Journal of Suboptimal Lands, 2(2): 197–205, https://doi.org/10.33230/JLSO.2.2.2013.70. Sastrawijaya, A. T., 2000. Pencemaran Lingkungan, Vol. 2, PT Rineka Cipta.

Jakarta. 274 p.

Singh, R. N., 2013. Acute toxicity of an organophosphate, dimethoate to an air breathing fish, Colisa fasciatus (Bl. & Schn.). Indian Journal of Scientific Research, 4(1): 97–100.

Soetrisno, Y., 2008. Kualitas air dan dinamika fitoplankton di perairan Pulau Harapan. Jurnal Hidrosfir Indonesia, 3(2): 87–94.

Suprobo, H. D.; Anggoro, S. & Soedarsono, P., 2013. Penilaian pencemaran perairan di Polder Tawang Semarang ditinjau dari aspek saprobitas. Management of Aquatic Resources Journal (MAQUARES), 2(3): 109–118, https://doi.org/10.14710/marj.v2i3.4192. Swary, A. & Hutabarat, S., 2014. Studi Pengaruhnya Deterjen terhadap

Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton di Sungai Banjir Kanal Timur Semarang. Journal of Management of Aquatic Resources, 3(2): 157–165, https://doi.org/10.14710/marj.v3i2.5022.

Tarwotjo, U.; Situmorang, J.; Soesilohadi, H. R. & Martono, E., 2014. Monitoring Resistensi Populasi Plutella Xylostella, L Terhadap Residu Emamektin Benzoat Di Sentra Produksi Tanaman Kubis Propinsi Jawa Tengah (Monitoring the Resistance of Plutella Xylostella, L Population Against Emamektin Benzoate Residues).

Jurnal Manusia dan Lingkungan, 21(2): 202–212,

https://doi.org/10.22146/jml.18545.

Wahyudiati, N. W. D.; Arthana, I. W. & Kartika, G. R. A., 2017. Struktur Komunitas Zooplankton di Bendungan Telaga Tunjung, Kabupaten Tabanan-Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 3(1): 115–

122. https://doi.org/10.24843/jmas.2017.v3.i01.115-122 Wibowo, A., 2004. Kinetika Bioakumulasi Logam Berat Kadmium Oleh

Fitoplankton Chlorella sp. Lingkungan Perairan Laut. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, 5(2): 89–103.

Wibowo, P. & Kalatham, T. P., 2017. Panduan Praktis Penggunaan Pupuk

dan Pestisida. Penebar Swadaya Group. Jakarta. 98 p.

Wijaya, T. S. & Hariyati, R., 2011. Struktur komunitas fitoplankton sebagai bio indikator kualitas perairan Danau Rawapening Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Anatomi Fisiologi, 19(1): 55–61.

Wijayanti, 2011. Keragaman Jenis Plankton Pada Tempat Yang Berbeda

Kondisi Lingkungannya Di Rawa Pening Kabupaten Semarang.

[Skripsi]. IKIP PGRI Semarang. Semarang.

Wilhm, J. L. & Dorris, T. C., 1968. Biological parameters for water quality criteria. Bioscience, 18(6): 477–481. https://doi.org/10.2307/1294272

(8)

Wisha, U. J.; Yusuf, M. & Maslukah, L., 2016. Kelimpahan fitoplankton dan konsentrasi tss sebagai indikator penentu kondisi perairan Muara Sungai Porong. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine

Science and Technology, 9(2): 122–129,

https://doi.org/10.21107/jk.v9i2.1298.

Zulfahmi, I. & Akmal, Y., 2020. Ekotoksikologi Akuatik. PT Penerbit IPB Press. Bogor. 138 p.

Yusrizal Akmal , Department of Aquaculture, Faculty of Agriculture, Universitas Almuslim. Jl. Almuslim, Matang Glumpang Dua, Peusangan, Bireuen 24261, Aceh, Indonesia, Email: drh.yusrizal.akmal.msi@gmail.com

URL ORCID: http://orcid.org/0000-0002-6089-6449

URL Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=YetJUAEAAAAJ&hl=id

Rindhira Humairani , Department of Aquaculture, Faculty of Agriculture, Universitas Almuslim. Jl. Almuslim, Matang Glumpang Dua, Peusangan, Bireuen 24261, Aceh, Indonesia, Email: email@gmail.com

Muliari Muliari , Department of Aquaculture, Faculty of Agriculture, Universitas Almuslim. Jl. Almuslim, Matang Glumpang Dua, Peusangan, Bireuen 24261, Aceh, Indonesia, Email: muliari@gmail.com

Hanum Hanum, Department of Aquaculture, Faculty of Agriculture, Universitas Almuslim. Jl. Almuslim, Matang Glumpang Dua, Peusangan, Bireuen 24261, Aceh, Indonesia, Email: hanum@gmail.com

Ilham Zulfahmi, Marine and Fisheries Faculty, Syiah Kuala University, Darussalam, Banda Aceh, 23111, Email: ilham@gmail.com URL ORCID: http://orcid.org/0000-0001-9997-9068

How to cite this article:

Akmal, Y., Humairani, R., Muliari M., Hanum, H., & Zulfahmi, I., 2021. Phytoplankton community as bio-indicators in aquaculture media Tilapia (Oreochromis niloticus) exposed to detergent and pesticide waste. Akuatikisle: Jurnal Akuakultur, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 5(1): 7-14. https://doi.org/10.29239/j.akuatikisle.5.1.7-14

Gambar

Gambar 1. Nilai jumlah kelimpahan fitoplankton (individu/L) pada ketiga wadah perlakuan kontrol awal dan perlakuan  pada hari ke 30
Tabel 2.  Kelimpahan fitoplankton pada hari ke-30 (individu/L).
Gambar 3. Rata –rata Indeks keseragaman fitoplankton pada tiga perlakuan kontrol awal dan  perlakuan akhir pada hari ke-30
Tabel 3. Parameter Kualitas Air

Referensi

Dokumen terkait

Dari Tabel 3 menunjukkan 5 persoalan dalam pengujian aplikasi dengan P1, P2, P3, P4, P5 dan diperoleh hasil pengujian kuesioner tersebut dinyatakan dalam diagram pengujian

(2012), analisis keperluan adalah proses sistematik untuk dijadikan panduan dalam membuat keputusan seterusnya memberikan justifikasi untuk keputusan tersebut. Oleh itu,

Ketua Tim PMKP bertugas melakukan koordinasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan monitoring kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien

Dari hasil simulasi dengan menggunakan metode optimasi E-shaped, nilai-nilai parameter dari antena yang dirancang sudah sesuai dengan spesifikasi maka dapat dilanjutkan

Menurut Bapak Yusuf Abadi selaku kepala sekolah MTs Muhammadiyah Boarding School (MBS) Klaten penerimaan peserta didik di MTs Muhammadiyah Boarding School

Pihak pengurus pesantren dan orang tua santri dapat mengetahui sejauh mana hubungan interaksi sosial dalam kelompok teman sebaya terhadap penerimaan diri, sehingga dapat

Dalam hal ini peneliti menyarankan kepada pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banda Aceh agar menambah tenaga perpustakaan guna untuk membenah dan memperbaiki

Berdasarkan hasil evaluasi dan analisa diharapkan dapat diketahui informasi apa yang dapat berguna untuk mengambil dan menentukan strategi pada masa yang akan datang