• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP GURU YANG IKHLAS MENURUT IMAM AL- GHAZALI DALAM KITAB IHYA ULUMIDDIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP GURU YANG IKHLAS MENURUT IMAM AL- GHAZALI DALAM KITAB IHYA ULUMIDDIN"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam

Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:

LISA FATHIYANA NIM: 063111056

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)

ii Walisongo. Semarang. 2011.

Keyword: Guru, Ikhlas, Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya’ Ulumiddin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep Guru Yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.

Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan metode penelitian deskriptif, dari keseluruhan data yang terkumpul kemudian dianalisis yang bersifat kualitatif dengan menggunakan metode berikut, yaitu Metode Interpretasi dan Content Analysis. Dengan menggunakan metode Interpretasi ini peneliti akan menganalisis Kitab Ihya’ Ulumiddin untuk mengungkapkan makna yang terkandung didalamnya. Kemudian dengan metode

Content Analysis peneliti akan mengungkapkan isi pemikiran Imam Al-Ghazali

dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin tentang konsep guru yang ikhlas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin mencakup berbagai pengetahuan yang luas, yang merupakan perpaduan antara ilmu fiqh dan ilmu tasawuf. Dalam kitab ini terdapat materi pembahasan tentang guru yang terdapat pada bahagian peribadatan dalam bab ilmu, dan pembahasan tentang ikhlas ada pada bahagian perbuatan yang menyelamatkan dalam bab niat, benar dan ikhlas. Adapun konsep guru yang ikhlas menurut Al-Ghazali adalah seorang guru yang senantiasa membersihkan hati dan memurnikan segala tujuan amal ibadahnya semata-mata hanya karena Allah SWT, yaitu untuk mendapatkan ridha-Nya dan menjadikan ilmunya manfaat, bukan karena mencari harta, kedudukan dan pangkat. Ia menyatakan bahwa tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu tersebut akan sia-sia, kecuali apabila ilmu itu diamalkan. Sementara amal akan ditolak kecuali dengan ikhlas.

Menurut Al-Ghazali, orang yang berprofesi sebagai guru sangat mulia, baik dihadapan Allah maupun dihadapan para makhluk-Nya. Oleh karena itu, maka guru hendaknya ikhlas dalam mengamalkan ilmunya semata-mata untuk Allah SWT. Guru juga harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti penguasaan ilmu, kepribadian dan akhlak yang mulia serta menyayangi muridnya dengan sepenuh hati. Pemikiran Al-Ghazali berkaitan dengan guru yang ikhlas, dapat diterapkan pada masa sekarang ini, terutama sebagai bahan refleksi dan peringatan bagi para guru. Karena pada masa sekarang ini, banyak guru yang lupa akan kewajibannya, namun sangat keras dalam menuntut haknya. Namun demikian, Al-Ghazali tidak melarang adanya upah atau gaji atas pengajaran tersebut. Hal itu demi kesejahteraan hidup guru dan demi kelancaran proses belajar mengajar.

Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi para mahasiswa, para tenaga pengajar, para peneliti dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Semarang, 27 Mei 2011

Lamp : 4 (Empat) Eksemplar

Hal : Naskah Skripsi Kepada Yth. An. Sdri. Lisa Fathiyana Dekan Fakultas

Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang

Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah saya mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya, maka saya menyatakan bahwa skripsi saudari:

Nama : Lisa Fathiyana NIM : 063111056

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi : Konsep Guru Yang Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin

Telah melalui proses bimbingan, selanjutnya saya mohon agar skripsi saudari tersebut dapat di munaqosahkan.

Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Ikhrom, M.Ag Dr. H. Raharjo, M.Ed, St. NIP. 19650329 199403 1 002 NIP. 19651123 199103 1 003

(4)

iv

ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 27 Mei 2011 Deklarator,

Lisa Fathiyana NIM. 063111056

(5)

v

PENGESAHAN

N a m a : Lisa Fathiyana N I M : 063111056

Fakultas/Jurusan : Tarbiyah / PAI

Judul Skripsi : Konsep Guru Yang Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin

Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal:

15 Juni 2011

Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Tarbiyah.

Semarang, 20 Juni 2011 Dewan Penguji

Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Drs. Wahyudi, M.Pd Nadhifah, S.Th.I., M.SI NIP. 19680314 199503 1 001 NIP. 19750827 200312 2 003 Penguji I, Penguji II,

Drs. H. Jasuri, M.Si Alis Asikin, M.A

NIP. 19671014 199403 1 005 NIP. 19690724 199903 1 002 Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Ikhrom, M.Ag Dr. H. Raharjo, M.Ed, St. NIP. 19650329 199403 1 002 NIP. 19651123 199103 1 003

(6)

vi

ّ او

ى  ئ ا   

)

!و ير #$ا %اور

(

١

Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya balasan yang akan diperoleh seseorang dari amalnya

juga sesuai dengan niatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Seluruh manusia akan binasa, kecuali orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman akan binasa, kecuali mereka yang berilmu. Orang-orang yang berilmu akan binasa, kecuali mereka yang mengamalkannya.

Orang-orang yang beramal akan binasa, kecuali mereka yang ikhlas. 2

1 Abi Zakariya Yahya, Riyadhush Shalihin, (Semarang: Pustaka Alawiyah, tt.), hlm. 6. 2 Shihab, Pintu-Pintu Kesalehan, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), Cet. I, hlm. 234.

(7)

vii

Kedua orang tuaku:

Bapakku Abdurrahim dan Ibuku Waqi’ah Kakak-kakakku:

M. Ali Soghir beserta keluarganya, Siti Nur Azizah beserta keluarganya dan kakakku tercinta Muhammad Mustajib

Adik-adikku tercinta & tersayang:

Muhammad Khumaedi, Rizki Amelia dan Uswatun Chasanah Terkasih:

(8)

viii

SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Berkat rahmat dan nikmat Allah SWT, penulis dapat menyajikan skripsi ini guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam ilmu pendidikan Islam (tarbiyah).

Kepada semua pihak yang membantu kelancaran dalam menulis skripsi ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, khususnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Sujai, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 2. Drs. Abdul Wahib, M.Ag, selaku Wali Studi.

3. Drs. Ikhrom, M.Ag, beserta keluarganya dan Dr. H. Raharjo, M.Ed, St, selaku Dosen Pembimbing, yang dengan ikhlas telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikirannya guna membimbing dan mengarahkan penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Segenap Civitas Akademika Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 5. Bapakku Abdurrahim dan Ibuku Waqi’ah yang penuh dengan cinta kasih serta

kesabaran dalam berjuang, mendidik dan selalu memberikan yang terbaik bagi putrinya. Segala doa dan dukungan yang mereka berikan, baik berupa moral maupun material dengan tulus ikhlas demi kesuksesan putri tercinta. Semoga Allah senantiasa meridhai atas segala budi baik mereka. Amin.

6. Saudara-saudaraku beserta segenap keluarga yang telah turut serta membantu dan memberikan dukungan baik berupa moral maupun material.

7. Untuk Mz. Habib yang selalu memberikan semangat dan motivasi, serta ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dan kelancaran penulis. Terimakasih untuk segalanya.

(9)

ix

segenap keluarga yang senantiasa membimbing dan mendoakan terhadap keberhasilan penulis.

9. Keluarga besar TPQ Miftahus Shibyan, khususnya untuk anak-anakku yang telah mewarnai hari-hari penulis selama di Semarang.

10.Guru-guruku yang telah mengantarkan penulis dari tidak tahu menjadi tahu. 11.Sahabat-sahabatku: Zammi Diannitasari, Listiana dan Ummu Aiman.

12.Teman-teman PPRT yang selama ini hidup bersama dan mendukung penulis, khususnya (mba Ika, mba Aan, Ifeh, Aiz, Tyaz, Sakin, Nihlatun, Indah, Uus, Muji, Lilis dan Ardana) semoga tetap kompak dan rukun.

13.Teman-teman PAI Paket B, khususnya (Aim, Mb. Nur, Mb. Obi dan Fatma), serta kawan senasib seperjuangan.

14.Semua pihak yang telah berperan dan membantu penulis hingga skripsi ini bisa terwujud.

Teriring doa dan harapan semoga amal baik dan jasa dari semua pihak tersebut di atas akan mendapat balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.

Penulis menyadari, bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik dari teknik penulisan maupun isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang konstruktif bagi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membaca, terutama bagi Civitas Akademika IAIN Walisongo Semarang. Amin.

Semarang, 27 Mei 2011 Penulis,

Lisa Fathiyana NIM. 063111056

(10)

x

HALAMAN ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN DEKLARASI ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Penegasan Istilah ... 6

C. Fokus Penelitian ... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 9

1. Metode Pengumpulan Data ... 9

2. Metode Analisis Data ... 10

BAB II. GURU YANG IKHLAS A. Guru ………..………… 12

1. Pengertian Guru ... 12

2. Kriteria dan Syarat Guru ... 13

3. Tugas dan Peranan Guru ... …….... 17

4. Guru Sebagai Profesi... . 18

B. Ikhlas ………. ….. 22

1. Pengertian Ikhlas……….. 22

2. Hakikat Ikhlas ……….. 25

3. Buah Keikhlasan……… …. 28

C. Guru Yang Ikhlas……… …. 29

(11)

xi

D. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan…………. … 35 BAB III. PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB

IHYA’ ULUMIDDIN

A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali

1. Biografi Imam Al-Ghazali……… 39 2. Perjalanan Imam Al-Ghazali Sebagai Guru……. 43 3. Karya-Karya Imam Al-Ghazali……… 47 B. Kitab Ihya’ Ulumiddin

1. . Sekilas Isi Kitab Ihya’ Ulumiddin………. 48 2. . Pemikiran Imam Al-Ghazali

Dalam KItab Ihya’ Ulumuddin……….. 57 BAB IV. ANALISIS KONSEP GURU YANG IKHLAS

DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN

Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Konsep Guru Yang Ikhlas Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin

1. Pengertian Guru Yang Ikhlas ………. 70 2. Kriteria Guru Yang Ikhlas ……..……… 75 3. Tujuan Menjadi Guru……….. 78 4. Efek dan Kontribusi Guru Yang Ikhlas …………. 85

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 89 B Saran-Saran ... 90 C Penutup ... 91 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Guru ikhlas atau guru yang ikhlas merupakan suatu fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Penafsiran yang berbeda, akan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Banyak orang yang keliru dalam menafsirkan guru ikhlas. Mereka beranggapan bahwa guru yang ikhlas adalah seseorang yang dengan rela mengajar tanpa harus diberi upah atas pekerjaannya tersebut. Jika memang demikian, lalu bagaimana seorang guru bisa mengajar dengan tenang sementara ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di sisi lain, mengajar juga merupakan suatu profesi yang menuntut keahlian dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji.1 Oleh karena itu, maka dari segi mana seorang guru dikatakan sebagai guru yang ikhlas. Dari sinilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang konsep guru yang ikhlas.

Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa siapa yang menekuni tugas sebagai pengajar, berarti ia tengah menempuh suatu perkara yang sangat mulia. Oleh karena itu, ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya.2 Salah satu diantaranya adalah, seorang guru harus menjaga adab dan tugasnya dengan meneladani Rasulullah SAW. Dalam hal ini, pengajar tidak diperkenankan menuntut upah dari aktivitas mengajarnya.

Sebagaimana firman Allah SWT.

Ÿω

߉ƒÌçΡ

óΟä3ΖÏΒ

[!#t“y_

Ÿωuρ

#

—‘θä3ä©

∩∪

Kami tidak mengharap balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terimakasih. (Q.S. Al-Insan: 9).3

1 Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm. 3.

2 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet. 12, hlm. 212.

3 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm.

(13)

Dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan, bahwa ”Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan ridha Allah,” yaitu mengharapkan kerelaan dan pahala dari Allah. ”kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terimakasih.” Dalam hal ini Rasulullah tidak meminta imbalan atas pemberiannya kepada orang lain. Rasulullah juga tidak mengharapkan ucapan terimakasih, karena beliau hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT.4

Ayat tersebut menunjukkan, bahwa dalam memberi sesuatu hendaknya dilandasi dengan dasar keikhlasan, semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah bukan untuk yang lainnya, seperti mengharap pujian dan balasan yang seimbang serta ucapan terimakasih dari orang lain.5 Hal ini sama halnya bagi seorang guru dalam memberikan suatu ilmu, pemahaman dan pengertian kepada muridnya. Seorang guru harus senantiasa menjaga niatnya dengan baik, agar tidak terkecoh akan kemegahan duniawi dan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh harta, pangkat dan jabatan. Akan tetapi, harus mendasarkan niatnya untuk mencari keridhaan Allah SWT dan mengamalkan ilmunya agar bermanfaat, baik bagi dirinya maupun untuk orang lain.

Meneladani Rasulullah SAW dengan tidak meminta upah pengajaran, tidak bermaksud mencari imbalan ataupun ucapan terimakasih melainkan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, guru juga tidak merasa perlu penghargaan dari murid walaupun hal itu adalah kewajiban mereka. Para guru hendaknya menilai, bahwa mereka memiliki keutamaan karena mau membersihkan hatinya agar dekat kepada Allah dengan menabur berbagai ilmu. Seperti halnya orang yang meminjamkan tanahnya kepada orang lain untuk di tanami dan hasilnya untuk sang peminjam tersebut, maka manfaat yang diperolehnya dari tanah itu lebih besar daripada manfaat yang diperoleh oleh pemilik tanah itu. 6

4 Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid 4, Cet. I, hlm. 878.

5 Ibid.

(14)

Dengan demikian, maka bagaimana guru mengharuskan seorang murid untuk memberi penghargaan kepadanya, sedangkan pahala pengajaran di sisi Allah lebih besar daripada pahala dari murid itu. Akan tetapi, kehadiran murid sangat berarti bagi seorang guru. Karena seandainya tidak ada murid, niscaya seorang guru tidak akan meraih pahala tersebut. Maka dari itu, hendaknya seorang guru jangan meminta upah, kecuali kepada Allah Yang Mahatinggi.

Sebagaimana firman Allah SWT mengisahkan Nabi Nuh a.s.,

ÏΘöθs)≈tƒuρ

öΝà6è=t↔ó™r&

ϵø‹n=tã

»ω$tΒ

(

÷βÎ)

y“̍ô_r&

āωÎ)

’n?tã

«!$#

∩⊄∪

Dan wahai kaumku, Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai imbalan) atas seruanku, imbalanku hanyalah dari Allah. (Q.S. Hud: 29).7

Ayat tersebut menunjukkan, bahwa nabi Nuh merupakan orang yang ikhlas. Ia senantiasa mengharap ridha Allah dalam setiap seruannya mengajak kepada amar ma’ruf nahi mungkar. Ia tidak pernah mengharapkan upah dari kaumnya. Sebagaimana firman Allah sebelumnya, yang menggambarkan Rasulullah dalam memberikan sesuatu tidak mengharapkan adanya imbalan, melainkan hanya ridha Allah dan pahala disisi-Nya.8

Namun yang menjadi latar belakang dan permasalahan dalam hal ini, apakah benar ikhlas artinya tidak menerima upah setelah mengajar? Benarkah makna ikhlas tidak menerima amplop setelah kegiatan dakwah? Dalam Al-Qur’an, orang yang menyebarkan agama Islam termasuk fi sabilillah dan berhak mendapatkan bagian dari zakat, meskipun orang tersebut kaya raya. Dengan demikian, ketika seorang mubalig atau guru menerima upah, maka ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.9

7 Departemen Agama, op.cit, hlm. 301. 8 Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, hlm. 782-783.

9 Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), Cet. I, hlm.

(15)

Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Gusmian, bahwa:

Kita hanya pantas menggerakkan hidup ini untuk Sang Pemiliknya. Namun hal ini bukan berarti bahwa kreativitas dalam hidup kita tidak perlu dihargai secara material. Sebagian orang memahami ikhlas dengan melakukan kebajikan tanpa penghargaan secara material. Misalnya mengajar baca tulis Al-Qur’an gratis, menjadi pembicara di acara pengajian tanpa bayaran. Gratis bukanlah identik dengan sikap ikhlas, karena ikhlas adalah urusan sikap hati.10

Sebagai contoh, ada seorang penceramah dengan begitu bangga mengatakan di depan jamaah bahwa dirinya tidak mau menerima bayaran dari profesinya, karena merasa kasihan kepada para jamaah dan dengan mengatakan bahwa dirinya ikhlas. Hal ini belum tentu bahwa dia benar-benar orang yang ikhlas. Sebab dengan pengakuan keikhlasan itu, bisa jadi dia justru ingin mendapat pujian bahwa dirinya telah mampu menguasai ilmu ikhlas. Padahal, ia justru sedang riya’, mencari pujian di hadapan manusia dengan amal baiknya. Maka dengan demikian, keikhlasan bukan berarti tanpa penghargaan material di dunia, melainkan kemampuan seseorang dalam menjaga hati dari orientasi dan belenggu dunia.

Berkaitan dengan pemaparan di atas, peneliti ingin mengkaji konsep guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali. Hal ini bisa dilihat dari latar belakang beliau yang juga sebagai guru, dan melihat dari perjalanan hidup beliau dalam mengarungi samudera kehidupan, sehingga menemukan hakekat kebenaran. Hal ini sebagaimana pernyataan Imam Al-Ghazali:

Kehausan untuk mengetahui hakekat segala sesuatu adalah watak dasarku sejak lahir. Ini pembawaan yang dianugerahkan Allah di jiwaku, bukan hasil usahaku sendiri. Sejak remaja, sebelum usia 20 tahun, sampai berusia 50 tahun, aku telah mengarungi gelombang lautan (mazhab dan ilmu) yang sangat dalam. Aku menyelami kedalamannya sebagai seorang pengembara dan bukan sebagai seorang pengecut. Aku terjebak dikegelapannya, namun dapat mengatasi rintangannya. Aku menceburkan diri di tengah-tengahnya, menyelidiki setiap mazhab dan membuka misteri ajarannya, sehingga aku mengetahui kebenaran dan kesalahan masing-masing. 11

10 Gusmian, Surat Cinta Al-Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati, (Bandung: PT. Mizan

Pustaka, 2006), Cet. II, hlm. 168.

(16)

Pernyataan Al-Ghazali tersebut menunjukkan, bahwa ia benar-benar telah menyelami hidupnya dengan berbagai pengalaman spiritual, sehingga mengantarkan ia sebagai guru yang ikhlas. Hal ini karena ia telah menemukan hakikat kebenaran dan keikhlasan. Sehingga ia mampu mempraktikan dan membuktikannya, dengan mengamalkan dan mengajarkan ilmunya semata-mata karena Allah SWT.

Tugas mendidik memiliki nilai spiritual yang tinggi, jika tugas mendidik tersebut di orientasikan untuk mencari keridhaan Allah SWT. Selain itu, mendidik juga memiliki nilai universal yang dilakukan oleh siapapun di dunia ini. Oleh karena itu, tugas mendidik merupakan tugas yang sangat mulia dan merupakan tugas utama guru, maka guru harus secara sungguh-sungguh dan tulus-ikhlas melakukan tugas tersebut sehingga ia dapat menikmati, menjiwai dan merasa nyaman menjadi seorang guru.12

Adapun karena kemuliaan yang dimiliki oleh seorang guru, berbagai gelar disandangnya. Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, manusia serba bisa, warga negara yang baik, soko guru, ki ajar, sang guru dan sebagainya.13 Betapa tingginya derajat seorang guru, sehingga wajarlah bila guru diberi berbagai julukan yang tidak akan pernah ditemukan pada profesi lain. Semua julukan itu perlu dilestarikan dengan pengabdian yang tulus ikhlas, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan segalanya demi uang yang membatasi tugas dan tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah. 14

Dengan demikian, maka ketulusan dalam mengajar sangat penting sekali untuk diperhatikan bagi seorang guru. Sehingga dalam setiap gerak langkahnya, seorang guru harus senantiasa menanamkan niat yang ikhlas, semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Dalam hal ini, penulis sangat tertarik ingin meneliti dan mengkaji, bagaimana konsep guru

12 Hidayatullah, Guru Sejati, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), hlm. 129-130.

13 Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. II, hlm. 41.

(17)

ikhlas yang akan di jabarkan dalam skripsi dengan judul: Konsep Guru yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.

B. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan pemahaman dan pemaknaan sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman persepsi dalam memahami judul di atas serta untuk memperjelas dalam penulisan skripsi ini, maka terlebih dahulu akan penulis kemukakan beberapa istilah yang dipandang perlu dijelaskan. Adapun istilah-istilah tersebut sebagai berikut:

1. Konsep

Konsep secara bahasa berarti ide umum; pengertian; pemikiran; rancangan; rencana dasar.15 Sedangkan secara istilah konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret.

2. Guru Yang Ikhlas

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.16

Ikhlas secara bahasa berarti rela; dengan tulus hati; rela hati.17 Sedangkan secara istilah ikhlas adalah keterampilan (skill) penyerahan diri total kepada Tuhan untuk meraih puncak sukses dan kebahagiaan dunia akhirat.18

Adapun yang dimaksud dengan konsep guru yang ikhlas, adalah suatu konsep yang membahas tentang hakekat keikhlasan seorang guru dalam mengamalkan ilmunya, sehingga menjadikan ilmunya manfaat serta

15 M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 362.

16 Undang-Undang R.I No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra

Umbara, 2006).

17 M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, op.cit, hlm. 241.

(18)

membawa kebaikan bagi orang lain. Selain itu, bagaimana seorang guru bisa membawa hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar. Ia mendasarkan niat yang benar dan ikhlas semata-mata untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT, sehingga mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

3. Imam Al-Ghazali

Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi Al-Faqih Ash-Shufi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari. Ia mendapat gelar Hujjatul Islam yang artinya pembela Islam dan Zainuddin yang artinya hiasan agama. Ia lahir di Kota Thus pada tahun 450 Hijriah.19 Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1058-1111M) seorang filsuf, teolog, ahli hukum, dan Sufi. Di kalangan Barat ia dikenal dengan Nama Al-Qazeel. Al-Ghazali lahir dan meninggal di Thus Persia. Ia banyak menulis karya, diantaranya yang terbesar mengenai pencarian ilmu pengetahuan antara lain: Ihya Ulum

al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), al-Munqid Min al Zalalah

(penyelamat dari kesesatan), dan di dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (sanggahan terhadap pemikiran kaum filsafat).20

4. Kitab Ihya’ Ulumiddin

Kitab Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), merupakan salah satu karya monumental yang ditulis oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali pada awal abad ke-5 Hijriyah. Kitab ini terdiri dari empat bahagian besar (empat rubu’) antara lain: Pertama, bahagian (rubu’) peribadatan (rubu’ ibadah). Kedua, bahagian (rubu’) pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan). Ketiga, bahagian (rubu’) perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat). Keempat, bahagian (rubu’) perbuatan

19 Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2008),

hlm. 9.

20 Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm.

(19)

yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat). Setiap rubu’ terdiri dari sepuluh bab.21

Adapun pembahasan tentang guru terdapat pada bahagian (rubu’) peribadatan dalam bab ilmu, dan pembahasan tentang ikhlas ada pada bahagian (rubu’) perbuatan yang menyelamatkan dalam bab niat, benar dan ikhlas. Kitab Ihya’ ini juga merupakan referensi utama bagi penulis sekaligus sebagai obyek kajian dalam penelitian ini.

C. Fokus Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka penulis mambatasi permasalahan dengan fokus penelitian pada: Bagaimana Konsep Guru yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melaksanakan penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana konsep guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah, antara lain: 1. Secara teoritis:

Hasil studi ini diharapkan bisa menambah kepustakaan tentang konsep ikhlas, khususnya konsep guru yang ikhlas agar khalayak mengetahui betapa pentingnya keikhlasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan pentingnya ikhlas dalam melakukan setiap pekerjaan.

2. Secara praktis:

a. bagi guru : Terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri seorang guru, bahwa dalam mengajar hendaknya dilandasi dengan niat tulus ikhlas semata-mata untuk mengamalkan ilmunya dan mengharap ridha dari Allah SWT, tidak berorientasi pada materi.

(20)

b. bagi siswa : Terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri seorang murid, bahwa dalam menuntut ilmu hendaknya meluruskan niat untuk mencari ridha Allah dan menghilangkan kebodohan. E. Metodologi Penelitian

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan data dengan metode kepustakaan (library research). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari buku dan dokumen-dokumen lainnya.22

Metode kepustakaan ini penulis gunakan untuk meneliti tentang konsep guru yang ikhlas dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menurut Imam Al-Ghazali yang ditunjang dengan buku-buku ilmiah lainnya atau dari beberapa sumber yang lain.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data langsung yang dikaitkan dengan objek penelitian yaitu kata-kata atau tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai.23 Sumber data primer yang digunakan oleh penulis sebagai rujukan adalah Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.24 Sumber data sekunder sebagai data pendukung dan pelengkap dari sumber data primer. Adapun sumber data sekunder

22 Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang: RaSAIL,

2008), Cet. I, hlm. 5-6.

23 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2007), hlm. 157.

(21)

dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya-karya ilmiah yang isinya dapat melengkapi data yang diperlukan penulis dalam penelitian ini. Misalnya Mutiara Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali, Mengarungi Samudra Ikhlas karya Rachmat Ramadhana al-Banjari, Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu dan lain sebagainya.

2. Metode Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, maka penulis akan menganalisis data. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari berbagai hasil pengumpulan data.25

Metode analisis data yang penulis gunakan adalah metode deskripsi. Karena data yang terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik, adapun data yang terkumpul berupa data deskriptif. Menurut Sukardi, penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakterisitik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.26 Metode ini penulis gunakan untuk mendeskripsikan konsep guru yang ikhlas. Adapun metode yang digunakan adalah:

a. Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Menurut Earl Babbie “content analysis as the study of recorded

human communications, such as books, websites, paintings and laws.”

Berkaitan dengan hal ini, Harold Lass well formulated the core

questions of content analysis: “Who says what, to whom, why, to what extent and with what effect?”27 Earl Babbie mendefinisikan content

analysis sebagai suatu penyelidikan yang mencatat sistem komunikasi

manusia, seperti buku-buku, website, lukisan-lukisan dan hukum-hukum. Sementara Harold Lass well merumuskan beberapa pertanyaan inti tentang content analysis, antara lain: siapa yang mengatakan,

25 Ibid, hlm. 335.

26 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet. VII,

hlm. 157.

(22)

kepada siapa, mengapa, untuk apa secara luas dan bagaimana dengan pengaruhnya.

Berkaitan dengan pengertian content analysis tersebut, Burhan Bungin mengatakan bahwa content analysis adalah “teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Adapun

content-analysis ini berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi.”28 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka content analysis merupakan suatu metode untuk mengungkapkan isi pemikiran tokoh yang diteliti, yang meliputi beberapa pertanyaan inti tersebut tentang

content analysis. Adapun content analysis ini penulis gunakan untuk

mengungkapkan isi dan menggambarkan dari kitab Ihya’ Ulumiddin. b. Metode Interpretasi

Menurut Moleong, metode interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.29 Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis beberapa buku secara implisit untuk mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya.

28 Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Pendidikan, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 231.

(23)

12

A. Guru

1. Pengertian Guru

Guru dalam literarur kependidikan Islam, biasa disebut sebagai

ustadz, mudarris, mu’allim, murabbiy, mursyid, dan muaddib.1 Sedangkan

dalam bahasa Inggris disebut teacher yang artinya pengajar dan educator yang artinya pendidik.2

Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Sementara guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa di masjid, di surau, di rumah, dan sebagainya.3

Menurut Undang-Undang RI Nomor 14, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.4

Guru sebagai seorang pendidik disebut mu’addib yaitu orang yang berusaha mewujudkan budi pekerti yang baik atau akhlakul karimah, sebagai pembentukan nilai-nilai moral atau transfer of values. Sementara guru sebagai pengajar disebut mu’allim yaitu orang yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik, sehingga peserta didik

1

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. II, hlm. 209.

2 Hassan Shadily & John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), Cet. 23, hlm. 207.

3 Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. II, hlm. 31.

4 Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 2-3.

(24)

mengerti, memahami, menghayati dan dapat mengamalkan berbagai ilmu pengetahuan yang disebut sebagai transfer of knowledge. 5

Adapun definisi atau pengertian guru menurut beberapa pakar pendidikan, sebagaimana dikutip oleh Nurdin, antara lain:

Guru menurut Ahmad D. Marimba adalah orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik. Sedangkan guru menurut Zahra Idris dan Lisma Jamal, adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam hal perkembangan jasmani dan ruhaninya untuk mencapai tingkat kedewasaan, memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu yang mandiri dan makhluk sosial. Sementara guru menurut Zakiah Daradjat adalah pendidik profesional, karena secara implisit telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan dari pundak para orang tua. Adapun guru menurut Poerwadarminta adalah orang yang kerjanya mengajar. 6

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang yang bertanggung jawab memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta menanamkan nilai-nilai moral kepada anak didik mereka, sehingga menjadi manusia dewasa yang berguna bagi nusa dan bangsa serta memiliki akhlakul karimah. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam membentuk sebuah generasi penerus, yang bisa membawa perubahan suatu bangsa. Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan nilai-nilai sebagai suatu pedoman dalam membentuk generasi yang berbudi pekerti luhur. 2. Kriteria dan Syarat Guru

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui beberapa kriteria seorang guru ideal. Adapun yang dimaksud guru ideal ialah sosok guru yang mampu menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat.

5 Abdul Mu’ti & Chabib Thoha, Abdul, PBM-PAI di Sekolah, (Semarang: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 1998), Cet. I, hlm. 179.

6 Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), Cet. I, hlm.

(25)

Menurut Husnul Chotimah, sebagaimana dikutip oleh Asmani, ada empat kriteria guru ideal yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia di abad 21 ini. Pertama, dapat membagi waktu dengan baik, dapat membagi waktu antara tugas utama sebagai guru dan tugas keluarga, serta dalam masyarakat. Kedua, rajin membaca. Ketiga, banyak menulis. Keempat, gemar melakukan penelitian. 7

Dari kriteria tersebut dapat disimpulkan, bahwa kriteria guru ideal antara lain: Pertama, guru yang memahami benar profesinya. Kedua, guru yang rajin membaca dan menulis. Ketiga, guru yang sensitif terhadap waktu. Keempat, guru yang kreatif dan inovatif. Kelima, guru yang memiliki kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan motorik.8

Adapun sosok kepribadian guru ideal menurut Islam telah di tunjukkan pada keguruan Rasulullah SAW.

Sebagaimana firman Allah SWT.

ô‰s)©9

tβ%x.

öΝä3s9

’Îû

ÉΑθß™u‘

«!$#

îοuθó™é&

×πuΖ|¡ym

....

∩⊄⊇∪

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu. (Q.S. Al-Ahzab: 21).9

Ayat tersebut menerangkan tentang norma-norma yang tinggi dan adanya teladan yang baik telah berada dihadapan manusia, jika mereka menghendaki, hendaknya mereka mengambil contoh Rasulullah SAW di dalam amal perbuatannya, dan hendaknya mereka berjalan sesuai dengan petunjuknya.10

Sementara dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa ayat tersebut merupakan prinsip utama dalam meneladani Rasulullah SAW baik dalam

7 Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), Cet. II, hlm. 21.

8

Ibid, hlm. 21-24.

9 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm.

595.

10 Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. K. Anshori Umar Sitanggal, (Semarang: CV. Toha

(26)

ucapan, perbuatan, maupun perilakunya. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia agar meneladani Nabi SAW dalam peristiwa al-ahzab yaitu dengan meneladani kesabaran, upaya dan penantiannya atas jalan keluar yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla. Karena itu Allah Ta’ala berfirman kepada orang yang hatinya kalut dan guncang dalam peristiwa al-ahzab, ”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu”.11

Adapun maksud dari ayat tersebut adalah perintah bagi manusia untuk mengikuti dan meneladani Rasulullah SAW dalam segala tingkah laku, perkataan dan perbuatannya. Jika diterapkan oleh seorang guru, maka hal ini akan sangat mendukung profesinya, karena Rasulullah adalah orang yang sangat berhasil dalam mendidik dan mengajarkan ilmu, baik kepada para sahabatnya maupun kepada para umatnya.

Agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik, maka seorang guru harus memiliki syarat-syarat pokok. Syarat pokok tersebut menurut Sulani, sebagaimana dikutip oleh Nurdin, antara lain: Pertama, syarat syakhsiyah (memiliki kepribadian yang dapat diandalkan). Kedua, syarat ilmiah (memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni). Ketiga, syarat idhafiyah (mengetahui, menghayati dan menyelami manusia yang dihadapinya, sehingga dapat menyatukan dirinya untuk membawa peserta didik menuju tujuan yang ditetapkan). 12

Sementara menurut Suwarno, syarat-syarat untuk guru yang baik, antara lain: syarat profesional (ijazah), syarat biologis (kesehatan jasmani), syarat psikologis (kesehatan mental) dan syarat paedagogies-didaktis (pendidikan dan pengajaran).13 Syarat-syarat tersebut menunjukkan bahwa profesi guru tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, selain ia telah menempuh pendidikan, ia juga harus sehat jasmani dan rokhaninya.

11

Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid 3, Cet. I, hlm. 841.

12 Nurdin, op.cit, hlm. 129.

13 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), Cet. III, hlm.

(27)

Sedangkan menurut Al-Ghazali, syarat seorang guru (syekh) adalah sebagai berikut:

a. Alim

Orang yang pantas menjadi penerus Rasulullah adalah orang yang alim, namun tidak semua orang alim bisa menjadi penerus Rasulullah. Adapun syarat seorang alim di sini, adalah berpaling dari kesenangan duniawi dan tidak menyukai pangkat serta kedudukan. b. Berakhlak mulia

Orang yang berakhlak mulia disini ialah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya, dengan sedikit makannya, sedikit bicaranya, dan sedikit tidurnya, serta suka memperbanyak shalatnya, shadaqah, dan puasa. Semua hal tersebut ia kerjakan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan kedekatan kepada-Nya. Selain itu, seorang guru berakhlak mulia dalam segala tingkah lakunya, seperti sabar, tekun dalam menjalankan shalatnya, senantiasa bersyukur atas kenikmatan Allah yang diterimanya, dan selalu bertawakkal kepada Allah SWT dalam segala kehidupannya.14

Dari berbagai syarat di atas menujukkan bahwa seorang guru adalah orang yang menjadi panutan, sehingga segala tingkah lakunya harus mencerminkan akhlak yang mulia. Selain itu, ia juga harus mempunyai ilmu pengetahuan yang luas, sehingga bisa mengayomi murid-muridnya. Seorang guru senantiasa harus meluruskan niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari materi semata. Sehingga ilmu yang dimilikinya manfaat, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Selain itu, seorang guru juga harus memahami betul sifat dan karakteristik para muridnya, sehingga hubungan antara guru dan murid bisa tetap terjaga dan terjalin dengan baik.

14 Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, terj. Fu’ad Kauma, ( Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2005), Cet.I, hlm. 50-51.

(28)

3. Tugas dan Peranan Guru

Jabatan guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun diluar dinas dalam bentuk pengabdian. Tugas guru tidak hanya sebatas sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Adapun tugas guru sebagai pengajar ialah meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Sedangkan tugas guru sebagai pelatih ialah mengembangkan ketrampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. 15

Tugas kemanusiaan merupakan salah satu segi dari tugas guru. Dalam hal ini, guru harus terlibat dalam kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Selain itu, guru juga harus bisa menempatkan diri sebagai orang tua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan oleh orang tua atau wali murid dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, pemahaman terhadap jiwa dan watak anak didik diperlukan agar dapat dengan mudah memahami mereka.16

Berkaitan dengan hal ini, Al-Ghazali membagi tugas dan adab seorang guru, antara lain:

Pertama, seorang guru harus mempunyai rasa belas kasih kepada murid-muridnya dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri. Kedua, dengan mengikuti jejak Rasulullah SAW yakni tidak mencari upah, balasan dan terimakasih atas pengajaran tersebut. Ketiga, memberi nasihat

15 Djamarah, op.cit, hlm. 37. 16 Ibid.

(29)

dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat ilmu, sebelum pada tingkat ilmu tersebut dan melarangnya belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Keempat, memberi nasehat kepada para murid dengan tulus, serta mencegah mereka dari akhlak tercela.17

Adapun peranan (role) seorang guru ialah keseluruhan tingkah laku yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru mempunyai peranan yang amat luas, baik di sekolah, keluarga, dan di dalam masyarakat. Adapun yang paling utama adalah kedudukannya sebagai pengajar dan pendidik, yakni sebagai guru. Berdasarkan kedudukannya sebagai guru, ia harus menunjukkan perilaku yang layak (bisa dijadikan teladan oleh siswanya). Tuntutan masyarakat khususnya siswa dari guru dalam aspek etis, intelektual dan sosial lebih tinggi daripada yang dituntut dari orang dewasa lainnya.18

Untuk memenuhi tuntutan di atas, maka guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Dalam hal ini, Mulyasa mengidentifikasikan ada 19 peran guru, yakni guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu (inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa ceritera, aktor, emansipator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator.19

4. Guru Sebagai Profesi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu (ketrampilan, kejuruan dan sebagainya). Sementara profesional adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, sesuatu yang memerlukan keahlian khusus

17 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet. 12, hlm. 212-217.

18 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,

2005), hlm. 165.

19 Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. VII, hlm. 36-37.

(30)

untuk menjalankannya, dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.20

Kata profesi identik dengan kata keahlian, hal ini sebagaimana dikutip oleh Daeng Arifin & Dedi Permadi, bahwa Jarvis mengatakan ”seseorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai orang yang ahli (expert)”. Pada sisi lain profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur berdasarkan intelektualitas. Selain itu, profesi juga sebagai spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui studi dan training yang bertujuan menciptakan ketrampilan, pekerjaan yang bernilai tinggi, sehingga ketrampilan dan pekerjaan itu diminati, disenangi oleh orang lain dan ia dapat melakukan pekerjaan itu dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah dan gaji (payment).21

Dari pengertian profesi di atas, maka profesi yang disandang oleh guru, merupakan suatu pekerjaan yang membutuhkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, keahlian dan ketelatenan dalam menciptakan generasi penerus yang sesuai dengan harapan. Adapun pengertian profesi guru diatas dilihat dari usaha keras dan keahlian yang dimiliki oleh seorang guru, sehingga mereka wajar mendapatkan kompensasi yang adil berupa gaji dan tunjangan yang besar serta fasilitas yang memadai dibanding pegawai struktural, apabila dilihat dari berat ringan pekerjaan. Tugas guru sebagai pembimbing, pelatih dan pengajar merupakan tugas yang berat yakni memeras otak. Guru harus siap mental dan fisik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Upaya dalam menciptakan guru yang profesional, maka para guru diberi kesempatan untuk mengembangkan diri, dengan mengikuti berbagai pelatihan, kursus dan penataran serta melanjutkan pendidikan ke

20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), Cet. 2, hlm. 789.

21 Daeng Arifin & Dedi Permadi, The Smiling Teacher, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2010), hlm. 11.

(31)

jenjang yang lebih tinggi. Mereka juga diberi kesempatan untuk menduduki jabatan apapun di negeri ini sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Sehingga dalam hal ini, profesi guru sama dengan profesi yang lainnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen juga dijelaskan, bahwa profesional adalah pekerjaan (profesi) atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang harus memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.22 Seorang guru yang profesional akan beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digelutinya. Oleh karena itu, dalam hal ini seorang guru tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah material.

Adapun masalah profesionalisme guru, mengandung pengertian kegiatan dan usaha meningkatkan kompetensi guru ke arah yang lebih baik dilihat dari berbagai aspek demi terselenggaranya suatu optimalisasi pelayanan kegiatan atau pekerjaan profesi guru yang memiliki makna penting sebagaimana dikutip oleh Daeng Arifin & Dedi Permadi, antara lain: 23

Pertama, profesionalisme akan memberikan jaminan perlindungan

kepada kesejahteraan masyarakat umum. Kedua, profesionalisme guru merupakan suatu cara untuk memperbaiki profesi pendidikan yang selama ini dianggap oleh sebagian masyarakat, rendah. Ketiga, profesionalisme guru memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensinya, selanjutnya dengan profesionalisme guru, terjadi pergeseran fungsi guru dari pengajar (teacher), beralih

22 Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, op. cit, hlm. 3.

(32)

sebagai pelatih (coach), pembimbing (concelor), dan sebagai manajer pembelajaran (learning manager).

Sementara itu, profesionalitas menunjukkan adanya kualitas suatu profesi atau pekerjaan sesuai dengan standar yang diinginkan dan mendapat pengakuan secara positif dari klien atau masyarakat atas hasil yang dicapai dari profesi guru akan dilakukannya. Dalam hal ini, kualitas profesi guru akan ditunjukkan oleh sikap utama berikut ini: keinginan untuk selalu menampilkan perilaku hasil kerja yang mendekati sesuai dengan standar ideal, senantiasa berusaha meningkatkan dan memelihara citra profesinya, memiliki keinginan yang kuat untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional agar dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya, senantiasa mengejar dan mengutamakan kualitas atau mutu dan cita-cita dalam profesi, serta memiliki kebanggaan terhadap profesinya.

Adapun Kode Etik Guru Indonesia, antara lain:

a. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.

b. Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai kebutuhan anak didik masing-masing.

c. Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.

d. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua anak didik sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.

e. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.

f. Guru sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.

(33)

g. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, baik berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan.

h. Guru secara hukum bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya.

i. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.24

B. Ikhlas

1. Pengertian Ikhlas

Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab:

-









-



و







yang artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih.25

Ikhlas secara bahasa berbentuk mashdar, dan fiilnya adalah

akhlasha. Fiil tersebut berbentuk mazid. Adapun bentuk mujarradnya

adalah khalasha. Makna khalasha adalah bening (shafa), segala noda hilang darinya. Jika dikatakan khalashal ma’a minal kadar (air bersih dari kotoran) artinya air itu bening. Jika dikatakan dzahaban khalish (emas murni) artinya emas yang bersih tidak ada noda di dalamnya. Dalam hal ini, emas tidak dicampuri oleh partikel lain seperti perunggu dan lain sebagainya.26

Ikhlas adalah menyaring sesuatu sampai tidak lagi tercampuri dengan yang lainnya. Kalimatul ikhlas adalah kalimat tauhid yaitu laa

ilaaha illallah. Surah ikhlas adalah surat qul huwallahu ahad, yaitu surat

tauhid. Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa makna ikhlas secara bahasa adalah suci (ash-shafa’), bersih (an-naqi), dan tauhid.

24 Djamarah, op.cit, hlm. 49-50.

25 Munawir & Al-Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 171. 26 Abu Farits, Tazkiyatunnafs, terj. Habiburrahman Saerozi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet. II, hlm. 15.

(34)

Adapun ikhlas dalam syariat Islam adalah sucinya niat, bersihnya hati dari syirik dan riya serta hanya menginginkan ridha Allah semata dalam segala kepercayaan, perkataan dan perbuatan.27

Berkaitan dengan ikhlas, Nawawi mengungkapkan bahwa:

ص ا

ا ق ا   او ةه ا ا ت ن

!

"#

٢٨

Ikhlas yaitu membersihkan pancaindranya dengan lahir dan batin dari budi pekerti yang tercela.

Sementara ikhlas menurut Al-Imam Asy Syahid, sebagaimana dikutip oleh Ramadhan adalah sebuah sikap kejiwaan seorang muslim yang selalu berprinsip bahwa semua amal dan jihadnya karena Allah SWT. Hal itu ia lakukan demi meraih ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa sedikitpun melihat pada prospek (keduniaan), derajat, pangkat, kedudukan, dan sebagainya.29

Arberry dalam bukunya Sufism An Account Of The Mystics Of Islam, mengatakan ikhlas (sincerity) that is, seeking only God in every act

of obedience to Him.30 Ikhlas atau ketulusan hati yaitu, yang dalam setiap perbutannya ditujukan hanya semata-mata karena Tuhan.

Adapun beberapa pendapat guru tasawuf mengenai ikhlas, sebagaimana dikutip oleh Al-Ghazali, antara lain sebagai berikut: As-Susi berkata, ”Ikhlas adalah hilangnya pandangan keikhlasan. Karena, barang siapa melihat keikhlasan di dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya memerlukan keikhlasan.” Sahl ditanya, ”Apakah yang paling sulit bagi diri?” Ia menjawab, ”Ikhlas, karena ia tidak mempunyai bagian di dalamnya.” Ia pun pernah berkata, ”Ikhlas adalah diam dan geraknya hamba hanyalah

27 Ibid, hlm. 16.

28

Nawawi As-Syafi’i Al-Qadiri, Bahjatul Wasaail Bisyarhi Masaail, (Semarang: Maktabah Wamatbaah “Karya Thoha Putra”, tt.), hlm. 32.

29 Ramadhan, Quantum Ikhlas, terj. Alek Mahya Shofa, (Solo: Abyan, 2009), hlm. 9.

30 Arberry, Sufism An Account Of The Mystics Of Islam, (London: George Allen & Unwin

(35)

karena Allah SWT semata.” Al-Junaid mengatakan bahwa, ”Ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari kotoran.”31

Dalam perspektif sufistik, ikhlas di samping sebagai bagian dari maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga merupakan syarat syahnya suatu ibadah. Jika amal perbuatan diibaratkan sebagai badan jasmani, maka ikhlas adalah roh atau jiwanya. Hal ini berbeda sekali dengan pandangan ulama fiqh yang menganggap bahwa ikhlas bukanlah syarat syahnya suatu ibadah.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ikhlas adalah mengerjakan suatu amal perbuatan semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT, bukan untuk meraih pamrih duniawi, dengan tidak mengharapkan pujian dari manusia dan senantiasa menjaga niatnya dengan benar. Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima sehingga amal itu ikhlas dan benar. Adapun ikhlas artinya amal itu dikerjakan karena Allah, dan benar jika amal itu dikerjakan berdasarkan sunah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ‘Audah al-‘Awayisyah, bahwa suatu aktivitas apabila tidak memenuhi dua perkara maka tidak akan diterima oleh Allah. Pertama, hendaknya aktivitas itu ditujukan semata-mata hanya mengharap keridhaan Allah ’azza wa jalla. Kedua, hendaknya aktivitas itu sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah SWT dalam al-Qur’an dan sesuai dengan penjelasan Rasul-Nya dalam sunah beliau.32

Jadi, ikhlas adalah berbuat sesuatu dengan tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, serta mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari orang yang betul-betul cinta kepada Allah SWT, dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya untuk mencintai harta keduniaan.

31 Al-Ghazalli, Mutiara Ihya Ulumuddin, ( Bandung: Mizan, 2008), hlm. 412.

32 ‘Audah al-‘Awayisyah, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani, (Yogyakarta: Maktabah

(36)

2. Hakikat Ikhlas

Ikhlas dengan sangat indah digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat al -An’am [6] ayat 162:

ö≅è%

¨βÎ)

’ÎAŸξ|¹

’Å5Ý¡èΣuρ

y“$u‹øtxΧuρ

†ÎA$yϑtΒuρ

¬!

Éb>u‘

tÏΗs>≈yèø9$#

∩⊇∉⊄∪

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku lillahi rabbil ’alamin.33

Menurut ajaran Islam, hidup ini adalah untuk beribadah, bekerja dan berbuat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Pada hakikatnya semua kebaikan itu, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja sepatutnya hanya dipersembahkan kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT.

È≅è%uρ

(#θè=yϑôã$#

“uŽz|¡sù

ª!$#

ö/ä3n=uΗxå

…ã&è!θß™u‘uρ

tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ

(

šχρ–ŠuŽäIy™uρ

4’n<Î)

ÉΟÎ=≈tã

É=ø‹tóø9$#

Íοy‰≈pꤶ9$#uρ

/

ä3ã∞Îm7t⊥ã‹sù

$yϑÎ/

÷ΛäΖä.

tβθè=yϑ÷ès?

∩⊇⊃∈∪

Dan katakanlah: ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At-Taubah [9]: 105).34

!$tΒuρ

(#ÿρâ÷É∆é&

āωÎ)

(#ρ߉ç6÷èu‹Ï9

©!$#

tÅÁÎ=øƒèΧ

ã&s!

tÏe$!$#

u!$x"uΖãm

(#θßϑ‹É)ãƒuρ

nο4θn=¢Á9$#

(#θè?÷σãƒuρ

nο4θx.¨“9$#

4

y7Ï9≡sŒuρ

ßƒÏŠ

ÏπyϑÍhŠs)ø9$#

∩∈∪

Dan mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah [98]: 5).35

33 Departemen Agama, op.cit, hlm. 201 34 Ibid, hlm. 273.

(37)

Beberapa ayat di atas menegaskan bahwa beribadah dengan ikhlas adalah satu-satunya tugas dan kewajiban manusia kepada Allah SWT. Artinya, seluruh aktivitas hidup dan kehidupan manusia (gerak dan diamnya) adalah dalam rangka pengabdian (’ubudiyah) dan perilaku ketauhidan yang jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) serta jauh dari kesesatan.

Seorang tokoh sufi bernama Dzun al-Misry menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang berbuat ikhlas dalam amalnya, sebagaimana dikutip oleh Syukur, antara lain: Pertama, disaat orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja. Kedua, melupakan amal ketika beramal dan Ketiga, jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akherat karena amal baiknya.36

Dengan demikian, maka ikhlas merupakan pondasi penting dalam membangun agama, karena ikhlas mempunyai cakupan yang tidak kalah penting, antara lain: Ikhlas dalam niat, yakni ikhlas beribadah dan beramal hanya demi Allah semata. Ikhlas dalam nasihat, sebagaimana asal muara kata nasihat (dalam bahasa Arab) adalah khulus atau kemurnian. Ikhlas dalam agama atau akidah, adapun yang dimaksud akidah adalah hakekat Islam dan prinsip dasar yang terbangun atas ketundukan yang mutlak hanya kepada Allah, tidak yang lain-Nya. Hal itu semua terangkum dalam redaksi kalimat tauhid yang berbunyi: ”La illaha illallah, Muhammadur

rasulullah.” 37

Sebagaimana firman Allah SWT

.

ωç7ôã$$sù

©!$#

$

TÁÎ=øƒèΧ

絩9

šÏe$!$#

∩⊄∪

Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. (Q.S. Az-Zumar [39]:2).38

36 Syukur, op.cit, hlm. 120. 37 Ramadhan, op.cit, hlm. 31-32. 38 Departemen Agama, op.cit, hlm. 658.

(38)

Maksud dari ayat di atas adalah sebuah perintah bagi umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya dan menyeru kepada semua orang untuk mengabdi kepadanya saja. Tidak ada sekutu bagi-Nya, karena tidak layak peribadatan kecuali bagi-Nya saja. Oleh karena iu, Allah berfirman, ”ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih”. Maksudnya, tidak ada amalan yang diterima kecuali bila amalan itu ikhlas semata-mata karena-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya.39

Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sekaligus sebagai unsur penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas. Selain itu, unsur penunjang tersebut sekaligus sebagai quality

control bagi keikhlasan itu sendiri, diantaranya adalah sifat atau sikap:

Husnuzhan (berprasangka baik), Istiqamah, Tawakkal, Sabar, Syukur, Zuhud dan Wara’.40

Banyak diantara manusia yang menganggap dirinya sudah ikhlas dalam hal niat, i’tikad (keyakinan), tujuan dan maksud dari perbuatannya. Namun, apabila mereka mau menyelidikinya dengan teliti, mereka akan mengetahui bahwa telah tersembunyi dalam niat, keyakinan, tujuan, dan maksud selain Allah dalam aktivitasnya tersebut. Adapun indikasi atau tanda-tanda ikhlas berdasarkan al-Qur’an dan hadist Nabi SAW adalah sebagai berikut: Ikhlas yaitu tidak berharap apapun kepada makhluk, menjalankan kewajiban bukan mencari status, tidak ada penyesalan, tidak berbeda apabila direspons positif ataupun negatif, tidak membedakan situasi dan kondisi, menjadikan harta dan kedudukan bukan sebagai penghalang, berintegrasinya lahir dan batin, jauh dari sikap sektarian atau

fanatisme golongan, selalu mencari celah untuk beramal saleh.41 Dengan adanya indikasi tersebut, maka akan menjadi cermin bagi

setiap orang, khususnya bagi seorang guru agar senantiasa mengontrol dirinya untuk ikhlas dan tidak terkecoh akan kemegahan dunia dengan

39 Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, jilid 4, hlm. 90.

40 Al-Banjari, Mengarungi Samudra Ikhlas, (Jogjakarta: Diva Press, 2007), hlm. 28. 41 Ibid, hlm. 61-75.

(39)

segala yang menghiasinya. Adapun mengenai hal-hal yang dapat menjadi rusaknya ikhlas, antara lain: riya’ (suka pamer), nifaq, ’ujub, sum’ah, waswas, takabur, cinta dunia, kedudukan, dan jabatan, hasad (dengki), su’uzhan (berburuk sangka) dan bakhil (kikir).42

Sifat-sifat tersebut mengenai hal yang dapat merusak keikhlasan seseorang merupakan sifat-sifat yang tercela. Sehingga untuk menjadi orang yang ikhlas, maka harus senantiasa menjaga sikap dan sifatnya dengan terus istiqomah untuk melakukan kebaikan dan amal sholeh semata-mata untuk mendapat ridha Allah dan senantiasa mengoreksi diri. 3. Buah Keikhlasan

Diantara buah ikhlas karena Allah SWT, sebagaimana disebutkan oleh ’Audah al-’Awasyiah, antara lain sebagai berikut:

1. Akan ditolong dan dibela oleh Allah SWT. 2. Selamat dari siksa di akhirat.

3. Mendapat kedudukan tinggi di akhirat. 4. Diselamatkan dari kesesatan di dunia.

5. Merupakan sebab bertambahnya petunjuk (hidayah). 6. Orang yang ikhlas dicintai penduduk langit.

7. Orang yang ikhlas diterima dengan baik di muka bumi.

8. Orang yang ikhlas akan mendapatkan reputasi (nama baik) di kalangan manusia.

9. Dihindarkan dari kesulitan-kesulitan duniawi. 10. Ketentraman hati dan kebahagiaan.

11. Menyebabkan iman indah dalam hati dan menjadikan hati benci kepada kefasikan dan kemaksiatan.

12. Orang yang ikhlas akan diberi taufik oleh Allah sehingga berkesempatan berteman dengan orang-orang yang ikhlas. 13. Sanggup memikul segala kesulitan hidup di dunia, betapa pun

beratnya.

14. Mendapat husnul khatimah. 15. Doanya makbul.

16. Merasakan kenikmatan dan kabar gembira akan mendapatkan kesenangan di dalam kubur.43

42 Ibid, hlm. 9.

(40)

C. Guru Yang Ikhlas

1 . Pengertian Guru Yang Ikhlas

Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia daripada pekerjaan sebagai guru atau pengajar. Semakin tinggi dan bermanfaat materi ilmu yang diajarkan, maka yang mengajarkannya juga semakin mulia dan tinggi derajatnya. Jika guru atau pengajar mengikhlaskan amalnya karena Allah, maka akan memberi manfaat kepada manusia dengan amalnya itu karena mengajarkan kebaikan kepada mereka. Akan tetapi, banyak orang yang belajar dan berilmu tanpa beramal. Padahal, menuntut ilmu harus disempurnakan dengan menyibukkan diri beramal yang disertai dengan keikhlasan.

Dengan demikian, maka keikhlasan seorang guru dalam mengajar harus senantiasa terjaga. Adapun yang dimaksud dengan guru yang ikhlas disini ialah mengajar dengan niat semata-mata mengamalkan ilmunya karena Allah dan untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Ia selalu membawa hatinya dalam mengajar, sehingga ia benar-benar menikmati tugasnya sebagai pengajar dan murid pun bisa menerima dengan baik ilmu yang diajarkan gurunya. Dengan demikian, maka akan terciptalah lingkungan belajar yang kondusif. Sehingga tujuan pembelajaran pun bisa tercapai dengan baik, yakni menciptakan generasi penerus yang cerdas, beriman dan bertaqwa serta mempunyai akhlakul karimah.

Jadi, dalam hal ini seorang guru hanya pantas menggerakkan hidupnya untuk Allah semata, inilah yang disebut ikhlas. Tapi, hal ini bukan berarti bahwa kreativitas dalam hidup ini tidak perlu dihargai secara material. Sebagian orang memahami ikhlas dengan melakukan kebajikan tanpa penghargaan secara material. Misalnya mengajar baca tulis al-Qur’an gratis, menjadi pembicara di pengajian tanpa bayaran.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini adalah adanya perbedaan dari kedua tokoh (Imam Ghazali dan K.H. Imam Zarkasyi) dalam perumusan pengertian hakikat pendidikan akhlak dan metode

Kedua, konsep ilmu ladunni menurut al-Ghazali adalah pengajaran Tuhan bagi jiwa yang bersih, sedangkan jiwa bersih adalah fitrah manusia.. Dalam konsep ilmu ladunni yang

Imam Al- Ghazali secara tersirat dalam kitab Ihya Ulumuddin telah menggagas konsep tentang hubungan kausalitas ilmu teoritis dengan daya jiwa (dzauq) dalam

Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), Cet II. Plessner, “Al - Zarnuji” dalam

Dengan adanya beberapa sifat yang harus dimiliki dari seorang pendidik ataupun dari seorang peserta didik yang sudah dijelas- kan oleh Imam Al-Ghazali maka akan tercipta

Al-Ghazali sebagai seorang tokoh yang sangat berpengaruh besar dalam dunia Islam memiliki pemikiran- pemikirannya dalam bidang-bidang tertentu, sehingga banyak para

Pertama, Seorang murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak yang buruk dan sifat-sifat tercela dalam hal ini Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu adalah ibadahnya

Ajaran moderasi tersebut berasal darii nasehat-nasehat imam al-Ghazali di dalam kitab Ayyuha al Walad Tesis: Muhammad Mahrus: Metode Penddikan Islam menurut Imam Al- Ghazali