• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS HADIS TENTANG JILBAB KAJIAN BUKU JILBAB PAKAIAN WANITA MUSLIMAH KARYA M. QURAISH SHIHAB SKRIPSI. Diajukan oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS HADIS TENTANG JILBAB KAJIAN BUKU JILBAB PAKAIAN WANITA MUSLIMAH KARYA M. QURAISH SHIHAB SKRIPSI. Diajukan oleh:"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS HADIS TENTANG JILBAB KAJIAN BUKU “JILBAB PAKAIAN WANITA MUSLIMAH”

KARYA M. QURAISH SHIHAB

SKRIPSI

Diajukan oleh: RAYANA NIM. 341002922

Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM, BANDA ACEH 2015 M/ 1437 H

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini Saya :

Nama : Rayana

NIM : 341002922

Jenjang : Strata Satu (S1)

Prodi : Ilmu Alquran dan Tafsir

Menyatakan bahwa Naskah Skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya Saya sendiri kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.

Banda Aceh, 15 April 2016 Yang Menyatakan,

Rayana

NIM. 341002922

(3)

iii

RAYANA NIM. 341002922

Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir

(4)
(5)

v

ABSTRAK

Judul : Kualitas Hadis Tentang Jilbab Kajian Buku

“Jilbab Pakaian Wanita Muslimah” Karya M. Quraish Shihab

Nama : Rayana

NIM : 341002922

Tebal Skripsi : 72

Pembimbing I : Maizuddin, M.Ag Pembimbing II : Zulihafnani, M.A

Jilbab merupakan pakaian yang identik dengan wanita sebagai bentuk penghormatan, serta penghargaan dan penjagaan martabat. Jilbab adalah pakaian yang berfungsi sebagai alat untuk menutup aurat, dan fenomena tentang jilbab pun telah marak menjadi topik pembicaraan. Pada dasarnya ulama sepakat bahwa menutup aurat adalah wajib hukumnya bagi wanita yang sudah baligh, salah satunya adalah mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh. Dalam konteks pembicaraan mengenai aurat wanita, ada dua kelompok besar ulama yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sedangkan kelompok kedua mengecualikan wajah dan telapak tangan. akan tetapi kedua kelompok ulama tersebut berbeda pendapat dan menganggap hadis yang mereka jadikan pegangan tentang batasan aurat itu tidak sahih dan tidak dapat dijadikan hujjah. Sehingga melatar belakangi hal tersebut Quraish Shihab mengungkapkan kesimpulan bahwa ketetapan hukum tentang batasan yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat ẓanniya yakni dugaan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban dari persoalan pokok, yaitu apakah benar hadis yang diperselisihkan oleh kedua kelompok ulama tersebut tidak sahih. Untuk memperoleh jawaban tersebut peneliti menggunakan data primer dan data sekunder. Dan untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode takhrij, teori kesahihan hadis dan jarh wa ta’dil, yaitu metode untuk menguji kesahihan hadis, penelitian ini bersifat kajian kepustakaan (library research). Penulis hanya meneliti empat buah sampel hadis mengenai jilbab. Dari hasil penelitian diketahui bahwasanya dua

(6)

vi

hadis yang diteliti sanadnya berkualitas sahih dan hasan, dan dua lainnya berkualitas ḍa’īf. Sedangkan matannya semuanya berkualitas sahih. Dengan adanya dukungan dari jalur sanad yang lain yang lebih kuat dengan hadis yang sanadnya daif tersebut, maka naiklah satu tingkatan dari ḍa’īf menjadi hadis hasan lighayrih. Dapatlah disimpulkan, mayoritas hadis yang diteliti tentang jilbab dalam buku “jilbab pakaian wanita muslimah” karya Quraish Shihab berkualitas Maqbūl.

(7)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN A. TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada transliterasi Ali Audah* dengan

keterangan sebagai berikut:

Arab Transliterasi Arab Transliterasi

ا

Tidak disimbolkan

ط

T (dengan titik di bawah)

ب

B

ظ

Z (dengan titik di bawah)

ت

T

ع

ث

Th

غ

Gh

ج

J

ف

F

ح

H (dengan titik di bawah)

ق

Q

خ

Kh

ك

K

د

D

ل

L

ذ

Dh

م

M

ر

R

ن

N

ز

Z

و

W

س

S

ه

H

ش

Sy

ء

ص

S (dengan titik di bawah)

ي

Y

ض

D (dengan titik di bawah)

*Ali Audah, Konkordansi Qur’an, Panduan Dalam Mencari Ayat

(8)

viii

Catatan:

1. Vokal Tunggal

--- (fathah) = a misalnya, ثدح ditulis hadatha --- (kasrah) = i misalnya, ليق ditulis qila --- (dammah) = u misalnya, يور ditulis ruwiya 2. Vokal Rangkap

() (fathah dan ya) ي = ay, misalnya, رررريره ditulis

Hurayrah

() (fathah dan waw) = aw, misalnya, و ديحوت ditulis tawhid 3. Vokal Panjang (maddah)

() (fathah dan alif) ا = ā, (a dengan garis di atas) () (kasrah dan ya) ي = ī, (i dengan garis di atas) () (dammah dan waw) و = ū, (u dengan garis di atas) misalnya: (لوقعم ,قيفوت ,ناهرب) ditulis burhān, tawfiq, maq‘būl. 4. Ta’ Marbutah( )

Ta’ Marbutah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, transiliterasinya adalah (t), misalnya ) رلووا فرسلفلا)=

al-falsafat al-ūlā. Sementara ta’ marbūtah mati atau mendapat

harakat sukun, transiliterasinya adalah (h), misalnya: ررفاهت(

فرسلافلا , ريااوا لريلد ,

رلدوا هارنم

) ditulis Tahāfut al-Falāsifah, Dalīl

al-’ināyah, Manāhij al-Adillah 5. Syaddah (tasydid)

Syaddah yang dalam tulis Arab dilambangkan dengan lambang ( ّ ), dalam transiliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yakni yang sama dengan huruf yang mendapat syaddah, misalnya ) يملارسإ( ditulis islamiyyah.

6. Kata sandang dalam sistem tulisan arab dilambangkan dengan huruf لا transiliterasinya adalah al, misalnya: فنرلا, رشكلا

ditulis al-kasyf, al-nafs.

(9)

ix

Untuk hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata ditransliterasikan dengan (’), misalnya: ركئلام ditulis mala’ikah,

ئرج ditulis juz’ī. Adapun hamzah yang terletak di awal kata, tidak dilambangkan karena dalam bahasa Arab ia menjadi alif, misalnya: عارتخا ditulis ikhtirā‘

Modifikasi

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi, seperti Hasbi Ash Shiddieqy. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Mahmud Syaltut.

2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Damaskus, bukan Dimasyq; Kairo, bukan Qahirah dan sebagainya.

B. SINGKATAN

swt. = subhanahu wa ta‘ala

saw. = salallahu ‘alayhi wa sallam

cet. = cetakan H. = hijriah hlm. = halaman M. = masehi t.p. = tanpa penerbit t.th. = tanpa tahun

t.tp. = tanpa tempat penerbit

terj. = terjemahan

w. = wafat

(10)

x

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا الله مسب

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt yang telah memberikan hidayah dan karunia sehingga penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Salawat dan salam tak lupa penulis sanjungkan ke haribaan Nabi Muhammad saw yang telah berjasa besar membawa umat Islam dari alam Jahiliyah ke alam yang Islamiyah.

Skripsi ini berjudul “Kualitas Hadis Tentang Jilbab Kajian Buku “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah” Karya M. Quraish Shihab”. Skripsi ini disusun dengan tujuan melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.

Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis menghanturkan ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada: 1. Kedua orang tua penulis, yakni ayahanda, ibunda tersayang, dan

suami yang tercinta yang selalu memberi nasehat, dukungan moril dan materil serta doa yang tidak dapat tergantikan oleh apapun di dunia ini. Juga segenap anggota keluarga yang tiada henti-hentinya memberi penulis dorongan moral dan tulus mendoakan penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Dr. Lukman Hakim, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

3. Bapak Maizuddin, M.Ag, sebagai pembimbing utama dan Ibu Zulihafnani, M.Ag sebagai pembimbing kedua yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

4. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak dosen, dan segenap Civitas Akademika Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

(11)

xi

Selain itu, ucapan terima kasih juga kepada karyawan/karyawati pustaka UIN ar-Raniry, pustaka Pasca Sarjana UIN ar-Raniry, pustaka Ushuluddin dan Filsafat, pustaka Baiturrahman dan pustaka Wilayah, yang telah melayani penulis dalam memperoleh bahan rujukan untuk menyiapkan skripsi ini, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Kepada semua teman-teman mahasiswa UTH 2010 khususnya yang sekelas yang selalu bersama-sama susah senang selama ini.

Akhirnya penulis hanya dapat berharap semoga kebaikan dan jasa-jasa semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini mendapat berkah dan ridha Allah swt serta penulis berharap agar Allah swt selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak di manapun berada.

Wassalam, 15 April 2016 Penulis,

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

LEMBARAN PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

PEDOMAN TRANLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Penelitian... 6

D. Kajian Pustaka... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II: KRITERIA KESAHIHAN HADIS ... 11

A. Kriteria Kesahihan Sanad ... 11

1. Pengertian Sanad ... 11

2. Kriteria Kesahihan Sanad ... 12

B. Kriteria Kesahihan Matan ... 16

1. Pengertian Matan ... 16

2. Kriteria Kesahihan Matan ... 17

BAB III: KUALITAS HADIS TENTANG JILBAB ... 22

A. Hadis tentang Seluruh Tubuh Perempuan Merupakan Urat ... 23

1. Hadis tentang (Tubuh) Perempuan Merupakan Aurat ... 23

2. Hadis tentang Cadar ... 33

B. Hadis tentang Batasan Aurat Perempuan ... 39

1. Hadis tentang Tangan dan Wajah Bukan Aurat 40

2. Hadis tentang Wajah Bukan Aurat ... 48

(13)

xiii

BAB IV: PENUTUP ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 69

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

Jilbab merupakan pakaian yang identik dengan wanita sebagai bentuk penghormatan, serta penghargaan dan penjagaan martabat terhadap kaum perempuan. Allah juga mengharamkan perempuan untuk membuka kerudungnya dan berhias secara berlebihan, tujuannya adalah untuk menghindari kejahatan seksual atau bahkan tindakan kriminallainnya dan sekaligus untuk menjaga martabat sebagai seorang wanita muslimah. Jilbab adalah pakaian yang berfungsi sebagai alat untuk menutup aurat. Jilbab bukanlah ikatan bagi perempuan, bukan pula tradisi kuno atau bukti dari keterbelakangan, seperti yang dituduhkan oleh kalangan liberalis penentang prinsip-prinsip moral, kemanusiaan, dan kaum perempuan.

Fenomena tentang jilbab telah menjadi topik pembicaraan semua kalangan di dunia, baik dikalangan ilmiah, politisi, maupun masyarakat awam. Globalisasi dalam berbagai bidang yang terjadi dewasa ini telah banyak menyisakan masalah, termasuk polemik seputar jilbab. Pro dan kontra mulai muncul pada berbagai tatanan dan kalangan. Alih polemik menjadi tragedi yang tidak dapat dihindari. Tetapi di balik itu semua, walaupun diskriminasi dan pelecehan kerap menimpa pemakai jilbab, tetap saja keberadaan jilbab tidak dapat digantikan dengan alternatif kostum yang lain.1Alquran dan hadis sebagai sumber normatif agama Islam juga menegaskan hal tersebut, sebagaimana firman Allah dalam Alquran

1Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mendudukkan Polemik

(15)

2

yang berbicara tentang hijab dalam surat al Ahzab ayat 59 yang berbunyi:













































Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat di atas adalah salah satu ayat yang memerintahkan kewajiban hijab bagi perempuan. Sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka yang muslim dengan wanita jahiliyah pada umumnya terlihat sama, sehingga tidak terlihat perbedaan diantara wanita-wanita tersebut. Karena itu lelaki usil sering kali mengganggu wanita-wanita, yang mereka ketahui atau diduga sebagai hamba sahaya. Maka dari itu Allah dengan tegas memerintahkan para wanita muslim untuk memakai jilbab agar terhindar dari gangguan tersebut serta menampakkan kehormatan wanita muslimah..

Rasulullah saw juga bersabda tentang penegasan penutupan aurat didalam shalat, sebagaimana sabda beliau:

َةَداَتَق ْنَع ٌداَّمَح اَنَثَّدَح ٍلاَهْنِم ُنْب ُجاَّجَح اَنَثَّدَح ىَّنَثُمْلا ُنْب ُدَّمَحُم اَنَثَّدَح

ِتْنِب َةَّيِفَص ْنَع َنيِريِس ِنْب ِدَّمَحُم ْنَع

ِّيِبَّنلا ْنَعَةَشِئاَع ْنَع ِثِراَحْلا

(16)

3

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-mutsanna, telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal, telah menceritakan Hammad dari Qatādah dari Muhammad bin Sirīn dari Ṣafiyyah binti Al-Hārits dari Āisyah r.a ia berkata: Nabi saw bersabda: “Allah SWT tiada menerima shalat orang perempuan yang telah sampai umur, melainkan dengan berkhimar (menutup kepala dan leher).2

Pada dasarnya ulama sepakat bahwa menutup aurat adalah wajib hukumnya bagi wanita yang sudah baligh, salah satunya adalah mengulurkan jilbab keseluruh tubuh. Hal ini berdasarkan perintah Allah dalam surat al-Ahzab ayat 59. Namun ada sebagian ulama yang masih kontroversi tentang kewajiban memakai jilbab. Ada yang menganggap sebagai perintah Allah melalui ayat Alquran dan disampaikan oleh Nabi Muhammad saw melalui sabdanya dan sebagian yang lain jilbab itu bukan kewajiban agama, akan tetapi hanya sebagai mawas diri untuk menjaga kehormatannya.

Secara garis besar, dalam konteks pembicaraan mengenai aurat perempuan, ada dua kelompok besar ulama masa lampau, yakni kelompok pertama menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sedang kelompok kedua mengecualikan wajah dan telapak tangan.3 Akan tetapi kedua pendapat tersebut tidak terlepas dari dalil-dalil yang mendukung bahwa menutup aurat adalah perintah Allah dan wajib hukumnya. Maksudnya kedua kelompok ulama tersebut menjadikan dalil Alquran dan sabda Nabi sebagai pegangan dasar bahwa menggunakan jilbab adalah perintah Allah, akan tetapi kedua kelompok ulama tersebut hanya berbeda pendapat mengenai batasan menggunakan jilbab.

Quraish Shihab berpendapat mengenai jilbab, atau yang lumrah dipahami oleh masyarakat pada umumnya adalah kerudung. Dalam bukunya tentang Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Quraish

2Sulaiman Ibn Al-Asha’at ibn Ishaq al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Jil. I (Beirut: Dar al-Fikr,1994),108

3 M.Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati,2004 ), 52.

(17)

4

Shihab mengungkapkan perbedaan pendapat ulama mengenai batasan-batasan aurat yang harus ditutupi. Diantaranya, kelompok yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat tanpa pengecualian berdasarkan hadis-hadis yang dianggap sahih, kemudian dibantah oleh kelompok ulama yang berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan, begitupun sebaliknya.

Mereka saling berbeda pendapat dan menganggap hadis yang dijadikan sebagai pegangan tentang batasan aurat itu tidak sahih, dan tidak dapat dijadikan hujjah. Sehingga Quraish Shihab memberi kesimpulan dalam bukunya“Hal ini menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batasan yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat ẓanniya yakni dugaan. Memang harus diakui bahwa kebanyakan ulama masa lampau bahkan hingga kini, cenderung berpendapat bahwa aurat wanita mencakup seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangannya”. Penulis tertarik untuk meneliti apakah hadis yang terdapat dalam buku beliau benar tidak sahih sehingga beliau dengan leluasa mengambil keputusan dari perdebatan kedua kelompok ulama tersebut di atas. Sahih atau tidaknya sebuah hadis hanya akan terungkap setelah diteliti bagaimana keadaan sanad dan matannya. Hadis dapat dikatakan sahih apabila memenuhi kriteria hadis sahih begitupun sebaliknya. Padahal para ulama tersebut hanya memperdebatkan masalah seputar batasan aurat, dan para ulama tetap berpegang pada dalil dalam Alquran bahwa Allah memerintahkan kaum wanita mengulurkan jilbabnya. Akan tetapi, harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang melonggarkan di samping kenyataan menunjukkan bahwa banyak kalangan ulama terpandang yang anak maupun istri tidak mengenakan jilbab. Di Indonesia misalnya sebagian dari Muslimat Nahdhatul Ulama, tentu saja para ulama organisasi Islam yang terbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu, apalagi tanpa teguran dari para ulama, boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa

(18)

5

yang terpenting dari pakaian wanita muslimah adalah menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil.”4

Fokus dalam karya tulis ilmiah ini bukan terletak pada pemahaman M. Quraish Shihab tentang batasan aurat akan tetapi penulis sangat tertarik untuk meneliti bagaimanakah kualitas sanad dan matan hadis tersebut. Apakah benar semua hadis yang diperselisihkan oleh kedua kelompok ulama tersebut tidak sahih. Penulis meneliti meneliti hadis tersebut agar tidak ada kesalah pahaman terhadap perintah Allah mengenai jilbab serta menambah wawasan ilmu pengetahuan. Bahkan ada sebagian kelompok yang mengatakan bahwa hadis tersebut hanya menegaskan untuk wanita pada masa Rasulullah saja. Wallahua’lam. Bukan berarti kaum wanita pada jaman sekarang boleh tidak memakai jilbab, hadis hanya sebagai penguat ayat Alquran sehingga manusia tetap berpedoman pada Alquran dan hadis. Di dalam buku beliau terdapat delapan hadis tentang dalil mengenai jilbab, akan tetapi hanya empat hadis saja yang akan diteliti sebagai sampel.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas maka, yang menjadi permasalahan pokok penelitian ini ialah, beberapa hadis yang di ungkapkan dalam buku beliau yang menyatakan bahwa tidak ada hadis yang secara jelas menegaskan bahwa menutup aurat adalah suatu kewajiban bagi para wanita muslimah, sehingga muncul berbagai macam pemahaman baru mengenai jilbab salah satunya Quraish Shihab, padahal perbedaan pendapat itu adalah hal yang wajar selama tidak melenceng dari perintah Allah, para ulama tersebut hanya

(19)

6

berselisih pada batasan aurat saja, akan tetapi mereka tetap mengakui bahwa menutup aurat adalah perintah Allah dan wajib hukumnya. Maka dari itu rumusan dari masalah diatas adalah:

1. Bagaimana kualitas sanad hadis dalam buku “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah” karangan Quraish Shihab? 2. Bagaimana kualitas matan hadis dalam buku “Jilbab

Pakaian Wanita Muslimah” karangan Quraish Shihab? C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan ini adalah

1. Untuk membuktikan bagaimana validitas sanad hadis tentang jilbab dalam buku karya Quraish Shihab.

2. Membuktikan bagaimana validitas matan hadis tentang jilbab dalam buku karya Quraish Shihab.

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah keilmuan, terutama dalam bidang ilmu hadis. Dapat memperkaya wawasan serta bisa menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.

D. Kajian Pustaka

Perlu diketahui bahwa, hampir semua para ulama sepakat bahwa menutup aurat hukumnya adalah wajib, namun masih ada perbedaan pendapat tentang batasan batasan aurat yang harus ditutupi, para ulama serta para ilmuan pun telah melakukan penelaahan ulang dan selanjutnya memberikan beranekaragam pendapat terhadap permasalahan jilbab. Sejauh penulis melakukan penelitian dari berbagai sumber, penulis menemukan beberapa buku yang berbicara seputar jilbab diantaranya yaitu:

Muhammad Nashiruddin al-Albani, Mendudukkan Polemik Berjilbab, buku ini merupakan buku yang membahas tentang

(20)

7

bantahan-bantahan hadis dan ayat Alquran yang di ragukan oleh banyak kalangan, kemudian memberikan penyelesaian yang menemukan titik terang. Sehingga siapapun yang membacanya

tidak akan muncul pemahaman baru.5

Buku lain adalah karya, Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita. Buku ini membahas tentang ilmu dan hukum-hukum mendasar dalam agama bagi perempuan, karena fakta dilapangan membuktikan masih sangat banyak perempuan yang tidak mengerti tentang fikih yang seharusnya diketahui.6

Sejauh ini, selain dari buku yang tersebut di atas, penulis belum menemukan buku yang secara khusus meneliti tentang kualitas hadis tentang jilbab yang diperselisihkan oleh ulama. Sebagaimana diketahui, kualitas suatu hadis tergantung pada kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang hadis itu, tulisan ini dikhususkan untuk mengkaji dan meneliti kualitas beberapa hadis yang dijadikan landasan utama tentang ketentuan batasan-batasan aurat menurut ulama yang berkaitan dengan jilbab dalam buku Quraish Shihab.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian

kepustakaan (Library Researh) dalam mengkaji serta

mengumpulkan data dari buku, dan bahan bacaan yang berkenaan dengan permasalahan yang sesuai dengan penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data terbagi kepada dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah berupa kitab-kitab hadis dan syarahnya. Diantara kitab-kitab yang menjadi rujukan penulis yaitu kitab Sahih al-Bukhāri, Sahih al-Muslim, Sunan Abū Dāud,

5Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mendudukkan Polemik

Berjilbab..., 31.

6 Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita,(terj.) Maturi Irham, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 1.

(21)

8

Sunan al-Tirmidhi, Sunan al-Nassā’i, Sunan Ibn Mājah dan Sunan Aḥmād ibn Hanbal dalam Musnad Imam Aḥmād. Sedangkan sumber sekunder adalah bahan yang dipetik dari kitab syarah hadis, buku-buku ilmiah, majalah dan buku-buku serta kitab lainnya yang mempunyai relevansi (muhasabah) dengan hadis atau materi pembahasan dalam skripsi yang akan penulis susun.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan melakukan takhrij yaitu dengan cara melacak keberadaan hadis pada sumber aslinya dengan menggunakan kamus Mu’jam Mufahras Li Alfaz Hadith Nabawi karya A.J Wensink, dan bantuan dari CD Maktabah al-Syamilah. Misalnya seperti melalui kata اهفرشتسا dengan kata dasar فرش, setelah ditemukan data lengkap dari hadis, kemudian merujuk pada kitab induk seperti Sahih al-Bukhāri, Sahih al-Muslim, Sunan Abū Dāud, Sunan al-Tirmidhi, Sunan al-Nassā’i, Sunan Ibn Mājah dan Sunan Aḥmād ibn Hanbal dalam Musnad Imam Aḥmād.

4. Analisis Data

Dalam analisis data, penulis menggunakan metode takhrīj yaitu sebuah metode pengujian kesahihan hadis, dengan menggunakan teori kesahihan hadis (Ittiṣal sanad, adil, dabit, tidak syadh dan tidak ber-illat). penggunaan metode takhrij ini bertujuan untuk mengembalikan hadis pada asal muasal untuk menentukan kesahihannya, juga untuk mengetahui asal-usul riwayat yang akan diteliti, mengetahui pula seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti, serta mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi’ bagi sanad hadis yang akan diteliti. Dalam menganalisis matan, penulis mengumpulkan hadis-hadis yang senada yang diriwayatkan dengan jalur sanad yang lain yang lebih kuat, kemudian membandingkan dengan hadis yang di-takhrij untuk melihat bertentangan atau tidaknya hadis yang di-takhrij dengan hadis-hadis yang diriwayatkan dengan jalur sanad lain yang lebih kuat.7

(22)

9

Takhrīj Ḥadīth merupakan bagian dari kegiatan penelitian hadis. Suatu hadis yang sebelumnya tidak diketahui keadaannya atau kualitasnya sehingga seolah-olah dianggap tidak ada, maka dengan takhrij, yaitu penyebutan sanadnya secara bersambung sampai kepada yang mengucapkannya, hadis tersebut akan menjadi jelas eksistensinya dan akan diketahui kualitasnya sehingga dapat diamalkan. Atau dengan bahasa lain, Takhrīj Ḥadīth menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian dijelaskan kualitas hadis yang

bersangkutan.8Dalam penulisan skripsi ini penulis hanya

menggunakan metode takhrij untuk menelusuri hadis ke sumber aslinya melalui potongan lafaz-lafaz hadis yang terdapat dalam matan hadis untuk ditelusuri pada kitab mana saja hadis itu di dapatkan. Dan menelaah serta mencatat data-data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti baik berupa buku, kitab dan sebagainya. Dengan menggunakan kitab kamus hadis Mu’jam al-Mufahras Li-Alfaẓ al-Ḥadīth al-Nabawi karangan A.J. Wensinck dan menggunakan Maktabah Syamilah.

Untuk kepentingan memastikan kualitas kapasitas rawi di gunakan ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahashal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya, tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi, Keaiban seorang rawi, Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam saja, yakni:9

1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, di luar ketentuan syari’at)

2. Mukhalafah (berlainan dengan periwayatan orang yang lebih thiqah)

3. Ghalat (banyak kekeliruan dalam periwayatan) 4. Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal identitasnya) dan

5. Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak

(23)

10

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari empat bab, yaitu:

Bab I, pedahuluan sebagai pengantar umum tulisan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II, pembahasan dengan sub-sub bab: kriteria keshahihan sanad dan kriteria keshahihan matan .

Bab III, membahas tentang hasil penelitian hadis. Menjelaskan kualitas hadis-hadis yang menjadi kajian dalam buku.

Bab IV, ini merupakan bab penutup, sebagai rumusan kesimpulan hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dikemukan di atas, sekaligus menjadi jawaban atas pokok masalah yang telah dirumuskan, kemudian dilengkapi saran-saran sebagai rekomendasi yang berkembang dengan penelitian ini.

(24)

11

BAB II

KRITERIA KESHAHIHAN HADIS

A. Kriteria Kesahihan Sanad 1. Pengertian Sanad

Sanad menurut bahasa berarti al-mu’tamad (دمتعملا), yaitu yang dipegangi (yang kuat) / yang bisa dijadikan pegangan.1 Secara istilah, dalam ilmu hadis sanad berarti jajaran orang-orang yang menyampaikan seseorang kepada matan hadis atau silsilah urutan orang-orang yang membawa hadis dari Rasul, sahabat, tabiin, tabi’ at tabi’in, dan seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadis tersebut. Dinamakan sanad karena merupakan pegangan bagi para penghafal hadis (huffaz) dan peneliti untuk menilai kebenaran suatu hadis.2

Dari definisi ini dapat disimpulkan sanad adalah rangkaian yang menyampaikan seseorang kepada matan hadis. Rangkaian itu adalah orang-orang yang saling menghubungkan dan saling

menyandarkan informasi yang dibawanya atau yang

disampaikannya kepada yang lainnya, sehingga hal itu membentuk mata rantai. Karena ia berkedudukan sebagai mata rantai, maka sanad tidak dapat diterima jika terputus.3

Dalam bidang Ilmu Hadis, sanad merupakan salah satu neraca yang menimbang atau menentukan sebuah hadis itu sahih atau ḍa’ī. Andaikata salah seorang di antara sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttaṣil), maka hadis tersebut disebut ḍa’īf sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Demikian sebaliknya jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan memiliki daya ingat yang kuat,

(25)

12

sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat yang lain hingga sampai kepada sumber berita pertama, maka hadisnya sahih.4

Hadis tidak mungkin terjadi tanpa sanad karena mayoritas hadis pada masa Nabi tidak tertulis sebagaimana Alquran yang diterima secara individu (ahad) tidak secara mutawatir. Sanad hadis merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kajian sanad hadis menjadi penting, pertama, pada zaman Nabi Muhammad saw tidak seluruh hadis tertulis; kedua, sesudah zaman Nabi Muhammad saw sering terjadi pemalsuan hadis; ketiga, pen-tadwin-an hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis. Hadis hanya disampaikan dan diriwayatkan secara ingat-ingatan dan hapalan para sahabat yang handal. Di samping hiruk pikuk para pemalsu hadis yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, tidak semua hadis dapat diterima oleh para ulama kecuali telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, di antaranya sanad yang dapat dipertanggung jawabkan kesahihannya.5

2. Kriteria Kesahihan Sanad

Untuk meneliti hadis, diperlukan sebuah acuan. Acuan yang digunakan adalah kaidah kesahihan hadis, bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawātir. Kaidah kesahihan hadis yang telah dirumuskan oleh ulama dan berlaku sampai sekarang telah muncul benih-benihnya pada zaman Nabi saw dan sahabat Nabi. Bahkan Imam Syafi’ī (w. 204 H/820 M), al-Bukhārī, Imam Muslim, dan lain-lain telah memperjelas benih-benih kaidah itu dan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka riwayatkan.6

Status dan kualitas suatu hadis, dapat diterima atau ditolak, tergantung kepada sanad dan matan hadis tersebut. Apabila sanad suatu hadis telah memenuhi syarat-syarat dan kriteria tertentu, demikian juga matannya, maka hadis itu dapat diterima sebagai

(26)

13

dalil untuk melakukan sesuatu atau menetapkan hukum atas sesuatu. Akan tetapi, apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi, maka hadis tersebut ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah.7

Kualitas hadis yang dapat diterima sebagai hujjah adalah sahih dan hasan, dan keduanya disebut juga sebagai hadis maqbul yaitu hadis-hadis yang dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai dalil atau dasar penetapan suatu hukum. Para ahli hadis telah menyepakati bahwa untuk dinyatakan sahih (otentik), suatu hadis harus memenuhi lima kriteria yaitu:8

1. Sanadnya Bersambung

Adapun yang dimaksud dengan sanadnya bersambung adalah bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang berada di atasnya, dari awal sanad sampai akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagai sumber hadis tersebut. Dalam kaitannya dengan kesahihan sanad, suatu hadis dinyatakan bersambung sanad bilamana memenuhi kriteria,9 yaitu pertama, periwayat hadis yang terdapat dalam sanad hadis yang diteliti semua berkualitas siqat. kedua, masing-masing periwayat menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah disepakati oleh ulama, yang menunjukkan adanya pertemuan di antara guru dan murid. Ketiga, ada indikasi yang kuat perjumpaan antara mereka (al-liqa’). Ada tiga indikator yang menunjukkan pertemuan antara mereka: pertama, terjadi pertemuan guru dan murid yang dijelaskan oleh para penulis rijal al-hadith, dalam kitabnya; kedua, tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka atau dipastikan bersamaan (al-mu’aṣarah) paling tidak kesezamanan antara dua rawi berurutan; dan ketiga, mereka tinggal belajar atau mengabdi di tempat yang sama.

(27)

14

2. Perawinya Adil

Menurut pendapat ulama hadis, ada dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah keadilan yang berhubungan dengan kualitas pribadi dan ke dabit-an yang berhubungan dengan kapasitas intelektual. Untuk penelitian sanad hadis, penetapan keadilan seorang periwayat cukup sulit. Dinyatakan demikian, karena tidak seluruh kritikus hadis dapat secara langsung mengetahui kriteria yang dimiliki para periwayat yang akan diteiliti.10Sifat adil yang dimaksud adalah memenuhi kriteria Muslim, balig, berakal, taat beragama, tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak muru’ah-nya.

3. Perawinya Dabit

Ḍabit berarti perawi hadis harus memiliki ketelitian dalam menerima hadis, memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya. Atau mampu memelihara hadis yang ada dalam catatannya dari kekeliruan, atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya, yang dapat mengubah hadis tersebut.

Kalangan ulama berpendapat bahwa untuk menetapkan ke-ḍabit-an periwayat dapat dinyatakan sebagai berikut:11

a. Ke-ḍabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.

b. Ke-ḍabit-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kessesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-ḍabit-annya. c. Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami

kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang ḍabit.

(28)

15

Perilaku atau keadaan yang dapat merusak ke-ḍabit-an periwayat, sebagaimana disebutkan oleh al-Asqalani (w. 852 H./1449 M.) dan ‘Ali al-Qari (w. 1014 H), ada lima macam, yakni:

1. Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya dari pada benarnya.

2. Lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya.

3. Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan.

4. Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang thiqat.

5. Jelek hafalannya.

Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang memiliki sifat-sifat tersebut atau sebagainya, berkualitas lemah (ḍa’īf). Yang menjadi dasar penetapan ke-ḍabit-an periwayat. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Abu Zahrah bahwa periwayat yang paham dan hafal dinilai lebih kuat (rajih) dari pada periwayat yang sekadar hafal saja. Pandangan tersebut sangat rasional sebab seseorang yang hafal saja belum tentu paham atau sebaliknya seseorang yang paham belum tentu hafal. Seseorang yang hanya hafal atau hanya paham masing-masing memiliki satu kemampuan, sedangkan

seseorang yang hafal dan paham memiliki dua kemampuan.12

4. Tidak mengandung syadh

Tidak mengandung syadh artinya, hadis tersebut tidak menyalahi riwayat perawi yang lebih thiqat dari padanya.

5. Tidak memiliki ‘illat

Tidak memiliki ‘illat yaitu sesuatu yang sifatnya samar-samar atau tersembunyi yang dapat melemahkan hadis tersebut. Sepintas terlihat hadis tersebut sahih, namun apabila diteliti lebih

(29)

16

lanjut akan terlihat cacat yang merusak hadis tersebut. Kelima syarat hadis sahih tersebut merupakan tolak ukur untuk menetukan suatu hadis itu sebagai hadis sahih apabila syarat hadis itu dapat dipenuhi secara sempurna, maka hadis tersebut dinamai dengan hadis sahih lidzatihi.

Dari ke lima kriteria dalam otentikasi kesahihan hadis, hanya tiga kreteria yang berkaitan dengan sanad hadis, yaitu kebersambungan sanad, keadilan rawi, dan ke-ḍabit-an rawi, dan syarat selanjutnya berhubungan erat dengan matan hadis, yaitu hadisnya tidak syadh dan tidak terdapat padanya illat yang akan penulis bahas pada bagian selanjutnya.

Dari gambaran di atas terlihat bahwa sanad suatu hadis sangat berperan dalam menentukan kualitas hadis, yaitu dari segi dapatnya diterima sebagai dalil (maqbūl) atau tidak (mardūd). Karena begitu pentingnya peranan dan kedudukan sanad dalam menentukan kualitas suatu hadis, maka para ulama telah melakukan upaya-upaya untuk mengetahui secara jelas dan rinci mengenai keadaan masing-masing sanad hadis. Upaya dan kegiatan ini berwujud dalam bentuk penelitian hadis, khususnya dalam penelitian sanad hadis. Yaitu kitab-kitab yang disusun dan memuat tentang keadaan para perawi hadis, seperti data-data mereka, biografi mereka, dan keadaan serta sifat-sifat mereka.

B. Kriteria Keshahihan Matan 1. Pengertian Matan

Menurut bahasa, kata matan berasal dari bahasa Arab نتم artinya punggung jalan, (muka jalan),13 tanah yang tinggi dan keras. Matan menurut ilmu hadis adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad saw yang disebut sesudah sanad, matan hadis adalah isi hadis mengenai suatu peristiwa atau pernyataan yang disandarkan kepada Nabi saw Matan hadis terbagi tiga, yaitu ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi saw.14

(30)

17

Penelitian matan hadis termasuk kajian yang jarang

dilakukan oleh muhaddithin, jika dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadap penelitian sanad hadis. Tindakan tersebut bukan tanpa alasan, menurut mereka bagaimana mungkin dikatakan hadis Nabi kalau tidak ada silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad saw). Kalimat yang baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sanad hadis yang baik, kalau matannya tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

2. Kriteria Kesahihan Matan

Ada tiga alasan mengapa penelitian matan hadis sangat diperlukan, yakni; 1) keadaan matan hadis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad; 2) dalam periwayatan matan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna; dan 3) dari segi kandungan hadis, penelitian matan sering juga memerlukan penggunaan pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.

Sebagaimana dikemukakan pada pembahasan tentang kriteria sanad di atas bahwa kriteria kesahihan hadis yang keempat dan kelima, yaitu bebas dari syadh dan ‘illat merupakan bagian dari kriteria kesahihan sanad dan kriteria kesahihan matan. kriteria keotentikan matan hadis lebih tertuju pada substansi makna yang dilihat dari sudut tingkat koherensinya dengan makna dasar yang telah diterima dalam ajaran Islam. kritik matan hadis merupakan salah satu bentuk upaya meneliti kandungan atau matan suatu hadis. Sebuah hadis yang sudah dinyatakan lemah dari segi sanadnya, maka upaya terhadap penelitian matan tidak lagi menjadi kewajiban, karena hadis tersebut tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah.15

(31)

18

penelitian matan hadis tidak mudah dilakukan. Faktor penyebab kesulitan dalam meneliti matan hadis antara lain:

a. Faktor periwayatan hadis terbesar secara makna.

b. Acuan pendekatannya sangat beragam terutama dipengaruhi oleh disiplin keahlian kritikusnya, seperti acuan muhaddithin yang mentolerir data ziyādah redaksi matan oleh orang yang thiqat, disikapi beda oleh fuqaha yang reaktif terhadap gejala ziyādah ‘alā al-naṣ.

c. Latar belakang proses kejadian hadis tidak selamanya mudah diketahui, terutama menyangkut model pemaparan naratif yang mengurut secara singkron kejadian yang dilaporkan dalam redaksi matan yang di mulai dari sebuah situasi dan disudahi dengan ujung situasi akhirnya.

d. Kandungan substansi matan hadis berkait dengan deskripsi hal-hal yang berdimensi supra rasional.

e. Dan yang terakhir yaitu referensi yang komprehensif menyajikan kaidah kritik matan masih sedikit.16

Kriteria kesahihan matan hadis menurut muhaddithin tampaknya beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan, serta masyarakat yang dihadapi oleh mereka. Salah satu versi tentang kriteria kesahihan matan hadis adalah seperti yang dikemukakan oleh al-Khatib al-Bagdadi (w. 463 H/1072 M) bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbūl (diterima) sebagai matan hadis yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:17

a. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

b. Tidak bertentangan dengan hukum Alquran yang telah muhkam (ketentuan hukum yang tetap).

c. Tidak bertentangan dengan hadis mutawātir.

d. Tidak bertentangan dengan amal yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu.

e. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.

f. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.

(32)

19

Tolak ukur yang dikemukakan di atas, hendaknya tidak ada satupun matan hadis yang bertentangan dengannya. Sekiranya ada, maka matan hadis tersebut tidak dapat dikatakan matan hadis yang sahih. Butir-butir tolok ukur yang dikemukakan oleh al-Baghdadi itu terlihat ada yang tumpah tindih. Misalnya, bahasa sejarah dan lain-lain yang oleh sebagian ulama disebutkan sebagai tolok ukur juga, oleh al-Baghdadi tidak disebutkan. Misalnya menurut jumhur ulama hadis, tolok ukur atau tanda-tanda matan hadis yang palsu itu adalah:18

a. Susunan bahasanya rancu. Rasulullah yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas, mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu tersebut. b. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal yang

sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional.

c. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan

sunnatullah (hukum alam).

d. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam; misalnya saja berisi ajakan untuk berbuata maksiat.

e. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan fakta sejarah.

f. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk Alquran ataupun hadis mutawātir yang telah mengandung petunjuk secara pasti.

g. Kandungan pernyataannya berada diluar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam; misalnya amalan tertentu yang menurut petunjuk umum ajaran Islam dinyatakan sebagai amalan yang “tidak seberapa” tetapi di iming-iming dengan balasan pahala yang sangat luar biasa.

Menanggapi berbagai pendapat ulama hadis di atas, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan penelitian matan, yakni bahwa:

a. Sebagian hadis Nabi berisi petunjuk yang bersifat targib (hal yang memberikan harapan) dan tarhib (hal yang

(33)

20

memberikan ancaman) dengan maksud untuk mendorong umatnya gemar melakukan amal kebajikan tertentu dan berusaha menjauhi apa yang dilarang oleh agama.

b. Dalam bersabda, Nabi menggunakan pernyataan atau ungkapan yang sesuai dengan kadar intelektual dan keislaman orang yang diajak berbicara, walaupun secara umum apa yang dinyatakan oleh Nabi berlaku untuk semua umat beliau.

c. Terjadinya hadis, ada yang didahului oleh suatu peristiwa yang menjadi sebab lahirnya hadis tersebut (asbāb al-wurūd).

d. Sebagian dari hadis nabi ada yang mansukh (terhapus masa berlakunya).

e. Menurut petunjuk Alquran (misalnya QS. Al-kahfi [18]: 110), Nabi selain Rasulullah juga manusia biasa. Dengan demikian, ada hadis yang erat kaitannya dengan kedudukan beliau sebagai individu, pemimpin masyarakat, dan pemimpin Negara.

f. Sebagian hadis Nabi ada yang berisi hukum (dikenal dengan sebutan hadis ahkam) dan ada yang berisi himbauan dan dorongan demi kebajikan hidup di dunia (dikenal dengan sebutan hadis irsyad).19

Dengan demikian, meskipun unsur-unsur pokok kaidah kesahihan matan hadis hanya dua macam saja, terhindar dari kejanggalan dan cacat, namun aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pendekatan dan tolok ukur yang cukup banyak sesuai dengan keadaan matan yang diteliti.

Menurut ulama hadis, dua bagian riwayat hadis itu sama-sama pentingnya, hanya saja penelitian matan barulah mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah jelas-jelas memenuhi syarat. Setiap matan harus memiliki sanad yang sahih atau minimal tidak termasuk berat keḍa’īfannya. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan tidak dapat dikatakan berasal dari Rasulullah atau matan yang sanadnya sangat ḍa’īf tidak perlu

(34)

21

diteliti sebab hasilnya tidak akan memberi manfaat bagi kehujjahan hadis yang bersangkutan.

Menurut ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas sahih apabila sanad dan matan hadis sama-sama berkualitas sahih. Dengan demikian hadis yang sanadnya sahih dan matannya tidak sahih, atau sebaliknya, sanadnya ḍa’īf dan matannya sahih, tidak dinyatakan sebagai hadis sahih. Suatu hadis yang sanadnya sahih dengan tingkat akurasinya yang tinggi mestinya matannya juga sahih. Kesahihan sanad hadis menunjukkan kesahihan suatu hadis Nabi.20

Mengetahui kualitas sebuah hadis adalah sangat penting, karena hal tersebut berhubungan dengan kehujjahan hadis yang dimaksud. Untuk melihat suatu hadis itu dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana kriteria-kriteria sebuah hadis itu dapat dikatakan sahih, baik dari segi matan maupun sanad hadis tersebut. Karena hadis merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Alquran, apabila syarat-syarat suatu hadis untuk dapat dijadikan hujjah tidak terpenuhi, akan menyebabkan terjadinya kekeliruan ketidak benaran suatu hukum yang sebenarnya bukan berasal dari Nabi saw.

(35)

22

BAB III

KUALITAS HADIS TENTANG JILBAB

Mayoritas umat Islam mengakui bahwa rambut merupakan bagian aurat perempuan yang tidak boleh diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan mahramnya. Hal ini didasarkan pada beberapa hadis yang diyakini sebagai keterangan yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad (maqbūl). Namun di sisi lain M. Quraish Shihab, salah seorang mufassir terkemuka di Indonesia, menganggap bahwa hadis yang selama ini di yakini sebagai landasan kewajiban menggunakan jilbab bagi perempuan merupakan hadis yang lemah (ḍa’īf), sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum Islam.1 Ia melihat ada beberapa rawiyang terlibat dalam periwayatan merupakan rawi yang lemah kridibilitasnya. Lalu benarkah hadis-hadis tentang kewajiban jilbab merupakan hadis yang tidak kuat?Untuk itu perlu dilakukan takhrij untuk mendapatkan kebenaran mengenai kualitas hadis-hadis tersebut.

Dalam sistematika penulisan hadis tentang jilbab, M. Quraish Shihab membagi hadis tentang kewajiban jilbab menjadi dua kelompok: Pertama, hadis yang menyatakan seluruh tubuh perempuan adalah aurat, menurut at-Tirmidhi, hadis tersebut bernilai hasan dalam arti perawinya memiliki sedikit kelemahan dalam ingatan dan gharib, tidak yakin diriwayatkan kecuali melalui seorang demi seorang. kemudian hadis tentang cadar, menurut pendapat beliau hadis ini di nilai ḍa’īf oleh penganut paham yang mengecualikan wajah dan tangan, karena dalam sanadnya ada seorang yang bernama Yazīd Ibn Abī Zīyad yang di nilai oleh banyak ulama sebagai perawi yang lemah. Kedua, hadis yang menyatakan wajah dan telapak tangan bukan aurat. Diantaranya hadis tentang tangan dan wajah bukan aurat, menurut beliau hadis di atas memiliki rentetan perawi yang menjadi bahasan panjang, serta tidak bisa diterima dan penolakan oleh ulama. Kemudian

(36)

23

hadis tentang wajah bukan aurat, menurut beliau wajah wanita Nampak atau tidak, atau selainnya itu terlarang dinampakkan atau di perolehkan, keduanya tidak ditemukan dalam redaksi hadis.Berikut penjelasan mengenai kualitas hadis tersebut.

A. Hadis tentang Seluruh Tubuh Perempuan Merupakan Aurat Mengenai hadis yang menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, M. Quraish Shihab memaparkan tiga hadis yang sering dijadikan landasan argumentasi bagi kelompok yang menyatakan bahwa seluruh badan perempuan adalah aurat, yaitu hadis tentang perempuan adalah aurat, keterangan ‘Āishah yang memakai penutup wajah (cadar) dihadapan lelaki yang bukan mahramnya, dan pelarangan perempuan memakai cadar ketika berihram. Dalam tulisan ini hanya diambil dua dari tiga hadis yang digugat kevaliditasannya oleh Shihab, karena dua hadis tersebut dianggap sudah bisa mewakili untuk menemukan jawaban bahwa apakah seluruh tubuh perempuan aurat atau tidak menurut hadis.

1. Hadis tentang (Tubuh) Perempuan Merupakan Aurat

Hadis tentang seluruh tubuh perempuan merupakan aurat ketika dilakukan pentakhrijan hadis dari kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīth al-Nabawi,melalui kata

اَهَفَرْشَتْسا

dengan kata dasar

َفَرش

,

diketahui terdapatsatuperiwayatan dalam Sunan Tirmidhī melalui satu riwayat dalam kitab rida’, bab setan bermaksud buruk (istishrāf) pada perempuan ketika keluar (rumah), nomor 1173.2 Berikut teks hadis lengkap tersebut.

(37)

24

َةَداَتَق ْنَع ٌماَّمَه اَنَثَّدَح ٍمِصاَع ُنْب وُرْمَع اَنَثَّدَح ٍراَّشَب ُنْب ُدَّمَحُم اَنَثَّدَح

ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِّيِبَّنلا ْنَعِهَّللا ِدْبَع ْنَع ِصَوْحَ ْلْا يِبَأ ْنَع ٍقِّرَوُم ْنَع

ْسا ْتَجَرَخ اَذِإَف ٌةَرْوَع ُةَأْرَمْلا َلاَق َمَّلَسَو

ُناَطْيَّشلا اَهَفَرْشَت

Muhammad bin Bashshar menceritakan kepada kami, Amr bin ‘Āṣīm menceritakan kepada kami, Hammam menceritakan kepada kami dari Qatādah dari Muwarriq dari Abū al-Aḥwaṣ dari Abdullah dari nabi saw berkata, “Perempuan adalah aurat, maka apabila dia keluar (rumah), maka setan membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya”.

Langkah selanjutnya ialah melakukan i’tibar sanad terhadap hadis tersebut. I’tibar sanad ialah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, agar dapat diketahui ada tidaknya periwayat yang lain untuk sanad hadis yang dimaksud.4Tujuan kegiatan I’tibar sanad adalah agar terlihat jengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, nama-nama periwayatnya dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Berikut i’tibar sanad hadis tentang perempuan adalah aurat.

7Abu Isa Muhammad ibn Musa al-Dahha al-Sulmani al-Tirmidhi, Sunan

(38)

25

نع

نع

نع

نع

نع

انثدح

انثدح

انثدح

Abū Aḥwaṣ Abdullah bin Mas’ud

Muwarriq

Qatādah

Hammām

Amr bin Āṣim

Muhammad bin Bashar

Tirmidhī Nabi Muhammad

(39)

26

Dari skema sanad hadis di atas diketahui bahwa masing-masing tingkatan hadis hanya memiliki satu orang periwayat. Ini menunjukkanbahwa hadis tentang suara perempuan adalah aurat, tidak memiliki syāhid maupun muttabi`.5 Hadis ini adalah hadis gharib disemua tingkatan.

Adapun lambang-lambang metode periwayatan yang dapat dicatat dari hadis tersebut adalah haddathana, qāla dan `an. Itu berarti terdapat perbedaan metode periwayatan yang digunakan oleh para periwayat dalam sanad hadis tersebut. Kata haddathana memiliki kualitas tertinggi sehingga validitasnya menjadi terjamin. Namun kata ‘an dan qāla membutuhkan keterangan lebih lanjut melalui penelusuran terhadap riwayat hidup mereka. Oleh karenanya, penelitian selanjutnya ialah tentang kualitas para rawi.

Adapun riwayat hidup para rawi di atas sebagai berikut: 1. Abdullah bin Mas’ud

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib bin Syamkh bin Makhzum. Wafat di Madinah pada tahun 32 H. Ia menetap di Kufah.

Adapun guru-gurunya adalah Nabi Muhammad saw, Sa’ad bin Muaz al-Aṣarī, Safwan bin ‘Assal al-Muradi dan Umar bin Khattab.6

Ia memiliki banyak sekali murid diantaranya adalah Ahnaf bin Qais, Aswad bin Yazid, Abū Aḥwaṣ, Ma’ruf bin Suwaid, Wail bin Muhanah, Abū Aswad, Abu ‘Iyas, Abu Rafi’, ‘Amr bin Huraits, Kurdus al-Kurfi, dan lainnya.7

Dalam hal ini penilain terhadap ‘Abdullah bin Mas’ud tidak dilakukan karena beliau adalah sahabat, dan tulisan ini mengikuti pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil (al-ṣahabah kulluhum ‘udul), semua sahabat dinilai

(40)

27

hadis dalam periwayatan hadis, yaitudalam artian mereka tidak

mungkin berdusta dalam meriwayatkan hadis nabi.8

Lambang periwayatan yang digunakan adalah ‘an yangmerupakan lambang periwayatan yang berkedudukan sama dengan anna, yaitu lambang periwayatan secara tidak langsung dalam proses tahammul wa ada’. Namun sebagian kritikus hadis mengungkapkan, periwayatan dengan menggunakan lambang ini dianggap bersambung kalau para rawi yang menggunakannya merupakan rawiyang thiqat. Karena Abdullah meruapakan seorang sahabat yang thiqat tanpa syarat, maka sanad antara dirinya dan Nabi Muhammad dinilai bersambung.

2. Abū Aḥwaṣ

Nama lengkapnya adalah ‘Aūf bin Malik bin Nadhlah al-Asyja’i. Ia juga dikenal dengan nama Abū Aḥwaṣ al-Kufi. Semasa hidupnya ia menetap di Kufah.

Ia pernah menerima hadis dari sejumlah sahabat, diantaranya adalah Abdullah bin Mas’ūd, Ali bin Abī Tālib, Abu Mas’ūd al-Anṣarī, Abū Mūsa al-Ash’arī dan Abū Hurayrah.

Adapun ulama yang pernah meriwayatkan hadis darinya adalah Ibrahim bin Muslim, Ibrahim bin Muhajir, Hasan Bashri, Muwarriq, Abdullah bin Abi Hudzail, Salamah bin Kuhail.9 Ibn Hibban menggolongkannya sebagai perawi yang thiqat, dan Abu Ishaq juga men-ta’dil-nya dengan lafaz thiqat.10 Lambang periwayatan yang digunaknnya adalah ‘an. Karena Abu Ahwas merupakan rawi yang thiqat, maka sanadnya dengan Abdullah dianggap bersambung.

3. Muwarriq

Nama lengkapnya adalah Muwarriq al-‘Ijlī. Ia merupakan orang Kufah dan menetap di Bashrah. Adapun ulama yang pernah

8 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al Hadis (Beirut: Dar al Fikr, 1989), 392.

9Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XIV..., 452.

(41)

28

menjadi gurunya dalam periwayatan hadis adalah Anas bin Mālik, Salmān al-Farisi, Abdullah bin Abbās, Umar bin Khattāb (ayahnya), Abū Aḥwaṣ al-kufi, Muhammad bin Sirrin, dan lainnya.

Diantara muridnya yang pernah meriwayatkan hadis darinya adalah Ismā’il bin Abū Khālid, ‘Āshim al-Aḥwal, ‘Aṭiyah bin Bahram, Qatadah, Mujahid bin Jabir, Muslim bin Muslim, dan lainnya.

Menurut Nasā’ī ia adalah perawiyang thiqat, demikian juga Ibn Hibban memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang yang thiqat. Selanjutnya ia juga menggunakan lambang periwayatan ‘an, namun karena ia dinilai sebagai perawi yang thiqat, maka sanadnya dengan Abū Aḥwās juga dinilai bersambung.

4. Qatādah

Nama lengkapnya adalah Qatādah bin Di’amah bin Qatādah bin Aziz bin Amr bin Rabiah bin Amr bin Haris bin Sadus. Ia lahir pada tahun 60 H dan wafat pada tahun 118 H. Semasa hidupnya ia menetap di Bashrah.

Ia memiliki sejumlah guru dalam periwayatan hadis, diantaranya adalah Anas bin Malik, Khalid bin ‘Urfuṭah, Salim bin Abī Ja’d, Said bin Abdurrahman, Muwarriq al-‘Ijli, Maymun Abi Talib, Yahya bin Ya’mar, dan masih banyak lainnya.

Di antara murid-muridnya adalah Ismail bin Muslim, Hammam bin Yahya, Ya’qub bin al-Qa’qa, Yusuf bin ‘Atiyah, Yunus al-Iskaf, Ma’mar bin Rashid, Musa bin Saib, Salim bin Hayyan dan lainnya.

Menurut Ishaq bin Manshur ia adalah perawiyang siqah, yang di-ta’dil dengan menggunakan lafaz siqah.11 Sama seperti rawi sebelum Qatadah juga menggunakan lambang periwayatan ‘an. Namun karena ia merupakan rawi yang thiqat maka sanadanya dinilai bersambung dengan Karena ‘Āishah seorang thiqat tanpa

11Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XV..., 232.

(42)

29

syarat, maka sanad antara dirinya dan Nabi Muhammad dinilai bersambung dengan Muwarriq.

5. Hammām

Nama lengkapnya adalah Hammām bin Yaḥya bin Dinar al-‘Audzi al-Muhalami. Wafat pada tahun 163 H. Ia menerima hadis dari banyak ulama, di antaranya adalah Annas bin Sirrin, Bakr bin

Wail, Tsabit al-Bunani, Qatādah bin Di’amah, Nāfī ’, Hisham bin ‘Urwah, Abū ‘Imrān al-Jauni, dan lainnya.12

Qatadah meriwayatkan hadis kepada banyak rawi hadis yang menjadi muridnya, diantaranya adalah Amr bin ‘Āṣim, Abdul Malik bin Ibrahim, Abu Said, Abu Ali al-Hanafi, Waqi’ bin Jarah, Daud bin Syabib dan lainnya.

Hammām merupakan seorang rawi yang thiqat, ini terlihat dari penilaian Ibn Hibban yang memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang thiqat. Demikian juga menurut Abu Hatim yang memberikan lafaz thiqat ṣudūq untuk menggambarkan kredibilitasnya dalam periwayatan hadis.13

Dari segi lafaz ‘an dalam menerima hadis tersebut dari Qatadah. Namun karena kedua rawi tersebut merupakan orang yang thiqat, maka sanad Hammām dan Qatādah dinilai bersambung.

6. Amru bin ‘Āṣim

Nama lengkapnya adalah ‘Amru bin ‘Āṣim bin ‘Ubaidillah bin al-Wazi’ al-Kilabi al-Qaisi. Ia wafat pada tahun 213 H.

Ia meriwayatkan hadis dari jumlah ulama, diantaranya adalah Harb bin Suraij, Hammad bin Salamah, Sulayman bin Mughirah, Hammām bin Yaḥya, Walid bin Marwan, Mu’tamar bin Sulaiman dan lainnya.14

12Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XIX..., 301.

13Ibid., 302.

14Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XIV..., 255.

(43)

30

Adapun perawi yang pernah menerima hadis darinya adalah Bukhāri, Ahmad bin Isḥāq, Isḥāq bin Manshur, Hasan bin Yaḥya al-Ruzi, ‘Abd bin Humaid, Ali bin Madani, Muhammad bin Ahmad, Muhammad bin Bassar Bundar, dan lainnya.

Menurut Muhammad bin Sa’id, ‘Amrū merupakan seorang rawiyang thiqat, Ibn Hibban memasukkannya ke dalam kelompok perawi yang thiqat. Sementara Nasā’ī memberikan lafaz laisa bihi ba’sa,15 yaitu lafaz ta’dil yang menunjukkan keadilan dan ke-dabit-an, tetapi tidak mengandung arti kuat ingatannya.16

Dari segi lambang periwayatan ia menggunakan lafaz haddathana, yaitu sighat pada metode al-Sima’. Metode ini merupakan metode yang paling tinggi kualitasnya dalam proes penerimaan dan periwayatan hadis, karena penerimaan dan periwayatan hadis terjadi secara langsung. Oleh karena sanad Amar bin Āṣim dinilai bersambung dengan sanad Hammam.

7. Muhammad bin Bashshar

Namanya lengkap Muhammad bin Bashshar bin Usman bin Dāud bin Kaisan al-Abdi. Wafat pada tahun 252 H. Ia meriwayatkan hadis dari banyak guru, diantaranya adalah Amru bin ‘Āṣim al-Kilabī, Harmi bin ‘Umarah, Hammad bin Mas’adah, Salim bin Nuh, Abdullah bin Humran, Sahl bin Yusuf, Abdullah bin Humran.17 Diantara murid-muridnya adalah Jamaah (para perawi kitab hadis primer), Nasā’ī, Muhammad bin Musayyab, Abu Bakr Abdullah bin Abū Dāud, al-Tumudhī, Hasan bin Ali bin Nashr, Ibrāhīm bin Isḥāq al-Harbi, Ishab bin Abū Imran, dan lainnya.18

15Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XIV..., 258.

16Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Yogyakarta: al-Ma’arif, 1997), 315.

17Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XVII..., 132-133.

18Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XVII..., 133.

(44)

31

Para ulama memberikan berbagai lafaz untuk menunjukkan kredibilitasan Muhammad bin Bassar dalam periwayatan hadis, seperti al-‘Ijli memberikan lafaz thiqat, Abū Hatim menilainya dengan lafaz ṣudūq, sedangkan Nasā’ī memberikan lafaz ṣāliḥ dan la ba’sa bih.19 Ketiga sighat tersebut menunjukkan Muhammad bin Bashshar merupakan rawi yang adil, namun kurang kuat ingatannya. Walaupun kurang dalam daya ingatannya ulama sepakat bahwa hadisnya dapat diterima.

Lambang periwayatan yang digunakan ketika menerima hadis dari Hammam adalah lafaz haddathanā yang merupakan lambang periwayatan secara langsung. Dengan ini dapat dipastikan bahwa Muhammad Bin Bashshar dengan Amar bin Āṣim adalah bersambung.

8. Tirmidhī

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Isa bin Sawrah bin Mūsa bin al- Dahhak. Ia lahir pada tahun 209 H dan wafat pada tahun 279 H.

Guru-gurunya adalah Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Rahuyah, Muhammad bin ‘Amru al-Sawwaq,Muhammad bin Bashshar, Balkhi, Mahmud bin Ghailan, Isma’il bin Musa al Fazari, Ahmad bin Mani’, Abu Mush’ab al-Zuhri, Basyr bin Mu’adz al-Aqadi dan lainnya.20

Murid-muridnya adalah Abū Hāmīd Abdullah bin Dāud al-Marwazi, Ahmad bin ‘Ali bin Hasnuyah al-Muqri’, Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, Ahmad bin Hamduyah an Nasafi, al-Husain bin Yusuf al-Farabri, Hammad bin Shair al- Warraq.

Tirmidhi adalah seorang rawi hadis yang sangat masyhur ke-thiqat-annya dalam dunia periwayatan hadis. Abū Ya’la al Khalili menuturkan bahwa Muhammad bin ‘Isa al-Tumudhi adalah

19Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Jil V(Beirut: Dar al-Fikr, tth.), 497.

20Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XXVI..., 250.

(45)

32

seorang yang thiqat menurut kesepakatan para ulama, terkenal

dengan amanah dan keilmuannya.21

Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa dari aspek ketersambungan sanad diantara para rawi bersambung. Hal ini berdasarkan beberapa hal. Pertama, adanya keterangan mengenai hubungan antara guru dan murid diantara para rawi. Kedua, Dilihat dari tahun lahir dan wafat dari masing-masing rawi, diketahui bahwa mereka hidup semasa (mu’asarah) dengan orang yang berada pada tingkatan di atasnya maupun dibawahnya, ini juga menunjukkan kemungkinan terjadinya perjumpaan (liqa’) dalam periwayatan hadis. Ketiga, dari segi penggunaan lambang periwayatan juga menunjukkan adanya kebersinambungan sanad, meskipun beberapa rawi menggunakan lafaz ‘an, namun karena rawi yang menggunakannya merupakan rawi yang thiqat, maka sanad hadisnya dinilai bersambung.

Dari Aspek kualitas rawi menyebutkan bahwa Amar bin ‘Āṣim dan Muhammad bin Bashshar dita’dil dengan lafaz lā ba’sa bih yang menunjukkan keadilannya namun tidak kuat dalam ingatan. Dengan demikian hadis diatas merupakan hadis maqbūl dengan predikat hadis hasan. Karena ia memiliki sanad yang bersambung dan diriwayatkan oleh beberapa rawi yang ‘adil, namun sedikit lemah dalam daya ingatan.

Dilihat dari segi aspek kualitas matan, penulis sudah meneliti sejauh mungkin, akan tetapi tidak menemukan hadis yang senada dengan hadis tersebut yang lebih kuat, lafaz beserta maknanya juga tidak ada kejanggalan.

Berdasarkan hadis yang di-takhrij di atas yang berkenan dengan hadis tentang seluruh tubuh perempuan merupakan aurat.

21Jamal al-Din Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdhib al-Kamal fi, Jil. XXVI..., 250-251.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa Emotional response berpengaruh positf dan signifikan terhadap Impulse Buying, dengan nilai koefisien sebesar 0.728880 dan t statistik

Menurut PSAK No.34 paragraf 10 pendapatan kontrak terdiri dari : 1. Nilai pendapatan semula yang disetujui dalam kontrak. Penyimpangan dalam pekerjaan kontrak, klaim dan

 “Saya merasa biasa-biasa saja” atau “tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang diri saya” seringkali menjadi jawaban yang dipilih pelamar sebagai

Dari segi peralatan mesin produksi campuran aspal panas (Asphalt Mixer Plant) dapat dioperasikan dengan menggunakan bahan bakar batubara yang harganya lebih murah dan

Sedangkan pada nyala api menjelang akhir, tinggi nyala api juga juga berbeda dengan nyala api pertengahan yang semula E0 yang paling tinggi berubah menjadi E20

Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan mengenai analisis kepuasan konsumen berdasarkan dimensi Servicescape dengan

Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah sehinggah kerja sama dan kordinasi

“Upaya yang dilakukan aparat Pemerintah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Majene dalam menghilangkan penyakit (patologi) birokrasi di atasi dengan