• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) CSR yang kini kian marak diimplementasikan berbagai macam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) CSR yang kini kian marak diimplementasikan berbagai macam"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Corporate Social Responsibility (CSR)

2.1.1 Sejarah dan Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)

CSR yang kini kian marak diimplementasikan berbagai macam perusahaan, mengalami evolusi dan metamorphosis dalam rentang waktu yang cukup lama. Konsep ini tidak lahir begitu saja, akan tetapi melewati berbagai macam tahapan terlebih dahulu.

Gema CSR mulai terasa pada tahun 1950-an. Pada saat itu, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Buku yang bertajuk Social

Responsibility of the Businessman karya Howard R.Bowen yang ditulis pada

tahun 1953 merupakan literatur awal yang menjadi tonggak sejarah modern CSR. Bowen dijuluki “Bapak CSR” karena karyanya tersebut. Setelah itu, gema CSR diramaikan dengan terbitnya “Silent Spring” yang ditulis oleh Rachel Carson, ia mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Tingkah laku perusahaan perlu dicermati terlebih dahulu sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian yang luas. Pemikiran mengenai CSR dibahas lagi pada tahun 1966 dalam “The Future

Capitalism” yang ditulis Lester Thurow, dilanjutkan pada tahun 1970-an terbitlah

(2)

tergabung dalm Club of Rome, buku ini terus diperbaharui hingga saat ini (Wibisono, 2007).

Menurut Wibisono (2007), sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan Philanthropy serta Community Development (CD). Pada era 1980an makin banyak perusahaan menggeser konsep Philanthropy kearah

Community Development. Pada dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang

diwarnai dengan beraneka ragam pendekatan, seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society. Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi di Rio de Jenario Brazil, pertemuan ini menegaskan konsep pembangana berkelanjutan (Sustinable Development) yang didasarkan pada perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan.

Terobosan terbesar CSR dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P” (Profit, People dan Planet) yang dituangkan dalm buku Cannibals With

Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business pada tahun 1998. Gaung

CSR kian bergema setelah dselenggarakannnya World Summit on Sustainable

Development (WSSD) pada tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan. Sejak

saat itulah definisi CSR kian berkembang.

Definisi CSR telah banyak dikemukakan berbagai pihak. Konsep CSR yang banyak dijadikan rujukan oleh berbagai pihak sebagaimana yang dikemukakan oleh Teguh S. Pambudi dalam tulisannya di majalah SWA edisi Desember 2005 adalah pemikiran Elkington, yakni tentang tripel bottom line.

(3)

Menurutnya CSR adalah segitiga kehidupan stakeholder yang harus diberi atensi oleh korporasi di tengah upayanya mengejar keuntungan atau profit, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Hubungan itu diilustrasikan dalam bentuk segitiga.

Sejalan dengan itu, Wibisono (2007) mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi sosial dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sementara Nursahid (2006) mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab moral suatu organisasi bisnis terhadap kelompok yang menjadi stakeholder-nya yang terkena pengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung dari operasi perusahaan. Sukada, dkk (2006) mendefinisikan CSR sebagai segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar pilar ekonomi, sosial dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif di setiap pilar. Sementara itu, The World

Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menjelaskan bahwa

CSR merupakan komitmen dunia usaha untuk terus bertindak etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas.

CSR merupakan sebuah kesepakatan dari The World Bussiness Council for

(4)

2002 yang ditujukan untuk mendorong seluruh perusahaan dunia dalam rangka terciptanya suatu pembangunan berkelanjutan (sustainable development), bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan, komunitas lokal dan komunitas secara keseluruhan dalam peningkatan kualitas hidup. Sanka dan Clement (2002) dalam Rudito dan Famiola (2007) mendefinisikan CSR sebagai komitmen usaha untuk bertindak etis, beroperasi legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas. Secara umum, CSR dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan kemampuan manusia sebagai individu untuk beradaptasi dengan keadaan sosial yang ada, menikmati, memanfaatkan dan memelihara lingkungan hidup yang ada.

Definisi CSR menurut berbagai organisasi ( Wikipedia 2008) :

1. International Finance Corporation mendefinisikan CSR sebagai komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal, dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.

2. Institute of chartered accountant England and Wales mendefinisikan CSR sebagai jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholder) mereka.

(5)

3. CSR menurut Canadian Government adalah sebuah kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan, dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang.

4. Menurut European Commision, CSR merupakan sebuah konsep perusahaan yang mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) berdasarkan prinsip kesukarelaan.

5. CSR Asia mendefinisikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip eknomi, sosial dan lingkungan serta menyebabkan beragaman kepentingan para stakeholder. Selain itu, ISO 260000 mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh.

Wibisono (2007) mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negative dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi dan

(6)

social (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sementara Nursahid (2006) mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab moral suatu organisasi bisnis terhadap kelompok yang menjadi stakeholder-nya yang terkena pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dari operasi perusahaan.

Istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an. Elkington (1998) mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the

World Commision on Environment and Development ( WCED ) dalam Brundtland Report (1987). Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus, yaitu :

3P ( profit, planet, people). Perusahaan yang baik tidak hanya mencari keuntungan (profit) belaka, melainkan perusahaan harus memiliki kepedulian pula terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh United States-based Business for

Social Responsibility (BSR), banyak sekali keuntungan yang didapatkan oleh

perusahaan yang telah mempraktekkan CSR antara lain: 1. Meningkatkan brand image dan reputasi perusahaan

CSR dapat membuat perusahaan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat sehingga reputasi perusahaan juga akan meningkat apabila perusahaan melaksanakan progaram tersebut dengan sebaik – baiknya

2. Meningkatkan penjualan dan loyalitas pelanggan.

Apabila program CSR dilakukan dengan baik oleh perusahaan maka para pelanggan akan menjadi lebih loyal karena para pelanggan tidak hanya

(7)

mengetahui kualitas tetapi juga tujuan baik perusahaan. 3. Mengurangi biaya operasional

Dengan adanya CSR perusahaan tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran untuk biaya promosi, karena produk atau perusahaan pasti akan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. Dengan demikian biaya operasional

4. Meningkatkan kinerja keuangan.

Dengan adanya CSR diharapkan laba perusahaan akan lebih meningkat karena penjualan juga akan meningkat. Dengan demikian kinerja keuangan dari perusahaan tersebut secara otomatis akan meningkat pula.

Program CSR, apabila dikembangkan dengan baik akan menciptakan suatu kaitan emosional antara masyarakat dengan perusahaan yang nantinya akan berdampak pada brand awareness, dan lama-kelamaan akan berkembang menjadi

brand loyalty yang akan menciptakan ekuitas merek yang menguntungkan bagi

perusahaan (Sen, 2005:37 dalam Anggraini, 2008).

Wibisono (2007) menjelaskan bahwa penerapan CSR yang dilakukan perusahaan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu tahap perencanaa, implementasi, evaluasi, dan pelaporan. Tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan di bagi menjadi 3 model, yaitu keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, dan bermitra dengan pihak lain. Adapun bentuknya sebagai berikut :

1. Grant (hibah) : bantuan dana tanpa ikatan yang di berikan oleh perusahaan untuk membangun investasi sosial.

(8)

yang dianggap berjasa bagi masyarakat banyak dan lingkungan usahanya. Biasanya penghargaan dalam bentuk sertifikat dan sejumlah uang kepada perorangan atau institusi atau panti yang diselenggarakan secara berkelanjutan dan dalam waktu tertentu.

3. Dana Komunikasi Lokal (community Funds) : bantuan dana atau dalam bentuk lain bagi komunitas untuk meningkatkan kualitas di bidangnya secara berkesinambungan.

4. Bantuan subsidi (social subsidies) : bantuan dana atau bentuk lainnya bagi sasaran yang berhak meningkatkan kinerja secara berkelanjutan seperti pemberian bantuan dana buruh lokal atau modal usaha kecil satu kawasan. 5. Bantuan pendanaan jaringan teknis bagi sasaran yang berhak untuk

memperoleh pengetahuan dan ketrampilan sehingga mampu meningkatkan produktivitas.Misalnya, bantuan teknis untuk usaha kecil atau mikro.

6. Penyediaan pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, hukum, taman bermain, panti asuhan, beasiswa, dan berbagi pelayanan sosial lainnya bagi masyarakat.

7. Bantuan kredit usaha kecil dengan bunga rendah bagi rumah tangga, baik masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan maupun masyarakat pada umumnya.

8. Program bina lingkungan melalui pengembangan masyarakat.

9. Penyediaan kompensasi sosial bagi masyarakat yang menjadi korban polusi serta kerusakan lingkungan.

(9)

2.1.2 Sasaran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Implementasi CSR dilakukan sedemikian rupa secara sistematis, terstruktur dan periodik Tujuan CSR senantiasa mengedepankan persoalan- persoalan vital yang dihadapi masyarakat dalam peningkatan kesejahteraannya, antara lain bidang agama, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Tujuan tersebut dapat dilaksanakan berdasarkan visi dan misi perusahaan. Berdasarkan tujuan- tujuan CSR tersebut, implementasi CSR perusahaan akan mengikuti arah dari kepentingan perusahaan di tengah-tengah komunitas lingkungan hidup masyarakat. Tujuan-tujuan CSR tersebut seperti tujuan dalam kerangka tanggung jawab pendidikan, ekonomi, moral, filantropi (kedermawanan) dan tujuan dalam tanggung jawab hukum. yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi karyawan dan masyarakat.

PT Coca-Cola Bottling Indonesia memiliki komitmen untuk senantiasa memahami, mencegah dan memperkecil setiap dampak buruk terhadap lingkungan sehubungan dengan kegiatan produksi minuman ringan, serta terus berupaya memberikan pelayanan dan produk berkualitas yang diharapkan konsumen maupun pelanggan, dan menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi seluruh karyawan.

Seluruh karyawan PT Coca-Cola Botting Indonesia dan setiap orang yang tergabung di dalam perusahaan, serta semua mitra kerjanya, bersama-sama

(10)

memainkan peranan penting dalam menerapkan kebijakan Perusahaan di bidang perlindungan lingkungan ini. Untuk itulah maka kita berupaya membekali para karyawan agar mampu melibatkan diri mereka sepenuhnya.

PT Coca-Cola Botting Indonesia akan memperhatikan:

1. Berusaha sebaik mungkin mencapai kinerja di bidang perlindungan lingkungan dengan memenuhi persyaratan dari dan Peraturan Perundangan yang berlaku;

2. senantiasa memasukkan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dalam menyusun Business Plan (Perencanaan Bisnis) untuk memastikan bahwa pengelolaan masalah lingkungan selalu menjadi bagian yang integral dari Operasi Perusahaan.

3. Menerapkan dan mempertahankan sistem manajemen lingkungan terprogram, serta terus menerus menyempurnakan dan meninjaunya agar senantiasa sejalan dengan operasi perusahaan.

4. Mendorong dan membekali karyawan agar mampu mengenali, memahami dan bertindak pada setiap peluang yang ada untuk mencegah dan memperkecil setiap dampak negatif yang berpotensi menimbulkan masalah lingkungan;

5. Mengembangkan dan menerapkan cara-cara meningkatkan efisiensi pemakaian sumber daya, termasuk energi, bahan kimia, air, kemasan dan bahan baku lainnya.

6. Medapat mungkin mencegah, mengurangi, menggunakan kembali dan mengolah semua limbah yang ditimbulkan di dalam area kita sendiri, serta

(11)

menjamin prosedur pembuangan limbah tersebut dengan cara yang aman dan berdampak yang seminimal mungkin.

2.1.3 Isu Sosial Perusahaan

Isu-isu sosial akan terus berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Isu-isu sosial tersebut berkembang sebagai wujud dari adanya perubahan dalam cara pandang hidup masyarakat yang harus segera direspon oleh perusahaan. Ketidakmampuan perusahaan dalam menangkap isu sosial yang berkembang di masyarakat akan berdampak pada bentrokan yang terjadi di tengah-tengah komunitas kehidupan sosial masyarakat. Apalagi dalam suasana krisis ekonomi dunia yang sedang terjadi, persoalan perburuhan, komunikasi pemerintah dan perusahaan, bahkan hubungan pekerja di dalam perusahaan sendiri akan dapat terganggu dari mencuatnya isu sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini menurut Giddens ( dalam Mapisangka 2009) dampak dari globalisasi yang terjadi tidak hanya mempunyai dimensi ekonomi saja akan tetapi juga mempunyai dimensi politik, teknologi, dan budaya. Pemikiran tersebut juga akan mempengaruhi cara berpikir kalangan usahawan dalam memandang strategi usahanya. Perusahaan tidak lagi dipandang sebagai bagian luar dari masyarakat tetapi perusahaan sudah merupakan bagian dari masyarakat.

Adanya keterbatasan kemampuan pengusaha di sektor informal (pengusaha mikro) dalam mengelola usahanya mendorong Coca-Cola Bottling Indonesia mewujudkan kepedulian sosialnya dengan memprakarsai program ekonomi kemasyarakatan berbentuk program pengembangan usaha mikro

(12)

pendidikan bagi kelompok usaha ekonomi lemah ini diluncurkan pada Juli 2003 lalu dan memiliki dua elemen pokok bantuan.

Pertama, bantuan teknis (technical assistance) pengembangan dan pendampingan usaha mikro yang didukung sepenuhnya oleh Coca-Cola selama satu tahun. Pendampingan ini dimaksudkan untuk memberdayakan anggota kelompok, meningkatkan jumlah tabungan atas kesadaran sendiri, serta mengembangkan kegiatan usaha produktif anggota dan pengembangan jaringan usaha.

Kedua, akses terhadap modal kerja yang diberikan oleh lembaga pembiayaan independen atau bank (diluar Coca-Cola). Pelayanan keuangan mikro seperti ini diberikan hanya bagi mereka yang memenuhi kriteria ketat, antara lain: secara rutin memiliki kesadaran berkelompok dan berkembang dalam kelompok, secara rutin dan tepat waktu menabung, serta berdomisili tetap. Dalam melaksanakan dua pelayanan tersebut, Coca-Cola bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat "Bina Swadaya", sebuah lembaga nirlaba yang berpengalaman dalam mengelola program sejenis di berbagai daerah di Indonesia.

rogram ini telah berhasil dikembangkan di Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat, dan kini telah melayani lebih dari 320 orang pengusaha mikro. Menurut rencana, program serupa akan dikembangkan tahun ini di Propinsi Jawa Timur.

2.1.4 Hubungan Program Perusahaan

Implementasi program CSR merupakan realisasi dan aktualisasi dari upaya perusahaan untuk selalu dekat dengan masyarakat. Menurut Budimanta et al.

(13)

(dikutip oleh Mapisangka, 2009) CSR pada dasarnya merupakan suatu elemen yang penting dalam kerangka sustainability yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial budaya yang merupakan proses penting dalam pengelolaan biaya dan keuntungan bisnis dengan stakeholder baik secara internal maupun eksternal.

Komitmen sosial Coca-Cola Bottling Indonesia juga diwujudkan melalui berbagai kegiatan sosial lainnya yang dilakukan bagi masyarakat di sekitar pabrik dan kantor-kantor penjualannya di berbagai daerah di Indonesia. Keinginan untuk membantu meringankan beban hidup sesama, menyantuni yang kurang mampu, dan harapan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik, menjadi latar belakang dilaksanakannya berbagai kegiatan sosial, sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Untuk memfokuskan bantuannya, Coca-Cola memfokuskan pada tujuh bidang utama, yaitu: pendidikan, lingkungan, bantuan atas pembangunan infrastruktur publik, event-event nasional dari berbagai organisasi kepemudaan dan pemerintah, kebudayaan, kesehatan dan olahraga, dan bantuan bagi korban bencana alam.

Dibidang pendidikan, misalnya, selain melalui Coca-Cola Foundation Indonesia, Coca-Cola Bottling Indonesia memberikan bantuan beasiswa bagi banyak pelajar Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Setiap tahun Coca-Cola Research Grant juga memberikan bea siswa penelitian bagi mahasiswa S2 dan S3 di beberapa kota besar di Indonesia.

(14)

2.2 Konsep Pengembangan Masyarakat

2.2.1 Komunitas sebagai Basis Pemberdayaan Masyarakat

Komunitas menurut Nasdian (2006) adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Dalam aktivitas suatu komunitas dicirikan dengan pertisipasi dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan tersebut, dimana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pembentukan pelayanan teknis, sifat berswadaya dan kegotongroyongan sehingga proses pembangunan berjalan efektif.

Secara umum, Syahyuti (2006) mendefinisikan komunitas (community) sebagai sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah “kelompok hidup” (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common interests).

2.2.2 Definisi Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang harus menjadi prinsip utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial (Ambaddar, 2008). Pengembangan masyarakat menurut Giarci (2001)

dalam Subejo dan Supriyanto (2004) adalah suatu hal yang memiliki pusat

perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola

(15)

dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat. Sejalan dengan itu, Payne (1995:165) dalam Ambadar (2008) menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, dengan mengidentifikasikan kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian

community development dan community empowerment, secara sederhana, Subejo

dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective

action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan

kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Sementara itu Ambadar (2008), menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada sekedar aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya, antara lain community relation. Hal ini disebabkan pelaksanaan pengembangan masyarakat terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan keberlanjutan.

Budimanta dalam Rudito,dkk (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai kegiatan yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik

(16)

apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya, sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan dapat menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.

2.2.3 Asas dan Prinsip Pengembangan Masyarakat

Menurut Ife (1995), pengembangan masyarakat sebagai perencanaan sosial perlu berlandaskan pada asas-asas, yaitu: komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan, mensinergikan strategi komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait dan partisipasi warga, membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta insentif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga, dan mengubah perilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian dan gagasan warga komunitas.

Ife (2002) membagi prinsip-prinsip Community Development dalam tiga bagian penting, yaitu ekologi, keadilan sosial, nilai-nilai lokal, proses, serta global-lokal, secara rinci dikemukakan sebagai berikut:

a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi, yaitu :

1) Holistik, di mana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang berorientasikan pada lingkungan dengan memperhatikan pada kehidupan dan alam atau lingkungan.

2) Keberlanjutan, dalam konteks ini pembangunan masyarakat ditujukan pada upaya meminimalkan ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak terbarukan dan menggantikan dengan sumberdaya alam yang terbarukan.

(17)

3) Keanekaragaman, merupakan salah satu aspek penting prinsi ekologis, di mana di alam keanekaragaman akan menjaga siklus kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip dalam ini menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan, tidak adanya jawaban tunggal terhadap permasalahan yang ada, desentralisasi, jejaring dan komunikasi yang setara, serta teknologi yang mudah untuk diterapkan pada tingkat yang rendah.

4) Pembangunan organis, pada dasarnya pembangunan organis menjadi konsep yang berlawanan dengan pembangunan yang sifatnya mekanistis. Dalam pembangunan masyarakat mengandung pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara warga masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, tidak dianjurkan dengan teknik yang sifatnya sederhana, akan tetapi melalui proses yang kompleks dan dinamis.

5) Keseimbangan, di alam keseimbangan dinamis akan menjaga keseimbangan alam secara keseluruhan, di mana merubah keseimbangan ini akan mengubah tatanan kehidupan. Dalam sebuah sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan resiko kegagalan lingkungan, dalam perspektif pembangunan masyarakat prinsip keseimbangan diarahkan pada keseimbangan antara kepentingan global dan lokal, keadilan gender, responsibilitas, dan keadilan dalam hukum.

b. Prinsip keadilan sosial

1) Menghilangkan ketimpangan struktural, pembangunan masyarakat harus mampu merubah adanya ketimpangan kelas maupun ketimpangan gender

(18)

dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat, untuk itulah harus dipahami betul tentang komplesitas tekanan terhadap kelas, gender, ras, dan harus kritis terhadap latar belakang kelas, gender, dan ras.

2) Memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan (Addressing

discourses of disadvantage). Wacana kekuasaan dan penindasan perlu

menjadi perhatian dalam community development. Worker perlu untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi dan menguraikan wacana kekuasaan dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara efektif mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus juga memarginalkan dan mentidakberdayakan sebagian orang yang lainnya. Penguraian wacana ini merupakan komponen kritis dalam prinsip meningkatkan kesadaran.

3) Pemberdayaan, konsep ini menjadi basis utama dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan mempunyai makna membangkitkan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan ketrampilan mereka untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka. Konsep utama yang terkandung di dalamnya adalah bagaimana memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah kehidupan dalam komunitasnya.

4) Mendefiniskan kebutuhan, prinsip ini sangat penting dalam menentukan prioritas kebutuhan pembangunan masyarakat. Ada dua hal dalam penentuan kebutuhan, (1) pembangunan masyarakat dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2) memperhatikan preseden yang

(19)

ditimbulkannya dan memperhatikan prinsip keadilan sosial dan keseimbangan ekologis.

5) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, dalam hal ini perlu adanya aturan yang memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural komunitasnya, hak untuk berkembang secara mandiri, dan hak untuk mendapatkan perlindungan keluarga.

6) Menghargai Nilai-nilai lokal

7) Pengetahuan lokal, prinsip ini mendasarkan pada pentingnya untuk memperhatikan pengetahuan lokal dalam pembangunan masyarakat, dimana masyarakat sampai dengan kelas bawah mampu mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang pengetahuan tersebut.

8) Budaya lokal, globalisasi budaya telah mengambil identitas budaya masyarakat di seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat menunjukkan kemampuannya dalam mendukung pembangunan masyarakat, ini mengingat ternyata budaya lokal tidaklah statis namun dinamis, bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi manusia, inklusif, berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh masyarakat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

9) Sumberdaya lokal, pemanfaat sumberdaya lokal lebih baik daripada menggunakan sumberdaya atau bantuan dari pihak luar. Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan, teknis, sumberdaya alam

(20)

akan dapat mendorong bermacam-macam cara dalam pembangunan masyarakat (ada keanekaragaman bentuk pembangunan masyarakat). 10) Ketrampilan lokal, dalam pembangunan masyarakat, ”pihak luar” harus

mengetahui ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan, memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan masyarakat, harus berjalan secara dua arah antara pihak luar dan masyarakat.

11) Menghargai proses lokal, pemaksaan solusi spesifik, struktur atau proses dari luar komunitas, jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah satu rasionalitas dari community development, bahwa segala sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar komunitas. Oleh karena itu, pendekatan community development tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya dalam komunitas, dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal, tradisi dan lingkungan.

c. Menghargai Nilai-nilai lokal

1) Pengetahuan lokal, prinsip ini mendasarkan pada pentingnya untuk memperhatikan pengetahuan lokal dalam pembangunan masyarakat, dimana masyarakat sampai dengan kelas bawah mampu mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang pengetahuan tersebut.

2) Budaya lokal, globalisasi budaya telah mengambil identitas budaya masyarakat di seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat menunjukkan kemampuannya dalam mendukung pembangunan masyarakat, ini

(21)

mengingat ternyata budaya lokal tidaklah statis namun dinamis, bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi manusia, inklusif, berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh masyarakat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

3) Sumberdaya lokal, pemanfaat sumberdaya lokal lebih baik daripada menggunakan sumberdaya atau bantuan dari pihak luar. Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan, teknis, sumberdaya alam akan dapat mendorong bermacam-macam cara dalam pembangunan masyarakat (ada keanekaragaman bentuk pembangunan masyarakat).

4) Ketrampilan lokal, dalam pembangunan masyarakat, ”pihak luar” harus mengetahui ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan, memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan masyarakat, harus berjalan secara dua arah antara pihak luar dan masyarakat.

5) Menghargai proses lokal, pemaksaan solusi spesifik, struktur atau proses dari luar komunitas, jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah satu rasionalitas dari community development, bahwa segala sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar komunitas. Oleh karena itu, pendekatan community development tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya dalam komunitas, dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal, tradisi dan lingkungan.

(22)

d. Proses

1) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi isu utama dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan pragmatis cenderung akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun pendapat ini ditentang oleh banyak pihak, karena proses dan hasil pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil juga merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral dan etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.

2) Keterpaduan proses, proses yang digunakan untuk mencapai tujuan harus disesuaikan dengn hasil yang diharapkan, perihal keberlanjutan dan keadilan sosial.

3) Peningkatan kesadaran, prinsip ini membantu anggota masyarakat dalam melakukan pencarian potensi dalam kehidupan dan menghubungkan dengan struktur yang ada dan mendiskursus kekuatan dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu menghubungkan anggota masyarakat dan politik, membangunan hubungan dialogis, berbagi pengalaman dalam menghadapi tekanan, dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini merupakan bagian penting dalam pemberdayaan dan juga pembangunan masyarakat.

4) Partisipasi, pembangunan masyarakat harus selalu melihat partisipasi maksimal dengan tujuan setiap anggota masyarakat dapat secara aktif terlibat.

(23)

5) Kooperasi dan konsensus, problematika yang ada di masyarakat harus dihadapi oleh seluruh anggota secara bersama-sama dengan mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota masyarakat.

6) Tahapan pembangunan, pembangunan masyarakat dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu yang lama, hal ini disebabkan ia lebih mengutamakan keaktifan dan partisipasi anggota masyarakat.

7) Perdamaian dan anti kekerasan, pada konteks ini pembangunan masyarakat menghendaki sebuah proses pendekatan yang anti kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat koersif ataupun pendekatan dengan tekanan terhadap sesama merupakan hal yang harus dihindari. 8) Inklusif, aplikasi prinsip inklusif dalam pembangunan masyarakat

membutuhkan proses adanya keterlibatan masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pelaksanaan pembangunan. Proses pembangunan haruslah bersifat terbuka dan menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat, bahkan sampai kelompok paling bawah.

9) Membangun komunitas, semua pembangunan masyarakat seharusnya bertujuan untuk membangun komunitas. Pembangunan masyarakat meliputi semua interaksi sosial dengan komunitas dan membantu mereka untuk mengkomunikasikan apa yang menjadi jalan untuk menuju dialog yang murni, pemahaman, dan aksi sosial.

e. Prinsip global dan lokal

1) Hubungan antara global dan lokal, saat ini seluruh dunia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, sehingga tidak bisa lagi

(24)

mengabaikan isu-isu global tentang pembangunan dan lingkungan hidup, namun juga lokalitas menjadi fokus dalam pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada seluruh komunitas dan memberikan kontribusi dalam permasalahan dan isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga, setiap community worker harus bisa memahami kondisi global dengan baik sebagaimana dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana keduanya berinteraksi.

2) Praktik Anti Penjajah (Anti-colonialist practice), Penjajahan (kolonialisme) dapat mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan dapat menjadi suatu ideologi ekstrim yang menggiurkan, karena hanya dengan tahapan yang pendek dengan mempercayai bahwa

community worker adalah seseorang yang mempunyai sesuatu untuk

ditawarkan, dan dengan menghargai satu latar belakang kebudayaan yang dimiliki dan pengalaman praktik menjajah. Ini akan mengabadikan dominansi penjajah.

2.2.4 Tujuan Pengembangan Masyarakat

Menurut Budimanta dalam Rudito, dkk (2003), pengembangan masyarakat suatu perusahaan terhadap lingkunganya memiliki tujuan. Tujuan pengembangan masyarakat suatu perusahaan, yaitu:

1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosialekonomi- budaya yang lebih baik disekitar wilayah kegiatan perusahaan.

(25)

3. Membantu pemerintah daerah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah.

2.2.5 Strategi Pengembangan Masyarakat

Dalam melaksanakan suatu program pengembangan masyarakat terdapat berbagai macam strategi pengembangan masyarakat. Chin dan Benne (1961)

dalam Nasdian (2006) memperkenalkan tiga strategi yang dapat dijadikan strategi

pengembangan masyarakat, yaitu rational-empirical, normative-reeducative, dan

power-coersive. Penjelasan ketiga strategi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Power coercive (strategi pemaksaan). Strategi ini cenderung memaksakan kehendak dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan dilaksanakan, sedangkan pelaksanaan yang sebenarnya objek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksaannya.

2. Rational Empirical (empirik rasional). Strategi ini didasarkan atas pandangan yang optimistik karena strategi ini mempunyai asumsi dasar bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional. Inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat dengan penggunanya.

3. Normatif Re-educative (pendidikan yang berulang secara normatif). Suatu strategi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt Lewis, dan beberapa pakar yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaruan seperti perubahan

(26)

sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia. Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan hasil perubahan itu sendiri.

2.2.6 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Peran serta masyarakat selama ini hanya dilihat dalam konteks yang sempit, yaitu manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat hanya sebatas pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian, 2006). Payne (1979) dalam Nasdian (2006) menjelaskan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Nasdian (2006) menjelaskan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Sementara itu, Paul (1987) dalam Nasdian (2006) memberikan pengertian mengenai partisipasi sebagai berikut:

(27)

“...participation refers to an active process whereby beneficiaries

influence the direction and execution of development projects rather than mercly receive a share of project benefits”.

Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi (Cohen dan Uphoff, 1980 dalam Nasdian, 2006). Melihat berbagai pendapat yang ada mengenai pemberdayaan dan partisipasi, maka pemberdayaan dan partisipasi di tingkat komunitas dapat dikatakan dua konsep yang erat kaitannya (Nasdian, 2006). Pendapat ini sejalan dengan Craig dan Mayo (1995) dalam Nasdian (2006), yaitu: “empowerment is road to participation”.

2.2.7 Tingkat Partisipasi

Arnstein (1969) dalam Wazdy (2009)menjelaskan ada delapan tangga partisipasi masyarakat yang kemudian dikenal dengan tipologi Arnstein. Delapan tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) dalam Wazdy (2009) dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.1

Tingkat Partisipasi Masyarakat

8 Citizen control Degree of citizen power

7 Delegated power

6 Partnership

5 Placation Degree of tokenism

4 Consultation

3 Information

2 Therapy Non participation

1 Manipulation

Manipulation, bisa diartikan tidak ada komunikasi apalagi dialog; Therapy

(28)

hanya satu arah; Information menyiratkan bahwa komunikasi sudah banyak terjadi tetapi masih bersifat satu arah; Consultation bermakna bahwa komunikasi telah berjalan dua arah; Placation berarti bahwa komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah, masyarakat dapat memberi saran tetapi tidak memiliki kewenangan menentukan keputusan (partisipasi semu); Partnership berarti suatu kondisi pemerintah dan masyaakat merupakan mitra sejajar; Delegated Power berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa keperluannya; dan Citizen Control berarti bahwa masyarkat menguasai kebijakan public mulai dari perumusan, implementasi hingga evaluasi dan control. Dua tangga ke bawah di kategorikan sebagai Non-partisipasi; tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat tokenism (pertanda) yaitu tingkat peran serta di mana masyarakat di dengar dan berpendapat, tetapi tidak ada jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang kekuasaan. Peran serta pada tingkat ini memilki kemungkinan yang sangat kecil menghasilkan perubahan dalam masyarakat; tiga tangga teratas dikategorikan dalam tingkat kekuasaan masyarakat dalam mempengaruhi dan proses pengambilan keputusan (Arnstein, 1969 dalam Wazdy, 2009).

2.3 Penelitian Terdahulu

Utomo (2010) melakukan penelitian dengan judul ”Dampak Pelaksanaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Terhadap Masyarakat Lokal (Studi kasus di Desa Nambo,

(29)

Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)”. Hasil dari penelitian tersebut bahwa dampak dari program CSR PT. Indocement yang dirasakan oleh warga Desa Nambo (khususnya penerima program) adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan berusaha, serta meningkatkan penghasilan. Alar ukur yang digunakan adalah linkert dengan menggunakan SPSS, manfaat penelitian dapat melihat dampak yang dirasakan masyarakat sekitar mendapatkan dampak yang tidak signifikan, populasi yang digunakan yaitu masyarakat sekitar PT. Indocement. Namun, dampak yang dirasakan hanya sedikit dan lebih besar kepada penerima program. Hal ini didasarkan oleh data jumlah pengangguran yang berkurang dari program CSR hanya lima belas orang dari 3657 orang total pengangguran.

Andi (2009) melkukan penelitian dengan judul “ Implementasi CSR Tergadap Kesejahteraan Hidup Masyarakat ”. Hasil dari penelitian tersebut bahwa secara umum semua variabel bebas dalam penelitian ini seperti variabel

Corporate Social Responsibility Goal, Corporate Social Issue dan variabel Corporate Relation Program berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup

masyarakat. Namun demikian diantara semua variabel bebas yang ada, hanya variabel Corporate Relation Program yang memiliki pengaruh terbesar terhadap peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan PT. BIC Batam yakni dengan koefisien pengaruh sebesar 0,499. Penerapan program-program CSR PT. BIC tersebar pada berbagai aktivitas utama seperti: pendidikan, kesehatan, kemiskinan, sosial, agama, infrastruktur,dan lingkungan hidup. Variabel-variabel seperti corporate social responsibility goal, corporate social

(30)

issue dan corporate relation program secara signifikan memiliki pengaruh positif

terhadap peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Diantara variabel-variabel tersebut, variabel corporate relation program memiliki pengaruh yang paling besar dalam mempengaruhi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat di lingkungan kawasan industri Batamindo, Batam.

2.4 Kerangka Konseptual

Cara perusahaan dalam mencari dukungan adalah dengan melakukan program CSR. Program CSR sudah diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan sosial perusahaan yang telah terungkap pada visi dan misi perusahaan dalam melakukan CSR. Tujuan tersebut seperti tujuan dalam tanggung jawab pendidikan, ekonomi, moral, filantropi, dan tujuan dalam tanggung jawab hukum.

Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Pengembangan masyarakat merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada sekedar aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya. Hal ini disebabkan pelaksanaan pengembangan masyarakat terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan keberlanjutan. Corporate Social

Responsibility (CSR) merupakan sebuah kesepakatan dari World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg Afrika Selatan 2002 yang

(31)

ditujukan untuk mendorong seluruh perusahaan di dunia dalam rangka terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Peranan CSR dapat dipandang sebagai upaya untuk mewujudkan good corporate governance,

good corporate citizenship dan good business ethics dari sebuah entitas bisnis.

Sehingga perusahaan tidak cukup hanya memikirkan kepentingan shareholder (pemilik modal), tetapi juga mempunyai orientasi untuk memenuhi kepentingan seluruh stakeholders.

Tanggung jawab sosial perusahaan secara yuridis telah dinyatakan sebagaimana dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, Bab V, Pasal 74. Dalam pasal tersebut dijelaskan tanggung jawab sosial dan lingkungan dari perusahaan atas eksistensinya dalam kegiatan bisnis. Dewasa ini, menghadapi dampak globalisasi, kemajuan informasi teknologi,dan keterbukaan pasar, perusahaan harus secara serius memperhatikan CSR. Untuk melindungi perusahaan dari berbagai risiko tuntutan hukum, kehilangan partner bisnis maupun risiko terhadap citra perusahaan (brand risk) tidak cukup hanya taat kepada peraturan perundang-undangan.

Tekanan secara nasional dan internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk mempengaruhi perilaku bisnis korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang saham, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), partner bisnis (terutama dari negara yang komunitas bisnisnya peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan public. Dalam hal ini CSR merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial

(32)

perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Untung, 2008:1).

Sehingga model penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber : Data diolah oleh peneliti.

Gambar 2.1. Kerangka Konseptuan

2.4 Hipotesa

Berdasarkan kerangka konseptual maka hipotesis penelitian ini adalah: Implementasi Corporate Social Responsibility berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PT. Coca-Cola Bottling Indonesia.

Implementasi Corporate Social Responsibility (X)

Referensi

Dokumen terkait

Pola motif awal pada birama 24-26 adalah melodi unison yang dimainkan oleh vibraphone dan kolintang sopran, sedangkan gitar bas memainkan harmoni dengan progresi

oleh karena itu masyarakat Desa Deket Kulon membuat Lingkungan mereka menjadi asri dan bersih yang bisa terhindar dari penyakit-penyakit yang di sebabkan oleh tercemarnya

Metode pengembangan sistem pada penelitian ini adalah 10-step knowledge management roadmap oleh Amrit Tiwana (1999), sedangkan metode pencarian pengetahuan yang

Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan keseragaman dosis dipenuhi jika jumlah zat aktif dalam masing-masing dari 10 satuan sediaan seperti yang

bahwa sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pemerintah daerah dapat memberikan

Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada di dalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air penerima berupa sungai yang jika tidak

Memaksimalkan keuntungan perusahaan jika menggunakan G-CESS ,meningkatkan produktivitas dengan mencegah kondisi abnormal peralatan dan fasilitas listrik serta mencegah penurunan

Pembelajaran agama moral dan disiplin pada anak usia dini adalah proses penanaman nilai ajaran agama yang diwujudkan dalam amal perilaku para pemeluknya,