KAJIAN TAMBAK DI HUTAN MANGROVE PANTAI UTARA JAWA (Kasus Kabupaten Subang)
THE STUDY FISHPOND ON MANGROVE AREA AT THE NORTH COAST OF JAVA (The Case of Subang District)
Oleh/By :
Kuncoro Ariawan, Setiasih Irawanti Abstract
Mangrove ecosystem in the north coast of Java (Pantura area), especially in the area of Subang District has undergone many changes, according to its function as an protection forest that lies within forest juridiction and managed by Perhutani. Reality on the field shows that mangrove ecosystem has been converted to fishponds and managed by the community as a source of income with main commodities are milkfish and shrimp.From the ecological perspective, this clearly an alteration that cannot be accepted, but from the economical point of view the changes of mangrove area to become fishponds has given significant contribution to the income of the people surround of mangrove forest and to regional government. The inconsistency and overlapping of regulations in managing lands inside the area of mangrove forest and the conflict of interest among stakeholders are worsened the condition of mangrove, both in quality and quantity. The positive and negative impacts from the change of mangrove forest biophysics ecosystem to become fishponds should be considered by local, regional and national decision makers. The question is whether (i) to preserve the mangrove area according to its conservation function, which can be done by rehabilition without considering the declining social economic aspect, (ii) let it become fishponds with mangrove gash consequences, and (iii) to find the best solution by preserving the preservation function and ecosystem conservation of mangrove alongside with accomodation of community needs by implementing environmental-friendly fish cultivation practices. A third alternative, if it is chosen, need serious and integrative efforts from all stake holders
Keywords : Subang, mangrove, fishponds, conservation function
Abstrak
Ekosistem mangrove di kawasan pantai utara Jawa (Pantura), khususnya di pesisir Kabupaten Subang sudah banyak mengalami perubahan, di mana sesuai dengan fungsi yang disandang adalah sebagai hutan lindung yang berada dalam kawasan hutan negara dan dikelola oleh Perhutani. Namun pada kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ekosistem mangrove sudah menjadi hamparan tambak yang diusahakan masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidup dengan komoditi utama berupa ikan bandeng dan udang. Dari segi ekologi, jelas ini merupakan penyimpangan yang tidak bisa dibenarkan tetapi dari sisi ekonomi dengan adanya perubahan mangrove menjadi tambak secara signifikan memberikan kontribusi penghasilan yang relatif memadai bagi masyarakat sekitar hutan mangrove maupun input PAD bagi pemda setempat. Adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur lahan dalam kawasan hutan mangrove maupun berbagai kepentingan yang saling berbenturan antar stake holder memperparah kondisi mangrove yang kian hari semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Dampak positif dan negatif dari perubahan biofisik ekosistem mangrove menjadi tambak perlu menjadi pertimbangan utama bagi penentu kebijakan di tataran lokal, regional maupun nasional, (i)apakah mangrove harus tetap dipertahankan sesuai dengan fungsi lindungnya, yaitu dengan kegiatan rehabilitasi salah satunya tanpa memperhatikan aspek sosial ekonomi yang berkembang di masyarakat, atau (ii) membiarkan menjadi tambak dengan konsekuensi kondisi ekologis mangrove semakin parah, dan (iii) mencari solusi yang terbaik dengan tetap mempertahankan fungsi lindung dan kelestarian ekosistem mangrove sekaligus mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam berusaha dengan jalan melakukan pengusahaan tambak yang berwawasan lingkungan. Alternatif ketiga, jika menjadi pilihan harus diperlukan upaya dan usaha yang sungguh-sungguh dari semua pihak terkait.
Kata Kunci : Subang, mangrove, tambak, fungsi lindung
I. PENDAHULUAN
Subang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang berada di wilayah pantai utara pulau Jawa (pantura). Ekosistem pesisir pantura mewarnai kehidupan masyarakat desa-desa yang berada di sepanjang pantai wilayah kabupaten ini. Kabupaten Subang yang memiliki luas wilayah 205.176,95 ha, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 48/1999 terbagi atas 22 Kecamatan atau 243 Desa dan 8 Kelurahan (Anonim, 2005). Hanya 4 kecamatan yang merupakan kecamatan di wilayah pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan (7 desa pesisir), Pamanukan (1 desa pesisir), Legonkulon (5 desa pesisir), dan Pusakanegara (1 desa pesisir).
Panjang garis pantai wilayah Kabupaten Subang 68 km serta memiliki kawasan hutan seluas 7.701,15 ha (anonim, 2004). Wilayah perairan pantai utara Subang dibatasi oleh Muara Sungai Cilamaya di bagian barat dan muara Sungai Cipunagara di bagian timur. Morfologi dan topografi pantai Subang dicirikan oleh bentuk pantai yang menjorok ke arah daratan berbentuk teluk, seperti di wilayah pantai Blanakan, serta yang menjorok ke arah laut berbentuk tanjung, seperti di wilayah pantai Legonkulon. Hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut disebut hutan mangrove.
Hutan mangrove merupakan sumber daya yang dapat dipulihkan yang mempunyai manfaat ganda, yaitu manfaat ekologis dan ekonomis. Manfaat ekologis terdiri dari berbagai fungsi lindung, baik bagi ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna diantaranya adalah (anonim, 2005 a) :
1. Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang 2. Pengendali intrusi air laut
3. Habitat berbagai jenis fauna
4. Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang 5. Pembangun lahan melalui proses sedimentasi
6. Pengontrol penyakit malaria
7. Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
8. Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain.
Namun pesatnya pertambahan jumlah penduduk di pulau Jawa umumnya atau di wilayah Kabupaten Subang khususnya, menyebabkan makin mendesaknya tuntutan masyarakat setempat untuk memperoleh manfaat ekonomis dari kawasan mangrove. Hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya upaya konversi ekosistem mangrove oleh masyarakat setempat menjadi lahan tambak, lahan pertanian, pemukiman dan lain-lain. Kegiatan konversi ekosistem mangrove menjadi lahan tambak atau lahan pertanian di wilayah Propinsi Jawa Barat telah dilakukan oleh masyarakat setempat puluhan tahun yang lalu (sejak tahun 1957). Karena itu, kawasan mangrove di wilayah kabupaten ini telah berubah fungsi menjadi kawasan pertambakan, pertanian, pemukiman, dan lainnya. Dewasa ini nuansa mangrove di wilayah tersebut hampir tidak tampak lagi. Hal ini juga diindikasikan oleh jenis mata pencaharian mayoritas penduduk desa-desa di dalam dan sekitarnya sebagai petambak, penangkap ikan, petani dan buruh tani. Sektor pertanian yang di dalamnya termasuk sektor perikanan budidaya, merupakan sektor yang paling dominan di Kabupaten Subang yang mampu mempekerjakan 51,3% dari total penduduknya (anonim, 2005 b). Selain itu, Kabupaten Subang selain memiliki potensi hasil laut berupa ikan tangkapan laut, juga memiliki potensi ikan hasil budidaya tambak, wisata pantai dan perluasan daratan akibat tanah timbul. Keberadaan sektor perikanan budidaya dalam perekonomian Subang tidak terlepas dari makin kuatnya jaringan kerja dan kelembagaan petani petambak di wilayah tersebut. Sesuai dengan kondisi tersebut di atas maka penelitian/kajian mengenai fungsi tambak di hutan mangrove pantai utara Jawa ini dilakukan.
II. METODOLOGI 1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada tahun 2005 di Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Anggasari Kecamatan Legonkulon yang termasuk wilayah BKPH Ciasem Pamanukan KPH Purwakarta di mana terdapat hamparan mangrove yang berfungsi sebagai hutan lindung, dikelola oleh Perum Perhutani namun dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
2. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data primer. Pengumpulan data dilakukan di institusi pemerintahan, yaitu dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Perencanaan Daerah/BAPPEDA, Bapedalda / BPLHD, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang serta Perhutani. Di samping itu dilakukan wawancara dengan anggota masyarakat selaku pelaku usaha tambak dan melalui Focus Group Discussion (FGD) diperoleh informasi langsung dari masyarakat. Untuk menunjang data yang diperoleh dari lapangan dilakukan studi pustaka/ referensi terkait dari perpustakaan dan internet.
3. Analisis Data
Analisis data dilakukan menggunakan metoda kuantitatif dengan memilah-milah data dalam bentuk tabulasi sederhana dan dianalisis secara deskriptif kualitatif .
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sungai Dan Saluran Air Sebagai Prasarana Ekonomi
Perairan pantai Subang yang terletak di pantai utara pulau Jawa berhadapan langsung dengan Laut Jawa yang berada di sebelah utaranya. Beberapa sungai utama bermuara di pantai Subang, seperti Sungai (S.) Cilamaya, S. Blanakan, S. Ciasem, S. Cipunagara serta S. Cileuleuy yang membentuk 5 anak sungai. Umumnya sungai-sungai tersebut dimanfaatkan oleh nelayan sebagai sarana keluar/masuk perahu saat melakukan penangkapan ikan di perairan pantai utara Subang. Di antara sungai-sungai tersebut, S. Blanakan merupakan jalur yang paling ramai sebagai sarana keluar/masuk kapal penangkapan ikan dari luar Subang, karena di tepi sungai ini terdapat Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Blanakan. Para penangkap ikan dari lokasi perairan sekitar umumnya langsung mendaratkan ikan hasil tangkapannya di TPI tersebut. TPI tersebut dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD) Mina laut. Di TPI, ikan-ikan tersebut akan dibeli oleh para pedagang ikan melalui forum lelang yang diselenggarakan oleh KUD.
Kawasan pesisir pantura Jawa Barat pada tahun 1960-an berupa ekosistem mangrove dengan kekayaan anekaragam hayati dan berbagai jenis fauna, pada tahun 2005 telah memiliki kondisi biofisik yang sangat berbeda. Di kawasan tersebut kini terhampar petak-petak tambak. Di tengah dan di pematang yang mengelilingi petak dari sebagian kecil tambak yang ada masih ditumbuhi beberapa jenis tanaman mangrove, seperti bakau atau api-api sebagai tanaman asli di wilayah tersebut. Namun kondisi sebagian besar petak tambak lainnya telah terbuka, di tengah petak tidak ada tanamannya, hanya di temui di pematang yang mengelilinginya atau bahkan tanpa sebatang pohonpun. Berdasarkan informasi lapangan, kondisi yang ada sekarang sudah sangat bagus dibandingkan kondisi tahun 1970-an, dimana lingkungan alami mangrove pada waktu itu mengalami rusak berat sehingga pada jarak lebih 5 km dari garis pantai masih dapat terlihat kapal-kapal nelayan yang lalu-lalang di laut. (hasil wawancara dengan penduduk).
Di antara hamparan petak-petak tambak kini terbujur saluran-saluran air yang sengaja dibangun serta sungai-sungai alami yang berfungsi memenuhi kebutuhan air tambak serta kebutuhan transportasi para petambak dan penangkap ikan laut yang lalu-lalang dalam melakukan aktivitasnya. Sungai-sungai dan saluran air tersebut kini lebih berfungsi sebagai prasarana pendukung proses produksi dan jalur perekonomian sektor perikanan budidaya dan perikanan laut. Oleh karena itu keberadaan sungai dan saluran air yang melintas di kawasan pesisir sangat vital.
Namun pada umumnya sungai-sungai tersebut kini mengalami proses sedimentasi yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari tingkat kekeruhan yang relatif tinggi di sepanjang badan sungai dan muaranya. Beberapa sungai telah mengalami pendangkalan alami, sebagaimana terjadi di muara sungai Blanakan. Selain itu, proses pengangkutan sedimen secara musiman di pantai oleh arus perairan telah mengakibatkan penyumbatan arus air di muara sungai, seperti di muara S. Cipunegara (Anonim, 2005 b).
Kondisi demikian telah menghambat usaha pembesaran ikan dan udang di petak tambak, karena pertukaran air tambak menjadi terhambat. Hal ini menyebabkan pertumbuhan bandeng menjadi terhambat atau kuntet, udang windu stres atau bahkan mati sebelum musim panen tiba. Demikian pula lalu-lalang para petambak dan penangkap ikan dalam melakukan kegiatannya juga mengalami hambatan. Oleh karena itu, pengerukan saluran-saluran air dan sungai secara rutin harus selalu dilakukan. Terpenuhinya kebutuhan air tambak, pengangkutan dan lalu-lintas yang lancar telah menjadi kebutuhan mendesak bagi kelancaran kegiatan ekonomi para petambak dan penangkap ikan.
Kegiatan ini menjadi tanggung jawab instansi terkait, utamanya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Untuk itu membangun sumber dana sendiri dari sektor perikanan budidaya akhirnya menjadi kebutuhan instansi tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui pemungutan retribusi pada kegiatan pelelangan ikan misalnya, baik hasil budidaya maupun hasil tangkapan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan ini dihimpun manjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang selanjutnya dapat dikembalikan lagi untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan pertambakan antara lain pengerukan saluran air dan sungai. Perkembangan saluran air tambak di wilayah Kabupaten Subang dapat diikuti pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan saluran air tambak di Kab. Subang, Tahun 2003-2004. Table 1.The Growing of Fishpond Irrigation at Subang District, 2003-2004
2003 (km) 2004 (km) Peningkatan (km) Uraian Panjang
Saluran (km)
Baik Rusak Baik Rusak Baik Rusak Primer Sekunder Tertier 400,58 - - 359,58 - - 41 - - 374,58 - - 26 - - 4,17 - - -39 - - Sumber/source: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2005.
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa saluran primer, sekunder dan tertier memiliki peranan penting dalam proses produksi ikan budidaya. Keberadaan saluran-saluran air serta sungai-sungai merupakan prasarana pendukung yang sangat vital dalam perekonomian kawasan pesisir. Petak-petak tambak, saluran air, sungai, para petambak, penangkap ikan, sisa tanaman bakau/api-api, ikan/udang dan biota lainnya, kini merupakan unsur penyusun ekosistem kawasan mangrove atau kawasan pesisir yang tersisa dewasa ini. Manfaat ekonomi kawasan mangrove di pantai utara wilayah Kabupaten Subang kini telah mengalahkan manfaat ekologisnya. Guna mengembalikan kondisi ekosistem pesisir ke posisi kondisi semula diperlukan usaha keras dan sungguh-sungguh dari semua pihak, sehingga kelestarian lingkungan dapat terpulihkan tanpa mengabaikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
2. Tanah Timbul Sebagai Daratan Baru
Tingginya sedimentasi, pendangkalan badan sungai, dan penyumbatan muara sungai, merupakan pemacu bagi terbentuknya daratan baru atau tanah timbul di pesisir Kabupaten Subang. Di wilayah kabupaten ini, tanah timbul dapat terbentuk sendiri tanpa harus susah payah dibangun oleh warga masyarakat yang ingin memiliki tambak tanpa membeli dari pihak lain. Masyarakat setempat tidak perlu menanam mangrove terlebih dahulu agar terbentuk tanah timbul sebagaimana dilakukan oleh masyarakat pesisir Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan.
Mereka cukup memasang patok-patok batas di pantai yang terlihat semakin dangkal, sebagai tanda klaim atas lahan pantai yang akan timbul menjadi daratan baru. Pada saat lahan tersebut telah timbul menjadi daratan, secara adat atau kesepakatan lokal telah sah sebagai lahan miliknya. Kemudian pemiliknya tinggal membuat tanggul mengelilingi lahan tersebut, mengeruk bagian tengahnya sehingga terbentuk petak tambak baru. Pemiliknya dapat pula memanfaatkannya untuk penggunaan lain seperti lahan pertanian atau rumah tinggal/pemukiman.
Secara juridis sebenarnya ada undang-undang atau peraturan yang mengatur atas pemanfaatan kawasan pesisir, pantai atau tanah timbul tersebut. UU No.5/1960 menyatakan bahwa ada larangan penggunaan tanah baik yang tergenang air secara berkala atau tanah padat, tanpa ijin sah dari penguasa tanah, meskipun yang diatur hanya tanah daratan sampai pada garis pantai, tidak ada istilah tanah timbul. UU No.6/1996 menyatakan bahwa status sumber daya pesisir secara substansial merupakan milik negara. Kawasan pesisir atau mangrove sebagai kawasan lindung juga tunduk pada PP 34/2002 bahwa pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, tetapi tidak termasuk usaha budidaya ikan/pertambakan. Keppres No.32/1990 juga mengatur bahwa pemanfaatan kawasan lindung tidak dibenarkan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat, membangun sarana dan prasarana permanen yang dapat mengubah bentang alam, menebang pohon, menggunakan pestisida dan insektisida. Izin pemanfaatan paling lama 5 tahun dan luas maksimum 50 Ha. Selain itu SK Gubernur Jawa Barat No.593/1988 mengatur bahwa tanah timbul yang berimpit dengan kawasan hutan langsung menjadi kawasan hutan, dikelola oleh kehutanan dan/atau Perhutani. Namun faktanya, hasil pengamatan lapangan yang dilakukan di wilayah Kabupaten Subang sebagai salah satu kabupaten di pantura berbeda jauh dengan bunyi regulasi tersebut.
Tingginya intensitas pembentukan tanah timbul mengindikasikan makin rendahnya daya dukung lingkungan daerah hulu maupun hilir dari wilayah pesisir/mangrove Kabupaten Subang. Terdapat semacam trade-off dari proses pembentukan tanah timbul. Pembentukan tanah timbul di wilayah pesisir disatu pihak memberi peluang bagi penduduk setempat untuk membuka tambak baru atau memanfaatkannya untuk penggunaan lain. Namun sebaliknya, tanah timbul terbentuk akibat degradasi lingkungan daerah hulu yang cukup berat sehingga terjadi pendangkalan badan sungai dan penyumbatan muara sungai yang semuanya menghambat proses produksi dan kelancaran aktivitas ekonomi para penangkap ikan dan petambak.
Rendahnya daya dukung lingkungan hulu dan hilir dari kawasan mangrove juga diindikasikan oleh banjir yang terjadi secara rutin tiap tahun sebagaimana menimpa Desa Anggasari di Kecamatan Legonkulon. Banjir rutin khususnya terjadi pada bulan-bulan 12 (Desember), 1 (Januari) dan 2 (Pebruari) yang berakibat pada gagal panen sawah dan tambak. Hal ini memberi gambaran bahwa menurunnya keseimbangan ekologis secara bertahap telah menghambat dan menurunkan perolehan manfaat ekonomis dari usaha pengelolaan sebuah kawasan.
2. Mata Pencaharian Penduduk sebagai Petani, Petambak dan Penangkap Ikan
Hutan mangrove di wilayah Propinsi Jawa Barat hampir seluruhnya telah diubah menjadi tambak ikan/udang tradisional dan digarap oleh masyarakat sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu (sejak tahun 1957). Lokasi mangrove yang strategis di pinggir pantai mendapat tekanan makin berat akibat meningkatnya proses pembangunan, kemajuan teknologi baru maupun kehadiran para pemodal yang tertarik pada usaha budidaya ikan/biota lain secara intensif.
Usaha budidaya ikan/biota lain yang dilakukan oleh masyarakat Subang dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu kegiatan pembenihan dan kegiatan pembesaran. Kedua kegiatan pembenihan dan pembesaran tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu sebagian atau seluruh hasilnya akan dijual sehingga menjadi sumber pendapatan bagi pemiliknya. Berdasarkan tempat usahanya, kegiatan budidaya ikan/biota lain dapat dikelompokan sebagai berikut :
a. Kolam air tawar/sawah: kegiatan pembenihan atau pembesaran ikan/biota lain dilakukan menggunakan kolam/sawah sebagai sarana pemeliharaan.
b. Tambak air payau: kegiatan budidaya atau pemeliharaan ikan/biota lain dilakukan menggunakan tambak sebagai sarana pemeliharaan. Pemilik tambak yang hanya menyewakan tambak tidak dianggap sebagai pengusaha tambak.
c. Laut: kegiatan pemeliharaan ikan/biota lain dilakukan di laut, muara sungai, laguna, dan lainnya yang dipengaruhi oleh pasang surut, menggunakan kurungan yang biasanya dibuat dari jaring, bambu, kayu, atau bahan lainnya.
d. Perairan umum: kegiatan pemeliharaan ikan/biota lain dilakukan menggunakan jaring apung, pancang pagar, atau keramba sebagai sarana pemeliharaan (Anonim, 1993).
Tabel 2. Jumlah rumah tangga menurut usaha pertanian di Kab. Subang, 1993. Table 2. Number of Household with Agriculture Sector. at Subang District, 1993
No. Kegiatan Jumlah
rumah tangga
% rumah tangga
1. Pertanian 167.138 28,92
2. Pertanian Pengguna Lahan 163.129 28,22
3. Padi / Palawija 144.874 25,07
4. Hortikultura 38.541 6,67
5. Perkebunan 8.960 1,55
6. Peternakan / Perunggasan 19.888 3,44 7. Budidaya Perikanan di kolam (sawah) 9.691 1,68
8. Budidaya kayu-kayuan 10.265 1,78
9. Budidaya perikanan di tambak / air payau 1.825 0,32 10. Nelayan pengusaha di laut 1.887 0,33 11. Nelayan pengusaha di perairan umum 2.250 0,39 12. Pemungutan hasil hutan/penangkapan
satwa liar
4.258 0,74
13. Jasa pertanian 5.284 0,91
Jumlah 100,00
Sumber/source : Kantor Statistik BPS Kabupaten Subang . 1993
Hasil sensus pertanian tahun 1993 menyajikan data tentang jumlah rumah tangga yang memiliki pekerjaan atau bidang usaha di bidang pertanian sebagaimana dapat diikuti pada tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa terdapat empat kelompok bidang usaha yang menjadi mata pencaharian masyarakat di sektor perikanan Kabupaten Subang, yaitu budidaya perikanan di kolam dan di sawah, budidaya perikanan di tambak dan di air payau, penangkapan dan budidaya di laut serta penangkapan dan budidaya di perairan umum. Luasnya kesempatan berusaha dan bekerja di sektor perikanan mengindikasikan tingginya kemampuan sektor tersebut dalam menyediakan kesempatan kerja sehingga sangat membantu penduduk Subang untuk memiliki mata pencaharian.
Tabel 3. Rumah Tangga Perikanan, Luas Kolam dan Tambak di Kab. Subang Table 3. Fishery Household, Width of Pool and Fishpond at Subang District
Sensus Pertanian Uraian 1983 1993 % kenaikan / penurunan Rumah Tangga Perikanan
a. Kolam / sawah 5885 9691 + 64,67
b. Tambak air payau 1391 1825 + 31,20 Nelayan Pengusaha a. Laut 1132 1187 + 66,70 b. Perairan umum 785 2250 + 186,62 Luas a. Kolam / Sawah (000 m2) 5424 (0,92 Ha/KK) 12063 (1,24 Ha/KK) + 122,40
b. Tambak air payau (Ha) 3599 (2,59 Ha/KK)
3321 (1,82 Ha/KK)
- 7,72
Sumber/source : Kantor Statistik BPS Kabupaten Subang . 1993
Demikian pula berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa dalam 10 tahun (1983-1993) jumlah rumah tangga budidaya ikan di kolam/sawah meningkat 64,67%, dan luas penguasaan lahan kolam/sawah juga meningkat dari 0,92 Ha/KK (1983) menjadi 1,24 Ha/KK (1993). Hal ini menggambarkan masih terjadi peningkatan pemanfaatan kolam/sawah baru untuk budidaya ikan, seperti melalui teknik tumpangsari mina padi atau pergiliran padi-ikan. Sedangkan jumlah rumah tangga budidaya ikan tambak air payau meningkat 31,20%, namun luas penguasaan lahan tambaknya menurun dari 2,59 Ha/KK (1983) menjadi 1,82 Ha/KK (1993), yang menggambarkan tidak terjadi pencetakan tambak baru di daerah ini. Demikian pula rumah tangga nelayan pengusaha di laut meningkat 66,70% dan nelayan pengusaha di perairan umum meningkat 186,62%. Hal ini secara keseluruhan menggambarkan bahwa pemanfaatan lahan (sawah, kolam, tambak, perairan umum, laut) oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Subang telah dilakukan dengan cara yang makin intensif untuk tujuan memperoleh manfaat ekonomi yang lebih tinggi.
Jumlah penduduk Kabupaten Subang yang bekerja di sektor perikanan dapat diikuti dalam tabel 4. Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan relatif tidak berubah dari tahun 2003 ke 2004. Hal ini memberi gambaran bahwa upaya peningkatan produksi ikan budidaya tidak dapat ditempuh melalui peningkatan jumlah tenaga kerja karena akan terkendala oleh keterbatasan luas lahan budidaya perikanan yang ada. Karenanya, upaya yang ditempuh untuk meningkatkan produksi ikan budidaya adalah melalui diversirfikasi produk seperti tumpangsari atau pergiliran padi-ikan yang dilakukan di lahan persawahan/kolam.
Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perikanan di Kab. Subang, 2003-2004 Table 4. Absorption Employer of Fishery Sector at Subang District 2003-2004
Penyerapan Tenaga Kerja (orang)
No. Jenis Kegiatan
2003 2004 Peningkatan (%) Penangkapan Laut 3.045 3.070 1. Perairan Umum 1.580 1.670 Budidaya Tambak 7.815 7.845 Kolam 16.130 16.025
Kolam Air Deras 565 595
26.420 26.400 2.
Mina Padi
3. Bakul laut + tambak 865 945
4. Pengolahan Hasil Perikanan
2.523 2.643
Jumlah 58,501 58.943
Sumber/source : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2005.
Sementara itu sebaran usaha budidaya ikan di sawah/kolam dan tambak air payau dapat diikuti pada tabel 5. Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa budidaya ikan air tawar di sawah/kolam di Kabupaten Subang dilakukan di seluruh kecamatan yang ada di wilayah ini. Sementara itu budidaya ikan tambak/air payau hanya dilakukan di 6 (enam) kecamatan, yaitu Kecamatan Pamanukan, Blanakan, Pusakanagara, Compreng, Subang, Binong, dimana budidaya ikan tambak yang terluas dilakukan di Kecamatan Pamanukan.
Tabel 5. Luas kolam/sawah dan tambak pada rumah tangga budidaya ikan Table 5. Width of Pool /Agriculture Area and Fishpond at Fishery Household
No. Kecamatan Kolam / Sawah
(000 m2)
Tambak air payau (0,00 Ha) 1. Sagalaherang 52 0,00 2. Jalancagak 138 0,00 3. Cisalak 159 0,00 4. Tanjungsiang 451 0,00 5. Subang 564 0,18 6. Cijambe 48 0,00 7. Cibogo 63 0,00 8. Cipunagara 75 0,00 9. Pagaden 735 0,00 10. Kalijati 356 0,00 11. Cipeundeuy 29 0,00 12. Purwadadi 195 13. Pabuaran 1208 0,00 14. Patokbeusi 855 0,00 15. Ciasem 58 0,00 16. Binong 6470 0,05 17. Compreng 32 0,24 18. Pusakanagara 18 5,00 19. Pamanukan 320 3294,80 20. Blanakan 210 20,38 Jumlah 12063 3320,65
Sumber/source : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2005.
Keterkaitan kecamatan yang memiliki desa pesisir dan usaha budidaya ikan di tambak dapat diikuti pada tabel 6.
Tabel 6. Desa pesisir dan budidaya tambak Table 6. Coastal Village and Fishpond Cultivation
No Kecamatan Desa pesisir Budidaya tambak (Ha)
1 Blanakan 7 20,38 2 Pamanukan 1 3.294,80 3 Pusakanegara 1 5,00 4 Legonkulon 5 - 5 Compreng - 0,24 6 Binong - 0,05 7 Subang - 0,18 Jumlah 14
Sumber/source: Diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Subang. 2005.
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa usaha budidaya ikan di tambak banyak terdapat di Kecamatan Pamanukan yang hanya memiliki 1 desa pesisir. Di Kecamatan Compreng, Binong dan Subang yang tidak memiliki desa pesisir juga terdapat usaha budidaya ikan tambak air payau. Sementara itu Kecamatan Legonkulon yang memiliki 5 desa pesisir justru tidak terdapat usaha budidaya ikan di tambak.
3. Kelembagaan Petani – Nelayan Yang Mantap
Usaha perikanan budidaya di kawasan pesisir Kabupaten Subang telah lama menggantikan fungsi hutan mangrove. Oleh karena itu pada tahun 1970-an telah berdiri Koperasi Perikanan Darat (KPD) di Kabupaten Subang. Tahun 1978 nama KPD berubah menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) Mina. Pada tahun 2004 di Kabupaten Subang terdapat 14 unit KUD Mina, yang terdiri atas 5 unit KUD Mina Laut dan 8 unit KUD Mina Tambak yang tersebar di Kecamatan Blanakan, Pusakanagara, dan Legonkulon, serta 1 unit KUD Mina Air Tawar yang terdapat di Kecamatan Cijambe, sebagaimana dapat diikuti dalam tabel 7.
Tabel 7. Keadaan KUD Mina di Kabupaten Subang Tahun 2004 Table 7.The Entity / Condition of Mina KUD at Subang District, 2004
No. Nama Koperasi Alamat
KUD Mina Laut
1. Mina Fajar Sidik Ds. Blanakan Kec. Blanakan 2. Mina Bahari Ds. Muara Ciasem Kec. Blanakan 3. Misaya Guna Ds. Patimban Kec. Pusakanagara 4. Mina Jayalaksana Ds. Cilamaya Girang Kec. Blanakan 5. Saluyu Mulya Ds. Pangarengan Kec. Legonkulon
KUD Mina Tambak
1. Mina Subur Jaya Ds. Pangarengan Kec. Legonkulon 2. Karya Bakti Ds. Muara Ciasem Kec. Blanakan 3. Karya Bhukti Ds. Blanakan Kec. Blanakan 4. Karya Laksana Ds. Tegalurung Kec. Legonkulon 5. Mina Laksana Ds. Anggasari Kec. Legonkulon 6. Tambak Jaya Ds. Tanjung Tiga Kec. Blanakan 7. Mina Karya baru Ds. Rawameneng Kec. Blanakan 8. Karya Bhukti Sejati Ds. Jaya Mukti Kec. Blanakan
KUD Mina Air Tawar
1. Mina Tirta Lestari Ds. Cijambe Kec. Cijambe Sumber/source : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2005.
Anggota KUD Mina dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Anggota Penuh : para pemilik tambak yang mengusahakan sendiri dan menjadi anggota KUD b. Calon Anggota : para pemilik tambak yang mengusahakan sendiri tetapi tidak menjadi anggota
KUD
c. Anggota Dilayani : para penganco di sungai, pedagang ikan, tidak memiliki tambak dan tidak menjadi anggota KUD.
Sementara itu jumlah Kelompok Tani-Nelayan sebanyak 129 kelompok, terdiri atas Pemula 85 kelompok, Lanjut 33 kelompok, Madya 12 kelompok dan Utama 8 kelompok. Seluruh anggota tersebut diberi pelayanan oleh KUD terutama pelayanan penjualan hasil ikan melalui lelang di TPI.
Dalam upaya penguatan kelembagaan petani-nelayan, peranan KUD Mina sangat strategis. KUD ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya, karenanya modal dihimpun dari para anggota dan pengelolaannya diselenggarakan atas kesepakatan dan kebersamaan para anggota. Bagi para nelayan / petambak / petani-ikan, KUD Mina memiliki berbagai peran untuk memajukan dan memandirikan usaha perikanan para anggotanya, yaitu :
a. Sebagai tempat untuk memasarkan hasil tangkapan/produksi ikan dengan harga wajar. b. Sebagai wadah para anggota agar terhindar dari jeratan para tengkulak dan pemodal.
c. Sebagai lembaga untuk mendapatkan bantuan permodalan.
d. Memperkuat posisi tawar para anggota dalam berhadapan dengan pembeli ikan dan pemasok modal usaha.
Karena itu, KUD Mina menjadi pesaing bagi para tengkulak ikan dan pemodal/pengijon. Keberadaannya sangat tergantung pada kesadaran para anggota yang memiliki kebutuhan untuk memajukan dan memandirikan usaha perikanannya secara bersama-sama.
Bagi Pemerintah Daerah, KUD Mina merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) untuk memperkuat kelembagaan nelayan/petambak/petani-ikan. Selain itu, melalui KUD Mina dapat dihimpun retribusi penyelenggaraan pelelangan ikan tangkapan dan ikan budidaya sebagai sumber PAD melalui penyediaan jasa pelelangan. Sebagian dari PAD tersebut akan menjadi APBD untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan pertambakan, seperti pengerukan sungai/saluran air, penanaman mangrove dan bangunan konservat lainnya serta pembinaan para nelayan/petambak/petani-ikan. TPI yang dikelola oleh KUD Mina juga memberikan kontribusi sebesar 1% dari nilai retribusi yang terkumpul kepada kas desa dimana TPI tersebut berada. Hubungan saling memberi dan menerima antara Pemerintah Daerah dengan para nelayan/ petambak/petani-ikan mampu menghasilkan kekuatan yang dapat mendorong kemajuan usaha perikanan di daerah ini yang manfaatnya dinikmati oleh kedua belah pihak, baik Pemerintah Daerah maupun para nelayan/petambak/petani-ikan.
Oleh karena itu dalam mengukur pencapaian sasaran programnya, Dinas Kelautan dan Perikanan menetapkan luasan hutan mangrove sebagai tolok ukur. Sasaran program pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2004 adalah meningkat dan berkembangnya potensi kelestarian hutan mangrove pada tahun 2005 mencapai luasan 4.000 Ha. Sampai tahun 2004 terealisasi 3.074,3 Ha (76%). Ada dua kemungkinan yang patut dicermati apakah kondisi ini menjadi indikator dari keberhasilan perbaikan ekologis dengan makin lestarinya hutan mangrove atau sebaliknya yaitu makin luasnya kawasan pertambakan yang memang berada di kawasan mangrove.
4. Ekosistem Mangrove Yang Memprihatinkan
Pada awal tahun 1960-an, wilayah pesisir Kabupaten Subang masih berupa hutan payau atau ekosistem mangrove yang ditumbuhi anekaragam jenis tumbuhan. Berdasarkan informasi lapangan, pada tahun 1960-an diantara warga masyarakat mulai membuat kalen atau parit-parit untuk memasuki kawasan hutan agar dapat memasang bubu untuk menangkap ikan. Melalui kalen/parit-parit tersebut, mereka masuk ke dalam kawasan naik jolang atau kapal kayu ukuran 2 orang penumpang.
Rumah tangga yang memiliki modal atau kemauan keras umumnya mempunyai parit, karena mareka dapat membuatnya sendiri atau membayar orang lain untuk membuat parit. Panjang parit umumnya lebih dari 1 km. Sampai saat ini masih terdapat beberapa parit yang diberi nama dengan nama pemiliknya, seperti Kalen Carwita, Kalen Jurtulis, Kalen Sawin.
Menaiki jolang, pemilik parit dapat menyusuri kawasan hutan payau atau mangrove untuk memasang bubu. Setiap rumah tangga dapat memasang 1 sampai 2 buah bubu. Bubu dipasang sekitar jam 4 sore, ditunggu semalaman di dalam hutan hingga menjelang pagi. Bahkan pada musim hujan bubu tersebut dipasang siang malam sebab selalu dapat menangkap ikan. Pada tahun 1960-an setiap bubu dapat menangkap ikan sekitar 0,5 kuintal dalam waktu semalam. Jenis ikan yang tertangkap terutama ikan belanak, udang api-api, ikan janjan, kepiting, hempet. Bagi yang tidak memiliki kalen/parit, mereka dapat menangkap ikan di rarabak yaitu empang di dalam hutan, menggunakan alat bantu pancing teger. Setiap orang dapat memasang sekitar 100 batang pancing.
Bagi penduduk setempat, kawasan mangrove dahulu merupakan tempat menangkap ikan/udang alam, dan saat ini telah menjadi tempat untuk membudidayakan ikan/udang. Meskipun masih tetap sebagai penghasil ikan, namun bentang alam atau kondisi fisik kawasan tersebut telah berubah. Setelah menjadi kawasan pertambakan, jumlah tumbuhan mangrovenya sangat sedikit.
Hal ini sesuai prinsip budidaya perikanan bahwa tambak bukanlah tempat pemijahan ikan/udang tetapi tempat pembesaran ikan/udang sehingga hanya memerlukan tanaman mangrove di kiri-kanan sungai/saluran air dan di pematang tambak. Oleh karena petak tambak di pantura pada umumnya memiliki luasan antara 1 Ha sampai 5 Ha per petak, maka jumlah tanaman mangrove di kawasan pertambakan menjadi sangat sedikit. Untuk itu kawasan tersebut lebih sesuai diberi nama kawasan pertambakan daripada kawasan mangrove. Dalam kaitan tersebut, Tabel 8 menyajikan potensi desa-desa pesisir di Kabupaten Subang.
Tabel 8. Potensi Desa Pesisir Empat Kecamatan di Kabupaten Subang Table 8.The Potential of Four Regions Coastal Village at Subang District
Potensi Desa Pesisir No Kecamatan Desa
Garis Pantai
(km) Luas (ha) Pendayagunaan Kegiatan 1. Pusakanegara Patimban 17 849,2 Budidaya Tambak,
mangrove
Legonkulon - 107,0 Budidaya Tambak, Mangrove Tegalurung 4 1.024,3 Budidaya TPHT, Mangrove Anggasari 6 754,55 Budidaya TPHT, Mangrove Pengarengan 6 1.497,31 Budidaya TPHT, Mangrove, TPI Legon wetan 4 470,0 Budidaya,
Mangrove 2. Legonkulon Mayangan 5 833,1 Sukamaju - 229,1 Budidaya Mangrove 3. Pamanukan Batangsari - 323,7 Budidaya Mangrove Tanjung Tiga 5 740,3 Budidaya TPHT,
Mangrove Muara 3 473,7 Budidaya TPI,
TPHT, Mangrove Langen Sari 4 261,0 Budidaya TPHT,
Mangrove Blanakan 5 837,75 Budidaya TPHT,
TPI, Mangrove Jaya Mukti - 514,80 Budidaya TPHT,
Mangrove Rawa Meneng 5 396,95 Budidaya TPHT,
Mangrove 4. Blanakan Cilamaya Girang 4 488,6 Budidaya, TPI, Mangrove Jumlah 68 9801,36
Sumber/source: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2005.
Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa usaha budidaya ikan/udang tambak selalu dibarengi dengan budidaya mangrove. Namun tabel tersebut tidak menyajikan informasi jumlah tanaman mangrove per Ha luasan masing-masing desa pesisir tersebut.
Dalam tabel 10 disajikan informasi potensi ekosistem mangrove di Kabupaten Subang menurut desa pesisir. Berdasarkan tabel 10 diketahui bahwa melalui kegiatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan selama 5 tahun terakhir (2000-2004) telah ditanam sebanyak 635.000 bibit mangrove. Apabila setiap hektar ditanam 1.000 bibit dan 80% dapat tumbuh dengan baik maka di dalam ekosistem mangrove Kabupaten Subang yang luasnya 5.117 Ha telah terdapat tanaman mangrove seluas 508 Ha atau sekitar 10% dari total luas kawasan. Namun tabel tersebut juga menyajikan bahwa kondisi ekosistem mangrove di seluruh desa pesisir Kabupaten Subang dalam kondisi rusak berat.
Tabel 9. Kondisi Ekosistem Mangrove
Table 9. The Entity / Condition of Mangrove Ecosystem
Kondisi (ha) Desa
Baik Rusak Ringan Rusak Berat
Patimban - - 741 Legonkulon - - 107 Tegalurung - - 749 Anggasari - - 505 Pangarengan - - 1,137 Legon Wetan - - 361 Mayangan - - 377 Sukamaju - - 98 Batang sari - - 96 Tanjung Tiga - - 215 Muara - - 96 Langensari - - 183,5 Blanakan - - 164 Jaya Mukti - - 93 Rawameneng - - 107 Cilamaya Girang - - 87,50 Jumlah 5.117
Sumber/source : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2005. Tabel 10. Potensi Ekosistem Mangrove
Table 10. The Potential of Mangrove Ecosystem
Hasil Rehabilitasi Desa
Luas (ha) Tahun Jumlah Batang Jenis Pohon Patimban 5 2002 10.000 Rhizophora & Bruguira
Spp
75 2003 300.000 Rhizophora Spp
Legonkulon - - -
Tegalurung 75 2003 75.000 Rhizophora Spp Anggasari 15 2003 25.000 Rhizophora & Bruguira
Spp Pangarengan 30 2000,
2001, 2004
75.000 Rhizophora & Bruguira Spp
Legon Wetan - - - - Mayangan - - - - Sukamaju - - - - Batang sari - - - - Tanjung Tiga - - - - Muara - - - - Langensari 150 2003 150.000 Bruguira Spp Blanakan - - - - Jaya Mukti - - - - Rawameneng - - - - Cilamaya Girang - - - - Jumlah 350 - 635.000 -
Sumber/source : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2005.
Selain ekosistem mangrove kini telah berubah menjadi kawasan pertambakan, sungai-sungai yang mengalir di kawasan tersebut kini menjadi akses legal masuknya pemukiman penduduk ke dalam kawasan. Di Kabupaten Subang mengalir 5 (lima) sungai yang bermuara di laut Jawa. Sesuai Surat Izin Penggunaan Lahan Sementara (SIPLS) yang diterbitkan oleh Perusahaan Umum Otorita Jatiluhur (POJ) atau sekarang yang dikenal dengan nama PJT II (Perusahaan Jasa Tirta II), penduduk dapat membangun dan memiliki rumah tempat tinggal di bantaran sungai bila mendapatkan SIPLS dari POJ. SIPLS juga memungkinkan penduduk membangun sawah atau usaha budidaya di sepanjang bantaran sungai.
Penerbitan SIPLS memang memberikan kontribusi pendapatan bagi POJ karena setiap anggota masyarakat yang ingin mendapatkan SIPLS harus membayar. Namun SIPLS tersebut secara hukum dapat melegalkan berkembangnya pemukiman penduduk di sepanjang bantaran sungai memasuki suatu kawasan seperti kawasan mangrove atau kawasan hutan lainnya yang sebenarnya tidak melegalkan adanya pemukiman penduduk. Keadaan demikian makin memperberat tekanan ekosistem mangrove yang ada di Kabupaten Subang. Rusaknya ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten Subang telah diindikasikan oleh adanya bencana banjir secara periodik dan abrasi pantai sebagaimana disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Potensi Kerusakan Pesisir Table 11. The Potential of Coastal Damaged
Potensi Kerusakan Desa
Abrasi Erosi Sedimentasi Keterangan
1 2 3 4 5
Patimban 3 km/15 ha - 25 Ha/tahun -
Legonkulon - - - -
Tegalurung 2 km/10 ha - - Lokasi Pantura
Anggasari 3 km/10 ha - - -
Pangarengan - - 5 Ha/tahun -
Legon Wetan 4 km/8 ha - - -
Mayangan 5 km/15 ha - - -
Sukamaju - - 3 Ha/tahun -
Batangsari - - 15 Ha/tahun Lokasi pantura
Tanjung Tiga - - 5 Ha/tahun -
Muara - - - -
Langensari - - - -
Blanakan - - - -
Jaya Mukti - - - -
Cilamaya Girang - - 3 Ha/tahun Lokasi Pantura Jumlah
Sumber/source : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2005.
Berdasarkan tabel 11 diketahui bahwa abrasi telah terjadi di 5 desa pesisir (diantara 16 desa) yang merusak 17 km garis pantai (diantara 68 km) atau 58 ha wilayah desa-desa tersebut. Sedimentasi juga menjadi salah satu potensi bentuk kerusakan ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten Subang. Adanya berbagai bentuk ancaman terhadap ekosistem mangrove mengakibatkan kelestarian lingkungan kawasan pesisir pantai utara Kabupaten Subang sangat memprihatinkan.
IV. KESIMPULAN
1. Petak-petak tambak, saluran air, sungai, para petambak, penangkap ikan, sisa tanaman bakau/api-api, ikan/udang dan biota lainnya, kini merupakan unsur penyusun ekosistem kawasan mangrove atau kawasan pesisir yang tersisa dewasa ini.
2. Manfaat ekonomi kawasan mangrove di pantai utara wilayah Kabupaten Subang telah mengalahkan manfaat ekologisnya, menurunnya keseimbangan ekologis secara bertahap telah menghambat perolehan manfaat ekonomis.
3. Persepsi yang berbeda dari berbagai sektor terhadap ekosistem mangrove menyebabkan pola pengelolaan menjadi tumpang tindih bahkan cenderung saling bertentangan sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas mangrove.
4. Tekanan penduduk yang menguat dan tingginya kebutuhan lahan untuk berusaha semakin memperparah kondisi ekosistem mangrove yang sudah rusak.
5. Tumpang tindihnya regulasi yang mengatur lahan, khususnya menyangkut kawasan mangrove menambah semakin tidak kondusifnya pengelolaan mangrove ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1988. Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No.593/Kep.518/Hak/88 tentang Penggunaan, Peruntukan dan Penggunaan Tanah Pantai di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Bandung
_______, 1993. Sensus Pertanian 1993. Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Kabupaten Subang. Kantor Statistik BPS Kabupaten Subang .
_______.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta
_______, 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Kawasan Lindung.Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Subang.
_______. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
_______, 2003. Kecamatan Legonkulon dalam Angka 2002. kerjasama Badan Perencanaan Daerah Kab. Subang dengan Badan Pusat Statistik Kab. Subang.
_______, 2004 (b). Pendataan Profil Desa Tahun 2004, Desa Anggasari Kecamatan Legonkulon Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Subang. 2004
_______, 2004 (c). Laporan Akuntabilitas Kinerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tahun 2004. Pemerintah Kabupaten Subang. Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
_______, 2005 (a). Evaluasi Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2004. Pemerintah Kabupaten Subang. Dinas Kelautan dan Perikanan.
_______, 2005 (b). Gambaran Keadaan Kabupaten Subang. Makalah Rencana Tindak Lanjut Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Subang. Bappeda Kabupaten Subang.
_______, 2005 (c). Rencana Strategis Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Subang. Pemerintah Kabupaten Subang Tahun 2005.